Bagian I: Pendahuluan
Foto : Taufik Rinaldi
Bagian I:
Pendahuluan “[ Negara ] adalah korup…terpisah dan jauh dari masyarakat, yang melihat, tanpa adanya alternatif yang dapat berjalan, ke cara lama yang menjamin keberlangsungan. Namun cara lama bukan seperti dahulu lagi, dilemahkan oleh migrasi tenaga kerja, industrialisasi parsial, urbanisasi dan lebih umum lagi oleh kapitalisme.” H. Patrick Glenn, Legal Traditions of the World1 “Jika kita mengetahui bagaimana memanfaatkan aspek positif dari keadilan tradisional dan mengidentifikasi kelemahannya sebagai mekanisme dengan nilai-nilainya, keadilan tradisional (dengan kata lain, keadilan yang diterapkan masyarakat) akan memainkan peranan penting dalam mencegah masalah kecil berkembang menjadi konflik besar, termasuk konflik dalam keluarga atau didalam dusun diantara satu dengan yang lain” Xanana Gusmao, Perdana Menteri Timor Leste2 12
Berfungsinya sistem peradilan dengan baik sangat penting dalam memelihara ketertiban sosial, menjamin kepastian hukum yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan untuk memajukan dan memberikan perlindungan hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia dan dunia peradilan telah juga berupaya melakukan pembaharuan meskipun belum seluruh persoalan terselesaikan, khususnya penegakan keadilan untuk masyarakat
1
H. Patrick Glenn ( 2000) Legal Traditions of the World, Oxford: Oxford University Press, hal.77.
2
Jose ‘Kay Rala Xanana’ Gusmao, ’Pidato Pembukaan Presiden’, yang disampaikan pada saat Konferensi Internasional Penyelesaian Konflik Tradisional dan Keadilan Tradisional di Timor-Leste, Dili, 27 Juni 2003.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
1
Bagian I: Pendahuluan
miskin. Warga negara merasa sektor keadilan berjalan lambat, korup dan berjarak.3 Pemerintah sendiri mengakui adanya kelemahan tersistem.4 Upaya pembaharuan hukum untuk mengatasi kelemahan tersebut sudah cukup kuat dalam mendiagnosa tetapi lamban dalam perkembangannya. Tetapi penciptaan keadilan tidak hanya menjadi tanggung jawab negara secara eksklusif. Kebanyakan orang Indonesia mencari penyelesaian masalah hukum mereka melalui sektor informal atau sistem keadilan nonnegara. Keadilan non-negara sering dianggap sebagai alternatif penyelesaian sengketa, tapi dalam kenyataannya merupakan media utama bagi sebagian besar warga miskin. Barangkali sebanyak 90 persen dari perselisihan ditangani oleh insititusi non-negara.5 Dalam konteks Indonesia, “peradilan non-negara” adalah “penyelesaian perselisihan di tingkat lokal” – arbitrasi dan mediasi yang dilakukan oleh kepala desa, pemimpin adat, tokoh masyarakat dan pemuka agama, terkadang berdasarkan tradisi, namun tidak jarang perselisihan ini diselesaikan secara subyektif oleh pemimpin komunitas tanpa mengacu kepada hukum negara atau hukum adat. Untuk kepentingan laporan ini, “peradilan non-negara” atau “peradilan informal” didefinisikan sebagai semua bentuk penyelesaian sengketa di luar proses ajudikasi pengadilan formal.6 Ini termasuk sistem hukum adat sebagai salah satu bagiannya.
A. Pentingnya Peradilan Non-Negara di Indonesia Seperti digambarkan di kasus yang di atas, peradilan informal penting untuk beberapa alasan. Sebagai alat utama untuk menyelesaikan perselisihan, efektivitasnya menentukan apakah konflik dapat dipecahkan dengan damai atau meledak menjadi kekerasan. Ketika sistem formal lemah dan rentan penyuapan, apabila sistem peradilan non-negara tidak berfungsi, alternatif penyelesaian lain adalah kekerasan atau pengabaian konflik. Hal ini juga bisa mengarah menjadi kekerasan di kemudian hari.7 Ketidakadilan dan pengabaian konflik atas akses terhadap sumber daya alam selama era Orde Baru merupakan dua diantara beberapa penyebab kekerasan sosial yang
2
3
Asia Foundation (2001) Citizens’ Perceptions of the Indonesian Justice Sector, Jakarta: Asia Foundation. Bagan mengenai sistem hukum formal adalah di Lampiran 3.
