BAGIAN I PENDAHULUAN
Penanggulangan kemiskinan masih merupakan prioritas penting dalam pembangunan nasional, mengingat jumlah masyarakat yang hidup di bahwa garis kemiskinan masih cukup banyak dan kualitas hidup mereka yang dicerminkan oleh tingkat pemenuhan kebutuhan dasar masih rendah/timpang. Ketimpangan pemenuhan kebutuhan dasar masih terjadi antar kelompok pendapatan antar provinsi dan antar kabupaten.
Dalam Bagian I dijelaskan kondisi umum kemiskinan di Indonesia dan pentingnya penyusunan strategi Penanggulangan Kemiskinan, sebagai bagian dari rencana pembangunan dalam RPJM 2010-2014. Hasil penyusunan strategi menjadi masukan penyusunan RPJM 2010-2014 dan akan dijabarkan lebih lanjut ke dalam RKP tahun 2011 sampai dengan tahun 2014. Dalam Bagian ini diuraikan pula berbagai pengertian dan konsep kemiskinan yang diperoleh dari pustaka dan berbagai diskusi yang dilakukan. Metodologi kajian penyusunan strategi penanggulangan kemiskinan dalam RPJM 2010-2014 yang diterapkan dalam kajian ini, dijelaskan untuk memberi gambaran proses penyusunan strategi yang dijabarkan dalam Bab II – V. 1
BAB I. LATAR BELAKANG
Penanggulangan Kemiskinan masih perlu terus diperjuangkan dengan masih tingginya tingkat kemiskinan dan relatif besarnya jumlah penduduk miskin. Penanggulangan kemiskinan merupakan mandat besar dalam pembangunan nasional. Sepanjang sejarah pembangunan, seluruh program pembangunan, baik pembangunan di bidang (ekonomi) makro maupun di bidang mikro diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum, dan terutama penurunan kemiskinan. Dalam perkembangannya, tingkat kemiskinan pada awal-awal Repelita, menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Persentase masyarakat miskin yang pada pertengahan tahun tujuh puluhan mencapai sebesar 40 persen, dalam 20 tahun kemudian, yaitu tahun 1996 mampu mencapai 11 persen, suatu perkembangan yang sangat menggembirakan (Grafik 1.1). Namun demikian, pada masa krisis tingkat kemiskinan melonjak kembali. Dalam 8-10 terakhir ini tingkat kemiskinan memang cenderung menurun meskipun penurunannya belum setajam pada masa sebelum krisis (Grafik 1.1).
60 50
54.2 47.2Tingkat 42.3
40
40.1
49.5
Kemiskinan di48.0 Indonesia: 1976-2009
40.6 35.0
33.3
30
28.6
39.3 38.7 37.9 38.4 37.3 37.2 36.1 35.1 35.0
34.0
32.5
30.0 27.2 25.9
26.9
20
24.2 22.5
21.6 17.4
15.1
23.4 19.1 18.4 18.2 17.4 16.7 16.0 17.8
13.7
15.4
17.5 16.6
10
14.2
11.3
0 1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah Pend Miskin
Jumlah Pend Miskin
% Pend Miskin
% Pend Miskin
5
Grafik 1. 1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Indonesia tahun 1976 – 2008
Dengan tingkat kemiskinan pada tahun 2008 yang masih pada besaran 15,42 persen, dan jumlah penduduk miskin sebanyak 34,96 juta manusia maka perjuangan untuk memerangi kemiskinan masih sangat berat. Sasaran RPJM sebesar 8,25 persen tidak akan dapat tercapai dalam 1 tahun terakhir. Perkiraan dalam RKP untuk tahun 2009 adalah penurunan tingkat kemiskinan menjadi sebesar 12-14 persen. Untuk itu, perjuangan masih harus dilakukan, apalagi dengan adanya berbagai tantangan baru baik berasal dari luar kemiskinan maupun tantangan dari dalam kemiskinan sendiri.
2
Peningkatan standar hidup, meningkatkan pula ragam kebutuhan dan kualitas kebutuhan dalam rumah tangga, termasuk rumah tangga miskin. Standar kebutuhan minimum untuk kemiskinan semakin meningkat dengan meningkatnya kualitas hidup sebagai akibat dari kemajuan ekonomi. Dengan peningkatan standar hidup ini maka tuntutan untuk pemenuhan kondisi minimal suatu keluarga dan termasuk di dalamnya standar minimal agar tidak disebut miskin juga semakin meningkat. Pada masa lalu, pemenuhan 3 kebutuhan dasar berupa sandang, pangan dan papan sudah cukup memenuhi kebutuhan hidup minimal saat itu. Pada saat ini, kualitas sandang, pangan dan papan sudah meningkat pula, dan dimensi kemiskinan juga sudah semakin berkembang. Masalah pendidikan dan kesehatan menjadi kebutuhan utama. Kebutuhan konsumsi selain pangan, sandang dan papan juga semakin bertambah dengan tuntutan konsumsi lain untuk kesejahteraan yang lebih baik, misalnya kualitas nutrisi, air minum dan sanitasi, kondisi lingkungan hidup dan sebagainya. Selain itu, tuntutan konsumerisme di kalangan masyarakat juga mendorong konsumsi bahanbahan sekunder menjadikan tuntutan psikologis yang lebih besar di kalangan rumah tangga miskin. Pasokan sumberdaya alam tetap kuantitasnya, namun dengan kualitas dan daya dukung menurun. Sementara kebutuhan secara ragam kuntitas bertambah, kualitas yang semakin meningkat dihadapkan pada kondisi sumberdaya alam yang tetap dengan kualitas yang menurun. Dengan jumlah pasokan sumberdaya alam yang tetap maka kompetisi penggunaan semakin besar. Penurunan kualitas yang diiringi dengan tuntutan konsumsi yang kualitasnya semakin meningkat memperberat pemenuhan kebutuhan minimal dan dapat berdampak pada menurunnya kualitas hidup manusia, yang bertendensi memperburuk kondisi kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Globalisasi semakin membuka perekonomian Indonesia dan berdampak pada semakin meningkatnya kerentanan (vulnerability) masyarakat secara umum dan terutama masyarakat miskin. Berbagai gejolak di negara lain dan di pasar global semakin sering terjadi. Keterbukaan negara dan pasar dalam suatu negara mengakibatkan dampak kondisi domestik suatu negara dengan cepat ditransmisikan ke pasar global dan masuk ke pasar domestik negara lain. Hal ini tentu saja semakin memperbesar gejolak di pasar dunia itu sendiri dan semakin menambah gejolak pasar domestik suatu negara. Sebagai akibatnya, perkembangan ekonomi di suatu negara dapat berpengaruh pula pada masyarakat Indonesia, baik yang bersifat positif (tambah sejahtera) maupun yang bersifat negatif (bertambah miskin, kehilangan pekerjaan dst). Hal ini berdampak pada semakin pentingnya kebijakan perlindungan bagi masyarakat miskin, agar gejolak di perekonomian negara lain dan dunia tidak menambah kesengsaraan masyarakat terutama masyarakat miskin. Dengan adanya desentralisasi, perjuangan untuk menurunkan kemiskinan memiliki tantangan dan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Dalam era desentralisasi, pelaksanaan penurunan kemiskinan sebagian besar sudah terdesentralisasi ke 33 provinsi dan 467 kabupaten/kota. Artinya, untuk mendapatkan keputusan dan hasil yang sama secara nasional, dibutuhkan pemahaman yang sama atas suatu kebijakan, kapasitas yang sama dalam menerapkan, memantau dan mengevaluasi kebijakan, termasuk menyesuaikan pelaksanaan kebijakan dengan kondisi lokal. Ini tentu saja merupakan tugas dan model kebijakan publik yang baru bagi pengambil keputusan di Indonesia. Dengan kata lain, penurunan kemiskinan yang pada tahun 70-90an dapat
3
dilaksanakan dengan cepat karena adanya satu komando, dengan adanya desentralisasi akan memperberat pelaksanaan kebijakan dari pusat sampai daerah dan koordinasinya. Untuk itu, strategi koordinasi dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan perlu pula disesuaikan dengan era desentralisasi, agar tetap menjaga proses pengambilan keputusan yang efektif dan memberikan pelayanan yang lebih dekat ke masyarakat. Sejalan dengan permasalahan dan tantangan di atas, hasil background study RPJM 2010-2014 yang diselenggarakan tahun 2008 menghasilkan 4 isu pokok yang penting untuk dianalisa lebih mendalam dan dikaji strategi dan langkah pelaksanaannya. Isu-isu pokok tersebut adalah : (i) Pro-Poor Growth; (ii) targetting yang lebih baik; (iii) penanganan dimensi kemiskinan non pendapatan yang merupakan bagian dari pemenuhan hak dasar masyarakat miskin; dan (iv) efektivitas penanggulangan kemiskinan daerah. Analisa, strategi dan langkah lebih konkrit diperlukan untuk menjabarkan ke dalam kebijakan dan langkah konkrit setiap tahunnya di dalam RKP. Sehubungan dengan itu, kajian tahun 2009 ini dimaksudkan untuk menganalisa, menggali dan menjabarkan lebih detil masing-masing isu tersebut sehingga dapat digunakan untuk masukan penyusunan RPJM 2010-2014 dan arah penyusunan RKP setiap tahunnya. 1.2.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengkaji “Strategi Penanggulangan Kemiskinan 2010-2014” sebagai dasar penyempurnaan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, khususnya tentang penanggulangan kemiskinan. 1.3.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan kajian “Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan 2010-2014” ini adalah: 1. Analisis dan penyusunan strategi untuk pro-poor growth (better policy) 2. Analisis dan penyusunan strategi untuk data dan targetting (better targetting) 3. Analisis dan penyusunan strategi untuk Keterkaitan dimensi non pendapatan dari kemiskinan dengan program sektoral (better serving) 4. Analisis dan penyusunan strategi untuk kelembagaan dan mekanisme yang efektif untuk penanggulangan kemiskinan (better mechanism). 1.4.
Keluaran
Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah laporan strategi (blue print) penanggulangan kemiskinan yang menyangkup aspek: pertumbuhan yang lebih propenanggulangan kemiskinan (pro-poor growth), adanya data dan proses targetting yang lebih baik, program sektor yang lebih berpihak pada masyarakat miskin (better serving) dan mekanisme pelaksanaan yang lebih efektif menurunkan kemiskinan (better mechanism). Bahan akan bermanfaat untuk dasar penyusunan rencana kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah periode tahun 2010 – 2014.
4
BAB II. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran dan Analisis
Dalam rangka menurunkan tingkat kemiskinan sesuai dengan komitmen global (MDG) dan amanat RPJPN 2005-2025 untuk menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sebesar 5 persen pada akhir 2025, penurunan kemiskinan yang semakin besar tantangannya harus dilakukan dengan serius dan disesuaikan dengan dinamika yang terjadi. Dalam rangka peninjauan kembali mengenai pelaksanaan kebijakan penanggulangan yang telah dilakukan dan pengidentifikasian langkah-langkah baru untuk menyusun RPJM 2010-2014, pada tahun 2008 telah dilaksanakan Background Study Penyusunan RPJM 2010-2014. Sebagai hasil dari background study tersebut, telah diidentifikasi 4 (empat) isu pokok di dalam penanggulangan kemiskinan untuk dapat menghasilkan kebijakan dan program yang efektif menurunkan kemiskinan. Keempat isu pokok tersebut, pada tahun 2009 ini dianalisa dan dikaji lebih lanjut untuk dapat diperoleh suatu strategi penanggulangan kemiskinan yang menjadi dasar penyusunan RPJM 2010-2014 dan RKP pada tahun-tahun berikutnya. Keempat isu pokok tersebut adalah: (i) Pro poor growth – dengan peningkatkan keterkaitan pertumbuhan, penyediaan lapangan kerja, serta penurunan kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan pada sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja dan efektif menurunkan kemiskinan; (ii) Better serving – dengan melengkapi dan menyempurnakan upaya penanggulangan kemiskinan, terutama yang berkaitan dengan hak-hak dasar; (iii) Better targetting – melalui peningkatan efektivitas kebijakan penanggulangan kemiskinan; dan (iv) Better mechanism – melalui peningkatan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah.
Bagan 2. 1. Blue Print Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Pro-poor growth merupakan isu yang sangat penting karena dengan adanya pertumbuhan yang dapat mengikutsertakan sebagian besar masyarakat (pertumbuhan yang menghasilkan penyerapan tenaga kerja bagi sebagain besar masyarakat), maka peningkatan kesejahteraan masyarakat akan semakin cepat terjadi. Penurunan 5
kemiskinan pada periode sebelum krisis terjadi sangat signifikan, terutama disebabkan oleh tingginya pertumbuhan pada sektor-sektor yang memberi pekerjaan pada masyarakat banyak. Dalam konteks desentralisasi, pro poor growth juga banyak ditentukan oleh peran Pemda dalam mengembangkan ekonomi di wilayahnya masingmasing. Dengan demikian, ada peran pro poor growth di tingkat makro (pemerintah pusat) dan banyak pula peran pro poor growth di tingkat mikro, yaitu di daerahdaerah. Sejalan dengan pro poor growth tersebut, dengan semakin heterogennya kondisi kehiudpan dan termasuk kondisi kemiskinan, maka kebijakan yang bersifat afirmasi untuk memberi perhatian dan dukungan khusus kepada masyarakat miskin sangat diperlukan. Langkah ini penting, karena minimal dua hal: (i) kualitas kehidupan masyarakat miskin dan terutama generasi mudanya sangat penting untuk memutus rantai kemsikinan hanya pada generasi saat ini saja; (ii) pemenuhan kebutuhan dasar adalah merupakan hak masyarakat miskin sejalan dengan pemenuhan hak azasi manusia (lihat 10 hak dasar, RPJM 2004-2009). Pemerintah memang telah memiliki berbagai kebijakan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat miskin melalui berbagai program, namun masih menghadapi berbagai masalah: (i) pelaksanaan kebijakan dan program bersifat afirmasi masih mengdapi kualitas dalam penyampiran program, kualitas pelaksanaan, dan diantaranya dalam pengarahan/targeting program kepada pihak yang berhak menerima; (ii) belum semua bidang memiliki kebijakan afirmasi, untuk dapat meyakinkan bahwa pemenuhan hak tersebut dilakukan dengan baik. Sehubungan dengan itu, isu kedua yang penting juga adalah masalah Pendataan dan Targeting Program penanggulangan kemiskinan serta Kebijakan Afirmasi dari sektorsektor untuk pemenuhan hak dasar masyarakat miskin. Meskipun demikian, ketiga isu di atas tidak akan efektif apabila pelaksanaan di daerah tidak sejalan dengan pemahaman di tingkat pusat; apalagi dalam era desentralisasi ini proses pengambilan keputusan di tingkat daerah memiliki tingkat independensi dan otonomi yang tinggi. Untuk itu, strategi untuk meningkatkan mekanisme kerjasama dan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menjadi faktor penting untuk penurunan kemiskinan yang signifikan. Keterhubungan keempat isu pokok yang dituangkan dalam 4 Blue Print yang menjadi bagian dalam Buku Laporan ini, dianalisis pula dalam suatu kerangka pemikiran, dengan titik pokok adalah pada masyarakat miskin (Bagan 2). Dengan berpusat pada kondisi dan kebutuhan masyarakat miskin, selanjutnya diposisikan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang menjawab (addressed) masing-masing kebutuhan tersebut. Kerangka ketehubungan untuk menyatukan pemikiran ini penting agar semua pihak, khususnya para pelaksana program, mendapatkan gambaran yang jelas tentang posisi masing-masing program dan perannya dalam membantu masyarakat miskin mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Selain itu, kerangka pemikiran ini diperlukan untuk memastikan bahwa aspek-aspek pembangunan telah dapat melayani dan memiliki kebijakan dan program untuk menanggulangi kemiskinan Di dalam Bagan 2.2, ditunjukkan bahwa pada dasarnya terdapat dua (2) persoalan mendasar yang dihadapi oleh penduduk miskin, yaitu: (i) pendapatan yang terlalu rendah dan/ atau (ii) beban pengeluaran yang terlalu tinggi (relatif terhadap pendapatan mereka). Oleh karena itu, berbagai program penanggulangan kemiskinan
6
pun dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian besar, yakni upaya peningkatan pendapatan dan/atau pengurangan beban pengeluaran penduduk miskin (termasuk untuk mendapatkan hak-hak dasarnya). Bagan tersebut juga memperlihatkan, bahwa pro-poor growth atau pertumbuhan yang pro-rakyat miskin merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin.
7
BAGAN 2. 2. KERANGKA PEMIKIRAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN Peningkatan Akses Terhadap Tanah dan Modal
Keterbatasan Akses Thd Aset Produktif (Faktor Produksi)
Keterbatasan Ketersediaan Fasilitas Pelayananan Dasar
Peningkatan Penyediaan Fasilitas Dasar bagi Penduduk Miskin
Affirmative Policy
Pro-Poor Growth: pertumbuhan dan lapangan kerja yang berkualitas bagi rakyat miskin
Pendapatan Rendah
Akses Rendah ke Pelayanan Dasar
Affirmative Policy
Better serving Better targeting Better Mechanism
Kualitas SDM Rendah
Upah/ Penghasilan Rendah
PENDUDUK MISKIN
Sisi Produksi: Biaya Usaha Tinggi
Kebijakan Ketenagakerjaan/ Pengupahan
Perbaikan Iklim Usaha/Investasi
Beban Pengeluaran Tinggi Sisi Konsumsi: Biaya Hidup Tinggi
Pengendalian Harga Barang/Jasa
8
Bagan 2.2. juga memperlihatkan dengan lebih jelas tentang program-program yang membantu orang miskin dengan program-program yang mampu mengentaskan penduduk miskin dari perangkap kemiskinan. Program-program sosial, termasuk di dalamnya affirmative policy, merupakan program yang mampu membuat rakyat miskin tetap mampu mengkonsumsi kebutuhan dasar. Akan tetapi, program-program yang bersifat sosial tersebut harus dipahami sebagai solusi jangka pendek bagi penduduk miskin, karena tidak mampu mengeluarkan mereka dari perangkap kemiskinan. Dalam kaitan dengan ini, masalah kebutuhan dasar yang haus dipenuhi dan cara pemenuhannya serta masalah data yang akurat dan targeting yang tepat akan sangat menentukan efektivitas solusi jangka pendek ini, dan sehingga penanganan jangka pendek yang tepat waktu akan mencegah masyarakat dari ketergantungan terhadap bantuan sosial. Sementara itu, upaya untuk mengeluarkan penduduk miskin dari perangkap kemiskinan secara berkelanjutan, tidak ada pilihan lain, hanya dapat dilakukan melalui pasar kerja, khususnya proses pertumbuhan yang pro-rakyat miskin dan penyediaan lapangan kerja yang layak bagi mereka. Yang menjadi tantangan berat bagi upaya ini adalah menemukan aktivitas dan unit ekonomi yang “cocok” bagi tenaga kerja yang berasal dari kelompok penduduk miskin. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus, karena, sebagaimana tercermin dalam Bagan 2.2 penduduk miskin biasanya kualitas SDM-nya rendah, sehingga secara umum tidak “cocok” dengan kebutuhan unit-unit usaha dalam proses pertumbuhan ekonomi. Yang juga perlu diperhatikan dan dipahami adalah kemungkinan terjadinya trade off antara satu program dengan program lainnya. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah kemungkinan trade off antara kebijakan tenaga kerja untuk meningkatkan upah/ penghasilan pekerja dengan kebijakan untuk menyediakan lapangan kerja bagi penduduk miskin. Hubungan antara penyerapan tenaga kerja dengan upah yang secara alamiah bersifat negatif (artinya: semakin tinggi upah, semakin rendah penyerapan tenaga kerja) menyebabkan kebijakan untuk mendorong kenaikan upah/ penghasilan harus dilakukan secara hati-hati agar tidak berdampak buruk terhadap penyerapan tenaga kerja. Di dalam kerangka besar tersebut, masalah mekanisme dan kerangka kerjasama serta koordinasi antar para pihak dan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi sangat penting. Kesemuanya ini tercakup dalam wadah kelembagaan. Di dalam konteks otonomi daerah, landasan mekanisme kerja yang baku, transparan,obyektif serta memiliki akuntabilitas yang jelas akan mempermudah semua pihak untuk melaksanakan bersama dan mendukung pencapaian tujuan, dan bahkan dapat mengundang partisipasi masyarakat dengan terbuka. Dengan cara ini, kepemilikan berbagai para pihak akan lebih besar dan sehingga keberlanjutan dapat dipertahankan dan bahkan dapat dikembangkan. Dalam kaitan dengan ini konsep kelembagaan pemerintahan juga perlu disesuaikan. Kelembagaan yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.
9
Konsep pemberdayaan ini, menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan yang mempunyai komitmen untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dengan melaksanakan program pembangunan alternatif (Friedmann, 1993). Pemberdayaan masyarakat muncul sebagai respon dari kegagalan paradigma ekonomi mainstream yang hanya memfokuskan pada pertumbuhan ekonomi dalam menanggulangi kemiskinan dan menjaga keseimbangan lingkungan. Dengan pemberdayaan diharapkan adanya alternatif pembangunan yang mengutamakan nilai-nilai demokrasi, hak asasi, persamaan gender, persamaan generasi; yang menempatkan manusia sebagai subjek sejarah dan aktor penggerak dalam pembangunan. Dalam pembangunan yang menempatkan pemberdayaan masyarakat pada titi sentral ini menempatkan rakyat pada titik sentral untuk pembangunan sehingga mereka bisa mempunyai kesempatan untuk mengontrol, mengambil keputusan, dan menentukan nasibnya yang bisa mempengaruhi kehidupanya. Pemberdayaan tidak hanya suatu proses untuk mengaktualisasi kemandirian diri pribadi, tetapi menurut Arai (2005) juga suatu usaha meningkatkan kemampuan untuk bisa mengatasi suatu permasalahan dan mencari kesempatan berpartisipasi untuk mendapatkan dan mengembangkan pengetahuan atau ketrampilan secara profesional. Cara untuk mencapai tujuan pemberdayaan adalah secara personal (pemberdayaan individu), kelompok kecil organisasi kemasyarakatan, kelompok advokasi, dan kegiatan politik (Labonte, 1995). Yang dimaksud pemberdayaan disini adalah suatu proses tranformasi dari keadaan yang lemah menjadi seseorang/masyarakat yang mempunyai kekuatan untuk mengontrol dan menentukan nasibnya sendiri/self-determination (Arai, 2005). Apabila masyarakat sudah mandiri dan mempunyai kekuatan untuk menentukan nasibnya sendiri ada beberapa proses yang mereka lakukan yaitu (1) kesadaran, (2) mengkaitkan/ menghubungkan dan pembelajaran, (3) mobilisasi untuk melakukan kegiatan (mobilization[taking action]), and (4) kontribusi. Sehubungan dengan itu, dalam konteks dan era partisipasi masyarakat, untuk menyesuaikan dengan konsep pemberdayaan masyarakat ini, maka pemerintah juga perlu melakukan penyesuaian dalam memfasilitasi dan mendorong agar masyarakat dapat mengentaskan dirinya dari kemiskinan dengan kekuatan sendiri dan dukungan dari pemerintah. Dalam kaitan dengan ini konsep kelembagaan pemerintahan juga perlu disesuaikan. Kelembagaan yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.
2.2.
Metode Pelaksanaan Kajian
Metoda yang diterapkan dalam pelaksanaan kajian “Strategi Penanggulangan Kemiskinan 2010-2014 mencakup antara lain: 1.
Desk study (tinjauan pustaka, analisis terhadap dokumen-dokumen penunjang dan hasilhasil riset, data BPS, data institusi, dsb).
2.
Analisis data sekunder (terutama untuk perkembangan angka kemiskinan dan perubahan struktur perekonomian) Data sekunder sudah lama digunakan dalam penelitian sebagai 10
sumber data, karena dalam banyak hal dokumen sebagai sumber data sekunder dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan meramalkan. 3.
Seminar, dan Diskusi Terarah (Focus Group Duscussion/FGD). Seminar dan Diskusi terarah ini memfokuskan pada eksplorasi/identifikasi beberapa hal: (i) Gambaran umum pelaksanaan kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di daerah penelitian; (ii) Gambaran efektifitas kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan di daerah penelitian; (iii) Gambaran kapasitas pelaku atau Sumber Daya Manusia dalam Penanggulangan Kemiskinan di daerah penelitian; (iv) Data yang terdokumentasikan, arsip dan sebagainnya tentang kondisi sosial ekonomi, geografi, demografi penduduk, maupun program yang dulu sudah dilakukan, baik hasil penelitian, kepustakaan dan sebagainya.
4.
Kunjungan Daerah untuk Observasi Lapangan Kunjungan lapangan ke beberapa daerah dilakukan untuk observasi lapangan dan berdialog dengan pelaku kebijakan di daerah untuk mengetahui sejauh mana strategi penanggulangan kemiskinan di daerah telah dilaksanakan. Lokasi yang menjadi pusat kajian kami adalah; (i) Kabupaten Banyuasin dan Ogan Ilir, Sumatera Selatan; (ii) Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara; (iii) Kabupaten Bantul dan Kulon Progo, Provinsi DI Yogyakarta. Daerah ini dipilih secara purposive, mempertimbangkan telah adanya berbagai upaya dan langkah penurunan kebijakan oleh Pemda di daerah yang dipilih.
2.3. Teknik Pengumpulan Data Tekhnik pengumpulan data diarahkan untuk menemukan jawaban beberapa fokus penelitian. Luasan wilayah dan kompleksitas problematika dalam penelitian ini, maka pengumpulan data dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut : a. Tekhnik dokumentasi Tekhnik ini digunakan untuk memperoleh gambaran sosiokultural ekonomis masyarakat berdasar data yang sudah tersusun sebagai informasi yang terbukukan, terekam, atau tersimpan sebagai sumber data yang dapat digunakan sebagai dasar analisis sebagai. b. Tekhnik Wawancara Semi Terstruktur Tekhnik wawancara terstruktur dengan pokok-pokok pertanyaan berdasarkan permasalahan, tujuan dan fokus penelitian dilakukan pada nara sumber/key informan. Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh pandangan, pengetahuan dan pengalaman dan keinginan (prospectus) kedepan menurut nara sumber. Sugiyono (2005:73) mengemukakan jenis wawancara semi struktur ini termasuk kategori in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. c.
FGD (Focus Group Discussion)
Selain melalui documents analysis dan indepth interview, pengayaan informasi dalam pengumpulan data ini dilakukan melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD). Secara konspesional, tujuan utama FGD adalah untuk memperoleh masukan (informasi) mengenai suatu permasalahan yang sedang dikaji. Dalam kegiatan ini, selain sebagai media uji publik, FGD dilakukan untuk mendapatkan masukan atas hasil temuan data lapangan yang diperoleh berdasarkan documents analysis maupun indepth Interview. Peserta FGD diambil secara 11
purposive, dengan pertimbangan calon partisipannya adalah mereka yang memiliki atau kompetensi khusus, sesuai dengan isu yang didiskusikan. d.
Kuisioner
Untuk antisipasi penggalian data yang lebih lengkap dikarenakan keterbatasan sumber daya dan waktu kajian, utamanya survei lapangan, maka dilakukan penyebaran kuisioner. Bentuk kuisioner yang digunakan adalah perpaduan, yaitu penggabungan kuisioner tertutup dan terbuka.
12
BAGIAN II PERTUMBUHAN YANG PRO MASYARAKAT MISKIN (PRO POOR GROWTH) Bagian II dimaksudkan untuk menganalisa pembangunan bidang ekonomi khususnya yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih pro kepada masyarakat miskin. Definisi pro poor growth yang diusulkan adalah “pertumbuhan ekonomi yang mampu mengeluarkan mereka dari perangkap kemiskinan secara berkelanjutan”. Ciri-cirinya adalah : (i) tidak menyingkirkan orang miskin dari proses pertumbuhan; (ii) memberikan dampak positif peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat miskin; dan (iii) melibatkan orang miskin dalam proses pertumbuhan. Dalam bagian ini dilakukan pemahaman kembali tentang hubungan pertumbuhan ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat miskin, dan langkah konkrit yang dapat dilakukan. Langkah konkrit, yang diidentifikasi diutamakan pada langkah yang diidentifikasi bersifat mikro, langsung menyentuh masyarakat miskin dan dapat dilakukan oleh pemerintah daerah selaras dengan era desentralisasi. Pada Bab awal di bagian ini dilakukan analisa atas beberapa dokumen penting yang perlu dirujuk dan dijadikan dasar untuk penyusunan strategi ke depan dilanjutkan dengan pemaknaan kembali atas arti dari pro poor growth. Pertumbuhan yang pro poor sangat penting untuk menjadikan masyarakat miskin bagian dari proses pertumbuhan dan member kesempatan bagi masyarakat miskin untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan (moving out of poverty), sehingga tidak tergantung dan terjebak pada bantuan sosial.
13
BAGIAN II. PERTUMBUHAN YANG PRO- MASYARAKAT MISKIN (PRO-POOR GROWTH)
Selama kurun waktu pelaksanaan RPJM 2004-2009, penanggulangan kemiskinan senantiasa menjadi prioritas utama pembangunan nasional. Namun demikian, penurunan angka kemiskinan selama kurun waktu tersebut berjalan lambat, rata-rata hanya sekitar 0,7 persen setiap tahunnya. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2008 tercatat masih sebesar 34,96 juta atau sekitar 15,42 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Sebagai negara yang telah berkomitmen pada kesepakatan global Millenium Development Goals (MDGs), Indonesia perlu menyiapkan strategi penanggulangan kemiskinan yang lebih efektif dan berkesinambungan untuk pembangunan jangka menengah periode 2010-2014 agar target penurunan tingkat kemiskinan MDGs sebesar 7,5 persen pada akhir tahun 2015 dapat tercapai. Kemiskinan di Indonesia merupakan permasalahan multidimensi. Meskipun beberapa indikator menunjukkan adanya perbaikan, namun jika dibandingkan dengan beberapa negara di Asia dan Asia Tenggara, IPM Indonesia setelah krisis ekonomi cenderung melambat dan bahkan tertinggal dibandingkan negara-negara seperti Malaysia, Thailand, Philipina, dan Vietnam. Untuk angka kematian ibu melahirkan misalnya, Indonesia menempatkan posisi tertinggi di Asia Tenggara pada tahun 2007. Berbagai indikator lainnya seperti angka kematian bayi, kematian balita, partisipasi sekolah, akses kepada air bersih dan air minum, anak pekerja, dan sebagainya terutama pada kelompok penduduk sangat miskin dan miskin masih jauh tertinggal. Lebih lanjut, kemiskinan di Indonesia juga ditandai oleh ketimpangan. Pada awalnya, pertumbuhan ekonomi dianggap dapat memicu terjadinya trickle-down effect yang diharapkan dapat berdampak mengurangi masalah kemiskinan. Namun dalam perkembangannya, pertumbuhan ekonomi tanpa kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin (pro-poor) hanya akan menghasilkan masalah kesenjangan yang semakin lebih lebar antar golongan pendapatan di berbagai daerah. Meskipun perekonomian berkembang, keluarga terutama dengan kemiskinan kronis tetap sulit keluar dari perangkap kemiskinan karena ketidakmampuan atau mendapat manfaat dari pertumbuhan yang ada. Sementara itu, transformasi struktural merupakan prasyarat dari peningkatan dan kesinambungan pertumbuhan dan penanggulangan kemiskinan, sekaligus pendukung bagi kelanjutan pembangunan. Pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak disertai dengan perubahan struktur tenaga kerja yang berimbang, artinya titik balik untuk aktivitas ekonomi tercapai lebih dahulu dibanding titik balik penggunaan tenaga kerja. Sehingga terjadi masalahmasalah yang seringkali diperdebatkan diantaranya apakah pangsa PDB sebanding dengan penurunan pangsa serapan tenaga kerja sektoral dan industri mana yang berkembang lebih cepat, agroindustri atau industri manufaktur. Apabila transformasi kurang seimbang dikuatirkan akan terjadi proses pemiskinan dan eksploitasi sumber daya manusia pada sektor primer. Dalam pasar yang tidak sempurna, ketimpangan akan berdampak pada kesempatan yang tidak sama dan alokasi sumberdaya yang tidak efisien. Seseorang yang memiliki kesempatan berinvestasi yang sama akan dapat meminjam untuk memperbesar produksi dan pada gilirannya 14
menjual dan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa perluasan akses khususnya kepada masyarakat miskin akan mendorong keberdayaan mereka dalam menanggulangi permasalahan kemiskinannya. Di Mexico misalnya, return of capital jauh lebih tinggi pada sektor usaha informal dibandingkan usaha yang lebih besar. Di Ghana, jaminan kepemilikan tanah yang lebih rendah menyebabkan lebih rendahnya produktivitas lahan. Pemberian kredit mikro kepada keluarga sangat miskin pada Grameen Bank di Bangladesh dan India terbukti menjadi jalan keluar dari lingkaran kemiskinan bagi banyak keluarga miskin di negara tersebut. Salah seorang pemenang Nobel bidang ekonomi, Amartya Sen, kemudian memperluas pemahaman terhadap penanggulangan kemiskinan dengan kapabilitas yang diartikan bahwa keberdayaan seseorang untuk menentukan hidupnya berdasar pada nilai-nilai yang dipahaminya melalui perbaikan seperti fungsi sosial, pendidikan, kesehatan serta kualitas hidup. Pertumbuhan ekonomi akan berdampak positif terhadap penanggulangan kemiskinan hanya apabila keluarga miskin ikut ambil bagian dalam pertumbuhan tersebut. Sementara secara makro, proses transformasi structural perekonomian Indonesia, masih harus diselesaikan dengan perkembangan kondisi dan kualitas sumber daya manusia yang terus meningkat, dalam tataran mikro dan lokal, sejalan dengan keragaman lokal dan desentralisasi, masih banyak peluang yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesempatan usaha dan pendapatan masyarakat miskin dan masyarakat yang berada di sekitar garis kemiskinan. Berkaitan dengan itu, eksploitasi tentang pertumbuhan yang pro-masyarakat miskin atau yang pro terhadap penanggulangan kemiskinan lebih banyak mencari langkah mikro dan konkrit dilapangan yang dapat dilakukan dalam kondisi yang ada saat ini, tanpa banyak melakukan perubahan fundamental dan structural perekonomian secara makro. Langkah ini dipilih karena berdasarkan pengalaman dan diskusi yang ada, banyak dilakukan langkah-langkah konkrit oleh berbagai komponen masyarakat yang sudah secara nyata dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Sehubungan dengan itu, dalam Bab III dilakukan analisa terhadap dokumen-dokumen yang dinilai strategis untuk memaknai arah kebijakan pemerintah tentang penanggulangan kemiskinan sebagai landasan untuk mencari makna pertumbuhan yang pro masyarakat miskin (pro-poor growth). Pada Bab IV diuraikan tentang strategi dasar pertumbuhan yang pro masyarakat miskin. Pada Bab V yang merupakan bab terakhir dalam bagian ini, diuraikan lebih lanjut langkah-langkah yang dapat disusun sebagai aksi konkrit yang berhasil untuk dilakukan dan dapat segera dilakukan di daerah-daerah untuk membuat pertumbuhan ekonomi di daerah dilakukan dan dinikmati masyarakat secara lebih luas dan terutama oleh masyarakat miskin.
15
BAB III PEMAKNAAN KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PERTUMBUHAN YANG PRO MASYARAKAT MISKIN
Untuk dapat menyusun pengertian mengenai pro poor growth, diperlukan pemaknaan terhadap dokumen-dokumen yang menjadi landasan arah kebijakan, sehingga langkah-langkah yang diidentifikasi dan disusun akan sejalan dengan arah kebijakan penanggulangan kemiskinan dan pembangunan secara keseluruhan. Sehubungan dengan itu, dalam bagian berikut, dilakukan analisis atas 3 (tiga) dokumen strategis sebagai landasan dalam menyusun pro-poor growth, untuk mencari makna dan definisi tentang pro-poor growth. 3.1.
ANALISIS DOKUMEN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Terdapat 3 (tiga) dokumen yang dinilai strategis dan relevan untuk dianalisa agar dapat memahami kemiskinan dan kebijakan yang telah dan masih perlu dilakukan, ataupun untuk mengidentifikasi kebijakan baru yang diperlukan untuk mempercepat penurunan kemiskinan. Ketiga dokumen tersebut adalah: Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), Laporan Background Study RPJM yang disusun oleh Direktorat Penanggulangan Kemiskinan, dan Buku Visi Misi SBY-Boediono yang diluncurkan pada masa kampanye Presiden beberapa waktu yang lalu. 3.1.1.
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK)
Paling tidak terdapat dua bagian dalam SNPK yang terkait dengan masalah pertumbuhan, yaitu kelompok program “Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi” dan “Perluasan Kesempatan Kerja dan Berusaha”. Secara implisit, kedua hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja/ berusaha merupakan kunci dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Di bawah kelompok program “Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi” terdapat beberapa program besar dengan beberapa rincian sbb: 1. Pengembangan investasi, dengan kegiatan: (i) Pengembangan sistem insentif bagi calon investor; (ii) Penyederhanaan pelayanan dan perizinan; (iii) Sinkronisasi kebijakan, khususnya untuk daerah tertinggal dan perbatasan; (iv) Revitalisasi kelembagaan penanaman modal untuk memberikan kemudahan bagi (calon) investor; (v) Pembatalan peraturan yang menghambat investasi; dan (vi) Penghapusan hambatan, pemerasan dan pungutan liar. 2. Peningkatan produktivitas, dengan kegiatan: (i) Pengembangan agribisnis; (ii) Pengembangan agro-industri; (iii) Revitalisasi industri kecil-menengah; (iv) Penguatan lembaga pertanian dan perdesaan; (v) Revitalisasi penyuluhan dan pendampingan; dan (vii) Pencegahan konversi lahan pertanian produktif. 16
3. Perluasan perdagangan, dengan kegiatan: (i) Penyederhanaan prosedur ekspor dan impor; (ii) Penghapusan peraturan yang menghambat perdagangan antar-daerah; (iii) Pengamanan jalur distribusi dari kriminalitas, pungutan liar dan pemerasan; dan (iv) Peningkatan promosi dan kerjasama internasional. 4. Pembangunan infrastruktur, dengan kegiatan: (i) Rehabilitasi dan pemeliharaan jalan dan jembatan di perdesaan; (ii) Restrukturisasi pengelolaan jalan tol, pelabuhan, bandar udara, terminal dan stasiun; (iii) Peningkatan layanan sarana prasarana (energi, listrik, air, telekomunikasi) bagi masyarakat miskin; dan (iv) Peningkatan aksesabilitas pemanfaatan sarana dan prasarana bagi masyarakat perdesaan dan kawasan tertinggal. Sementara itu, dalam kelompok program “Perluasan Kesempatan Kerja dan Berusaha teradapat beberapa program dengan rincian sbb: 1. Penciptaan lapangan kerja, dengan kegiatan: (i) Penyediaan skim-skim pembiayaan alternatif bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi (UMKMK); (ii) Dukungan bagi pengembangan Lembaga Keuangan Mikro; (iii) Penguatan Lembaga Keuangan Mikro; (iv) Penciptaan iklim yang kondusif bagi UMKMK; (v) Penungkatan kapasitas, kapabilitas dan efisiensi usaha; (vi) Pemberian kepastian kegiatan dan lokasi usaha serta perlindungan dari praktek-praktek curang; (vii) Penguatan UMKMK; (viii) Penyediaan kemudahan dan pembinaan untuk memulai usaha; (ix) Revitalisasi dan perluasan usaha perkebunan, perikanan dan peternakan; (x) Pengembangan off farm di perdesaan; (xi) Perluasan usaha di kawasan pesisir dan daerah tertinggal; (xii) Pengembangan industri yang menyerap banyak tenaga kerja; (xiii) Pembangunan infrastruktur untuk menyerap tenaga kerja; dan (xiv) Peningkatan kerjasama bursa kerja dan perusahaan. 2. Peningkatan produktivitas tenaga kerja, dengan kegiatan: (i) Pengembangan teknologi tepat guna sesaui dengan sumberdaya lokal; (ii) Pembinaan dan pendampingan usaha kecil/ mikro; (iii) Revitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK); (iv) Penumbuhan kembali sistem penyuluhan pertanian; (v) Pengembangan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja; (vi) Pengembangan standar kompetensi kerja melalui lembaga pendidikan dan pelatihan; dan (vii) Pengembangan standar kompetensi dan sertifikasi pekerja. 3. Peningkatan produktivitas usaha, dengan kegiatan: (i) Penciptaan iklim yang kondusif bagi usaha mikro-kecil; (ii) Penyediaan dan penguatan lembaga pendukung (teknologi, pasar, dan informasi) usaha mikro-kecil; (iii) Penggalangan pengusaha mikro dan kecil untuk berkoperasi; dan (iv) Pembinaan sentra-sentra produksi/ klaster disertai dukungan infrastruktur yang memadai.
3.1.2. Background Study untuk RPJM Dalam hal program/ kebijakan, background study sangat konsisten dengan SNPK. Dua aspek yang dapat ditampilkan di sini adalah terkait dengan “Strategi dan Arah Kebijakan” dan tentang “Pro Poor Growth”. Ada beberapa poin penting terkait dengan strategi dan arah kebijakan, yaitu: 17
1. 2. 3.
Peningkatan pertumbuhan sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja dan efektif menurunkan kemiskinan (pro poor growth) Pelengkapan dan penyempurnaan upaya penanggulangan kemiskinan, terutama terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar Peningkatan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah
Khusus tentang pertumbuhan yang pro-rakyat miskin, background study memberikan beberapa pemahaman yang mengarah pada definisi operasional tentang pro-poor growth, yaitu: 1. Pengembangan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor yang berdampak signifikan terhadap penurunan kemiskinan 2. Pertumbuhan ekonomi diarahkan pada sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja 3. Pertumbuhan ekonomi diselaraskan dengan komposisi angkatan kerja baru (pendidikan semakin tinggi), sehingga mampu memnyediakan lapangan pekerjaan yang berkualitas bagi mereka 4. Pertumbuhan ekonomi diarahkan pada industri yang banyak menggunakan tenaga kerja lokal 3.1.3. Program Aksi dalam Visi Misi SBY-Boediono 2009-2014 Paling tidak ada dua aspek dalam Visi Misi SBY-Boediono yang relevan dengan tulisan ini, yakni “Penanggulangan Kemiskinan” dan “Penciptaan Lapangan Kerja”. Dalam hal penanggulangan kemiskinan, terdapat beberapa arah kebijakan sbb: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Peningkatan dan penyempurnaan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Pengarus-utamaan PNPM (program-program penanggulangan kemiskinan menggunakan pendekatan partisipatif atau bottom up yang menjadi “jiwa” PNPM) Penyempurnaan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Penyediaan beras murah Pengembangan program berlapis (Jamkesmas, BOS, PKH, BLT, PNPM, Raskin) Pemihakan kepada UKMK, antara lain melalui peningkatan akses terhadap modal
Sementara itu, meskipun tidak secara langsung terkait dengan penanggulangan kemiskinan, beberapa arah program penciptaan lapangan kerja juga dapat dipandang sebagai bagian dari program penanggulangan kemiskinan, antara lain: (i) Peningkatan kualitas pekerja; (ii) Perbaikan iklim investasi; (iii) Pemihakan kepada UKM; (iv) Pembangunan infrastruktur fisik; (v) Perluasan pasar domestik; (vi) Pemanfaatan pasar regional; (vii) Pengembangan industri kreatif dan pariwisata; dan (viii) Pembangunan kawasan ekonomi khusus. Dari arahan-arahan diatas, dapat dimaknai bahwa : Penanggulangan kemiskinan melalaui pro-poor growth harus melalui kegiatan produktif, melalui usaha dan pekerjaan yang memberikan peningkatan pendapatan kepada masyarakat miskin. Didalam SNPK mengisyaratkan bahwa pengembangan investasi baik penyediaan iklim investasi yang bersifat deregulasi dan penyediaan infrastruktur maupun peningkatan produktivitas di bidang pertanian dan usaha perdesaan maupun perdagangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk penanggulangan kemiskinan. Hal ini dipertegas dengan kebijakan dan program perluasan kesempatan kerja dan berusaha yang mengembangkan kesempatan kerja dan berusaha bagi usaha skala mikro, kecil dan 18
menengah. Didalam background study untuk RPJMN, keinginan lebih pro-poor dipertegas dengan perlunya memerikan pertumbuhan pada sector-sektor yang banyak menyerap tenaga yang tersedia, sejalan dengan perkembangan SDM yang ada dan efektif menurunkan kemiskinan atau meningkatkan pendapatan masyarakat miskin. Berkaitan dengan itu, setelah masyarakat miskin bekerja dan masih belum mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, maka upaya untuk menambah pemenuhan kebutuhan dasar dilakukan sebagai bentuk keberpihakan dan afirmasi yang bersifat targetted. Bentuk afirmasi yang targeted merupakan “ranah” Bidang III pemenuhan hak dasar bagi masyarakat miskin.
3.2.
MAKNA DAN KARAKTERISTIK PRO POOR GROWTH
Berdasarkan arahan tersebut, di atas, sebuah kerangka pemikiran yang mencakup dan memposisikan berbagai program penanggulangan kemiskinan diperlukan agar semua pihak, khususnya para pelaksana program, mendapatkan gambaran yang jelas tentang posisi masingmasing program dalam konteks penanggulangan kemiskinan. Secara keseluruhan kerangka pendataan, ke empat isu penting, salah satunya pro-poor growth sudah digambarkan di dalam Bagan 2 pada Bab II di depan. Kerangka pemikiran yang sama tersebut diperlukan untuk meyakinkan semua pihak bahwa tidak ada “lubang”, atau hal yang terlewat, baik berupa aspek tertentu dari persoalan kemiskinan yang belum tertangani, atau belum adanya program untuk menanganinya. Dengan menggunakan ada dua persoalan mendasar yang dihadapi oleh penduduk miskin, yaitu: (i) pendapatan yang terlalu rendah; dan (ii) beban pengeluaran yang terlalu tinggi (relatif terhadap pendapatan mereka), maka Pro-poor growth atau pertumbuhan yang pro-rakyat miskin merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan pendapatan penduduk miskin. Tidak berarti bahwa seluruh upaya pertumbuhan hanya untuk masyarakat miskin, namun kelompok masyarakat ini perlu mendapat perhatian khusus. Perhatian khusus diperlukan karena meskipun berbagai kebijakan dan program yang bersifat umum sudah dilakukan, namun ternyata kelompok ini masih juga belum mampu menikmati kesejahteraan dengan standar yang minimal untuk menjaga kelangsungan hidup. Sehingga diperlukan kebijakan dan/atau program yang khusus ditujukan untuk mereka. Dengan demikian, secara sederhana, pertumbuhan pro-rakyat miskin dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang mampu meningkatkan pendapatan penduduk miskin dan pada gilirannya mampu mengeluarkan mereka dari perangkap kemiskinan secara berkelanjutan. Dengan adanya proses pertumbuhan ekonomi yang pro-rakyat miskin, proses transformasi struktural1 perekonomian Indonesia diharapkan tidak “meninggalkan” kelompok penduduk miskin, apalagi menjadikan mereka sebagai “korban”. Dengan pemahaman seperti itu, pertumbuhan yang pro-rakyat miskin setidaknya harus memiliki beberapa karakteristik sbb:
1
Yang dimaksud dengan tarnsformasi struktural adalah perubahan struktur perekonomian (meliputi struktur output, ketenagakerjaan, pendapatan, ekspor/impor, dsb) seiring dengan peningkatan pendapatan dari waktu ke waktu.
19
1.
2.
3.
Tidak menyingkirkan orang miskin dari proses pertumbuhan. Artinya, proses pertumbuhan ekonomi hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tidak miskin dan malahan tidak memberi tempat kepada masyarakat miskin/meminggirkan. Hal ini merupakan kriteria minimal bagi sebuah pertumbuhan ekonomi untuk dapat disebut sebagai pro rakyat miskin. Memberikan dampak positif bagi rakyat miskin berupa peningkatan kesejahteraan. Sebagaimana tercermin dalam Kerangka Pemikiran tsb di atas, peningkatan kesejahteraan dalam hal ini dapat berupa peningkatan pendapatan maupun dalam bentuk pengurangan beban pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidup. Melibatkan orang miskin dalam proses pertumbuhan. Dengan melibatkan orang miskin dalam proses pertumbuhan, proses penanggulangan kemiskinan akan berjalan secara berkelanjutan, karena penduduk miskin mendapatkan akses terhadap lapangan kerja yang layak bagi kehidupannya.
20
BAB IV STRATEGI DASAR PERTUMBUHAN YANG PRO MASYARAKAT MISKIN (PRO POOR GROWTH)
Dengan menggunakan definisi dan karakteristik dan karakteristik dari pertumbuhan yang pro rakyat miskin sebagaimana dijelaskan di atas, maka secara lebih spesifik, kebijakan untuk mendorong pertumbuhan diharapkan dapat diwujudkan dengan beberapa prinsip dasar sbb: 1.
Mendorong yang kecil, tetapi tidak anti yang besar. Pemihakan terhadap UMKM, seperti yang tercantum dalam berbagai dokumen perencanaan, tidak berarti pemerintah “memusuhi” pengusaha besar. Keduanya (UMKM dan usaha besar) dipandang sebagai aset negara yang mampu memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional, khususnya penanggulangan masalah kemiskinan. Jika memungkinkan, akan didorong terjadinya sinergi antara usaha besar dengan UMKM. Kalau pun hal itu tidak dapat dilakukan, paling tidak keberadaan usaha besar diharapkan tidak berdampak negatif terhadap eksistensi UMKM.
2.
Mendorong pertumbuhan sektor-sektor atau lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja dari kelompok penduduk miskin. Dengan kata lain, pemerintah melakukan upaya-upaya secara sengaja untuk mendorong sektor-sektor atau lapangan usaha tersebut, karena mereka mampu melibatkan penduduk miskin dalam proses produksi/ pertumbuhan sehingga diharapkan mampu menjadi bagian dari penyelesaian persoalan kemiskinan secara berkelanjutan.
3.
Mendorong pertumbuhan sektor-sektor atau lapangan usaha yang memberikan dampak positif bagi kesejahteraan penduduk miskin.
4.
Memberikan akses bagi penduduk miskin terhadap aset-aset produktif milik negara dengan tetap memperhatikan tertib administrasi penguasaan/ kepemilikan asset.
Untuk menjalankan prinsip dasar tersebut, maka (dua) strategi yang ditempuh adalah: (i) Melakukan penajaman terhadap strategi atau dasar untuk program yang telah dilakukan dan (ii) menempuh beberapa langkah baru. Beberapa hal yang mendasari hal-hal yang disampaikan di dalam kedua strategi tersebut adalah: 1. Karakteristik kemiskinan yang beragam dan lokal. Penanggulangan kemiskinan yang sudah diselesaikan pada masa lalu sudah dapat menghilangkan hambatan yang bersifat dasar dan dialami oleh semua lapisan masyarakat sehingga dapat dilakukan dalam skala yang besar. Sehubungan dengan itu masalah kemiskinan yang belum dapat diselesaikan adalah “sisa-sisa” masalah yang perlu penanganan yang spesifik, dan/atau masalah baru sebagai dampak dari perkembangan diberbagai bidang yang ada terhadap masyarakat yang berada pada lapisan bawah serta masalah yang timbul karena perkembangan tantangan baru. Salah satu tantangan baru Pada saat ini adalah 21
dengan semakin berkembangnya ragam kebutuhan hidup sejalan dengan perkembangan kualitas hidup pada umumnya, maka kebutuhan-kebutuhan untuk menanggulangi kemiskinan semakin beragam pula di setiap daerahnya. Sehubungan dengan itu, penyelesaian masalah kemiskinan tersebut juga membutuhkan penanganan yang berbeda dari setiap lokasi ke lokasi lain dan skalanya semakin bersifat lokal pula. Sehubungan dengan itu, kebijakan dan program yang sudah dirumuskan di dalam RPJM dan RKP perlu dipertajam penanganannya dan disesuaikan dengan kebutuhan lokal. 2. Semakin meningkatnya kerentanan, baik yang timbul dari gejolak sosial, bencana alam maupun gejolak ekonomi, membutuhkan ketahanan dan kemampuan masyarakat agar “mandiri” dan mendasarkan pada keberdayaan diri untuk bisa secara bertahap dan sustainable mengentaskan dirinya sendiri dari kemiskinan. 3. Desentralisasi pemerintahan juga membawa pengaruh pada penanggulangan kemiskinan. Kebijakan dan program nasional dilaksanakan oleh Pemda di 33 provinsi dan lebih dari 500 kabupaten/kota, dengan berbagai keragamannya. Keragaman di sisi masyarakat miskin sudah digambarkan di dalam butir 1 di atas. Berkaitan dengan desentralisasi, keragaman berada di sisi supply atau pemerintahan, yaitu: a. Keragaman periode pembangunan jangka menengah yang dipengaruhi oleh adanya Pilkada antar daerah dan waktunya beragam di setiap daerah berpengaruh terhadap jeda waktu antar daerah antar periode pembangunan. b. Keragaman waktu ini juga berpengaruh pada perbedaan penekanan pembangunan antar periode yang sangat dipengaruhi oleh misi Kepala Daerah pada masa kampanye. c. Interaksi antara Pemda dengan DPRD yang juga berbeda-beda, baik waktu maupun ragam partai diantara keduanya, yang sedikit banyak juga berpengaruh pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan dan program di setiap daerah. Dalam hal ini termasuk, interaksi antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, yang bisa juga memiliki keragaman antar kabupaten/kota tersebut. 4. Masih ada segmen dan sumberdaya yang ada di dalam masyarakat yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk melakukan langkah-langkah penanggulangan kemiskinan yang semakin membutuhkan kerjasama yang terpadu dan penanganan yang lebih spesifik. Secara keseluruhan, hal-hal tersebut di atas akan memberi tantangan besar pada pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan dan program serta pelaksanaan di daerahdaerah. Meskipun demikian, secara positif ini juga memberi peluang untuk menyusun program dan penajaman program dan kegiatan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah dan masyarakat miskin yang beragam sebagaimana disebutkan di atas. Demikian pula, hal-hal baru yang akan diusulkan adalah sebagai konsekuensi dari keragaman tersebut, khususnya menawarkan langkah-langkah yang bersifat sepesifik dan bisa diputuskan serta dilakukan secara lokal, dan ditempuh dengan sumberdaya yang selama ini mungkin belum dimanfaatkan secara optimal.
22
Sebelum menguraikan satu per satu, secara ringkas langkah-langkah dalam kedua strategi tersebut dan keterkaitannya disampaikan di dalam Bagan 1 berikut ini. Strategi penajaman atas program-program yang sudah ada dimaksudkan untuk lebih diberikan perhatian kepada masyarakat miskin dalam rangka meningkatkan pendapatan mereka. Berbagai program dalam penanggulangan yang terdapat dalam 3 kluster, program penanggulangan kemiskinan dan di koordinir melalui tim koordinasi penanggulangan kemiskinan akan dapat memberi bekal kehidupan minimum, namun tanpa kegiatan produktif yang memperlancar dan memperbesar arus pendapatan, masyarakat yang sudah dibantu tersebut tidak akan terentas dari kemiskinan, dan/atau bahkan akan terus tergantung kepada program 3 kluster tersebut. Sehubungan dengan itu, penajaman perlu dilakukan dengan: (i) mengembangkan secara serius industrialisasi perdesaan dan pengembangan kegiatan off-farm. Hal ini terdengar klise karena selama ini sudah dilakukan, namun belum nampak ada dukungan yang nyata di perdesaan untuk meningkatkan nilai tambah dan mencegah urbanisasi; (ii) melakukan pemihakkan secara kepada UMKM. Masalah modal dan pemasaran yang biasanya menjadi kendala usaha mikro dan kecil perlu ditangani secara nyata. Sumber permodalan yang selama ini hanya mengadalkan sistem perbankan, belum dapat diakses oleh masyarakat miskin yang akan memulai usaha. Berbagai bentuk pinjaman kepada kelompok masyarakat yang dilayani oleh semacam lembaga keuangan mikro belum memiliki wadah dan dasar legal untuk dapat dikelola dengan lebih baik, tanpa harus masuk ke dalam bentuk bank. Padahal usaha mikro sebagai langkah awal untuk memulai usaha bagi masyarakat miskin biasanya memerlukan dana kecil namun mudah dan cepat pelayanannya; (iii) sektor informal yang secara signifikan menjadi penyerap sektor sebagian besar tenaga kerja juga belum mendapat penanganan yang memadai dari pemerintah. Penamaan sektor informal menandakan bahwa kebijakan yang bersifat formal biasanya belum banyak dapat menyentuh usaha ini, padahal kontribusi sektor ini yang menjadi sumber pendapatan 63 persen tenaga kerja merupakan jaring pengaman bagi masyarakat miskin; (iv) pengembangan koperasi yang sebetulnya potensial untuk membangun skala usaha yang memadai bagi masyarakat miskin, juga nampak kurang tertangani sejak adanya berbagai kegagalan dalam penanganan KUD yang semula bagus namun menjadi “overloaded” dengan adanya berbagai privilage yang diberikan kepada koperasi. Privillage inilah yang menimbulkan berbagai moral hazard dari pengelola, yang lebih mementingkan kebutuhan sendiri dibanding anggota koperasi. Dengan berbagai penajaman pada bidan-bidang tersebut, kemiskinan yang masih melingkupi 32 juta manusia Indonesia dapat diharapkan ditingkatkan kesejahteraannya. Di dalam penambahan program baru, tidak berarti merupakan langkah baru yang tidak/belum ada di lapangan. Langkah-langkah yang diusulkan sudah dilaksanakan dalam skala kecil dan tersebar serta dirasakan membantu, namun belum mendapat tempat di dalam kebijakan dan upaya penanggulangan kemiskinan pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan adanya keberhasilan ini dirasakan perlu bagi pemerintah untuk meningkatkan skala penyebaran ke daerah lain, untuk membantu mengangkat kesejahteraan masyarakat miskin. Beberapa program baru yang perlu ditambahkan adalah: (i) mendorong sektor non pemerintah dalam pembangunan infrastruktur; (ii) mendorong peran swasta dalam peningkatan kualitas tenaga kerja dan kewirausahaan; (iii) pengembangan unit usaha akar rumput (grassroot business organization); (iv) membuka akses penduduk miskin terhadap pekerjaan yang layak secara legal; (v) peningkatan koordinasi antar instansi pemerintah; dan (vi) pengembangan potensi pendanaan
23
non pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan. Usulan kegiatan dalam kedua kelompok ini digambarkan di dalam Bagan 4.3. dan diuraikan dalam bagian berikutnya.
Industrialisasi perdesaan dan pengembangan kegiatan off farm Pengembangan/ pemihakan terhadap UMKM
Penajaman program Pengembangan sektor informal di perkotaan. Pengembangan koperasi. Mendorong peran sektor non-pemerintah dalam penyediaan infrastruktur. Mendorong peran sektor swasta dalam peningkatan kualitas tenaga kerja dan kewirausahaan
Penambahan progam baru
Peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin di tingkat lokal
Pengembangan unit usaha akar rumput (grassroot business organization atau GBO). Membuka akses penduduk miskin terhadap pekerjaan yang layak secara legal Peningkatan koordinasi antar instansi pemerintah Pengembangan Potensi Pendanaan Non Pemerintah untuk Penanggulangan Kemiskinan
Bagan 4.3. Penajaman dan Penambahan program Baru untuk membuat pertumbuhan lebih pro poor
4.1.
PENAJAMAN STRATEGI YANG SUDAH BERJALAN
Seperti disampaikan di bagian terdahulu, ada beberapa strategi/ program yang telah tercantum dalam beberapa dokumen perencanaan dan telah berada dalam jalur yang benar, tetapi diperlukan penajaman atau pelaksanaan lebih lanjut tentang bagaimana strategi/program tsb dijalankan. Beberapa penajaman yang dimaksud adalah: 4.1.1. Industrialisasi perdesaan dan pengembangan kegiatan off farm. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, perekonomian perdesaan perlu terus dikembangkan agar tidak terlalu tergantung pada sektor pertanian (on farm). Selain cenderung sudah ‘jenuh’ dan sulit menyerap tenaga kerja baru, sektor pertanian juga kurang mampu memberikan penghasilan yang 24
layak kepada pekerjanya, khususnya yang berstatus informal. Menurut Cuevas et al (2008), ratarata upah sebulan buruh informal (casual worker) pada tahun 2007 di sektor pertanian adalah Rp 400.000,-, sedangkan untuk sektor non pertanian adalah sekitar Rp 615.000,-. Proses transformasi perekonomian (dari sektor pertanian ke sektor non pertanian) tersebut perlu ”dikawal” agar tidak hanya tidak berdampak negatif terhadap penduduk miskin di perdesaan, tetapi juga mampu meningkatkan kesejahteraannya. Pengembangan usaha off farm termasuk jasa pengelolaan dan perdagangan hasil pertanian, juga merupakan “pathway” for moving out of poverty bagi masyarakat di perdesaan (SMERU,2008) Industrialisasi perdesaan harus dilakukan dengan melibatkan penduduk desa, khususnya yang bestatus miskin, sehingga mereka mampu menjadi aktor/ subyek dalam proses pertumbuhan serta menikmati hasil proses tersebut secara adil. Strategi industrialisasi perdesaan dapat diimplementasikan, antara lain, melalui beberapa program pengembangan industri kecil/ kreatif dan pariwisata di perdesaan berbasis potensi lokal. Program ini diprioritaskan bagi desa-desa yang memiliki potensi industri kecil/ kreatif dan/atau wisata (Kotak 4.1). Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa jika dikemas dengan baik, banyak desa yang dapat dikembangkan menjadi lokasi tujuan wisata yang tidak hanya menguntungkan para investor, tetapi juga melibatkan dan berdampak positif bagi penduduk desa, termasuk mereka yang berasal dari kelompok miskin. Pengembangan desa wisata dapat dilakukan secara bottom up (seperti mainstream PNPM) berdasarkan praktek-praktek baik (good practices) yang telah ada di berbagai daerah. Investor swasta dapat dilibatkan dengan tetap menempatkan pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagai regulator dan fasilitator. Kotak 4. 1. Desa Wisata Cinangneng, Bogor Di desa wisata Cinangneng, Kabupaten Bogor, pengunjung antara lain diajak berjalan-jalan keliling kampung untuk melihat dan belajar menanam dan memanen padi, menggarap tanah, memandikan kerbau, membuat kue tradisional, membungkus nasi timbel, bermain angklung, membuat wayang dari daun singkong, dsb. Secara konseptual, yang paling menarik adalah membiarkan warga desa untuk hidup “normal” dengan “rekayasa” yang minimal, sehingga penduduk desa dapat terlibat dan mendapatkan keuntungan finansial dari kegiatan yang diadakan oleh desa wisata tanpa harus keluar dari “akar”-nya. Menunjukkan bahwa kehidupan normal penduduk desa dapat menjadi obyek wisata yang menarik. Catatan: Model desa wisata seperti ini juga dapat ditemukan di beberapa daerah lain. Sumber: http://www.puncakview.com
4.1.2. Pengembangan/ pemihakan terhadap UMKM. Pemihakan terhadap UMKM dapat dilakukan melalui beberapa hal berikut ini: (1) mendindak tegas pelaku pungutan liar, pemerasan dan perlakuan tidak adil bagi UMKM, (2) mendorong penyederhanaan birokrasi perizinan untuk memulai dan menjalankan usaha, khususnya pelaku UMKM, (3) mendorong ekspor UKM melalui pemanfaatan pasar regional, baik ekspor langsung maupun melalui pengembangan fungsi trading house agar mampu memfasilitasi ekspor UKM tanpa mengeksploitasi UKM, (4) mendorong pembentukan koperasi dan/atau asosiasi pengusaha kecil-menengah untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) UMKM, (5) mendorong pertumbuhan pasar tradisional melalui perbaikan sarana prasarana, tetapi dengan mempertahankan karakteristik pasar tradisional. Selain itu, pengembangan UMKM juga dilakukan melalui berbagai upaya pengembangan dan penguatan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Pengembangan LKM dilakukan melalui pembenahan kerangka peraturan (regulatory framework), termasuk di dalamnya penyusunan Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, untuk: (1) melindungi 25
nasabah simpanan LKM dari praktek-praktek curang yang dilakukan oleh pengelola LKM, (2) mendorong LKM menyalurkan kredit mikro bagi pengusaha kecil dan mikro, (3) menjamin akses usaha kecil dan mikro terhadap kredit yang disalurkan oleh LKM, serta (4) mendorong keterkaitan (linkage) antara LKM dengan perbankan untuk memperkuat struktur pendanaan LKM dalam menyalurkan kredit mikro. 4.1.3. Pengembangan sektor informal, khususnya di perkotaan. Secara kuantitatif, penduduk miskin masih lebih banyak yang tinggal di perdesaan (lihat Grafik 4.1.), dan sebagian besar di antara mereka diduga menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian informal. Grafik 2 menunjukkan bahwa di antara para pekerja informal di perdesaan, 29 persen penduduk masuk kategori miskin, sedangkan di perkotaan persentasenya ‘hanya’ sekitar enam persen. Ada dua persoalan mendasar terkait keberadaan sektor informal. Pertama, dari aspek legalitas usaha, sektor informal, khususnya di perkotaan, secara umum masih dianggap sebagai usaha yang melanggar hukum (illegal). Ilegalitas usaha sektor informal terutama dikaitkan dengan peraturan daerah (Perda) tentang ‘ketertiban dan keindahan’. Pandangan ini berimplikasi pada tidak adanya pengakuan bahwa sektor informal merupakan bagian dari lapangan pekerjaan, dan yang lebih serius dari ini, ada upaya untuk ‘menyingkirkan’ sektor informal dari kehidupan di perkotaan melalui aktivitas ‘penertiban’ yang sebenarnya merupakan ‘penggusuran’. Kebijakan penyingkiran sektor informal ini bertolak dari paradigma bahwa lahan/aset milik negara tidak dapat dipergunakan oleh masyarakat, termasuk dan khususnya bagi kelompok miskin yang secara obyektif tidak mampu membeli atau menyewa asset/lahan milik negara tersebut2.