4
Sebagai contoh, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan yang disampaikan dalam pertemuan Consultative Group on Indonesia pada tanggal 14 Juni 2006, ”Orang-orang belum melihat keadilan nyata dikarenakan oleh persepsi bahwa lembaga yudikatif yang korup telah merasuk kedalam sistem dan menyebar keseluruh sektor.”
5
Lihat Stephen Golub (2003) ‘Beyond Rule of Law Orthodoxy: the Legal Empowerment Alternative’, Working Paper No. 14, Carnegie Endowment for International Peace: Washington DC dan Chidi Anselm Odinkalu (2005) ‘Poor Justice or Justice for the Poor? A View from Africa,’ yang dipresentasikan pada World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember 2005. Menurut Asia Foundation (2001), di atas n.3, dari orang Indonesia yang telah benar-benar mengalami sebuah persengketaan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, 57 persen mengejar penyelesaian di luar sistem formal, 18 persen menggunakan sistem formal dan 32 persen tidak melakukan apapun. Keseganan terhadap litigasi juga merupakan hal yang umum di negara-negara maju. Di Australia, sebagai contoh, hanya 6 persen dari sengketa komersiil yang sampai di pengadilan: Australian Law Reform Commission (1998), Issues Paper 25, Review of the Adversarial System of Litigation, Canberra: Commonwealth of Australia. Michelson mengutip riset [yang] menyatakan sekitar 15 persen sengketa di Amerika Serikat, Wales dan Inggris masuk kedalam sistem hukum formal: Ethan Michelson ( 2007) ‘Climbing the Dispute Pagoda: Grievances and Appeals to the Official Justice System in Rural China.’ 72 American Sociological Review 459, 461.
6
Ini tidak menunjukkan bahwa ada perbedaan yang jelas antara sistem negara dan peradilan non-negara atau formal dan informal. Beberapa proses “informal” juga mengikuti proses formal dan dapat melibatkan anggota-anggota aparat negara (terutama polisi dan pegawai pemerintah daerah). Lagipula, penyelesaian sengketa informal kadang-kadang mempergunakan peraturan dan sumber yang lain dari sistem hukum formal.
7
Pengabaian konflik ‘di permukaan tampak tenang dan damai, namun ada gunung berapi yang tersembunyi dibawah permukaan.’ Thomas Zitelmann (2005) “The Cambodian Conflict Structure. Conflict about land in a wider perspective.” GTZ: Phnom Penh.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
terjadi di Maluku, Kalimantan, Sulawesi dan wilayah lain di Indonesia pada masa setelah reformasi.8 Penyelesaian masalah yang efektif juga sangat krusial bagi kesejahteraan masyarakat miskin. Laporan ini meneliti sejumlah kasus yang menggarisbawahi hubungan antara keadilan dengan kemiskinan – keluarga di pedesaan secara melanggar hukum diambil lahannya oleh perusahaan perkebunan di Sumatera Barat; anak yang diadopsi yang tidak diberikan warisan di Jawa Timur; perempuan yang bercerai tidak bisa mendapatkan haknya atas harta gono-gini di Kalimantan Tengah. Semuanya tergantung pada sistem keadilan informal untuk menjamin hak ekonominya. Kegagalan yang terjadi pada kasus-kasus tersebut membuat mereka harus menghadapi kenyataan terpinggirkan secara ekonomi dan sosial. Popularitas keadilan non-negara adalah respon alami atas ketidakmampuan negara memenuhi permintaan masyarakat untuk mendapatkan keadilan.9 Tapi itu juga merefleksikan karakteristik di dalamnya yang justru cocok dengan kondisi lokal. Peradilan non-negara melekat dalam realitas politik dan sosial di tingkat lokal. Pelaksana keadilan di luar negara mempunyai legitimasi dan otoritas yang tidak selalu dimiliki oleh polisi atau hakim. Prosedur dan substansi sesuai dengan pendapat umum yang mengutamakan pentingnya harmoni. Tujuannya bersifat menghindari konflik dan restoratif; dan prosesnya bersifat cepat dan sangat murah. Sifat-sifat tersebut sangat penting bagi masyarakat pedesaan yang saling bergantung satu sama lain secara ekonomi dan sosial. Tetapi ada masalah dengan praktik non-state justice pada saat ini. Yang paling mendasar, peradilan informal mengabaikan kepentingan kelompok minoritas dan perempuan. Banyak pelaku peradilan non-negara di tingkat desa kurang mampu menyelesaikan masalah. Ketidakseimbangan kekuasaan menghalangi perlakuan yang sama dan mengakibatkan pihak yang lemah sering terpaksa menerima penyelesaian yang tidak diinginkan atau tidak mampu menerapkan putusan yang telah disepakati. Hal ini menyebabkan banyak konflik yang hanya diselesaikan secara parsial, dengan kemungkinan bisa muncul lagi dalam bentuk kekerasan. Lagipula, persinggungan yang kurang jelas antara peradilan formal dan informal, khususnya berkaitan dengan yurisdiksi kewenangan masing-masing, menciptakan ketidakpastian hukum dan membuka peluang terjadinya manipulasi dalam menyelesaikan konflik. Oleh karena itu, terlihat adalah, meskipun diluar kewenangannya kasus pidana berat dapat dimediasikannya pada tingkat lokal, bahkan seringkali justru memperkuat struktur kekuasaan yang ada diatas tercapainya keadilan untuk para korban. Namun, meski non-state justice sangat penting untuk stabilitas, keamanan dan kesejahteraan warga miskin, sangat mengagetkan ketika tidak banyak dokumentasi mengenai bagaimana masyarakat menggunakan sistem peradilan informal untuk mencari keadilan di Indonesia. Bahkan sedikit kebijakan pemerintah yang ada yang dimaksudkan untuk membuat sistem ini lebih adil dan inklusif secara sosial. Hal ini apabila dibandingkan dengan program reformasi hukum dan peradilan pemerintah dan lembaga donor yang lebih terfokus pada institusi negara. Ini terjadi karena pengadilan, kejaksaan dan kepolisian lebih mudah dilihat, dijangkau dan dimengerti. Paling tidak untuk organisasi donor, lembaga ini juga jauh lebih dikenal. Ini juga disebabkan cara kerja peradilan non-negara kurang dipahami. Perumusan kebijakan yang tepat untuk keadilan informal sangat kompleks karena diversitas institusi, norma dan proses dalam ”sistem” tersebut. Sehingga, strategi komprehensif untuk reformasi hukum dan peradilan harus mengangkat peradilan non-negara apabila 8
Pada puncaknya, konflik sosial mempengaruhi 7 dari [pada masa itu] 32 propinsi di Indonesia. Menurut pengamatan Jakarta Post, ‘Konflik antar suku di Maluku berakar dari pemerintahan yang lemah, kesenjangan antara rakyat kaya dan miskin yang semakin merenggang, dan ketidakadilan.’ Jakarta Post, ‘Maluku, Kalimantan Strife “Lingering”’, 1 May 2006. Untuk informasi tambahan, lihat International Crisis Group (2001) Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan, Asia Report No 19; dan International Crisis Group (2000) Indonesia’s Maluku Crisis: the Issues, Indonesia Briefing Paper, 19 July.
9
Hal ini yang oleh Faundez disebut sebagai “pemerintahan yang belum mampu” (governance deficit). Lihat Julio Faundez (2006) ‘Should Justice Reform Projects Take Non-State Justice Seriously? Perspectives from Latin America.’ Makalah dipaparkan di World Bank Legal Development Forum, Washington DC, Desember 2005.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
3
Bagian I: Pendahuluan
bercita-cita menjangkau sistem yang menjadi satu-satunya pengalaman keadilan untuk sebagian besar warga Indonesia. Laporan ini bertujuan untuk memberikan kontribusi kecil dalam membantu mengisi kesenjangan informasi dan kebijakan ini. Penelitian ini dilakukan secara eksplisit untuk mengidentifikasi kerangka kerja untuk memperkuat inklusivitas sosial dan efektifitas kerja sistem peradilan non-negara. Secara spesifik, tujuan dari laporan ini adalah: •
• •
Mendokumentasikan proses, preferensi dan praktik sistem peradilan non-negara di Indonesia, dengan perhatian khusus pada inklusifitas sosial dari proses ini dengan fokus pada pengalaman kelompok minoritas dan perempuan Meneliti prakarsa dan inovasi lokal untuk pembaharuan peradilan non-negara Mengembangkan sebuah kerangka kerja yang memadukan sistem peradilan non-negara yang menghormati tradisi lokal tetapi didasarkan pada standar Undang Undang Dasar Republik Indonesia
Fokus pada inklusifitas sosial berdasarkan asumsi bahwa bias gender merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan;10 dan bahwa diskriminasi etnis adalah inti dari konflik sosial yang melanda Indonesia sejak jatuhnya rezim Soeharto. Memahami bagaimana peradilan informal mempertahankan bias gender dan diskriminasi etnis dan pada saat yang sama bagaimana bisa menjadi bagian dari solusi adalah salah satu hasil utama yang diharapkan dari studi ini.