Sumber: World Bank Office Indonesia Poverty Team (2008)
Grafik 4.1. Proporsi Pekerja Informal Menurut Status Persoalan kedua, sektor informal belum mampu memberikan imbalan yang layak bagi para pekerjanya. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada tahun 2007 pekerja mandiri rata-rata hanya memperoleh penghasilan sekitar Rp 713.000,- sebulan, buruh informal di sektor non 2
Usulan tentang perubahan paradigma terkait aset milik negara dibahas di bagian lain laporan ini.
26
pertanian mendapat penghasilan sebulan sekitar Rp 630.000,-, sedangkan buruh informal di sektor pertanian hanya memperoleh Rp 420.000,- sebulan. Dengan asumsi bahwa setiap pekerja menanggung satu anggota rumah tangga (selain dirinya) saja, mereka merupakan kelompok penduduk miskin, atau lebih spesifik: pekerja miskin. Mereka tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan, meskipun secara statistik mereka berstatus sebagai pekerja (bukan penganggur). Tabel 4.1. Median dan Rata-rata Pendapatan Sebulan Pekerja Berdasarkan Status Pekerjaan Status Pekerjaan
Median (Rp) Rata-rata (Rp) Laki-Laki Perempuan Laki-laki Perempuan Pekerja mandiri 520.000 310.000 713.324 487.713 Buruh/karyawan 800.000 602.500 1.109.641 826.878 Pekerja bebas pertanian 340.000 200.000 419.997 291.420 Pekerja bebas non pertanian 600.000 165.000 631.873 377.956 Sumber: Cuevas, S. et al,. Informal Employment in Indonesia. ADB. 2008. Penanggulangan kemiskinan di perdesaan sudah banyak disinggung, yakni melalui peningkatan produktivitas sektor pertanian di perdesaan, serta melalui pengembangan kegiatan off farm seperti yang dijelaskan di atas. Sementara itu, pengembangan sektor informal di perkotaan masih belum menemukan polanya. Yang banyak terjadi justru upaya “penyingkiran” sektor informal dari kegiatan ekonomi di perkotaan dengan alasan “ketertiban/ keamanan”. Sebenarnya, pengembangan sektor informal di perkotaan dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan sbb: (1) memahami sektor informal sebagai salah satu solusi mandiri penduduk miskin untuk keluar dari kemiskinan, (2) menjaga keseimbangan antara “ketertiban” dengan kesempatan berusaha bagi pelaku sektor informal, (3) mengedepankan dialog antara pemerintah daerah dengan pelaku sektor informal untuk mencari solusi bersama serta mengindari pendekatan “kekerasan” dalam penanganan sektor informal, (4) mendorong terjadinya proses saling belajar antar daerah dalam menangani sektor informal yang didasari oleh praktek-praktek yang baik, (5) mendorong unitunit usaha informal untuk mampu menjalankan usaha berdasarkan prinsip-prinsip usaha profesional seperti keteraturan, keamanan produk dan administrasi keuangan yang rapi, serta (6) meningkatkan produktivitas sektor informal, karena sejauh ini sektor informal belum mampu menjadi sumber penghasilan yang layak bagi para pekerjanya. (6) mendorong perkembangan pasar-pasar tradisional yang mengedepankan kenyamanan bagi pembeli tanpa menghilangkan ciri khas dan keunggulan pedagang kecil tradisional. Dari berbagai hal di atas, yang pertama perlu dilakukan adalah melakukan perubahan cara berpikir (mindset) dari menganggap sektor informal sebagai masalah menjadi pengakuan bahwa sektor informal merupakan salah satu solusi bagi masalah kemiskinan. Sektor informal, sejauh ini, merupakan pilihan terbaik bagi kelompok penduduk miskin (dengan kualitas sumberdaya, khususnya: pendidikan, yang terbatas) untuk keluar dari perangkap kemiskinan. Perubahan pola pikir ini hanya dapat terjadi jika ada arah kebijakan yang jelas dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan kesamaan pemahaman dan pengakuan ini maka Pemda dengan leluasa dapat melakukan langkah-langkah yang sifatnya “teknis” untuk mengembangkan 27
kapasitas pelaku sektor informal yang pada gilirannya diharapkan mampu meningkatkan kemampuan sektor informal dalam memberikan penghasilan yang layak bagi para pekerjanya. 4.1.4. Pengembangan koperasi. Untuk mempertahankan fungsi koperasi sebagai organisasi ekonomi berwatak sosial, serta untuk mengembangkan fungsi koperasi sebagai salah satu instrumen penanggulangan kemiskinan, beberapa berikut perlu diambil: (1) mengembalikan koperasi sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat dan menghindarkan koperasi dari upayaupaya untuk menjadikannya sebagai instrumen politik, (2) merevitalisasi dan memperluas fungsi penyuluh pertanian di perdesaan untuk antara lain mendorong petani membangun kekuatan kolektif melalui pembentukan koperasi, (3) menjadikan koperasi sebagai salah satu pembelajaran ketrampilan hidup (life skills) dalam lembaga pendidikan. Pengembangan koperasi juga dilakukan melalui langkah-langkah untuk mendorong terbentuknya kelompok-kelompok usaha lain (bukan koperasi) yang dijalankan dengan nilai-nilai dan prinsip dasar koperasi, yakni sebagai organisasi ekonomi berwatak sosial.
4.2.
PENAMBAHAN PROGRAM/KEGIATAN BARU
Jika diamati secara mendalam, berbagai program penanggulangan kemiskinan yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang dipelajari dalam proses penyusunan tulisan ini lebih banyak bersifat “sosial” yang mengarah pada solusi jangka pendek, yaitu membantu penduduk miskin. Meskipun ini memang diperlukan, namun apabila tidak diiringi dengan program-program yang dapat membantu masyarakat mengentaskan dirinya dari kemiskinan, maka akan menciptakan ketergantungan. Program-program untuk mengentaskan penduduk miskin meskipun tidak terlalu banyak memang telah, ada, namun tidak disertai dengan penjelasan rinci tentang bagaimana program tersebut hendak diimplementasikan dan bagaimana keterkaitan satu dengan yang lainnya untuk dapat mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Bagian ini disusun sebagai tambahan bagi program-program yang telah ada, khususnya untuk mengisi bagian program yang ditujukan untuk mengentaskan penduduk miskin dari kemiskinan. 4.2.1. Mendorong peran sektor non-pemerintah dalam penyediaan infrastruktur. Pembangunan dan penyediaan infrastruktur dasar dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh potensi yang ada, baik pemerintah maupun non pemerintah (sektor swasta dan komunitas). Pelibatan sektor swasta dilakukan dengan tetap memperhitungkan kemampuan masyarakat, khususnya penduduk miskin, dalam mengakses infrastruktur dasar tsb. Penyediaan infrastruktur oleh komunitas dilakukan dengan menggunakan pendekatan bottom up yang mengedepankan inisiatif, partisipasi dan kebutuhan masyarakat, khususnya penduduk miskin. Contoh ini sudah dilakukan melalui program PNPM Mandiri, namun diluar itu, yaitu pada program dari anggaran lain belum dilakukan. 4.2.2. Mendorong peran sektor swasta dalam peningkatan kualitas tenaga kerja dan kewirausahaan. Diperlukan “pembagian tugas” antara pemerintah dengan sektor swasta dalam upaya peningkatan kualitas tenaga kerja. Balai Latihan Kerja (BLK) milik pemerintah akan didorong untuk berkonsentrasi pada upaya peningkatan kualitas yang belum bekerja. Pada saat yang sama, pemerintah perlu mengembangkan sistem insentif untuk meningkatkan peran 28
perusahaan swasta dalam peningkatan kualitas SDM yang sudah berstatus sebagai pekerja. Pemerintah juga perlu mendorong lembaga latihan swasta untuk lebih berperan dalam peningkatan kualitas tenaga kerja dengan tetap memperhatikan akses penduduk miskin terhadap berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga latihan swasta, antara lain melalui program pemberian bantuan keuangan untuk mengikuti pelatihan. Untuk menjaga kualitas pelatihan, pemerintah melaksanakan program sertifikasi pelatih dan lembaga pelatihan tenaga kerja. Pelaksanaan Bursa Kerja oleh lembaga swasta perlu didorong, dengan tetap dilakukan pengawasan terhadap keberadaan dan operasionalnya agar tidak justru berdampak negatif terhadap para pencari kerja. 4.2.3. Pengembangan unit usaha akar rumput (grassroot business organization atau GBO). GBO adalah unit usaha yang dengan sengaja melibatkan kelompok marjinal (termasuk di dalamnya: penduduk miskin) dalam proses produksinya (kotak 4.2). Dengan demikian, GBO dapat dipandang sebagai salah satu perwujudan unit usaha yang “ramah” terhadap penduduk miskin, dan oleh karenanya dapat menjadi bagian penting dari implementasi konsep pertumbuhan yang pro-rakyat miskin. Keterlibatan penduduk miskin dalam GBO diharapkan akan menjadi jalan bagi mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan secara berkelanjutan. GBO dapat berwujud unit usaha formal maupun informal. Kotak 4.2. Beberapa Contoh GBO di Indonesia “Bengkel Kriya Daun 9996” di Surabaya, berdiri sejak 1996, menghasilkan produk-produk dengan bahan baku daun yang desainnya sudah dipatenkan. Sebagian besar (75%) produknya diekspor dengan AS, Jerman dan Prancis sebagai tujuan utama. Pada tahun 2005, Bengkel Kriya Daun mempekerjakan 44 orang, 30 di antaranya merupakan ibu-ibu rumah tangga berpendapatan rendah. “Tiara Handicraft” di Surabaya, menghasilkan tas dan taplak meja, dari bahan baru maupun daur ulang, mempekerjakan 32 orang pada tahun 2005, 80 persen di antaranya merupakan penyandang cacat. Sekitar 20 persen produk Tiara Handicraft dijual di pasar ekspor. Sumber: IFC/PENSA, EMC dan AKADEMIKA (2005).Grassroot Business Organization Mapping.
Dengan kata lain, GBO merupakan unit usaha yang memiliki misi sosial3. Dalam praktek, GBO dalam berbentuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), koperasi, atau perusahaan. Dari sisi operasional, terdapat variasi antar kelompok GBO, sebagai implikasi dari variasi bentuk kelembagaan. Meskipun mereka semua bergerak di sektor riil, secara umum dapat dikatakan bahwa lembaga donor memiliki peran yang cukup penting dalam pendanaan GBO, terutama GBO yang berbentuk LSM. Dari sisi pasar, mayoritas GBO mampu menjual produknya hingga ke pasar internasional, menunjukkan bahwa GBO sebenarnya memiliki potensi pasar yang cukup besar. Pemasaran produk dilakukan dengan pendekatan bisnis murni (mengedepankan kualitas dan daya saing produk) dilengkapi dengan ‘pemasaran sosial’ (social marketing) melalui pemberitahuan kepada (calon) konsumen bahwa produk tersebut merupakan hasil karya tenaga
3
Prinsip ini sebenarnya sama dengan ciri dasar koperasi, yakni “organisasi ekonomi yang berwatak sosial”, tetapi GBO menjalankan prinsip ini secara lebih ‘membumi’, yakni melakukan upaya sengaja untuk menyerap tenaga kerja dari kelompok marjinal, termasuk kelompok miskin.
29
kerja dari kelompok marjinal. Daftar GBO hasil pemetaan GBO yang dilakukan oleh IFC/AKADEMIKA/EMC dapat dilihat dalam Lampiran 1. Ada cukup banyak GBO yang telah berkembang di berbagai daerah di Indonesia, tetapi kontribusinya akan semakin besar jika praktek-praktek yang baik tersebut dapat disebarluaskan (scaled up). Langkah tersebut dapat diawali dengan identifikasi dan kompilasi praktek-praktek yang baik dalam implementasi GBO di Indonesia untuk kemudian dikembangkan model-model yang dapat diadopsi dan disebarluaskan ke daerah lain di Indonesia. Pemerintah juga dapat memberikan insentif secara tidak langsung (misalnya melalui pelatihan bagi tenaga kerja, pelatihan bagi pengelola, akses terhadap informasi, dsb) kepada unit-unit usaha yang dikategorikan sebagai GBO. Pemberian insentif ini harus dilakukan secara hati-hati dan terukur, agar tidak justru berdampak negatif terhadap kemandirian GBO. Pemberian insentif tidak boleh menciptakan ketergantungan GBO terhadap bantuan yang berasal dari luar, karena jika hal ini terjadi, maka keberlanjutan GBO akan terancam, dan pada gilirannya pembukaan kesempatan kerja bagi kelompok marjinal akan terganggu. Pada gilirannya, upaya pengentasan penduduk miskin tidak akan optimal. 4.2.4. Membuka akses penduduk miskin terhadap pekerjaan yang layak secara legal. Di satu sisi, akses terhadap aset produktif (khususnya: tanah/lahan) dapat menjadi modal bagi penduduk miskin untuk menjalankan usaha mandiri. Di sisi lain, pelibatan penduduk miskin dapat menjadi sarana untuk meningkatkan “rasa memiliki” penduduk sekitar, sehingga justru dapat meningkatkan keamanan aset-aset produktif milik negara tersebut. Pemerintah juga akan mendorong adanya kebebasan bagi seluruh warga negara untuk berusaha/bekerja secara lintas wilayah/daerah di seluruh wilayah Republik Indonesia dengan tetap berpegang pada peraturan yang berlaku. Contoh pengelolaan aset pemerintah (lahan perhutani) untuk masyarakat disampaikan dalam Kotak 4. 3. Kotak 4. 3. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Gerakan PHBM merupakan sistem pengelolaan hutan dengan kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dengan masyarakat desa sekitar hutan. Masyarakat diberi kesempatan untuk menanam tananam-tanaman budidaya di sela pohon-pohon utama. Selain itu, dengan sistem ini masyarakat mendapatkan dana bagi hasil dari kayu yang dijual oleh Perhutani. Dalam periode 2002-2008 dana bagi hasil sejumlah Rp 172 milyar sudah dibagikan kepada 11,4 juta keluarga yang mengikuti sistem PHBM.
4.2.5. Peningkatan koordinasi antar instansi pemerintah. Otonomi daerah menimbulkan tantangan baru dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Tantangan terbesar yang dihadapi adalah tetap menjaga dan meningkatkan koordinasi antar instansi pemerintah pada semua jenjang (pusat, provinsi dan kabupaten) agar program penanggulangan kemiskinan dapat diimplementasikan secara efektif. Beberapa langkah dapat diambil untuk meningkatkan koordinasi, antara lain: (1) menyusun cetak biru (blue print) kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dapat menjadi acuan bagi seluruh instansi pada semua level pemerintahan, (2) meningkatkan kerjasama dan koordinasi antara pemerintah dengan pemerintah daerah melalui 30
sinkronisasi dokumen perencanaan serta penetapan target yang spesifik untuk setiap pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan, (3) mendorong terjadinya proses saling belajar antar daerah dalam penyusunan dan implementasi program penanggulangan kemiskinan berdasarkan praktek-praktek yang baik. 4.2.6. Pengembangan Potensi Pendanaan Non Pemerintah untuk Penanggulangan Kemiskinan. Potensi pendanaan non pemerintah untuk keperluan sosial sesungguhnya sangat besar, baik yang berasal dari sektor swasta (pengusaha) maupun yang berasal dari masyarakat. Untuk dana-dana yang berasal dari sektor swasta, pemerintah akan mendorong penggunaan dana-dana corporate social responsibility (CSR) untuk program penanggulangan kemiskinan di lingkungan perusahaan, baik dilakukan secara mandiri oleh perusahaan maupun melalui kerjasama dengan lembaga lain. Untuk itu, pemerintah dapat melakukan sosialisasi kepada sektor swasta tentang arah kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan, dengan harapan apa yang dilakukan oleh sektor swasta akan searah dan saling menguatkan dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah. Mobilisasi dana melalui lembaga-lembaga keagamaan (mis: gereja, mesjid, dsb) atau melalui lembaga pengelola zakat profesional atau lembaga amil zakat (LAZ) seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat Indonesia, dsb perlu didorong pemanfaatannya untuk menanggulangi masalah kemiskinan melalui kegiatan-kegiatan ekonomi produktif, dengan tetap mengedepankan prinsip akuntabilitas dalam pengelolaannya.
31
BAB V. BEBERAPA AKSI KONKRIT YANG POTENSIAL
Setelah mengikuti uraian pada Bab-bab sebelumnya, dalam Bab ini dipilih 3 (tiga) langkah konkret yang penting untuk dikembangkan dalam rangka yaitu: (i) Pengembangan Sektor Informal; (ii) Pengembangan Grassroot Bussiness Organization; (iii) Pengembangan kerjasama dengan Lembaga Non Pemerintah. 5.1.
PENGEMBANGAN SEKTOR INFORMAL
Sektor informal dipilih untuk dianalisa lebih lanjut dalam rangka mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Beberapa alasan yang kuat sebagai dasar pemikiran ini yang pertama adalah, sektor ini memberi penghidupan sebesar 63 persen pekerja Indonesia. Jumlah ini merupakan sebuah nilai yang signifikan, yang memberi penghidupan dan penyelamat kepada mereka (safety net). Dengan kata lain, apabila hanya mengandalkan sektor formal, maka sejumlah pekerja ini akan menambah daftar panjang penangguran dan kemiskinan di Indonesia. Angka ini menyatakan bahwa lebih dari separuh pekerja bekerja pada sektor yang: (i) tidak terkena oleh instrumen kebijakan yang pada umumnya bersifat formal; (ii) tidak memiliki aturan upah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Atau dengan kata lain, kelompok masyarakat ini bekerja namun kemungkinan besar tetap tidak memiliki cukup pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari; (iii) pekerja pada sektor ini tidak memiliki benefit yang diterima untuk mencukupi kebutuhan dan perlindungan dari resiko bekerja mereka. Kedua, dengan besarnya proporsi tersebut, apabila instrumen formal tidak menjangkau mereka, maka diperlukan penanganan khusus dan memihak kepada mereka, sehingga dengan cara mereka sendiri, akan mampu meningkatkan dirinya dari kemiskinan. Ketiga, sektor ini memiliki potensi untuk dikembangkan membangun daerah, tidak hanya meningkatkan pendapatan mereka namun berpotensi untuk digunakan mengembangkan keunikan lokal yang merupakan aset berharga setiap daerah. Keempat, dengan kekhasan tersebut dalam butir 3 di atas, maka pengembangan sektor informal merupakan langkah sangat penting dan nyata untuk dilaksanakan dalam era desentralisasi saat ini. Dalam rangka mengembangkan usaha mikro dan kecil yang biasanya merupakan usaha informal dan menyerap tenaga kerja informal, terdapat beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah untuk membina dan meningkatkan kualitas usaha mereka. Untuk Pemda, langkah yang perlu dilakukan adalah: (a) Memberikan lokasi usaha yang aman dan bersih; (b) Memberikan dukungan pembinaan pengelolaan usaha: i. Pengelolaan pembukuan dan keuangan; ii. Pengelolaan standar usaha yang baik; iii. Informasi pengembangan usaha – pasar dll; (c) Memberikan akses utnuk layanan pembiayaan usaha; dan (d) Public Campaign untuk mempromosikan informal ini. Untuk pemerintah Pusat, yang dapat dilakukan adalah: (i) Mendukung inisiatif daerah di dalam membina usaha informal terutama di
32
bidang pembinaan pengelolaan usaha; (ii) Mendukung berkembangnya layanan pembiayaan usaha. Satu persatu langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Pemberian/pencadangan lokasi usaha yang aman dan bersih. Usaha informal yang berkembang di masyarakat sebagian besar bergerak di bidang usaha kaki lima dan transportasi (ojek), becak, andong dsb. Pada umumnya usaha ini menempati lahan yang tidak resmi (meskipun dipungut retribusi tidak resmi dari oknum petugas), sehingga mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Dengan adanya lokasi tidak resmi dan gangguan ini maka usaha informal sering menjadi sasaran dari operasi ketertiban, yang pada umumnya mengakibatkan adanya “pergulatan” antara pemilik usaha dengan petugas. Disatu pihak alasan ketertiban merupakan hal yang harus ditegakkan, namun di pihak lain usaha informal seperti ini dibutuhkan masyarakat sebagai “last resort” untuk menjaga stabilitas pendapatan. Sebagai contoh, pada masa PHK, maka usaha informal seperti ini akan banyak muncul. Sulit untuk diketahui dengan data kuantitatif secara pasti besaran (magnitude) usaha seperti ini karena memang sifat ketidakinformalan mereka, namun demikian dari sisi visual usaha ini nampak menjamur di berbagai perkotaan. Berkaitan dengan pertumbuhan sektor informal ini tentu perlu disikapi secara bijak karena: (i) Usaha ini merupakan katup dan pelimpahan usaha dari pekerjaan formal yang sesuai dengan data ketenagakerjaan memang menurun; (ii) Pada kenyataannya usaha ini tumbuh dan tidak meminta dukungan apapun dari pemerintah. Pelaku usaha informal betul-betul merupakan lahan untuk mencari sesuap nasi dan menyambung mata pencaharian yang semakin sulit diperoleh dari sektor formal; (iii) Dengan penanganan yang baik, usaha informal dapat memberikan warna tersendiri terhadap pembangunan daerah atau secara khusus perkotaan. Langkah yang perlu dilakukan berkaitan dengan hal ini adalah Pemda dapat mencadangkan lokasi usaha yang tepat, artinya sesuai dengan ketertiban dan keindahan kota dan sesuai dengan keinginan pelaku usaha. Kesesuaian dengan ketertiban dan keindahan kota, dapat diartikan bahwa pencadangan lahan/lokasi usaha perlu menjadi bagian dari tata ruang kota dan bukan pencadangan yang bersifat marjinal/sisa. Pencadangan lokasi usaha informal perlu diiringi pula dengan perbaikan alur lalu lintas dan fasilitas transportasi serta sejalan dengan mobilitas penduduk kota. Dengan demikian, penempatan lokasi/tempat usaha informal ini merupakan bagian resmi dan terencana dalam tata ruang kota dan mendapatkan dukungan yang sama sebagaimana usaha formal lainnya. Dari sisi pelaku usaha, langkah yang dilakukan adalah melakukan pembicaraan dengan pelaku usaha yang akan di-relokasi, mengenai tempat-tempat usaha yang dicadangkan/sebagai tempat pemindahan, sehingga pelaku usaha memiliki waktu untuk memilih, mempersiapkan dan menyesuaikan dengan tempat baru. Upaya untuk berbicara dengan pelaku usaha merupakan faktor kunci dan bukan merupakan hal yang mustahil untuk dilaksanakan. Berdasarkan pengalaman, Walikota Solo melakukan proses ini dengan baik, sehingga tidak menimbulkan gejolak di masyarakat (Kotak 5.1). Kotak 5.1. Penanganan Sektor Informal di Kota Solo Walikota Solo, Joko Widodo, berhasil merelokasi pedagang kaki lima (PKL) ke lokasi yang telah disiapkan oleh Pemkot Solo, menjadikannya sebagai unit-unit usaha yang tidak hanya legal, tetapi juga menjadi salah satu daya tarik wisata. Dalam prosesnya, Walikota sangat sabar, mulai dari 50an kali makan siang bersama sambil berdialog dengan para PKL. Baru pada makan siang ke 54, Walikota “berani” menyampaikan maksud merelokasi PKL. Relokasi dilakukan melalui sebuah kirab yang juga menjadi atraksi yang cukup menarik perhatian. PKL mau direlokasi, karena merasa diperlakukan secara manusiawi (di-wong-ke), termasuk dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Penanganan PKL di Solo ini banyak diliput oleh media dan dapat menjadi contoh bagi daerah lain. Sumber: http://www.bengawan.org
33
Memberikan dukungan pembinaan pengelolaan usaha. Masalah yang dihadapi oleh usaha informal selain tempat usaha adalah standar usaha. Yang dimaksud dengan standar usaha adalah cara pengelolaan usaha yang baik sehingga akan dapat bermitra dengan pelaku usaha lain yang lebih besar. Standar pengelolaan usaha yang baik dapat diartikan bahwa usaha informal dikelola dengan cara-cara yang dimiliki usaha formal sehingga dapat meyakinkan calon mitra kerja dan lembaga keuangan yang akan member fasilitas kredit untuk pengembangan usaha. Langkah ini dinilai lebih penting dari pada memformalkan usaha informal (memberi badan usaha/badan hukum), yang merupakan langkah lanjutan apabila persyaratan standar pengelolaan usaha sudah mereka miliki, Langkah-langkah dukungan pembinaan pengelolaa usaha dapat dilakukan dalam bentuk: i.
Pembinaan pengelolaan pembukuan usaha dan keuangan. Pembukuan usaha dan keuangan data menjadi data record perkembangan usaha. Dengan adanya catatan ini maka calon pemberi kredit/fasilitas pembiayaan maupun calon mitra kerja memiliki dasar formal untuk mengetahui kestabilan usaha dan bahkan perkembangannya dari waktu ke waktu;
ii.
Pengelolaan standar usaha yang baik, dapat berupa standar proses yang bersih dan sehat, standar produksi yang ramah lingkungan, standar produksi yang aman, standar produksi yang mengutamakan keunikan atau budaya lokal. Dengan adanya standar usaha ini, maka mitra kerja akan mendapatkan jaminan kualitas produk dan jasa yang dihasilkan dan dapat diterima di lingkungan internasional. Sehingga, mereka tidak segan dan memiliki keterbatasan untuk menjadikan usaha informal sebagai mitra/pemasok usahanya.
iii.
Informasi pengembangan usaha – pasar. Informasi pengembangan usaha baik berupa berbagai fasilitas atau dukungan yang dapat diperoleh usaha informal untuk mengembangkan usahanya lebih lanjut akan sangat penting. Informasi dapat berupa adanya berabgai program pembinaan usaha, pelatihan standar usaha, bahkan informasi pasar produk (harga, lokasi pasar, persyaratan produk dll), dukungan promosi dll. Dalam skala kecil, informasi usaha dapat disediakan pada kantor dinas setempat, namun Pemda dapat pula menyediakan suatu “clearing house” untuk mempertemukan antara pembeli dan penjual. Clearing house ini dapat ditempatkan di kantor Kadin setempat, kantor dinas UKM dan Koperasi atau bahka ditempatkan di lokasi pusat layanan bisnis yang selama ini sudah berkembang di daerah.
iv.
Memberikan akses untuk layanan pembiayaan usaha. Apabila suatu daerah menilai bahwa pembukaan suatu clearing house diperlukan, maka pada kantor tersebut dapat pula disediakan informasi untuk akses layanan pembiayaan usaha. Dari sisi dukungan akses, Pemda dapat pula menyediakan bantuan teknis untuk mempertemukan pelaku usaha dengan penyandang dana/kredit usaha atau bahkan dana dari Corporate Social Responsibility (CSR) atau Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) yang dilakukan oleh BUMN. 34
v.
Public Campaign untuk mempromosikan informal ini. Yang dimaksud dengan public campaign adalah promosi yang berupa himbauan publik agar masyarakat mengkonsumsi produk usaha informal dengan lebih baik, sebagai bagian dari Cinta Produk Dalam Negeri. Pesan moral yang perlu disampaikan adalah: (i) mengkonsumsi produk usaha informal berarti membantu penyerapan tenaga kerja/memberi kesempatan kerja bagi masyarakat lokal; meningkatkan pendapatan dan bahkan berkontribusi menanggulangi kemiskinan (dari pada melakukan charity dll). Ini dilakukan untuk membangkitkan rasa kedaerahan dan nasionalisme ditengah-tengah globalisasi; (ii) memberikan informasi tentang upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas usaha mereka berupa: tempat yang lebih aman dan nyaman, standar produk yang aman dan sehat, dll yang menunjukkan bahwa ada jaminan kualitas produk usaha informal yang tidak kalah dengan produk usaha lainnya. Sementara itu, Pemerintah (pusat) dapat melakukan langkah-langkah:
i.
Mendukung inisiatif daerah di dalam membina usaha informal terutama di bidang pembinaan pengelolaan usaha: menyediakan pelatih dan dana pelatihan yang seringkali memerlukan keahlian dari luar kota tempat usaha informal berada. Dukungan dapat dilakukan melalui program Kementerian/Lembaga dalam bentuk program spesifik atau menyediakan matching grant untuk pendanaan APBD yang dialokasikan untuk pembinaan usaha informal.
ii.
Memberikan landasan hokum untuk mendukung berkembangnya layanan pembiayaan usaha. Layanan pembiayaan usaha untuk usaha informal sangat penting karena usaha informal ini sebagaimana usaha mirko dan kecil lain, pada umumnya tidak dapat mengakses kepada kredit perbankan, terutama yang berusaha di bidang produksi hasil pertanian, perdagangan hasil pertanian, pengolahan hasil pertanian dsb. Pada umumnya yang dilayani oleh perbankan baik bank umum maupun BPR adalah usaha kerajinan rakyat, dan bukan industry awal yang kebanyakan dilakukan sebagai langkah untuk memulai usaha baru; padahal merekalah yang paling membutuhkan. Di satu sisi, sebetulnya banyak kelompok-kelompok yang merupakan binaan program pemerintah yang memiliki usaha simpan pinjam atau pinjaman bergulir, yang juga sudah berkembang di masyarakat. Usaha yang dilakukan oleh lembaga semacam ini dalam perkembangannya, terutama yang asetnya sudah berkembang, tidak memiliki bentuk hukum yang jelas, sehingga: (a) usahanya sulit untuk dikembangkan dengan standar yang baik yang memenuhi standar kualitas lembaga formal namun khusus diarahkan membantu usaha mikro dan khususnya yang informal dan tidak dapat mengakses kredit bank; dan (b) sulit untuk dikembangkan melayani/memperluas jangkauan yang lebih besar. Langkah yang dapat dilakukan oleh Pemerintah pusat adalah dengan memberikan landasan hukum yang jelas untuk sebagai lembaga keuangan mikro, sehingga ada langkhlangkah pembinaan untuk menstandarkan mereka dalam standar lembaga keuangan formal tanpa harus melepas pelayanan secara dinamisnya kepada usaha kimor dan informal.
35
Dengan kedua kelompok langkah-langkah yang dilakukan Pemda dan Pemerintah Pusat, maka dikhotomi usaha formal dan formal hanyalah masalah status badan hukum saja dan bukan kualitas usahanya dalam melayani kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, usaha informal dan termasuk pekerjanya akan mendapat tempat yang sejajar dengan usaha formal lainnya. Langkahlangkah yang disarankan tidak saja memberikan status usaha yang lebih baik bagi usaha dan pekerjanya namun juga memberikan dasar yang jelas dan obyektif untuk mendorong linkages (kemitraan, sub-kontrak atau kontrak usaha) antara usaha informal dengan usaha formal. Dengan cara ini maka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama pekerja dan masyarakat miskin dan hampir miskin yang bergerak di sektor informal akan lebih cepat terentaskan.
5.2.
GRASS ROOT BUSSINESS ORGANZATION (GBO)
Sebagaimana secara singkat dijelaskan pada bagian depan, GBO adalah suatu usaha yang dengan sengaja didirikan untuk menampung orang-orang yang sulit untuk diterima di pasar kerja atau tersisihkan. Sebagaimana dijelaskan pada butir 3 pengembangan unit usaha akar rumput, eksistensi GBO dapat digunakan untuk menampung dan memberi jalan kepada masyarakat miskin dan masyarakat yang selama ini tidak diterima oleh pasar kerja, untuk memulai usaha ekonomi yang lebih produktif. Dengan cara ini, masyarakat miskin yang masih menerima program perlidungan dan bantuan sosial antara lain berupa Raskin, Jamkesmas, anak-anaknya menerima beasiswa untuk siswa miskin dan sudah mengikuti kelompok pemberdayaan dari PNPM Mandiri, dapat memulai usaha ekonominya. Jalan keluar menuju kesejahteraan (moving out of poverty) melalui jalur ini dapat digambarkan dalam Bagan 5.1.
Program Kluster I Bantuan dan Perlindungan Sosial
RT sangat miskin, miskin dan hampir miskin
Program Kluster II PNPM Mandiri
Program Kluster III Pemberdayaan UMK
Grass root business organization (GBO) Kelompok pemberdayaan masyarakat
Bagan 5.1 Jalur keluar dari kemiskinan (moving out of poverty)
36
Untuk dapat memfasilitasi berkembangnya GBO, beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah: (i) memperkenalkan dan memberikan kemudahan pada masyarakat untuk berkembangnya GBO; (ii) memberikan pelatihan kepada para fasilitator dan pengembang GBO; (iii) mendukung pelatihan kemampuan usaha dan keterampilan kepada RTS dan anggota keluarganya. Memperkenalkan dan memberikan kemudahan pada masyarakat untuk mengembangkan GBO. Langkah ini penting untuk memberi apresiasi kepada pelaku/pengembang GBO serta mengakui bentuk usaha itu sebagai bentuk kepedulian kepada masyarakat miskin sekaligus memberikan peran dan posisi kontribusi masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan. Langkah yang dapat dilakukan adalah: (i) membuka/memfasilitasi adanya forum GBO. Forum GBO akan memberikan wahana bagi masyarakat untuk mengetahui GBO dan ajang tukar pengalaman bagi pelaku. Dengan adanya forum ini, maka GBO akan memasyarakat dan menjadi pilihan pelaku usaha dan pilihan bagi amsyarakat miskin untuk bergabung dan memulai usaha produktif mereka; (ii) membentuk jaringan pelaku GBO. Dengan adanya jaringan GBO akan memfasilitasi komunikasi antar mereka dan membentuk komunitas untuk ajang pengembangan kualitas pengelolaan mereka sekaligus membentuk critical mass sehingga pengembangan GBO akan semakin terasa signifikan dalam membantu masyarakat miskin keluar dari kemiskinan mereka; (iii) menyusun standar kualitas usaha GBO. Standar kualitas pengelolaan penting untuk dikembangkan agar pelaku tidak menjadikan GBO sebagai ajang penyalahgunaan dan pemanfaatan masyarakat miskin dan bagi masyarakat miskin dapat menjadi patokan untuk memilih GBO yang akan mereka manfaatkan. Dengan demikian, standar menjadi instrumen untuk mengurangi asymetric information bagi kedua belah pihak. Memberikan pelatihan kepada para fasilitator dan pengembang GBO. Langkah lain yang perlu dilakukan untuk mendukung langkah di atas adalah memberikan pelatihan kepada fasilitator dan pengembang GBO, terutama yang belum mampu mengelola GBO dengan baik. Pelatihan diberikan oleh pemerintah sebagai bentuk dukungan dan sharing pendanaan bagi GBO yang masih pada tahap awal dan belum mencapai break even point. Pelatihan selain memberi kemampuan awal, juga untuk memberi penguatan dan peningkatan pengelolaan GBO yang beum dapat mencapai standar yang digariskan pemerintah. Mendukung pelatihan kemampuan usaha dan keterampilan kepada RTS dan anggota keluarganya. Pelatihan ini penting karena tidak akan mampu (waktu dan sumberdaya) dilakukan oleh pengembang GBO. Dengan melatih RTS dan anggota keluarganya, maka mereka akan memiliki keterampilan awal untuk memproduksi brang dan jasa agar dapat menjadi karyawan di GBO. Selain itu, RTS dan anggota keluarganya yang memiliki bakat mengelola usaha akan memiliki kemampuan untuk memulai pengelolaan GBO dalam skala yang kecil sebagai awal berusaha. Dengan ketiga kelompok langkah-langkah tersebut, maka akan ada fasilitasi untuk berkembangnya GBO. Dengan demikian, GBO dapat dimanfaatkan untuk memanfaatkan dana masyarakat, baik yang berasal dari CSR maupun PKBL dari pengusaha; atau memanfaatkan dana masyarakat yang dikelola melalui lembaga keagamaan atau lembaga usaha yang dibentuk oleh lembaga keagamaan untuk berkontibusi dalam menurunkan tingkat kemiskinan yang masih ada di masyarakat. 37
5.3.
PENGEMBANGAN KERJASAMA DENGAN NON PEMERINTAH UNTUK PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Dengan semakin berkembangnya demokratisasi, peran masyarakat dalam arti luas tidak saja masyarakat individu namun juga yang terwadahi dalam bentuk lembaga swadaya masyarakat maupun perusahaan saja peran mereka semakin besar dan dituntut kontribusi nyatanya. Sehubungan dengan itu, dalam rangka meningkatkan sinergi dan peran besama secara efektif di dalam penanggulangan kemiskinan, maka perlu didalami secara lebih terstruktur peran lembaga non pemerintah ini, dimulai dengan definisi dan peran umum, potensi mereka dalam bersamasama membantu masyarakat miskin serta beberapa pemikiran konkrit untuk CSR dan dana sumbangan/zakat berdasarkan keagamaan. Pemilihan kedua contoh ini dilakukan karena sumberdaya mereka sangar besar dan selama ini perannya belum sinergis dengan pelaku lain. Ketidaksinergian tidak berarti bahwa apa yang mereka lakukan masih kecil, bahkan sebaliknya dalam berbagai bencana alam dan kegiatan sosial sehari-hari sudah sangat besar, namun pemerintah belum memberi pembagian ruang dan peran secara terstruktur, agar harmonisasi dan sinergi dari berbagai sumberdaya tersebut dapat secara efektif dimanfaatkan untuk mempercepat pengentasan kemiskinan. 5.3.1. Definisi dan Peran Lembaga Non Pemerintah Yang dimaksud dengan lembaga non pemerintah atau sering juga disebut dengan civil society organization (CSO) menurut London scholl of Economics4 adalah suatu upaya kolektif yang tidak diatur (uncoerced) yang terbentuk karena kesamaan kepentingan, tujuan dan nilai (values). Bentuk lembaganya biasanya berbeda dengan negara, keluarga atau pasar. Pada umumnya CSO melingkupi ragam yang berbeda berdasar lokasi, pelaku dan bentuk lembaga serta berbeda derajad formalitas, otonomi dan power. CSO ini biasanya berupa organisasi yang terdaftar sebagai lembaga amal, NGO pembangunan, kelompok masyarakat, organisasi perempuan, organisasi agama, asosiasi profesi, kelompok dagang, kelompok mandiri, pergerakan sosial, asosiasi usaha, koalisi dan kelompok advokasi. Kelompok ini sangat penting perannya karena biasanya memenuhi celah kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah dan swasta (organisasi profit). Mengapa non pemerintah menjadi penting. Kontribusi lembaga non pemerintah terhadap penanggulangan kemiskinan sangat potensial karena mereka dapat menyediakan: pendanaan, tenaga ahli, kontribusi barang dan jasa serta advokasi berbagai perilaku kehidupan yang lebih sehat dan baik. Sementara itu, lembaga non pemerintah yang terbentuk atau dibentuk karena adanya concern tertentu ini seringkali memiliki daya jangkau pelayanan yang lebih dekat ke masyarakat yang secara kontinyu terakumulasi sehingga membentuk suatu kapasitas, pemahaman dan informasi serta keahlian untuk membantu masyarakat dan bersama masyarakat secara langsung. Hal seperti ini adalah bentuk peran lembaga yang tidak akan dapat dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, lembaga seperti ini ada pula yang mengakumulasikan informasi 4
Up and Out of Poverty: The Social Marketing Solution. Phillip Kotler and Nancy R. Lee, Wharton School Publiching, June 2009
38
tentang masyarakat dan keahliannya untuk advokasi atas perilaku yang baik maupun advokasi untuk meningkatkan rasa tanggung jawab dan fungsi pengawasan dari masyarakat terhadap pelayanan publik pemerintah. Kapasitas seperti ini akan sangat penting untuk tetap dipelihara dan bahkan perlu dikembangkan sehingga secara sinergis dapat dimanfaatkan bersama untuk memperluas dan mempercepat penanggulangan kemiskinan. Secara rinci pola Kemitraan antara Pemerintah, Dunia Usaha, Lembaga Non Pemerintah dan masyarakat dapat dilakukan dengan pembagian peran. Pemerintah mendukung melalui: (i) Penyediaan data dan informasi; (ii) Peningkatan kapasitas kemampuan masyarakat; (iii) Dukungan investasi publik untuk mendukung kegiatan perusahaan yang mewujudkan CSR; (iv) Dukungan insentif fiskal, administrasi dsb; dan (v) Sosialisasi. Sementara itu dunia usaha dapat melakukan: (i) Investasi sosial sebagai bagian dari Investasi Perusahaan; (ii) Integrasi pada tahap perencanaan dengan kebijakan pemerintah; (iii) Sinkronisasi pada tahap pelaksanaan. lembaga masyarakat dapat melakukan: (i) Pengembangan model-model kemitraan; (ii) Peningkatan kemampuan masyarakat; (iii) Fasilitasi masyarakat; (iv) Advokasi masyarakat; (v) Edukasi masyarakat. Masyarakat luas: (i) Program kegiatan masyarakat yang jelas dan menguntungkan semua pihak; (ii) Tekad yang kuat untuk mewujudkan kemitraan sosial; (iii) Kebertanggung jawaban sosial yang tinggi. Berikut ini adalah posisi dan peran perusahaan serta lembaga keagamaan dalam penanggulangan kemiskinan. 5.3.2. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) Penggunaan CSR pertama kali muncul di dalam tulisan Social Responsibility of the Businessman tahun 1953 yang digagas Howard Rothmann Browen. Konsep CSR ini menjawab keresahan dunia bisnis, dan belakangan CSR segera diadopsi, karena bisa jadi penyeimbang kesan buruk perusahaan yang di dalam pikiran masyarakat yang dinilai sebagai pemburu keuntungan pribadi/pemegang saham serta tidak peduli pada dampak kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Peran nyata di lapangan lebih dituntut lagi dengan adanya pergerakan oleh Ralph Nader (1965) untuk “menagih” peran perusahaan yang telah memperlebar skala usahanya yang mengorbankan lingkungan yang secara kolektif kemudian membahayakan manusia melalui polusi udara, air dan tanah.5 Cara “membalas” jasa kepada lingkungan sosial dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu: (i) perombakan perusahaan besar dan multinasional, karena perusahaan besar berarti “besar” pula “dampak” terhadap kerusakan lingkungan sosial tersebut. Cara yang agak lunak dalam bidang ini adalah dengan menagih komitmen perusahaan terhadap “good citizenship; (ii) self-reform atau dengan kata lain mengintenalisasikan komitmen kepada lingkungan sosial ke dalam praktek perusahaan. Landasan pemikirannya adalah karena adanya hubungan yang saling membutuhkan antara perusahaan dengan lingkungan sosial, sehingga langkah pertanggungjawaban (pengembalian) kepada lingkungan sosial adalah melalui langkah yang konstruktif dan bertanggung jawab. Internalisasi komitmen terhadap lingkungan sosial inilah yang diterapkan melalui keputusan bersama CSR Terdapat 7 (tujuh) hal yang dapat diperankan oleh perusahaan yaitu: (i) corporate philantropy yaitu memberikan kontribusi langsung melalui: menyediakan uang cash; menyediakan hibah uang, menyediakan beasiswa, menyumbangkan barang dan jasa pelayanan, 5
Up and Out of Poverty. Phillip Kotler and Nancy Lee, 2009
39
menyediakan keahlian teknis, menyediakan jaringan fasilitas dan distribusi perusahaan dll; (ii) Relawan; (iii) Praktek bisnis yang bertanggungjawab sosial; (iv) Cause-related awareness; (v) Cause-related marketing; (vi) Corporate social marketing; dan (vii) Developing and delivering affordable products and services. Sementara itu, beberapa manfaat yang diperoleh perusahaan adalah: (i) Enhanced reputation; (ii) enhanced brand loyalty; (iii) enhanced product sales; (iv) enhanced employee satisfaction. Bentuk kontribusi CSR ini memberikan manfaat konkrit terhadap usaha perusahaan. Oleh karena itu, program CSR lebih tepat digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan. Dengan demikian, CSR sebetulnya juga merupakan kerjasama yang saling menguntungkan sebagaimana digambarkan dalam Bagan 5.2.
Masyarakat dan Lingkungan
• Phylantropy • Relawan • Praktek bisnis yang bertanggungjawab sosial • Cause-related awareness • Cause-related marketing • Corporate social marketing • Developing and delivering affordable products and services.
• Enhanced brand loyalty • Enhanced product sales • Enhanced employee satisfaction
Perusahaan
Bagan. 5. 2. Hubungan Mutual (mutual relationship) antara perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan dalam CSR Dengan pertimbangan diatas, sudah banyak perusahaan multinasional yang melakukan CSR seperti: (i) Amway Corp: Perusahaan harus menjadi ‘saluran berkah’ bagi semua orang untuk mencapai Masa Depan yang Lebih baik; (ii) Nestle : Perusahaan harus mendorong tumbuhnya ‘values’ yang baik dan positif di masyarakat (pola hidup sehat); (iii) Pfizer : Keberadaan perusahaan, dimanapun ia berada, harus memberikan manfaat yang seluas-luasnya bagi masyarakat dan lingkungan alam dan lain-lain. CSR di Indonesia merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam sesuai dengan isi pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru. CSR yang dimaksud dalam UU No. 40 tahun 2008 tersebut merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Namun demikian, pengaturan program CSR ini dalam Peraturan Pemerintah turunannya, masih menjadi perdebatan 40
Departemen Hukum dan HAM berusaha mewajibkan CSR bagi perusahaan sementara Departemen Perindustrian yang tidak mewajibkan perusahaan mempunyai program CSR. Beberapa CSR dimanfaatkan dalam bentuk bantuan Perpustakaan untuk meningkatkan dan memenuhi minat baca masyarakat terutama masyarakat yang tidak mempu membeli buku (Kotak 5.2.) maupun bantuan dalam bentuk rehabilitasi sekolah-sekolah.
Kotak 5.2. Pasca Gempa Permata Bank Peduli Bangun Perpustakaan Permata Bank dalam mewujudkan tanggung jawab sosial perusahaan bekerjasama dengan Dompet Dhuafa membangun perpustakaan SDN 03 Sintok Toboh Gadang, Padang Pariaman Sumatera Barat. Bantuan tersebut secara simbolis diberikan oleh Direktur Utama Permata Bank kepada Kepala Sekolah SDN 03 Sintok Toboh Gadang Nurbayani didampingi perwakilan Dompet Dhuafa Republika. “Kami sangat berbahagia berkunjung ke koa Padang, dapat berbagi dengan korban gempa sebagai wujud peduli Permata Bank terhadap pendidikan. Kami mendonasikan bantuan perpustakaan dan buku bagi siswa” ujar Direktur Utama Permata Bank. Kepala SDN Sintok Toboh Gadang mengungkapkan rasa bahagia serta bersyukur atas bantuan pendidikan tersebut. Sumber: Republika, 24 Desember 2009. Sementara itu, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diwajibkan menjalankan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang merupakan perwujudan dari CSR. Secara hukum BUMN memang dinyatakan memiliki tujuan pendirian yang bukan saja untuk mengejar keuntungan, melainkan juga “turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat”, yang tercantum dalam Pasal 2 UU Nomor 19/2003. Program Kemitraan adalah program pemberdayaan usaha mikro dan/atau usaha kecil yang dilakukan BUMN dalam bentuk pemberian pinjaman dalam rangka perkuatan modal usaha yang disertai dengan kegiatan pendampingan. Kegiatan pendampingan diberikan dalam bentuk bantuan manajerial, bantuan produksi dan bantuan pemasaran. Sementara, Bina Lingkungan merupakan bantuan hibah yang disalurkan bagi korban bencana alam, bantuan pendidikan/pelatihan, bantuan kesehatan, bantuan perbaikan prasarana/sarana umum, bantuan sarana ibadah, bantuan pelestarian alam dan kegiatan BUMN Peduli lainnya. Biaya PKBL ditetapkan 2 – 4 persen dari proyeksi awal tahun laba bersih perusahaan BUMN yang bersangkutan. PKBL merupakan “tugas sosial” karena tugas tersebut bukan merupakan bisnis inti BUMN, serta diperlukan sebuah pembukuan khusus yang terpisah dengan laporan keuangan BUMN yang melaksanakannya. Standar pembukuan PKBL ditetapkan oleh kementrian BUMN, terutama dikaitkan dengan target dana yang direncanakan versus dana yang benar-benar dikeluarkan pada periode setahunan. Hal ini membuat BUMN memiliki aktivitas di luar bisnis intinya, yaitu ”bisnis” untuk membimbing dan membantu mereka yang ditetapkan sebagai sasaran program tersebut. Tentu saja, karena BUMN bukanlah pakar dalam pemberdayaan usaha kecil, mikro dan masyarakat maka mekanisme penyaluran PKBL ini dapat
41
atau dikerjasamakan pelaksanaannya dengan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kompetensi untuk bekerja langsung membantu masyarakat. Langkah lain yang lebih bermakna adalah, dana PKBL dapat dimanfaatkan untuk mendukung terbentuknya GBO, dan bahkan dengan mendukung terbentuknya GBO maka memberi manfaat: (a) Perusahaan akan dapat memanfaatkan GBO untuk menjadi produsen salah satu produk (pemasok) yang dapat menjadi input perusahaan; dan (b) Perusahaan dapat menggunakan pembentukan GBO sebagai tempat untuk menampung tenaga dari perampingan perusahaan. Prinsip Kerjasama. Untuk memperlancar kerjasama antara pemerintah dan perusahaan yang akan berkontribusi melalui CSR maka ada beberapa prinsip pelaksanaan yang perlu dipegang dalam bersinergi untuk penanggulangan kemiskinan, yaitu: (i) Kesepakatan tentang tujuan bersama (common goal); (ii) penyusunan peran dan tanggung jawab secara jelas; (iii) bekerja dengan menghargai dan menghormati secara timbal balik (mutual respect and appreciation); (iv) kemauan untuk negosiasi dan kompromi; (v) memelihara komunikasi yang terbuka; (vi) menyusun sistem untuk akuntabilitas; (vii) mengukur dan melaporkan hasil kerjasama. Pengaturan kerjasama secara nasional dilakukan melalui pendaftaran dan persyaratan standar pengelolaan, peningkatan kapasitas bagi yang membutuhkan untuk memenuhi syarat standar; sharing informasi dan forum komunikasi. Pengaturan ini sangat penting untuk menjamin bahwa pelaku CSR memiliki standar pelaksanaan yang dapat dipertanggungjawabkan dan transparan. Dengan standar pelaksanaan CSR ini maka kerjasama dibidang ini dapat dilakukan dengan rasa saling percaya dan adanya jaminan kualitas (efisiensi dan efektifitas) pelaksanaan CSR.
Perusahaan Dan Philantropis
Lembaga Swadaya Masyarakat
M A S Y A R A K A T
Bagan 5.3. Hubungan Kerjasama antar NPO dalam membantu masyarakat
Pengaturan kerjasama secara lokal. Sementara pengaturan kerjasama secara nasional tersebut hanya akan mengatur standar performance bagaimana suatu CSR berkerja dan 42
bekerjasama dengan LSM dalam membantu masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan, langkah konkrit penanggulangan kemiskinan akan terjadi pada tingkat yang lebih lokal dimana masyarakat miskin berada. Selain itu, dalam era desentralisasi pengaturan kerjasama secara lokal akan lebih bermanfaat karena: (i) perusahaan akan merasakan langsung interaksi dengan masyarakat yang dibantu, sehingga perasaan emosional tidak saja perlu perusahaan namun juga dari masyarakat akan lebih nampak. (ii) bantuan akan lebih konkrit dan sehingga lebih cepat dan efektif dalam skala yang relatif lebih kecil. Dengan demikian, diharapkan tidak saja membantu secara langsung namun juga berkontribusi langsung dan jelas pada daerah/space yang nyata. Hal ini sangat penting untuk mempercepat membantu penanggulanan kemiskinan di daerah, yang merupakan hal penting dalam era desentralisasi. Dalam pengaturan kerjasama secara lokal ini peran koordinasi Pemda adalah: (i) Identifikasi wilayah dan kebutuhan masyarakatnya: data dan poverty map; (ii) Membagi peran dan program yang berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan CSR ke dalam poverty map – proses Musrenbang daerah; (iii) Pemantauan melalui Camat dan Kepala Desa/Lurah; (iv) Pengukuran capaian dan menyediakan sistem informasi bersama untuk pertanggungjawaban, baik kepada penyedia dana maupun kepada masyarakat umum.
5.3.3. Dana Masyarakat melalui lembaga keagamaan Penyaluran dana masyarakat melalui lembaga keagamaan dalam bentuk dan amal berdasar agama merupakan praktek yang sudah berjalan sejak jaman peradaban agama berkembang di masyarakat. Selama ini pengumpulan dana amal yang selalu dikumpulkan melalui gereja atau masjid yang jumlahnya ribuan dan dimanfaatkan secara langsung dan dikelola oleh pengurus lembaga keagamaan tersebut. Namun demikian, penanganan yang ada memiliki berbagai ragam dan tingkat kualiatas akuntabilitas yang berbeda-beda. Dalam meningkatkan pengumpulan dana pengelolaan zakat misalnya, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan dikeluarkannya undangundang tersebut, terdapat 2 lembaga besar yang berkembang yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Sementara masih ada berbagai diskusi tentang pembagian peran kedua lembaga ini dan perlunya cetak biru/blue print Zakat6, maka langkah konkrit dapat dilakukan adalah memanfaatkan zakat untuk menghidupkan masjid sebagai pusat ibadah dan kehidupan umat Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
6
Seminar Zakat dan Peluncuran Indonesia Zakat Development Report. Jakarta 23 Desember 2009. Republika 24 Desember 2009
43
UMAT ISLAM ZAKAT
MASJID SEBAGAI PUSAT IBADAH DAN KEHIDUPAN BERMARTABAT PENGELOLA kegiatan IBADAH (I MAM)
PENGELOLA Kegiatan SOS IAL M AS YARAKAT (manajer)
TUNTUNAN AGAMA
BANTUAN SOSIAL, bantuan usaha produktif
MASYARAKAT MISKIN
Bagan 5.4. Pemanfaatan dana Zakat melalui Masjid Masjid Sebagai Pusat Kehidupan Umat. Pemanfaatan dan Zakat melalui masjid dilakukan dengan cara : a.
b.
Pengelola masjid-pengelola masjid yang selama ini dilakukan oleh “Imam” yang menguasai program ibadah di masjid sedah dilakukan dengan baik. Namun demikian untuk memanfaatkan masjid sebagai pusat kehidupan bermartabat terutama untuk membantu umat yang masih masuk kedalam kelompok miskin, agar kehidupan mereka lebih sejahtera & bermartabat, diperlukan seorang pengelola kegiatan social masyarakat, atau kita sebut manajer. Manajer inilah yang menyusun program sosial & kesejahteraan umat masjid dengan melakukan pengelolaan peningkatan dana zakat, amal, infaq, shadaqah dan lain-lain dari umat yang “lebih berada” disekitar masjid, serta menyalurkabbya untuk umat sekitar masjid “yang membutuhkan”. Pengelolaan dana dan penggunaannya. Manajer melakukan pembukuan secara transparan dana yang diterima serta merancang penggunaannya sesuai ketentuan agama. Untuk itu: (i) biaya operasional masjid sebagai pusat ibadah dan kegiatan sosial masyarakat; (ii) menyusun program untuk kesejahteraan umat dan masyarakat miskin di wilayah sekitar masjid; (iii) merencanakan penggunaan dana dan pengumpulan dana untuk program dalam butir (ii); (iv) mengawasi penggunaannya untuk umat agar benar-benar digunakan untuk peningkatan kesejahteraan (sekolah,berobat,kebutuhan program dll).
Dengan cara tersebut, maka pembayar zakat, amal, infaq, shadaqah dll dapat mengetahui penggunaan dana yang lebih “manfaat dan baraqah” bagi masyarakat miskin. Bagi pengelola, pertanggungjawaban & transparansi dapat mengurangi kecurigaan masyarakat umum dan pihakpihak lain. Bagi penerima dana akan terbantu dengan cara lebih “obyektif” (tidak merasa merepotkan individu2 kaya dan terhina). Selain itu, pengawasan dan bimbingan dari manajer akan membantu masyarakat miskin lebih baik dan mengangkat sedikit demi sedikit dar kemiskinan. Dengan adanya fungsi masjid sebagai tempat tuntunan ibadah agama dan tuntunan hidup di dunia nyata, maka langkah ini mendukung
44
perwujudan dan penerapan agama di masjid sebagai alat untuk kesejahteraan melalui dunia dan akherat secara nyata. Untuk langkah konkrit ini dilandasi beberapa hal: (i) pembangunan masjid di berbagai daerah berjalan dengan pesat dan bahkan letak masjid seringkali terlalu berdekatan, sehingga lebih banyak masjid mushalla yang seringkali kosong dan tidak memenuhi kuorum berjamaah. Hal ini menujukkan bahwa terdapat “kelebihan” dana zakat untuk pembangunan fisik masjid dan kurang pemanfaatan yang lebih produktif masih diwujudkan dalam bentuk pembangunan masjid; (ii) masih banyak masyarakat di sekitar masjid yang berkekurangan. Dengan demikian akan lebih baik apabila sebagian dana zakat yang terkumpul digunakan pula untuk membantu kesejahteraan umat Islam di sekitar masjid. Secara positif, dengan pengelolaan dan pemanfaatan dana melalui masjid maka: (i) masjid akan merupakan pusat ibadah kepada Allah dan pusat ibadah kepada manusia yang merupakan penerapan agama dalam kehidupan sehari-hari secara nyata di masyarakat. Dengan demikian, akan menghidupkan masjid sebagai pusat kehidupan dunia dan akherat, dan sekaligus sebagai tempat menerapkan agama sebagai tuntunan kehidupan tidak saja dengan Allah namun juga antar manusia; (ii) dengan adanya manajer yang mengelola dana zakat, maka akan menciptakan lapangan kerja bagi sarjana-sarjana atau penganggur terdidik lainnya. Hal ini membantu perekonomian nasional untuk menumbuhkan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran; (iii) dapat meningkatkan secara langsung kesejahteraan masyarakat sekitar masjid. Dengan kedekatan ini masyarakat merasakan manfaat masjid dan manajer masjid dapat secara tepat saaran membantu dan menyalurkan zakat kepada pihak yang memang membutuhkan (right targetting). Hal ini dapat dilakukan karena pengurus/manajer masjid mengenal masyarakat miskin yang dibantu satu per satu dengan segala kebutuhan spesifiknya. Dengan demikian, bantuan akan dapat digunakan secara lebih produktif dan diawasi dengan baik serta dapat dicegah agar tidak menciptakan ketergantungan. Melalui cara ini, masjid dapat membantu masyarakat mengentaskan diri dari kemiskinan dengan kekuatannya sendiri. Langkah ini merupakan perwujudan langkah penanggulangan kemiskinan yang lebih sustainable, hal yang seringkali dikhawatirkan tidak terjadi dalam program yang berskala besar dan nasional. Dalam proses ini tidak tertutup kemungkinan seorang manajer pengelola dana zakat di masjid akan didampingi pula oleh pembina, baik pembina usaha maupun pembina kegiatan untuk mendampingi penggunaan zakat untuk kegiatan yang lebih produktif. Untuk dapat memfasilitasi hal ini, pemerintah dapat melakukan: (i) pendaftaran dan standardisasi pengelolaan masjid dan pengelolaan dana zakat yang mengalir ke dalam suatu masjid; (ii) melakukan kegiatan peningkatan penyadaran (awareness) para pengelola masjid dan pelatihan bagi manajer masjid; (iii) membantu sistem pendataan umat dan masyarakat miskin di sekitar masjid. Dalam kaitan dengan data umat dan masyarakat miskin, data yang dapat digunakan adalah data PPLS 2008, serta data masyarakat penyandang masalah sosial yang perlu mendapat bantuan. Apabila data PPLS kurang detil, maka manajer masjid dapat melakukan pendataan masyarakat yang masih terlewat dan membuat peta kemiskinan lingkungan masjid. Dengan demikian, penggunaan mekanisme ini akan melengkapi program dan bantuan kepada masyarakat miskin dan dhuafa, terutama yang tidak terdaftar sebagai penduduk dan kartu keluarga sehingga sering luput dari program pemerintah; dan sehingga seluruh masyarakat yang membutuhkan akan dapat terbantu dengan lebih baik. 45
5.4.
BEBERAPA LANGKAH DASAR UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN
Berdasarkan berbagai uraian di atas, berikut ini adalah beberapa langkah dasar yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menumbuhkan berbagai langkah terwujudnya pertumbuhan yang pro rakyat miskin (pro poor growth): 5.4.1. Pada aspek legal: 1.
2.
Menyelesaikan penyusunan UU Lembaga Keuangan Mikro dengan fokus (paling tidak) pada tiga aspek, yaitu: (1) perlindungan bagi nasabah penyimpan, (2) akses lembaga keuangan mikro pada dana perbankan, serta (3) penyaluran kredit bagi usaha mikro. Review terhadap peraturan-peraturan di daerah yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap penduduk miskin, dan selanjutnya dilakukan advokasi agar peraturanperaturan tersebut dapat dibatalkan atau direvisi agar menjadi peraturan yang lebih ‘ramah’ bagi orang miskin. Review peraturan ini juga akan dapat mengembangkan sector informal dengan lebih baik
5.4.2. Perluasan Komunikasi dan pembelajaran agar penanggulangan kemiskinan lebih partisipatif 1.
Fasilitasi dialog antar lembaga-lembaga sosial keagamaan untuk mendorong penyaluran dana sosial berlatarbelakang keagamaan untuk pengembangan kegiatan ekonomi produktif. Jika dimungkinkan, pengembangan jaringan nasional untuk pendanaan sosial berbasis keagamaan merupakah salah satu alternatif yang dapat dipertimbangkan untuk dibentuk. Dalam dialog ini ide penerapan masjid sebagai pusat kehidupan umat dapat didiskusikan penerapannya.
2.
Internalisasi strategi penanggulangan kemiskinan, sebagaimana sudah dimasukkan ke dalam RPJM 2005-2009 ke dalam dokumen perencanaan daerah, termasuk peningkatan kapasitas untuk perencanaan dan penganggaran yang lebih pro penanggulangan kemiskinan.
3.
Penyusunan buku praktek-praktek yang baik (good practices) dalam pengembangan wisata perdesaan berbasis potensi dan budaya lokal dengan menggunakan pendekatan bottom up dan partisipatif. Buku ini akan disebarluaskan pada kalangan pemerintah daerah dan juga (calon) investor untuk mendorong mereka mengembangkan usaha sejenis di daerah masing-masing.
4.