B. Pendekatan Kebijakan Pemerintah Terhadap Non-State Justice di Indonesia Sebagaimana yang berlaku di hampir sebagian besar negara berkembang, sistem hukum di Indonesia adalah pluralistik. Yaitu bahwa aturan dan institusi hukum berasal dari dua atau lebih tradisi hukum. Tantangan kebijakan untuk memadukan non-state justice dalam kerangka kerja hukum nasional bukanlah suatu hal yang baru. Bahkan, sepanjang sejarah kolonialisme dan setelah kemerdekaan, pemerintah terus bergulat dengan pertanyaan bagaimana mendekati peradilan informal dan mengakomodasi sistem hukum yang beragam. Ada empat pendekatan umum untuk menjangkau non-state justice.11 Abolisi adalah ketika negara bersikeras terhadap keseragaman atau penyatuan hukum dan menghapuskan sistem peradilan non-negara. Pendekatan ini sering didasarkan kecenderungan peradilan non-negara bertentangan dengan hak asasi manusia. Pada sisi ekstrim yang lain, penyatuan penuh (full incorporation) adalah pendekatan dimana peradilan non-negara secara penuh terintegrasi dengan sistem hukum negara, dengan peran masing-masing yang jelas. Di bawah pendekatan kemandirian (non-incorporation), komunitas lokal diberikan wewenang untuk menerapkan dan mengikuti nilai, norma dan kebiasaan lokal. Pada pendekatan ini, peradilan formal dan informal berdampingan/ hidup bersama tapi beroperasi secara mandiri, dengan batasan yurisdiksi yang ketat diantara keduanya. Pendekatan ini sering digunakan untuk mengakomodasi hukum tradisional di dalam komunitas masyarakat asli. Terakhir, usaha pendekatan penyatuan parsial (partial incorporation) berusaha untuk menggabungkan keuntungan dan kekurangan dari peradilan formal dan informal. Kedua sistem bekerja secara independen, tetapi sistem keadilan informal mendapat pengakuan, dampingan dan pengawasan dari negara. Model terakhir ini merupakan kompromi antara penyatuan penuh dan kemandirian. 10 Sebagai contoh, diperkirakan bahwa Indonesia mengalami kerugian sebesar $2.4 milyar per tahun, dikarenakan oleh ketidaksetaraan di tempat kerja: lihat Bappenas/World Bank/AusAID/ADB/DFID (2007) Gender in CDD Projects: Implications for PNPM. 11
4
Connolly, B. (2005) ‘Non-State Justice Systems and the State: Proposals for a Recognition Typology’, 38 Connecticut Law Review 239.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
Di Indonesia terjadi fluktuasi antara penyatuan penuh (minimal secara retorika), abolisi dan kemandirian.
Pendekatan Historis Ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, warisan sistem hukum terdiri dari kombinasi pengaruh hukum tradisi, kolonial dan Islam. Pemerintah kolonial Belanda menghadapi keadaan ini dengan menerapkan hukum secara berbeda berdasarkan kelompok etnis. Artinya, orang Eropa mengikuti hukum Belanda, sedangkan orang Indonesia menjadi subyek hukum adat. Hukum adat sendiri sangat beragam–ada sekitar 300 kelompok etnis yang masing-masing memiliki hukum adat sendiri.12 Secara kelembagaan, status mekanisme peradilan desa juga bermacam-macam, merefleksikan ketegangan antara, pada satu sisi pengakuan keberagaman, dan pada sisi lain keinginan untuk kesatuan hukum dan “modernitas”. Hingga 1874, yang disebut Pengadilan Pribumi beroperasi sesuai dengan hukum dan prosedur adat. Pada 18741935, pengakuan terhadap pengadilan ini dibatalkan, meski dalam praktiknya tetap berlangsung. Pada 1935, pemerintah kolonial menghidupkan kembali peradilan desa dengan mewajibkan hakim mempertimbangan hasil Dewan Adat di pengadilan negeri.13 Ketika Republik baru dibentuk pada tahun 1945, kebijakan nasional mengajukan keseragaman sistem hukum. Secara institusional, pluralisme hukum dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kedudukan sebagai negara merdeka dan modernitas.14 Namun demikian, konstitusi beserta dengan amandemennya kemudian telah memberikan pengakuan bersyarat terhadap hukum adat.15 Pengakuan ini sangat terbatas. Hakim ‘wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat’.16 Dukungan untuk peradilan non-negara juga direfleksikan dalam dokumen kebijakan nasional pemerintah seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, dimana dinyatakan bahwa hukum adat perlu dihormati dan diperkuat.17 Disamping pernyataan dan retorika di atas, sebagaimana dinyatakan oleh Lindsey, ‘Adat adalah sumber hukum cadangan yang hanya diterapkan secara informal atau jika tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur.’18 Hukum negara tertulis selalu diutamakan dibandingkan hukum adat. Dan walaupun hakim wajib mempertimbangkan hasil dari peradilan non-negara, pada kenyataannya mereka bebas untuk mengabaikannya, dan banyak berlaku seperti itu.