Penyebarluasan pernyataan kebijakan (policy statement) bagi pemerintah daerah agar menjadi keseimbangan antara ketertiban/keindahan dengan hak untuk mencari nafkah, serta ajakan untuk mengedepankan dialog dan menghindari cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan sektor informal di perkotaan. Termasuk dalam hal ini adalah memberikan penghargaan kepada pemerintah daerah yang dianggap berhasil dalam menangani sektor informal.
46
5.4.3. Pemantapan Kegiatan Pilot dan Upaya perluasannya 1. Pilot project pengembangan pasar tradisional di daerah berdasarkan praktek-praktek baik yang telah dilakukan oleh daerah lain dengan prinsip tetap membuka kesempatan berusaha bagi pedagang kecil tradisional, tetapi tidak melupakan aspek kenyamanan bagi pembeli, serta mendorong fungsi tradisional sebagai salah satu tujuan wisata. Pengembangan pasar tradisional juga dilakukan dengan memperhatikan aspek kepemilikan, dimana pedagang tradisional menjadi pemilik pasar, atau paling tidak menjadi bagian dari pemilik. 2. Pilot untuk pengembangan Masjid sebagai pusat kehidupan umat 3. Pengembangan dan penyebarluasan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat), termasuk pilot project penerapan prinsip-prinsip PHBM untuk pengelolaan aset produktif di daerah perkotaan. Prinsip dasar pendekatan ini adalah menggunakan asset produktif milik negara sebagai instrumen kebijakan perluasan kesempatan berusaha bagi orang miskin, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kepemilikan/ penguasaan asset sesuai peraturan yang berlaku. 4. Revitalisasi dan perluasan fungsi penyuluh pertanian agar dapat berfungsi kembali dalam meningkatkan ketrampilan petani, termasuk di dalamnya ketrampilan berorganisasi, khususnya dalam membetuk dan menjalankan koperasi. Dengan pendekatan ini, penyuluh pertanian tidak hanya perlu menguasai pengetahuan tentang teknis pertanian, tetapi juga teknis berorganisasi, teknis penggalian informasi tentang pertanian, teknis pengelolaan organisasi pengusaha, dsb untuk disampaikan kepada petani. 5. Pemetaan potensi grassroot business organization (GBO), masalah yang dihadapi dan dukungan yang dibutuhkan, termasuk di dalamnya kemungkinan pembentukan simpul organisasi bagi GBO (GBO hub). Kegiatan ini dapat ditindaklanjuti dengan pemberian dukungan yang bersifat tidak langsung sesuai dengan kebutuhan GBO. Kegiatan ini dapat ditindaklanjuti dengan pemberian dukungan yang bersifat tidak langsung sesuai dengan kebutuhan GBO, baik yang ada di perdesaan maupun di perkotaan.
47
Lampiran 1. Tabel 5.1. Daftar GBO Hasil Pemetaan Oleh IFC/AKADEMIKA/EMC, 2005 Provinsi DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Nama GBO Yayasan Bina Swadaya Yayasan PEKERTI Yayasan Sekar PD Hikmah KUD Karya Teguh KUD Mukti Ciwidey Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU) Koperasi Peternak Susu Bandung Selatan Koperasi Sekolah Islam “Al-Ittifaq” TK Karamel KUD Walatra Agus Triyono Antiques CV Bayu Kartika Aji UD BELIDO Dima’s Art & Antiques CV Indah Melati Kencono Seto PT Kharisma Rotan Mandiri Kurnia Jepara Maribel Queen Furniture Radian Surya Tama PT Warna Citrasani PT Warasindo Santakarya APIKRI CV Batavia International PT Dekorasia Hadi Sukirno Leather Work & Handicraft KP3Y CV Maju Karya PT Out Of Asia Slamet Zaini Wood & Bamboo Handicraft YAKKUM Craft Toko Muslim Alib Bengkel Kriya Daun 9996 Julita Joylita Water Hyacinth Yayasan Makhroja UD Pranayama Bali Yayasan Pekerja Mandiri PT Rattan Jaya Sari Kenongo CV Sekarjati Tiara Handicraft Arto Meris CV Dharmasari Yayasan Mitra Bali Phata Handicraft PT Surya Artha Buana Jaya
48
BAGIAN III. PEMENUHAN HAK UNTUK MASYARAKAT MISKIN Penanggulangan kemiskinan semakin meluas dimensinya, mencakup dimensi moneter (pendapatan) dan non moneter (non pendapatan). Sementara berdasarkan dimensi pendapatan, jumlah penduduk dibawah garis kemiskinan terus menurun, pada dimensi non pendapatan masih terbatas pencapaian dan pemerataan capaian antar kelompok pendapatan. Dalam rangka memenuhi tingkat capaian pada dimensi non pendapatan, dalam RPJM 2004-2009, telah dicantumkan 10 (sepuluh) hak dasar yang harus dipenuhi untuk masyarakat miskin, sebagai bagian dari hak azasi manusia. Dalam kurun waktu pelaksanaan RPJM 2005-2009 dan dalam rangka melaksanakan agenda Millenium Development Goals (MDG), Indonesa telah melengkapi pemenuhan hak tersebut melalui berbagai kebijakan dan program untuk memenuhi kebutuhan dasar terutama yaitu: hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas layanan kesehatan. Hak-hak lain misalnya hak atas air bersih dan sanitasi, hak atas rasa aman, hak berpartisipasi dalam pembangunan, dan lain lain juga sudah disediakan kebijakannya, meskipun kebijakan dan langkah afirmasinya untuk masyarakat miskin belum sejelas pada ketiga hak (pangan, pendidikan dan kesehatan) tersebut di atas. Sehubungan dengan itu, di dalam Bagian III, dilakukan analisa pemenuhan hak dasar tersebut dan bagaimana pelaksanaannya. Ke depan, dimensi hak dan kebutuhan dasar tersebut akan terus dipenuhi dengan menyusun kebijakan dan langkah yang lebih afirmatif kepada masyarakat miskin. Di bagian terakhir akan disusun rekomendasi untuk strategi dan langkah ke depan untuk memenuhi kebutuhan dan hak masyarakat miskin.
49
BAB VI. PEMENUHAN HAK DASAR BAGI MASYARAKAT MISKIN
Di dalam RPJM 2004-2009, sudah dinyatakan tentang pentingnya pemenuhan 10 hak dasar bagi masyarakat miskin. Terdapat sebanyak 10 hak dasar yang terkait dengan penanggulangan kemiskinan,yaitu: (i) Hak atas pangan; (ii) Hak atas kesehatan; (iii) Hak atas pendidikan; (iv) Hak atas pekerjaan; (v) Hak atas perumahan; (vi) Hak atas air bersih; (vii) Hak atas tanah; (viii) Hak atas lingkungan hidup dan SDA; (ix) Hak atas rasa aman; dan (x) Hak atas berpartisipasi. Sepuluh hak dasar ini diadopsi di dalam RPJM 2004-2009 esuai dengan hasil Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang disusun bersama antara pemerintah dengan seluruh stakeholders penanggulangan kemiskinan. Meskipun demikian, sampai dengan akhir pelaksanaan RPJM 2004-2009, belum semua hak dasar tersebut memiliki kebijakan afirmasi dari setiap sektor yang melayaninya. Bidang/sektor yang sudah memiliki kebijakan dan program yang ditujukan untuk masyarakat miskin adalah pangan, kesehatan, dan pendidikan. Untuk bidang-bidang lain sudah memiliki kebijakan secara umum/broad based namun belum cukup memberi perlakukan khusus (keberpihakkan) pada masyarakat atau rumah tangga miskin. Untuk itu, sejalan dengan hasil background study RPJM, beberapa arah penyempurnaan di dalam RPJM ke depan adalah: meningkatkan kualitas pelaksanaan langkah pemenuhan hak dasar yang sudah ada serta melengkapi kebijakan dan langkah/program/kegiatan afirmasi untuk memenuhi hak dasar sebagaimana diuraikan di atas. Untuk dapat melaksanakan hal tersebut diperlukan telaahan penerapan pemenuhan hak-hak dasar di tingkat landasan hukum, kebijakan serta capaian hasil pelaksanaannya, sebagaimana dilakukan pada bagian berikut ini.
6.1.
PEMENUHAN HAK DASAR BAGI MASYARAKAT MISKIN
Sesuai dengan arahan RPJM 2004-2009, kemiskinan yang secara sempit sering diartikan dengan ketidakcukupan kemampuan ekonomi seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk tingkat hidup minimal tertentu, sudah meluas kepada pemenuhan hak-hak dalam kehidupan yang lebih luas. Mengacu kepada SNPK, kemiskinan didefinisikan sebagai: “Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan bermartabat”. Hak-hak dasar yang secara umum diakui adalah 10 (sepuluh) hak sebagaimana tersebut di atas. Untuk melaah sejauh mana pemrintah sudah memenuhi kewajiban untuk memenuhi hak-hak tersebut, berikut ini akan ditelaah satu-persatu masing-masing hak, dengan menguraikan kebijakan yang sudah disediakan pemerintah, capaian dan permasalahan yang masih dihadapi dalam pemenuhan hak-hak dasar tersebut.
50
1).
HAK ATAS PANGAN
Sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas pangan adalah: terpenuhinya kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau. Untuk memenuhi hak atas pangan masyarakat secara umum dan agar masyarakat miskin dapat menjangkau akses terhadap pangan yang disediakan melalui berbagai tingkat kebijakan. Tingkat kebijakan adalah: (i) adanya landasan hukum yang menjamin hak atas pangan bagi masyarakat, dan termasuk masyarakat miskin; (ii) adanya program untuk melaksanakan peraturan tersebut dan langkahlangkah untuk menjamin akses pangan bagi semua, termasuk masyarakat miskin; (iii) tingkat pencapaian hasil pelaksanaan kebijakan dan program di tingkat masyarakat. Kebijakan dan Landasan Hukum. Dalam tataran kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan landasan hukum untuk menjamin hal ini yaitu Undang-undang Nomor 6 Tahun 1997 tentang Pangan. Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab mewujudkan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup (baik dalam jumlah maupun mutunya), aman, merata dan terjangkau. Dalam tataran pelaksanaannya, sudah diterbitkan PP No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumber Daya Lokal dan PP No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Dengan landasan hukum tersebut, maka diharapkan masyarakat dapat tercukupi kebutuhan pangannya di tingkat rumah tangga. Selain itu, ketentuan pendukung lain untuk mengintensifkan peningkatan ketersediaan beras, stabilisasi harga dan menyediakan akses bahan pangan pokok, dikeluarkan pula Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2002, Inpres Nomor 2 Tahun 2005, dan Inpres Nomor 3 Tahun 2007 tentang kebijakan perberasan. Selanjutnya, dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut, agar pemenuhan hak atas pangan bagi masyarakat miskin laki-laki dan perempuan dilakukan dengan: (1) memperluas kesempatan memperoleh pangan melalui penyempurnaan sistem penyediaan dan distribusi pangan secara merata dengan harga terjangkau, (2) memberdayakan kelembagaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas kelembagaan pendukung ketahanan pangan berbasis masyarakat, (3) meningkatkan kapasitas masyarakat miskin dan daerah rawan pangan dan gizi peningkatan sistem kewaspadaan dini dalam gizi dan rawan pangan, (4) meningkatkan perlindungan sosial melalui kebijakan yang diarahkan pada perlindungan dan jaminan kecukupan pangan pada kelompok yang rentan terhadap goncangan ekonomi, sosial dan bencana alam, serta (5) meningkatkan kemitraan global yang dilakukan melalui kebijakan yang diarahkan untuk melindungi produk pangan dalam negeri dari produk impor. Program-program Terkait Pemenuhan Hak atas Pangan. Program pembangunan di bidang pangan dan pertanian dilakukan untuk mememenuhi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Program tersebut meliputi: sisi supply untuk menjamin ketersediaan adalah peningkatan produktivitas dan produksi pangan; di sisi distribusi adalah perdagangan dan distribusi pangan yang dapat meratakan produksi ke daerah konsumsi atau defisit serta menstabilkan harga, sedangkan di sisi konsumsi adalah pendidikan gizi dan peningkatan daya beli (pendapatan).
51
(1) Peningkatan Produksi Pangan: Peningkatan produksi pangan lokal/diversifikasi pangan. Pemerintah melalui Departemen Pertanian melakukan dorongan dan dukungan kepada masyarakat untuk meningkatkan produksi pangan pokok, melalui pembinaan peningkatan produksi, baik oleh aparat maupun penyuluh pertanian; kelancaran dan kecukupan benih dan pupuk, baik melalui pelayanan aparat pertanian, maupun pneyediaan subsidi benih dan subsidi pupuk agar harag sarana produksi tersebut dapat dijangkau oleh petani produsen. (1)
Kelancaraan distribusi dan stabilisasi harga a. Peningkatan ketersediaan stok pangan secara merata di semua daerah/peningkatan distribusi pangan; b. Peningkatan efisiensi sistem dan jaringan distribusi pangan nasional yang menjamin keterjangkauan harga bahan pangan. c. Pemberantasan penyelundupan produk pangan dari luar negeri.
(2)
Peningkatan ketersediaan di tingkat masyarakat dan rumah tangga a. Revitalisasi lembaga ketahanan pangan rakyat dan diversifikasi pangan; b. Bantuan pangan untuk kelompok yang rentan terhadap goncangan ekonomi, sosial dan bencana alam; dan c. Subsidi beras untuk rumah tangga miskin (Raskin).
(3)
Program Perbaikan Gizi Masyarakat a. Pengembangan pendidikan gizi keluarga; dan b. Pemberian bantuan makanan tambahan/makanan pendamping ASI, terutama pada bayi, anak balita, dan ibu hamil. KETAHANAN PANGAN DAN SUBSIDI PENDUKUNGNYA
KETAHANAN KETAHANANPANGAN PANGAN Program Peningkatan Produksi Pangan (Padi, palawija, daging dan ikan)
KETERSEDIAAN PANGAN (PRODUKSI DN, CADANGAN,IMPOR)
DISTRIBUSI DAN KONSUMSI
PENANGGULANGAN MASALAH PANGAN
KURANG PANGAN
Program Perdagangan DN Stabilisasi Harga Pangan Pokok Perbaikan gizi masyarakat
PENDAPATAN RENDAH/MISKIN
LONJAKAN HARGA
BENCANA
INSENTIF PRODUKSI: HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH-BERAS SUBSIDI INPUT: PUPUK dan BENIH
RASKIN
CADANGAN BERAS PEMERINTAH
SUBSIDI SUKU BUNGA KKP
Bagan 6.1. Ketahanan Pangan dan Subsidi Pendukungnya
52
Salah satu upaya yang dilakukan untuk menyediakan dan memperluas akses pangan bagi masyarakat adalah melalui kebijakan di bidang perberasan yang setiap tahunnya diatur melalui Instruksi Presiden (Inpres). Upaya ini utamanya bertujuan untuk menjamin daya beli masyarakat, terutama masyarakat miskin, dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat miskin, Pemerintah tetap mengupayakan penyediaan beras bersubsidi melalui program beras bagi keluarga miskin (raskin). Program ini dimaksudkan untuk meringankan beban masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok. Selain itu, Pemerintah terus melakukan kebijakan dan program pengendalian harga beras di tingkat konsumen melalui operasi pasar apabila terjadi gejolak harga. Di tingkat petani, Pemerintah juga berupaya untuk menstabilkan harga gabah, terutama pada saat panen raya. Upaya ini ditempuh melalui program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP). DPM-LUEP dilaksanakan dalam bentuk pemberian dana talangan pembelian gabah atau beras petani, dengan harga yang wajar dan mengacu pada Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP). Dana talangan yang diberikan merupakan pinjaman tanpa bunga, tetapi bukan skema kredit sehingga harus dimanfaatkan sesuai dengan pedoman umum yang telah ditentukan, yaitu untuk pembelian gabah langsung dari petani dengan harga yang mengacu kepada HDPP. Pelaksana dan penanggung-jawab program ini berada pada Departemen Pertanian. Dengan upaya tersebut berbagai capaian telah berhasil diraih. Capaian Pelaksanaan Kebijakan. Pemenuhan kebutuhan pangan yang layak dan memenuhi persyaratan gizi di tingkat rumah tangga dicerminkan oleh: (i) meningkatnya ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh meningkatnya produksi dan stok pangan dan konsumsi pangan; dan (ii) akses pangan tersedia dan terjangkau yang ditunjukan oleh harga pangan yang relatif terjangkau dan stabil. Dari Tabel 6.1. dapat dilihat total beras yang tersedia sejak tahun 2004 sampai dengan 2009 meningkat terus, hal ini disebabkan produksi beras yang juga terus naik dari sebesar 34,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi sekitar 40,1 juta ton pada tahun 2009. Tabel 6.1. Perkembangan produksi, cadangan dan ketersediaan beras Tahun
Produksi beras Cadangan beras (ribu ton) (ribu ton) 2004 34.346,2 350,0 2005 34.385,9 338,8 2006 34.578,9 337,3 2007 36.294,9 177,5 2008 38.305,1 348,7 2009* 40.053,3 342,3 Sumber: BPS, berbagai tahun Catatan: *) Realisasi sd 10 November 2009
Total tersedia (ribu ton) 34.696,2 34.724,7 34.916,2 36.472,4 38.653,8 40.395,6
Selanjutnya sejak tahun 1996, perkembangan harga beras secara nominal terus meningkat (Tabel 6.2.). Pada awal tahun 1996, harga beras per Kg sekitar Rp. 1.070,-, dan pada akhir tahun 1997 harganya sudah menjadi Rp. 1.512,-. Selanjutnya peningkatan harga terbesar terjadi pada tahun 53
1998, dimana pada awal tahun telah mencapai Rp. 1.830,-. Sepanjang tahun 1998, harga beras terus meningkat, dan mencapai puncaknya pada bulan September yaitu Rp. 3.523,-. Secara ratarata, harga beras pada tahun tersebut adalah Rp. 2.429,- yang berarti meningkat 200 persen dibandingkan harga rata-rata tahun sebelumnya. Peningkatan harga ini tidak bisa dilepaskan dari meluasnya krisis moneter dan finansial sehingga menyebabkan tingginya tingkat inflasi, termasuk di dalamnya harga pangan. Tabel 6.2. Perkembangan Harga Beras (Ribu Rp/Kg) Tahun 1996-2007 Bulan
JAN
FEB
MAR
APR
MEI
JUN
JUL
AUG
1996
1.07
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1997
1.21
1.23
1.22
1.14
1.16
1.17
1.17
1.17
1998
1.83
1.92
1.84
1.82
1.67
1.99
2.38
2.81
1999
3.27
3.22
3.08
3.1
3.13
3.15
3.08
2.9
2000
2.79
2.86
2.85
2.78
2.78
2.78
2.78
2001
2.7
2.86
2.89
2.79
2.72
2.72
2002
3.51
3.79
3.64
3.56
3.62
3.62
2003
3.3
3.34
3.28
3.13
3.09
3.09
2004
3.32
3.34
3.37
3.36
3.35
2005
3.45
3.42
3.47
3.43
3.4
2006
4.47
4.81
4.7
4.69
4.86
2007
5.94
6.45
6.41
6.08
5.96
SEPT
DES
Ratarata
CV (%)
OKT
NOV
1.1
1.1
1.16
1.17
1.106
13.81
1.19
1.28
1.4
1.51
1.236
13.45
3.52
3.18
3.03
3.17
2.429
10.75
2.79
2.77
2.77
2.77
3.003
9.43
2.72
2.66
2.58
2.59
2.61
2.732
9.93
2.72
2.72
2.75
2.83
2.91
3.01
2.802
9.79
3.59
3.58
3.08
3.08
3.08
3.14
3.441
8.69
3.14
3.18
3.25
3.28
3.28
3.29
3.221
9.03
3.35
3.35
3.35
3.32
3.3
3.15
3.19
3.311
8.87
3.42
3.47
3.5
3.61
3.81
3.83
3.96
3.563
8.49
4.92
4.96
5.09
5.06
4.86
5.19
5.63
4.936
6.90
5.95
5.94
5.97
5.98
5.98
5.99
6.15
6.066
6.28
Sumber : BPS, Data diolah.
Peningkatan harga beras terus berlanjut hingga tahun 2007, dimana harga rata-rata beras tahun 2007 mencapai Rp. 6.066,-. Secara nominal, peningkatan harga dari tahun 1998 sampai 2007 adalah hampir 300 persen. Namun, apabila dilihat dari nilai covarian, maka pergerakan nilainya masih dibawah 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan (peningkatan) harga antar bulan pada masing-masing tahun relatif kecil. Peningkatan harga beras yang relatif kecil tersebut mencerminkan kestabilan harga beras domestik. Bahkan, dengan tekanan harga beras internasional yang meningkat tajam, tidak berdampak terhadap harga domestik. Kebijakan stabilitas harga yang diambil pemerintah dinilai turut mempertahankan stabilitas harga beras domestik. Meskipun demikian, ketersediaan pangan yang tinggi tersebut tidak langsung berkorelasi positif dengan tingkat konsumsi pangan terutama untuk masyarakat miskin yang memiliki daya beli (pendapatan) rendah. Tingkat konsumsi konsumsi kalori pada tahun 2008 meskipun sudah meningkat dibanding tahun 2006, namun masih berada di bawah tingkat kecukupan sebesar 2.100 kalori (Tabel 6.3). Apabila kita melihat capaian antar 5 (lima) kelompok pendapatan (kuantil), nampak bahwa pada kelompok berpendapatan tertinggi (kuantil 4 dan 5), konsumsi kalori sudah >2.100 kkal/hari. Namun pada kelompok 2, dan 1 masih jauh dari standar minimal tersebut. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap kualitas pembangunan sumberdaya manusia terutama generasi muda, untuk dapat berusaha meningkatkan produktivitas dan kesejahteraannya di kemudian hari.
54
Tabel 6.3. Tingkat Konsumsi Energi tahun 2006 dan 2008 Asupan Kalori (kkal/kapita/ hari) Kuantil 2006 2008 1 1.564 1.613 2 1.799 1.856 3 1.933 2.007 4 2.039 2.133 5 2.216 2.308 Rata-rata 1.923 1.983 Sumber: BPS Permasalahan. Dengan berbagai capaian tersebut di atas, nampak bahwa ketersediaan (supply) bahan pangan terutama beras sudah mensukupi. Namun demikian, pada sisi konsumsi, nampak masih masih belum memenuhi standar. Beberapa masalah yang dihadapi untuk dapat mencapai: (i) Konsumsi pangan berorientasi pada beras (beras-sentris); (ii) Standar kecukupan pangan, dari sisi kalori secara rata-rata masih belum memenuhi kecukupan minimumnya; dan (iii) Kesenjangan konsumsi pangan antar kelompok pendapatan. Dalam rangka mengatasi masalah tersebut berbagai tantangan yang dihadapi baik di sisi produksi maupun di sisi konsumsi. Disisi produksi, pertama, tantangan yang dihadapi adalah mempertahankan ketersediaan pangan nasional secara seimbang, dari beras dan pangan pokok lain. Tantangan ini perlu diatasi dengan baik karena keterbatasan lahan pertanian terutama lahan produksi padi semakin tinggi. Konversi lahan terjadi terutama pada lahan sawah yang memiliki kontur landai dan infrastruktur baik meningkatkan nilai lahan pertanian padi. Demikian pula, lahan padi yang pada umumnya subur juga mendapat tantangan dari adanya penggunaan lahan padi untuk komoditas sekunder lain misalnya jaung, kedele, tebu serta hortikultura yang cepat dan bernilai tinggi. Kedua, meningkatkan ketersediaan pangan dalam bentuk olahan yang dapat dikonsumsi secara praktis, murah dan mudah untuk difortifikasi dengan mikro nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Bentuk pangan olahan menjadi alternative pula untuk mengurangi tekanan terhadap beras, serta mengikuti pola konsumsi masyarakat menengah ke bawah yang sudah serba praktis, sehingga menginginkan produk yang enak dan murah. Kecenderungan yang terjadi pada masyarakat kelompok bawah adalah mengkonsumsi mie instant dan mungkin roti, yang ditunjukkan oleh meningkatnya konsumsi tepung terigu sebagai sumber karbohidrat kedua setelah beras. Ketergantungan pada tepung terigu yang merupakan produk impor dalam jangka menengah panjang perlu diperhatikan dampak secara serius dan dicari solusi yang baik. Keberadaan pangan instan, mudah dan murah telah meningkatkan kemuduhan masyarakat untuk makan dengan kenyang, namun ternyata kurang memenuhi kecukupan gizi. Di sisi distribusi perlu dijaga agar distribusi dan perdagangan pangan dapat menyebarkan produksi ke daerah-daerah defisit dan non produksi sehingga masyarakat akan dapat mengakses bahan pangan pokok sepanjang tahun. Dengan distribusi yang baik, maka stabilitas harga dapat dijaga dan jangkauan masyarakat miskin terhadap pangan akan dapat ditingkatkan. 55
Di sisi konsumsi, upaya peningkatan bentuk pangan yang mudah dikonsumsi tersebut di atas juga perlu diikuti dengan pendidikan gizi yang baik, agar supaya masyarakat terutama kaum ibu dapat menyediakan makanan dengan gizi baik kepada anak-anaknya yang merupakan faktor penting untuk mendukung peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Faktor kedua yang perlu diperhatikan adalah daya beli petani dan masyarakat miskin, karena dengan daya beli yang baik, konsumsi dapat ditingkatkan dan peluang untuk keragaman konsumsi terutama non beras dapat ditingkatkan pula. Memperhatikan itu semua, permasalahan akhir dari pangan yang dihadapi bagi masyarakat miskin adalah rendahnya konsumsi pangan terutama di kuintel satu dan dua. Rendahnya konsumsi selain dipengaruhi oleh masalah umum di bidang pangan sebagaimana di atas, juga disebabkan pendidikan gizi dan daya beli masyarakat miskin.
2).
HAK ATAS LAYANAN KESEHATAN
Sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas layanan kesehatan dalam lima tahun mendatang adalah terpenuhinya pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau. Jaminan kesehatan diamanahkan dalam perubahan UUD 1945 pasal 28H ayat(1) yang menyatakan bahwa ” Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya dalam pasal 28H ayat (3) ditegaskan lagi bahwa ”Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”. Sebagai bentuk pelaksanaan amanah UUD 1945, pada tahun 2001, ditetapkan Undang-Undang No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam UU SJSN, sistem jaminan sosial ini dibangun agar mampu mengatasi persoalan-persoalan yang dapat menyebabkan masyarakat menjadi miskin seperti penyakit, kecelakaan, kematian, usia tua, pensiun dan kecacatan. Sistem ini juga dibangun untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup dasar serta untuk mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan sosial. Sementara itu UU tentang kesehatan tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan dan memperoleh akses yang sama atas sumber daya di bidang kesehatan, serta memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Arah kebijakan. Pemenuhan hak dasar masyarakat miskin atas layanan kesehatan yang bermutu dilakukan dengan: (1) memperluas kesempatan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan investasi kesehatan guna menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, termasuk realokasi anggaran kesehatan, dan meningkatkan ketersediaan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau Menjamin perlindungan resiko akibat pengeluaran kesehatan bagi masyarakat miskin, (2) memberdayakan kelembagaan masyarakat melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pelayanan kesehatan masyarakat miskin, (3) meningkatkan kapasitas masyarakat miskin yang 56
dilakukan melalui kebijakan yang diarahkan pada upaya penanggulangan masalah kesehatan masyarakat miskin seperti TBC malaria, rendahnya status gizi dan akses pelayanan kesehatan reproduksi, serta (4) upaya kemitraan global melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan kerjasama global dalam penanggulangan masalah kesehatan masyarakat miskin Program-program Terkait Pemenuhan Hak atas Layanan Kesehatan. Tujuan program-program ini adalah untuk memenuhi hak dasar masyarakat miskin atas layanan kesehatan yang bermutu. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan melalui program-program diantaranya: (1)
Program Upaya Kesehatan Masyarakat a. Revitalisasi alokasi anggaran untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat miskin, termasuk realokasi anggaran untuk upaya kesehatan masyarakat (UKM); b. Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya; c. Penyediaan biaya operasional dan pemeliharaan; d. Peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan dasar di daerah terpencil, tertinggal, dan terisolasi melalui peningkatan pemerataan mutu dan jumlah tenaga medis, obat esensial dan perbekalan kesehatan; e. Pengadaan peralatan dan perbekalan kesehatan termasuk obat generik esensial; f. Peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang mencakup promosi kesehatan, kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, perbaikan gizi, kesehatan lingkungan, pemberantasan penyakit menular, dan pengobatan dasar; g. Pembinaan peranserta masyarakat dalam upaya kesehatan terutama pemberdayaan perempuan dan keluarga, revitalisasi Posyandu dan UKBM lainnya; h. Peningkatan kerjasama dan koordinasi antarnegara, antarlembaga donor dan organisasi internasional; i. Penetapan SPM (standar pelayanan minimum) bidang kesehatan sebagai tolok ukur pemenuhan hak atas pelayanan kesehatan; j. Pembinaan dan pengembangan sarana pelayanan kesehatan pada rumah sakit swasta untuk memperluas jangkauan pelayanan masyarakat miskin; dan k. Pengembangan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin.
(2)
Program Upaya Kesehatan Perorangan a. Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah sakit.
(3)
Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit a. Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penyakit menular, lingkungan sehat, kelangsungan dan perkembangan anak, dan kesehatan reproduksi, bahaya merokok secara komprehensif.
(4)
Program Perbaikan Gizi Masyarakat a. Peningkatan pendidikan gizi; dan b. Penanggulangan kurang energi protein, anemia gizi besi, ganguan akibat kurang yodium, kurang vitamin A, dan kekurangan gizi mikro.
57
Capaian sasaran. Dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata dan bermutu bagi masyarakat, ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai sangat dibutuhkan. Sampai dengan akhir 2008, telah tersedia 8.234 Puskesmas, 22.337 Puskesmas Pembantu, 6.631 Puskesmas Keliling Roda Empat, dan 838 Puskesmas Keliling Air. Dalam rangka memperluas jaringan pelayanan kesehatan dasar di tingkat desa, sampai dengan akhir 2008 telah dibangun Poliklinik Kesehatan Desa sebagai salah satu upaya perwujudan Desa Siaga. Sejak 2006, telah dilakukan pula pencanangan pengembangan Desa Siaga dan dikembangkan 12.300 Desa Siaga yang dilengkapi dengan 12.300 Poliklinik Kesehatan Desa. Pada 2008, jumlah Desa Siaga telah meningkat menjadi 43.135 desa. Pada 2009, ditargetkan seluruh desa akan menjadi desa siaga. Di samping itu, kegiatan berbasis pemberdayaan masyarakat juga terus dilaksanakan sebagai upaya untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi, angka kematian ibu, dan meningkatkan status gizi balita. Upaya tersebut antara lain melalui pengembangan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pada saat ini, tercatat Posyandu aktif sebanyak 269.202 kegiatan. Angka ini meningkat dibanding 2004 yang sebanyak 206.971 kegiatan. Jumlah balita yang terlayani kegiatan Posyandu juga mengalami peningkatan dari 43 persen menjadi 60 persen selama kurun waktu 2004-2008. Selanjutnya sejak sebelum 2005, Pemerintah telah melakukan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM). Program ini kemudian berganti nama menjadi Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) pada 2005, dan berganti lagi menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada 2008. Program ini merupakan pelayanan kesehatan kepada penduduk miskin melalui asuransi kesehatan. Melalui program ini seluruh penduduk miskin dapat memperoleh pelayanan kesehatan di puskesmas dan jaringannya serta ruang rawat inap kelas III Rumah-sakit secara gratis. Tahun-tahun terakhir, upaya pelayanan kesehatan ini terus disempurnakan, mencakup sistem pemantauan dan safe guarding, maupun ketepatan dalam penetapan target sasaran. Jumlah RS yang telah melayani peserta Askeskin sebanyak 464 RS Pemerintah dan RS Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Republik Indonesia (Polri), serta 130 RS swasta. Pembiayaan untuk Askeskin pada 2006 dan 2007 sebesar Rp 3,6 triliun dan Rp 4,6 triliun. Hingga akhir 2008, jumlah penduduk miskin yang mendapatkan fasilitas kartu Askeskin1 meningkat dari 60 juta menjadi 76,4 juta orang. Sementara itu sampai dengan 2008, telah tersedia 1.319 rumah sakit yang melayani Jamkesmas dengan jumlah tempat tidur yang tersedia mencapai 139.000. Dari jumlah tersebut, 49,4 persen merupakan rumah sakit swasta dan 50,6 persen rumah sakit Pemerintah. Rasio tempat tidur rumah sakit terhadap penduduk secara nasional pada 2006 adalah 1 tempat tidur per 1.590 penduduk. Rasio ini akan terus ditingkatkan, dengan sasaran 1 tempat tidur per 1.333 penduduk pada 2010 (Renstra 2005-2009, DepKes). Dengan demikian, penambahan fasilitas tempat tidur di rumah sakit perlu menjadi prioritas ke depan terutama dalam upaya mengantisipasi terjadi transisi demografi dan epidemiologi. Selain itu, pada 2008, Pemerintah juga melakukan penyedian kontrasepsi gratis bagi 813.850 peserta keluarga berencana (KB) baru miskin dan 9.534.600 peserta aktif KB miskin di 73.500 desa/kelurahan dan 5.500 kecamatan di daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan. Berbagai program ini diharapkan meningkatkan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan, 58
meningkatkan produktivitas dan mutu SDM, serta menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Lebih lanjut hal ini terkait dengan upaya untuk menunjang percepatan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Permasalahan. Masalah utama yang menyebabkan rendahnya derajat kesehatan masyarakat miskin adalah: (i) rendahnya akses terhadap layanan kesehatan dasar, (ii) rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, (iii) kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan (iv) kurangnya layanan kesehatan reproduksi. Meskipun secara nasional kualitas kesehatan masyarakat telah meningkat, akan tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi dan angka kematian balita pada golongan termiskin adalah 4x (empat kali) lebih tinggi dari golongan terkaya. Penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan balita. Status kesehatan masyarakat miskin diperburuk dengan masih tingginya penyakit menular seperti malaria, TBC, dan HIV/AIDS. Kerugian ekonomi yang dialami masyarakat miskin akibat penyakit TBC sangat besar karena penderita TBC tidak dapat bekerja selama 3-4 bulan. Kematian laki-laki dan perempuan pencari nafkah yang disebabkan oleh penyakit tersebut berakibat pada hilangnya pendapatan masyarakat miskin dan meningkatnya jumlah anak yatim/piatu. Rendahnya tingkat kesehatan masyarakat miskin juga disebabkan oleh (1) perilaku hidup mereka yang tidak sehat, (2) jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh dan (3) biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Masalah lainnya adalah rendahnya mutu layanan kesehatan dasar yang disebabkan oleh terbatasnya tenaga kesehatan, kurangnya peralatan, dan kurangnya sarana kesehatan. Data SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa 48,7 persen masalah dalam mendapatkan pelayanan kesehatan adalah karena kendala biaya, jarak dan transportasi. Utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil diantaranya penduduk miskin. Rendahnya layanan kesehatan juga disebabkan oleh mahalnya alat kontrasepsi sehingga masyarakat miskin tidak mampu mendapatkan layanan kesehatan reproduksi. Peranan swasta cukup besar dalam layanan kesehatan reproduksi. Rendahnya mutu dan terbatasnya ketersediaan layanan kesehatan reproduksi mengakibatkan tingginya angka kematian ibu dan tingginya angka aborsi. Selain itu keterbatasan akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan masyarakat juga merupakan masalah yang perlu diperhatikan. Dua masalah ini berkaitan erat dengan munculnya kasus kematian yang diakibatkan oleh gizi-buruk. Berbagai faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat diantaranya adalah kurang memadainya mutu layanan kesehatan dasar, minimnya layanan kesehatan bagi ibu dan anak, masih adanya keterlambatan pemberian layanan kesehatan, serta masih rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya perilaku hidup sehat. Sebagai gambaran bidang kesehatan, di awal penyusunan RPJMN 2004-2009, terdapat sekitar 1,67 juta anak usia 0-4 tahun yang menderita gizi-buruk tahun 2005. Jumlah ini sekitar 8 persen dari seluruh anak di bawah lima tahun (balita) di Indonesia yang mencapai 20,87 59
juta. Selanjutnya, data BPS menunjukkan bahwa angka kematian ibu pada kurun waktu 2006 mencapai 307 jiwa per 100.000 kelahiran hidup. Jumlah tersebut tiga kali lebih tinggi dari Vietnam dan enam kali lebih tinggi dari Malaysia dan Cina. Selain itu, hanya sekitar 72 persen persalinan ibu yang dibantu oleh tenaga kesehatan terlatih. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa akses masyarakat miskin terhadap layanan kesehatan memadai masih terbatas. Kondisi tersebut juga mengindikasikan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap gizi dan kesehatan masih rendah. Pada saat yang sama, penyakit polio mewabah di Indonesia. Hal ini utamanya disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya imunisasi, terutama pada anak dan balita. Rendahnya kesadaran masyarakat tersebut umumnya dikarenakan ketidaktahuan tersedianya layanan kesehatan di unit-unit kesehatan hingga tingkat kelurahan/desa (Pusat Kesehatan Masyarakat atau Puskesmas) melalui program Pos Pelayanan Terpadu atau Posyandu. Lebih lanjut, faktor utama yang menyebabkan minimnya akses masyarakat miskin pada layanan kesehatan memadai adalah mahalnya biaya pengobatan dan perawatan. Ditambah dengan lokasi fasilitas kesehatan yang terkadang sulit dijangkau dan kepemilikkan jaminan kesehatan yang rendah. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 menunjukkan bahwa hanya sekitar 20,6 persen penduduk yang memiliki jaminan kesehatan. Pada kelompok termiskin, hanya sekitar 15 persen penduduk yang memiliki Kartu Sehat (KS). Masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh pemegang KS juga menjadi kendala. Penyebab utamanya adalah ketidaktahuan tentang proses pembuatan dan kurang jelasnya pelayanan.
3).
HAK ATAS LAYANAN PENDIDIKAN
Sasaran. Sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas layanan pendidikan dalam lima tahun mendatang adalah tersedianya pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan merata. Hak atas pendidikan dijamin dalam Pasal 28(C) dan Pasal 28(E) (1) Amandemen II UUD 1945, dan Pasal 31 (1), (2) dan (4) Amandemen IV UUD 1945. Hak ini sangat penting baik bagi pemenuhan hak-hak sipil maupun hak-hak sosial dan ekonomi lainnya, karena jika hak ini dilanggar baik langsung atau tidak akan mempengaruhi kualitas pemenuhan hak-hak atas kesehatan, pekerjaan maupun hak-hak sipil politik. Hak atas pendidikan dalam konstitusi mencakup: 1) Hak mendapat pendidikan (Pasal 28C (1) jo. Pasal 31(1)); 2) Hak memilih pendidikan dan pengajaran (Pasal 28E(1)); 3) Hak atas pendidikan dasar dan kewajiban korelatif negara untuk menyediakan pendidikan dasar (Pasal 31(2)); 4) Kewajiban negara menyediakan anggaran sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD. Selanjutnya, Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan hak yang sama bagi setiap Warga Negara untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Sementara itu, sdalam UU tersebut juga disebutkan bahwa setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Arah kebijakan. Pemenuhan hak masyarakat miskin untuk memperoleh layanan pendidikan yang bebas biaya dan bermutu, tanpa diskriminasi gender dilakukan dengan: (1) 60
memperluas kesempatan melalui kebijakan yang diarahkan pada pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 2008 dengan memberikan bantuan khusus bagi keluarga miskin, tanpa diskriminasi gender, dan memperluas kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi bagi anak perempuan dan laki-laki yang berbakat dari keluarga miskin, (2) memberdayakan kelembagaan masyarakat melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan alternatif dan pelatihan bagi masyarakat miskin, serta (3) meningkatkan perlindungan sosial bagi kelompok rentan melalui peningkatan sarana dan prasarana pendidikan khusus bagi anak dengan kemampuan berbeda (diffable), pekerja anak, anak jalanan, anak korban konflik dan bencana alam, tanpa diskriminasi gender. Program-program Terkait Pemenuhan Hak atas Layanan Pendidikan. Tujuan program-program ini adalah untuk memenuhi hak masyarakat miskin untuk memperoleh layanan pendidikan yang bebas biaya dan bermutu, tanpa diskriminasi gender. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan melalui program-program diantaranya: (1)
Program Pendidikan Dasar 9 (sembilan) Tahun a. Reorientasi alokasi dan ketepatan anggaran pendidikan dasar dan anggaran pendidikan lanjutan bagi masyarakat miskin, tanpa diskriminasi gender; b. Pembebasan berbagai pungutan, iuran, sumbangan apapun yang berbentuk uang, kewajiban menggunakan seragam sekolah, dan sepatu bagi siswa dari keluarga miskin; c. Perluasan perbaikan gizi anak sekolah; d. Pengadaan sarana belajar bagi anak usia pendidikan dasar dari keluarga miskin, tanpa diskriminasi gender; e. Peningkatan mutu dan kesejahteraan guru SD/MI, SLTP/MTs, dan Tutor Paket A dan B yang melayani pendidikan untuk masyarakat miskin; dan f. Pengadaan dan perluasan beasiswa khusus anak miskin yang berbakat, baik laki-laki maupun perempuan, pada jenjang SLTA/MA dan perguruan tinggi.
(2)
Program Pendidikan Nonformal a. Penyelenggaraan Program Paket A setara SD dan Paket B setara SLTP bagi masyarakat miskin, tanpa diskriminasi gender; b. Peningkatan mutu lembaga pelatihan dan kursus yang dikelola masyarakat; c. Perluasan jangkauan kursus ketrampilan bagi keluarga miskin kota dan desa yang diintegrasikan dengan usaha mikro dan kemitraan dengan pengusaha; d. Intensifikasi dan perluasan kesempatan mengikuti program pemberantasan buta aksara fungsional bagi keluarga miskin; dan e. Penyelenggaraan pelayanan pendidikan bagi anak dengan kemampuan berbeda (diffable), pekerja anak, anak jalanan, anak korban konflik dan bencana alam, tanpa diskriminasi gender.
Capaian sasaran. Sejak 1994, Pemerintah Indonesia menerapkan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Program tersebut menargetkan kepada semua anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, untuk dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya. Program ini sejalan dengan tujuan pencapaian target pembangunan milenium (MDGs) 2015. Untuk 61
mendukung terwujudnya target MDGs, mulai Juli 2005, Pemerintah menyediakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan sejumlah beasiswa. Penyediaan beasiswa bagi siswa miskin oleh Pemerintah mencakup jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah (SMA/SMK/MA), dan juga untuk jenjang perguruan tinggi. Selain itu, Pemerintah juga menyediakan beasiswa bagi mahasiswa yang berprestasi. Untuk lebih meningkatkan partisipasi pendidikan masyarakat miskin, Pemerintah juga berupaya untuk menyediakan layanan pendidikan yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Sejak 2005, Pemerintah membangun sekolah-sekolah baru di wilayah terpencil dan wilayah timur Indonesia. Program ini dilakukan dalam skala besar, baik berupa sekolah reguler maupun SD/SLTP atau MI/MTs satu atap. Tujuan utamanya adalah agar lulusan SD/MI dapat mengakses SMP/MTs lebih mudah dan dengan jarak yang semakin dekat dengan tempat tinggal mereka. Sejalan dengan agenda tersebut, anggaran yang disediakan untuk bidang pendidikan terus ditingkatkan. Pada 2005 anggaran yang disediakan Pemerintah untuk Program BOS (Bantuan Operasional Sekolah) sebesar Rp 5,1 triliun untuk satu semester. Pada 2006, alokasinya meningkat menjadi sebesar Rp 10,2 triliun dan meningkat kembali menjadi Rp 11,6 triliun pada 2007. Pada 2008, anggaran yang disediakan terus meningkat hingga Rp 21,8 triliun. Selain digunakan untuk membiayai operasional sekolah, dana BOS juga digunakan untuk membantu anak-anak dari keluarga miskin dalam memperoleh layanan pendidikan minimal sampai dengan tingkat SLTP. Pada anggaran 2006, Pemerintah mengalokasikan dana BOS untuk 39,8 juta peserta didik pada jenjang pendidikan dasar, yang mencakup SD, MI, SDLB, SLTP, MTs, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), Pesantren Salafiyah, serta satuan pendidikan non-Islam yang menyelenggarakan pendidikan dasar 9 tahun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi 41,3 juta peserta didik pada 2007. Pelaksanaan program pada jenjang pendidikan menengah dilakukan dengan pemberian beasiswa bagi 692,6 ribu siswa miskin di Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah (MA). Beasiswa yang lebih banyak dan lebih besar jumlahnya diharapkan dapat meningkatkan partisipasi penduduk miskin yang menempuh jenjang pendidikan menengah. Di samping itu, untuk siswa Sekolah Luar Biasa (SLB), juga disediakan beasiswa tambahan bagi 5.575 siswa dari keluarga tidak mampu. Pada 2007, upaya penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun juga dilakukan melalui jalur pendidikan nonformal. Program ini dilakukan melalui pemberian biaya operasional penyelenggaraan (BOP) Paket A dan Paket B untuk 99.700 dan 511.000 orang, pemberian bantuan rintisan Paket A untuk 600 orang, serta bantuan perluasan Paket A dan Paket B untuk 37.460 orang. Selain itu, Pemerintah juga telah melakukan rintisan pangkalan belajar pendidikan kesetaraan untuk pulau terpencil, tenaga kerja Indonesia (TKI) perbatasan, perahu berjalan, dan bis berjalan untuk 900 orang. Pada 2008 tersedia 2,48 juta beasiswa bagi siswa tidak mampu di jenjang pendidikan dasar, yaitu tingkat SD/MI dan SMP/MTs. Sementara itu, di jenjang yang lebih tinggi, SMA/SMK/MA, jumlah beasiswa yang tersedia mencapai 942,2 ribu. Lebih lanjut, di jenjang pendidikan tinggi beasiswa tersedia bagi 161.753 mahasiswa di 33 provinsi. Permasalahan. Masyarakat miskin mempunyai akses yang rendah terhadap pendidikan, baik formal maupun nonformal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: 62
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingginya biaya pendidikan; Terbatasnya jumlah dan mutu prasarana dan sarana penunjang pendidikan; Terbatasnya jumlah dan guru bermutu, terutama di daerah luar kota besar dan komunitas miskin; Terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk proses belajar-mengajar; Terbatasnya jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) di daerah perdesaan, daerah terpencil, dan kantong-kantong kemiskinan; serta Terbatasnya jumlah, sebaran, dan mutu kegiatan kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan nonformal.
Selanjutnya, terdapat 2 faktor utama penyebab kesenjangan akses pendidikan, yaitu: faktor ekonomi dan geografis. Data Statistik Pendidikan 2006 menunjukkan bahwa alasan utama anak tidak bersekolah adalah karena orang tua tidak mampu membiayai sekolah atau mereka harus bekerja. Ketidakmampuan ini diduga berkaitan erat dengan tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung. Meskipun SPP untuk jenjang SD/MI telah secara resmi dihapuskan oleh Pemerintah tetapi pada kenyataannya masyarakat tetap harus membayar iuran sekolah. Pengeluaran lain diluar iuran sekolah seperti pembelian buku, alat tulis, seragam, uang transport, dan uang saku menjadi faktor penghambat pula bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya. Kendala berikutnya adalah masalah geografis yang ditunjukkan dengan keterpencilan wilayah. Anak-anak di wilayah terpencil sulit untuk menjangkau fasilitas pendidikan yang umumnya agak jauh dari tempat tinggal mereka. Meskipun di beberapa daerah telah dibangun sekolah berasrama, orangtua terkadang tidak mengizinkan anaknya tinggal di asrama. Di samping itu sampai dengan tahun 2003 ketersediaan fasilitas pendidikan untuk jenjang SMP/MTs ke atas di daerah perdesaan, daerah terpencil dan kepulauan masih terbatas. Hal tersebut menambah keengganan masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya karena bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan.
4).
HAK ATAS PEKERJAAN
Sasaran. Sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas pekerjaan dalam lima tahun mendatang adalah terbukanya kesempatan kerja dan berusaha. UUD 1945, Pasal 27 (2) menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selanjutnya UUD 1945, Pasal 28D juga menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Sementara itu, berdasarkan UU No.39 1999 tentang HAM menyatakan bahwa setiap orang sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak; dan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syaratsyarat ketenagakerjaan; serta berhak atas upah yang adil dan dapat menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya sesuai dengan prestasinya. Dalam tataran kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan landasan hukum untuk menjamin hal ini, diantaranya adalah melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 3 tahun 2006 63
mengenai Perbaikan iklim Investasi, Inpres No.6 tahun 2007 tentang Pengembangan Sektor Riil dan UMKM, dan Inpres No. 5 tahun 2008 tentang Paket Kebijakan Ekonomi telah diimplentasikan. Berbagai program, tindakan, keluaran dan sasaran waktu, untuk mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja, sangat jelas tertera dalam Inpres tersebut. Beberapa kebijakan penting lainnya terkait dengan investasi yang membawa dampak pada penciptaan lapangan kerja adalah UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan peraturan-peraturan turunannya, UU No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, serta Perpres No. 18 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Dikeluarkannya Perpres ini setidaknya memberikan dukungan untuk mengembangkan investasi pada industri manufaktur khususnya industri padat pekerja. Arah kebijakan. Pemenuhan hak masyarakat miskin atas pekerjaan dan pengembangan usaha yang layak dilakukan dengan: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi, terutama pada sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja; (2) memperluas kesempatan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan akses masyarakat miskin terhadap kesempatan kerja dan mengembangkan usaha, dan arah kebijakan dalam pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), (3) memberdayakan kelembagaan masyarakat melalui kebijakan yang diarahkan pada pengembangan kelembagaan masyarakat miskin untuk meningkatkan akses terhadap kesempatan dan perlindungan kerja, (4) meningkatkan kapasitas masyarakat miskin yang dilakukan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan kemampuan kerja, (5) meningkatkan perlindungan sosial melalui kebijakan yang diarahkan pada perlindungan pekerja untuk menjamin keberlangsungan, keselamatan dan kemanan kerja, serta (6) upaya kemitraan global melalui kebijakan yang diarahkan pada perluasan kesempatan kerja dan meningkatkan perlindungan kerja. Program-program Terkait Pemenuhan Hak atas Pekerjaan dan Berusaha. Tujuan program-program ini adalah untuk memenuhi hak masyarakat miskin atas pekerjaan dan berusaha yang layak. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan melalui program-program diantaranya: (1)
Program Pengembangan Sektor Riil dan UMKM. Dengan meningkatnya pertumbuhan industri, pertanian dan jasa, maka daya serap sektor-sektor tersebut terhadap tenaga kerja akan meningkat. Pertumbuhan kesempatan kerja dari pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, perlu didukung pula dengan programprogram untuk mewujudkan pasar kerja yang fleksibel serta aturan main di bidang ketenagakejraan yang saling menguntungkan .
(2)
Program Penciptaan Fleksibilitas Pasar Kerja dengan Memperbaiki Aturan Main Ketenagakerjaan (aturan main pengupahan, aturan main PHK, aturan main perlindungan pekerja) a. Pengembangan hubungan industrial yang dilandasi hak-hak pekerja; b. Peningkatan perlindungan hukum yang menjamin kepastian kerja dan perlakuan yang adil bagi pekerja; c. Pencegahan terhadap eksploitasi dan berbagai bentuk pekerjaan terburuk anak; d. Peningkatan kerjasama bilateral dan multilateral dalam melindungi buruh migran; dan e. Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap pasar kerja di luar negeri.
64
(3)
Memperbarui Pelaksanaan Berbagai Program Perluasan Kesempatan Kerja yang Dilakukan Pemerintah a. Peningkatan akses kerja bagi laki-laki dan perempuan dengan kemampuan berbeda; b. Perlindungan terhadap kebebasan berserikat dan hak atas perundingan bersama; dan c. Peningkatan jaminan keselamatan, kesehatan dan keamanan kerja.
(4)
Menyempurnakan Program Pendukung Pasar Kerja a. Peningkatan kemampuan serikat pekerja dan organisasi pengusaha mikro dan kecil dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
(5)
Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro a. Peningkatan akses masyarakat miskin terhadap modal, faktor produksi, informasi, teknologi dan pasar tanpa diskriminasi gender; b. Peningkatan dan penyebarluasan teknologi yang mampu meningkatkan kemampuan kerja masyarakat miskin untuk menghasilkan produk yang lebih banyak dan bermutu; c. Peningkatan ketrampilan usaha masyarakat miskin dengan kemampuan berbeda sesuai dengan potensi yang ada; d. Penyediaan skim-skim pembiayaan alternatif dengan tanpa mendistorsi pasar seperti sistem bagi hasil, dari dana bergulir, sistem tanggung renteng atau jaminan tokoh masyarakat setempat sebagai pengganti anggunan; e. Penyelenggaraan dukungan teknis dan pendanaan yang bersumber dari berbagai instansi pusat, daerah, BUMN yang lebih terkoordinasi, profesional, dan institusional; f. Penyediaan infrastruktur dan jaringan pendukung bagi usaha mikro serta kemitraan usaha; g. Fasilitasi untuk pembentukan wadah organisasi bersama diantara usaha mikro, termasuk pedagang kaki lima dalam meningkatkan posisi tawar dan efisiensi usaha; h. Dukungan pengembangan usaha mikro tradisional dan pengarjin melalui pendekatan pembinaan sentra-sentra produksi/klaster disertai dukungan infrastruktur yang memadai; serta a. Pengembangan usaha ekonomi produktif bagi usaha mikro/sektor informal dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi perdesaan terutama di daerah tertinggal dan kantong-kantong kemiskinan. b. Pengembangan lembaga keuangan mikro melalui peningkatan kepastian hukum dan perlindungan usaha; c. Pengembangan kemampuan dan perlindungan terhadap usaha mikro dan kecil; dan d. Penyediaan perijinan kemudahan dan pembinaan dalam memulai usaha, termasuk dalam perijinan, lokasi usaha, dan perlindungan usaha dari pungutan informal bagi usaha skala mikro.
Selain itu, Pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim usaha agar mampu menarik modal investor ke Indonesia. Dengan adanya investasi baru maka akan tercipta lapangan kerja baru. Selain itu, Pemerintah juga terus meningkatkan iklim usaha yang kondusif dengan berupaya menjaga stabilitas ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, menciptakan biaya produksi yang kompetitif, serta memberi kepastian hukum. Di samping itu, dari sisi penawaran, Pemerintah juga melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan keterampilan para pencari kerja 65
baru dan pekerja yang memiliki produktivitas rendah. Melalui peningkatan ketrampilan, diharapkan akan terjadi peningkatan kualitas tenaga kerja sehingga produktivitas yang rendah berangsur-angsur dapat ditingkatkan. Untuk membangun kemandirian berusaha, Pemerintah menerbitkan kebijakan pengembangan UMKM melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, akses kepada sumberdaya produktif, dan mendorong jiwa kewirausahaan. Guna menciptakan iklim yang kompetitif, Pemerintah melakukan peninjauan ulang kebijakan dan peraturan yang menghambat atau menimbulkan ekonomi biaya tinggi di berbagai daerah. Untuk mendukung kebutuhan modal, Pemerintah menawarkan solusi berupa skema dana bergulir dari lembaga keuangan mikro (LKM) untuk kegiatan produktif skala usaha mikro dengan pola bagi hasil/syariah dan konvensional. Selain itu, Bank Indonesia (BI) sebagai representasi Pemerintah juga mendorong diluncurkannya kredit perbankan tanpa agunan serta pengembangan Konsultan Keuangan Mitra Bank (KKMB). KKMB banyak membantu pendampingan usaha dan pelatihan pengelolaan meningkatkan sinergi dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan dukungan pengembangan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin LKM /Koperasi Simpan Pinjam (KSP) serta pengembangan sentra UMKM di berbagai daerah. Untuk meningkatkan sinergi dan optimalisasi pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan dan perkotaan serta memperkuat penyediaan dukungan pengembangan kesempatan berusaha bagi penduduk. Capaian sasaran. Sampai saat ini, berbagai kebijakan dan regulasi perizinan sudah dikeluarkan pemerintah. Kebijakan dan regulasi tersebut mengatur berbagai persyaratan untuk memulai dan menjalankan suatu usaha yang harus dipenuhi sebelum menjadi bentuk usaha yang sah. Badan usaha yang sah tersebut akan memperoleh manfaat dalam bentuk pengakuan legal atau formalisasi, seperti perlindungan terhadap utang hingga batas tertentu atau akses ke berbagai pelayanan formal (seperti pinjaman bank). Di samping itu, persyaratan-persyaratan tersebut juga membawa konsekuensi dalam pelaksanaannya. Jika persyaratan-persyaratan yang harus dipatuhi tersebut memakan biaya yang besar atau secara administratif tidak efisien maka keadaan demikian dapat menciptakan hambatan bagi berdirinya dan berkembangnya sebuah usaha serta dapat mengurangi fleksibilitas dan daya saing usaha. Namun demikian peringkat untuk memulai usaha di Indonesia masih tinggi yaitu pada ranking ke 171 pada tahun 2009 dan ranking 168 pada tahun 2008 diantara negara-negara di Dunia dan menyebabkan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia secara keseluruhan melorot ke urutan 127 pada tahun 2009 dari urutan ke 123 pada tahun 2008 (Tabel 6.4.) Tabel. 6.4. Ranking Kemudahan Berbisnis Berbagai Negara Negara Singapura Selandia Baru Amerika Serikat Thailand Malaysia Vietnam
2006 2 1 3 19 25 98
Peringkat 2007 2008 1 1 2 2 3 3 18 15 25 24 104 91
2009 1 2 3 19 25 87 66
Cina Filipina Indonesia India
108 121 131 138
93 126 135 134
83 133 123 120
90 136 127 120
Jumlah negara yang disurvey
155
175
178
181
Penurunan peringkat tersebut antara lain disebabkan oleh adanya penurunan ranking dalam memulai usaha, ketengakakerjaan, perolehan kredit dll. Indonesia hanya meningkat ranking kemudahan di dalam ijin bangunan, pendaftaran property, perdagangan lintas batas dan pelaksanaan kontrak (Tabel 6.5.) Tabel 6.5. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Komponen Ranking Kemudahan Berbisnis Indonesia Penilaian Peringkat Doing Business 2009 2008 Memulai usaha 171 168 Ijin bangunan 80 99 Memperkerjakan tenaga kerja 157 153 Pendaftaran property 107 121 Memperoleh kredit 109 68 Perlindungan investor 53 51 Pembayaran pajak 116 110 Perdagangan lintas batas 37 41 Melaksanakan kontrak 140 141 Penutupan usaha 139 136
Selanjutnya Pemerintah menindaklanjuti Inpres Nomor 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM dengan menerbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008-2009. Inpres Nomor 5 Tahun 2008 mencakup penajaman fokus dan prioritas pembangunan ekonomi, termasuk di antaranya paket kebijakan mengenai UMKM. Kebijakan pemberdayaan UMKM dalam paket tersebut meliputi 4 kebijakan, 17 program, dan 32 tindakan. Rencana program tersebut terkait dengan aspek peningkatan akses UMKM pada sumber pembiayaan, perluasan akses pasar bagi UMKM, peningkatan kapasitas SDM/Kewirausahaan, dan reformasi regulasi. Paket kebijakan itu diharapkan akan memberikan peran yang lebih tegas dan tanggung-jawab yang lebih fokus kepada instansi teknis yang melakukan pembinaan terhadap pemberdayaan UMKM. Pemerintah meluncurkan Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) pada 2008. KUR adalah kredit/pembiayaan dengan pola penjaminan bagi UMKM dan koperasi yang usahanya layak akan tetapi tidak mempunyai agunan yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan perbankan. Program ini didasari oleh fakta bahwa banyak KUKM yang memiliki potensi usaha yang layak, tetapi tidak memenuhi persyaratan teknis perbankan. Oleh karena itu, Pemerintah telah 67
meningkatkan kapasitas perusahaan penjaminan dengan menambahkan penyertaan modal negara sebesar Rp 1,45 triliun. Kontribusi Pemerintah sebesar Rp 850 miliar tersebut disalurkan melalui PT Askrindo (PT Asuransi Kredit Indonesia) Persero dan sisanya sebesar Rp 600 miliar dialokasikan kepada Perum Sarana Pengembangan Usaha (Perum Jamkrindo). Pelaksanaan Program KUR melibatkan instansi-instansi yang secara lintas sektoral melakukan pemberdayaan UMKM dan koperasi. Selain itu juga diikutsertakan 6 bank pelaksana adalah koperasi akan memperoleh sumber pendanaan jangka panjang yang kemudian disalurkan dalam jangka yang lebih pendek sehinga struktur keuangan koperasi menjadi lebih sehat. Selain itu, koperasi yang memiliki kelebihan likuiditas dapat menginvestasikan uangnya di koperasi penerbit SUK. Pada 2006, disediakan dana Rp 7,761 miliar dan dilanjutkan pada 2007 sebesar Rp 10 miliar. Realisasi program penerbitan SUK sampai dengan akhir September 2008 diikuti oleh 38 koperasi penerbit SUK dengan nilai sebesar Rp 12 miliar dan dengan kinerja NPL 0 persen. Upaya di sisi penawaran dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan yang telah menciptakan kesempatan kerja seperti program-program pembangunan infrastruktur khususnya infrastruktur perdesaan, program pengembangan kecamatan, program P2KP, program P3DT, yang kemudian dikenal dengan nama PNPM, revitalisasi pertanian dengan meningkatkan produksi pertanian, perikanan dan kehutanan yang berkelanjutan. Selain itu, kegiatan lain yang dilakukan dalam kerangka program ini mencakup: penciptaan peluang kerja padat di perdesaan; memberdayakan masyarakat perdesaan dengan memperkenalkan teknologi sederhana, wirausaha baru, dan melaksanakan 292 pendampingan usaha mandiri. Program ini terlaksana sepenuhnya dengan dukungan dana dari APBN. Di samping yang telah disebutkan di atas, upaya peningkatan iklim ketenagakerjaan juga dilakukan melalui penyempurnaan kegiatan pendukung pasar kerja. Kegiatan ini ditujukan untuk mempertemukan pencari kerja dan pemberi kerja melalui ketersediaan informasi pasar kerja yang akurat. Dalam kerangka program ini upaya yang telah dilakukan meliputi: telah disusunnya Perencanaan Tenaga Kerja Nasional (PTKN) sebagai implementasi dari sasaran kesempatan kerja tahunan secara terperinci menurut lapangan usaha; penerbitan PP Nomor 15 Tahun 2007 untuk memperjelas bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemerintah kabupaten/kota (Pemkab/Pemkot) perlu menyusun Perencanaan Tenaga Kerja di wilayahnya; pengembangan infrastruktur pelayanan umum dan pendukung pasar kerja melalui pengembangan bursa kerja online di lokasi kabupaten/kota untuk memudahkan akses informasi pasar kerja; memfasilitasi pertemuan pemberi kerja dan penerima kerja melalui penyelenggaraan Job Fair di daerah-daerah yang mempunyai angka pengangguran cukup tinggi; peningkatan kerjasama antara lembaga bursa kerja dengan industri/perusahaan; serta membangun pusat informasi pelayanan pasar kerja di 3 lokasi daerah industri, yaitu Semarang, Bekasi, dan Batam. Selanjutnya dalam periode RPJMN 2004-2009, tingkat pengangguran terbuka mengalami penurunan selama kurun waktu 2005-2008 yaitu dari 11,2 persen atau 11,9 juta orang pada 2005 menjadi 9,1 persen pada 2007 dan 8,4 persen pada Agustus 2008. Penambahan kesempatan kerja menurut lapangan pekerjaan utama cukup bervariasi. Dalam kurun waktu November 2005-Agustus 2008, kesempatan kerja pada sektor industri di perkotaan menurun sekitar 59.000, namun mengalami peningkatan sebesar 656.000 di perdesaan. Demikian juga 68
sektor pertanian di perkotaan mengalami penurunan sebesar 193.000 dan penurunan di perdesaan sebesar 214.000. Dari sektor produksi yang ada, pertambahan lapangan kerja didominasi oleh sektor jasa yang berkontribusi sekitar 1,9 juta di perkotaan dan 816.000 di perdesaan. Permasalahan. Disisi produksi (demand) : menurunnya pertumbuhan sektor industri relatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sektor industri manufacture yang selama ini menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja terutama tenaga tidak/kurang terdidik ternyata mengalami penurunan. Hal ini akan menjadi tantangan besar dalam penyerapan tenaga kerja maupun dalam meningkatkan barang-barang konsumsi dalam negeri. Sementara itu sektor jasa yang berkembangpun umumnya tidak menyerap banyak tenaga kerja seperti sektor jasa keuangan. Dilain fihak sektor pertanian menanggung beban penyerapan tenaga kerja yang berlebihan yang menyebabkan produktifitas pertanian per tenaga kerja menjadi rendah karena banyak menampung pengangguran terselubung (disguised unemployment). Di sisi supply tenaga kerja: terjadi pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi, dimana penawaran tenaga kerja recent graduates semakin bertambah dan banyak terjadi ketidaksesuaian (mismatch) antara pendidikan lulusan dengan keahlian yang diminta pasar kerja. Hal ini dicirikan dengan adanya rentang masa pencarian kerja yang relatif lama baik untuk mencari kerja pertama kalinya maupun pada saat perpindahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya (between job). Selanjutnya mismatch ini menyebabkan pekerja mau menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan kualifikasinya atau underqualifikation dengan tingkat upah yang diperoleh lebih rendah daripada yang seharusnya. 5).