Pendekatan Kontemporer: Dampak Desentralisasi Kebijakan pemerintah mengenai kebutuhan untuk menghormati dan memperkuat pengakuan terhadap peradilan non-negara hanya retorika saja. Akan tetapi, walaupun peradilan tetap menjadi fungsi pemerintah 12 Szczepanski, K (2002) ‘Land Policy & Adat Law in Indonesia’s Forests’, 11 Pacific Rim Law & Policy Journal 231. 13 Sebastiaan Pompe (2002) Court Corruption in Indonesia. Mimeo belum diterbitkan: Jakarta. 14 Daniel Fitzpatrick (1999) ‘Beyond Dualism: Land Acquisition and Law in Indonesia’, di T Lindsey (ed) Indonesia: Law and Society. Sydney: Federation Press, hal.74. 15 Undang-Undang Dasar menyatakan bahwa: ‘Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indoneisa, yang diatur dalam undang-undang.’ (Pasal 18(2)); dan bahwa ‘Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.’ ( Pasal 28I(3)). 16 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 28(1). 17 Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, Bab 9. 18 Timothy Lindsey (2006) ‘Inheritance and Guardianship and Women: Islamic Laws in Aceh, a Year After the Tsunami.’ Makalah dipersiapkan untuk International Development Law Organization.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
5
Bagian I: Pendahuluan
pusat, proses otonomi daerah yang diterapkan pada 1999 telah membuka kesempatan untuk memperkuat atau mengubah penyelesaian sengketa informal. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan pemerintah daerah mempunyai otoritas untuk mengkonfigurasi ulang struktur pemerintahan desa – termasuk mekanisme penyelesaian masalah – sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keterbukaan. Seiring dengan semangat otonomi, UU No. 22 Tahun 1999 juga membentuk Badan Perwakilan Desa yang dipilih langsung oleh masyarakat dan membagi kekuasaan eksekutif pada tingkat desa. Pada sisi “yudisial”, pasal 101 ayat (e) memberikan otoritas kepada kepala desa, bersama dengan Dewan Adat untuk menyelesaikan konflik. UU No. 32 Tahun 2004, yang menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 menghapus yurisdiksi ini, tapi kemudian dikembalikan lagi dengan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Hakim Agung Rehngena Purba telah menyoroti manfaat mendukung “otonomi peradilan desa” ini. Menurut dia, ‘proses membawa kasus ke pengadilan dapat dihindari [dan] harmonisasi kehidupan yang damai ...bisa semakin ditingkatkan’.19 Akan tetapi, kalau pemerintah daerah telah mengeksploitasi peluang ini, perubahan yang dilakukan bukan demokratis atau inklusif, melainkan penghidupan kembali“cara lama”(Lampiran 1 meringkas perubahan peraturan pada lima provinsi yang diteliti). Di Maluku, provinsi itu berusaha untuk kembali ke struktur desa tradisional yang dikenal dengan nama “negeri” dan di Sumatera Barat dikenal dengan “nagari”. Di Kalimantan Tengah, inisiatif diambil untuk memperkuat pengakuan terhadap pemimpin adat, dikenal dengan nama “damang”. Perubahan tersebut menempatkan etnis setempat dan elit laki-laki sebagai pemegang kendali. Konsep keadilan lokal yang sempit bisa diajukan – apa yang digambarkan oleh Benda-Beckmann sebagai, ‘sering berlaku sebagai hukum laki-laki senior’ yang ‘dipertahankan sebagai alasan untuk membenarkan hubungan dominasi dan penindasan.’20 Didorong oleh “regionalisme dan nasionalisme lokal” (semangat kedaerahan), resiko ini mencegah tuntutan dari kelompok yang terpinggirkan seperti perempuan dan etnis minoritas untuk keterwakilan dan pengakuan di dalam institusi lokal yang mengatur hidup mereka. Proses marginalisasi terhadap kelompok terpinggirkan dapat menimbulkan perpecahan sosial yang bisa memicu konflik kekerasan, dan menyebabkan kemiskinan. Kebijakan pemerintah harus merespon secara tepat untuk mencegah munculnya perpecahan sosial. Peradilan non-negara mempunyai peranan penting dalam hal ini. Jadi, otonomi daerah meciptakan resiko maupun peluang. Dan perpaduan dinamika sosial dan politik ini telah mengacaukan proses ini sekali lagi dengan menimbulkan pertanyaan: sistem peradilan seperti apa yang ingin dimiliki Indonesia dalam masyarakat yang sangat beragam dan pluralistik.