HAK ATAS PERUMAHAN
Sasaran. Sasaran umum pemenuhan hak atas perumahan adalah pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat melalui terciptanya pasar primer yang sehat, efisien, akuntabel, tidak diskriminatif, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang market friendly, efisien, dan akuntabel. Hak atas perumahan dijamin secara eksplisit dalam Pasal 28 H (1) dan Pasal 28E(1) UUD 1945. Pengakuan legal internasional tentang hak tersebut yang paling otoritatif dapat ditemukan pada Pasal 11(1) Kovenan Internasional Hak Ekosob. Hak ini harus diartikan lebih dari sekedar adanya atap atau sebagai komoditi semata. Melainkan harus dilihat sebagai hak untuk hidup dimana saja dalam keadaan aman, damai dan bermartabat. Penggusuran tempat tinggal untuk keindahan kota, atau atas nama pembangunan, atau mencegah pertumbuhan tidak bisa lagi diterima karena Hak Atas Perumahan sudah dijamin oleh Konstitusi, dan pelanggaran terhadapnya adalah pelanggaran HAM. Lebih, lanjut UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, juga mengamanatkan: pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi dan teratur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat, mutu kehidupan serta kesejahteraan rakyat dalam masyarakat yang adil dan makmur. Tempat tinggal yang sehat dan layak merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau masyarakat miskin. Masalah perumahan yang kerap dihadapi adalah terbatasnya akses terhadap perumahan 69
yang sehat dan layak huni, rendahnya mutu lingkungan permukiman, serta lemahnya status hukum kepemilikan rumah. Di perkotaan, keluarga miskin sebagian besar tinggal di perkampungan yang tidak layak (kumuh). Seringkali satu rumah ditinggali oleh lebih dari satu keluarga. Kondisi permukiman mereka juga sering tidak dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang memadai. Dalam tataran kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan landasan hukum untuk mendukung pembiayaan perumahan, diantaranya adalah: Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyertaan Modal Negara untuk Pendirian Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Sekunder Perumahan serta Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan atau dikenal dengan Secondary Mortgage Facility (SMF). Arah kebijakan. Kebijakan Pemenuhan Hak Atas Perumahan yang layak dan terjangkau merupakan prioritas Pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap perumahan. Hal ini terutama diberikan pada masyarakat miskin yang berpenghasilan rendah. Selain itu, dalam upaya penguatan kelembagaan di tingkat komunitas yang menjamin terlaksananya pembangunan berkelanjutan, telah dilaksanakan pula kegiatan perbaikan lingkungan kumuh di perkotaan. Kegiatan tersebut dilakukan dengan membangun kemitraan antara Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Program-program Terkait Pemenuhan Hak atas Perumahan. Adapun untuk mencapai sasaran umum seperti yang telah ditetapkan diatas, maka disusun beberapa program antara lain: 1. Program pengembangan perumahan. Program ini bertujuan untuk mendorong pemenuhan kebutuhan rumah yang layak, sehat, aman, dan terjangkau, dengan menitikberatkan pada masyarakat miskin dan berpendapatan rendah, melalui pemberdayaan dan peningkatan kinerja pasar primer perumahan, pengembangan system pembiayaan perumahan jangka panjang, pengembangan kredit mikro dan pemberdayaan ekonomi lokal, pengembangan Kasiba/Lisiba, serta pengembangan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa), rumah sederhana, dan rumah sederhana sehat. 2. Program pemberdayaan komunitas perumahan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas perumahan melalui penguatan lembaga komunitas dalam rangka pemberdayaan sosial kemasyarakatan agar tercipta masyarakat yang produktif secara ekonomi dan berkemampuan mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang sehat, harmonis dan berkelanjutan. Capaian sasaran. Pada tahun 2005, subsidi untuk perumahan rakyat digunakan untuk membangun 225.000 rumah sederhana. Selain itu, telah diupayakan kegiatan pengembangan perumahan yang berbasis pada keswadayaan sebanyak 19.814 unit. Pada 2006, telah dibangun perumahan rakyat atau rumah sederhana sebanyak 90.144 unit. Pada 2007, telah terbangun rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebanyak 12.672 unit dan dibangunnya prasarana dan sarana permukiman bagi RSS di 103 kawasan. Pada saat yang sama juga telah diberikan subsidi Kredit Perumahan Rakyat (KPR) sebanyak 157.163 unit dan Kredit Perumahan Rakyat Sederhana (KPRS) mikro sebanyak 8.568 unit. Pemerintah juga melaksanakan kegiatan perbaikan lingkungan kumuh di perkotaan melalui program berbasis masyarakat. Hal ini 70
dimaksudkan untuk menjamin terlaksananya pembangunan berkelanjutan di lokasi setempat. Kegiatan ini sudah mencakup 828 desa/kelurahan. Salah satu upaya yang gencar dilaksanakan yang benar-benar menyentuh kebutuhan perumahan bagi warga miskin adalah kegiatan-kegiatan yang mendapat Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang difasilitasi oleh PNPM dengan dukungan masyarakat sekitar. Pada 2006, upaya yang dilakukan meliputi penyediaan subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RSH) sebanyak 77.663 unit dan kredit mikro pembangunan/perbaikan rumah sebanyak 511 unit, pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebanyak 6.448 unit, penataan dan perbaikan permukiman yang dihuni 851.845 jiwa di 360 kelurahan, fasilitasi dan stimulasi pembangunan/perbaikan rumah yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat sebanyak 4.362 unit, penataan bangunan dan lingkungan (PBL) di 155 kelurahan, dukungan penyediaan infrastruktur untuk 64.867 unit rumah di kawasan perumahan PNS/TNIPolri/Pekerja, penyediaan infrastruktur permukiman di 47 kawasan terpencil/pulau kecil/terluar, rehabilitasi dan rekonstruksi dalam rangka penganggulangan dampak becana di Aceh sebanyak 6.480 unit rumah untuk 32.400 jiwa penduduk. Pada 2007, upaya yang dilakukan meliputi penyediaan subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RSH) sebanyak 103.221 unit dan kredit mikro pembangunan/perbaikan rumah sebanyak 19.590 unit, pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebanyak 8.265 unit, penataan dan perbaikan lingkungan permukiman untuk 645.250 jiwa di 375 kelurahan, fasilitasi dan stimulasi pembangunan/perbaikan rumah sebanyak 4.068 unit, penataan bangunan dan lingkungan (PBL) di 124 kelurahan, dukungan penyediaan infrastruktur untuk 93.840 unit rumah di kawasan perumahan PNS/TNI-Polri/Pekerja, penyediaan infrastruktur permukiman di sebanyak 44 kawasan terpencil/pulau kecil/terluar di 27 provinsi, rehabilitasi dan rekonstruksi dalam rangka penanggulangan dampak bencana alam di Aceh yaitu pembangunan 231.013 unit rumah untuk 1.155.065 jiwa penduduk. Pada 2008, upaya yang dilakukan meliputi penyediaan subsidi kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR-RSH) sebanyak 97.238 unit dan kredit mikro pembangunan/perbaikan rumah sebanyak 42.263 unit, pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) sebanyak 9.443 unit, penataan dan perbaikan lingkungan permukiman sebanyak 596.969 jiwa di 260 kelurahan dengan luas total sebesar 1.109 ha, fasilitasi pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) sebanyak 2.633 unit, fasilitasi dan stimulasi pembangunan/perbaikan rumah yang bertumpu pada keswadayaan masyarakat sebanyak 4.850 unit, penataan bangunan dan lingkungan (PBL) di 144 kelurahan, dukungan infrastruktur pada kawasan perumahan PNS/TNIPolri/Pekerja sebanyak 101.059 unit rumah, penyediaan infrastruktur permukiman di kawasan terpencil/pulau kecil/ terluar sebanyak 44 kawasan di 32 provinsi, rehabilitasi dan rekonstruksi dalam rangka penanggulangan dampak bencana alam di Aceh yaitu pembangunan 8.742 unit rumah untuk 43.710 jiwa penduduk. Permasalahan. Faktor penyebab utama kesulitan masyarakat miskin mendapatkan fasilitas tempat tinggal yang sehat dan layak huni adalah ketidakmampuan membayar uang muka Kredit Pemilikan Rumah (KPR), bahkan untuk kategori Rumah Sangat Sederhana (RSS). Akibatnya, masyarakat miskin bermukim di areal yang cenderung kumuh dan memiliki sanitasi buruk. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan pesisir, pinggiran hutan, dan pertanian lahan 71
kering juga mengalami kesulitan yang sama. Di daerah perdesaan, masalah ini disiasati dengan menumpang pada tempat tinggal anggota keluarga lain yang lebih layak. Sementara, bagi penduduk lokal yang tinggal di pedalaman hutan, masalah perumahan dan permukiman menjadi bagian dari masalah keutuhan ekosistem dan budaya setempat. Tempat tinggal yang sehat dan layak merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau masyarakat miskin. Masalah perumahan yang kerap dihadapi adalah terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak huni, rendahnya mutu lingkungan permukiman, serta lemahnya status hukum kepemilikan rumah. Di perkotaan, keluarga miskin sebagian besar tinggal di perkampungan yang tidak layak (kumuh). Seringkali satu rumah ditinggali oleh lebih dari satu keluarga. Kondisi permukiman mereka juga sering tidak dilengkapi dengan fasilitas sanitasi yang memadai. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam pendekatan hak atas perumahan adalah sebagai berikut: 1. Proporsi orang yang tidak punya tempat tinggal terhadap seluruh penduduk. 2. Jumlah tempat tidur di barak penampungan tuna wisma per jumlah tuna wisma. 3. Proporsi orang yang bertempat tinggal di wilayah kumuh terhadap seluruh penduduk. 4. Proporsi orang yang tinggal di tempat yang tidak legal (tanah milik atau tanah publik) terhadap seluruh penduduk. 5. Proporsi orang yang terkena penggusuran terhadap seluruh penduduk. 6. Proporsi rumahtangga dengan penggunaan listrik. 7. Jumlah penguasaan tempat tinggal milik sendiri 8. Jumlah tempat tinggal lantai bukan tanah 9. Jumlah KK yang difasilitasi rusunawa
6).
HAK ATAS AIR BERSIH DAN SANITASI
Sasaran. Sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas air bersih dalam lima tahun mendatang adalah terpenuhinya kebutuhan air bersih dan aman bagi masyarakat miskin. Sementara itu, sasaran pembangunan sanitasi adalah menciptakan permukiman yang sehat dilakukan dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan sanitasi dasar. Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2004 tentang SUMBER DAYA AIR, pada Pasal 5 disebutkan Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan produktif. Selanjutnya dalam tataran kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan landasan hukum untuk menjamin hal ini, diantaranya adalah penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Arah Kebijakan. Kebijakan Pemenuhan Hak Atas Air Bersih dan Sanitasi, diarahkan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap air bersih dan aman, telah disusun kebijakan penyediaan air berbasis masyarakat. Sementara itu, pembangunan air minum difokuskan pada upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan air minum. Di perkotaan, Pemerintah mendorong peningkatan pelayanan air minum perpipaan yang sebagian besar dilayani oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di perdesaan, penyediaan air 72
minum dilakukan melalui pembangunan air minum berbasis masyarakat dengan harapan masyarakat mempunyai kemampuan dalam mengoperasikan dan memelihara prasarana dan sarana yang terbangun. Kebijakan tersebut diharapkan dapat membuka peluang bagi masyarakat, termasuk masyarakat miskin, untuk berpartisipasi dalam pengelolaan air bersih. Penerapan kebijakan ini terutama dilakukan di kawasan pinggiran kota, kantong permukiman di pusat kota, dan kawasan perdesaan yang dianggap tidak potensial un tuk dikelola oleh swasta. Program-program Terkait Pemenuhan Hak atas Air Bersih dan Sanitasi. Tujuan program-program ini adalah untuk meningkatkan akses masyarakat miskin atas air bersih. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan melalui program-program diantaranya: 1)
2)
3)
Program pengembangan pemberdayaan masyarakat. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya peranan air minum dan air limbah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan produktifitasnya, Program pengembangan kelembagaan. Proram ini ditujukan untuk melakukan penataan kembali peraturan perundang-undangan dan pengembangan kelembagaan yang terkait dengan pembangunan air minum dan air limbah untuk mewujudkan system kelembagaan dan tata laksana pembangunan air minum dan air limbah yang efektif. Program pengembangan kinerja pengelolaan air minum dan air limbah. Program ini ditujukan untuk meningkatkan cakupan pelayanan air minum dan air limbah yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan yang akan dilaksanakan oleh komunitas masyarakat secara optimal, efisien dan berkelanjutan.
Capaian. Untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap air bersih dan aman, telah disusun kebijakan penyediaan air berbasis masyarakat. Kebijakan tersebut diharapkan dapat membuka peluang bagi masyarakat, termasuk masyarakat miskin, untuk berpartisipasi dalam pengelolaan air bersih. Penerapan kebijakan ini terutama dilakukan di kawasan pinggiran kota, kantong permukiman di pusat kota, dan kawasan perdesaan yang dianggap tidak potensial untuk dikelola oleh swasta. Upaya lain yang telah dilakukan adalah melalui penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2005 tentang sistem pengembangan air minum (SPAM) dan badan pendukung pengembangan PDAM. Hingga 2008 telah dibangun prasarana dan sarana air minum bagi 3,5 juta penduduk perdesaan dan 1,6 juta penduduk perkotaan. Secara umum, pada tahun 2004 proporsi penduduk yang mendapatkan pelayanan air minum perpipaan hanya sebesar 17,45 persen dan pada 2007 menjadi 16,18 persen. Di perdesaan, tingkat pelayanan air minum perpipaan pada 2004 sebesar 6,95 persen dan meningkat menjadi 7,28 pada 2007, sedangkan di perkotaan tingkat pelayanan air minum perpipaan pada 2004 sebesar 32,84 persen dan menurun menjadi 27,91 persen pada 2007. Pelayanan air minum perpipaan di perkotaan pada umumnya dilakukan oleh BUMD yaitu Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sedangkan di perdesaan pada umumnya dilakukan oleh kelompok swadaya masyarakat setempat dan atau BUMDes (Badan Usaha Milik Desa). Sementara itu, dari hasil survey Statistik Kesejahteraan Rakyat, tahun 2004 dan 2007 terlihat bahwa persentase masyarakat yang memilik tangki septik telah meningkat kurang lebih sebesar 5 persen di perkotaan (65,99 persen pada 2004 menjadi 71,06 persen pada 2007) dan sebesar 7 persen di kawasan perdesaan.
73
Pada 2005, upaya yang telah dilakukan meliputi pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi ibu kota kecamatan (IKK) dengan kapasitas produksi 1.093 l/dtk dan melayani 693.664 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan dengan kapasitas produksi 1.120 l/dtk dan melayani 704.262 jiwa penduduk, penyehatan PDAM dengan kapasitas produksi 580 l/dtk dan melayani 249.500 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi ibukota kabupaten pemekaran dengan kapasitas produksi 65 l/dtk dan melayani 28.000 jiwa penduduk, penyediaan air minum berbasis masyarakat (PAMSIMAS) di desa rawan air/terpencil dengan kapasitas 405 l/dtk yang melayani 469.918 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum perdesaan melalui DAK dan APBD dengan kapasitas produksi 665 l/dtk dan melayani 428.320 jiwa penduduk, serta pengelolaan air limbah di 32 kabupaten/kota. Pada 2006, upaya yang telah dilakukan meliputi pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi ibu kota kecamatan (IKK) dengan kapasitas produksi 907 l/dtk dan melayani 473.620 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan dengan kapasitas produksi 537 l/dtk dan melayani 392.848 jiwa penduduk, penyehatan PDAM dengan kapasitas produksi 901 l/dtk dan melayani 786.065 jiwa penduduk, penyediaan air minum berbasis masyarakat di desa rawan air/terpencil dengan kapasitas 366 l/dtk yang melayani 239.382 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum perdesaan melalui DAK dan APBD dengan kapasitas produksi 1.553 l/dtk dan melayani 842.720 jiwa penduduk, serta pengelolaan air limbah di 84 kabupaten/kota. Pada 2007, upaya yang telah dilakukan meliputi pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi ibu kota kecamatan (IKK) dengan kapasitas produksi 1.827 l/dtk dan melayani 69.070 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum masyarakat berpendapatan rendah di perkotaan dengan kapasitas produksi 266 l/dtk dan melayani 26.025 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum bagi ibukota kabupaten pemekaran dengan kapasitas produksi 20 l/dtk dan melayani 575 jiwa penduduk, penyediaan air minum berbasis masyarakat (PAMSIMAS) di desa rawan air/terpencil dengan kapasitas 616 l/dtk yang melayani 75.950 jiwa penduduk, pengembangan prasarana dan sarana air minum perdesaan melalui DAK dan APBD dengan kapasitas produksi 3.283 l/dtk dan melayani 529.970 jiwa penduduk, serta pengelolaan air limbah di 81 kabupaten/kota. Pada 2008, upaya yang telah dilakukan meliputi pengembangan prasarana dan sarana air minum dengan kapasitas produksi 8.130 l/dtk untuk melayani 2.200.000 jiwa. Pencapaian tersebut meliputi pembangunan prasarana dan sarana air minum perkotaan di ibu kota kecamatan, di ibu kota kabupaten/kota pemekaran, di kawasan permukiman masyarakat berpendapatan rendah, bantuan serta pembangunan prasarana dan sarana air minum perdesaan di desa rawan air dan desa terpencil, serta pembangunan prasarana dan sarana air limbah di 92 kabupaten/kota. Permasalahan. Air bersih merupakan masalah yang sering dihadapi masyarakat miskin. Terbatasnya penguasaan sumber air, ketidakterjangkauan jaringan distribusi, serta kurangnya kesadaran akan pentingnya air bersih merupakan penyebab utama dari hal ini. Selain itu, kualitas sumber air yang menurun akibat pencemaran, limbah industri, penggundulan hutan, dan pendangkalan semakin meminimumkan akses masyarakat miskin terhadap air bersih. Bagi 74
masyarakat miskin perkotaan, tingkat kesulitan memperoleh air bersih lebih tinggi. Hal ini karena kondisi kawasan permukiman yang kumuh dan sering kali terletak di pinggiran sungai sehingga menyulitkan fasilitas layanan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) menjangkau lokasi tersebut. Akibatnya, masyarakat miskin perkotaan memanfaatkan sumur galian dan air sungai yang tercemar untuk memenuhi keperluan rumah tangga (RT). Mereka juga terpaksa membeli air dari pengecer dengan harga yang relatif mahal. Sementara itu, masalah sanitasi kerap dialamatkan pada permasalahan air limbah dan sampah terutama di daerah perkotaan khususnya wilayah kumuh. Selama ini terindikasi belum optimal dalam penganganan air`limbah yang menyebabkan tercemarnya airbaku oleh air limbah yang tidak dikelola dengan baik. Tercemarnya air baku ini di lingkungan masyarakat miskin semakin meningkat dengan masih banyaknya warga yang melakukan BAB secara sembarangan atau pemilikan kakus yang tidak standar. Isu dan permasalahan sampah bagi masyarakat miskin antara lain adalah tingginya timbunan sampah, belum optimalnya penanganan sampah apalagi masih terbatas penyelenggaraan pelayanan sampah yang hanya terbatas pada wilayah-wilayah di luar wilayah kumuh. Sekalipun sudah ada penyuluhan mengenai reduce, reuse recycle (3R) tetapi dengan rendahnya kesadaran masyarakat penanganan sampah menjadi sulit tertangani. Lebih-lebih dengan masyarakat yang tinggal di pinggir kali yang dengan sendirinya membuang sampah ke kali akan memperburuk dampak terhadap lingkungan yang lebih luas. Di wilayah warga miskin masalah sistem drainase juga masih kerap ditemukan karena belum tersedia dan berfungsinya sistem drainase sebagai pematus air hujan. Selain warga menanggung luapan air hujan di waktu hujan juga debit limpasan yang meningkat memungkin masuknya sampah ke dalam saluran drainase atau tempat pembuangan air limbah. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam pendekatan hak atas air bersih dan sanitasi adalah sebagai berikut: 1. Proporsi rumahtangga dengan pemilikan/akses terhadap air bersih. 2. Proporsi rumahtangga dengan fasilitas MCK. 3. Jumlah sumber air minum ke tempat penampungan kotoran/tinja lebih dari 10 meter. 4. Jumlah rumah dengan jenis kloset leher angsa 5. Jumlah rumah tempat pembuangan akhir tinja tangki/SPAL 6. Jumlah rumah dengan sistem pelayanan air limbah setempat yang layak 7. Jumlah KK dengan akses ke sistem pelayanan air limbah komunal yang layak 8. Jumlah rumah sampah terangkut 9. Jumlah rumah dengan penanganan sampah baik
7).
HAK ATAS TANAH
Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah perumahan dan lahan tempat usaha. Di perdesaan, kepastian kepemilikan dan penguasaan ini berdampak pada lemahnya akses terhadap pengusahaan lahan dan terbatasnya upaya untuk mobilisasi anggota keluarga yang lebih banyak untuk bekerja di sektor pertanian. Masalah di perdesaan bertambah buruk dengan pengalihan hak penguasaan lahan ke tangan orang kaya dan lemahnya perlindungan terhadap hak kepemilikan lahan yang cenderung tidak memiliki sertifikat. Dengan semakin terbatasnya akses 75
terhadap tanah merupakan salah satu faktor penting yang di satu sisi bertambahnya jumlah penduduk yang tidak memiliki lahan garapan dan di sisi lain ditemukannya lahan-lahan produktif yang cukup luas dan tidak digarap semestinya. Sementara itu, dalam hubungan dengan hak atas tanah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selanjutnya pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah dinyatakan bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Dan bahwa tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita punya kesempatan yang sama untuk memperoleh suatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Dalam tataran kebijakan, telah banyak diterbitkan peraturan perundang-undangan, dimulai dari Undang Undang sampai Peraturan Menteri, yang dapat disebutkan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3639), Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 51), Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1979 Tentang Pokok Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak Hak Barat, dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pengalihan hak kepemilikan dan semakin terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap lahan produktif berdampak pada bertambahnya rumah tangga petani gurem, yang mengusahakan lahan pertanian yang luasnya kurang dari 0,2 hektar (semakin kecilnya rata-rata luas penguasaan tanah per rumah tangga pertanian). Selain itu, masalah pengalihan hak kepemilikan ini membuat tumbuhnya jumlah hubungan pemilik dan penggarap atau patron-klien yang cenderung merugikan petani penggarap (tidak terpenuhinya kebutuhan petani penggarap sekalipun mereka sudah bekerja keras). Di perkotaan, masalah pertanahan kerap terindikasi bertambahnya dan semakin meluasnya sengketa agraria, termasuk sengketa masyarakat dengan pemerintah, swasta dan orang kaya. Penetapan kawasan konservasi dan kawasan usaha yang di dalamnya terdapat lahan pertanian, masyarakat sekitar yang sudah mengusahakan secara turun-temurun tidak terfasilitasi dengan baik. Sementara itu, timbulnya penempatan lahan untuk lokasi tempat tinggal dan usaha di daerah bantaran kali, dan waduk yang sudah berlangsung lama menimbulkan resitensi ketika terjadi penertiban karena kurang terpenuhinya perihal konpensasi. Mereka yang tergusur yang sudah menanamkan investasinya di lahan-lahan tersebut berdampak pada kehilangan aset dan sumber-sumber mata pencaharian yang dapat menurunkan derajat kehidupan mereka. Beberapa indikator yang dapat digunakan dalam pendekatan hak atas tanah adalah sebagai berikut: 1. Jumlah tanah/lahan sertifikat 2. Jumlah luas lahan pertanian 0,5 hektar 76
3.
Jumlah kompensasi
Kebijakan Pemenuhan Hak Atas Tanah, untuk menjamin kepemilikan tanah masyarakat miskin, dilakukan kegiatan pengelolaan pertanahan yang bertujuan untuk: 1. Memberdayakan pengusaha UMKM melalui sertifikasi hak atas tanah secara bertahap untuk meningkatkan akses UMKM dan koperasi kepada kredit perbankan; 2. Menerbitkan sertifikat hak atas tanah bagi masyarakat golongan ekonomi lemah; 3. Redistribusi tanah objek land-reform bagi petani penggarap tanah objek land-reform. Selanjutnya, juga diterbitkan sertifikat hak atas tanah bagi masyarakat transmigrasi yang tergolong masyarakat miskin. Hingga 2008, hasil yang dicapai antara lain diterbitkannya 3.257.995 sertifikat tanah dengan prioritas penerima manfaat adalah para transmigran dan kelompok miskin. 8).
HAK ATAS LINGKUNGAN HIDUP DAN SUMBERDAYA ALAM
Sasaran. Sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas lingkungan hidup dan sumberdaya alam dalam lima tahun mendatang adalah terbukanya akses masyarakat miskin dalam pemanfaatan SDA dan terjaganya kualitas lingkungan hidup. Dalam tataran kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan landasan hukum untuk menjamin hal ini, diantaranya adalah: (i) pengesahan beberapa peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disertai dengan beberapa Perpres turunannya, PP No. 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan yang merupakan tindak lanjut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan; (ii) tersusunnya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) tentang Hutan Kemasyarakatan yang merupakan revisi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan, pemberdayaan masyarakat, dan masuknya investasi di sektor kehutanan. Arah kebijakan. Meningkatkan akses masyarakat miskin dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dilakukan dengan: (1) memperluas kesempatan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan akses masyarakat miskin dalam pengelolaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang adil dan berkelanjutan, (2) memberdayakan kelembagaan masyarakat melalui kebijakan yang diarahkan pada peranserta organisasi dan lembaga masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan SDA dan LH, (3) meningkatkan kapasitas masyarakat miskin yang dilakukan melalui kebijakan yang diarahkan pada pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDA dan LH yang berkelanjutan, (4) meningkatkan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin melalui kebijakan yang diarahkan pada pengembangan mekanisme perlindungan bagi masyarakat miskin dari dampak bencana alam, serta (5) meningkatkan kemitraan global melalui pengembangan jaringan kerja dalam hal pengelolaan SDA dan pelestarian LH yang lebih berpihak pada masyarakat miskin. Program-program Terkait Pemenuhan Hak atas Lingkungan Hidup dan SDA. Tujuan program-program ini adalah untuk meningkatkan akses masyarakat miskin dalam pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan melalui program-program diantaranya: 77
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Program Pemanfaatan Potensi Sumber Daya Hutan a. Rehabilitasi ekosistem (lahan kritis, lahan marginal, hutan bakau, dan terumbu karang, dll.) berbasis masyarakat; dan b. Pengembangan hutan kemasyarakatan dan usaha perhutanan rakyat. Program Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam a. Restrukturisasi peraturan tentang pemberian Hak Pengelolaan Sumberdaya Alam; b. Penguatan organisasi masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup; c. Pengembangan dan penyebarluasan pengetahuan tentang pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, termasuk kearifan lokal; d. Pengembangan sistem insentif bagi masyarakat miskin yang menjaga lingkungan; serta e. Pengembangan kerjasama kemitraan dengan lembaga masyarakat setempat dan dunia usaha dalam pelestarian dan perlindungan sumber daya alam. Program Pengembangan Kapasitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup a. Pengembangan sistem pengawasan pemanfaatan SDA oleh masyarakat; b. Pengembangan sistem pengelolaan sumber daya alam yang memberikan hak kepada masyarakat secara langsung; serta c. Reorientasi kerjasama dengan perusahaan multinasional yang memanfaatkan SDA dan LH agar lebih berpihak pada masyarakat miskin. Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup. a. Peningkatan peran sektor informal khususnya pemulung dan lapak dalam upoaya pemisahan sampah dan 3R; dan b. Penegakkan hukum bagi pihak yang merusak sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial a. Pemberian bantuan jaminan hidup bagi masyarakat yang terkena bencana alam.
Capaian sasaran. Masyarakat miskin mempunyai keterbatasan akses dalam pengelolaan SDA dan menikmati LH yang berkualitas. Berbagai kebijakan telah dilakukan untuk mengatasi masalah keterbatasan akses masyarakat miskin, kerusakan dan degradasi lingkungan, serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan pengelolaan SDA dan LH. Bahkan, kebijakan pengelolaan SDA dan LH sudah diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat antar generasi melalui pengelolaan SDA yang berkelanjutan dan berkeadilan. Undang-Undang (UU) Sumberdaya Air merupakan kebijakan yang diharapkan dapat melindungi dan menjamin akses masyarakat, terutama masyarakat miskin, terhadap air. Keikutsertaan swasta dalam pengelolaan sumber air diarahkan pada pengelolaan yang tidak berlebihan agar tidak mengganggu pasokan air irigasi bagi petani. Selain itu, dikembangkan sebuah sistem yang menjamin akses masyarakat miskin, khususnya petani, terhadap sumber air. Upaya ini dilakukan melalui penyusunan PP yang mengatur: 1. Sistem dan mekanisme pengawasan terhadap perusahaan air minum; 2. Pengawasan secara ketat dan konsisten terhadap perusahaan besar penghasil limbah yang dapat mengakibatkan pencemaran sumber air dan lingkungan;
78
3.
Perlindungan kepada masyarakat agar dapat memanfaatkan sumber air permukaan untuk irigasi pertanian dan sumber air bawah tanah untuk keperluan rumah tangga. Semua pengaturan ini dimaksudkan agar tidak terjadi eksploitasi sumber air secara berlebihan.
Perluasan akses masyarakat miskin terhadap SDA dan LH telah dilakukan pula. Program ini dilakukan melalui kegiatan: 1. Pemantapan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan; 2. Perlindungan dan konservasi sumberdaya alam, rehabilitasi, dan pemulihan cadangan SDA; 3. Pengembangan kapasitas pengelolaan SDA dan LH. Indonesia juga telah mencapai kesepakatan dengan Republik Rakyat Cina (RRC) dalam upaya pemberantasan pembalakan liar (illegal logging). Berbagai kebijakan perluasan akses SDA dan LH sebagai bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan tidak lupa menyertakan pula masyarakat yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar hutan. Untuk itu, kegiatan yang dilakukan adalah pemberdayaan ekonomi rakyat dan kebijakan revitalisasi sektor kehutanan. Kebijakan pemberdayaan ekonomi dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan kehutanan, baik dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan hutan. Selain itu, revitalisasi kehutanan merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani hutan, meningkatkan daya saing produk kehutanan, serta menjaga kelestarian SDA berkelanjutan. Kondisi terkini. Masyarakat miskin di Indonesia sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan SDA dan LH. Penyebab utamanya adalah akses yang terbatas terhadap SDA sebagai sumber mata pencaharian dan penunjang kehidupan sehari-hari. Hal ini diperburuk dengan menurunnya mutu LH yang membuat masyarakat rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan. Meningkatnya jumlah penduduk menyebabkan kepemilikan lahan semakin sempit. Masyarakat kehilangan sumber mata pencaharian sebagai akibat dari konversi hutan dan degradasi LH, terutama pada hutan, laut, dan daerah pertambangan. Hal ini pada gilirannya dapat memperburuk kondisi masyarakat pada lingkungan sekitar. Permasalahan. Masalah utama yang dihadapi masyarakat miskin adalah terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap sumberdaya alam dan menurunnya mutu lingkungan hidup, baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penunjang kehidupan sehari-hari. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan. Masyarakat miskin seringkali terpinggirkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, seperti terjadi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam oleh perusahaan besar dan proyek-proyek besar pemerintah. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah pesisir sebagai nelayan merasakan adanya penurunan tangkapan yang sangat drastis. Hal ini disebabkan oleh masuknya perahu trawl milik pemodal besar dan pencurian ikan oleh nelayan negara asing yang menggunakan perahu lebih modern. Masyarakat miskin yang tinggal di sekitar daerah pertambangan tidak dapat merasakan manfaat secara maksimal. Mereka hanya menjadi buruh pertambangan tanpa ada hak atas kepemilikan terhadap areal pertambangan yang dikuasai oleh para pemilik modal atas ijin dari negara.
79
9).
HAK ATAS RASA AMAN
Sasaran. Sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas rasa aman dalam lima tahun mendatang adalah terjaminnya rasa aman dari tindak kekerasan. Hak atas rasa aman dijamin dalam UUD 1945 pasal 28G Ayat (1). Dalam tataran kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan landasan hukum untuk menjamin hal ini, diantaranya adalah UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan Keppres No.17 tahun 2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional, UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan terhadap saksi dan korban yang berupaya untuk pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang tidak diskriminatif. Selanjutnya sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan Pasal 43 UU PKDRT, telah dikeluarkan PP Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga. Dalam upaya perlindungan terhadap perempuan, telah dibentuk Komnas Perempuan melalui Perpres Nomor 65 Tahun 2005 yang bertugas untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan, pencegahan, dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan HAM perempuan di Indonesia. Arah kebijakan. Upaya memenuhi hak atas rasa aman dan perlindungan dari gangguan keamanan dan konflik bagi masyarakat miskin dilakukan dengan: (1) memperluas kesempatan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan rasa aman bagi masyarakat miskin, dan pemulihan keamanan dan ketertiban daerah pasca konflik, (2) memberdayakan kelembagaan masyarakat melalui kebijakan yang diarahkan pada upaya mewujudkan rasa aman, mencegah dan menangani persoalan pasca konflik, serta (3) meningkatkan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin melalui kebijakan yang diarahkan pada perluasan jaminan rasa aman di rumah tangga dan lingkungan sosial pada kelompok masyarakat rentan, dan meningkatkan perlindungan bagi para pekerja anak dan anak jalanan, serta pencegahan terjadinya perdagangan anak. Program-program Terkait Pemenuhan Hak atas Rasa Aman. Tujuan programprogram ini adalah untuk memenuhi hak masyarakat miskin atas rasa aman dari gangguan keamanan, tindak kekerasan, dan konflik. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan melalui program-program diantaranya: (1)
(2)
(3)
Program Pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial a. Meningkatkan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan sosial dan hukum bagi anak terlantar termasuk anak jalanan, anak cacat, dan anak nakal; dan b. Melakukan pelatihan ketrampilan dan praktek belajar kerja bagi anak terlantar termasuk anak jalanan, anak cacat, dan anak nakal. Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Kesejahteraan Rakyat a. Melakukan sinkronisasi kebijakan dan pelaksanaan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan; dan b. Menyerasikan penanganan masalah-masalah strategis yang menyangkut kesejahteraan rakyat antara lain pengungsi, dan korban bencana alam dan konflik. Program Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT), dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Lainnya a. Melakukan pemberdayaan sosial keluarga fakir miskin; 80
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
1. 2. 3.
b. Membangun kerjasama kemitraan antara pengusaha dengan kelompok usaha fakir miskin; c. Melaksanakan pemberdayaan KAT secara bertahap, mengembangkan GIS bagi pemetaan dan pemberdayaan KAT; dan d. Melakukan peningkatan kemampuan bagi petugas dan pendamping pemberdayaan sosial keluarga fakir miskin, KAT, dan PMKS lainnya. Program Pengembangan Sistem Perlindungan Sosial: a. Menyerasikan peraturan perundang-undangan dan kebijakan tentang penyelenggaraan pelayanan perlindungan sosial; b. Menyempurnakan kebijakan yang berkaitan dengan bantuan sosial bagi penduduk miskin dan rentan; c. Mengembangkan model pelembagaan bentuk-bentuk kearifan lokal perlindungan sosial; dan d. Pembentukan unit/lembaga yang responsif dalam menangani kasus tindak kekerasan terhadap masyarakat rentan. Program Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan a. Peningkatan perlindungan terhadap anak dan perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga; dan b. Meningkatkan upaya perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi, termasuk pencegahan dan penanggulangannya. Program Peningkatan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak a. Pengembangan sistem perlindungan bagi pekerja anak dan anak jalanan; dan b. Peningkatan upaya pencegahan perdagangan anak. Program Pemantapan Keamanan Dalam Negeri a. Penegakan hukum yang menjamin rasa aman masyarakat miskin secara konsisten; dan b. Revitalisasi sistem keamanan tingkat komunitas untuk mewujudkan keamanan lingkungan. Program Pemulihan Kawasan Konflik a. Pengembangan sistem perlindungan sosial bagi korban konflik; b. Penyelesaian akar masalah konflik seperti pertanahan, pengangguran kemiskinan dan sebagainya; c. Pemulihan keamanan, ketertiban dan pelayanan umum di daerah pasca konflik; dan d. Peningkatan keberdayaan komunitas untuk mewujudkan keamanan, mencegah dan menyelesaikan konflik lingkungan. Capaian sasaran. Peningkatan rasa aman masyarakat miskin dilakukan dengan: Mencegah terjadinya segala bentuk kekerasan; Menempatkan kepolisian sebagai bagian dari lembaga sipil; Mengutamakan cara damai dan pendekatan yang simpatik dan kolaboratif dalam menciptakan rasa aman.
Selain itu, komitmen untuk membangun persamaan hukum, perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di daerah konflik yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 terus dilaksanakan. UU tersebut telah mengatur hak atas rasa aman, di antaranya jaminan atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, 81
dan hak miliknya. UU tersebut juga mengatur tentang persamaan pengakuan di depan hukum, tidak terkecuali jaminan bagi setiap orang untuk tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang. Demikian pula, komitmen perang terhadap teror terus diupayakan. Hal ini mengingat selama beberapa tahun telah terjadi teror bom di Indonesia. Akibatnya, ratusan orang menjadi korban yang berimplikasi pada terciptanya kemiskinan baru bagi keluarga korban. Upaya rekonsiliasi yang telah dilakukan terus dikembangkan lebih intensif melalui penciptaan tatanan sosial baru yang mengedepankan penghormatan pada pluralisme, hubungan sosial yang inklusif serta pengembangan kolaborasi lintas suku, daerah dan agama. Penanganan dampak bencana telah pula dilakukan melalui langkah-langkah rehabilitasi dan rekonstruksi. Khusus terkait dengan bantuan masyarakat melalui posko, telah dilakukan pendataan bantuan dan penyusunan rekapitulasi laporan keuangan posko agar proses penyaluran bantuan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mencegah konflik sosial, pendekatan multikulturalisme terus digiatkan.
1. 2. 3. 4.
Selain itu, guna meningkatkan rasa aman berbagai upaya juga dilakukan di antaranya: Peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan anak (PUA); Bantuan sosial untuk masyarakat rentan, korban bencana alam, dan korban bencana sosial; Peningkatan pelayanan sosial dasar bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) termasuk anak, lanjut usia dan penyandang cacat; serta Pengurangan pekerja anak dalam rangka mendukung PKH.
Hingga akhir 2008, jumlah konflik sosial di masyarakat cenderung menurun dibandingkan dengan periode sebelumnya. Akan tetapi, diperkirakan masih terdapat sekitar 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik. Keadaan ini dapat menjadi pemicu munculnya ancaman, seperti: meningkatnya jumlah kemiskinan, anak terlantar dan jalanan, perdagangan perempuan dan anak (trafficking) serta korban tindak kekerasan. Berbagai ancaman tersebut dapat menyebabkan menurunnya status kesehatan individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas, menurunnya akses terhadap pendidikan, menurunnya akses terhadap air bersih, rusaknya infrastruktur sosial, dan hilangnya rasa aman. Untuk itu, dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat, Pemerintah berupaya melakukan usaha penanggulangan tersebut, melalui: 1. Pemberdayaan terhadap lebih dari 200 ribu anak jalanan dan telantar; 2. Santunan bagi lebih dari 40.000 penduduk lanjut usia miskin; 3. Pemberdayaan peran pada lebih dari 100.000 keluarga; 4. Rehabilitasi sosial bagi anak nakal pada lebih dari 10.000 anak dan korban penyalahgunaan narkortika, obat-obatan terlarang, dan zat adiktif; 5. Rehabilitasi pada lebih dari 10.000 tuna sosial (termasuk: wanita tuna susila, gelandangan, pengemis, dan bekas narapidana) serta penyempurnaan sarana dan prasarana panti tuna sosial; 6. Pengkajian dan pengembangan program bantuan sosial korban tindak kekerasan dan pekerja migran kepada instansi Pemerintah pusat dan daerah serta pemberian bantuan sosial bagi korban tindak kekerasan dan pekerja migran pada sekitar 4.000 orang. 82
Selain itu, untuk mendukung upaya perlindungan terhadap anak (termasuk di dalamnya upaya penanggulangan perdagangan anak dan pemberdayaan anak telantar/jalanan), Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mengalokasikan dana sebesar Rp 12 miliar dan Rp 16 miliar untuk kegiatan program pada 2006 dan 2007. Di samping itu, upaya pemulihan kawasan pascakonflik juga terus dilakukan. Upaya tersebut meliputi rehabilitasi prasarana dan sarana ekonomi serta pengembangan ekonomi lokal dan pengembangan jaringan kemitraan usaha. Program lain yang juga dilakukan adalah peningkatan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan sosial dan hukum bagi anak terlantar, termasuk anak jalanan, anak cacat, dan anak nakal. Kondisi terkini. Tindak kekerasan juga kerap mengancam masyarakat miskin. Tindak kekerasan dapat muncul karena terjadinya konflik sosial, ancaman terorisme, serta ancaman non-kekerasan. Ancaman nonkekerasan dapat berupa: perdagangan perempuan dan anak, krisis ekonomi, penyebaran penyakit menular, dan peredaran obat-obatan terlarang. Berbagai ancaman tersebut menyebabkan masyarakat tidak memiliki rasa aman. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Permasalahan. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997 – 2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik.. Lemahnya jaminan rasa aman dalam lima tahun terakhir juga terjadi dalam bentuk ancaman non kekerasan antara lain, kerusakan lingkungan, perdagangan perempuan dan anak (trafficking), krisis ekonomi, penyebaran penyakit menular, dan peredaran obat-obat terlarang yang menyebabkan hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Konflik sosial yang terjadi diberbagai tempat menyebabkan hilangnya rasa aman. Konflik yang terjadi di berbagai daerah telah menyebabkan hilang atau rusaknya tempat tinggal, terhentinya kerja dan usaha sehingga penghasilan keluarga hilang, menurunnya status kesehatan individu dan lingkungan yang berakibat pada penurunan produktivitas, rusaknya infrastruktur ekonomi yang menyebabkan langkanya ketersediaan bahan pangan, menurunnya akses terhadap pendidikan, menurunnya akses terhadap air bersih, rusaknya infrastruktur sosial dan hilangnya rasa aman, serta merebaknya rasa amarah, putus asa dan trauma kolektif. 10).
HAK ATAS PARTISIPASI
Sasaran. Sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas partisipasi dalam lima tahun mendatang adalah meningkatnya partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan merupakan bagian dari hak politik setiap manusia yang dijamin konstitusi sebagaimana dijelaskan pada Pasal 28 (3), Pasal 27 (1), Pasal 22E, Pasal 6(A) dan Pasal 7(A) Amandemen UUD 1945. Selanjutnya dalam tataran kebijakan, pemerintah telah mengeluarkan landasan hukum untuk menjamin hal ini, diantaranya adalah Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Strategi Perencanaan Pembangunan Nasional, 83
dimana dalam Undang-Undang ini dijelaskan bahwa proses perencanaan pembangunan harus mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Arah kebijakan. Upaya peningkatan kemampuan dan partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan publik dilakukan dengan: (1) memperluas kesempatan melalui kebijakan yang diarahkan pada perluasan aksesibilitas masyarakat miskin terhadap sistem dan mekanisme perencanaan dan penganggaran program pembangunan, dan memperluas aksesibilitas masyarakat miskin terhadap perencanaan dan pengelolaan tata ruang wilayah, serta (2) memberdayakan kelembagaan masyarakat melalui kebijakan yang diarahkan pada pelembagaan partisipasi publik Program-program Terkait Pemenuhan Hak Berpartisipasi. Tujuan programprogram ini adalah untuk memperluas kesempatan bagi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Pencapaian tujuan tersebut dilakukan melalui program-program diantaranya: (1)
(2)
(3)
Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik a. Mengembangkan partisipasi masyarakat di wilayah kabupaten dan kota dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk di masing-masing wilayah/Penyempurnaan mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan dan perencanaan partisipatif daerah; dan b. Fasilitasi pembentukan forum-forum warga yang bisa mewakili kepentingan masyarakat miskin. Program Penataan Peran Negara dan Masyarakat, Program Peningkatan Kapasitas, Kelembagaan Pemerintah Daerah a. Memfasilitasi pulihnya fungsi-fungsi tradisional dan memberdayakan kembali pranata-pranata adat dan lembaga sosial budaya tradisional di daerah-daerah; dan b. Fasilitasi forum lintas pelaku sebagai wahana partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan publik. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah. a. Mendorong kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat; b. Mendorong peningkatan peran lembaga non pemerintah dan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota; c. Pelembagaan partisipasi masyarakat miskin melalui pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang partisipatif; serta d. Fasilitasi proses penjaringan aspirasi masyarakat miskin dan sosialisasi melalui media dan angket.
Capaian sasaran. Pengambilan suatu keputusan erat kaitannya dengan kemampuan partisipasi masyarakat dalam proses tersebut, tidak terkecuali bagi masyarakat miskin. Dengan tersedianya ruang partisipasi dan kemampuan menyampaikan aspirasi, masyarakat miskin akan dapat mempengaruhi keputusan yang diambil agar sesuai dengan kepentingan mereka. Pada prinsipnya, partisipasi sosial diarahkan pada perubahan dari Pemerintah menuju masyarakat madani. Hal ini membutuhkan partisipasi langsung warga dalam pengawasan terhadap Pemerintahan. 84
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, telah dilakukan kegiatan pendidikan dan pembangunan kesadaran warga, advokasi, aliansi dan kolaborasi keikutsertaan masyarakat atau organisasi berbasis masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, dilakukan pula upaya peningkatan kepekaan Pemerintah agar lebih melibatkan masyarakat dalam membuat kebijakan. Upaya lain yang dilakukan untuk memenuhi hak untuk berpartisipasi bagi masyarakat miskin adalah melalui kegiatan-kegiatan yang berbasis komunitas dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut telah meningkatkan partisipasi penduduk miskin, baik laki-laki maupun perempuan, dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan serta memelihara dan melestarikan hasil-hasilnya. Capaian yang telah dilakukan oleh Pemerintah dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat diantaranya: 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Peningkatan keberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi dan mengelola program pembangunan melalui PNPM Mandiri; Pengembangan partisipasi masyarakat di tingkat kabupaten/kota dalam perumusan program dan kebijakan layanan publik melalui mekanisme dialog dan musyawarah terbuka dengan komunitas penduduk; Penyempurnaan mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan dan perencanaan partisipatif daerah; Memfasilitasi pembentukan forum-forum warga yang bisa mewakili kepentingan masyarakat miskin; Memberdayakan kembali fungsi dan pranata adat serta lembaga sosial budaya tradisional di daerah-daerah; Mendorong kinerja kelembagaan daerah berdasarkan prinsip-prinsip organisasi modern dan berorientasi pelayanan masyarakat; Pelembagaan partisipasi masyarakat miskin melalui pelaksanaan perencanaan dan penganggaran yang partisipatif; Memfasilitasi proses penjaringan aspirasi masyarakat miskin melalui sosialisasi pada media dan angket.
Kondisi terkini. Kondisi terakhir yang terkait dengan penduduk miskin adalah lemahnya partisipasi masyarakat dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Hal ini menyebabkan kurang sesuainya hasil rumusan kebijakan publik dengan kebutuhan masyarakat. Rendahnya tingkat kesadaran dan tidak adanya akses merupakan penyebab utama dari rendahnya partisipasi masyarakat. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan publik. Rendahnya partisipasi juga disebabkan oleh kurangnya informasi, baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan masyarakat. Permasalahan. Salah satu penyebab kegagalan kebijakan dan program pembangunan dalam mengatasi masalah kemiskinan adalah lemahnya partisipasi mereka dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja
85
secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka. Secara formal sosialisasi telah dilaksanakan, namun karena menggunakan sistem perwakilan, seringkali informasi yang diperlukan tidak sampai ke masyarakat miskin. 6.2.
SINTESA PEMENUHAN HAK DASAR
Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa capaian pemenuhan hak dasar untuk masyarakat miskin. Pertama pada tataran hukum, pemerintah Indonesia telah membangun landasan hukum untuk menghormati dan menjamin hak masyarakat terhadap hak dasar sebagaimana diuraikan di atas, termasuk hak dasar untuk masyarakat miskin. Kedua, langkah afirmasi telah dilakukan dengan menyediakan kebijakan dan program yang disasarkan khusus bagi masyarakat miskin, yaitu: hak atas pangan, hak atas pendidikan, hak atas layanan kesehatan dan hak atas pekerjaan. Meskipun demikian, dalam pelaksanaanya, kebijakan dan langkah afirmasi masih memerlukan berbagai penyempurnaan. Ketiga, belum semua hak dasar memiliki aturan khusus untuk dapat mewujudkan penghormatan hak, perlindungan dan pemenuhan hak. Selain itu, belum semua hak memiliki indikator yang jelas untuk dapat mengetahui bahwa hak masyarakat sudah terpenuhi atau belum. Keempat, dalam kaitan dengan pemenuhan hak-hak lainnya, mulai dengan hak atas perumahan, air bersih dan akses atas tanah masih memerlukan penyempurnaan untuk memberikan langkah afirmasi khususnya bagi masyarakat miskin. Hal-hal inilah yang perlu dikaji lebih lanjut, diidentifikasi kebijakan dan instrumen serta langkah yang tepat agar pemenuhan kebutuhan dasar ini dapat tercermin pada hasil nyata di tingkat masyarakat. Kelima, diperlukan pemahaman secara benar dan meluas ke segenap lapisan pemerintah dan masyarakat tentang pengertian pemenuhan hak dasar dengan baik, sesuai human right based approach to economic and social rights, dan secara khusus human right based approach to poverty reduction. Dengan pemahaman yang tepat, penyempurnaan di atas akan dapat dilakukan dengan jelas, mudah dan mencapai hasil yang signifikan di tingkat masyarakat.
86
BAB VII. STRATEGI PEMENUHAN HAK DASAR DALAM RPJM 2010-2014
Sejalan dengan uraian dan bahasan di atas, tidak ada keraguan bahwa di tingkat masyarakat, dorongan untuk penerapan secara riil pemenuhan hak dasar bagi masyarakat miskin sudah menjadi ”demand” di masyarakat. Dorongan ini tidak saja dilatar-belakangi oleh dukungan dari luar dan lingkungan global, namun dorongan ini sejalan pula dengan meningkatnya kualitas hidup masyarakat Indonesia. Peningkatan pendapatan telah mendorong sebagian dari masyarakat Indonesia mampu terpenuhi kebutuhan dan hak dasarnya. Meskipun sebagian besar lainnya belum terpenuhi, namun perbedaan tingkat pemenuhan tersebut telah mendorong timbulnya rasa ingin sama dan memiliki. Selain itu, pergaulan di tingkat internasional telah pula mendorong kelompok cendekiawan dan pihak-pihak yang membela masyarakat miskin, bahwa setiap orang dan warga negara memiliki hak yang sama. Dari pergaulan dan kemitraan di tingkat internasional telah pula memberikan pengetahuan dan caracara untuk terus meningkatkan pemenuhan hak dasar dan menyempurnakan pemenuhan hak dasar tersebut untuk kualitas kehidupan yang lebih baik. Perubahan situasi dan kesadaran yang sama telah muncul pula di kalangan pemerintah, sejalan dengan meningkatnya semangat good government. Kesadaran ini didorong dengan lebih nyata dengan meningkatnya kekuatan masyarakat melalui parlemen, sehingga kebutuhan untuk mewujudkan dan memenuhi hak dasar masyarakat miskin menjadi suatu keperluan bersama. Dengan demikian, secara positif hal-hal tersebut di atas perlu dimanfaatkan bagi seluruh lapisan masyarakat, dan terutama pemerintah sebagai pemegang kewajiban (duty bearer) untuk menyediakan cara memenuhi hak, langkah memenuhi hak terutama untuk masyarakat yang tidak mampu memenuhi dirinya sendiri dan menjaga agar hak semua orang tidak terganggu oleh orang atau pihak lain. Sehubungan dengan itu, strategi pemenuhan hak dasar masyarakat miskin dalam kurun waktu 2010-2014 adalah sebagai berikut. Pertama, pemahaman secara benar. Memperluas pemahaman tentang pendekatan hak asasi pada penanggulangan kemiskinan dengan baik dan menyusun rancangan penerapan dengan benar pendekatan berbasis hak dasar untuk penanggulangan kemiskinan. Dengan pendekatan ini berarti bahwa: (i) perlu diuraikan dengan baik arti menghormati, melindungi dan memenuhi hak dasar bagi masayarakat dan terutama masyarakat miskin; (ii) disusun indikator untuk kaidah pelaksanaan; (iii) mengidentifikasi dan menyempurnakan kebijakan dan program sesuai dengan prinsip ini. Kedua, penataan, penyempurnaan dan perluasan: (a) Menata dan menyempurnaan pemenuhan hak dasar utama yang telah dipenuhi pemerintah yaitu hak atas pangan, hak tas layanan kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas pekerjaan; dan (b) Mengidentifikasi awal pemenuhan hak dasar perumahan dan tanah. Kedua hak dasar ini diprioritaskan karena perumahan yang termasuk di dalamnya adalah air bersih dan sanitasi.
87
Ketiga, peningkatan kapasitas, yaitu meningkatkan kapasitas pemerintah, pemerintah daerah dan para pihak setempat untuk mengadopsi dan mengarusutmakan pendekatan ini ke dalam pelaksanaan pelayanan masyarakat sehari-hari. 7.1. PEMAHAMAN PENDEKATAN PEMBANGUNAN DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS HAK Langkah pendekatan pembangunan berbasis hak. Sebelum melakukan hal itu, ada baiknya diketahui maksud dari pendekatan berbasis hak dalam pembangunan. Pendekatan berbasis hak di dalam pembangunan dan penanggulangan kemiskinan adalah pendekatan yang mengakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Di dalam memperjuangkan hak asasi manusia, dalam kaitan ini upaya-upaya untuk memperjuangkan pemenuhan hak kelompok ekonomi dan sosial budaya (ekosob) ketinggalan dengan hak atas sosial dan politik. Meskipun demikian, prinsip penerapan hak tetap sama yaitu: menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak tersebut. Pendekatan berbasis hak ekosob mengikuti prinsip perhormatan hak berlaku atas setiap individu, yaitu penghormatan hak akan dapat dicapai apabila setiap individu dapat menikmati semua haknya. Namun demikian, di dalam sosial budaya pendekatan berbasis hak diartikan sebagai: a. Di dalam pemenuhan hak eksosob meletakkan manusia bukan sebagai individu tetapi sebagai bagian dari komunitas dan sistem ekologis. b. Setiap manusia adalah pemilik hak dan di dalam hak tersebut melekat kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk menghormati, melindungi dan memenuhinya. c. Pendekatan berbasis hak ekosob menuntut adanya proses pembangunan yang meningkatkan kapabilitas dan kualitas kelompok marjinal dan yang memungkinkan kelompok marjinal dapat menuntut dan menikmati haknya. Meskipun demikian, sebagai bagian dari meningkatnya peran pasar yang semakin besar dalam penyelenggaraan ekonomi, maka pemenuhan hak ekonomi melibatkan hubungan yang lebih kompleks tentang siapa yang memiliki hak dan siapa yang bertanggung jawab untuk memenuhinya. Apabila pada hak sipil memandang negara sebagai penanggung jawab utama pelanggaran hak, maka di dalam hak ekosob melibatkan pula aktor non-negara sebagai pihak yang memiliki kewajiban untuk memenuhi hak ekosob7 (Bagan 7.1.).
7
Pembangunan Berbasis Hak Ekonomi, Sosial, Budaya. Sri Palupi, Institut for Ecosoc Rights. Makalah dibawakan di dalam Pelatihan Pembangunan Berbasis Hak, Bappenas-UNDP, Jakarta 2009.
88
Hukum Hak azasi Manusia
Pemangku Kewajiban
Pemegang Hak
Negara
Individu
Menghormati
Tindakan/Commission
Pihak Lain
Melindungi
Memenuhi
Pembiaran/Ommission
Sumber: Sri Palupi, 2009
Bagan.7.1 Pembangunan Berbasis Hak Ekonomi Sosial Budaya
Beberapa definisi dalam memenuhi kewajiban pemangku kewajiban diringkas dalam Tabel berikut. Tabel 7.1. Pembangunan Berbasis Hak Ekonomi Sosial Budaya Komponen Menghormati
Arti a. Negara menghormati hak atas asasi manusia dengan tidak campur tangan (intervensi) individu warganegara dalam menjalankan hak yang bersangkutan. b. Negara mengakui hak yang bersangkutan sebagai hak asasi manusia c. Negara tidak mengambil tindakan yang dapat mengakibatkan terhambatnya akses terhadap hak yang bersangkutan.
Melindungi
a. Negara menjamin bahwa pihak ketiga (individu atau entitas lain) tidak melanggar hak-hak individu lain b. Negara memberi sanksi terhadap pihak ketiga yang melanggar hak individu lain c. Termasuk di dalamnya memastikan tersedianya peraturan untuk memberi perlindungan hak-hak individu yang bersangkutan. a. Negara harus melakukan intervensi (tindakan/langkah positif) sesuai dengan maksimal sumberdaya yang tersedia b. Negara harus mengerahkan sumberdaya untuk memenuhi hak individu warganegara c. Menjamin setiap individu untuk mendapatkan haknya yang tidak dapat dipenuhi sendiri. a. Kewajiban mengambil tindakan: tanggung jawab negara/pemerintah untuk mengambil tindakan atau langkah yang diperlukan untuk memenuhi hak. Misal: membuat program pelayanan bagi ibu hamil
Memenuhi
Kewajiban mengambil tindakan
dan
89
mencapai hasil
Kewajiban progressif dan kewajiban segera
a. b. c. d. e. f.
b. Kewajiban mencapai hasil: tanggung jawab negara/pemerintah dalam mencapai hasil terkait dengan tindakan yang dilakukan. Misalnya: tanggung jawab bahwa program pelayanan kesehatan mencapai hasil yaitu berkurangnya proporsi kematian ibu melahirkan. a. Kewajiban progresif adalah kewajiban untuk secepatnya mengambil lankah-langkah maju ke arah realisasi sepenuhnya hak yang dijamin dalam Kovenan dengan semua sarana/sumberdaya yang memadai. b. Kewajiban segera/kewajiban pokok minimum: memastikan hak penghidupan susbsistensi minimal untuk bisa survive (bertahan hidup) bagi semua orang, terlepas dari tingkat ketersediaan sumberdaya dan tingkat ekonomi negara. Misalnya: negara menjamin tidak ada warganegaranya mati karena kelaparan – syarat minimum hak atas pangan (Prinsip Limburg tentang Penerapan Hak Ekosob No. 25).
Sehubungan dengan itu, secara ringkas hak negara dalam pelaksanaan Ekosob adalah: Secepatnya mengambil langkah-langkah progresif ke arah realisasi sepenuhnya Pada tingkat nasional melakukan tindakan legislatif. Menjamin pelaksanaan hak tanpa diskriminasi Bagi negara berkembang menentukan batas maksimum pemenuhan hak sesuai dengan sumberdaya yang ada Mengambil langkah-langkah kerjasama internasional untuk membantu mewujudkan hak ekosob Menjalankan kewajiban minimum untuk setiap hak.
Kendala yang dihadapi dalam penerapan hak ekosob adalah karena hak ekosob ini belum banyak dipahami. Isi dan arti sebagian besar hak ekosob masih kabur dan kurang pasti. Kekaburan dan ketidakpastian ini menjadi hambatan bagi upaya pengembangan isi dan penguraian secara detil kerangka aksi untuk realisasi hak dan seringkali dipakai sebagai rasionalisasi atas tidak diakuinya sejumlah hak sebagai hak asasi. Mengingat komponen kewajiban untuk mencapai secara bertahap (progressif realization) dalam Pasal 2 ayat 1 Kovenan menuntut adanya perumusan standar minimum untuk hidup susbsisten. Sehubungan dengan itu, diperlukan indikator diperlukan untuk merumuskan standar minimum pemeneuhan hak ekosob dan isi dari tanggung jawab negara. Konsep pemenuhan yang bertahap menuntut perkembangan indikator terkait dengan keragaman kondisi sosial, ekonomi dan ketersediaan sumberdaya. Indikator berperan sebagai alat untuk evaluasi, untuk mengukur hasil dan menilai realisasi dari tingkat kinerja yang diinginkan dengan cara obyektif dan terus menerus. Indikator hak asasi: adalah satuan informasi yang digunakan dalam mengukur tingkat pemenuhan atau pencapaian pelaksanaan hak asasi. Indikator membantu menyediakan alat untuk: (i) membuat kebijakan yang lebih baik dalam memonitor perkembangan; (ii) mengidentifikasi dampak dari pelaksanaan hukum dan kebijakan; (iii) mengidentifikasi aktor yang berpengaruh terhadap realisasi hak; (iv) mengungkapkan apakah aktor tersebut menjalankan kewajiban; (v) memberi peringatan dini tentang adanya potensi pelanggaran HAM dan mendorong tindakan pencegahan; (vi) meningkatkan konsensus sosial dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi terkait dengan
90
keterbatasan sumberdaya; (vii) menyajikan isu/masalah yang selama ini masih terabaikan karena belum ada pemahaman yang benar secara bersama. Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Hak. Sejalan dengan uraian di atas, sebagaimana disebutkan di dalam Guidelines A human Rights Approach to Poverty Reduction Strategies (UNCHR, 2002), inti dari penerapan penanggulangan kemiskinan berbasis hak adalah bahwa kebijakan dan lembaga untuk penanggulangan kemiskinan harus berdasarkan pada norma dan nilai yang secara yang dianut oleh hukum internasional hak asasi manusia. Untuk penanggulangan kemiskinan hal ini menjadi penting karena norma dan nilai yang ada dalam hak asasi manusia sangat potensial untuk memberdayakan masyarakat miskin. Hal ini sangat sejalan dengan prinsip penanggulangan yang dianut saat ini bahwa menanggulangi kemiskinan tidak akan dapat terjadi tanpa memberdayakan masyarakat miskin; dengan kata lain pendekatan berbasis hak dalam penanggulangan kemiskinan pada dasarnya adalah esensi pemberdayaan itu sendiri. Penanggulangan kemiskinan yang berakaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar misalnya sebetulnya juga dikarenakan bahwa masyarakat miskin bukan hanya membutuhkan namun memiliki hak untuk mendapatkan hak tersebut sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Hal ini menggeser pendapat bahwa penanggulangan kemiskinan bukan lagi charity, dan lebih dari sekedar moral, namun merupakan kewajiban legal. Kewajiban legal ini tidak hanya terbatas pemerintah namun juga non pemerintah, baik dalam suatu negara maupun negara lain. Sebagaimana prinsip penerapan hak asasi dijelaskan di atas, pencapaian atau pemenuhan hak pada duty holder (pemegang kewajiban dalam hal ini negara) tidak diartikan pencapaian atau pemenuhan seketika, namun bersifat bertahap juga (progressive realization). Meskipun demikian, pada sisi lain apabila belum tercapainya pemenuhan hak oleh suatu pemerintahan tidak berarti bahwa negara pemerintah dalam posisi tidak memenuhi (non compliance) kewajiban ini. Dengan pengertian bahwa suatu negara sudah melakukan langkah-langkah bertahap untuk memenuhi hak tersebut, ketidak capaian suatu kondisi pada waktu tertentu tidak berarti adanya non compliance. Realisasi bertahap ini memiliki 2 implikasi strategis: (i) memungkinkan dimensi waktu pada pemenuhan hak tersebut dengan mempertimbangkan bahwa realiasi sepenuhnya akan dipenuhi secara bertahap pada periode tertentu; (ii) memungkinkan adanya penentuan prioritas yang berbeda-beda antar setiap hak tergantung pada kendala yang dihadapi yang mungkin sumberdaya tidak memungkinkan semua hak dipenuhi pada waktu yang sama. Meskipun demikian, tidak berati bahwa pemenuhan progressive berarti hanya pemenuhan yang bersifat retorika saja. Sehubungan dengan itu, maka sistem monitoring dan akuntabilitas adalah alat obyektif untuk mengukur realisasi bertahap tersebut. Secara global, UNCHR telah menyusun sekelompok indikator untuk mengukur pencapaian hak asasi untuk masyarakat miskin. Meskipun demikian, di dalam pedoman juga dinyatakan bahwa adanya indikator tersebut mengandung pengertian bahwa: a. Penyusunan indikator adalah sesuatu yang bersifat proses yang tidak berhenti, artinya indikator yang ada belum tentu menyelesaikan semua masalah dan dapat berkembang sesuai dengan dinamika. Pada saat ini penerapan pendekatan hak sudah dituangkan di dalam MDG, yang sudah mendasarkan pula pada konteks penanggulangan kemiskinan; b. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, list yang ada dalam pedoman belumlah lengkap (exhaustive), dan tidak berarti pula bahwa indikator yang ada di dalam daftar 91
cocok diterapkan di semua negara, jadi daftar bersifat reference dan setiap negara dapat menyusun indikator yang lebih sesuai; Dalam menerapkan indikator, tujuan utama adalah menggambarkan kondisi masyarakat miskin dan sekelompok masyarakat yang tertinggal diantara masyarakat miskin dan bukan menggambarkan kondisi seluruh populasi. Indikator yang ada dalam daftar menyerupai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat dan bukan hak asasi, karena memang merupakan penerapan hak pada masing-masing kondisi sosial ekonomi.
c.
d.
7.2.
PENATAAN, PENYEMPURNAAN DAN PERLUASAN
7.2.1. Penetapan indikator untuk digunakan Sejalan dengan pentingnya indikator di dalam penyempurnaan pemenuhan hak dasar, Badan PBB untuk Office of the High Commissioner for Human Rights. Pada tahun 2002 sudah mengeluarkan Drafts Guidelines: A Human Rights Approach to Poverty Reduction Strategies. Di dalam Guidelines tersebut diuraikan pemahaman penerapan hak azasi di dalam penanggulangan kemiskinan serta cara-cara untuk memenuhi dan indikator yang dapat digunakan (Lampiran 2). Meskipun demikian, Guideline tersebut tidak merupakan keharusan, artinya penerapan pendepatan tersebut di masing-masing Negara disesuaikan dengan pentahapan yang ada dan pengembangan indicator disesuaikan pula dengan ketersediaan data yang ada. Untuk Indonesia, di dalam setiap hak dasar yang ada, sudah terdapat indikator yang sudah digunakan dan bahkan secara rutin sudah digunakan di dalam perencanaan dan pengukuran pelaksanaan pemenuhan hak dasar tersebut (Tabel 7.2). Meskipun demikian, sejalan dengan semangat pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan dan menyempurnakan pemenuhan hak dasar ini, maka indicator-indikator yang ada secara terus menerus selalu disesuaikan dengan kemajuan kehidupan masyarakat.
No
Tabel 7.2. Beberapa contoh indikator yang sudah dapat diterapkan di Indonesia Permasalahan Sasaran Indikator
1
Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan
2
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan
3
Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan
4
Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha
I. Hak atas pangan Terpenuhinya kecukupan a. Jumlah produksi padi pangan yang bermutu dan terjangkau II. Hak atas kesehatan Terpenuhinya pelayanan a. Jumlah masyarakat miskin yang mendapatkan kesehatan yang bermutu pelayanan kesehatan melalui askeskin/jamkesmas b. Angka kematian bayi III. Hak atas pendidikan Tersedianya pelayanan a. Angka partisipasi kasar SD/MI dan SMP/MTs pendidikan dasar yang bermutu b. Angka buta huruf umur 15 tahun ke atas dan merata c. Ketersediaan fasilitas pendidikan d. Peserta didik Program Paket A setara SD dan Paket B setara SMP IV. Hak atas pekerjaan Terbukanya kesempatan kerja a. Jumlah pengangguran dan pencipataan kesempatan dan berusaha kerja b. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja c. Tingkat pengangguran terbuka V. Hak atas perumahan
92
5
Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi
Terpenuhinya kebutuhan perumahan dan sanitasi yang layak dan sehat
a. b. c. d. e. f. g. h.
6
Terbatasnya akses terhadap air bersih
7
Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah
8
Memburuknya kondisi SDA dan LH serta terbatasnya akses masyarakat terhadap SDA
9
Lemahnya jaminan rasa aman
10
Lemahnya partisipasi
Jumlah penguasaan tempat tinggal milik sendiri Jumlah tempat tinggal lantai bukan tanah Jumlah sumber air minum ke tempat penampungan kotoran/tinja lebih dari 10 meter. Jumlah rumah dengan jenis kloset leher angsa Jumlah rumah tempat pembuangan akhir tinja tangki/SPAL Jumlah KK yang difasilitasi rusunawa Jumlah rumah dengan sistem pelayanan air limbah setempat yang layak Jumlah KK dengan akses ke sistem pelayanan air limbah komunal yang layak Jumlah rumah sampah terangkut Jumlah rumah dengan penanganan sampah baik
i. j. k. VI. Hak atas air bersih Terpenuhinya kebutuhan air a. Jumlah sumber air minum (pompa, sumur dan mata air bersih bagi jarak ke tempat penampungan kotoran/tinja terdekat masyarakat miskin kurang 10 meter b. Adanya skema pembiayaan air minum bagi masyarakat miskin VII. Hak atas tanah Terjamin dan terlindunginya a. Jumlah tanah/lahan sertifikat hak perorangan dan komunal b. Jumlah luas lahan pertanian 0,5 hektar atas tanah c. Jumlah konpensasi VIII. Hak atas lingkungan hidup dan SDA Terbukanya akses masyarakat a. Jumlah desa yang memiliki lahan kritis miskin terhadap b. Jumlah desa yang memiliki organisasi petani pemanfaatan SDA dan LH yang berkualitas IX. Hak atas rasa aman Terjaminnya rasa aman bagi a. Angka kriminal antara kelompok miskin dan tidak masyarakat miskin miskin di dalam masyarakat terhadap berbagai tindak b. Rasio pembunuhan, tindak kekerasan atau sejenisnya kekerasan bagi kelompok miskin terhadap keseluruhan c. Rasio tidak kesewengana polisi dalam investigasi tindak kriminal bagi kelompok miskin terhadap keseluruhan X. Hak atas berpartisipasi Meningkatnya partisipasi a. Jumlah kecamatan yang menerima PNPM masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan
7.2.2. Penyempurnaan pelaksanaan pemenuhan hak-hak agar benar-benar menjangkau masyarakat miskin Dari penjelasan dalam Bab IV Tentang pemenuhan hak dasar, nampak bahwa penerapan hak atas pangan, layanan kesehatan dan pendidikan sudah lebih maju dibanding dengan lainnya. Penerapan tidak saja dalam landasan hukum/legal, namun juga sudah terdapat program yang ditujukan untuk mempercepat pencapaian hak tersebut di masyarakat miskin serta indikator yang digunakan untuk mengukur, sejalan dengan MDG. Meskipun demikian, disadari bahwa di dalam pelaksanaannya masih diperlukan berbagai penyempurnaan, misalnya dalam:
93
a. Targeting, sehingga pelaksanaan kebijakan yang memihak tersebut untuk mempercepat pencapaian hasil di bidang pangan, kesehatan dan pendidikan, dan dapat lebih cepat berkontribusi dalam meningkatkan kondisi kesejahteraan masyarakat miskin pada bidang tersebut. b. Pelaksanaan kebijakan dan program pada ketiga bidang tersebut pada tingkat lokal, dengan mempergunakan berbagai program dan sumber pendanaan yang ada untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat di bidang pangan, kesehatan dan pendidikan. b. Monitoring peningkatan status rumah tangga pada bidang-bidang tersebut, dan menggunakan hasil monitoring yang ada untuk membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan dasar lainnya.
7.2.3. Perluasan pemenuhan hak dasar kepada masyarakat miskin 1)
Hak Atas Perumahan
Dalam rangka mencapai sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas perumahan dalam lima tahun mendatang adalah terpenuhinya kebutuhan perumahan dan sanitasi yang layak dan sehat. Dalam hal ini perlu diteruskan upaya-upaya peningkatan akses dan jumlah kepemilikan tempat tinggal yang sehat dan layak. Disamping itu, masih perlu ditingkatkan program peningkatan mutu lingkungan permukiman, dan upaya penguatan status hukum kepemilikan rumah. Strategi pemenuhan hak masyarakat miskin atas perumahan yang layak dan sehat dapat dilakukan dengan: (1) memperluas kesempatan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan akses masyarakat miskin terhadap perumahan, penataan permukiman, dan perbaikan sanitasi, (2) memberdayakan kelembagaan masyarakat melalui kebijakan yang diarahkan pada pengembangan forum lintas pelaku untuk menyelesaikan masalah permukiman bagi masyarakat miskin, (3) meningkatkan kapasitas masyarakat miskin yang dilakukan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat miskin tentang pentingnya rumah, lingkungan dan sanitasi yang sehat, (4) meningkatkan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin melalui kebijakan yang diarahkan pada pengembangan mekanisme relokasi permukiman ke tempat yang layak, aman, dan sehat, serta mencegah penggusuran tanpa ada kompensasi, serta (5) upaya kemitraan global melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan kerjasama internasional dalam pengembangan perumahan, permukiman, dan sanitasi sehat bagi masyarakat miskin. Dengan memperhatikan strategi pemenuhan hak dasar atas perumahan tersebut di atas berbagai program yang yang akan direkomendasikan dalam RPJM 2010-2014 adalah sebagai berikut: 94
1. Melanjutkan program yang sudah ada, dengan melakukan: (i) Penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman bagi masyarakat berpendapatan rendah; (ii) Pembangunan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah berbasis swadaya; (iii) Rehabilitasi perumahan masyarakat berpenghasilan rendah berbasis swadaya; (iv) Perluasan akses masyarakat terhadap kredit mikro perumahan; dan (v) Pembangunan rumah susun sederhana sewa, rumah sederhana, dan rumah sederhana sehat 2. Perbaikan kualitas program, dengan melakukan: (i) Penyusunan regulasi yang mengatur tentang wewenang dan tanggungjawab mengenai perumahan dan permukiman masyarakat miskin; (ii) Pengembangan sistem pembiayaan perumahan bagi masyarakat miskin; (iii) Peningkatan kualitas lingkungan pada kawasan kumuh, desa tradisional, desa nelayan, dan desa eks transmigrasi; (iv) Fasilitasi dan stimulasi pembangunan perumahan swadaya yang berbasis pemberdayaan masyarakat; (v) Fasilitasi dan stimulasi pembangunan dan rehabilitasi rumah akibat bencana alam dan kerusuhan sosial; (vi) Penyederhanaan prosedur perijinan dan pengakuan hak atas bangunan perumahan masyarakat miskin; (vii) Revitalisasi kelembagaan lokal yang bergerak pada pembangunan perumahan masyarakat, termasuk kelompok dana bergulir perumahan Revitalisasi kelembagaan lokal yang bergerak pada pembangunan perumahan masyarakat, termasuk kelompok dana bergulir perumahan; (viii) Penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terhadap tempat tinggal dan lingkungannya di masyarakat miskin; (ix) Fasilitasi dan stimulasi pembangunan dan rehabilitasi rumah akibat bencana alam dan kerusuhan sosial; (x) Penyederhanaan prosedur perijinan dan pengakuan hak atas bangunan perumahan masyarakat miskin; (xi) Revitalisasi kelembagaan lokal yang bergerak pada pembangunan perumahan masyarakat, termasuk kelompok dana bergulir perumahan Revitalisasi kelembagaan lokal yang bergerak pada pembangunan perumahan masyarakat, termasuk kelompok dana bergulir perumahan; dan (xii) Penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) terhadap tempat tinggal dan lingkungannya di masyarakat miskin. 3. Penambahan program, dengan melakukan: (i) Peningkatan penanganan air limbah untuk menjaga lingkungan dan pencemaran air baku; (ii) Peningkatan fungsi penyelenggaraan air limbah; (iii) Penanganan pembuangan limbah tinja; (iv) Penertiban buang air besar yang sembarangan; (v) Penanganan sampah dan penerapan prinsip 3R; (vi) Penguatan integrasi sistem penanganan sampah pemerintah dengan sistem berbasis masyarakat; (vii) Peninganan pengelolaan sampah di TPA; (viii) Penguatan integrasi sistem drainase primer, sekunder dan tersier; dan (ix) Peningkatan kapasitas drainase primer dan sekunder.
2).
Hak Atas Air Bersih dan Sanitasi
Dalam upaya mencapai sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas air bersih dalam lima tahun mendatang adalah terpenuhinya kebutuhan air bersih dan aman bagi masyarakat miskin. Sehubungan dengan itu, peningkatan akses masyarakat miskin atas air bersih dan aman dapat dilakukan dengan: (1) memperluas kesempatan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan perlindungan terhadap sumberdaya air dan jaminan akses masyarakat miskin ke air bersih dan aman, (2) memberdayakan kelembagaan masyarakat melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan peranserta lembaga dan organisasi masyarakat lokal 95
dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya air, (3) meningkatkan kapasitas masyarakat miskin yang dilakukan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan pengetahuan masyarakat miskin mengenai pengelolaan sumberdaya air dan pentingnya air bersih, (4) meningkatkan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin melalui kebijakan yang diarahkan pada pengembangan mekanisme penyediaan air bersih bagi kelompok rentan dan masyarakat miskin yang tinggal di wilayah rawan air, serta upaya kemitraan global melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan kerjasama internasional dalam pengembangan sistem pengelolaan sumber daya air dan penyediaan air bersih dan aman yang berpihak pada masyarakat miskin. Strategi pemenuhan hak air bersih bagi orang miskin yang juga dapat dilakukan secara efektif adalah dengan memperkenalkan kegiatan-kegiatan yang berbasis masyarakat seperti yang ditemukan di dalam kegiatan-kegiatan BKM yang difasilitasi oleh PNPM. Selain itu, program yang mungkin dilaksanakan adalah dengan memberi subsidi bagi penyaluran air bersih bagi masyarakat miskin pada jaringan distribusi PDAM. Upaya-upaya lainnya yang dapat dilakukan dalam hal ini adalah mengusulkan adanya skema-skema pembiayaan air minum bagi masyarakat miskin dan mengadakan atau meningkatkan fungsi unit kerja daerah yang khusus menangani layanan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan memperhatikan strategi pemenuhan hak dasar atas air bersih dan sanitasi tersebut di atas berbagai program yang yang akan direkomendasikan dalam RPJM 2010-2014 adalah sebagai berikut: 1. Melanjutkan program yang sudah ada, dengan melakukan: (i) Perlindungan sumber air utamanya bagi masyarakat miskin; (ii) Pembentukan mekanisme subsidi silang sebagai alternatif pembiayaan dalam penyediaan air bersih untuk masyarakat miskin; dan (iii) Pemberian bantuan dan pelatihan teknis masyarakat perdesaan dan rawan air dalam operasi dan pemeliharaan prasarana dan sarana air minum. 2. Perbaikan kualitas program, dengan melaksanakan: (i) Pembentukan mekanisme penyediaan air bersih dan aman bagi kelompok rentan dan masyarakat miskin karena goncangan ekonomi, sosial, dan bencana alam; dan (ii) Pendidikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dalam pemanfaatan air bagi masyarakat miskin. 3. Penambahan program, dengan melakukan: (i) Rehabilitasi air baku yang tercemar oleh air limbah; (ii) Peningkatan kuantitas air baku dan pengelolaan air baku di wilayah hulu; (iii) Perluasan layanan air bersih (pipa dan non pipa); (iv) Penguatan penyelenggaraan layanan air minum; (v) Peningkatan fungsi layanan umum PDAM (non profit oriented); (vi) Pengembangan skema pembiayaan air minum bagi masyarakat miskin; dan (vii) Penyelenggaraan unit kerja daerah dalam penanganan layanan air bersih bagi masyarakat miskin.
3).
Hak Atas Tanah
Sasaran penanggulangan kemiskinan terkait dengan pemenuhan hak atas tanah dalam lima tahun mendatang adalah terjamin dan terlindunginya hak perorangan dan hak komunal atas tanah. Dalam hal ini strategi yang sesuai untuk dilaksanakan adalah memperbaiki ketimpangan 96
struktur penguasaan dan ketidakpastian pemilikan lahan terutama di daerah pedesaan. Di perkotaan, mereka yang tergusur yang sudah menanamkan investasinya di lahan-lahan tersebut berdampak pada kehilangan aset dan sumber-sumber mata pencaharian yang dapat menurunkan derajat kehidupan mereka perlu lebih diperhatikan. Dalam upaya menjamin dan melindungi hak perorangan dan komunal atas tanah dapat dilakukan dengan: (1) memperluas kesempatan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan kepastian hukum hak atas tanah bagi masyarakat miskin tanpa diskriminasi gender, dan mengembangkan mekanisme redistribusi tanah secara selektif, (2) memberdayakan kelembagaan masyarakat melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan peranserta masyarakat miskin dan lembaga adat dalam perencanaan dan pelaksanaan tata ruang, (3) meningkatkan kapasitas masyarakat miskin yang dilakukan melalui kebijakan yang diarahkan pada peningkatan pengetahuan masyarakat miskin tentang aspek hukum pertanahan dan tanah ulayat, serta (4) meningkatkan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin melalui kebijakan yang diarahkan pada pengembangan mekanisme perlindungan terhadap hak atas tanah bagi kelompok rentan. Dengan memperhatikan strategi pemenuhan hak dasar atas tanah tersebut di atas berbagai program yang yang akan direkomendasikan dalam RPJM 2010-2014 adalah sebagai berikut: 1. Melanjutkan program yang sudah ada, dengan melakukan: (i) Penegakan hukum pertanahan yang adil dan transparan untuk meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui sinkronisasi peraturan perundangan pertanahan, penyelesaian konflik dan pengembangan budaya hukum; (ii) Penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan, berkelanjutan, dan menjunjung supremasi hukum; (iii) Sertifikasi massal dan murah bagi masyarakat miskin dan penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan, berkelanjutan, dan menjunjung supremasi hukum; dan (iv) Pemberian jaminan kompensasi terhadap kelompok rentan yang terkena penggusuran 2. Perbaikan kualitas program, dengan melakukan: (i) Perbaikan kualitas program Pembangunan sistem pendaftaran tanah yang transparan dan efisien termasuk pembuatan peta dasar pendaftaran tanah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah; (ii) Perlindungan tanah ulayat masyarakat adat; (iii) Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) mengenai hak-hak masyarakat miskin terhadap tanah; dan (iv) Redistribusi secara selektif terhadap tanah absentia dan perkebunan sesuai dengan UUPA Redistribusi secara selektif terhadap tanah absentia dan perkebunan sesuai dengan UUPA. 3. Penambahan program, dengan melakukan: (i) Pembentukan forum lintas pelaku dalam penyelesaian sengketa tanah; (ii) Fasilitasi partisipasi masyarakat miskin dan lembaga adat dalam perencanaan dan pelaksanaan tata ruang; (iii) Fasilitasi dan perlindungan hak atas tanah bagi kelompok rentan; (iv) Pembentukan lembaga penyelesaian konflik agraria; dan (v) Peningkatan tanggungjawab perusahaan bagi masyarakat sekitar (CSR). Pengembangan Penanganan Hak-hak dasar lain dalam penanggulangan kemiskinan. Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam tahap selanjutnya perlu didalami dan dikembangkan 97
pemenuhan hak atas perumahan, air bersih dan sanitasi, serta hak atas tanah. Selanjutnya secara tentatif, penataan dan penyempurnaan serta perluasan hak-hak dasar akan dilakukan sebagaimana disampaikan dalam Tabel 7.3.
Tabel 7.3. Rancangan Pemenuhan Pelayanan dan Hak Dasar bagi Masyarakat Miskin* Tujuan: Melengkapi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan terutama untuk memberikan pelayanan kebutuhan dasar yang semakin lengkap Tahun 2010
Kegiatan
2011
2012
2013
Lembaga terkait
Sosialisasi untuk pemahaman pendekatan hak dasar dalam penanggulangan kemiskinan. Penyusunan indikator lokal yang tepat. Penyempurnaan pelaksanaan hak atas pangan, pendidikan Sosialisasi untuk pemenuhan hak untuk air bersih, sanitasi dan pertanahan dan penyusunan indikatornya. Penyusunan Pedoman untuk Right Base Approach to Poverty Reduction
Direktorat terkait di Bappenas Departemen Pekerjaan Umum Departemen Hukum dan HAM BPS Departemen Kesehatan BPN Departemen Pertanian Departemen Pendidikan Nasional Pemda
Sosialisasi indikator dan identifikasi programprogram terkait untuk memenuhi indikator ybs. Penyusunan kebijakan dan program/kegiatan untuk pemenuhan hak atas air bersih, sanitasi dan perumahan. Koordinasi untuk penerapan hak dasar. Sosialisasi untuk pemenuhan hak atas pekerjaan dan akses terhadap keadilan.
Direktorat terkait di Bappenas Departemen Pekerjaan Umum Departemen Hukum dan HAM BPS Departemen Kesehatan BPN Departemen Pertanian Departemen Pendidikan Nasional Pemda
Penyusunan kebijakan dan program/kegiatan untuk pemenuhan hak atas pekerjaan dan akses terhadap keadilan . Sosialisasi untuk pemenuhan hak atas pekerjaan dan akses terhadap keadilan. Koordinasi untuk penerapan hak dasar. Sosialisasi untuk pemenuhan hak untuk keamanan individu dan hak tampil tanpa rasa malu.
Direktorat terkait di Bappenas Departemen Hukum dan HAM BPS Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemda
Penyusunan kebijakan dan program/kegiatan untuk pemenuhan hak keamanan individu dan hak tampil tanpa rasa malu Sosialisasi untuk pemenuhan hak keamanan individu dan hak tampil tanpa rasa malu Koordinasi untuk penerapan hak dasar. Sosialisasi untuk pemenuhan untuk pemenuhan hak politik dan kebebasan, serta hak untuk kerjasama dan bantuan internasional
Instansi dan pihak-pihak terkait yang akan diidentifikasi kemudian.
98
2014
Penyusunan kebijakan dan program/kegiatan untuk pemenuhan hak politik dan kebebasan, serta hak untuk kerjasama dan bantuan internasional Sosialisasi untuk pemenuhan hak politik dan kebebasan, serta hak untuk kerjasama dan bantuan internasional Koordinasi untuk penerapan hak dasar. Sosialisasi untuk pemenuhan hak politik dan kebebasan, serta hak untuk kerjasama dan bantuan internasional.
Instansi dan pihak-pihak terkait yang akan diidentifikasi kemudian.
Keterangan: Tanda*: Rencana sebatas pemikiran dan bersifat sangat tentatif. Akan disempurnakan melalui proses sesuai dengan tahap pelaksanaan yang disepakati bersama para pihak (stakeholders).
Penyusunan rencana pengembangan kebijakan untuk masing-masing hak secara berangsur adalah sebagaimana disampaikan dalam Tabel 7.3. tersebut. Meskipun demikian, rencana pengembangan hak-hak ini masih merupakan rencana yang sangat tentatif dan memerlukan diskusi dengan berbagai pihak terkait. Namun demikian, penanganan hak-hak tersebut secara bertahap adalah merupakan bagian dari Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang bidang Penanggulangan Kemiskinan sebagaimana disampaikan dalam Tabel 7.4.
7.3.
PENINGKATAN KAPASITAS
Dalam pemenuhan hak dasar bagi masayarakat miskin, terutama untuk menyempurnakan penerapan pada hak-hak masyarakat miskin yang sudah ada programnya, diperlukan pemahaman mengenai pentingnya penerapan program tersebut untuk sampai kepada masyarakat dan memiliki dampak nyata pada masyarakat, dalam bentuk meningkatnya kondisi rumah tangga pada aspek-aspek atau bidang-bidang tersebut. Kapasitas seeprti ini perlu dimiliki oleh seluruh aparat pemerintah, terutama pemerintah daerah yang dapat memonitor bentul-betul kondisi rumah tangga di wilayahnya. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan kapasitas ini perlu didukung dengan melakukan: 1.
Pelatihan kepada aparat terkait, terutama dari K/L dan SKPD yang menjadi anggota TKPK/D tentang pemahaman konsep, penerapan dan monitoring hasil dan dampaknya di tingkat rumah tangga. Pelatihan juga diperlulkan untuk aparat Camat dan Kepala Desa/Lurah yang benar-benar mengawasi dan mengetahui kondisi RTS di wilayahnya masing-masing.
2.
Melengkapi daerah dengan pendataan dan pemetaan mengenai kondisi dan perkembangan pemenuhan hak sampai di tingkat rumah tangga. Pendataan ini dapat dipusatkan di Bappeda yang menjadi sekretariat TKPKD. Meskipun demikian, pendataan ini penting pula dimiliki di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan yang betulbetul memiliki RTS sebagai warganya. Dengan pendataan berjenjang maka pendataan 99
akan terus sesuai dengan perkembangan dinamika di lapangan dan pemetaan dapat selalu bersifat mutakhir. 3.
Monitoring hasil. Pendataan sebagaimana diuraikan di atas perlu terus dipelihara dan diikuti perkembangan hasilnya sesuai dengan pelaksanaan program-program yang selaras dengan penanggulangan kemiskinan. Monitoring dengan menggunakan data yang konsisten dan dilakukan secara kontinyu dipercaya akan dapat mengetahui dampak secara nyata pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan hak dan kebutuhan dasar di lapangan. Hanya dengan cara ini maka kebijakan dan program dapat diukur hasilnya sampai di tingkat rumah tangga dan kebijakan serta program dapat dievaluasi secara agar terus meningkat efektivitasnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.
100
Tabel 7.4. RANCANGAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG 2005-2025 URAIAN
RPJM 1
RPJM 2
RPJM 3
RPJM 4
RPJM 5
2004-2009
2010-2014
2015-2019
2020-2025
2005>
Penataan Kebijakan
Kelengkapan Kebijakan
Pemantapan Kebijakan
Pencapaian Sasaran
Pemeliharaan Capaian
Pengelompokkan 3 kluster Penanggulangan Kemiskinan
Peningkatan kualitas Kluster PK
Penajaman efektivitas program PK
Pengukuran dampak program PK di tingkat RT
Peningkatan Kualitas Kebijakan Pemenuhan Hak
Koordinasi
Konsolidasi Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Revitalisasi Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Koordinasi di Daerah
Koordinasi Peningkatan Dampak PK di daerah: per RT dan wilayah
Data
Kesamaan Basis Data
Perbaikan Data secara reguler Perbaikan metodologi di Daerah
Pemeliharaan data di Daerah
Pemeliharaan Data secara nasional
Pemelilharaan data secara nasional
Pilot Peningkatan Kapasitas
Peningkatan Kapasitas PK di Daerah
Peningkatan Efektivitas program PK di daerah
Pemeliharaan kapasitas pelaksanaan PK di daerah
Pemeliharaan kapasitas pelaksanaan PK di daerah
Program Keberpihakan PK tertata dengan baik
Kelengkapan kebijakan Penanggulangan Kemiskinan terutama utk pelayanan kebutuhan dasar makin lengkap
Kebijakan PK lengkap, tertata dan diterapkan
Kebijakan dan program sudah memiliki dampak nyata di tingkat RT dan wilayah
Kebijakan dan program dasar sudah menjadi program rutin. Pembangunan adalah untuk melengkapi sesuai dengan tantangan baru yang timbul
12-18%
10-13,5%
7,5-10%
5-7,5%
Dipertahankan pd tingkat 5%
Tahapan/ Tema Program
Kapasitas
Target Kebijakan
Target tingkat Kemiskinan
101
Lampiran 2 Tabel 7.5. Pemenuhan Hak atas Pangan No 1 a
Hak dan Target Right to adequate food All people to be free from chronic hunger
b
Eliminate gender inequality in access to food
c
All people to be free from food insecurity
d
All people to have access to food of adequate nutritional value
e
All people to have access to safe food
Indikator Proportion of people with inadequate intake of dietary energy Proportion of adults and adolescents with low body mass Proportion of underweight among under-five children Proportion of males and females with inadequate intake of dietary energy Proportion of male and female adults and adolescents with low body mass Proportion of underwight boys and girls Proportion of HH not able to have two square meals regularly Proportion of HH expenditure on food Variability of pricesof staple foods Proportion of poor people with inadequate intake of proteion Proportion of poor people with inadequate intake of micronutrients Proportion of poor people vulanerable to consumption of unsafe food Proportion of people exposed to public information and education campaigns (including school instruction) regarding nutrition and food safety
Tabel 7.6. Pemenuhan Hak atas Kesehatan No 1 a
b
Hak dan Target Right to Health All people to have access to adequate and affordable primary health care
Indikator
Life expentancy at birth Proportion of public expenditure on primary health care Proportion of the poor population not covered by any kind of pre-payment mechanisms, by non discretionary interventions (exemption schemes, cash subsidies, vouchers) in relation to health user fees or by primary funded health insurance Number of primary health care units per thousand population Number of doctors per thousand population Proportion of the poor population with access to affordable essential drugs To eliminate avoidable child Under five mortality rate mortality Infant mortality rate 102
c
To eliminate avoidbale maternal mortality
d
All men and women of reproductive age to have access to safe and effective methods of contraception To eliminate HIV/AIDS
e
f
To eliminate the incidence of other communicable diseases
g
To eliminate gender inequality in health access to health care
Proportion of under-five children immunized againts communicable deseases Maternal mortality ratio Proportion of birth attended by skilled health personnel Proprotion of mothers with access to pre- and post-natal medical care facilities The rate of use of safe and effective methods of contraception among poor couples of reproductive age who wich to use contraceptives. HIV prevalence among pregnant women Condom use rate Number of children orphaned by HIV/AIDS Prevalence and mortality rate associated with communicable diseases Proportion of people with access to clean, safe drinking Proportion of people with access to adequate sanitation Proportion of people immunized againts communicable diseases Sex ratio (overall, birth and juvenile) Disability-adjusted life years lost of men and women Ratio of women and men treated in medical institutions
Tabel 7.7. Pemenuhan Hak atas Pendidikan No 1 a
Hak dan Target Right to Education To ensure universal primary education for boys and girls as soon as possible, but not later than 2015
b
To make free primary education available to all children
c
To implement compulasory primary education To eradicate illiteracy
d e
To ensure equal access for all to secondary education
f
To make free secondary
Indikator No enrollment ration in prmary education Proportion of pupils starting grade 1 who reach grade 5 Literacy rate in the age group 15-24 Drop-out and attendance rates in primary schools Share of public expenditure on primary education Proportion of primary school pupils in state schools not paying school fees Average fees paid by primary school pupils in state school Numbers of years’ schooling made compulsory Overall adult literacy rate Literacy rate in the age group 15-24 Net enrollment ratio in secondary education, disaggregated for poor and non-poor Share of public expenditure on secondary education Ratio of girls to boys in secondary education Drop-out and attendance rates in secondary education Proportion of children with disability attending secondary education Proportion of secondary school pupils in State schools 103
education available to all children
g
To improve the equality of primary and secondary education
not paying school fees, disaggregated for poor and nonpoor Average fees paid by secondary school pupils in State school Pupils-teacher ratio Teacher-classroom ratio Proportion of primary/secondary school pupils receiving textbooks free of charge
Tabel 7.8. Pemenuhan Hak atas Pekerjaan yang layak No 1 a
Hak dan Target Full employement
b
All workers to be able to earn a minimum necessary income
c
All workers to receive reasonable financial support during spells of unemployment To eliminate gender inequality in access to work To eliminate gender inequality in remuneration for work
d e
Indikator Right to decent work Rate of unemployment Rate of underemployment Proportion of working poor (working but earning less than poverty-line income) in the labour force Proportion of labour force covered by minimum wage legislation Proportion of labour force covered by adequate social security provision
Female and male labour force participation rate Average wages of males and females in different economic sectors Proportion of working poor in labour force disaggregated by gender Labour force participation rate of children under the age of 15 Prevalence of the worst froms of child labour (in the sense of ILO Convention no. 182) Proportion of bonded labourers in the workforce Porportion of the workforce working in hazardous conditions
f
To eliminate child labour
g h
To eliminate bonded labour All workers should be able to work in safe and healthy working conditions No worker should be subject Proportion of workforce covered by labour laws giving to unfair dismissal protection againts unfair dismissal
i
104
Tabel 7.9. Pemenuhan Hak atas Rumah yang layak No 1 a b
c d
e f
g
Hak dan Target
Indikator Right to adequate housing All people to have home Proportion of homeless people in the overall population Number of homeless shelter beds per homeless person All people to enjoy security Proportion of people in overall population: of tenure With legal title to their homes With statutory or other (eg common law) legal due process protections with respect to eviction Living in informal settlements Squarting Forcibly evicted within a given period All people to enjoy Average number of square metres per poor person or habitable housing poor HH All people to enjoy housing Proportion of poor HH within 5 km of hazardous site situated in a safe and (eg toxic waste, garbage dump) healthy location All people able to afford Monthly housing expenditure by median poor HH as a adequate housing proportion of its monthly income Adequate housing Proportion of multi-unit residential buildings occupied physiacally accessible to all by the poor that are accessible to persons with physical disability All people to enjoy housing Proportion of HH: with access to essential Potable water services, materials, facilities Sanitation facilities and infrastructures All-weather roads Electricity
Tabel 7.10. Pemenuhan Hak untuk Kemanan Individu No 1 a
b
Hak dan Target
Indikator Right to personal security To eliminate violence Crime rate disaggregated between poor and non-poor againts the poor by state and segments of society non-stae actors Ratio of poor people subjected to police violence, harassment, intimidation, discrimination Proportion of people subjected to police violence, harassment, intimidation, discrimination Ratio of police violence, harassment, intimidation, discrimination againts the poor to overall police violence, harassment, intimidation, discrimination Proportion of poor people subjected to violent crime Rate of specific crime againts women disaggregated between poor and non-poor segmnets of society To ensure adequate police Proportion of police actions aimed at preventing 105
protection for poor people threatened with violence
No 1 a
violence againts the poor in relation to preventive police actions in general Ratio of police actions aimed at investigating violent crime againts the poor to overall criminal in investigative actions by the police
Tabel 7.11. Pemenuhan Hak tampil tanpa rasa malu Hak dan Target Indikator Right to appear in public without shame All poor people to appear in Proportion of poor people who feel that they lack public without shame adequate clothing Proportion of poor people who are socially excluded Proportion of poor people who fear being discriminated againts or dishonoured when taking part in cultural life
Tabel 7.12. Pemenuhan Hak Akses terhadap Keadilan No 1 a
b
c
Hak dan Target
Indikator Right of equal access to justice Equal access to civil justice Proportion of people availing themselves of civil justice for poor people as victims mechanisms, disaggregated by gender and poverty Proportion of poor people having access to legal aid in civil matters Proportion of people availing themselves of specific human rights litigation, disaggregated by gender and poverty Proportion of poor people having access to legal aid for human right litigation Number of judges and courts per unit population Average distance between poor HH and courts Average length of proceedings before civil and human rights courts and tribunals Level of corruption in the administration of civil justice Fair trial for poor people Proportion of poor people sentenced for crimes in accused of crime relation to the overall crime rate Level of corruption in the administration of criminal justice As victims of crime, poor Number of perpetrators sentenced for crimes againts the people should be able to poor as a percentage of number of crimes againts the bring the perpetrators to poor justice
106
Tabel 7.13. Pemenuhan Hak Politik dan Kebebasan No 1 a
b
c
d
e
Hak dan Target
Indikator Political Rights and Freedom To ensure full and equal Proportion of poor and non-poor people going to the participation of poor people polls in the conduct of public Proportion of poor and non-poor people elected to affairs, by means of public bodies at the local, reginal and national level parliementary, regional and Proportion of poor and non-poor people appointed to local elections, referenda public office and similar decision-making processes To ensure equal enjoyment Proportion of poor people belonging to any association by poor people of the right established by the poor themselves to freedom of association Number of associations, unions, political parties, foundations and media established by the non poor for the protection of the interests of the poor To ensure equal enjoyment Number of public meetings, demonstrations or strikes by poor people of the right organized by the poor or on their behalf to freedom of assembly Equal enjoyment of the right Number of public information activities by government to information by poor directly addressing the poor people Number of media programmes directly addressing the poor Circulation of print media in vernacular languages Share of public expenditure on dissemination of information to the poor Full participation of the Proportion of poor people who are aware of a PRS poor in the formulation, process in their country implementation and Proportion of poor people who participate in public PRS monitoring of PRS information meetings Proportion of poor people who participate in the formulation of PRS Proportion of poor people who participate in implementing PRS Proportion of poor people who participate in the monitoring and accountability of PRS
107
Tabel 7.14. Pemenuhan Hak Kerjasama Dan Bantuan Internasional No 1 a
b
c
Hak dan Target Indikator Rights to international cooperation and assistance Fair and equatable ODA Net ODA as percentage of DAC donors’ GNP (targets of0,7% in total and 1,5% for LDCs) Ratio of ODA to basic social services (basic education, primary health care, nutrition, safe water and sanitation) Proportion of ODA that is untied Proportion of ODA directed to poverty reduction Tariff and quota-free access Proportion of exports (by value and excluding arms) for developing states admitted free of duties and quotas Average tariff and quota on agriculture products and textiles and clothing Domestic and export agriculturel subsidies in OECD countries Enhance programme of Proportion of official bilateral HIPC debt cancelled debts relief Debt service as a percentage of exports of goods and services Proportion of ODA provided debt relief Number of countries reaching HIPC decision and completion points
108
BAGIAN IV. PENGELOLAAN DATA KEMISKINAN UNTUK PENINGKATAN KUALITAS KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Data kemiskinan terus dikembangkan dan disempurnakan untuk memberikan gambaran yang semakin akurat tentang kondisi masyarakat miskin di Indonesia. Data kemiskinan yang baru disusun pada tahun 1984 semula merupakan data untuk keperluan birokrasi, artinya lebih banyak digunakan oleh kalangan birokrasi untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana program pembangunan sudah meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Di dalam perkembangannya, dengan semakin tingginya tuntutan kualitas hidup manusia, mendorong pula semakin berkualitasnya kondisi masyarakat dan standar kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan yang semua diukur dengan tingkat pendapatan, sudah meluas ke dalam dimensi-dimensi dasar yang menggambarkan kualitas non pendapatan untuk mengetahui masyarakat miskin atau bukan miskin. Dengan digunakannya data tersebut, maka pengguna data kemiskinan meluas ke ranah politik, dan menjadi target politik dari pembangunan nasional, yaitu esensinya adalah mengangkat sebanyak-banyaknya masyarakat dari kemiskinan. Data kemiskinan kemudian berubah menjadi indikator politis pengukur keberhasilan pembangunan nasional. Dengan semakin penting dan luasnya penggunaan data kemiskian, tentunya fenomena diatas merupakan penghargaan bagi penyedia data kemiskinan. Pada waktu yang bersamaan, adanya data akan memudahkan pemerintah terutama pemerintah daerah untuk mengetahui kondisi kemiskinan warganya dan melakukan langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dengan cara yang paling efektif dan efisien. Di dalam bagian IV ini dilakukan analisa mengenai data kemiskinan, kelemahannya dan kemungkinan perbaikan serta
109
pemanfaatannya membantu mempercepat penanggulangan kemiskinan ke depan. BAB VIII. DATA DAN PENGGAMBARAN KEMISKINAN DI INDONESIA
Perkembangan mengenai kondisi kemiskinan selalu menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia. Berbagai kebijakan dan program sejak awal pembangunan nasional selalu diarahkan pada penanggulangan kemiskinan. Secara umum, angka kemiskinan terus mengalami penurunan, sebagai hasil pelaksanaan pembangunan nasional. Meskipun, dalam sepuluh tahun terakhhir kecepatan penurunan kemiskinan semakin melambat, sekitar 0,7-1 persen per tahun. Pada akhir tahun 2008, jumlah penduduk miskin tercatat masih sebesar 34,96 juta atau sekitar 15,42 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab lambatnya penurunan angka kemiskinan adalah terjadinya berbagai bencana alam selama kurun waktu 2004-2009, tingginya harga minyak mentah dunia sehingga memaksa pemerintah menaikkan harga BBM sebanyak dua kali pada tahun 2005, dan mulai tahun 2008 dunia termasuk Indonesia dihadapkan pada krisis finansial global yang berdampak pada meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok dan memperberat kehidupan. Kemampuan untuk memonitor perkembangan kemiskinan, mengukur tingkat kemiskinan dan mengenali perkembangan masyarakat miskin dengan segala karakteristik dan kebutuhannya untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Kemampuan tersebut dimungkinkan dengan tersedianya indikator untuk mengukur tingkat kemiskinan dan dikenalinya indikator untuk mengenali keluarga miskin agar secara tepat pemerintah mampu membantu para keluarga tersebut. Sebagaimana diuraikan di dalam pendahuluan di Bab II, data memiliki peran penting untuk dapat melakukan itu semua. Sehubungan dengan itu, dalam Bagian IV ini akan diuraikan beberapa hal sebagai berikut: i)
Langkah identifikasi langkah-langkah agar data rumah tangga sasaran dapat secara maksimal dimanfaatkan oleh program-program penanggulangan kemiskinan.
ii)
Langkah untuk mengidentifikasi peran BPS daerah supaya tidak terjadi ketidaknyamanan dalam melakukan pendataan RTS, khususnya data mikro (rumah tangga). Dalam hal ini, perlu dilihat berbagai alternatif kerja sama dengan Pemerintah Daerah dalam kegiatan pendataan, termasuk dengan TKPKD sebagai koordinator unit-unit kerja di daerah untuk upaya penanggulangan kemiskinan.
iii)
Penyusunan alternatif rencana pemutakhiran data RTS meliputi periode, proses, pihak-pihak dan hal-hal lain yang terkait dalam pemutakhiran data.
8.1.
KONSEP DAN DEFINISI MASYARAKAT MISKIN
110
Penghitungan jumlah penduduk miskin yang sampai sekarang masih dipegang berbasis pada konsep kemiskinan absolut yaitu suatu kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Pendekatan penghitungan yang dipakai adalah kebutuhan minimum atau dasar (basic needs approach) akan makanan dan non-makanan. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dinyatakan dalam bentuk uang dan dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Definisi penduduk miskin yang dipakai adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Oleh karena itu berdasarkan kebutuhan dasar ini ditentukan garis kemiskinan yang terdiri dari dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non-makanan, yang kalau dijumlahkan menjadi batas minimum rupiah untuk dapat membeli kebutuhan dasar atau garis kemiskinan. Jenis makanan dan nonmakanan yang dipilih didasarkan pada hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang diperbaharui secara insidentil sekitar lima tahun sekali. Mengingat bahwa kuantitas kebutuhan dasar di daerah perkotaan dan pedesaan berbeda, maka garis kemiskinan untuk dua segmen penduduk yang tinggal di daerah yang berbeda tersebut tidak sama. Garis kemiskinan di perkotaan yang selama ini dihitung selalu lebih tinggi dari pada di pedesaan. Definisi kemiskinan lainnya adalah kemiskinan relatif yang merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Ketimpangan kemiskinan juga merupakan ukuran kemiskinan relatif yang biasanya diketengahkan. Berbeda dengan konsep penghitungan lokal yang berbeda-beda di setiap wilayah, konsep dan definisi kemiskinan ini diterapkan sama di seluruh daerah di Indonesia sehingga penghitungan matematika terhadap jumlah penduduk miskin dapat diterapkan pula. Konsep penghitungan kemiskinan dengan ukuran lokal tidak dapat digeneralisir sehingga proses seperti itu tidak dapat diterapkan.
a) b) c) d) e)
Indikator makro untuk mengukur kemiskinan yang biasa dihitung BPS adalah: Jumlah dan persentase penduduk miskin (Headcount), Tingkat kedalaman Kemiskinan (Gap), Tingkat keparahan kemiskinan (Severity), Kontribusi Konsumsi Kuintil Penduduk Termiskin terhadap Konsumsi Nasional, dan Tingkat ketimpangan pendapatan atau koefisien Gini (Gini Ratio).
Terminologi lain yang juga pernah dikemukakan sebagai wacana adalah kemiskinan structural dan kemiskinan cultural (Website BPS, 2009). Soetandyo Wignjosoebroto mendifinisikan kemiskinan stuktural sebagai kemiskinan yang ditengarai atau didalihkan bersebab dari kondisi struktur, atau tatanan kehidupan yang tak menguntungkan karena tatanan itu tak hanya menerbitkan akan tetapi (lebih lanjut dari itu) juga melanggengkan kemiskinan di dalam masyarakat (Suyanto,1995). 111
Kemiskinan struktural diakibatkan oleh faktor-faktor adat dan budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan. Padahal kemiskinan tersebut seyogianya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap bisa dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Mengingat bahwa variabel adat dan budaya tidak mudah diukur, maka indikator kemiskinan struktural ini belum dapat disajikan oleh BPS. Di samping indikator makro yang dimanfaatkan untuk kebijakan makro, BPS juga mendapat tugas dari pemerintah untuk melakukan pendataan dari rumah ke rumah untuk mendapatkan data rumah tangga miskin lengkap dengan nama kepala rumah tangga, anggota rumah tangga, dan alamatnya. Hasil pendataan ini merupakan data dasar yang perlu disimpan guna sewaktu-waktu diperbaharui bila diperlukan lagi. Dengan konsep yang sama indikator mikro disusun berdasarkan variabel rumah tangga yang mudah didentifikasi oleh petugas, yaitu variabel non-moneter.
8.2.
DATA DAN INDIKATOR MAKRO KEMISKINAN
Kegiatan pengumpulan data kemiskinan dan kesejahteraan rakyat yang utama di BPS sudah mempunyai sejarah yang panjang (Pajung Surbakti, 1997). Kegiatan ini berupa survei yang dinamakan Survei Sosial Ekonomi Nasional dengan kependekan Susenas. Dimulai dengan sampel dan cakupan yang terbatas, Susenas mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1963. Sampai dengan tahun 1970 setidaknya setiap dua tahun sekali Susenas dilakukan dengan cakupan paling tidak pulau Jawa. Dalam perkembangannya, Susenas sebagai sumber data makro secara umum dapat dibagi menjadi lima masa, yaitu periode tahun 1963-1970, kemudian tahun 19761991, tahun 1992-2001, dan tahun 2002-2007 serta tahun 2008 sampai sekarang. Tabel 8.1. Perkembangan & Cakupan Susenas Tahun 1963 – 2008 Periode 1963-1970
1976-1991
1992-2001
Keterangan Ukuran sampel: 16.000-21.000 Cakupan : Jawa atau seluruh propinsi kecuali Irian Barat Topik : Penduduk, ketenagakerjaan, pengeluaran dan konsumsi rumah tangga Ukuran sampel: 68.000 (17.000 tiap triwulan) Cakupan : Seluruh propinsi Topik : Penduduk, ketenagakerjaan, pengeluaran dan konsumsi rumah tangga (kecuali tahun 1979) Ukuran sampel: 200. 000 untuk Susenas Kor dan 68000 untuk Susenas Modul, kecuali pada tahun 1982 ukuran sampel untuk Susenas Kor dan Modul sama. Cakupan : Seluruh propinsi Topik : i) Susenas Kor (keterangan umum mengenai ciri demografi, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan, penge-luaran dan konsumsi rumah tangga) dan ii) Susenas Modul mengumpulkan keterangan seperti 112
2002-2007
2008 sampai sekarang
tersebut di atas yang lebih rinci dari pada Kor dan dikelompokkan menjadi 3 modul yang masingmasing diulang setiap 3 tahun sekali. Ukuran sampel: Lebih dari 200. 000 untuk Susenas Kor dan lebih dari 68000 untuk Susenas Modul (dilakukan pada triwulan ke tiga) dan sekitar 10000 Susenas Panel pada triwulan pertama. Cakupan : Seluruh propinsi Topik : i) Susenas Kor (keterangan umum mengenai ciri demografi, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, permahan, pengeluaran dan konsumsi rumah tangga) dan ii) Susenas Modul mengumpulkan keterangan seperti tersebut di atas yang lebih rinci dari pada Kor dan dikelompokkan menjadi 3 modul yang masingmasing diulang setiap 3 tahun sekali. iii) Susenas Panel dilakukan setiap tahun dan menyangkut Kor dan Modul pengeluaran dan konsumsi rumah tangga. Ukuran sampel: Lebih dari 250000 untuk Susenas Kor dan Modul (dilakukan pada triwulan ke tiga) dan sekitar 68000 Susenas Panel pada triwulan pertama. Cakupan : Seluruh propinsi Topik : i) Susenas Kor (keterangan umum mengenai ciri demografi, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perumahan, pengeluaran dan konsumsi rumah tangga) dan ii) Susenas Modul mengumpulkan keterangan seperti tersebut di atas yang lebih rinci dari pada Kor dan dikelompokkan menjadi 3 modul yang masingmasing diulang setiap 3 tahun sekali. iii) Susenas Panel dilakukan setiap tahun dan menyangkut Kor dan Modul pengeluaran dan konsumsi rumah tangga.
Sumber : Badan Pusat Statistik
8.2.1. CARA PENGHITUNGAN INDIKATOR MAKRO Bersumber dari data Susenas, dapat diketahui kondisi kemiskinan melalui beberapa indikator makro yaitu: (i) proporsi penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan; (ii) indeks kedalaman kemiskinan; dan (iii) tingkat keparahan kemiskinan; dan (iv) proporsi konsumsi kuantil termiskin terhadap konsumsi nasional. Indikator ini secara rinci diuraikan sebagai berikut. 1).
Tingkat Kemiskinan (Po)/proporsi penduduk dengan tingkat konsumsi di bawah garis kemiskinan nasional.
113
Untuk menghitung proporsi penduduk miskin (Po), dilakukan dengan cara membagi jumlah penduduk miskin dengan jumlah penduduk (dinyatakan dalam persentase). Dengan demikian rumus untuk menghitung tingkat kemiskinan adalah:
Banyaknya penduduk miskin Po =
X 100% Jumlah penduduk
Banyaknya penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang memiliki nilai pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan nasional dihitung sebagai berikut (Ariago Mulia, 2007): a. Menentukan konsumsi makanan dan non makanan. Identifikasi komoditas makanan yang paling banyak dikonsumsi penduduk dari berbagai daerah dilakukan berdasarkan hasil suatu studi khusus. Berdasarkan studi khusus ini, terdapat 52 jenis barang/bahan yang berkontribusi besar terhadap konsumsi makanan penduduk (Lampiran 1). Studi tentang pola konsumsi ini diperbaharui apabila perilaku konsumsi diperkirakan berubah, dan biasanya dilakukan 5 tahun sekali. Sementara itu, diidentifikasi pula komoditas nonmakanan yang paling banyak dikonsumsi penduduk di berbagai daerah (Lampiran 2). b. Mengkonversi 52 komoditas makanan tersebut menjadi kalori (daftar konversi makanan menjadi kalori (Lampiran 3). c. Menghitung rata-rata tertimbang harga kalori dari 52 komoditas makanan tersebut. d. Menghitung garis kemiskinan makanan dengan menghitung nilai kebutuhan minimal kebutuhan manusia per kapita per hari yaitu 2.100 dikalikan dengan harga satu kalori. e. Menghitung rata-rata nilai pengeluaran non-makanan per kapita per hari yang merupakan garis kemiskinan non-makanan. f. Menjumlahkan nilai pengeluaran makanan dan non-makanan per kapita, per hari yang dinamakan garis kemiskinan. Dengan demikian, GK = Pengeluaran Makanan + Pengeluaran Non Makanan. Dan penduduk yang memiliki nilai pengeluaran < GK adalah penduduk miskin (banyaknya penduduk miskin) 2).
Indeks Kedalaman Kemiskinan (Rasio Nasional
Kesenjangan Kemiskinan)
Indikator lain yang dapat dihasilkan dari Susenas adalah indeks kedalaman kemiskinan (P1). Indeks kedalaman kemiskinan menunjukkan jarak rata2 masyarakat miskin dari garis kemiskinan. Semakin kecil nilai indeks ini, semakin dekat (dangkal) kondisi orang miskin dari garis kemiskinan. Menurut Foster-Greer-Torbecke 1984 (BPS, 2007), indeks kedalaman kemiskinan (P1) dapat dihitung sebagai berikut:
P1
1 q Z Yi n i 1 Z
114
Di mana: P1 Z q Yi n
= = = = =
3)
Rasio kesenjangan kemiskinan (proverty gap) garis kemiskinan jumlah penduduk miskin pengeluaran individu penduduk miskin ke-i jumlah penduduk
Tingkat keparahan kemiskinan (Severity)
Indeks keparahan kemiskinan menggambarkan penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini mempunyai hubungan yang positif dengan kondisi kemiskinan. Semakin tinggi nilai indikator ini, semakin tinggi pula ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Dengan mengacu pada rumus yang diajukan Foster-Greer-Torbecke 1984 (BPS, 2007) indikator ini dapat dihitung:
1 PG = n
q
i 1
Z Yi Z
2
Di mana: PG Z q Yi n
4).
= = = = =
rasio kesenjangan kemiskinan (proverty gap) garis kemiskinan jumlah penduduk miskin pengeluaran individu penduduk miskin ke-i jumlah penduduk
Kontribusi Konsumsi Kuantil Penduduk Termiskin terhadap Konsumsi Nasional (K)
Kelebihan indikator ini dibandingkan dengan dua buah indikator kemiskinan sebelumnya adalah bahwa kedua indikator diatas hanya menunjukkan berapa banyak penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan bagaimana kedalamannya. Namun indikator tersebut sama sekali tidak dapat menunjukkan berapa besar perbedaan konsumsi antara penduduk yang miskin dan yang kaya. Indikator (K) ini dapat menunjukkan kontribusi kuantil termiskin terhadap konsumsi nasional, yang dapat memberikan penjelasan tentang berapa bagian dari seluruh konsumsi di negara ini yang menjadi bagian konsumsi dua puluh persen kelompok penduduk termiskin. 115
Dari data Susenas, dapat diperoleh data pendapatan (P),yang merupakan data konsumsi setiap rumah tangga. Langkah untuk menghitung hal ini adalah : a. Dari kuesioner Modul Konsumsi Susenas dapat diperoleh data hasil wawancara dengan rumah tangga yang terpilih sampel, yaitu jumlah nilai rupiah dari seluruh konsumsi selama seminggu sebelum wawancara untuk konsumsi makanan dan selama sebulan atau setahun untuk konsumsi nonmakanan. Jumlahkan nilai konsumsi setiap rumah tangga terpilih kemudian bagi dengan banyaknya anggota rumah tangganya untuk mendapatkan konsumsi per kapitanya masing-masing. b. Selanjutnya, urutkan penduduk menurut besarnya pendapatan per kapita. Konsumsi penduduk kuintil termiskin. c. Jumlahkan konsumsi penduduk kuintil terbawah (20% penduduk yang pendapatannya paling rendah). d. Hitung persentase konsumsi penduduk kuintil termiskin tersebut terhadap total pendapatan (konsumsi) dengan rumus K sebagai berikut:
K=
5)
Jumlah konsumsi penduduk kuantil termiskin Total konsumsi penduduk
X 100%
Proksi Tingkat Ketimpangan Pendapatan atau Koefisien Gini Pengeluaran
Ukuran kemiskinan relatif ini tidak disajikan BPS karena data pendapatan sulit diperoleh. Oleh karena itu ukuran distribusi pendapatan ini didekati dengan distribusi pengeluaran. Sehubungan dengan itu,nilai Gini Pengeluaran ini perlu diinterpretasikan secara hati-hati karena data pengeluaran biasanya lebih homogen dibanding data pendapatan. Dengan demikian, koefisien Gini yang diperoleh dari nilai pengeluaran ini hampir selalu lebih tinggi dari koefisien Gini yang dihitung dari pendapatan. Distribusi pengeluaran rumahtangga sebagai proksi distribusi pendapatan bersumber dari Susenas. Dengan kata lain, koefisien gini yang dihitung dari sumber data Susenas akan selalu “under estimate” dari koefisien gini yang (seharusnya) dihitung dari data pendapatan. Indikator koefisien Gini dihitung sebagai berikut:
Di mana : GR = Koefisien Gini (Gini Ratio) fp i = frekuensi penduduk dalam kelas pengeluaran ke-i
116
Fc i = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke-i Fc i-1 = frekuensi kumulatif dari total pengeluaran dalam kelas pengeluaran ke (i-1)
8.2.2. DATA KEMISKINAN MAKRO DAN KETERBANDINGAN SECARA GLOBAL Data kemiskinan makro yang dihitung dengan menggunakan garis kemiskinan BPS, secara global dapat dibandingkan dengan garis kemiskinan yang digunakan di dalam Tujuan Pembangunan Millenium (MDG’s), yang besarnya adalah USD 1 PPP (purchasing power parity). Dengan menggunakan konsep PPP tersebut,maka garis kemiskinan BPS adalah setara dengan nilai USD 1,55/kapita/hari. Artinya, garis kemiskinan yang kita gunakan sudah lebih baik (berkualitas) dari tingkat USD 1 yang digunakan dalam standar global. Dengan menggunakan garis kemiskinan ini, Indonesia pada tahun 2007 baru dapat menekan angka kemiskinan menjadi sebesar 16,6%. Namun apabila kita menggunakan garis kemiskinan MDG yaitu sebesar USD 1/kapita/hari, maka persentase penduduk miskin Indonesia adalah sebesar 6,7% pada tahun 2007. Dengan kata lain, Indonesia sudah berhasil menurunkan setengah dari tingkat kemiskinan pada tahun basis MDG’s yaitu tahun 1990 yang besarnya adalah 15,1%. Secara global, Bank Dunia juga menggunakan garis kemiskinan USD 2/kapita/hari, dan persandingan jumlah penduduk Indonesia dengan menggunakan ketiga garis kemiskinan tersebut dapat dilihat dalam Tabel 19. Dengan ukuran tersebut bangsa Indonesia masih harus berjuang keras. Dengan adanya tiga garis kemiskinan ini, kita tidak perlu bingung, karena ketiganya dapat dihubungkan. Masyarakat global biasanya menggunakan angka USD 1/kapita/hari untuk mengetahui jumlah masyarakat miskin (extreme poverty), dan USD 2.kapita/hari untuk mengetahui Dalam konteks jumlah penduduk yang dalam kondisi moderate poverty8. Indonesia,hal ini dapat dianalogikan bahwa dengan menggunakan garis kemiskinan BPS, maka masyarakat yang memiliki pengeluaran kurang dari USD 1,55/kapita/hari adalah masyarakat miskin, sedangkan apabila menggunakan USD 2/kapita/hari maka akan termasuk pula masyarakat yang hampir miskin.
Tahun 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tabel 8.2. Kecenderungan Kemiskinan 1996-2008 Kemiskinan BPS Bank Dunia $1 (PPP) Bank Dunia $2 (PPP) Jumlah Persen(%) Jumlah Persen(%) Jumlah Persen(%) (jt) (jt) (jt) 34.1 17.5 15.4 7.8 99.6 50.5 49.5 24.2 47.97 19.1 24.9 12.0 136.0 66.1 38.7 18.4 20.9 9.9 125.3 59.5 37.9 18.2 19.7 9.2 125.2 58.7 38.4 17.4 15.5 7.2 115.6 53.5 37.3 17.4 14.5 6.6 110.0 50.1
8
Extreme poverty: household can not meet basic needs or survival. Moderate poverty: basic needs are met but barely. Up and Out of Poverty (p86). Philip Kotler and Nancy R.Lee, 2009.
117
2004 2005 2006 2007 2008 2009 (Maret)
36.1 35.1 39.3 37.2 35.0 32.5
16.7 16.0 17.8 16.6 15.4 14.1
16.5 13.6 19.5 15.5 14.2* -
7.4 6.0 8.5 6.7 5.9* -
109.1 102.1 113.8 106.3 100.7* -
49.0 45.2 49.6 45.2 42.6* -
Keterangan: * angka prediksi Sumber: (Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, 2009) (Berita Resmi Statistik, Juli 2009)
8.3.
DATA DAN INDIKATOR MIKRO KEMISKINAN
Data kemiskinan makro sebagaimana diuraikan diatas bersifat agregat dan makro. Dari data tersebut dapat diketahui jumlah orang miskin dan kondisi mereka secara agregat, namun kita tidak dapat mengetahui siapa mereka, dimana mereka tinggal dan bagaimana kondisi kehidupannya/kemiskinannya. Hal ini disebabkan oleh metode penentuan rumah tangga yang dipilih untuk diteliti dan diwawancarai adalah sampel, sehingga penduduk atau rumah tangga yang termasuk kategori miskin tidak dapat ditunjukkan. Padahal salah satu upaya untuk dapat mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin, terutama masyarakat yang dalam kondisi sangat miskin (extreme poverty), yang perlu dilakukan intervensi langsung terhadap mereka sesuai kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu, pada tahun 2005 (PSE 2005) pemerintah menugaskan BPS untuk membantu pemerintah melakukan pendataan terhadap rumah tangga miskin lengkap dengan nama dan alamat untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat miskin yang terkena dampak kenaikan harga BBM sebagai akibat adanya pengurangan anggaran subsidi BBM. 8.3.1. PENDATAAN SOSIAL EKONOMI (PSE) 2005 Meskipun pendataan tentang kondisi rumah tangga miskin baru dilakukan tahun 2005, namun sebelum BPS menerima instruksi untuk melakukan pendataan mikro tersebut, BPS telah memiliki beberapa studi yang mengidentifikasi komponen atau variabel kualitatif yang bersifat non-moneter yang menjadi ciri utama kemiskinan. Salah satu studi yang penting adalah studi penentuan kriteria penduduk miskin (Avenzora dan Ahmad, 2000). Studi dilakukan pada tahun 1998 dan 1999 di 10 propinsi, yaitu pada periode pertama di Lampung, Jawa barat dan Jawa Tengah, kemudian pada periode berikutnya di Sumatra Selatan, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara barat, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan. Variabel awal yang diidentifikasi dalam studi ini berjumlah 30 buah yang terdiri dari kelompok perumahan, kegiatan ekonomi, kondisi pangan, kondisi sandang, dan aktivitas sosial. Untuk memilih variable kualitastif, terdapat dua metode pemilihan yang diterapkan, yaitu yang pertama stepwise logistic regression dan yang kedua stepwise discriminant analysis. Berdasarkan pertimbangan rendahnya angka misklasifikasi dan tingginya variasi kemiskinan yang dapat dijelaskan, akhirnya metode kedua yang dipakai. Dengan metode stepwise discriminant analysis tersebut telah terpilih 8 variabel dari 30 variabel yang ada yaitu: (i) luas lantai rumah per kapita; (ii) jenis
118
lantai rumah; (iii) ketersediaan air bersih; (iv) jenis jamban; (v) kepemilikan aset; (vi) variasi pangan; (vii) kemampuan membeli pakaian, dan (viii) aktivitas sosial. Dengan terpilihnya variable tersebut, maka kegiatan pendataan dapat diawali. Secara resmi penugasan untuk melakukan PSE 2005 dilandasai oleh Instruksi Presiden No. 12 Tahun 2005 tentang Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT diberikan kepada masyarakat miskin yang terkena dampak akibat kenaikan harga BBM, dengan mengalihkan subsidi umum BBM yang juga dinikmati oleh masyarakat tidak miskin (kaya) kepada masyarakat miskin. Nilai kompensasi atas kenaikan harga BBM yang diberikan adalah sebesar Rp. 100.000,- per rumah tangga miskin (RTM) per bulan selama setahun. Untuk mendistribusikan bantuan kompensasi ini diperlukan data yang dapat menunjukkan siapa (RT) dan alamatnya yang tepat, dengan melakukan Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) 2005. Berbeda dengan Susenas yang menghimpun data kemiskinan dengan ukuran moneter, maka PSE 2005 dilengkapi dengan instrumen untuk mengumpulkan data kemiskinan dengan variabel non-moneter (kualitatif). Variabel non-kemiskinan moneter yang digunakan adalah 8 variabel yang dipilih dari studi diatas ditambah dengan variabel kegiatan sosial, yaitu: (i) jenis penerangan rumah, (ii) bahan bakar untuk masak, (iii) frekuensi makan, (iv) kemampuan berobat ke tenaga medis, (v) pekerjaan kepala rumah tangga, (vi) pendidikan kepala rumah tangga. Variabel yang diusulkan tersebut ternyata tercakup juga dalam kegiatan pendataan keluarga fakir miskin oleh Depsos (Bambang Ipojono dan Lucky Prakosa, 2007), pendataan keluarga sejahtera oleh BKKBN (Aritonang Freddy dan Hitima Wardani, 2007). Dengan demikian terdapat 14 variabel yang dapat digunakan untuk menentukan kemiskinan (Tabel 8.3.): Tabel 8.3. Kriteria Variabel Kemiskinan Rumah Tangga No.