C. Menemukan Titik Keseimbangan Jika negara lemah dan “cara lama” patut dipertanyakan relevansinya, memicu munculnya pertanyaan, “Apa lagi?” Menurut Glenn kejahatan dan kekerasan adalah dampak yang tidak bisa dielakan.21 Ini memang mungkin bisa menjelaskan terjadinya konflik di sejumlah wilayah di Indonesia pada pasca reformasi. Dia juga mengacu pada middle ground atau “titik keseimbangan” yang memadukan kekuatan keadilan formal dan informal. Konsep ini mengakui kenyataan bahwa komunitas harus diberdayakan sehingga bertanggungjawab atas manajemen konflik, tapi pada saat yang sama merefleksikan kepentingan seluruh unsur masyarakat, tidak hanya elit etnis asli. Konsep ini juga dapat mengakomodir tradisi hukum pluralistik yang beragam, tetapi sekaligus menghormati 19 Rehngena Purba (2004) ‘Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Alternatif Kajian Pada Masyarakat Karo’, makalah dipaparkkan di Universitas Karo, 1 July 2004, di hal. 15. 20 Franz von Benda-Beckmann (1990) ‘Ambonese Adat as Jurisprudence of Insurgency and Oppression,’ 5 Law & Anthropology 25 di hal 39. 21
6
Glenn n.1 diatas, hal.77.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
supremasi Undang-Undang Dasar dan kerangka hukum negara. Secara retorika, inilah pendekatan yang diterapkan oleh Republik Indonesia dalam era otonomi daerah, tapi dalam kenyataan, hasil konkrit di lapangan dari arah kebijakan ini belum kelihatan. Sebenarnya, “menemukan titik keseimbangan” merupakan hal yang kompleks, karena cenderung berlawanan dengan tradisi dan kepentingan yang berkuasa. Respon secara hukum dan teknokratis tidak tepat. Membuat kebijakan mengenai peradilan non-negara sangat rumit, mengingat keberagaman dan jumlah institusi, pelaku dan norma yang merupakan “sistem” informal ini. Reformasi peradilan ternyata menjadi tugas yang berat dalam pengadilan di Indonesia, yang hanya menjangkau pada tingkat kabupaten di seluruh 450 kabupaten di Indonesia. Tapi peradilan informal berada di lebih dari 70.000 desa. Akan tetapi, sangatlah jelas bahwa penegakan hukum mensyaratkan baik lembaga sosial maupun negara kuat dimana semua warga negara diperlakukan sama dan kepentingan serta nilai-nilai kehidupan mereka dihormati. Seiring dengan semakin diakuinya dominasi regionalisme, para pakar juga mengobservasi bahwa ‘kecenderungan mengarah ke kepentingan lokal dan etnisitas tidak diterima oleh semua pihak.’22 Pendukung model pemerintahan desa dan penyelesaian sengketa yang inklusif dan contoh perubahan telah ada di berbagai kalangan masyarakat. Studi ini diluncurkan untuk meletakkan titik keseimbangan mendasar peradilan lokal, bukan keadilan tradisional, yang dilandasi tindakan pendukung reformasi di tingkat lokal di luar elit tradisional. Pendekatan ini berusaha mengawinkan aksesibilitas sosial, otoritas dan legitimasi proses peradilan informal dengan akuntabilitas terhadap komunitas dan negara. Pendekatan ini mengakui kenyataan pluralisme hukum di Indonesia dan bahwa satu model yang seragam untuk peradilan non-negara tidak menjadi pilihan dan tidak bisa diterapkan. Oleh karena itu, titik keseimbangan ini seharusnya mengakomodasi konteks perbedaan sosio-kultural, kebiasaan dan sifat yang berbeda tetapi pada saat yang bersamaan juga menghormati perlindungan hukum dalam konstitusi untuk melindungi pihak yang terpinggirkan.23 Membangun kerangka kerja untuk memadukan harus didasarkan pada pemahaman yang paripurna terhadap pelaksanaan peradilan non-negara saat sekarang ini. Sehingga, bagian IIA dan B, tubuh utama dari tulisan ini, menggambarkan tipologi dan proses sengketa, berdasarkan studi kasus kualitatif dan data kuantitatif survei. Bagian ini menjelaskan preferensi, persepsi dan pengalaman komunitas, dengan fokus khusus pada kelompok minoritas etnis dan agama, serta perempuan. Bagian IIC menguji persinggungan antara peradilan informal dan formal sebagai hal yang krusial untuk meningkatkan kualitas keduanya dan menuju kearah kepastian hukum. Bagian III menganalisa kekuatan dan kelemahan keadilan non-negara, mencatat bagaimana aksesibilitas dan legitimasi sosial terkadang dikalahkan oleh ketidakseimbangan kekuasaan dan penekanan pada menjaga keteraturan sosial diatas rasa keadilan. Bagian IV menyimpulkan temuan-temuan utama sebelum menampilkan sejumlah rekomendasi yang konkrit.