Variabel
Klasifikasi Variabel Miskin
Luas lantai bangunan tempat tinggal Jenis lantai bangunan tempat tinggal Jenis dinding bangunan tempat tinggal
< 8 M2 per kapita
4.
Fasilitas tempat buang air besar
Tidak punya / bersama ruta lain
5.
Sumber penerangan rumah tangga
Bukan listrik
6.
Sumber air minum
Sumur/mata air tak terlindung/sungai/air hujan
1. 2. 3.
7. 8. 9.
Bahan bakar untuk memasak sehari-hari Konsumsi daging/ ayam per minggu Pembelian pakaian baru setiap anggota rumah tangga dalam setahun
Tanah/bambu/kayu berkualitas rendah Bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah
Kayu bakar/arang/ minyak tanah Tidak pernah/ 1 kali seminggu Tidak pernah membeli /satu stel
119
10. 11.
12.
Frekuensi makan dalam sehari Satu/dua kali makan sehari untuk setiap anggota rumah tangga Kemampuan membayar untuk Tidak mampu berobat ke puskemas/poliklinik Petani dengan luas lahan < 0.5 Ha, buruh tani, Pekerjaan utama kepala rumah nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, tangga atau perekjaan lain dengan pendapatan < Rp600.000.- per bulan
13.
Pendidikan kepala rumah tangga Tidak sekolah/tidak tamat SD/ tamat SD
14.
Pemililikan asset/harta bergerak/harta teidak bergerak
Tidak mempunyai tabungan, barang yang mudah dijual dengan nilai > Rp500.000,- seperti sepeda motor, emas perhiasan, ternak, kapal/perahu motor, atau barang modal lainnya
Sumber: (BPS, 2006)
Mengingat jumlah rumah tangga tersebut banyak dan beragam kondisinya maka ditetapkan 3 (tiga) kategori rumah tangga, yaitu sangat miskin, miskin dan hampir/mendekati miskin dan tidak miskin. Selanjutnya,untuk menentukan suatu rumah tangga termasuk dalam kategori yang mana, maka setiap variable dinilai dengan menghitung indeks rumah tangga miskin (IRM):
IRM = βWi.Xi dimana W adalah bobot variabel terpilih (βWi = 1) dan X adalah nilai skor variabel terpilih. Nilai IRM setara dengan kriteria sebagai berikut:
No. 1 2 3 4
Tabel 8.4. Kriteria Penentuan Status Kemiskinan Rumah Tangga Status Kelayakan Nilai IRM Jumlah Skor setara IRM Menerima BLT 0.80
Meskipun di dalam pelaksanaan pembagian BLT mengalami keributan, namun keributan lebih disebabkan oleh kekurang-pahaman mengenai program BLT dan siapa yang berhak menerima. Namun demikian, terlepas dari permasalahan yang timbul, data PSE 2005 ini memberikan landasan adanya satu data rumah tangga miskin dengan nama kepala rumah tangga dan alamatnya; sehingga data ini berpotensi untuk digunakan sebagai data identifikasi, dasar distribusi program dan data untuk memonitor perkembangan suatu rumah tangga untuk mengetahui dampak pemberian suatu program kepada rumah tangga miskin tersebut. Dalam perkembangannya, 120
mengingat kondisi kemiskinan bersifat dinamis, maka data mikro ini mengalami beberapa penyempurnaan sebagaimana dijelaskan dalam bagian berikut.
8.3.2. PENYEMPURNAAN DATA MIKRO KEMISKINAN
1). Survei Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan (SPDKP) Pelaksanaan program BLT yang banyak mengalami kericuhan dan menimbulkan kecemburuan bagi non penerima, memberi pelajaran bahwa dana BLT sebenarnya adalah untuk menjaga agar rumah tangga yang terkena dampak kenaikan harga BBM tidak mengalami kekurangan konsumsi kebutuhan dasarnya. Kekhawatiran terbesar dengan adanya kenaikan pengeluaran akibat kenaikan hargaharga umum adalah, rumah tangga kemudian mengorbankan kesehatan balita dan keberlanjutan sekolah. Padahal kedua hal dasar ini sangat menentukan kualitas generasi muda di dalam rumah tangga miskin tersebut. Kekhawatiran ini berdasarkan berbagai studi, apabila rumah tangga miskin mengalami penurunan pendapatan (pendapatan riil karena kenaikan harga), biasanya yang dialami adalah anak sekolah akan drop out dan balita tidak dibawa ke Posyandu atau Puskesmas untuk diperiksa kesehatannya. Sehubungan dengan itu, dalam tahap kedua BLT, dipergunakan persyaratan bagi rumah tangga penerima BLT. Persyaratan yang ditetapkan adalah, rumah tangga penerima BLT harus menjamin anak-anak mereka yang usia sekolah akan tetap bersekolah, dan balita tetap dibawa ke Posyandu/Puskesmas untuk diperiksa kesehatannya. Program BLT bersyarat diberikan kepada RTSM yang memenuhi paling sedikit satu kriteria yaitu: 1) mempunyai Balita, 2) mempunyai anak usia wajib belajar, 3) mempunyai wanita yang sedang hamil. Namun demikian, dengan adanya persyaratan ini, PSE 2005 tidak cukup memiliki informasi yang dibutuhkan oleh 3 kriteria tersebut di atas. Oleh sebab itu, data PSE 2005 kemudian diperbarui dengan melakukan SPDKP. Langkah yang dilakukan adalah, semua RTSM atau yang memenuhi kriteria 0-8 pada PSE 05 didatangi kembali untuk mendapatkan keterangan mengenai kriteria Bantuan Tunai Bersarat (BTB). Namun demikian, mengingat program BLT bersyarat yang selanjutnya disebut BTB atau Program Keluarga Harapan (PKH) ini masih dilakukan dalam tahap uji coba, maka SPDKP hanya dilakukan pada 348 kecamatan di 49 kabupaten dan di 7 provinsi. Pelaksanaan BTB/PKH dilakukan dalam skala uji coba karena kita harus menjamin bahwa masyarakat penerima dana BTB/PKH memang mudah mengakses sekolah dan Posyandu/Puskesmas. 2). PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) Dalam perkembangannya, data PSE 2005 sangat bermanfaat untuk adanya data tunggal rumah tangga miskin. Pengguna data PSE 2005 pertama kaliselain BLT adalah program Raskin. Dalam pelaksanaan Raskin, sebelum adanya data PSE 2005, dalam menghitung kebutuhan dana nasional dan alokasinya per provinsi dilakukan berdasarkan data makro kemiskinan (Susenas). Namun demikian, karena data makro tidak dapat menunjukkan rumah tangga yang berhak menrima dan alamatnya, maka 121
Gubernur kemudian menerbitkan Keputusan untuk membagi ke kabupaten berdasar data BPS daerah, atau data lainnya. Di tingkat kabupaten, Bupati kemudian menentukan penerima menggunakan data BKKBN. Ketidak konsistenan data alokasi dan distribusi ini sering menimbulkan protes tidak hanya dari masyarakat, namun juga para Gubernur dan Bupati/Walikota. Dengan adanya data PSE 2005, hal ini dapat diatasi, karena dasar untuk menghitung kebutuhan dan alokasi sudah menggunakan data yang sama. Demikian pula untuk program Jamkesmas, yang ditujukan untuk setiap anggota keluarga rumah tangga miskin, digunakan data PSE 2005 dikalikan dengan 4 (empat) yaitu rata-rata ukuran rumah tangga secara nasional. Sejalan dengan berkembangnya waktu dan adanya pengurangan subsidi BBM lagi pada tahun 2007, maka data PSE 2005 harus diperbarui. Pembaruan data ini sejalan dengan Inpres No. 3/2008, yang menginstruksikan tentang pemutakhiran data PSE 2005. Pemutakhiran data PSE 2005 ini sangat penting tidak hanya untuk Raskin dan Jamkesmas, namun juga untuk program program perlindungan social lainnya yang sedang terus disempurnakan dan dikembangkan oleh Pemerintah. Pemutakhiran juga penting untuk meningkatkan kualitas metodologi pendataan dan mengikuti perkembangan kondisi masyarakat. Mengingat luasnya potensi penggunaan data ini maka pemutakhiran data ini disebut dengan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) Secara rinci tujuan diselenggarakannya PPLS adalah: i. Memperbaharui database RTS untuk mendapatkan nama dan alamat RTS. ii. Memperbaharui keterangan tentang kehidupan sosial ekonomi RTS khususnya tentang kualitas tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga. iii. Menambah data anggota rumah tangga sasaran dengan informasi nama, umur, jemis kelamin, status sekolah dan pekerjaan anggota rumah tangga serta informasi tambahan lainnya.
8.4.
KETERKAITAN DATA MAKRO DAN DATA MIKRO
Sebagaimana diuraikan di atas, data makro dan data mikro kemiskinan samasama mendata masyarakat miskin. Sehubungan dengan itu, sering dipertanyakan keterkaitan antara kedua data tersebut. Untuk mengetahui “derajat keterhubungan kedua data tersebut, dapat dilakukan dengan: (i) Melakukan pengecekan karakteristik rumah tangga kedua data tersebut; dan (ii) Menghitung koefisien korelasi antara data Kor Susenas 2005 dengan data RTS 2005. 1). Keselarasan Karakteristik rumah tangga Keterkaitan antar-variabel dapat digambarkan dengan berbagai statistik, seperti koefisien korelasi dan khi kuadrat. Keterkaitan antar-variabel yang hendak dilihat di sini adalah antara variabel yang digunakan untuk mengukur indikator kemiskinan makro dan variabel yang digunakan untuk mengukur indikator kemiskinan mikro. Seperti diketahui, indikator kemiskinan makro dihitung dari nilai pengeluaran rumah tangga di Modul Konsumsi Susenas dan indikator kemiskinan mikro dihitung dari karakteristik non-moneter di PSE 2005, PPLS 2008, atau SPDKP. Sehubungan dengan itu keterkaitan ini tidak dapat secara langsung dihitung, karena 122
PSE 2005, PPLS 2008 atau SPDKP tidak mengumpulkan variabel pengeluaran rumah tangga dan juga sebaliknya Modul Konsumsi Susenas tidak mengumpulkan data karakteristik kemiskinan yang dimiliki ketiga data tersebut. Dalam melakukan arrangement Susenas, BPS selalu mencakup karakteristik pengeluaran dan karakteristik non-moneter rumah tangga dalam paket Susenas yang berbeda. Modul Konsumsi Susenas mengumpulkan variabel pengeluaran dalam rupiah secara rinci dan Kor Susenas mengumpulkan variabel pengeluaran dalam rupiah secara kasar serta mengumpulkan variabel non-moneter. Sementara itu modul lainnya juga mengumpulkan variabel non-moneter. Keuntungan dengan membuat arangement seperti ini adalah dapat dikaitkannya kedua jenis variabel makro dan mikro tersebut karena rumah tangga yang dipilih untuk menjadi sampel Modul Pengeluaran Susenas merupakan sub-sampel dari rumah tangga yang terpilih dalam Kor Susenas. Untuk mendapatkan jumlah dan jenis variabel yang mendekati variabel PSE, maka telah dipilih Susenas tahun 2006. Dari Kor Susenas dicuplik variabel yang sama dengan variabel dari Modul Konsumsi Susenas, yaitu pengeluaran rumah tangga dan dari rumah tangga yang sama (68.541 rumah tangga) dicuplik variabel nonmoneter di Kor Susenas dan Modul Sosial Budaya. Kemudian dilakukan penggabungan (merging) kedua file cuplikan untuk rumah tangga yang sama. File yang dibentuk dari cuplikan tersebut mencakup satu variabel kemiskinan makro dan 12 variabel kemiskinan mikro sebagai berikut: 1) Rata-rata konsumsi/perkapita/bulan (dari Kor Susenas 2006), 2) Kemampuan berobat ke Puskesmas (dari Kor Susenas 2006), 3) Pendidikan tertinggi yang ditamatkan (dari Kor Susenas 2006), 4) Pekerjaan kepala rumah tangga (dari Kor Susenas 2006), 5) Luas lantai rumah (dari Kor Susenas 2006), 6) Jenis lantai (dari Kor Susenas 2006), 7) Jenis dinding rumah (dari Kor Susenas 2006), 8) Sumber air minum (dari Kor Susenas 2006), 9) Jenis jamban (dari Kor Susenas 2006), 10) Pemakaian listrik (dari Kor Susenas 2006), 11) Bahan bakar untuk masak (dari Kor Susenas 2006), 12) Frekuensi makan (dari Modul Sosial Budaya Susenas 2006), dan 13) Frekuensi makan makanan berprotein tinggi (dari Modul Sosial Budaya Susenas 2006). Dari hasil penghitungan nilai koefisien korelasi dapat dikemukakan bahwa semua hubungan antara variabel rata-rata konsumsi/kapita/bulan dengan variabel kemiskinan non-moneter adalah negatif, yang berarti bahwa arah pemilihan variabel kemiskinan non-moneter adalah benar. Tanda negatif juga ditunjukkan pada koefisien korelasi antara rata-rata konsumsi/perkapita/bulan dengan total skor kemiskinan nonmoneter. Dengan menggunakan garis kemiskinan nasional (makro) tahun 2006 dan batas skor kemiskinan (mikro) sebesar 7 (dari 12 variabel), maka dari sejumlah 68.541 rumah tangga tidak semua berada dalam klasifikasi kemiskinan yang sama. Jumlah rumah tangga miskin dengan metode penghitungan kemiskinan makro diperoleh 16,0% penduduk miskin dan dengan metode penghitungan kemiskinan mikro diperoleh angka 10,5%. Hanya sekitar 82,2% rumah tangga berada dalam klas yang sama, yaitu 77,8% rumah tangga tidak miskin dan 4,4% rumah tangga miskin. 123
Dari exercise tersebut menunjukkan bahwa terdapat keselarasan antara data makro dan mikro, dan tingkat keselarasannya mencapai 82,2 %. Persentase yang lengkap menggambarkan klasifikasi tersebut ada di Tabel 8.5. berikut ini.
Tabel 8.5. Klasifikasi Penghitungan Kemiskinan Makro dan Mikro dari Susenas 2006 Penghitungan kemiskinan Penghitungan kemiskinan mikro Total makro Tdk miskin Miskin Tdk miskin 77.8% 6.3% 84.1% Miskin 11.6% 4.4% 16.0% Total 89.4% 10.6% 100.0% Keterangan: Garis kemiskinan nasional 2006 dihitung dari Modul Susenas
2).
Koefisien Korelasi
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa manfaat data kemiskinan tingkat makro adalah sebagai dasar alokasi bantuan dari pusat ke daerah. Dengan tingkat komparabilitas yang tinggi maka data makro cukup kuat dipakai sebagai dasar alokasi, namun belum cukup untuk distribusi targeting secara tepat sasaran. Sehubungan dengan itu, Pemerintah pusat membagi secara proporsional dana bantuan sesuai dengan jumlah rumah tangga miskin di tingkat propinsi dan kabupaten kota dengan menggunakan data mikro. Pada prakteknya data mikro yang dihasilkan sering kali masih menimbulkan kontroversi, sehingga verifikasi kembali data mikro yang diperoleh dari masyarakat perlu terus dilakukan. Tidak jarang hasil verifikasi ini kemudian mengubah status suatu rumah tangga dari dalam kelompok RTS ke luar atau sebaliknya. Modifikasi semacam ini perlu dilakukan untuk ketepatan sasaran dan sebagai dasar sinergi APBN dan APBD ditentukan. Hubungan/keterkaitan antara data kemiskinan makro yang dipakai sebagai dasar pendistribusian dana dari pusat ke daerah dan data kemiskinan mikro yang digunakan untuk mengindentifikasi RTS untuk menerima bantuan diharapkan sangat tinggi. Untuk melihat ketepatan (cek) hal tersebut, dilakukan uji korelasi. Dari data Kor Susenas 2005 telah dihasilkan data makro untuk masing-masing kabupaten/kota. Demikian pula dari data PSE 2005 telah dihasilkan pula data jumlah RTS yang menerima BLT. Bila dua jenis data tersebut dijejerkan dan dihitung koefisien korelasinya, maka diperoleh angka korelasi sebesar 0,94 atau (R kuadrat = 0,94). Koefisian korelasi ini juga menunjukkan bahwa keterkaitan antara data makro kemiskinan dengan data untuk menentukan mikro kemiskinan RTS yang mendapat bantuan sangat tinggi.
124
BAB. IX. PROSES DAN PERMASALAHAN PENDATAAN KEMISKINAN DI INDONESIA
9.1.
POTENSI BPS DALAM PENDATAAN KEMISKINAN
Kedudukan BPS yang tetap vertikal merupakan suatu kekuatan untuk tetap menerapkan garis komando kegiatan statistik di daerah sehingga metodologi yang mencakup semua konsep dan definisi kemiskinan serta tata cara pendataan dapat dibakukan. Pembakuan ini penting guna tetap menjaga pemahaman yang sama terhadap suatu penghitungan indikator kemiskinan. Di samping itu dengan tetap terjaganya pembakuan metodologi, maka komparabilitas antar waktu dan daerah dapat tetap terjamin. Hal ini belum tentu dapat dilakukan bila pendataan kemiskinan dilakukan oleh instansi yang tidak vertikal. Sejalan dengan desentralisasi, sebagian besar kewenangan pemerintah di berbagai sector/bidang telah diserahkan kepada pemerintahan di daerah. Begitu pula kegiatan pendataan atau pengumpulan informasi mengenai kegiatan sektor telah dilakukan oleh jajaran Pemda. Kendala ditemui ketika pihak Pemda dalam hal ini SKPD yang terkait dengan sektor pembangunan harus mengirimkan hasil pendataannya ke pusat. Beberapa diantara kendala adalah sebagai berikut: 1)
SKPD yang menangani sektor pembangunan tidak selalu sama nomenklatur dan tugas pokok dan fungsinya. Hal ini sering kali menyebabkan prioritas pendanaan dan kegiatannya berbeda antar daerah. Penurunan kualitas pendataan dan keterlambatan pengiriman hasil pendataan dialami, antara lain, oleh BKKBN. (Hitima, 2007)
2)
APBD masing-masing daerah tidak sama sehingga kegiatan SKPD sangat dipengaruhi oleh daerahnya masing-masing. Sebagai contoh, untuk mendapatkan data, Depdiknas harus menyisihkan dana dekonsentrasi untuk membentuk kelompok kerja data di setiap kabupaten/kota, melatihnya, memberikan komputer, dan memberikan honorariumnya (Siti Sofiah, 2007). Padahal pada waktu penyerahan kantor Kanwil dan Kandep Pendidikan yang menangani pendataan sekolah semua aparat dan peralatan diserahkan ke daerah.
3)
Kegiatan pendataan dan perstatistikan kurang mendapat dukungan politik dari penguasa di daerah sebab pembangunan di bidang data dan statistik tidak dapat dilihat hasilnya secara fisik. 125
Sehubungan dengan itu, sistem statistik untuk menyediakan data dasar diantaranya adalah data kemiskinan masih dijaga sebagai sistem yang sentralistik. Dalam kaitan dengan system sentral ini, perlu dilihat perkembangan kekuatan BPS di Indonesia. Pegawai BPS di seluruh Indonesia pada tahun 2009 mencakup sekitar 14.000 orang. Mereka tersebar ke seluruh daerah meliputi perwakilan kantor di setiap propinsi dan kabupaten/kota dengan seorang koordinator kegiatan statistik di setiap kecamatan. Komposisi pegawai BPS menurut tingkat pendidikan adalah seperti disajikan pada Tabel 9.1. Tenaga terdidik (S2 dan S3) umumnya ditempatkan di pusat dan tenaga SMA umumnya menjadi petugas di lapangan. Tabel 9.1. Komposisi Pegawai BPS menurut Pendidikan Tahun 2008 Pusat Daerah Jumlah S3 25 1 26 S2 193 305 498 S1 497 4.146 4.643 DIII 76 446 522 SMA 619 6.813 7.432 Kurang dari SMA 56 288 344 Jumlah 1.466 11.999 13.465 Catatan: Belum termasuk lulusan STIS tahun 2008 sebanyak 280 orang dan rekrutmen pegawai tetap tahun 2008 yang umumnya ditempatkan di BPS daerah. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6
Pendidikan
Dalam kegiatan survei yang berskala kecil, seperti survei harga konsumen, jumlah petugas per kecamatan seperti di atas cukup memadai, namun dalam kegiatan survei berskala besar, apalagi sensus, jumlah ini relatif sangat kecil. Untuk menyelesaikan Susenas, misalnya, BPS harus merekrut tenaga hampir 10.000 orang petugas di seluruh Indonesia. Perekrutan dilakukan oleh koordinator kecamatan dan diupayakan agar dipilih dari anggota masyarakat setempat. Hampir semua tenaga ini merupakan mitra tetap BPS yang selalu setia membantu BPS bila diperlukan. Dalam kegiatan Sensus Penduduk tahun 2000 telah direkrut hampir 500.000 orang petugas. BPS merupakan instansi pemerintah yang sudah lama menggunakan peralatan teknologi informasi. Pada awalnya peralatan yang digunakan berupa mainframe untuk mengolah sensus penduduk mulai dari Unifac pada tahun 1961, IBM pada tahun 1971, dan ICL pada tahun 1980/1990. Baru pada tahun 2000 pengolahan data skala besar digunakan PC sampai sekarang. Pada tahun 2008 jumlah PC baru (yang usianya kurang dari 6 tahun) di BPS seluruh Indonesia adalah sekitar 4.928 buah, server jenis IBM X 255 dan IBM X350 sebanyak 66 buah. Di samping itu BPS juga memiliki fasilitas scanner sebanyak sekitar 75 buah dan printer sebanyak 24.790 buah. Kegiatan pengolahan data baik di pusat maupun daerah dirasakan paling padat bila sedang dilakukan sensus seperti pendataan kemiskinan mikro. Semua piranti keras digunakan secara maksimal sampai 3 sift. Shift pertama jam 08.00 – 14.00, kedua jam 15.00 – 21.00, shift yang ke tiga jam 22.00 - 04.00.
Tabel 9.2. Perbandingan Kapasitas BPS Daerah Sulawesi Utara dan 126
D.I Yogyakarta Aspek
Sulawesi Utara Sarjana statistik tersebar di seluruh kabupaten/kota, rata-rata berjumlah 5 orang
SDM
Pengadaan PC umumnya dilakukan oleh BPS pusat. PC yang dianggap masih dalam keadaan prima, yang pengadaannya tahun 2003-2009 di seluruh BPS Sulawesi Utara sebanyak 77 buah. Dari sejumlah ini 36 diantaranya tercatat ada di kantor BPS propinsi dan sisanya 41 buah didistribusikan ke seluruh BPS kabupaten/kota. Alokasi ini kadang berubah karena disesuaikan dengan keadaan. Disamping pengadaan dari pusat ada pengadaan yang berasal dari bantuan pihak lain termasuk laptop milik pribadi pegawai yang biasanya juga dipakai untuk pekerjaan kantor. BPS propinsi juga memiliki 2 buah server yang berasal dari pusat yang tersambung dengan server di kabupaten.
Perangkat Keras
Tingkat Kabupaten
9.2.
DI Yogyakarta Pasca Sarjana Statistik/Matematik: 4 orang. Pasca Sarjana lainnya: 6 orang Sarjana Statistik/Matematik/STIS/ Komputer: 27 orang. Sarjana lainnya: 14 orang. DIII Statistik/Komputer: 5 orang Lainnya: 34 orang PC kondisi prima: 59 Laptop kondisi prima: 7
Minahasa Utara
Bantul
Peralatan di Kabupaten Minahasa Utara: BPS kab mempunyai 5 PC dan 1 laptop khusus untuk mengolah data kemiskinan dan di link ke satu server BPS kabupaten yang berkekuatan 150 mega byte
Sarjana Statistik/Matematik/STIS/ Komputer: 4 orang. Sarjana lainnya: 5 orang. DIII Statistik 1 orang. Lainnya: 18 orang. PC dan Laptop yang dimiliki 5 buah.
PROSES PENDATAAN MAKRO DAN MIKRO
9.2.1
DATA MAKRO
Proses kegiatan pengadaan data makro melalui Susenas dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: (i) Persiapan, yaitu menyusun rancangan pendataan dan metodologinya; (ii) Koordinasi Instansi Terkait; (iii) Pembakuan dan Pelatihan; (iv) Pekerjaan lapangan; (v) Pengecekan hasil isian kuesioner; (vi) Pengolahan data; dan (vii) Diseminasi. Secara ringkas,masing-masing tahap diuraikan sebagai berikut. a.
Persiapan, rancangan sampling dan metodologi
Sebelum kegiatan perencanaan survei, beberapa hal perlu dipersiapkan terlebih dahulu adalah: daftar seluruh satuan pencacahan yang membagi habis seluruh wilayah di Indonesia, sketsa peta satuan pencacahan yang akan dipakai sebagai pedoman pencacah dalam mengenali daerah tugasnya di lapangan, dan daftar jumlah rumah tangga/penduduk yang tinggal di masing-masing satuan pencacahan. Sebagian dari 127
satuan pencacahan ini biasanya dicakup sebagai kerangka induk dari mana sebuah sampel akan ditarik. Rancangan sampling dibuat berdasarkan kondisi yang berkaitan dengan topik yang ingin diketahui dari populasi -- biasanya homogenitas karakteristik individu sangat menentukan. Bila kondisi masyarakat heterogen maka stratifikasi merupakan jalan keluar untuk mendapatkan sampel yang representatif. Setelah itu dilakukan pengambilan sampel satuan pencacahan. Stratifikasi yang biasa dilakukan adalah memisahkan daerah perkotaan dan pedesaan—dua kelompok wilayah yang sangat berbeda karakteristiknya. Oleh karena itu pengambilan sampel satuan pencacahan di daerah perkotaan dan pedesaan dilakukan dengan cara terpisah. Karena daftar rumah tangga yang tinggal di daerah perkotaan maupun pedesaan tidak diketahui, maka pemilihan rumah tangga yang akan didatangi petugas tidak dapat dilakukan satu tahap tetapi lebih sari satu tahap. Langkah pertama adalah menentukan pemilihan sampel tahap ke satu, yaitu memilih satuan pencacahan di dalam kecamatan sesuai dengan jumlah penduduk (langkah ini disebut sebagai proportional to size). Langkah berikutnya adalah mendaftar seluruh rumah tangga yang tinggal di dalam satuan pencacahan yang terpilih baru kemudian melakukan pemilihan tahap ke dua. Metode pemilihan rumah tangga yang dipilih akan menentukan formula yang akan dipakai untuk membuat estimasi. Metode pemilihan sampling yang lebih dari dua tahap sering pula dilakukan bila memang diperlukan dengan catatan, seperti telah disebutkan di muka, bahwa metode sampling akan menentukan formula yang akan dipakai untuk membuat estimasi. Persiapan berikutnya adalah menyusun kuesioner dan buku pedoman pengisiannya. Kuesioner disusun berdasarkan kebutuhan informasi yang sesuai dengan tujuan survei. Hal yang sangat diperhatikan BPS adalah bahwa dalam melakukan suatu survei, keterbandingan dengan survei terdahulu selalu dijaga, sehingga dalam menentukan konsep dan definisi yang dipakai serta dalam menyusun urutan kuesioner perubahan diupayakan sesedikit mungkin. Sebelum kuesioner dan buku pedoman dipakai di lapangan, suatu uji coba dilakukan untuk menguji kelayakannya. Berdasarkan hasil uji coba ini kuesioner dan buku pedomannya kemudian diperbaiki lagi. Bila pertanyaan dalam kuesioner yang dibuat sama sekali baru, tidak jarang uji coba yang dilakukan lebih dari satu kali. b.
Koordinasi Instansi Terkait
Dalam kegiatan Susenas keterlibatan instansi terkait menyangkut pekerjaan persiapan. Koordinasi dengan instansi terkait dilakukan untuk mencheck apakah kuesioner yang ada sudah cukup mengakomodir perkembangan program dan data serta informasi yang diperlukan instansi terkait. Paling sedikit dua unit kerja departemen atau instansi yang berkepentingan dengan hasil Susenas di pusat diundang pada rapat persiapan. Mereka berasal dari pusat data departemen/instansi dan dari unit perencanaan. Pada umumnya mereka tertarik untuk hadir dalam pembicaraan mengenai rencana kuesioner dan konsep dan definisi. Dalam kesempatan ini dibicarakan pula peluang departemen/instansi yang akan melaksanakan sendiri survei tindak lanjut pasca Susenas. Kantor Menko Kesra, Bappenas, Depkes, Depdiknas, Depsos, dan beberapa direktorat jendral departemen menjadi tamu utama pada rapat perencanaan seperti tersebut di atas. 128
c.
Pembakuan dan Pelatihan
Salah satu manfaat buku pedoman adalah sebagai pegangan petugas agar tetap mengikuti arahan yang diberikan dalam kegiatan survei. Dengan kata lain bahwa buku pedoman berfungsi sebagai penjaga rambu-rambu agar petugas selalu mematuhi semua aturan yang telah ditetapkan. Dalam pelatihan, petugas mempelajari konsep dan definisi yang dipakai dalam survei. Kemudian kepada petugas juga diajarkan bagaimana tata cara bertanya dan mengisikan jawaban responden dalam kuesioner yang disediakan. Dalam kegiatan Susenas ada tiga tahap pelatihan, pertama pelatihan bagi para perencana sendiri berupa workshop, lalu mereka akan mengajar para pelatih (training for trainers), baru kemudian para pelatih ini mengajar petugas di daerah. Dua pelatihan yang pertama dilakukan oleh BPS pusat, sedangkan pelatihan tahap ke tiga diselenggarakan oleh BPS daerah. Peserta pelatihan didatangkan dari kecamatan ke pusat latihan dan mereka yang lulus baru diijinkan untuk melakukan pendataan. Mengingat tersedianya dana yang terbatas, BPS tidak selalu dapat melatih cadangan dalam jumlah yang besar, sehingga kelulusan ujian tidak selalu ketat. Walaupun demikian adanya jadwal acara ujian cukup memotivasi calon petugas untuk belajar. Di samping ujian tertulis calon petugas juga dinilai dalam melakukan role playing di kelas dan dalam cara mewawancari rumah tangga pada waktu latihan praktek di lapangan. d.
Pekerjaan lapangan
Pada awalnya para petugas di lapangan bekerja sendiri-sendiri dengan mendatangi rumah tangga sampel di wilayah kerjanya. Mulanya petugas melakukan pendaftaran terhadap seluruh rumah tangga di satuan pencacahan terpilih dan membawa hasil pendaftaran tersebut kepada petugas BPS kabupaten/kota. Petugas ini kemudian mengambil sampel rumah tangga yang akan didatangi kembali oleh petugas pencacahan. Dalam beberapa tahun terakhir ini beberapa petugas digabung dalam satu tim dan mendatangi secara bersama-sama ke satuan pencacahan. Seorang anggota tim yang ditugasi sebagai ketua diberi wewenang untuk mengambil sampel rumah tangga. Tim dijadwalkan untuk menyelesaikan pekerjaannya sekitar 2-4 minggu untuk meminimumkan pengaruh perbedaan waktu terhadap data. Di samping itu jadwal yang ketat dapat menyebabkan pekerjaan bertumpuk kalau tidak cepat diselesaikan. Hasil pendataan ini kemudian diserahkan ke BPS kabupaten/kota untuk diperiksa. Bila sistem pendataan dengan tim dilakukan maka pekerjaan pemeriksaan isian dilakukan oleh ketua tim. e.
Pengecekan isian kuesioner
Pemeriksaan secara manual dilakukan sebelum dokumen dikirim di unit perekaman data. Hal yang utama diperiksa antara lain adalah: i. Semua instruksi pengisian yang tertera dalam kuesioner sudah dipenuhi, ii. Kecocokan umur antar anggota rumah tangga, misalnya antara ibu dengan anak kandung,
129
iii. Kecocokan antara umur anggota rumah tangga dengan blok-blok pertanyaan yang sesuai, misalnya umur anak 4 tahun harus dicek dengan isian di pertanyaan tentang balita dan misalnya anak usia 3 tahun blok tentang ketenaga kerjaan harus kosong, dan seterusnya, iv. Kode isian yang dipakai sudah sesuai dengan jawaban responden, v. Kode propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa/kelurahan sudah benar.
f.
Pengolahan data
Tahapan pengolahan data yang dianut BPS meliputi beberapa tahap. Dokumen yang sudah diperiksa dikirim ke unit perekaman data. Perekaman data Susenas dilakukan dengan memakai software CS-Pro dan kegiatan ini dilakukan di BPS daerah. Petugas pengolah tidak secara khusus dilatih untuk ini melainkan melalui refresing aplikasi pemrograman karena petugas pengolah biasanya sudah diberi pelatihan untuk pengolahan kegiatan survei/sensus BPS. Setelah itu data harus melalui tahapan validasi dimana isian dicek kembali dengan komputer, meliputi antara lain range check yaitu interval isian dan consistency check yaitu kaitan antar variabel. Setelah dinyatakan “bersih” baru dilakukan kegiatan tabulasi, penghitungan indikator dan pembuatan gambar bila diperlukan untuk keperluan laporan. Hasil pengolahan ini masih harus melewati uji kualitas sebelum disebarluaskan. Uji kualitas dilakukan dengan melihat konsistensi hasil Susenas dengan Susenas sebelumnya dan dengan data sejenis dari sumber lain. Selain itu dengan melakukan studi reliabilitas, kualitas data dapat diduga. Sebuah kegiatan yang merupakan satu paket dengan survei adalah post enumeration survei (PES). Dengan memegang asumsi bahwa petugas PES adalah benar maka deviasi hasil survei terhadap true value dapat diketahui. g.
Diseminasi
Hampir semua kegiatan BPS berskala besar disebarluaskan hasilnya kepada masyarakat termasuk Susenas. Media yang digunakan untk menyebarluaskan antara lain melalui publikasi tabulasi atau analisis (soft copy maupun hard copy), data dasar tanpa identitas pribadi (untuk kalangan terbatas karena harus membayar maintenance fee) dan melalui web BPS. Hasil survei berupa buku publikasi dengan tabulasi penting merupakan hal yang mutlak untuk dipublikasikan sebagai pertanggungjawaban atas terlaksananya suatu kegiatan, Tidak seperti publikasi survei di bidang kependudukan dan ketenagakerjaan, tabel-tabel publikasi Susenas hanya dirinci menurut daerah perkotaan/pedesaan dan hanya ada sedikit rincian menurut jenis kelamin. Hal ini dilakukan mengingat terbatasnya anggaran. Namun demikian untuk menjembatani kebutuhan para pengguna data BPS, maka sejak tahun 1986 telah diterbitkan buku Indikator Sosial Wanita Indonesia setiap 2 tahun sekali yang merangkum hasil pendataan Susenas Kor dengan rincian menurut jenis kelamin. Di samping itu dalam beberapa tahun ini telah diterbitkan Data dan Informasi Kemiskinan yang
130
merangkum hasil Susenas Modul dengan rincian tentang kondisi rumah tangga menurut tingkat kemiskinannya. 9.2.2. DATA MIKRO
Proses pendataan kemiskinan mikro yang akan disajikan secara lengkap adalah PSE 2005 mengingat bahwa data hasil PSE 2005 dijadikan dasar pendataan SPDKP dan PPLS 2008. Seperti diketahui data dasar tentang kemiskinan dari PSE 2005 telah diperbaharui dengan PPLS 2008 dengan menambah informasi baru, antara lain nama dan karakteristik anggota rumah tangga, dan membuang rumah tangga yang sudah mengalami mutasi—meninggal atau perpindahan horizontal dan vertikal. Langkah pendataan mikro yang dilakukan adalah sama dengan proses pendataan makro kemiskinan. Perbedaan terletak pada adanya langkah pemeriksaan kualitas data dan editing yang melibatkan adanya validasi dan editing pasca computer. Hal ini dilakukan karena data mikro adalah data yang menunjuk nama dan alamat, sehingga verifikasi di lapangan perlu dilakukan terhadap hasil untuk mengetahui valid tidaknya data dengan kondisi riil di lapangan. Berikut ini adalah penjelasan ringkas masingmasing tahap dalam proses pendataan data mikro kemiskinan. a.
Perencanaan
Dalam tahap kegiatan ini secara tehnis didiskusikan penyusunan metodologi dan kuesioner pendataan, penyusunan tata cara pengolahan data dan penyusunan rencana kerja BPS daerah dalam pelaksanaan tugas pendataan di lapangan dan pengolahan data. Metodologi yang digunakan untuk menjaring runah tangga miskin adalah dengan mendasarkan diri pada informasi dari instansi atau tokoh masyarakat baik dalam memilih wilayah pencacahan maupun rumah tangga yang tinggal di sana. Sumber informasi kemiskinan ini berasal dari ketua lingkungan/RT/RW, BKKBN, BPS, dan pihak lain. Pendaftaran rumah tangga miskin ini merupakan langkah pertama kegiatan. Tahap selanjutnya adalah mendatangi rumah tangga dalam daftar dan mewawancarai dengan pertanyaan yang lebih rinci. Kuesioner yang dirancang memuat 25 pertanyaan yang terdiri dari 2 variabel tentang nama dan jumlah anggota rumah tangga, 3 variabel tentang keberadaan balita, anak usia sekolah, dan partisipasi dalam KB, 19 variabel yang terkait dengan kemiskinan dan satu pertanyaan menyangkut keikutsertaan rumah tangga dalam program UKM/UMKM b.
Koordinasi dengan instansi terkait
Kelancaran kegiatan perencanaan dan pelaksanaan PSE 2005 antara lain karena dukungan yang besar oleh berbagai pihak dari departemen/instansi di pusat baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka adalah antara lain dari Kantor Wakil Presiden, Kantor Menko Kesra, Depdagri, Bappenas, Depkominfo, BKKBN, BRI, dan PT Pos Indonesia. Di tingkat daerah bantuan yang besar datang mulai dari Pemda propinsi, Pemda kabupaten/kota, SKPD kecamatan, aparat desa/kelurahan dan tokoh masyarakat. Di samping itu dukungan Polri dalam pengamanan pelaksanaan pendataan sampai pembagian kartu sangat berarti.
131
Di samping melalui undangan rapat persiapan pada instansi tehnis, koordinasi di pusat dilakukan melalui dengar pendapat dengan DPR, jumpa pers, paparan pada rapat koordinasi gubernur seluruh Indonesia dan kegiatan lainnya. Sementara itu briefing di tingkat daerah juga dilakukan dengan pesertanya adalah antara lain Bappeda, SKPD-KB, SKPS-Sosial, BPM, SKPD-Administrasi Kependudukan, aparat kecamatan dan desa/kelurahan.
c.
Pelatihan Petugas
Pelatihan petugas meliputi dua jenis yaitu petugas lapangan dan petugas pengolahan. Pelatihan petugas dimaksudkan agar pendata memahami tata cara/prosedur pendataan, memahami konsep dan definisi yang dipakai, tehnik menggali informasi dari setiap informasi yang dikumpulan dan menyamakan persepsi dan pemahaman terhadap keterangan yang dikumpulkan. Mengingat banyaknya petugas yang dilatih yaitu sekitar 200.000 orang, maka pelatihan petugas dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama adalah pelatihan instruktur nasional yang akan melatih pada tahap ke dua dengan pesertanya adalah instruktur daerah dan koordinator statistik tingkat kecamatan. Kemudian tahap ke tiga adalah kegiatan pelatihan terhadap petugas lapangan dan pengawas. Bila pelatihan terhadap instruktur utama berupa workshop dihitung, maka tahap pelatihan menjadi 4 tahap. Materi pokok yang diajarkan dalam pelatihan petugas pengolah adalah i). teknis pengolahan seperti kegiatan pra komputer seperti penerimaan dokumen, batching, lalu proses komputer berupa perekaman data dan validasi data, kemudian kegiatan tehnis pasca komputer, sampai pada pengiriman file ke pusat pengolahan, dan ii). programing seperti pengenalan umum programing, cara meng-install dan set up software , sistem kompilasi dan updating. d.
Pekerjaan Lapangan
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa informasi awal mengenai keberadaan rumah tangga miskin berasal dari instansi dan tokoh masyarakat. Jadi tahap pertama yang dilakukan petugas adalah mendatangi kepala lingkungan (satuan lingkungan setempat/SLS) dan meminta daftar rumah tangga miskin. Petugas juga melengkapi daftar keluarga miskin yang ada di tangan lurah/kepala desa, PLKB, atau SKPD-KB yang dapat ditemukan di lokasi. Hasil sensus kemiskinan yang banyak dilakukan pada tingkat kecamatan/kabupaten juga memperpanjang daftar RTS ini. Berdasarkan daftar ini kemudian petugas melakukan verifikasi dan penelusuran dengan pendekatan emic dari tetangga ke tetangga (proses penilaian dari masyarakat berdasarkan nilai dan norma lokal) baru kemudian petugas melakukan pendataan dengan melakukan wawancara yang terstruktur dengan kuesioner PSE. Selain pendataan RTS dalam SLS yang telah dikunjungi petugas, ada mekanisme pendata lain yang dilakukan terhadap RTS di luar SLS tersebut. Sasarannya adalah mereka yang tinggal di pemukiman liar seperti di pinggir rel kereta api, di bantaran sungai, tempat pembuangan sampah yang biasanya tidak diakui sebagai warga setempat. Pendataan terhadap mereka dilakukan oleh satuan tugas yang khusus dibentuk dari kecamatan setempat dan BPS kabupaten/kota. Kelompok yang tidak dicakup dalam pendataan ini adalah PNS/anggota TNI/POLRI baik yang 132
masih aktif maupun sudah pensiun. Kelompok lainnya adalah kelompok penghuni barak/penampungan pengungsi, asrama dan pondok. Bantuan untuk kelompok yang ke dua ini biasanya melalui penanganan yang berbeda dengan RTS. Mengingat terdapatnya rumah tangga miskin yang terlewat cacah, maka telah dibentuk unit Pengaduan Masyarakat dan Pemantauan PKPS-BBM yang disebut sebagai Posko. Hasil pendaftaran ke Posko merupakan daftar susulan atau pendaftaran tahap ke dua yang masih harus diverifikasi oleh petugas PSE. Pembukaan kesempatan mendaftar ini dimanfaatkan oleh banyak pihak sehingga jumlahnya meningkat sebesar 12.214.849 rumah tangga atau 82.9% dari RTS awal yang dicatat BPS. Pembengkakan jumlah ini banyak dilakukan antara lain dengan: (i) memecah rumah tangga menjadi keluarga atau perorangan; (ii) memasukkan penjaga kebun yang digaji pemiliknya (Kab Minahasa Utara); (iii) membuat tambahan dapur (Kabupaten Bantul) kemudian memasukkan orang yang tidak bekerja walaupun kehidupannya telah ditanggung oleh kerabatnya. Dari sejumlah susulan tersebut, setelah diverifikasi BPS, hanya 4.367.597 juta atau 40% yang memenuhi syarat sebagai penerima BLT. e.
Pemeriksaan Kualitas Data
Dengan waktu pendataan yang relatif terbatas, tidak dapat dipungkiri bahwa kelewat cacah atau salah cacah dapat terjadi. Untuk itu telah dilakukan beberapa studi oleh dua tim yang berbeda. Tim yang pertama adalah tim pemantau gabungan dari Menko Kesra, Depdagri, BKKBN, dan instansi lain yang melakukan studi di 7 propinsi sebanyak dua kali. Tim ini memperkirakan tingkat kesalahan studi yang pertama dilakukan sekitar 6% dan pada studi yang dilakukan berikutnya disimpulkan bahwa tingkat kesalahan yang terjadi sekitar 2%. Tim lainnya yang terdiri dari gabungan 56 Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia mencatat akurasi pendataan sekitar 4,7%. Data BPS dianggap lebih rendah dari angka yang menjadi hasil musyawarah warga (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan 56 Perguruan Tinggi, 2005). Di samping itu hasil pencocokan dan penelitian (coklit) yang dilakukan BPS telah membatalkan sekitar 1,9% kartu kompensasi BBM karena RTS yang terdaftar tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. f.
Pengolahan Data
Dalam kegiatan pengolahan data telah dilakukan berbagai jenis pemeriksaan, antara lain editing pra computer, validasi dan editing pasca computer. i. Editing pra komputer. Meliputi pekerjaan pemeriksaan kembali dokumen yang diterima dari lapangan di dalam masing-masing batch yang telah diatur menurut urutan nomer kode SLS atau satuan pencacahan yang ditentukan. Setelah itu dokumen diperiksa dan dibetulkan bila perlu. Pembetulan dilakukan antara lain terhadap dokumen yang salah isi misalnya kode jawaban, salah tulis dan tulisan tidak jelas. ii. Validasi yang meliputi range check dan consistency check. Dalam pengolahan dokumen PSE 2005 telah dilakukan 13 jenis range check terhadap Dokumen PES05.LS dan 39 jenis range check terhadap Dokumen PSE05. RT.
133
Sementara itu banyaknya consistency check yang dilakukan terhadap Dokumen PSE05.RT adalah 10 jenis. iii. Editing pasca komputer. Sebelum daftar RTS diserahkan kepada pencetak kartu terlebih dahulu diperiksa dengan mencocokannya dengan dokumen bila terdapat hal-hal yang ganjil.
g.
Pemanfaatan Data
Seperti telah dikemukakan di penjelasan sebelumnya bahwa data hasil PSE adalah untuk mengindentifikasi RTS yang akan diberi kompensasi atas dampak dari adanya kenaikan harga BBM.
9.3
PERMASALAHAN PENDATAAN MAKRO DAN MIKRO 9.3.1. DATA MAKRO
Pada dasarnya sebuah pengukuran statistik dapat dianggap baik bila memenuhi beberapa kriteria, antara lain a) konsep yang dipakai sesuai, b) definisi operasional pekerjaan lapangan yang dituangkan dalam kuesioner mudah difahami petugas dan responden, c) ukuran yang dipakai mudah dipahami petugas, dan d) rumus serta prosedur pengolahan datanya sederhana sehingga mudah dilakukan. Dari sudut metodologi penghitungan, angka kemiskinan BPS mengundang banyak tanggapan. Pertama, adalah aspek/sisi konsep BPS dianggap kurang mampu menggambarkan kemiskinan dalam arti yang sebenarnya. Konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) hanya memandang kemiskinan makro dari sudut ekonomi padahal kemiskinan sangat kompleks dan banyak memiliki dimensi sosial, bahkan kultural (Kecuk Suharyanto, 2009). Komponen pertama dari sisi konsep adalah berkaitan dengan kelompok komoditi yang dipilih untuk mewakili baik populasi rujukan maupun jenis makanan dan non-makanan rujukan yang dikonsumsi masyarakat, dinilai perlu disesuaikan sejalan dengan dinamika masyarakat. Terdapat 3 hal penting yang berkaitan dengan metodologinya yaitu : (i) pemilihan komoditi, (ii) kebutuhan konsumsi kalori minimal (iii) kebutuhan non ekonomi Saat ini penggantian paket komoditas konsumsi melalui suatu survei khusus SPKKD (Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar) belum secara pasti ditentukan periodisitasnya. Apabila sudah dirasakan perlu adanya perubahan pola konsumsi barulah diusulkan BPS anggaran survei ke pemerintah. Terdapat beberapa alternatif media survei yang dapat dimanfaatkan untuk menentukan paket komoditas ini walaupun perlu modifikasi agar lebih cocok: (i) Dengan memanfaatkan survei biaya hidup dengan menambahkan cakupan wilayah pedesaan; (ii) Dengan memanfaatkan data Modul atau Panel Susenas dengan memodifikasi sedikit metodologinya. Dengan memanfaatkan kedua survei ini masalah representativeness populasi dan komoditas rujukan akan lebih baik.
134
Komponen selanjutnya adalah masalah batas minimum kalori yang dikonsumsi manusia agar dalam tetap bertahan hidup. Pada saat ini BPS memakai angka rata-rata 2.100 kkalori/ kapita/hari yang mungkin masih dipertanyakan karena tidak memperhatikan umur anggota rumah tangga. Dalam Widyakarya Pangan dan Gizi telah diusulkan untuk memakai 1.869 kkal per kapita per hari, juga tanpa memperhatikan umur anggota rumah tangga sebagai batas konsumsi orang yang menderita kelaparan. Walaupun demikian Filipina dan Unicef juga memakai angka adult equivalent scale yang masing-masing besarnya 2.100 kkal dan 2.100-2.300kkal, yang misalnya tidak berbeda dengan BPS. Mengenai masalah umur anggota rumah tangga sebagai variabel yang menentukan kebutuhan kalori, sebetulnya banyak lagi variabel yang berfungsi sebagai penentu kebutuhan kalori, seperti, jenis kelamin, status hamil atau tidak, status sakit atau tidak dan pekerjaan. Oleh karena itu pemakaian angka rata-rata hanya agar penghitungannya sederhana saja. Komponen ketiga adalah berkaitan dengan kebutuhan non-ekonomi yang tidak dicakup dalam konsep kemiskinan, aspek sosial budaya yang tidak dicakup dalam penghitungan kemiskinan, disebabkan oleh karena indikator bidang sosial budaya ini sulit dihitung. Apabila aspek sosial budaya perlu dihitung, perlu ditentukan (i) aspek sosial budaya apa yang secara umum nasional sehingga dapat diperbandingkan antar provinsi dan antar kabupaten; (ii) pengukuran dari aspek yang dipilih; (iii) indikator dan metode pendataannya dilapangan. Alternatif lain yang dapat dilakukan adalah mendelegasikan daerah untuk menambahkan aspek ini untuk menyesuaikan criteria nasional menjadi kriteria daerah setempat. Aspek kedua yang dipermasalahkan adalah pelaksanaan survei, yang dilakukan oleh BPS bekerjasama dengan mitra yang pada umumnya adalah eks PLKB, anggota LSM atau masyarakat setempat. Meskipun sudah terus dilakukan pelatihan namun dedikasi mereka untuk melakukan survey sering dipertanyakan. Aspek ketiga adalah, masalah penghitungan angka kemiskinan. Dengan rumitnya proses pendataan, pengolahan data dan penghitungan tingkat kemiskinan, berbagai pihak yang sudah mencoba menghitung (perguruan tinggi, LSM) menyatakan menemukan angka yang berbeda.
9.3.2. DATA MIKRO Permasalahan pertama dengan data mikro ini berkaitan dengan kriteria yang digolongkan: Data mikro, sebagaimana diuraikan didepan disusun berdasarkan 14 kriteria (PSE 05) atau 16 kriteria (PPLS 08), Kriteria ini oleh beberapa daerah dianggap tidak mencerminkan kondisi lokal. Permasalahan kedua; adalah kondisi geografis untuk dapat mendata awal (oleh Pemda) dan verifikasi (oleh BPS) data yang diperoleh terutama di daerah perdesaan. Di samping kendala geografis terkait dengan jauhnya lokasi tempat tinggal penduduk yang seperti biasanya dijumpai pada waktu kunjungan dari rumah ke rumah penduduk, banyak kendala lain yang ditemukan pada waktu pendataan kemiskinan mikro. Kendala lain sebaliknya terjadi di daerah perkotaan pada daerah padat penduduk dan yang mobilitas penduduknya tinggi. Kendala di atas sama-sama akan menyebabkan jumlah penduduk berkurang karena lewat cacah. Walaupun setelah 135
pihak independen menilai angka lewat cacah ini relatif kecil, namun bagi rumah tangga miskin yang terlewat dirasakan sangat merugikan. Masalah lain datang dari pada tokoh informal yang diminta untuk membuat daftar identifikasi rumah tangga miskin. Perasaan tidak nyaman karena tidak memasukkan/mendaftarkan tetangganya sebagai rumah tangga miskin menyebabkan daftar usulan menjadi sangat panjamg. Hal ini menimbulkan masalah setelah rumah tangga dalam daftar diverifikasi BPS. Percekcokkan dan pertengkaran antara warga, tokoh masyarakat dan staf BPS akhirnya tidak dapat dihindari. Keluhan yang banyak disampaikan oleh hampir semua kantor BPS daerah adalah sulitnya melakukan verifikasi data yang disusulkan di lapangan melalui Posko (pendekatan pendataan kedua untuk masyarakat yang kelewat cacah) karena kurang kooperatifnya para Camat dan Kepala Desa/Lurah. Mendengar akan adanya bantuan, banyak diantara Kepala Desa/Lurah, Camat bahkan Bupati yang meminta agar jumlah rumah tangga miskin tidak dikurangi. Permasalahan lain adalah penentuan kategori atau kelompok yang mendapat bantuan. Dikeluhkan bahwa kelompok penduduk miskin yang resmi terdaftar seperti mereka yang tinggal di panti jompo, panti asuhan dan pesantren tidak mendapat bantuan, sedangkan mereka yang tidak mempunyai kartu penduduk malah mendapatkan bantuan. Dari masalah ini terlihat bahwa sosialisasi tentang siapa atau program apa yang menangani penghuni panti dan pesantren serta siapa yang menangani bantuan pada rumah tangga miskin tidak atau kurang dipahami. Permasalahan yang mendasar lainnya adalah konsep penduduk dan keluarga. Ada perbedaan yang menyolok antara penduduk versi BPS dan penduduk versi Pemda. Penduduk versi BPS adalah mereka yang tinggal di suatu tempat (rumah) setelah 6 bulan atau mereka, walaupun belum 6 bulan tinggal, tetapi bermaksud menetap di suatu tempat. Dalam kasus yang tidak jelas memenuhi kriteria di atas, penduduk dihitung di satu tempat saja yaitu di mana dia berstatus sebagai kepala rumah tangga atau di mana dia lebih lama tinggal. Penduduk versi Pemda adalah penduduk yang terdaftar dalam kartu keluarga di suatu tempat. Aspek lain dari perbedaan ini adalah dalam satu rumah (tangga) bisa terdapat (tinggal) beberapa keluarga inti yang biasanya tercermin pada kartu keluarga. Adanya permasalahan atas data makro dan mikro tersebut ada yang disebabkan oleh kurang tersosialisasikannya proses pendataan BPS baik dari sisi konsep maupun pemanfaatannya. Faktor lain adalah data mikro kurang dimanfaatkan oleh daerah, baik karena tidak berfungsinya TKPKD sebagai tempat “clearing house” data tersebut untuk pemanfaatan penanggulangan kemiskinan daerah (Kotak 9.1.), maupun kesan ketidakpercayaan data tersebut sehingga mereka mengadakan pendataan mikro kemiskinan sendiri di daerahnya untuk pelaksanaan program dari dana APBD.
136
Kotak 9.1. Kasus di Sulawesi Utara a.
Koordinasi di tingkat propinsi dengan TKPKD dalam pendataan mikro
Pada tingkat propinsi antara TKPKD dengan BPS terkesan baik. Walaupun dari pihak BPS hanya kepala kantor saja yaang menjadi anggota tetapi salah seorang kepala bidang di BPS mempunyai tugas menjadi narasumber tentang pendataan kemiskinan. Tugas pokok BPS dalam tim sudah sesuai dengan petunjuk teknis instansi yaitu memotret kemiskinan yang terjadi di lapangan. Ini berlaku baik BPS propinsi maupun kabupaten/kota. Karena TKPKD di tingkat propinsi hanya bertindak sebagai koordinator maka peran TKPKD propinsi sebagai penggerak di lapangan kurang dirasakan oleh BPS sebagai anggota. Salah seorang anggota pendamping PNPM Mndiri, yang kemudian disambut baik oleh anggota lainnya mengatakan kalau dilihat dari kehiidupan terutama pola makan, di Sulawesi Utara tidak terlihat ada kemiskinan. b.
Koordinasi di tingkat kabupaten/kota
Tidak semua kepala BPS kabupaten/kota di Propinsi Sulawesi Utara menjadi anggota TKPKD termasuk kepala BPS Minahasa Utara. Anggota TKPKD, paling tidak yang hadir dalam diskusi, tidak pernah mendapatkan penjelasan mengenai pendataan kemiskinan. Menurut mereka dalam pendataan mikro BPS tidak door to door tetapi memakai sistem sampel seperti Susenas. Mereka terkesan tidak merasa memiliki data hasil pendataan kemiskinan mikro yang dilakukan BPS, padahal pihak Bappeda kabupaten sangat memahami proses pendataan. Pendataan RTS/PKH awal merupakan masukan dari lapangan oleh pala-pala atau pihak BKKBN yang kemudian diverifikasi oleh BPS. Pala-pala cenderung memasukkan sebanyak mungkin rumah tangga karena merasa tidak enak tidak memasukkan keluarga yang hampir sama miskinnya. Hal ini sangat bertentangan dengan pernyataan anggota pendamping PNPM Mandiri pada diskusi di Bappeda Propinsi. Masukan dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Minahasa Utara kepada BPS agar mereka diikut sertakan dalam kegiatan pendataan supaya dapat membantu menanggulangi permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat. Selama ini mereka tidak diajak dalam kegiatan pendataan. Masukan dari SKPD Koperasi dan UKM kepada Bappenas bahwa SKPD juga dapat melakukan pendataan. Pendataan hanya masalah menyusun formulir, latihan dan datang mengumpul data ke lapangan. Hal yang perlu dibantu pusat adalah perangkat pengolahan, tenaga pengolahnya dan tenaga statistik untuk mengintrepretasikan hasilnya yang di daerah sangat kurang. Keluhan dari SKPD Kesehatan yang dikemukakan pada diskusi adalah tidak adanya nama anggota rumah tangga RTS padahal kartu Jamkesmas harus dibuat berdasarkan perorangan. Waktu ditanyakan kepada pejabat yang hadir tentang softcopy data PPLS, dia mengatakan bahwa daftar nama anggota RTS yang ada di Sekda tidak ada. Dinas kesehatan menambahkan dana APBD untuk menutup perbedaan jumlah individu sasaran Kasus di DI Yogyakarta Pemda DIY sudah punya data sendiri tentang kemiskinan sehingga program perencanaan pembangunan memakai dasar data Pemda. Instruksi dari pusat untuk menggunakan data BPS tetap dipatuhi tetapi kalau anggarannya dari APBD dasar penentuan rumah tangga miskin memakai data Pemda sendiri. Koordinasi tingkat propinsi. Pada tingkat propinsi tim TKPKD lama tidak berjalan dengan baik dengan adanya perubahan struktur organisasi Pemda Propinsi DIY akan segera dibentuk TKPKD yang baru. BPS Propinsi DI Yogyakarta baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota menjadi anggota tim TKPKD.
137
BAB X. PEMANFAATAN DATA MAKRO DAN MIKRO
Pada Bab X ini akan diulas mengenai pemanfaatan data makro dan data mikro. Pada bagian 10.1. dibahas pemanfaatan data makro yang sudah diterapkan dan beberapa kendala pemanfaatan data makro secara lebih luas lagi. Pada bagian 10.2. dibahas mengenai pemanfaatan data makro untuk menjadi proxy dari beberapa pemanfaatan dan kegunaan yang belum dapat dipenuhidari data yang seharusnya sudah ada. Artinya, dengan menggunakan teknik tertentu data makro dapat juga dimanfaatkan untuk mengukur variabel atau indikator lain, antara lain untuk pendekatan penghitungan upah minimum. Selanjutnya pemanfaatan data mikro akan diulas pada bagian berikutnya, dan pemanfaatan data mikro dan sumber data lain untuk mengukur tingkat kemiskinan di wilayah kecil (kecamatan) yang sangat bermanfaat untuk pembangunan daerah dan penanggulangan kemiskinandi tingkat kabupaten.
10.1. PEMANFAATAN DATA MAKRO
Sedikitnya terdapat 4 (empat) manfaat data kemiskinan yaitu a) Penyusunan kebijakan dan rencana pembangunan nasional, b) Penentuan alokasi pembiayaan, c) Pemantauan dan evaluasi program, dan d) Mengukur kinerja program (Endah Murniningtyas, 2009). Data kemiskinan makro diperoleh dari survei sampel BPS yang berskala besar. Estimasi angka kemiskinan yang terkecil adalah pada tingkat kabupaten kota. Karena bersifat sampel maka hasil survei tersebut hanya merupakan estimasi dan tidak dapat dipakai untuk mengidentifikasi rumah tangga yang miskin, siapa namanya dan dimana alamatnya. Walaupun demikian identifikasi terhadap rumah tangga miskin dapat dilakukan dengan membedah ciri-ciri mereka. Mereka berpendidikan apa, anaknya sekolah di mana, berobat di mana, bekerja di mana, rumahnya seperti apa, tinggal di kabupaten/kota mana dan ciri-ciri lainnya. Dengan mengetahui ciri-ciri tersebut proram-program intervensi terhadapmasyarakat miskin dapat diarahkan ke sasaran yang tepat dan sesuai dengan kebuthannya. Dalam rangka penyusunan RPJM-N dan RPJM-D, analisa kondisi kemiskinan yang dipakai sebagai dasar penyusunan kebijakan adalah data makro dengan indikator-indikator yang dapat disusun dari data tersebut. Latar belakang masalah yang dikemukakan dalam RPJM Propinsi Sulawesi Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Minahasa Utara dan kabupaten Bantul umumnya data makro yang diperoleh dari BPS. Dari latar belakang masalah ini, kebijakan dan rencana pembangunan di bidang penanggulangan kemiskinan dapat disusun. Dari sisi mana atau di bidang pembangunan sektor apa, agar penduduk miskin dapat dibantu, akan dapat diketahui dari karakteristik penduduk miskin. Dengan adanya metodologi penghitungan kemiskinan yang baku secara nasional maka data makro kemiskinan mempunyai daya komparabilitas yang tinggi, 138
karena diterapkan di seluruh daerah. Angka kemiskinan di satu kabupaten/kota dapat dibandingkan dengan angka kemiskinan dikabupaten/kota yang lain. Dengan daya komparabilitas yang tinggi ini, angka kemiskinan dapat dipakai sebagai dasar penentuan alokasi pembiayaan program kemiskinan. Bahkan lebih dari itu adalah pemilihan kemiskinan sebagai salah satu komponen IPM yang menjadi faktor penentu pembagian DAU per kabupaten/kota. Data makro yang biasanya disajikan dalam tabel, gambar atau indikator yang sangat bermanfaat untuk menilai kondisi suatu kelompok penduduk di suatu wilayah. Penyajian data kemiskinan dalam bentuk tabel, gambar atau indikator secara berkala akan sangat membantu untuk memantau perkembangan kondisi penduduk miskin. Dengan cara ini, maka pada akhir suatu periode program, penggunaan data makro tersebut akan merupakan alat untuk mengevaluasi keberhasilan suatu program atau kegiatan pemerintah. Berbagai indikator kemiskinan yang telah disebutkan pada Bab sebelumnya muka, yaitu jumlah dan persentase penduduk miskin, tingkat kedalaman kemiskinan, tingkat keparahan kemiskinan, dan kontribusi konsumsi penduduk kuantil termiskin terhadap konsumsi nasional merupakan indikator yang ampuh dalam menggambarkan tingkat kemiskinan dari sisi magnitude, keparahan, variasi kemiskinan dan distibusi pendapatan. Indikator ini dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintah baik di pusat maupun daerah dalam program pengentasan kemiskinan. Lebih jauh lagi suatu analisis yang meneliti kelompok miskin yang mendapatkan manfaat dari pembangunan termasuk subsidi dan insentif akan lebih memperlihatkan kinerja program penanggulangan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian, keberadaan Susenas sebagai sumber data untuk analisis kemiskinan belum banyak dimanfaatkan oleh lembaga penelitian perguruan tinggi maupun para pengambil keputusan kebijakan sektor, sehingga beberapa permasalahan yang seharusnya tidak terjadi sebagaimana diuraikan di Bab IX. Berbagai alasan yang diduga menjadi penyebab rendahnya pemanfaatan data dan indikator kemskinan tersebut yaitu : (i)
Bagi para peneliti, terutama di perguruan tinggi, ketersediaan file data mentahnya yang besar menyulitkan pemanfaatan karena membutuhkan waktu dan kecermatan dalam pengolahan. Dari sisi dana mengolah data Susenas juga kurang menarik, karena standar biaya pendanaan penelitian di Indonesia lebih menghargai pengumpulan data ke lapangan dengan insentif biaya per diem yang lebih besar dibanding standar biaya pengolahan data.
(ii)
Belum semua data hasil Susenas dipublikasikan karena keterbatasan dana pengolahan dan publikasinya. Padahal banyak sekali data dan informasi tentang pola dasar karakteristk rumah tangga Indonesia terkandung di dalam data mentah Susenas. Keterbatasan ini, menjadi penyebab sulitnya mengetahui dan memanfaatkan data dan informasi.
(iii)
Bagi para pembuat kebijakan sektor terutama yang terkait dengan kebutuhan dasar, berbagai kepentingan seringkali menyebabkan tarik ulur antara pemangku kepentingan. Pengguna data masih tidak memandang data sebagai potret obyektif suatu keadaan, sehingga dalam memanfaatkan data juga sering 139
tidak konsisten. Sehingga, pemanfaatan data seringkali ditentukan oleh kepentingan. Kematangan wawasan untuk memahami data ini sangat penting untuk mendukung penyempurnaan data secara konsisten dalam jangka panjang. Hal lain adalah penggunaan indikator kemiskinan untuk dasar penentuan kebijakan sector lain memerlukan consensus berbagai pihak. Sebagai contoh indicator kemiskinan untuk digunakan sebagai dasar penyusunan upah minimum, harus dapat disetujui oleh paling sedikit tiga kepentingan, yaitu pihak pemerintah, serikat sekerja dan pengusaha.
10.2.
CONTOH PENGGUNAAN DATA KEMISKINAN UNTUK PENENTUAN UPAH MINIMUM
Telah diketahui bahwa penetapan upah minimum didasarkan pada kebutuhan primer buruh di dunia, termasuk di Indonesia. Upah minimum merupakan suatu tingkat upah permulaan yang diberikan oleh pengusaha sebagai imbalan kepada pekerjanya. Upah minimum ditetapkan agar upah minimum tersebut paling sedikit dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum pekerja dan keluarganya. Terdapat tiga jenis kebutuhan dasar pekerja yang pernah dan masih digunakan di Indonesia dalam penentuan upah minimum. Pada awalnya penghitungan upah minimum didasarkan pada Kebutuhan Hidup Fisik Minimum (KFM). Tidak lama kemudian terjadi perubahan karena banyaknya permintaan dari pihak-pihak yang berkepentingan seperti buruh, yang akhirnya mengubah metode penghitugan menjadi standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Tapi, penetapan upah minimum berdasarkan KHM mendapat koreksi cukup besar dari pekerja yang beranggapan, terjadi implikasi pada rendahnya daya beli dan kesejahteraan masyarakat terutama pada pekerja tingkat level bawah. Perkembangan teknologi dan sosial ekonomi yang cukup pesat menimbulkan pemikiran bahwa kebutuhan hidup pekerja berdasarkan kondisi minimum perlu diubah menjadi kebutuhan hidup layak atau KHL. KHL dapat meningkatkan produktivitas kerja dan perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas nasional.
10.2.1. PENGGUNAAN KFM SEBAGAI DASAR PENENTUAN UPAH MINIMUM Penggunaan upah minimum sebagai upah dasar bagi pekerja mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1969. Namun, baru sekitar tahun 1990-an pemerintah Indonesia secara bersemangant memberlakukan upah minimum di berbagai sektor karena berbagai tekanan internasional mengenai kondisi tenaga kerja. Melalui peraturan menteri No. Per-05/1989, upah minimum dijadikan sebagai jaring pengaman sosial untuk mencegah menurunnya upah riil, mengurangi kesenjangan upah antara upah terendah dan tertinggi, serta memperbaiki upah perkerja paling bawah. Pada awalnya pemerintah menggunakan KFM sebagai dasar dari penentuan upah minimum. KFM merupakan kebutuhan dasar pekerja yang meliputi kebutuhan pangan sebesar 2.100 kkal per hari, ditambah perumahan, pakaian, pendidikan dan sebagainya. Jika digabung semuanya, KFM akan setara dengan 3.000 kkal per hari. Sampai dengan tahun 1994, upah minimum selalu ditetapkan dibawah KFM. Selain 140
itu, serikat pekerja juga menganggap bahwa KFM dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pekerja. 10.2.2. PENGGUNAAN KHM SEBAGAI DASAR PENENTUAN UPAH MINIMUM
Pada tahun 1997, pemerintah mengubah kriteria dasar untuk penentuan upah minimum dengan penghitungan baru yaitu dengan KHM. Perubahan ini juga seiring dengan penerapan, undang-undang otonomi daerah yang memberikan kewenangan penentuan upah minimum diberikan ke pemerintahan daerah. Dalam menentukan upah minimum provinsi maupun kabupaten, pemerintah daerah menggunakan apa yang dinamakan Kebutuhan Hidup Minimum atau KHM sebagai dasar penghitungan upah minimum di Indonesia, terdiri dari 43 bahan makanan dan non-makanan yang diperkirakan dibutuhkan oleh seorang pekerja selama sebulan. Ke-43 bahan tersebut dikelompokkan menjadi empat kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok makanan yang terdiri dari 11 bahan makanan dan minuman, termasuk beras, ikan, buah-buahan, sayuran dan minuman. Kelompok kedua terdiri dari 19 bahan nonmakanan, termasuk biaya akomodasi seperti sewa rumah, tempat tidur, piring, tempat masak, sabun dan air bersih. Kelompok ketiga terdiri dari 8 bahan yang berhubungan dengan pakaian. Kelompok terakhir adalah kelompok lainnya yang tediri dari 5 item, termasuk biasa transportasi, medis, pendidikan dan rekreasi. Namun demikian, penghitungan KHM tidak menjamin akan digunakan sebagai upah minimum, karena ada faktor penentu lainnya seperti keadaan ekonomi secara umum, kondisi perusahaan dan upah minimum wilayah perbatasan. Sebagai akibat tambahan, serikat pekerja juga memiliki kekuatan untuk lebih berpartisipasi dalam penentuan upah minimum di daerah. KHM diperlukan sebagai dasar untuk menentukan upah minimum di provinsi, maupun di kabupaten. Namun, proses penentuan KHM sendiri merupakan proses yang tidak mudah. KHM didapatkan dari hasil survei yang dilakukan oleh tim dari Dewan Pengupahan Provinsi maupun Kabupaten. Dewan Pengupahan bertugas untuk memberikan usulan kepada Gubernur maupun Bupati/Walikota mengenai tingkat upah minimum di wilayah mereka pada tahun tertentu. Anggota mereka terdiri dari wakil-wakil dari pemerintah, pengusaha dan serikat pekerja, serta satu anggota independen yang biasanya berasal dari universitas terkemuka di wilayah tersebut. Tim yang ditugaskan tersebut mengumpulkan data mengenai harga komponen KHM di beberapa pasar yang telah ditentukan. Setelah nilai KHM ditentukan, dewan pengupahan kembali berkumpul untuk menentukan upah minimum. Namun demikian, karena KHM hanya merupakan salah satu kriteria penentuan upah minimum, biasanya diskusi menjadi sangat alot, khususnya diantara wakil serikat pekerja dn pengusaha, sehingga tidak jarang terjadi deadlock. Yang juga sering terjadi adalah perbedaan tingkat upah minimum di beberapa daerah. Ada daerah yang upah minimumnya di bawah KHM di wilayah yang sama. Tapi, di lain pihak, ada upah minimum yang sama atau bahkan lebih tinggi dari KHM, tergantung pada kondisi politis dan ekonomi di wilayah tersebut, serta hasil negosiasi antara berbagai pihak di dalam tubuh dewan pengupahan.
141
10.2.3. PENGGUNAAN KHL SEBAGAI DASAR UPAH MINIMUM Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 13 tentang Ketenagakerjaan, (dengan berbagai revisi), penghitungan upah minimum diubah dari berdasarkan KHM menjadi KHL atau Kebutuhan Hidup Layak. Seperti penjelasan sebelumnya, akibat perkembangan teknologi dan ekonomi yang cukup pesat, KHM sudah dianggap tidak layak lagi, sehingga harus diganti menjadi KHL. Menurut Pasal 88, Ayat 2 undangundang tersebut upah minimum ditetapkan berdasarkan total nilai standar Kehidupan Hidup Minimum (KHM) atau Kehidupan Hidup Layak (KHL). Selain itu, ayat tersebut juga menyatakan bahwa upah minimum ditetapkan di tingkat provinsi, kabupaten dan sektoral, serta disesuaikan setiap tahun. Walaupun cara pengumpulan data untuk KHL dan KHM kurang lebih sama, namun ada beberapa perbedaan antara KHL dan KHM. Salah satunya adalah bahwa KHL secara rata-rata lebih besar dari KHM sebesar 15`persen. Perbedaannya terdapat pada jumlah bahan yang digunakan sebagai perhitungan. Jika dalam penghitungan KHM terdapat 43 jenis bahan makanan dan non-makanan, maka dalam penghitungan KHL terdapat 46 bahan makanan dan non-makanan. Diperkirakan bahwa KHL sudah secara murni bisa dijadikan sebagai ukuran untuk memenuhi kebutuhan dasar pekerja lajang.
10.3.
PEMANFATAAN DATA MIKRO (PSE 2005)
Ditingkat pusat, data mikro kemiskinan digunakan sebagai dasar alokasi program subsidi beras untuk masyarakat miskin (Raskin) dan Jamkesmas. Pada program Raskin penentuan alokasi persis sama diterapkan dengan data PSE05 dan PPLS 08 karena distribusi Raskin adalah untuk rumah tangga. Permasalahan pada Raskin hanyalah, apabila Pemda setempat merasa ada RT miskin yang seharusnya masuk namun tidak termasuk kedalam daftar RTS tersebut. Dalam beberapa kasus, apabila daerah memiliki anggaran cukup, kelebihan RTS (sesuai temuan Pemda) dibiayai dengan APBD. Dalam kasus lain, apabila Pemda tidak memiliki dana, maka distribusi dilakukan secara musyawarah oleh Camat/Lurah/Kepala Desa dengan masyarakat. Langkah ini mungkin tidak menimbulkan konflik sosial, namun dapat mengurangi ketepatan targeting. Di dalam pelaksanaan program Jamkesmas yang ditujukan kepada individu, data PSE05 yang hanya berisi identitas kepala rumah tangga dan alamatnya, dikalikan dengan 4 orang, yaitu rata-rata ukuran RTS. Dengan demikian masih dilakukan pendataan oleh Depkes, yang mengakibatkan adanya kemungkinan perbedaan. Meskipun demikian dengan adanya PPLS 08 yang sudah mendata anggota RTS masalah ini dapat diatasi, sehingga tidak akan ada pendataan ulang untuk Jamkesmas. Sementara itu, untuk pelaksanaan program penanggulangan di daerah di tingkat daerah, data mikro yang berisi daftar rumah tangga miskin yang menjadi sasaran program ini diserahkan kepada pimpinan daerah yaitu Bupati/walikota atau Sekretaris Daerah. BPS sebagai pendata tidak berwenang menyebarluaskan data mikro dan Pemda-lah yang mempunyai wewenang ini. Ketidaktahuan pihak SKPD terhadap posisi BPS Daerah ini sering menimbulkan kesan seolah BPS Daerah tidak mau memberikan data kemiskinan kepada mereka. Pada kasus Sulawesi Utara, terjadi perbedaan jumlah rumah tangga miskin berisi BPS dan keluarga miskin versi SKPDKB terjadi di Kabupaten Minahasa Utara. Pemda menggunakan data dari BPS untuk 142
membagi bantuan dari pusat. Perbedaannya ditutup dengan bantuan yang dianggarkan dari APBD. Kesulitan terjadi ketika SKPD-Kesehatan akan membagikan kartu Jamkesmas kepada penduduk miskin. Dalam kegiatan PSE 2005, untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin, memang nama anggota rumah tangga tidak dikumpulkan sehingga SKPD mengadakan pendataan sendiri anggota rumah tangga miskin. Ini berarti bahwa SKPD-Kesehatan Minahasa Utara tidak memiliki informasi bahwa PSE 2005 telah diperbaharui dengan PPLS 2008 yang juga mencakup anggota rumah tangga. Pada kasus pendataan di Bantul: selain kegiatan pendataan mikro yang dilakukan oleh BPS, ada beberapa kegiatan pendataan yang dilakukan oleh SKPD di Kabupaten Bantul antara lain Pendataan Keluarga Sejahtera dan Pendataan Kemiskinan oleh BKK, Pendataan Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM) untuk mencari anak usia sekolah yang tidak sekolah di kalangan anggota masyarakat. Sementara itu ada rencana kegiatan pendataan fakir miskin yang walaupun sudah ada pembakuan instrumen beserta konsep definisinya, batal dilakukan oleh SKPD Sosial karena tidak diberi dana oleh Pemda. Begitu pula pendataan terhadap 23 jenis PMKS lainnya yang menjadi tanggung jawab SKPD Sosial. Namun demikian jika PMKS jumlahnya kecil didata secara ad-hoc. Di samping adanya berbagai jenis pendataan, Kabupaten Bantul sudah punya database kemiskinan (by name, by address) juga peta kemiskinan (hasil kerja sama dengan Bakosurtanal). Hasil pendataan keluarga miskin oleh BKK disajikan dalam bentuk SK Bupati Bantul. Dalam SK tersebut diputuskan tentang besarnya target yang hendak dicapai oleh Pemda. Di samping itu dilampirkan pula pada SK tersebut besarnya capaian yang agak ganjil angkanya. Terlihat ada penurunan riil pada tahun 2007 ke tahun 2008 yang merata antar kecamatan antara 16,63% -16,68%. Begitu pula penurunan riil tahun 2008 ke tahun 2009 berkisar antara 19,98- 20,03% dan penurunan riil tahun 2009 ke tahun 2010 (yang belum selesai terlewati) adalah sekitar 24,97 – 25,02%. Dengan melihat angka ini, ada keraguan terhadap kualitas data yang disajikan. Terlepas dari masalah kualitas data kemiskinan dari BKK, Pemda bertindak bijak dalam pemanfaatan data kemiskinan. Para pejabat Pemda menyikapi perbedaan data kemiskinan tanpa menimbulkan perdebatan. Data kemiskinan mikro dari BPS dimanfaatkan untuk membagi bantuan dari pusat, sedangkan data dari BKK untuk menentukan siapa penerima bantuan dari anggaran daerah. Dalam menentukan Jamkesmas, SKPD-Kesehatan menggunakan data keluarga miskin dari BKK karena data BPS tidak ada nama anggotanya (belum tahu kalau PSE 2005 sudah di update dengan PPLS 2008). Meskipun ini merupakan kreativitas Pemda untuk mengarahkan program dengan benar, namun adanya beberapa data kemiskinan sektoral di daerah seharusnya dihindari, agar program-program dapat dilaksanakan secara focus dan efektif menurunkan kemiskinan.
10.4
MENGUKUR KEMISKINAN MAKRO DI TINGKAT KECAMATAN
Dengan keterbatasan sampel Susenas, maka dengan menggunakan dasar data kemiskinan makro dari Susenas tidak dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan pada tingkat wilayah kecil yaitu kecamatan. Pemetaan kemiskinan ditingkat 143
kecamatan penting untuk dilakukan untuk mengetahui kantong-kantong kemiskinan dan kondisi rumah tangga/masyarakat miskin agar program-program kemiskinan dapat ditargetkan dengan tepat sasaran. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu sumber data yang dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan makro pada tingkat kecamatan adalah Sensus Penduduk dan Sensus Pertanian. Berbeda dengan sumber data yang berupa survei, maka sumber data sensus, baik Sensus Penduduk maupun Sensus Pertanian, hanya memuat variabel-variabel yang mudah dikumpulkan petugas. Namun demikian karena cakupannya yang menyeluruh, dan menjangkau seluruh pelosok wilayah Indonesia, maka data sensus dapat dimanfaatkan untuk mengukur kemiskinan makro untuk tingkat wilayah kecil, seperti kecamatan. Sebelum pendataan terhadap penduduk dalam rumah tangga pada Sensus Penduduk atau terhadap kegiatan pertanian anggota rumah tangga pada Sensus Pertanian, ada kegiatan pendaftaran rumah tangga yang sekaligus menengarai tempat tinggal penduduk atau para petani. Keterangan yang diperoleh dalam kegiatan pendaftaran inilah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber data untuk mengukur kemiskinan pada wilayah kecil secara makro. Kedua sumber data ini digunakan dengan terlebih dahulu memilih atau membuat model pengukuran yang sesuai dengan jenis variabel yang dikumpulkan dalam listing rumah tangga. Model tersebut biasanya dibuat berdasarkan sumber data yang memang disiapkan untuk mengukur kemiskinan seperti Susenas, namun pada skala yang lebih kecil.
10.4.1. PENGGUNAAN DATA SENSUS PENDUDUK SEBAGAI PROXY TINGKAT KEMISKINAN DI KECAMATAN Untuk membuat estimasi tentang kemiskinan tingkat kecamatan, pada tahun 2003 Tim Peta Kemiskinan (TPK) dari BPS bersama dengan Bank Dunia dan SMERU, telah memanfaatkan model konsumsi yang diciptakan pada tahun 2001 oleh Elbers, Lanjouw dan Lanjouw (Dedi Walujadi, 2007). Dengan model konsumsi ini dapat disusun peta kemiskinan kecamatan di seluruh wilayah dengan karakteristik antara lain head count, indeks Atkinson, dan Gini rasio. Pada intinya, model konsumsi yang digunakan menganut faham bahwa konsumsi per kapita rumah tangga di suatu desa dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga itu sendiri dan faktor lingkungan termasuk karakteristik desa. Model yang mendasarkan pada asumsi, bahwa tingkah laku penduduk dipengaruhi oleh karakteristik diri dan lingkungannya, juga umum diterapkan di berbagai di bidang lain, seperti tingkah laku fertilitas yang diusulkan oleh Davis dan Blake (dalam Surbakti, 1983). Dari Susenas yang mengumpulkan data kemiskinan rumah tangga secara sampel dan data Potensi Desa (Podes) yang mengumpulkan karakteristik desa pada waktu yang hampir bersamaan dengan penyelenggaraan Susenas, disusun suatu model: Kemiskinan (yang di”estimasi” dengan konsumsi) = Fungsi dari karakteristik kepala rumah tangga dan karakteristik dari desa atau dengan rumus ( Ebers, Lanjouw dan Lanjouw), sebagai berikut: ln yvh = xvh ß + u vh
(1)
144
di mana, ln yvh adalah log konsumsi per kapita rumah tangga h di desa v, xvh adalah suatu vektor karakteristik-karakteristik yang diobservasi di rumah tangga tersebut (termasuk peubah tingkat desa), dan u vh sebagai error term. Perlu diperhatikan bahwa karena uvh tidak memiliki korelasi dengan xvh maka model tersebut disederhanakan dengan menggunakan linear approximation dan memecah uvh menjadi peubah yang tidak berkorelasi, sebagai berikut: uvh = η v + εvh,
(2)
di mana, ηv adalah error tingkat desa yang sama pada semua rumah tangga di dalam satu desa, εvh adalah error tertentu suatu rumah tangga. Dengan asumsi tidak ada korelasi ηv antar-desa dan tidak ada korelasi ε vh anta-rumahtangga, maka persamaan dapat disederhanakan menjadi: ln yvh ß = xvh + η v + εvh
(3)
Peralatan baku analisis ekonometrik kemudian dilakukan untuk mendapat estimasi parameter β dan error Data dari tiga sumber data digunakan untuk menyusun model konsumsi, untuk Indonesia adalah: a. Modul Konsumsi Susenas 1999, yang mengumpulkan data tentang konsumsi rumah tangga yang merupakan variabel untuk menentukan miskin tidaknya rumah tangga, b. Kor Susenas 1999, yang mengumpulkan data tentang karakteristik kepala rumah tangga, serta kualitas dan fasilitas perumahan rumah tangga, c. Podes 1999, yang mengumpulkan data tentang karakteristik desa atau lingkungan lokasi rumah tangga yang terpilih dalam Susenas 1999 tersebut tinggal/berdomisili. Banyaknya unit atau kasus yang digunakan untuk menyusun model adalah sekitar 65 000 rumah tangga, sesuai dengan jumlah sampel rumah tangga yang terpilih dalam Modul Konsumsi Susenas 1999. File data yang disusun untuk menyusun model dibuat berdasarkan satu variabel konsumsi sebagai variabel tidak bebas, kemudian variabel-variabel rumah tangga yang sama dari Kor Susenas 1999, dan baru kemudian variabel desa. Banyaknya desa yang digunakan untuk menyusun model adalah sebanyak desa di mana rumah tangga yang terpilih dalam Susenas 1999 tersebut berdiam/tinggal/berdomisili. Karakteristik desa yang terpilih kemudian ditempelkan pada file rumah tangga yang tinggalnya sesuai nama desanya.
145
Pemilihan terhadap variabel dari Kor Susenas disesuaikan dengan variabelvariabel yang ada di Sensus Penduduk 2000. Hal ini dilakukan agar setelah model selesai dibuat, rumus dapat dimanfaatkan untuk mengestimasi konsumsi atau kemiskinan. Caranya adalah dengan menerapkan rumus pada rumah tangga-rumah tangga di seluruh Indonesia yang dicakup dalam Sensus Penduduk 2000. Kaitan yang ditunjukkan dengan model kemiskinan, dianggap sama dengan kaitan antara variabel dalam Sensus Penduduk 2000 dan Podes 1999 dengan variabel konsumsi yang akan diprediksi. Berikut adalah angka prediksi persentase penduduk miskin per kecamatan dari Peta Kemiskinan tahun 2003 (Tabel 10.1). Tabel 10.1 Persentase Penduduk Miskin Propinsi Sulawesi Selatan dan Barat di Lima Kabupaten Terpilih, Tahun 2000 menurut Model
Kode
[1]
Jumlah Jumlah Persentase Jumlah Kabupaten/ Rumah Penduduk Penduduk Kecamatan/Propinsi tangga Penduduk Miskin Miskin (Po)
Batas Bawah
Batas Atas
[7]
[8]
[2] Sulawesi Selatan Bantaeng
[3]
[4]
[5]
36 127
158 418
34 119
21.5
18.3
24.8
7303010
Bissappu
10 464
46 950
14 471
30.8
25.1
36.5
7303020
Bantaeng
10 993
50 822
11 068
21.8
16.0
27.5
7303030
Tompobulu
14 670
60 646
8 581
14.1
10.2
18.1
Takalar
51 033
229 592
49 970
21.8
19.0
24.5
73 7303
7305
[6]
Interval P0 (%), α=10%
7305010
Mangara Bombang
7 210
32 270
8 009
24.8
18.0
31.6
7305020
Mappakasunggu
5 152
24 983
5 793
23.2
15.2
31.2
7305030
Polobangkeng Selatan
10 372
45 437
6 394
14.1
8.8
19.4
7305040
Polobangkeng Utara
10 557
45 263
8 759
19.4
14.2
24.5
7305050
Galesong Selatan
9 365
43 124
6 483
15.0
10.0
20.1
7305060
Galesong Utara
7311
Bone
8 377
38 515
14 533
37.7
29.0
46.5
142 981
647 099
150 693
23.3
21.4
25.1
7311010
Bontocani
3 213
14 336
4 378
30.5
22.9
38.2
7311020
Kahu
7 827
33 866
9 840
29.1
22.4
35.7
7311030
Kajuara
6 230
30 040
5 476
18.2
13.8
22.7
7311040
Salomekko
2 837
13 476
3 668
27.2
18.8
35.6
7311050
Tonra
2 353
10 831
1 781
16.4
11.5
21.4
7311060
Patimpeng
3 039
13 439
5 651
42.0
34.2
49.9
7311070
Libureng
6 513
27 103
5 600
20.7
15.9
25.4
7311080
Mare
4 548
21 226
3 606
17.0
12.2
21.8
7311090
Sibulue
6 185
28 752
8 965
31.2
24.9
37.4
7311100
Cina
5 116
22 776
6 588
28.9
21.8
36.0
7311110
Barebbo
5 093
23 375
2 957
12.7
9.0
16.3
7311120 7311130 7311140
Ponre Lappariaja Lamuru
2 499 4 813 8 014
11 406 21 504 35 380
7311150
Bengo
5 304
24 590
3 286 6 680 13 414 7 969
28.8 31.1 37.9
21.9 23.4 32.5
35.8 38.7 43.3
32.4
24.4
40.4
146
7311160
Ulaweng
5 305
24 686
4 222
17.1
12.2
22.0
7311170
Palakka
5 108
20 637
4 158
20.2
13.3
27.0
7311180
Awangpone
5 828
26 492
5 810
21.9
17.5
26.3
7311190
Tellu Siattinge
8 764
38 778
5 075
13.1
9.0
17.2
7311200
Amali
4 744
20 881
4 519
21.6
16.9
26.4
7311210
Ajangale
5 969
26 559
3 396
12.8
8.1
17.4
7311220
Dua Boccoe
6 802
29 925
7 245
24.2
20.1
28.3
7311230
Cenrana
4 399
21 176
6 764
31.9
26.8
37.1
7311710
Tanete Riattang Barat
7 094
32 519
6 497
20.0
12.0
28.0
7311720
Tanete Riattang
8 568
39 683
3 603
9.1
5.7
12.5
7311730
Tanete Riattang Timur
6 816
33 663
9 546
28.4
19.9
36.9
76
Sulawesi Barat
7319 7319010 7319020 7319030 7319040 7319050 7319060 7319070 7319080 7319090 7321 7321010 7321020 7321030 7321040 7321050
Polewali Mamasa Tinambung Tutallu Campalagian Wonomulyo Polewali Sumarorong Pana Mamasa Mambi Mamuju Tapalang Mamuju Kalukku Kalumpang Budong-Budong
99 362 12 810 5 704 14 937 21 659 17 742 4 492 3 681 8 817 9 520 67 604 4 183 9 911 16 271 3 882 15 614
446 227 57 815 25 244 67 786 94 072 83 498 19 485 16 922 38 586 42 819 296 169 19 478 46 144 71 664 17 890 67 629
115 113 15 662 8 148 18 021 22 080 17 828 4 720 5 586 13 864 9 205 86 171 3 640 9 200 19 188 6 536 21 253
25.8 27.1 32.3 26.6 23.5 21.4 24.2 33.0 35.9 21.5 29.1 18.7 19.9 26.8 36.5 31.4
23.5 21.3 23.0 21.1 20.0 16.5 17.4 25.3 30.5 16.8 26.3 12.3 12.0 22.1 29.2 27.1
28.1 32.8 41.6 32.1 27.0 26.2 31.1 40.7 41.4 26.2 31.9 25.1 27.9 31.4 43.8 35.7
7321060
Pasangkayu
17 743
73 364
26 353
35.9
30.2
41.7
Sumber: Dedy Walujadi (2007)
Pada tahun 2010 BPS merencanakan untuk melaksanakan Sensus Penduduk. Dua kegiatan besar untuk mendukung Sensus ini, sudah dilaksanakan, yaitu Podes tahun 2008 dan Pemetaan wilayah pencacahan 2009. Keterangan yang dikumpulkan dalam Podes 1999 untuk menyusun Model Konsumsi juga dikumpulkan dalam Podes 2008. Keterangan yang dikumpulkan dalam Sensus Penduduk 2010 lebih lengkap dibanding Sensus Penduduk 2000 karena dimaksudkan untuk juga memantau pencapaian MDGs. Direncanakan jumlah pertanyaan pokok ada sekitar 40 buah, sebagaimana diuraikan dalam Tabel 10.2. Di dalam Sensus Penduduk ini juga akan didata dengan nama dan alamat, sehingga akan dapat menjadi data dasar untuk masyarakat miskin, data untuk perlidungan sosial secara umum yang dapat mencakup lansia, penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), dan lain lain.
147
Tabel 10.2. Pertanyaan Pokok SP 2010 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Identitas Wilayah Susunan Anggota Rumah tangga (ART) Alamat Lengkap ART Jenis Kelamin Tanggal Lahir Hubungan dengan Kepala Rumah Tangga 7. Nama Ibu kandung 8. Nomor urut ibu kandung 9. Status Perkawinan 10.Tempat Lahir (sampai kabupaten/Kota) 11.Agama 12.Kesulitan Melihat 13.Kesulitan berjalan 14.Kewarganegaraan 15.Suku Bangsa 16.Tempat Tinggal 2 tahun yang lalu 17.Bahasa Sehari-hari yang digunakan 18.Kemampuan berbahasa Indonesia 19.Status Sekolah 20.Ijazah Tertinggi yang dimiliki
21. Kemampuan Baca Tulis 22. Kegiatan Seminggu Yang lalu 23. Lapangan Usaha 24. Status Pekerjaan 25. Anak lahir Hidup 26. Anak Masih Hidup 27. Kelahiran Sejak Januari 2006 28. Kematian Sejak Januari 2006 29. Jenis Kelamin dan Umur Yang Meninggal 30. Kematian Ibu 31. Luas lantai 32. Jenis Lantai 33. Fasilitas Penerangan 34. Fasilitas Sumber Air Minum 35. Bahan Bakar Untuk Masak 36. Fasilitas Sanitasi 37. Kepemilikan Telepon 38. Penggunaan Internet 39. Status Pemilikan Rumah 40. Sertifikat Tanah
10.4.2. SENSUS PERTANIAN SEBAGAI PROXY PENGUKURAN KEMISKINAN
Sebagaimana proses diatas, analogi yang sama dapat diterapkan pada Sensus Pertanian untuk memperkirakan tingkat kemiskinan di sektor pertanian. Keterangan utama yang dapat digunakan untuk membuat estimasi petani miskin adalah tentang penguasaan lahan dan jenis tanaman yang diusahakan petani yang diperoleh dari kegiatan pendaftaran rumah tangga (Suharyanto, 2007). Keterangan tentang penguasaan lahan ditanyakan kepada seluruh daerah pedesaan dan daerah perkotaan yang berpotensi pertanian begitu pula jenis tanaman yang diusahakan. Untuk petani tanaman pangan, ditentukan batas penguasaan luas lahan kurang dari setengah hektar untuk dikategorikan sebagai petani miskin. Estimasi tentang kemiskinan petani ini dapat disajikan paling tidak sampai tingkat kecamatan. Selanjutnya Suharyanto (2007) menambahkan bahwa keterangan lain yang dapat dimanfaatkan sebagai tolok ukur kemiskinan petani adalah keterangan tentang kondisi sosial ekonomi petani yang diperoleh dari pendataan sampel rumah tangga usaha pertanian, antara lain subsektor pertanian (petani palawija, hortikultura, perkebunan, dan peternakan). Ada delapan variabel tentang kualitas kepala rumah tangga yang diukur, yaitu: (i) pendidikan yang ditamatkan dan tentang kualitas rumah tempat tinggal yang diukur dengan tujuh variabel sisanya, yaitu: (ii) fasilitas sumber air minum,(iii) fasilitas bahan bakar untuk masak, (iv) jenis dinding terluas,(v) 148
fasilitas jamban,(vi) jenis lantai terluas,(vii) luas lantai per kapita, dan (viii) fasilitas penerangan. Dari delapan variabel tersebut kemudian dapat disusun indikator komposit dengan klasifikasi sebagai berikut. Tabel 10.3. Jenis Variabel, Klasifikasi dan Skor yang Digunakan dalam Penentuan Kemiskinan No. 1.
3
Variabel Fasilitas umber air minum Fasilitas bahan bakar untuk masak Jenis dinding terluas
4
Fasilitas jamban
5
Jenis lantai terluas
6
Luas lantai per kapita
7
Fasilitas penerangan
2.
8
Pendidikan yang ditamatkan Sumber: Suharyanto (2007)
Klasifikasi Air kemasan, leding, pompa, sumur Mata air, air sungai, air hujan Listrik, gas, minyak tanah Arang, kayu, lainnya Tembok, kayu Bambu, lainnya Sendiri, bersama Umum, tidak ada Tanah Bukan tanah >8m2 =< 8 m2 Listrik Bukan listrik Di atas SD SD ke bawah
Skor 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1
Dengan memakai model distribusi yang dimiliki Susenas, diperoleh tiga kelompok kemiskinan dari indikator komposit tersebut: tidak miskin, hampir miskin, dan miskin. Sebagai contoh hasil pengolahan terhadap data Sensus Pertanian Tahun 2004 adalah sebagai berikut. Tabel 10.4. Persentase Petani Miskin Menurut Subsektor Pertanian, Tahun 2004 Wilayah Palawija Sulawesi Selatan 26,66 Indonesia 24,29 Sumber: Suharyanto (2007)
10.5.
Hortikultura 17,75 19,45
MENGUKUR KEMISKINAN PADA PEMDA
Perkebunan 18,16 22,55
Peternakan 17,30 21,24
TINGKAT LOKAL OLEH
Sebagai upaya diatas mengukur kemiskinan mikro tingkat lokal (kecamatan) dilakukan hampir oleh setiap Pemda pada tingkat kabupaten/kota. Pemda umumnya mewarisi pendataan Keluarga Sejahtera (data KB) yang dapat digunakan untuk menjadi proksi indikator kemiskinan. Pendataan Keluarga mencakup kegiatan: (i) pengumpulan data demografi (31 variabel); (ii) kesertaan berKB (11 variabel); (iii) 149
pentahapan keluarga (26 variabel); dan (iv) pendataan individu (11 variabel). Data pentahapan keluarga inilah yang akhirnya dipakai sebagai proxy data kemiskinan. Pentahapan keluarga sejahtera adalah perkembangan keluarga dilihat dari segi tahapan pencapaian tingkat kesejahteraan keluarga. Dua tahapan yang paling rendah, yaitu keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera tahap satu merupakan kelompok keluarga yang digolongkan sebagai miskin. Pendataan kemiskinan lain pada tingkat mikro berbasis masyarakat yang telah dikembangkan di Kabupaten Polman. Pendataan ini berawal dari kegiatan Sistem Informasi Pendidikan Berbasis Masyarakat (SIPBM) yang dikembangkan oleh Unicef dan Depdiknas dalam rangka mengumpulkan informasi sederhana tentang kegiatan penduduk terutama usia sekolah. SIPBM ini kemudian diperluas oleh Unicef dan Kecamatan Binuang untuk mengumpulkan informasi tentang kemiskinan. Kegiatan di Binuang ini dinilai berhasil dan sekarang dikembangkan dan diintegrasikan dengan pengumpulan data MDGs secara sensus di seluruh Kabupaten Polman dengan nama Pemutakhiran Data Kemiskinan Berbasis Masyarakat (PDKBM) –MDGs. Kelompok variabel yang digunakan untuk menentukan indikator kemiskinan utama mencakup makanan pokok yang terdiri dari: frekuensi makan dan jenis makanan, kemudian tempat tinggal yang terdiri dari bahan atap, bahan lantai, dan kondisi tiang. Disamping variabel di atas dikumpulkan pula data tentang variabel untuk mengukur indikator pembanding kemiskinan, yaitu: pekerjaan utama kepala keluarga penggarap lahan/nelayan tradisional/pekerjaan tidak tetap, kepemilikan rumah, kesehatan, pendidikan anak, dan pekerja anak. Pengukuran variabel kemiskinan adalah sebagai berikut: a.
Indikator Utama i. Pada umumnya anggota keluarga makan nasi kurang dari dua kali sehari (skor= 4) ii. Pada umumnya anggota keluarga makan tanpa lauk pauk setiap hari (skor = 4) iii. Bagian terluas atap terbuat dari rumbia (skor = 3) iv. Bagian terluas lantai sudah lapuk atau lantai tanah (skor = 3) v. Bagian terluas dinding atau tiang kayunya sudah lapuk atau kayu gamacca (skor = 3) Sebuah keluarga dikelompokkan miskin bila jumlah skor dari kelompok variabel di atas sama dengan 7 atau lebih.
b.
Indikator pembanding i. Penggarap lahan orang lain berupa sawah kurang dari 50 are atau kebun kurang dari 60 are (skor = 4) ii. Nelayan tradisional perahu dayungsampan atau sawi (skor = 4) iii. Pappalele (pedagang eceran) ikan (skor = 4) iv. Pekerjaan tidak tetap (skor = 4)
Fungsi indikator pembanding adalah: (i) Sebagai tambahan penjelasan terhadap karakteristik keluarga; (ii) Menjadi pembanding bagi keluarga yang masuk kategori miskin pada indikator utama; (iii) Untuk menjadi acuan pembanding dalam konfirmai 150
data desa. Bila nilai indikator utama sebuah keluarga termasuk kriteria miskin maka akan dilihat indikator pembandingnya. Kriteria akan diterima bila dikuatkan oleh indikator pembanding yang nilainya di atas 11. Berbagai variasi pendataan tersebut menunjukkan perlunya “rekonsiliasi” terhadap beberapa Survey dan Sensus yang dilakukan BPS. Sebetulnya, dengan adanya data PSE 2005 dan PPLS 2008 yang menunjuk nama dan alamat, maka dapat dipetakan densitas rumah tangga dan masyarakat miskin dalam suatu desa atau kecamatan. Praktek ini sudah dilakukan oleh Bappenas dalam rangka mengetahui densitas masyarakat miskin di setiap kecamatan untuk menghitung dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Sehubungan dengan itu, dengan adanya pendataan PSE 2005 yang dimutakhirkan oleh PPLS 2008, perlu dikaji lebih lanjut, apakah penyusunan peta kemiskinan tingkat kecamatan “valid” disusun dengan menggunakan data PPLS 08, yang sudah merujuk nama dan alamat “seluruh” masyarakat miskin. Apabila tidak, maka Susenas perlu dilengkapi dengan data PPLS08, agar dapat menjadi satu-satunya basis data untuk kemiskinan makro dan mikro, pusat dan daerah sampai dengan kecamatan.
151
BAB XI. PENYEMPURNAAN PENDATAAN KEMISKINAN KE DEPAN
Sejalan dengan uraian pada Bab-bab sebelumnya, keberadaan dan keterkaitan data makro dan data mikro kemiskinan sudah semakin jelas. Data makro yang berasal dari Susenas sangat penting untuk mengetahui pola pengeluaran rumah tangga Indonesia. Dengan demikian, dengan data ini dapat dilakukan berbagai analisa untuk mengetahui perubahan perkembangan ekonomi terhadap perkembangan kehidupan rata-rata rumah tangga Indonesia. Sementara data makro tidak dapat menunjukkan identitas orang miskin, maka untuk itu dibutuhkan pula keberadaan data mikro sehingga program-program yang ditujukan kepada masyarakat miskin dapat disalurkan dengan tepat dan dipantau manfaatnya dari satu periode ke periode tertentu. Dengan demikian, jelas bahwa keberadaan kedua data tersebut sama-sama dibutuhkan dan saling melengkapi untuk membantu masyarakat miskin dengan lebih baik. Meskipun demikian, dari uraian di Bab-bab sebelumnya masih terdapat berbagai kelemahan pada kedua data kemiskinan tersebut, maka berbagai penyempurnaan pada masing-masing data tersebut perlu terus dilakukan. Berikut ini adalah langkah-langkah untuk dapat menyempurnakan data kemiskinan sehingga pengenalan kita terhadap masyarakat miskin dan kebijakan pemerintah untuk membantu mengentaskan kemiskinan dapat dilakukan dengan lebih baik.
11.1.
PEMANFAATAN DAN PENYEMPURNAAN DATA MAKRO
Peningkatan kualitas data dilakukan untuk meningkatkan akurasi data dalam menjelaskan kondisi (memotret) kemiskinan yang terjadi di masyarakat. Untuk dapat meningkatkan akurasi data, maka data yang sudah dihasilkan perlu untuk dimanfaatkan secara maksimal sehingga akan dapat diperoleh masukan-masukan yang dipelajari dari permasalahan yang dihadapi pada saat pemanfaatan data. Hanya dengan memanfaatkan data dan infomasi yang terkandung di dalamnyalah maka titik lemah data yang tersedia dapat terus disempurnakan. Sehubungan dengan itu berikut akan dibahas langkah-langkah pemanfaatan dan penyempurnaan yang dapat dilakukan ke depan.
11.1.1. PEMANFATAAN HASIL SUSENAS DAN DATA MAKRO KEMISKINAN
Sampai dengan saat ini hasil Susenas masih dimanfaatkan hanya untuk menghitung garis kemiskinan dan menentukan jumlah masyarakat di bawah garis kemiskinan. Padahal infomasi yang terkandung di dalam Susenas menggambarkan perilaku rumah tangga Indonesia. Berbagai pemanfaatan data makro kemiskinan adalah: a.
Mengetahui perbedaan pola pengeluaran antar kuintel, agar dapat dipelajari perkembangan konsumsi masyarakat dengan perkembangan (pertumbuhan 152
b.
c.
d.
ekonomi) pada setiap sektor. Dengan mengetahui keterhubungan ini maka pemerintah akan dapat melakukan intervensi kebijakan pada variabel yang dapat meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan pendapatan/pengeluaran masyarakat miskin. Jumlah masyarakat miskin dapat dianalisa dan dihubungkan dengan perkembangan ekonomi seperti: ketenagakerjaan untuk melihat sejauh mana perkembangan penyerapan tenaga kerja berkaitan dengan penurunan jumlah masyarakat miskin; pertumbuhan ekonomi antara sektor-sektor dengan kemiskinan. Dengan mengetahui keterhubungan ini dapat diidentifikasi faktorfaktor yang berpengaruh pada penurunan kemiskinan dan mengadakan intervensi kebijakan pada faktor tersebut agar kemiskinan secara efektif dapat diturunkan. Perkembangan pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat secara umum untuk dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar untuk masyarakat miskin. Dengan cara ini maka kita dapat mengetahui tingkat, gap antar kuintel, gap antar wilayah, gap antar jender. Dengan demikian, tanggung jawab pembangunan di setiap bidang tidak saja untuk meningkatkan status kualitas hidup manusia secara umum, namun yang lebih penting adalah menutup atau menurunkan gap yang terjadi antar kelompok masyarakat. Dengan berbagai pengolahan, dari data Susenas dapat dianalisa untuk mengetahui informasi kemiskinan dan kesenjangan, jender dalam kemiskinan, perlindungan sosial, termasuk aspek-aspek pemenuhan kebutuhan dasar terutama adalah kesehatan dan pendidikan (lihat 10.1.2. butir 4.a di bawah).
11.1.2. PENYEMPURNAAN DATA MAKRO KEMISKINAN Data makro kemiskinan menentukan jumlah masyarakat miskin didasarkan pada garis kemiskinan. Dengan demikian, cara penentuan dan nilai garis kemiskinan ini menjadi sangat penting dan menentukan kualitas data yang dihasilkan. Berkaitan dengan itu beberapa langkah penyempurnaan yang perlu terus dilakukan adalah: 1).
Konsep
a. Penentuan Sampel dan Besarannya. Cara penentuan sampel dan besarannya sangat penting untuk terus disesuaikan dengan dinamika yang ada, sehingga sampel yang dipilih dapat mewakili gambaran situasi dan kondisi yang ingin di”potret” memalui survey yang dilakukan dan hasil pendataan yang disajikan. Skala sampel juga perlu terus dikembangkan secara nasional untuk dapat memiliki sampel yang dapat menggambarkan kondisi di tingkat kabupaten/kota. Penggunaan data pada tingkat lebih rendah seperti kabupaten/kota selain sesuai keragaman kemiskinan yang semakin meningkat juga sejalan dengan tuntutan desentralisasi, dimana dengan adanya desentralisasi pembangunan maka Pemda memerlukan data dan informasi daerahnya masing-masing untuk membangun dan memberikan pelayanan kepada masyarakatnya terutama masyarakat miskin dengan lebih akurat dan tepat. Tuntutan ini memerlukan data yang detil dan akurat sehingga kebijakan lokal dan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
153
b. Pola konsumsi dan komoditas yang dimasukkan dalam perhitungan garis kemiskinan. Pola konsumsi dan komoditas juga perlu disesuaikan secara periodik, mengingat pola konsumsi berubah dari waktu ke waktu, yang akan berpengaruh terhadap jenis dan komposisi komoditas yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat. Penentuan perubahan pola konsumsi yang akan berpengaruh pada komposisi komoditas yang digunakan dalam perhitungan garis kemiskinan ini perlu didasarkan pada Kajian mengenai Pola Konsumsi secara periodik, sehingga dapat dilihat secara tepat perubahan pola konsumsi yang ada dan dampaknya pada metoda perhitungan garis kemiskinan. Dengan demikian, perhitungan garis kemiskinan akan selalu disesuaikan dengan standar minimum kebutuhan masyarakat yang tercermin pada garis kemiskinan, dan secara relatif akan sejalan dengan perubahan pola konsumsi masyarakat pada umumnya. c. Definisi rumah tangga atau keluarga. Permasalahan ini menjadi perhatian pada saat data RTS akan digunakan untuk mendistribusikan program bantuan social yang ditujukan kepada keluarga dan anggotanya. Data RTS adalah daftar rumah tangga yang berada dalam satu naungan rumah dan menggunakan :satu dapur”. Dalam kondisi nyata, satu RTS dapat terdiri dari 2-3 keluarga inti (keluarga) sehingga terdapat bantuan yang tidak mencukupi, atau sebaliknya bantuan yang ada (misalnya Jamkesmas) dengan menggunakan data yang ada tidak dapat sampai kepada keluarga yang membutuhkan. Menghadapi kondisi ini, maka data RTS kurang cukup memadai untuk menjadi satu-satunya dasar pendataan untuk bantuan sosial. Namun data tersebut belum mencerminkan keadaan nyata di lapangan. Dengan akan dikembangkannya bantuan social berbasis keluarga dalam RPJM 2010-2014 maka pendataan PPLS perlu memperhatikan hal ini dan perlu dikembangkan sampai tingkat keluarga. d. Perumahan resmi atau rumah liar. Masalah ini sering muncul, dengan semakin banyaknya urbanisasi dan migrasi penduduk antar wilayah, yang tidak memiliki identitas (KTP) lokal. Padahal kelompok masyarakat inilah yang seringkali justru memiliki kondisi yang sesuai dengan kriteria penduduk miskin. Meskipun masalah ini pada umumnya dihadapi di daerah perkotaan, namun seiring dengan meningkatnya jumlah masyarakat perkotaan atau daerah perdesaan yang menjadi daerah perkotaan, yang sejalan pula dengan meningkatnya kemiskinan di perkotaan, maka isu ini perlu mendapat pemecahan bersama. Tidak tertutup kemungkinan bahwa masyarakat yang berpindah tersebut sudah “hilang dari data kemiskinan” di daerah asalnya, namun di daerah yang didatangi karena tidak memiliki identitas resmi, maka mereka tidak tercatat, dan dapat menjadi hidden population. Sebagai akibatnya, jumlah RTS atau masyarakat miskin menurun, namun penurunan ini semu karena hanya terjadi pada data dan bukan kondisi masyarakat riil. 2).
Pelaksanaan
a. Kualitas mitra survey. Disadari bahwa pelaksanaan survey yang melibatkan sampel yang sangat besar, memerlukan BPS untuk bekerjasama dengan mitra kerja di daerah-daerah. Penentuan jumlah dan kualitas mitra kerja sudah dilakukan dengan mekanisme pemilihan dan pelatihan mitra kerja. Meskipun demikian, b. Mengikutsertakan Pemda. Mengingat Pemda sudah sangat sadar akan kegunanan data, demikian, pula perguruan tinggi di daerah, maka dalam persiapan 154
pelaksanaan pendataan atau survey, ada baiknya mengiutseratakan mereka di dalam disuksi rencana dan juga pelatihan mitra kerja. Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan tantangan yang muncul seperti adanya keinginan untuk emnambah criteria lokal dll, namun proses ini dinilai dapat menyadarkan semua pihak tentang perlunya pendataan yang obyektif dan independen terhadap kepetingan. c. Pemilik rumah atau penunggu rumah. Dalam pelaksanaan, perlu ditekankan pembedaan ini, mengingat seringkali terjadi klaim bahwa pendata salah mengartikan antara penduduk dan pemilik rumah dengan penunggu rumah, yang banyak terjadi di berbagai tempat. Masalah menjadi relative sederhana pada saat penunggu rumah masih memiliki domisili yang sama, namun masalah akan timbul apabila penunggu rumah berdomisili di daerah lain, dan di daerah tersebut, keluarganya luput dari pendataan di lokasi yang bersangkutan. Adanya berbagai data penduduk yang belum terintegrasi memungkinkan hal ini terjadi. Namun diharapkan dengan adanya Sensus Penduduk tahun 2010 yang akan mendata penduduk dengan anma dan alamat, maka solusi ini dapat dicarikan jalan keluar. 3).
Metoda Penghitungan
a. Komposisi komoditas (basket) konsumsi pangan dan non pangan. Komposisi komoditas dalam perhitungan garis kemiskinan ini berkaitan dengan konsep pola konsumsi yang digunakan di dalam konsep survey Susenas. Dalam jangka pendek perubahan dalam metoda perhitungan perlu terus disesuaikan, namun dalam jangka menengah perlu dilakukan penyesuaian dalam konsep survey untuk menyesuaikan pola konsumsi masyarakat yang sudah berubah. b. Pembobotan. Selain komposisi komoditas, pembobotan antar komoditas dalam suatu paket juga perlu disesuaikan keadaan suatu wilayah sesuai dengan pola dan perilaku konsumsi maupun budaya. c. Pola konsumsi pangan yang berubah. Ukuran konsumsi energi yang selama ini diukur dengan 2.100 kkal/kapita/hari digunakan untuk rata-rata penduduk Indonesia. Ketepatan perlu dipertimbangkan karena di dalam kelompok masyarakat terdapat balita, anak-anak dan lansia yang kemungkinan mengkonsumsi kalori yang berbeda. Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah dengan semakin meningkatkan kesadaran gizi, maka keseimbangan gizi merupakan persyaratan lain dari hanya sekedar konsumsi dalam bentuk energi. Dengan meningkatkan kualitas kehidupan, konsumsi protein merupakan hal penting untuk peningkatan kualitas SDM. Komposisi pangan yang baik biasanya dicerminkan pada keseimbangan antara karbohidrat, protein dan vitamin yang kesemuanya tercermin pada Pola Pangan Harapan (PPH). Untuk itu, selain adult equivalent, perlu dipikirkan pula ukuran asupan pangan dalam garis kemiskinan selain hanya energy, namun protein dan sumber bahan pangan lainnya. 4).
Penyajian/publikasi untuk memperluas dan meningkatkan pemanfaatan
a. Memperluas penyajian data dan informasi yang tersedia di Susenas. Selama ini pengguna data Susenas, terutama raw data yang mengandung banyak informasi tentang karakteristik konsumsi rumah tangga Indonesia masih terbatas. Hanya ada beberapa institusi yang memiliki kemampuan (teknis, dana, dan waktu) 155
untuk memanfaatkan keseluruhan informasi (yang umumnya tidak dipublikasikan oleh BPS) dalam Susenas untuk analisa kebijakan, perencanaan dan evaluasi kebijakan penanggulangan kemiskinan. Tentu saja dengan adanya keterbatasan pemanfaatan ini merupakan suatu kerugian. Kerugian pertama adalah Susenas yang dirancang dengan metodologi bagus, dan diolah dengan metoda yang selalu disempurnakan ternyata tidak dimanfaatkan secara optima. Kerugian kedua, banyak informasi yang terkandung dalam Susenas diabaikan dalam penyusunan rencana dan evaluasi penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian, diskusi dan perdebatan mengenai kemiskinan hanya didasarkan pada data dan informasi yang sangat terbatas. Ketiga, dengan pemanfaatan yang terbatas,maka feedback terhadap penyempurnaan Susenas juga tidak optimal, sehingga penyempurnaan Susenas menjadi langkah yang mungkin tidak diperlukan, atau penyempurnaan adalah penghamburan sumberdaya. Sehubungan dengan itu, sebagai langkah awal dapat digunakan modul pengolahan yang dapat mengolah data mentah kemiskinan secara cepat, sehingga pemanfaatan lebih optimal. Hasil pengolahan ini dapat dengan cepat disebarluaskan, sehingga sumberdaya tidak akan terbuang banyak hanya untuk melakukan penghitungan dan lebih terfokus pada pemanfataan informasi yang terkandung di dalamnya untuk analisa kebijakan penanggulangan kemiskinan. Salah satu contoh modul pengolahan adalah program ADEPT9 yang dikembangkan oleh Bank Dunia untuk membantu Negara-negara secara cepat memanfaatkan data kemiskinan. Program ADEPT dapat menyajikan indicator dan informasi untuk Kemiskinan dan Kesenjangan, Perlidungan Sosial; Ketenagakerjaan; Jender; Kesehatan dan Pendidikan b. Menempatkan data kemiskinan makro di TKPKD dan Bappeda untuk dimanfaatkan sebagai data dasar untuk penyusunan perencanaan pembangunan di daerah khususnya untuk penanggulangan kemiskinan. c. Memperluas pemanfaatan data ke lembaga penelitian dan perguruan tinggi terutama di daerah. d. Menggabungkan dengan data bidang lain di daerah untuk melengkapi pengetahuan dan pemahaman kemiskinan di suatu daerah dan program-program untuk penanggulangan kemiskinan.
11.2.
PENYEMPURNAAN DAN PEMANFAATAN DATA MIKRO
Data mikro yang pada awalnya disusun untuk kebutuhan penyaluran dana bantuan langsung tunai merupakan suatu terobosan penyediaan data, yang sangat bermanfaat untuk pelaksanaan program-program penanggulangan kemiskinan yang ditujukan kepada masyarakat miskin. Program-program seperti subsidi beras untuk masyarakat miskin (Raskin), jaminan kesehatan pada masyarakat miskin (Jamkesmas) serta beasiswa untuk masyarakat miskin memerlukan data yang konsisten secara kontinyu. Hal ini penting karena intervensi langsung tersebut ditujukan untuk: 9
Adept adalah Software Platform for Automated Economic Analysis merupakan software platform untuk analisis ekonomi secara otomatis atas data-data hasil survey dan menyajikan dalam bentuk table dan grafik. Kegiatan pilot di Bappenas bekerjasama dengan Bank Dunia, diterapkan untuk memanfaatkan secara cepat data hasil Susenas dan Sakernas
156
a. Meningkatkan kualitas kehidupan rumah tangga agar terbebas dari kemiskinan. Yang menjadi tujuan inti dari bantuan langsung ini adalah agar generasi muda di dalam keluarga miskin akan mampu meningkatkan produktivitasnya karena memiliki kualitas nutrisi, kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, sehingga dapat memutus rantai kemiskinan dari orang tuanya. b. Merupakan intervensi yang bersifat keberpihakkan karena keluarga yang menjadi sasaran adalah keluarga yang dengan kemampuan sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. c. Merupakan langkah memenuhi hak asasi manusia karena dengan berbagai upaya peningkatan kemampuan produktif dan disertai dengan dukungan program keberpihakan, masyarakat miskin masih belum mampu memenuhi, sehingga instrumen jangka pendek yang dilakukan adalah memantu pemenuhan agar masyarakat miskin tetap dapat menikmati hak dasar sebagaimana masyarakat lain yang tidak berkekurangan. Dengan adanya keterkaitan antara identitas dengan pembagian/intervensi program, maka seringkali data ini dinilai tidak obyektif baik dari sisi penyedia dana dan dari sisi penerima. Dari sisi penyedia dana, jumlah rumah tangga atau masyarakat yang diidentifkasi sering dikaitkan dengan politik untuk mengakui bahwa jumlah masyarakat miskin terus menurun. Selain itu, jumlah yang diidentifikasi sering secara subyektif tidak konsisten akan digunakan sebagai dasar distribusi program, sehingga penentuannya ada unsur moral hazard. Dari sisi penerima, karena ada unsur penggunaan untuk distribusi, maka yang diidentifikasi biasanya adalah orang-orang yang dikenal atau bahkan dari lingkungan saudara. Moral hazard ini bisa dihilangkan dengan adanya penentuan berdasarkan kriteria tertentu, namun pada kenyataanya diperlukan kejelian untuk mencocokan kriteria dengan kenyataan kehidupan yang ada. Meskipun demikian, dengan adanya data mikro yang diproduksi sejak tahun 2005, sudah ada satu sumber data secara nasional yang dikumpulkan dengan metodologi dan kriteria yang konsisten secara nasional.
11.2.1. PEMANFAATAN DATA MIKRO KEMISKINAN Sebagaimana dijelaskan di atas, data mikro kemiskinan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui dan mengukur tingkat kemiskinan di wilayah kecil, dalam hal ini kecamatan. Namun demikian, masih terdapat manfaat lain yang dapat dikembangkan, sebagai berikut. 1). Mengetahui kepadatan tingkat kemiskinan pada wilayah lebih kecil kecamatan, desa. Data mikro yang disusun pada tahun 2005 memiliki data nama kepala rumah tangga dan alamat. Dengan adanya alamat, maka dapat diketahui domisili dari rumah tangga ini sehingga secara spatial lokasinya dapat diketahui. Dengan diketahuinya lokasi spatial ini, maka alamat rumah tangga miskin dapat dipetakan ke dalam suatu peta, sehingga kepadatan rumah tangga miskin dalam setiap wilayah bahkan sampai ke tingkat kabupaten, kecamatan dan desa dapat dilakukan. Hal ini merupakan kemajuan besar, karena penyusunan peta kemiskinan tahun 2005 157
didasarkan pada 3 (tiga) sumber data yang berbeda, yaitu Susenas, Podes dan Sensus Penduduk. 2). Mengetahui kondisi kebutuhan dasar masyarakat miskin dalam wilayah kecil. Berdasarkan data karakteristik rumah tangga sasaran (RTS) yang dikumpulkan, dapat diketahui tingkat konsumsi atau status rumah tangga pada setiap kriteria yang didata. Dengan demikian, akan dapat diketahui tidak saja keberadaan rumah tangga tersebut, namun juga kekurangan kebutuhan dan layanan dasar mereka. Dengan mengetahui tingkat pemenuhan ini akan dapat dikenali apakah tidak terpenuhinya pemenuhan terjadi karena tidak tersedianya akses dan layanan (supply) atau ada faktor lain yang mengakibatkan rumah tangga tidak dapat menggunakan akses atau layanan yang sudah disediakan (demand). Selanjutnya akan dapat digunakan untuk mengarahkan program dan intervensi yang tepat untuk membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan dasarnya. 3). Mengetahui perkembangan rumah tangga sasaran (sangat miskin, miskin dan hampir miskin) dari waktu ke waktu, termasuk untuk mengetahui dampak penyediaan bantuan sosial, apakah sudah dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga dan berapa lama dibutuhkan oleh suatu rumah tangga untuk meningkat ksejehateraannya dan keluar dari kemiskinan. Informasi seperti ini sangat perlu, karena yang penting dalam penanggulangan kemiskinan adalah bukan besaran tingkat kemiskinan, namun perlu diupayak agar suatu rumah tangga tidak berada dalam lingkaran kemiskinan dalam waktu yang terlalu lama. 4) Mendistribusikan bantuan sosial. Program bantuan sosial yang didistribusikan kepada rumah tangga dan anggota rumah tangga masyarakat miskin merupakan langkah keberpihakkan bagi masyarakat miskin dan dilakukan dalam rangka memenuhi hak bagi masyarakat miskin. Dengan demikian, bantuan sosial perlu diberikan secara tepat sasaran agar bermanfaat secara nyata dan tepat jangka waktu agar tidak menciptakan ketergantungan. Mengingat tujuan akhir penyediaan bantuan sosial dimaksudkan untuk memutus rantai kemiskinan, maka pemberian secara terpadu agar efektif membantu keluarga dan anggotanya keluar dari kemiskinan sangat penting untuk dilakukan. Sehubungan dengan itu, maka program bantuan sosial yang berada pada Kluster 1 program penanggulangan kemiskinan sangat penting untuk dilaksanakan dengan menggunakan data dasar yang sama, dan bahkan satu kartu identitas. Dengan demikian, efek secara terpadu dari berbagai bantuan sosial tersebut dapat tepat dan cepat membantu keluarga miskin keluar dari kemiskinan.
11.2.2. PENYEMPURNAAN DATA MIKRO KEMISKINAN
Mengingat kemiskinan adalah kondisi yang sangat dinamis terutama di kalangan masyarakat miskin yang memiliki pendapatan tidak teratur, maka proses pendataan mikro memiliki berbagai keterbatasan yang perlu tersu disempurnakan. Selain itu, dengan pengembangan pemanfaatan data mikro yang akan semakin diperluas, maka berbagai penyempurnaan juga perlu dilakukan, dan diuraikan dalam bagian berikut ini.
158
1).
Konsep
Kriteria. Dalam konsep pendataan mikro, kriteria yang digunakan untuk menentukan rumah tangga sasaran merupakan hasil kajian dan hasil ekstraksi dari karakteristik Susenas yang mewakili rata-rata rumah tangga Indonesia. Sehubungan dengan itu, kriteria yang dihasilkan adalah kriteria yang dimiliki oleh semua penduduk Indonesia, mudah diamati dan dapat diperbandingkan antar provinsi, antar kabupaten dan antar kecamatan atau desa. Untuk itu, untuk menjaga akurasi kriteria yang digunakan untuk mengidentifikasi masyarakat miskin maka langkah penyempurnaan yang dilakukan adalah: a.
Melakukan pemutakhiran terhadap kriteria rumah tangga miskin secara berkala untuk menyesuaikan dengan perkembangan kondisi hidup minimal manusia pada umumnya.
b.
Memberi ruang secara jelas bahwa kriteria nasional adalah kriteria nasional untuk dapat diperbandingkan secara nasional. Untuk menyesuaikan dengan kebutuhan lokal, pemda dapat menambahkan dan menerapkan kriteria lokal untuk penerapan di daerah. Penambahan dimaksudkan agar tujuan secara nasional untuk memantu secara khusus masyarakat miskin agar terentas dari kemiskinan dapat dilakukan.
2).
Pelaksanaan pendataan
a.
Pelaksanaan pendataan hendaknya secara aktif mengikutsertakan tokoh masyarakat dan pemerintah desa yang paling mengetahui kondisi masyarakat miskin. Dari hasil uji coba proses pendataan mikro oleh BPS dengan Bank Dunia, diujicobakan 3 metoda pendataan yaitu: (i) pendataan dengan mitra sebagaimana yang dilakukan saat ini; (ii) pendataan dengan partisipasi masyarakat; (iii) pendataan dengan metode gabungan/kombinasi antara Metoda (i) dan (ii).
b.
Tetap mempertahankan proses coklit/verifikasi dengan Pemda, untuk meningkakan akurasi dan sekaligus rasa memiliki data ini di daerah.
c.
Menggunakan data Sensus Penduduk 2010 yang juga memiliki nama dan alamat sebagai data dasar untuk PPLS dan masukan untuk updatingnya secara berkala.
d.
Dari beberapa survey ternyata kode wilayah yang ditetapkan berbeda-beda dan menggunakan sistematika yang berbeda. Hal ini mempersulit untuk menjaga konsistensi data. Sehubungan dengan itu, perlu diadakan pembakuan kode wilayah antar waktu pada suatu survey (Podes berbagai tahun misalnya) dan kode yang sama juga diterapkan antar berbagai survey dan sensu yang dilakukan oleh BPS.
159
3).
Penggunaan dan pemanfaatan
a.