22 Franz & Keebet von Benda-Beckmann (2001), “Recreating the nagari: Decentralisation in West Sumatera”, makalah dipaparkan di konferensi ke-3 European Association for SE Asian Studies, London, 6-8 September 2001. 23 Serangkaian prinsip ini mencakup representasi berbasis luas, akuntabilitas dan transparansi publik. Termasuk didalamnya, di antaranya, hak untuk melawan diskriminasi, (Undang-Undang Dasar pasal 28B2 & 28I2), kesetaraan dimuka hukum (28D1) dan kebebasan dari penyiksaan (28G2). Pemerintah juga baru-baru ini memasukkan Pernyataan Hak Asasi Manusia Internasional kedalam perundangan nasional melalui Undang-undang No. 11 dan No. 12 Tahun 2005, termasuk didalamnya proses perlindungan (due process) yang lengkap.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
7
Bagian I: Pendahuluan
D. Metodologi Metode analisa yang digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana menemukan tititik keseimbangan adalah pendekatan metode campuran (mixed-methods) yang mengkombinasikan data kualitatif dan kuantitatif untuk mendapatkan analisis yang mendalam dan luas. Sumber data utama termasuk: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Konsultasi dengan institusi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarkat (LSM) dan lembaga donor di tingkat nasional. Kerjasama dengan Mahkamah Agung dibangun pada tahap ini. Riset lapangan di Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat selama 2004 dan 2005.24 Data kuantitatif dari Survei Pemerintahan dan Desentralisasi [Governance and Decentralization Survey (GDS)] 2006. Studi konteks hukum untuk peradilan non-negara di Indonesia. . Studi literatur mengenai sistem peradilan non-negara yang diterapkan di luar Indonesia. Studi banding untuk meneliti peradilan informal di Bangladesh dan Filipina.
Sensitivitas, kompleksitas dan ambiguitas berbagai isu yang dikaji mengarah bahwa metode utama dari penelitian ini adalah kualitatif. Karena itu, sebagian besar temuan dan analisa di dalam laporan ini berdasarkan pada studi kasus, wawancara informan kunci dan diskusi kelompok terfokus (focus group discussions) di tingkat desa.
Sumber Data Sumber data utama adalah 34 studi kasus yang dikumpulkan dari lokasi penelitian oleh tim Justice for the Poor bekerjasama dengan peneliti dari LSM atau universitas setempat.25 Kasusnya bervariasi dari yang bersifat perselisihan kecil seperti perbedaan pendapat antar penduduk di dalam satu desa, perselisihan antar-desa yang berjalan lama dan mengarah ke kekerasan, hingga konflik antara penduduk desa dengan pihak luar. Ada tujuh belas kasus tanah, sumber daya alam dan kerusakan lingkungan; tujuh kasus pidana ringan atau penganiayaan; empat pembunuhan; tiga perkosaan, pelecehan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga; dua berhubungan dengan pernikahan; dan satu “penghinaan adat”. Pola-pola ini konsisten dengan data lain mengenai tipologi perselisihan lokal.26 Ringkasan dari setiap kasus terdapat di Matriks Kasus pada Lampiran 2. Penelitian kualitatif dilengkapi dengan data dari Survei Desentralisasi dan Pemerintahan (GDS) 2006 yang dilakukan oleh Pusat Studi Kebijakan Publik-Universitas Gadjah Mada (PSKP-UGM), dan didukung oleh Bank Dunia. Pada tahun 2006, GDS mengumpulkan informasi dari 32.000 responden termasuk kepala keluarga, kepala desa, pekerja di bidang pendidikan dan kesehatan serta pejabat pemerintah. Survei dilakukan di 133 dari 450 kabupaten di Indonesia, mencakupi seluruh 33 provinsi. 24 Laporan terpisah ditulis dari kelima lokasi dan tersedia online di www.justiceforthepoor.or.id. Laporan ini didiskusikan dalam lokakarya verifikasi dan konsultasi secara berseri dengan pemangku kepentingan setempat selama tahun 2005 dan 2006 di semua lokasi penelitian kecuali Jawa Timur. Peserta lokakarnya termasuk pegawai pemerintahan, anggota DPRD, akademisi, LSM, tokoh adat dan pejabat desa, pelajar dan anggota masyarakat. 25 Ada lebih banyak kasus yang terdokumentasi, namun 34 kasus di dalam makalah ini adalah kasus-kasus yang memiliki data yang lengkap dari pihak yang bersengketa, mediator, dan dokumentasi (berkas kasus setempat, laporan polisi dan pengadilan) untuk mengecek informasinya. Salah satu kasus diambil dari kunjungan lapangan di Lampung tahun 2007. 26 Bahkan kasus-kasus yang sampai ke polisi mengikuti pola yang serupa. Pada survei di Jawa Timur, polisi melaporkan bahwa tiga bentuk kasus yang paling umum yang mereka tangani adalah penganiayaan (33 persen), kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan (31 persen) dan sengketa tanah (10 persen): lihat Anton Baare (2004), ‘Policing and Local Level Conflict Management in Resource Constrained Environments’ Mimeo, Jakarta: World Bank. Lihat juga World Bank (2004), Village Justice in Indonesia; World Bank: Jakarta dan UNDP et al (2006) Access to Justice in Aceh: Making the Transition to Sustainable Peace and Development, UNDP: Jakarta.
8
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
Bagian I: Pendahuluan
Selain studi kasus dan data survei, wawancara informan kunci dilakukan dengan LSM, akademisi, hakim, jaksa, polisi dan pengacara serta pejabat pemerintah dan anggota parlemen di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten untuk meningkatkan pemahaman terhadap konteks lokal dan arah kebijakan lokal. Pada tingkat daerah ke bawah, wawancara selalu dilakukan dengan pihak yang bersengketa dan saksi, kepala desa dan dusun, pemimpin agama, pemuka adat dan tokoh masyarakat. Diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan perempuan dan etnis minoritas. Secara keseluruhan, 452 orang diwawancara dan 343 menghadiri lokakarya verifikasi yang diselenggarakan di lima provinsi.
Pemilihan Lokasi Penelitian Provinsi lokasi penelitian dipilih berdasarkan empat kriteria. Pertama, mewakili konstelasi etnis dan agama. Kedua, merupakan kombinasi lokasi paska-konflik dan wilayah dimana hukum adat masih berlaku secara kuat atau sudah hampir tidak ada lagi. Ketiga, mewakili cakupan geografis di Barat, Tengah dan Timur dari wilayah Indonesia. Pertimbangan terakhir adalah sejauhmana pemerintah lokal di setiap lokasi telah berinisiatif mengeluarkan peraturan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah di tingkat pedesaan. Lokasi desa di setiap provinsi dipilih berdasarkan masukan dari responden di tingkat lokal.
Keterbatasan Data Data kualitatif dan kuantitatif sama-sama memiliki keterbatasan. Ada resiko bahwa penelitian kualitatif terlalu fokus pada kasus yang sensasional atau luar biasa. Survei kuantitatif dapat menggenalisir dan menyaring pengalaman nyata yang sebaiknya ditangkap melalui pengamatan dan interaksi langsung. Kami sudah berupaya mengatasi keterbatasan ini dengan mengintegrasikan kedua sumber utama dan memverifikasi temuan melalui lokakarya dengan berbagai kelompok yang berkepentingan (multi-stakeholder) dan mendiskusikannya dengan cakupan responden yang luas. Dari diskusi kelompok terfokus dan wawancara informal di tingkat pedesaan kami telah dikumpulkan data baik dari pihak yang berselisih maupun penduduk biasa untuk memperoleh perpaduan pengalaman langsung beserta pendapat umum mengenai proses peradilan non-negara.
Menemukan Titik Keseimbangan: Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia
9