Mensosialisasikan keberadaan data dan penggunaannya kepada stakeholders agar ada pemahaman yang tepat mengenai data dan masyarakat dapat ikut memantau penggunaan data secara benar.
b.
Menetapkan data RTS sebagai data dasar untuk targeting program bantuan sosial, yang pada RPJM ke depan akan diintegrasikan sebagai data bantuan sosial berbasis keluarga.
c.
Mencetak satu kartu identitas untuk RTS yang menjadi pemanfaat program bantuan sosial berbasis keluarga. Menempatkan data di daerah (TKPKD dan Bappeda) dan menugaskan kepada daerah bersama dengan BPS untuk dapat memonitor pemanfaat, apakah menerima program dan memantau perkembangan RTS tersebut atas dampak dari program bantuan.
d.
e.
Melakukan pemutakhiran data secara lebih sering agar sesuai dengan perkembangan kondisi di daerah. Hal ini disarankan karena pada saat ini kemampuan secara nasional untuk mengupdate data baru dapat dilakukan setiap 3 tahunan. Dengan demikian, Pemda dapat melakukan pemutakhiran dalam setiap tahunnya, sehingga pemutakhiran 3 tahunan akan dapat dilakukan dengan lebih baik dan sesuai dengan lebih baik dan sesuai dengan kondisi nyata di lapangan.
160
BAGIAN V. PENINGKATAN EFEKTIVITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH
Penanggulangan kemiskinan secara nasional sangat tergantung dari pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan di daerah. Pada saat ini, era desentralisasi dan otonomi daerah sudah berjalan, maka capaian penanggulangan kemiskinan secara nasional akan sangat ditentukan oleh pencapaian di masing-masing daerah. Dalam kurun waktu RPJM 2004-2009, pemerintah telah melakukan 4 (empat) langkah strategis dalam penanggulangan kemiskinan, yaitu: (1) Pembangunan basis data kemiskinan dengan nama dan alamat rumah tangga miskin, sebagai dasar program yang ditujukan kepada masyarakat miskin; (2) Pengintegrasian seluruh program berbasis pemberdayaan masyarakat ke dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri); (3). Penataan program ke dalam 3 Kluster program yaitu (a) Program perlindungan dan bantuan social, (b) PNPM Mandiri; (c) Pemberdayaan Usaha mikro dan kecil; (4). Penerbitan Perpres No. 13/2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, yang mengatur koordinasi program sesuai dengan 3 kluster pendanaan serta koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam rangka penanggulangan kemiskinan melalui TKPK-TKPKD. Dengan adanya penataan tersebut, maka koordinasi di tingkat daerah dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah memiliki landasan dan arahan yang lebih jelas, Dalam bagian ini akan didalami pelaksanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, terutama peran Pemda dalam koordinasi penanggulangan kemiskinan melalui TKPKD. Dari hasil analisa pelaksanaan, kemudian disusun rekomendasi untuk strategi dalam rangka meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan di daerah untuk waktu mendatang. 161
BAB XII. PENDAHULUAN
Dalam sepuluh tahun terakhir, banyak perubahan besar dalam penyelenggaraan negara di Indonesia. Di bidang politik, demokratisasi telah meningkatkan peran politik di berbagai bidang, dengan terselenggaranya pemilihan langsung tidak saja untuk pemilihan kepala daerah, namun juga pemilihan kepala negara. Di bidang pemerintahan dengan semakin meningkatnya peran masyarakat dan pasar, peran negara semakin dibatasi pada bidang-bidang yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat dan swasta, serta pada fungsi-fungsi fasilitasi dan penyediaan kebutuhan publik saja. Di bidang pemerintahan, dengan adanya desentralisasi, maka daerah semakin meningkat otonominya dalam mengatur penyelenggaraan pembangunan daerah. Sementara itu, dengan adanya globalisasi, maka batas antar negara semakin menipis, dan sehingga perubahan di suatu negara semakin mudah tertranmisikan ke pasar global dan masuk ke negara lain. Dengan keterbukaan hubungan antar negara, maka ketidakseimbangan di suatu negara akan berakibat pula ke negara lain secara cepat. Kondisi di dalam dan di luar negeri ini semakin memperberat peran negara untuk bisa menyeimbangkan dan menstabilkan situasi di berbagai bidang, dan semakin berat pula tantangan dalam mengatasi berbagai dampak yang timbul sebagai akibat dari keterbukaan tersebut. Dampak utama yang harus terus dijaga adalah dampak terhadap penurunan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Dalam kondisi yang demikian, maka peran pemerintah dalam mempertahankan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat menghadapi tantangan yang semakin berat. Di satu pihak, keterbukaan memberikan tantangan peningkatan kesejaheraan dan perlindungan terhadap kesejahteraan semakin berat, di pihak lain, dengan adanya desentralisasi keragaman kondisi daerah dengan adanya otonomi semakin berat untuk merancang dan melaksanakan suatu “langkah bersama/concerted efforts” dalam menghadapi tantagan dari negara lain dan pasar global. Dengan latar belakang situasi tersebut, untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional, maka pemerintah bersama DPR telah mensahkan UU No. 7 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 20052025. Dengan adanya RPJPN ini maka kita semua dapat menjaga kesinambungan pelaksanaan pembangunan antar waktu pemerintahan dan antar kepala pemerintahan yang sudah dipilih langsung oleh masyarakat. Dalam melaksanakan mandat UU tersebut, setiap Presiden terpilih wajib menjabarkan visi dan misinya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Dengan demikian, kesinambungan pembangunan antar Presiden akan dapat terjaga. Dalam kaitan ini, sesuai dengan amanat dalam UUD 1945 pasal 34, maka peningkatan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan khususnya selalu menjadi prioritas pembangunan. Dengan kesinambungan seperti ini, tingkat kemiskinan masyarakat terus menurun dan pada tahun 2008 mencapai sebesar 15,42 persen atau sebanyak 34,96 juta masyarakat masih berada di bawah garis kemiskinan.
162
Dengan masih banyaknya masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, maka pemerintah terus berusaha keras dan melakukan berbagai penyempurnaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan. Beberapa langkah penyempurnaan yang dilakukan dalam lima tahun terakhir adalah, pertama, penyusunan data rumah tangga miskin. Data rumah tangga miskin ini sangat diperlukan untuk mengarahkan program yang khusus ditujukan kepada rumah tangga sasaran, yaitu rumah tangga sangat miskin, miskin dan hampir miskin. Pendataan ini penting agar pemberian bantuan pada rumah tangga ini tidak salah sasaran, sebagaimana pada periode sebelumnya, karena adanya berbagai data kemiskinan yang dikumpulkan oleh berbagai pihak. Keberadaan berbagai data mengakibatkan program tidak efektif membantu masyarakat miskin untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Langkah penyempurnaan kedua, adalah perluasan program pemberdayaan masyarakat dan harmonisasi berbagai program pemberdayaan masyarakat dalam wadah PNPM Mandiri. Dengan pengintegrasian dan harmonisasi program-program pemberdayaan masyarakat, maka upaya pemberdayaan masyarakat lebih efisien dan efektif sehingga dapat segera meningkatkan kapasitas masyarakat dalam berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan peningkatan kesejahteraan mereka. Penyempurnaan ketiga adalah koordinasi program penanggulangan kemiskinan ke dalam 3 (tiga) kluster (Bagan 12.1.) sehingga mempermudah sinergitas program untuk membantu masyarakat sesuai dengan tingkat dan kebutuhannya. Kluster pertama adalah program bantuan sosial yang ditujukan kepada rumah tangga sasaran, sebagaimana ditunjukkan oleh data RTS di atas. Kluster kedua adalah PNPM Mandiri, dan Kluster ketiga adalah program pemberdayaan usaha mikro dan kecil, termasuk pemberian Kredit Usaha Rakyat (KUR). Penyempurnaan keempat adalah penyempurnaan dan penataan koordinasi penanggulangan melalui penerbitan Perpres No. 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan sebagai penyempurnaan atas Kepres No. 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Penyempurnaan dilakukan untuk menyesuaikan berbagai perubahan dan penataan sebagaimana langkah-langkah penyempurnaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.
PROGRAM-PROGRAM Penanggulangan Kemiskinan
Kluster 1
Kluster 2
Kluster 3
Program2 Bantuan dan Jaminan Sosial
Program2 Pemberdayaan Masyarakat
Program2 kredit mikro, UKM, dsb
Sasaran: Individu / RT miskin
Sasaran: Kelompok Masyarakat miskin
Sasaran: UMKM (individu/ Kelompok)
DATA MIKRO - RTS
Bagan 12.1. Tiga (3) Kluster Program Penanggulangan Kemiskinan 163
Berdasarkan berbagai tantangan pembangunan nasional khususnya penanggulangan kemiskinan serta penyempurnaan kebijakan, maka keragaman kemampuan daerah yang sudah otonom, dengan berbagai priode pemilihan kepala daerah yang berbeda-beda, maka berimplikasi terhadap proses pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan, baik di Pusat maupun di daerah dan keterkaitan antara pelaksanaan penanggulangan kemiskinan antara pusat dan daerah. Dalam kaitan ini maka sangat penting untuk diketahui: (i) Bagaimana perkembangan pelaksanaan kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di daerah; (ii) Bagaimana efektivitas kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan di daerah; dan (iii) Sejauh mana kapasitas SDM kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan di derah dalam menjalankan peran dan fungsinya. Untuk itu, dalam bagian berikut akan: (i) digambarkan secara umum pelaksanaan kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di daerah; (ii) Digambarkan efektifitas kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan di daerah; dan (iii) digambarkan kapasitas Sumber Daya Manusia Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan di daerah.
164
BAB XIII. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN PUSAT DAN DAERAH
Dalam kurun RPJM 2004-2009 sudah banyak penyempurnaan kebijakan yang dilakukan. Dengan adanya pengelompokkan program menjadi 3 (tiga) kluster, maka memperjelas program-program yang perlu dikoordinasikan untuk difokuskan membangtu masyarakat miskin keluar atau mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Kejelasan program-program yang dikoordinasikan didukung pula dengan penyempurnaan koordinasi dengan dikeluarkannya Perpres No. 13 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Dengan keluarnya Perpres No. 13 ini, memperjelas beberapa hal: (i) Program yang dikoordinasikan adalah program di dalam 3 Kluster sesuai diuraikan mulai dalam penyusunan RKP 2008 dan seterusnya; (ii) Pemindahan sekretariat TKPKD dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Daerah ke Bappeda akan meningkatkan fungsi koordinasi karena sekretariat berada pada SKPD yang memiliki fungsi koordinasi di daerah; (iii) Kelompok Kerja yang semula bersifat manajemen (perencanaan, kelembagaan dan penganggaran) juga disesuaikan dengan adanya 3 (tiga) Kluster sehingga program-program akan lebih efektif membantu masyarakat miskin. Pengaturan kelembagaan di daerah selanjutnya dilandasi dan diatur melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembentukan TKPK Provinsi dan Kabupaten/Kota Dengan adanya ketentuan tersebut maka koordinasi program-program penanggulangan kemiskinan di 33 provinsi dan hampir 500 kabupaten/kota akan dilakukan melalui sekitar 533 lembaga TKPKD. Membayangkan jumlah lembaga tersebut, dengan karakteristik daerah yang berbeda-beda dan menangani 32,53 juta masyarakat miskin maka diperlukan adanya sistem koordinasi yang baik. Koordinasi tidak saja menyangkut jumlah program-programnya saja, namun yang lebih konkrit adalah agenda koordinasi, instrumen dan mekanisme koordinasi pada masing-masing daerah serta kapasitas pelaku program dan koordinasinya. Selama ini koordinasi penanggulangan kemiskinan oleh TKPK dilakukan dengan melakukan Lokakarya Nasional TKPK dengan mengundang seluruh TKPKD baik dari tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Lokakarya dilakukan pada awal tahun untuk menyampaikan program-program penanggulangan kemiskinan yang menjadi kebijakan pemerintah pusat dan didanai dengan APBN. Lokakarya selanjutnya dilakukan di akhir tahun untuk mengetahui perkembangan tingkat kemiskinan di daerah. Dengan agenda kerja dan mekanisme koordinasi seperti ini, tentu saja tidak mencukupi untuk menyamakan pemahaman tentang kondisi dan keragaman kondisi kemiskinan di masing-masing daerah, kesulitan yang dihadapi, menentukan langkah untuk mengatasi bersama agar penanggulangan kemiskinan nasional dapat diturunkan secara signifikan. Untuk adanya pemahaman yang sama tentang kebijakan yang perlu dikoordinasikan dan bagaimana koordinasi perlu dilakukan, pada bagian berikut akan diuraikan mengenai keterkaitan penanggulangan kemiskinan dengan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja; serta posisi dan peran program penanggulangan kemiskinan yang merupakan langkah pemihakan.
165
13.1. PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
Perlu disadari bahwa penanggulangan kemiskinan tidak hanya diatasi dengan pelaksanaan program dalam 3 (tiga) Kluster saja, namun yang lebih penting adalah bahwa penanggulangan kemiskinan harus diusahakan sendiri dan sebagai hasil upaya oleh masyarakat miskin sendiri. Sejalan dengan strategi pembangunan nasional yang pro-growth, pro-job dan pro-poor, maka program dalam 3 (tiga) Kluster adalah merupakan program yang bersifat affirmative atau memihak. Artinya, program dalam 3 (tiga) Kluster tersebut merupakan langkah untuk memberikan keberpihakan bagi masyarakat miskin, karena meskipun dengan melalui partisipasi dan menikmati hasil pertumbuhan ekonomi yang ada, serta dari pekerjaan yang mereka lakukan, namun ternyata masih ada masyarakat yang berada dalam kondisi miskin.10 Dengan demikian,program-program yang berada dalam 3 (tiga) Kluster ini hanya ditujukan untuk masyarakat dan keluarga miskin. Sehubungan dengan itu, keberlanjutan atau sustainability dari penanggulangan kemiskinan tidak hanya tergantung dari efektivitas pelaksanaan program-program dalam 3 (tiga) Kluster, namun juga pada pola pertumbuhan ekonomi apakah memang pro-poor growth dan apakah pertumbuhan menghasilkan kesempatan kerja (pro job). Posisi program-program penanggulangan kemiskinan dalam keseluruhan kebijakan dan program pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat digambarkan di dalam Bagan 13.1
•Kebijakan fiskal-moneter •Paket percepatan infrastruktur •Paket perbaikan iklim investasi •Paket kebijakan sektor keuangan •Paket kebijakan sektor energi •Program Kawasan Ekonomi Khusus
Program2 ketenagaKerjaan (TKI, Pelatihan, dsb)
• Ketahanan pangan
• Kesehatan •Pendidikan •Sarana/prasarana dasar
Peningkatan Pertumbuhan ekonomi yg seiring dg stabilitas ekonomi
Program2 Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Penciptaan Lapangan Kerja baru
Kesejahteraan Masyarakat Penurunan kemiskinan
Pengembangan Sistem Jaminan Sosial
Harmonisasi Program2 Pemberdayaan Masyarakat
PNPM Mandiri: •Prasarana skala kecil (desa/ komunitas) •Usaha produktif masyarakat •Perbaikan lingkungan •Peningkatan SDM
Bagan 13.1. Program Penanggulangan Kemiskinan 10
Dalam definisi BPS adalah masyarakat yang beradadi bawah garis kemiskinan, artinya memiliki pola konsumsi (pengeluaran) yang berada di bawah kondisi minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar (makanan dan non makanan) untuk hidup. Dalam definisi global (Phillip Kotler and Nancy R.Lee, 2009) adalah extreme poverty (household cannot meet basic needs or survival) dan moderate poverty (bas1ic needs are met bur barely).
166
di dalam Kerangka Pembangunan Nasional secara keseluruhan Untuk mendalami keterhubungan yang ada antara pertumbuhan, penyerapan tenaga kerja dan penurunan kemiskinan maka berikut ini adalah akan diuraikan mengenai: (i) Perkembangan penurunan kemiskinan dan hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi agregat dan pertumbuhan sektor-sektor riil dan (ii) Pertumbuhan ekonomi di daerah dan penanggulangan kemiskinan 13.2.
Perkembangan penurunan kemiskinan dan hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi agregat dan pertumbuhan sektor-sektor riil
Penurunan tingkat kemiskinan sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan masayrakat secara keseluruhan, merupakan hasil akhir dari segala kebijakan pembangunan. Dengan demikian, penurunan tingkat kemiskinan bukan hanya merupakan dampak dan hasil pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang tercakup di dalam 3 (tiga) Kluster program penanggulangan kemiskinan dalam Bagan 10 di atas, namun juga sangat terkait dengan bagaimana masyarakat miskin juga mendapat tempat untuk berperan serta menghasilkan pertumbuhan. Apabila kita melihat trend penurunan kemiskinan antar periode, maka penurunan kemiskinan pada periode tahun 70-90-an menunjukkan trend penurunan yang tajam (Grafik 13.1.). Sementara itu, penurunan tingkat kemiskinan setelah tahun 90an menunjukkan trend yang melandai.
60 54.2
50
49.5
47.2 42.3
40
40.1
38.7 35.0
33.3
30
48.0
40.6
37.9
38.4
37.3
34.0
39.3 36.1
35.1
37.2
35.0
30.0
28.6
27.2
26.9
22.5 17.4
20
24.2
25.9
21.6
23.4 19.1
15.1
13.7
18.4
18.2
17.4
16.7
16.0
17.8
15.4
17.5 16.6
10
11.3
0 1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jumlah Pend Miskin
Jumlah Pend Miskin
% Pend Miskin
% Pend Miskin
Catatan: Terdapat penyempurnaan metode pada tahun 1998 yang meliputi perluasan cakupan komoditi dan keterbandingan antar daerah 4
Grafik 13.1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan dalam kurun waktu 1976-2008
Beberapa karakteristik perkonomian yang terjadi pada periode 70-90an adalah: (i) Tingkat pertumbuhan ekonomi secara agregat menunjukkan angka yang tinggi secara konsisten beberapa tahun: (ii) Pertumbuhan tinggi tersebut terjadi pada sektorsektor produksi yang banyak menyerap tenaga kerja (labor intensif), terutama industri pengolahan. Pertumbuhan industri manufaktur pada masa ini hampir dua kali lipat 167
pertumbuhan ekonomi )agregat). Pergerakan pertumbuhan ekonomi dan sektor produksi ini menjadi penghela penurunan kemiskinan. Selain itu dukungan peningkatan produksi pangan, pembangunan bidang sosial terutama adalah pembangunan Puskesmas dan penempatan dokter-dokter ke seluruh wilayah Indonesia, peningkatan akses terhadap pendidikan berupa pembangunan SD Inpres di setiap kecamatan bahkan desa serta penempatan guru-guru di daerahdaerahmendorong pula peningkatan akses dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat miskin. Tabel 13.1. Pertumbuhan Ekonomi (PDB) (%) Periode/tahun Pertanian Pertambangan Industri Lainnya Total Pengolahan (agregat) 1961-1965 1,4 2,2 1,9 3,0 2,0 1966-1968 4,4 13,7 4,7 5,3 5,0 1969-1973 3,5 17,2 9,2 10,3 7,3 1974-1983 3,6 1,7 11,7 9,1 6,7 1984-1993 3,3 2,0 11,6 7,0 6,1 1994-1997 2,3 5,2 10,0 7,7 7,1 1998 -1,3 -2,8 -11,4 -19,2 -13,1 1999 2,2 -1,6 3,9 -0,8 0,8 2000 1,9 5,5 6,0 5,3 4,9 2001-2004 3,9 -1,0 5,0 5,9 4,6 2005 2,7 3,1 4,6 * 5,7 2006 3,0 2,2 4,6 * 5,5 2007 3,5 2,0 4,7 * 6,3 2008 4,8 0,5 3,7 * 6,1 Sumber: BPS berbagai tahun dan Statistik 60 Tahun Indonesia Merdeka, BPS, 2005 Keterangan: * untuk tahun-tahun tersebut sudah dirinci sehingga tidak dapat dibandingkan.
Pada saat ini pertumbuhan ekonomi memang dapat dipertahankan pada tingkat positif ditengah-tengah gejolak perekonomian dunia. Namun apabila kita melihat pertumbuhan industri manufaktur nampak bahwa pertumbuhan industri manufaktur semakin menurun dan bahkan sedikit lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi (agregat). Artinya pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan ternyata tidak didukung oleh sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja masyarakat kebanyakan. Pertumbuhan industri pengolahan yang menurun belum ”digantikan” oleh sektor yang dapat menyerap tenaga kerja sebesar industri pengolahan. Sektor yang memiliki pertumbuhan tinggi pada saat ini adalah sektor pengangkutan dan komunikasi serta keuangan dan jasa usaha, yang pada umumnya menyerap tenaga kerja yang berpendidikan dan berpendidikan khusus. Penyerapan tenaga kerja baru justru terjadi pada sektor informal atau penyerapan terbesar pada pekerja informal. Sehubungan dengan itu, pertumbuhan perlu lebih pro dan menyerap tenaga kerja yang ada dan itu diarahkan pada sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja dan berdampak signifikan pada masyarakat miskin. Analisis dan diskusi tentang hal ini serta rekomendasi yang dapat segera dilakukan terutama dalam konteks desentralisasi dan di tingkat mikro adalah sebagaimana diuraikan pada Bagian II. Pro Poor Growth. 168
13.3.
PERTUMBUHAN EKONOMI DI DAERAH DAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Tingkat kemiskinan yang menurun secara signifikan pada dekade 70-90an, dalam pelaksanaanya terganggu dengan terjadinya krisis finansial di negara-negara berkembang termasuk Indonesia pada tahun 1997/98. Di Indonesia sendiri, pada waktu krisis finansial terjadi 3 (tiga) hal sekaligus yaitu: (i) pemulihan dari krisis finansial dengan dikembangkannya program targeted dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS); (ii) Demokratisasi dengan dihapuskannya GBHN, adanya pemilihan langsung tidak hanya Pemilu namun juga Pilkada, meningkatnya peran DPR dalam proses budgeting dan tertuang di dalam UU No. 17/2004; (iii) desentralisasi yang membagi kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Ketiga perubahan mendasar tersebut, sedikit banyak berpengaruh terhadap proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional, termasuk di dalamnya penanggulangan kemiskinan. Kebijakan, program dan upaya-upaya penurunan kemiskinan yang semula direncanakan dan dilaksanakan dalam mekanisme sentralisasi perlu disesuaikan dengan era desentralisasi. Kapasitas Pemerintahan Daerah yang semula hanya menjadi pelaksana kebijakan dan program perlu ditingkatkan menjadi perencana, pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan dan program. Meskipun sebagian besar sumberdaya pembangunan masih berasal dari pusat, namun koordinasi program dan sinergi program-program dari berbagai sektor dan berbagai jenis pendanaan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan daerah harus ditentukan dan dilakukan oleh daerah. Apalagi kalau melihat bahwa separuh dari provinsi yang ada masih memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional (Grafik 13.2.).
Tingkat Kemiskinan: Perbandingan antar Provinsi (2008) 5
37.1 35.1 29.7
30.8 25.6 23.8
23.5
15.4
24.9
19.2
20.621 17.7
20.8
16.7 13.3
13
12.6 10.710.6 9.3
19.5
18.318.5
8.6 9.2
11.1 8.7
8.2
11.3
9.510.1 6.5
6.2
IJB
PAPUA
MALUKU
MAL UTARA
GTO
SULBAR
SULSEL
SULUT
SULTENG
KALSEL
KALTIM
KALTENG
NTT
KALBAR
NTB
BALI
BANTEN
DIY
JATIM
JATENG
DKI
JABAR
KEPRI
BABEL
LAMPUNG
SUMSEL
BENGKULU
RIAU
JAMBI
SUMBAR
NAD
SUMUT
0
SULTRA
4.3
17 provinsi berada di bawah persentase penduduk miskin nasional (15,4%) Sumber: BPS
5
Grafik 13.2. Tingkat Kemiskinan :Perbandingan Antar Provinsi (2008)
169
Sehubungan dengan itu, pemerintah daerah dengan dukungan pemerintah pusat perlu untuk memiliki kemampuan: (i) Mengundang investasi untuk meningkatkan dan memperluas pertumbuhan sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja lokal dan menghasilkan pendapatan daerah, dengan melakukan kemudahan-kemudahan berinvestasi untuk menciptakan ekonomi biaya rendah di daaerah dan menyiapkan tenaga dan sumberdaya lokal untuk dapat memenuhi kebutuhan investasi yang masuk ke daerah; (ii) Mensinergikan sumberdaya dan program-program yang ada untuk memenuhi kebutuhan peningkatan kesejahteraan masyarakatnya; (iii) Mengembangkan ekonomi lokal termasuk ekonomi informal yang banyak menyerap tenaga kerja sederhana/informal dan menjadi lahan pendapatan masyarakat miskin dan hampir miskin; (iv) Meningkatkan kapasitas Pemda dan kapasitas koordinasi terutama untuk melakukan koordinasi berbagai pelaku dan berbagai sumberdaya pembangunan untuk penurunan kemiskinan di daerah. Dengan peran dan kemampuan Pemda sebagaimana di atas, maka pertumbuhan ekonomi di daerah akan dapat mempercepat penurunan kemiskinan. Koordinasi dan sinergi pelaksanaan Penanggulangan Kemiskinan di daerah ini adalah sebagaimana diuraikan dalam Bab. XIV.
13.4. LANGKAH PEMIHAKAN (AFIRMASI) KEPADA MASYARAKAT MISKIN
Dengan berbagai kebijakan dan program untuk mendorong pertumbuhan eknomi baik di secara nasional maupun lokal, maka masyarakat akan memiliki mata pencaharian (bekerja) dan memiliki pendapatan untuk memenuhi tingkat kehidupan yang diharapkan terus meningkat kualitasnya. Meskipun demikian, ternyata masih banyak masyarakat yang meskipun memiliki pekerjaan namun pendapatannya tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk itu, maka dalam rangka memenuhi hak dasar bagi masyarkat miskin pemerintah melakukan berbagai langkah keberpihakan. Keberpihakan tidak hanya dalam pemenuhan kebutuhan minimum dasarnya, namun juga keberpihakan dalam memilik akses terhadap pekerjaan, kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan dsb. Alasan kedua adalah bahwa apabila tidak ada langkah keberpihakan atas masyarakat miskin ini maka mereka akan semakin terpinggirkan oleh persaingan yang ada di masyarakat. Yang ketiga, keberpihakan terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar, maka kualitas kehidupan keluarga akan meningkat sehingga kualitas generasi muda yang dihasilkan oleh keluarga miskin tersebut akan lebih produktif dan ke depan mampu keluar dari kemiskinan. Dengan kata lain, afirmasi kepada masyarakat miskin diharapkan akan dapat memutus rantai kemiskinan antar generasi, sehingga kemiskinan tidak menjadi kondisi yang turun temurun. Pemihakan yang perlu dilakukan tersebut sejalan dengan semangat pemenuhan hak dasar masyarakat sebagai bagian dari hak asasi mereka. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa semua langkah keberpihakan diwujudkan dalam bentuk intenvensi atau bantuan langsung. Sejalan dengan pemenuhan hak dasar dalam penanggulangan kemiskinan yang sudah dituangkan di dalam RPJM 2004-2009, maka terdapat 10 hak dasar yang perlu dipenuhi dan secara rinci bagaimana pemenuhan hak dasar bagi masyarakt miskin ini dibahas pada Bagian III.
170
Sebagai bagian dari pemenuhan hak dasar tersebut, pemerintah sudah memiliki beberapa intervensi dasar dalam kelompok bantuan sosial yang dituangkan di dalam 3 (tiga) Kluster Program Penanggulangan Kemiskinan, dimana Kluster I adalah program-program Perlidungan dan Bantuan Sosial, Kluster II adalah Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri) dan Kluster ke 3 adalah Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil (Bagan 12.1. Bab XII Pendahuluan).
171
BAB XIV. KOORDINASI DAN PELAKSANAAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Dengan kompleksnya keterkaitan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dengan kebijakan di bidang lainnya sebagaimana dijelaskan di atas, maka penting untuk didalami bagaimana kerangka koordinasi yang ada dan pelaksanaanya serta efektivitasnya. Dalam struktur kewenangan pemerintahan sekarang, ujung tombak efektivitas penanggulangan kemiskinan berada di daerah. Pemerintah Pusat lebih berperan dalam proses fasilitasi dan asistensi guna mempercepat pengurangan tingkat kemiskinan, namun efektivitasnya di lapangan sangat tergantung pada peran Pemerintah Daerah. Untuk itu, dalam bagian ini, pertama akan diuraikan perkembangan keragaan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang berasal dari pusat dan peran serta fungsi lembaga koordinasi penanggulagan kemiskinan di masing-masing daerah. Selanjutnya, pada bagian kedua akan diuraikan mengenai persepsi pelaku dan masyarakat di daerah terhadap lembaga koordinasi, program dan efektivitasnya.
14.1.
PERKEMBANGAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH
Berdasarkan daerah yang dipilih sebagai contoh dan responden kajian, dalam bagian berikut diuraikan pelaksanaan beberapa program penting penanggulangan kemiskinan di daerah yang dikaji, serta struktur dan peran lembaga koordinasi penanggulangan kemiskinan didaerah-daerah tersebut. 1).
Provinsi Sumatera Selatan
Perkembangan program penanggulangan kemiskinan di provinsi Sumatera Selatan untuk kelompok bantuan sosial berbasis keluarga adalah sebagai berikut: Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mendapatkan kuota jaminan sebanyak 1,3 juta jiwa. Angka tersebut lebih kecil dari peserta Askeskin yang dikelola PT Askes, yang mencapai Rp1,7 juta jiwa pada 2007 di provinsi tersebut. Per 31 Juli 2009 Provinsi Sumatera Selatan melalui rumah sakit yang telah ditunjuk melakukan penyerapan sebesar RP 72,27 miliar. Untuk kelompok program bantuan berbasis masyarakat (pemberdayaan) yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2009 terdapat di 15 kabupaten/kota tersebar di 212 kecamatan. Adapun nilai total Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tersebut sebesar Rp 320,03 miliar yaitu berasal dari APBN sebesar Rp 276, 04 miliar dan APBD senilai Rp 43,9 miliar. Kegiatan programnya meliputi: PNPM Perdesaan mencakup 106 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp 143,03 miliar dan PNPM Perkotaaan mencakup 39 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp. 45,03 miliar serta PNPM Infrastruktur Perdesaan meliputi 26 kecamatan dengan BLM Rp. 132,0 miliar. Sedangkan kelompok program bantuan masyarakat untuk peningkatan dan akses usaha mikro dan kecil adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Provinsi Sumatera Selatan mendapat jatah plafon untuk KUR pada tahun 2009 sebesar Rp 531,03 miliar 172
pada 31 Juli 2009 terserap sampai Rp 363,6 miliar peminjam/pemanfaat sebesar 28.604 pengusaha mikro dan kecil. 2).
dengan
jumlah
Kabupaten Ogan Ilir
Perkembangan program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Ogan Ilir untuk kelompok bantuan sosial berbasis keluarga sebagai berikut: Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesnas) administrasi mengikuti kota Palembang, Hal ini karena Kabupaten Ogan Ilir sangat dekat dengan kota Palembang dan Departemen Kesehatan menunjuk rumah sakit untuk berobat peserta Jamkesmas di kota Palembang. Untuk kelompok program bantuan berbasis masyarakat (pemberdayaan) yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2009 tersebar di 11 kecamatan. Adapun nilai total Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tersebut sebesar Rp 12,15 miliar yaitu berasal dari APBN sebesar Rp 11,07 miliar dan APBD senilai Rp 1,08 miliar. Kegiatan programnya meliputi: PNPM Perdesaan mencakup 5 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp 6,4 miliar dan PNPM Infrastruktur Perdesaan mencakup 5 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp. 5,75 miliar. 3).
Kabupaten Banyuasin
Perkembangan program penanggulangan kemiskinan di kabupaten Banyuasin untuk kelompok bantuan sosial berbasis keluarga adalah sebagai berikut: Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesnas) menerima luncuran sebesar Rp. 3.874.727.000,Juli 2009. Sementara, untuk kelompok program bantuan berbasis masyarakat (pemberdayaan) yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di kabupaten Banyuasin pada tahun 2009 tersebar di 15 kecamatan. Adapun nilai total Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tersebut sebesar Rp 29,7 miliar yaitu berasal dari APBN sebesar Rp 26,34 miliar dan APBD senilai Rp 3,36 miliar. Kegiatan programnya meliputi: PNPM Perdesaan mencakup 11 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp 17,0 miliar dan PNPM Infrastruktur Perdesaan mencakup 4 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp. 12,5 miliar. 4).
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Perkembangan program penanggulangan kemiskinan di provinsi DI Yogyakarta untuk kelompok bantuan sosial berbasis keluarga adalah sebagai berikut: Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) pada tahun 2008 disediakan bagi 942.129 jiwa keluarga. Per 31 Juli 2009 Provinsi DI Yogyakarta melalui rumah sakit yang telah ditunjuk melakukan penyerapan sebesar RP 54,19 miliar. Untuk kelompok program bantuan berbasis masyarakat (pemberdayaan) yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di provinsi DI Yogyakarta pada tahun 2009 terdapat di 5 kabupaten/kota tersebar di 78 kecamatan. Adapun nilai total Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tersebut sebesar Rp 112,16 miliar yaitu berasal dari APBN sebesar Rp 89,8 miliar dan APBD senilai Rp 22,36 miliar. Kegiatan programnya meliputi: PNPM Perdesaan mencakup 36 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp 72,2 miliar dan PNPM Perkotaaan mencakup 42 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp. 39,9 miliar. Sedangkan kelompok program bantuan masyarakat untuk peningkatan dan akses usaha mikro dan kecil adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Provinsi DI 173
Yogyakarta mendapat jatah plafon untuk KUR pada tahun 2009 sebesar Rp 241,07 miliar pada 31 Juli 2009 terserap sampai Rp 126,56 miliar dengan jumlah peminjam/pemanfaat sebesar 49.398 pengusaha mikro dan kecil. 5.
Kabupaten Bantul
Perkembangan program penanggulangan kemiskinan di kabupaten Bantul untuk kelompok bantuan sosial berbasis keluarga sebagai berikut: Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesnas) menerima luncuran sebesar Rp. 7,18 miliar per Juli 2009. Untuk kelompok program bantuan berbasis masyarakat (pemberdayaan) yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di kabupaten Bantul pada tahun 2009 tersebar di 17 kecamatan. Adapun nilai total Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tersebut sebesar Rp 22,1 miliar yaitu berasal dari APBN sebesar Rp 17,7 miliar dan APBD senilai Rp 4,4 miliar. Kegiatan programnya meliputi: PNPM Perdesaan mencakup 5 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp 9,9 miliar dan PNPM Perkotaan mencakup 12 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp. 12,17 miliar. Sedangkan kelompok program bantuan masyarakat untuk peningkatan dan akses usaha mikro dan kecil adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kabupaten Bantul mendapat jatah plafon untuk KUR pada tahun 2009 sebesar Rp 63,85 miliar dengan jumlah peminjam/pemanfaat sebesar 10.191 pengusaha mikro dan kecil. 6).
Kabupaten Kulon Progo
Perkembangan program penanggulangan kemiskinan di kabupaten Kulon Progo untuk kelompok bantuan sosial berbasis keluarga sebagai berikut: Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesnas) menerima luncuran sebesar Rp. 2.713.204.000,per Juli 2009 dan peserta program ini sebanyak 141.893 jiwa Untuk kelompok program bantuan berbasis masyarakat (pemberdayaan) yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di kabupaten Kulon Progo pada tahun 2009 tersebar di 12 kecamatan. Adapun nilai total Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tersebut sebesar Rp 21,6 miliar yaitu berasal dari APBN sebesar Rp 17,3 miliar dan APBD senilai Rp 4,3 miliar. Kegiatan programnya meliputi: PNPM Perdesaan mencakup 11 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp 20,2 miliar dan PNPM Perkotaan mencakup hanya 1 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp. 1,4 miliar. 7).
Provinsi Sulawesi Utara
Perkembangan program penanggulangan kemiskinan di provinsi Sulawesi Utara untuk kelompok bantuan sosial berbasis keluarga sebagai berikut: Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesnas) pada tahun 2009 peserta Jamkesmas sebanyak 496.935 jiwa . Per 31 Juli 2009 Provinsi Sulawesi Utara melalui rumah sakit yang telah ditunjuk melakukan penyerapan sebesar RP 34,9 miliar. Disamping itu provinsi Sulawesi Utara juga partisipasi dengan Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dengan nilai Rp. 1,5 miliar. Untuk kelompok program bantuan berbasis masyarakat (pemberdayaan) yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2009 terdapat di 13 kabupaten/kota tersebar di 148 kecamatan. 174
Adapun nilai total Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tersebut sebesar Rp 146,2 miliar yaitu berasal dari APBN sebesar Rp 103,7 miliar dan APBD senilai Rp 42,5 miliar. Kegiatan programnya meliputi: PNPM Perdesaan mencakup 106 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp 94,7 miliar dan PNPM Perkotaaan mencakup 35 kecamtan dengan nilai BLM sebesar Rp. 40,97 miliar serta PNPM Infrastruktur Perdesaan meliputi 7 kecamatan dengan nilai Rp. 10,5 miliar. Sedangkan kelompok program bantuan masyarakat untuk peningkatan dan akses usaha mikro dan kecil adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Provinsi Sulawesi Utara mendapat jatah plafon untuk KUR pada tahun 2009 sebesar Rp 215,7 miliar pada 31 Juli 2009 terserap sampai Rp 128,2 miliar dengan jumlah peminjam/pemanfaat sebesar 26.190 pengusaha mikro dan kecil. 7).
Kabupaten Minahasa Utara Perkembangan program penanggulangan kemiskinan di kabupaten Minahasa Utara untuk kelompok bantuan sosial berbasis keluarga sebagai berikut: Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesnas) menerima luncuran sebesar Rp. 195,4 miliar per Juli 2009. Untuk kelompok program bantuan berbasis masyarakat (pemberdayaan) yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di kabupaten Minahasa Utara pada tahun 2009 tersebar di 9 kecamatan. Adapun nilai total Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tersebut sebesar Rp 12,4 miliar yaitu berasal dari APBN sebesar Rp 9,5 miliar dan APBD senilai Rp 2,89 miliar. Kegiatan programnya meliputi: PNPM Perdesaan mencakup 8 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp 10,9 miliar dan PNPM Perkotaan mencakup hanya 1 kecamatan dengan nilai BLM sebesar Rp. 1,5 miliar.
14.2.
EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH
Untuk mewujudkan efektifitas penanggulangan kemiskinan di daerah diperlukan kelembagaan yang efektif dengan perangkat dokumen dan sistem koordinasi antar lembaga, karena penaggulangan kemiskinan adalah persoalan multisektor/multidimensi sehngga harus dilaksanakan bersama-sama antar unsur pelaku dan lembaga yang terlibat di daerah. Sebelum UU otonomi daerah dilaksanakan mulai 2001, Pemda hanya merupakan pelaksana dari program-program yang dirancang oleh Pemerintah Pusat. Dengan adanya desentralisasi, pemda menjadi bertanggung jawab dalam mengembangkan prakarsanya sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk di lingkup wilayahnya. Otonomi daerah dilandasi suatu pemikiran bahwa karena pemerintah daerah lebih “dekat” dengan penduduknya, maka mereka lebih mampu untuk mengembangkan setiap prakarsa yang berorientasi pada dan selaras dengan kebutuhan lokal sehingga akan lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan. Berdasarkan logika ini, efektivitas dan kesuksesan otonomi daerah dalam penanggulangan kemiskinan menjadi tak terpisahkan dari kesiapan kelembagaan termasuk keberadaan dokumen pembangunan dan penanggulangan kemiskinan di daerah dan penerapan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, seperti 175
demokrasi, partisipasi, keadilan, tanggung gugat, dan kesetaraan, sambil tetap memperhitungkan keragaman potensi dan keanekaragaman daerah.
14.2.1 Kelembagaan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Dalam rangka upaya peningkatan koordinasi dan sikronisasi penanggulangan kemiskinan, diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan pada tanggal 10 September 2005, sebagai penjabarannya kemudian diterbitkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat selaku Ketua TKPK Nomor 05/KEP/MENKO/KESRA/II/2006 tentang Pedoman Umum dan Kelompok Kerja TKPK tingkat Pusat. Untuk koordinasi pennaggulangan kemiskinan di daerah maka diluncurkan Panduan Operasional Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri 412.6/2179/SJ tentang Panduan Operasional TKPK Daerah tertanggal 15 September 2006. Ketentuan mengenai Koordinasi Penanggulangan ini sudah diperbarui dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009. Perpres ini dikeluarkan untuk mengoptimalkan kinerja dari Penanggulangan Kemiskinan dengan melalui: i. Penegasan bahwa penanggulangan kemiskinan adalah tanggung jawab Pemerintah, Pemda dan Masyarakat. Berkaitan dengan ini pendanaan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan juga ditanggung oleh Pemerintah dan Pemda. ii. Penyesuaian kelompok kerja sesuai dengan 3 kluster program penanggulangan kemiskinan. iii. Penempatan sekretariat TKPK Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bappeda sesuai dengan tupoksinya sebagai lembaga perencanaan, koordinasi dan monev. Sebagai aturan pelaksanaan di daerah sudah diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pembentukan Tim Koordinasi Peanggulangan Kemiskinan Provinsi dan Kabupaten/Kota yang diurai secara garisbesar sebagai berikut: TKPK Provinsi TKPK Provinsi dibentuk oleh Gubernur dengan Keputusan Gubenur dimana TKPK provinsi tersebut berkedudukan di ibukota provinsi dan bertugas mengoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan serta mengoordinasikan pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di provinsi. Adapun tugas mengoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, yaitu menyelenggarakan fungsi: 1) Pengoordinasian penyusunan SKPD Provinsi sebagai dasar penyusunan RPJMD Provinsi di bidang penanggulangan kemiskinan; 2) Pengoordinasian forum SKPD atau forum gabungan SKPD bidang penanggulangan kemiskinan dalam hal penyusunan renstra SKPD; 3) Pengoordinasian forum SKPD atau forum gabungan SKPD bidang penanggulangan kemiskinan dalam hal penyusunan rancangan SKPD; 4) Pengoordinasian forum SKPD atau forum gabungan SKPD bidang penanggulangan kemiskinan dalam hal penyusunan Renja SKPD; dan 5) Pengevaluasian pelaksanaan perumusan dokumen 176
rencana pembangunan daerah bidang penanggulangan kemiskinan. Dalam melaksanakan tugas mengoordinasikan pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, TKPK Provinsi menyelenggarakan fungsi : 1) Pengoordinasian pemantaun, supervisi dan tindak lanjut terhadap pencapaian tujuan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan agar sesuai dengan kebijakan pembangunan daerah; 2) Pengoordinasian pemantaun pelaksanaan kelompokprogram penanggulangan kemiskinan oleh SKPD yang meliputi realisasi pencapaian target, penyerapan dana dan kendala yang dihadapi; 3) Penyusunan hasil pemantauan pelaksanaan program dan atau kegiatan program penanggulangan kemiskinan secara periodik; 4) Pengoordinasian evaluasi pelaksanaan program dan atau kegiatan penanggulangan kemiskinan; 5) Pengoordinasian penanganan pengaduan masyarakat bidang penanggulangan kemiskinan; dan 6) Penyiapan laporan pelaksanaan dan pencapaian program penanggulangan kemiskinan kepada gubernur. Susunan Keanggotaan TKPK Provinsi sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut: Gubenur dan Wakil Gubenur (Peanggung jawab umum), Sekretaris Daerah Provinsi (Ketua), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi (Wakil Ketua Bidang Koordinasi Perencanaan), Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi (Wakil Ketua Bidang Koordinasi Pelaksanaan), Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi (Sekretaris), Sekretaris Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi (Wakil Sekretaris). Koordinator kelompok program bantuan dan perlindungan sosial (Kepala SKPD yang membidangi perlindungan dan bantuan sosial), Koordinator kelompok program pemberdayaan masyarakat (Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat), Koordinator kelompok program pemberdayaan usaha mikro dan kecil (Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan usaha mikro dan kecil), dan para anggotanya adalah Kepala SKPD dan lembaga terkait lainnya. Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas TKPK Provinsi, maka dibentuk Sekretariat TKPK Provinsi yang dipimpin oleh Sekretaris dan Wakil Sekretaris TKPK Provinsi. Sekretariat TKPK Provinsi berkedudukan di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah atau Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi. Sekretariat TKPK Provinsi mempunyai tugas memberikan dukungan administrasi teknis kepada TKPK Provinsi dan pembentukanya ditetapkan dengan Keputusan Gubenur. Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas sekretariat TKPK Provinsi, maka dibentuk kelompok kerja yang ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. Kelompok Kerja tersebut adalah : 1) Kelompok Kerja Pendataan dan Sistem Informasi dipimpin Pejabat Eselon III pada SKPD Provinsi yang mempunyai tugas pokok mengelola data dan informasi kemiskinan; Kelompok Kerja Pengembangan Kemitraan yang dipimpin Pejabat Eselon III pada SKPD Provinsi yang mempunyai tugas pokok dibidang perencanaan pembangunan sosial dan ekonomi; dan 3) Kelompok Kerja Pengaduan Masyarakat yang dipimpin oleh Pejabat Eselon III pada SKPD Provinsi yang mempunyai tugas pokok dibidang pemberdayaan social/ekonomi masyarakat. Adapun jumlah dan jenis kelompok kerja disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah.
177
TKPK Kabupaten/Kota TKPK Kabupaten/Kota dibentuk oleh Bupati/Walikota dengan Keputusan Bupati/Walikota dimana TKPK Kabupaten/Kota tersebut berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, bertugas mengoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan serta mengoordinasikan pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di kabupaten/kota. Adapun tugas mengoordinasikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, yaitu menyelenggarakan fungsi: 1) Pengkoordinasian penyusunan SKPD Kabupaten/Kota sebagai dasar penyusunan RPJMD Kabupaten/Kota di bidang penanggulangan kemiskinan; 2) Pengkoordinasian forum SKPD atau forum gabungan SKPD bidang penanggulangan kemiskinan dalam hal penyusunan renstra SKPD; 3) Pengkoordinasian forum SKPD atau forum gabungan SKPD bidang penanggulangan kemiskinan dalam hal penyusunan rancangan SKPD; 4) Pengkoordinasian forum SKPD atau forum gabungan SKPD bidang penanggulangan kemiskinan dalam hal penyusunan Rencana Kerja SKPD; dan 5) Pengkoordinasian evaluasi pelaksanaan perumusan dokumen rencana pembangunan daerah bidang penanggulangan kemiskinan. Dalam melaksanakan tugas mengoordinasikan pengendalian pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, TKPK Kabupaten/Kota menyelenggarakan fungsi: 1) Pengkoordinasian pemantaunan, supervisi dan tindak lanjut terhadap pencapaian tujuan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan agar sesuai dengan kebijakan pembangunan daerah; 2) Pengkoordinasian pemantaun pelaksanaan kelompokprogram penanggulangan kemiskinan oleh SKPD yang meliputi realisasi pencapaian target, penyerapan dana dan kendala yang dihadapi; 3) Penyusunan hasil pemantauan pelaksanaan program dan atau kegiatan program penanggulangan kemiskinan secara periodik; 4) Pengkoordinasian evaluasi pelaksanaan program dan atau kegiatan penanggulangan kemiskinan; 5) Pengkoordinasian penanganan pengaduan masyarakat bidang penanggulangan kemiskinan; dan 6) Penyiapan laporan pelaksanaan dan pencapaian program penanggulangan kemiskinan kepada Bupati/Walikota. Susunan Keanggotaan TKPK Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut: Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota (Peanggung jawab umum), Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota (Ketua), Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota (Wakil Ketua Bidang Koordinasi Perencanaan), Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten/Kota (Wakil Ketua Bidang Koordinasi Pelaksanaan), Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota (Sekretaris), Sekretaris Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten/Kota (Wakil Sekretaris). Koordinator kelompok program bantuan dan perlindungan sosial (Kepala SKPD yang membidangi perlindungan dan bantuan sosial), Koordinator kelompok program pemberdayaan masyarakat (Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat), Koordinator kelompok program pemberdayaan usaha mikro dan kecil (Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan usaha mikro dan kecil), dan para anggotanya adalah Kepala SKPD dan lembaga terkait lainnya. Untuk membantu kelancaran pelaksanaan tugas sekretariat TKPK Kabupaten/Kota maka dibentuk kelompok kerja yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota. Adapun kelompok kerja tersebut terdiri dari : 1) Kelompok Kerja Pendataan dan Sistem Informasi yang dipimpin oleh Pejabat Eselon III pada SKPD Kabupaten/Kota yang mempunyai tugas pokok mengelola data dan informasi 178
kemiskinan; 2) Kelompok Kerja Pengembangan Kemitraan dipimpin oleh Pejabat Eselon III pada SKPD Kabupaten/Kota yang mempunyai tugas pokok dibidang perencanaan pembangunan sosial dan ekonomi; dan 3) Kelompok Kerja Pengaduan Masyarakat dipimpin oleh Pejabat Eselon III pada SKPD Kabupaten/Kota yang mempunyai tugas pokok dibidang pemberdayaan sosial/ekonomi masyarakat. Adapun jumlah dan jenis kelompok kerja disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah. 14.2.2 Analisis Kelembagaan Penanggulangan Kemiskinan, Perencanaan dan Anggaran dari Daerah Sampel
Dokumen
Dari semua provinsi dan kabupaten yang menjadi sampel kajian, seluruhnya mempunyai dokumen peraturan tentang pembentukan TKPKD (lihat tabel 29). Secara mendasar wadah koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan untuk penanggulangan kemiskinan baik ditingkat pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota keberadaannya sangat kuat karena dilengkapi oleh aturan hukum yang jelas dan tertulis, namun efektivitas kelembagaan tersebut masih perlu dipertanyakan kembali. Hal ini disebabkan karena ternyata belum semua provinsi dan kabupaten sampel tersebut mampu menghasilkan rencana penanggulangan kemiskinan yang terpadu seperti yang diharapkan. Hanya provinsi DIY, Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Bantul yang sudah memiliki dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) atau sejenisnya (Tabel 14.1). Selanjutnya apabila dilihat dari kelengkapan dokumen perencanaan pembangunan, Tabel 14.1. juga menunjukan bahwa masing-masing daerah sampel sudah hampir seluruhnya akan mempunyai dokumen RPJPD dan RPJMD. Hal ini menunjukan bahwa potensi daerah dalam membuat dokumen perencanaan sudah dapat diandalkan sehingga apabila TKPKD-nya efektif dapat diharapkan daerah tersebut bisa menghasilkan SPKD yang handal dan dapat dilaksanakan oleh semua fihak karena semuanya ikut terlibat dan berpartisipasi dalam pembuatannya.
Tabel 14.1. Kelembagaan dan Dokumen Penanggulangan Kemiskinan Provinsi/ Kabupaten/Kota I. Provinsi 1. Sumsel
2. DI Yogyakarta
3. Sulawesi Utara
RPJPD
RPJMD
Rencana PK*
TKPKD
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Selatan No. 17 tahun 2005 Peraturan Daerah Provinsi DI Yogyakarta No. 2 Tahun 2009
Masih dalam bentuk Raperda
Belum ada
Perda No. 4 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Perda No. 4 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Sulawesi Utara
Ada
Keputusan Gubernur No. 035/KPTS/V/2003 Tanggal 29 Januari 2003. Keputusan Gubernur No. 94 Tahun 2002 pada tanggal 10 Juli 2002.
Masih dalam bentuk Draft RPJPD
Belum ada
Keputusan Gubernur No. 204 Tahun 2002 pada tanggal 30 Agustus 2002
179
II. Kabupaten 1. Ogan Ilir
2. Banyuasin
3. Bantul
4. Kulon Progo
5. Minahasa Utara
Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir Nomor 5 Tahun 2005 tetang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Ogan Ilir Peraturan Daerah kabupaten Banyuasin Nomor 9 Tahun 2008 tetang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah kabupaten Banyuasin Peraturan Daerah kabupaten Bantul Nomor 14 Tahun 2005 tentang tetang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah kabupaten Bantul
Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir Nomor 36 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Ogan Ilir
Ada
Keputusan Bupati Ogan Ilir Nomor: 43/KEP/PMD/2008 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Ogan Ilir 2008
Peraturan Daerah kabupaten Banyuasin Nomor 27 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kabupaten Banyuasin
Belum ada
Keputusan Bupati Banyuasin Nomor: 412.6/PMD/567/2003 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Banyasin
Peraturan Daerah kabupaten Bantul Nomor 15 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kabupaten
Keputusan Bupati Bantul Nomor: 29 Tahun 2002 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Bantul
Peraturan Daerah kabupaten Kulon Progo Nomor 16 Tahun 2007 tetang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah kabupaten Kulon Progo Masih dalam bentuk draft
Peraturan Daerah kabupaten Kulon Progo Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kabupaten Kulon Progo
Belum ada SPKD, namun sudah ada (SRTPK) yang ditetapkan oleh Peraturan Bupati Nomer 22 Th 2005. Belum ada
Peraturan Daerah kabupaten Minahasa Utara Nomor 32 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah kabupaten Minahasa Utara
Masih dalam bentuk draft
Keputusan Bupati Kulon Progo Nomor: 337 Tahun 2002 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Kulon Progo Keputusan Bupati Minahasa Utara Nomor: 24 Tahun 2004 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Minahasa Utara
Keterangan: * Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) atau sejenisnya SRTPK adalah Rencana Strategi Tindak Pengurangan Kemiskinan.
Sementara itu apabila dilihat dari APBDnya, belanja masing-masing daerah menurut fungsinya (Tabel 14.2.) anggaran paling besar adalah untuk pelayanan umum 180
sedangkan untuk perlindungan sosial masih sangat kecil, kecuali DIY sebesar 2,29 persen, padahal di fungsi perlindungan sosial mayoritas menyangkut tentang anggaran untuk rakyat miskin. Tabel 14.2. Penggunaan APBD berdasarkan Fungsi (%) Provinsi/Kabupaten
Sumsel
DI Yogya -karta 3,31 6,45 55,98
Sulut
Ogan Ilir
Banyuasin
Bantul
Kulon Progo
Kesehatan 4,81 5,45 6,39 7,46 8,24 12,44 Pendidikan 8,91 6,86 25,63 19,57 36,20 43,66 Pelayanan Umum 42,62 51,88 23,51 22,63 24,92 23,47 Ketertiban dan Ketentraman 0,73 0,93 2,97 0,98 2,26 0,59 0,57 Ekonomi 10,57 13,37 14,25 6,56 7,98 4,27 7,33 Lingkungan Hidup 0,27 0,51 0,44 0,78 0,00 0,27 2,03 Perumahan dan Fasum 30,37 14,77 15,33 34,46 38,95 24,23 8,53 Pariwisata 1,02 2,40 1,86 0,32 0,00 0,88 0,70 Perlindun Sosial 0,69 2,29 0,96 1,36 1,14 0,39 1,26 Keterangan: * Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) atau sejenisnya
Minahasa Utara 9,11 31,53 32,48 1,31 9,97 0,95 12,83 0,48 1,35
Sedangkan apabila penggunaan APBD dilihat berdasarkan jenisnya (Tabel 14.3.), maka anggaran untuk pegawai dan belanja modal menempati porsi yang paling besar dan bantuan sosial mendapat porsi yang kecil (kecuali sekali lagi provinsi DI Yogyakarta). Tabel 14.2. dan 14.3. ini apabila dihubungkan dengan tabel 14.1. tentang kelembagaan dan dokumen penanggulangan kemiskinan, keberadaan SPKD serta dokumen perencanaan pembangunan yang lengkap cukup mendorong Pemda menjadi lebih pro-poor dalam perencanaan dan penganggaran APBDnya dibandingkan dengan Pemda yang belum mempunyai SPKD. Lebih lanjut keberadaan SPKD umumnya dimulai dengan terbentuknya TKPKD dan tersusunnya dokumen-dokumen perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa perencanaan dan penganggaran yang pro-poor di daerah memerlukan dukungan dokumen perencanaan dan dorongan kelembagaan penanggulangan kemiskinan yang efektif Tabel 14.3. Penggunaan APBD berdasarkan Jenis Belanja (%) Provinsi/Kabupaten
Sumsel
DI Yogyakarta 17,74 7,65 13,86
Sulut
Ogan Ilir 0,00 2,22 43,85
Banyuasin 2,44 3,23 48,86
Kulon Progo
Minahasa Utara
1,04 4,97 28,64
1,45 2,12 15,63
0,00 3,47 29,53
0,14
0,12
0,00
4,16
3,81
2,19
0,30 0,26 50,76 62,79 9,99 13,77 0,00 0,02 sejenisnya
0,07 49,37 15,37 0,00
Bantul
Belanja Hibah 10,75 0,90 Bantuan Sosial 2,16 6,10 Belanja Modal 35,97 16,51 Bagi Hasil Prov/Kab /Pemdes 11,31 11,16 10,23 0,24 0,00 Bantuan Keuangan Prov/Kab/Pemdes 2,42 3,36 2,26 3,85 3,11 Belanja Tidak Terduga 0,31 1,14 0,68 0,39 0,12 Pegawai 22,10 25,20 42,16 40,29 30,19 Barang dan Jasa 14,44 19,88 21,16 9,11 12,04 Subsidi 0,54 0,00 0,00 0,06 0,00 Keterangan: * Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) atau
181
BAB XV ANALISIS PERSEPSI MASYARAKAT DI DAERAH TERHADAP PROGRAM DAN KOORDINASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH SAMPEL Kuesioner yang didistribusikan kepada reponden, sebagian besar kuesioner telah diisi dan dikembalikan. Selanjutnya, dilakukan analisa atas isi kuesioner tersebut untuk melihat sejauh mana respon responden atas berbagai pertanyaan yang diajukan. Respon dari responden yang ingin diketahui berkaitan dengan keragaan atau kinerja (performance) dari lembaga penanggulangan kemiskinan baik di tingkat pusat maupun daerah. Keragaan atau kinerja yang ingin diketahui adalah di bidang: (i) Keberadaan program dan lembaga TKPK; (ii) Fungsi dan efektivitas TKPK; (iii) Pendanaan; (iv) Interaksi antara TKPK dengan lembaga lain. Bidang-bidang tersebut satu persatu dibahas berikut ini. 15.1.
Keberadaan Program dan Lembaga TKPK
Respon dari responden menyatakan bahwa keberadaan program-program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, masih sangat dibutuhkan. Pendapat dari daerah menyatakan bahwa 91 persen masih membutuhkan program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah pusat. Latar belakang pendapat bahwa program pemerintah pusat masih sangat dibutuhkan karena adanya keterbatasan keuangan daerah. Demikian pula keberadaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) juga masih dibutuhkan dengan respon daerah sebesar 89 persen. Keberadaan TKPK dibutuhkan oleh daerah dan masyarakat agar pengelolaan penanggulangan kemiskinan bisa berjalan secara terkoordinasi dan optimal. (Tabel 15.1.) Pendapat seperti ini umumnya merata di semua jajaran pemerintahan dan masyarakat serta LSM pelaku program penanggulangan kemiskinan. Tabel 15.1. Persepsi Daerah dan Masyarakat terhadap Keberadaan Program Penanggulangan Kemiskinan dan TKPK NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
RESPONDEN
Bappeda BPM Dinas Kesehatan Dinas Pendidikan Dinas Pekerjaan Umum Dinas Sosial Dinas Koperasi UKM Dinas Petanian/Perikanan BPS Daerah Camat Konsultan/Fasilitator Kades/Masyarakat JUMLAH
PROGRAM PK
KELEMBAGAAN TKPK
A
B
C
A
B
C
8 8 7 7 6 8 7 7 6 7 8 8 87
0 0 1 1 2 0 1 1 2 1 0 0 9
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
8 8 7 7 6 8 7 7 6 7 8 7 86
0 0 1 1 2 0 1 1 2 1 0 1 10
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
182
PERSENTASE 90,6 9,1 0,0 89,6 Sumber: Data Primer, diolah. Keterangan: A sangat dibutuhkan; B=dibutuhkan dan C=kurang dibutuhkan
15.2.
10,1
0,0
Fungsi Koordinasi dan efektivitas TKPK
Meskipun keberadaan TKPK diperlukan, namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi permasalahan. Permasalahan terbesar adalah pada koordinasi pelaksanaan yaitu sebesar 37,4 persen, masalah koordinasi kebijakan menduduki tempat kedua yaitu sebesar 30,3 persen dan masalah ketiga yaitu koordinasi pemantauan dan evaluasi sebesar 29,3 persen (Tabel 15.1.). Melihat respon tersebut, nampak bahwa meskipun dibuthkan namun permasalahan merata pada ketiga aspek koordinasi tersebut. Apabila didalami lebih lanjut, dalam koordinasi pelaksanaan ternyata sebanyak 60 persen masih kurang efektif, dan 34 persen menyatakan efektif. Sangat sedikit yang menyatakan bahwa koordinasi pelaksanaan sangat efektif. Demikian pula, dalam koordinasi kebijakan masih banyak yang menyatakan kurang efektif dan bahka dalam persentase yang lebih besar, yaitu masing-masing 73 persen (Tabel 15.2.). Melihat besarnya angka ini, nampak memprihatinkan, karena sebetulnya masyarakat berpengharapan besarterhadap keberadaan TKPK. Untuk itu, harapan besar akan keberadaan TKPK dan program penanggulangan kemiskinan harus didukung dengan fungsi dan efektivitas kelembagaan yang baik, agar harapan masyarakat supaya programprogram penanggulangan kemiskinan benar-benar efektif membantu masyarakat miskin keluar dari kemiskinan dapat terpenuhi. Tabel 15.2. Persepsi Daerah dan Masyarakat terhadap Fungsi dan Efektivitas Koordinasi TKPK
NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
RESPONDEN
Bappeda BPM Dinas Kesehatan Dinas Pendidikan Dinas Pekerjaan Umum Dinas Sosial Dinas Koperasi UKM Dinas Petanian/Perikanan BPS Daerah Camat Konsultan/Fasilitator Kades/Masyarakat
PERMASALAHAN KOORDINASI TKPK
EFEKTIVITAS KERJA (KOORDINASI BIDANG) Kebijakan (I)
Plaksanaan (II)
Monev (III)
I
II
III
A
B
C
A
B
C
A
B
C
3
2
3
0
2
6
0
3
5
0
2
6
2
4
2
0
4
4
1
5
2
0
3
5
3
3
2
0
2
6
1
2
5
0
1
7
3
3
2
0
2
6
0
3
5
0
2
6
3
3
2
0
2
6
0
4
4
0
2
6
2
4
2
0
3
5
0
2
6
0
1
7
3
3
2
0
1
7
0
3
5
0
1
7
2
3
3
0
3
5
0
2
6
0
2
6
3
2
3
0
1
7
0
1
7
0
2
6
2
3
3
0
0
8
0
2
6
0
1
7
2
3
3
0
3
5
1
4
3
0
4
4
2
4
2
0
1
7
0
2
6
0
3
5
JUMLAH
30
37
29
0
24
72
3
33
60
0
24
72
PERSENTASE
30,3
37,4
29,3
0,0
24,2
72,7
3,0
33,3
60,6
0,0
24,2
72,7
Sumber: Data Primer, diolah. Ket : A=Sangat Efektif; B=Efektif dan C=kurang Efektif
183
15.3.
Permasalahan yang dihadapi TKPK
Kurang berfungsi dan efektifnya koordinasi yang dilakukan oleh lembaga TKPK, sebagaimana disebutkan di atas, dapat dilihat dari: (i) kewenangan; (ii) job desk; (iii) ego sektoral; dan (iv) kualitas SDM (Tabel 15.3.). Berdasarkan keempat hal tersebut, ternyata masalah ego sektoral menempati urutan terbesar (43,75%), dan sebagian besar menyatakan skala ego sektoral dalam kategroi sangat dan cukup. Masalah ego sektoral yang dimaksud disini adalah adanya pemikiran yang masih terpisah-pisah bahwa pembangunan di daerah adalah pembangunan sektor. Padahal seharusnya yang menjadi tujuan bersama adalah menurunkan tingkat kemiskinan di daerah, dengan menggunakan program-program yang ada di masing-masig sektor (SKPD). Masih munculnya ego sektoral ini dapat disebabkan karena fungsi koordinasi belum atau tidak berjalan; atau meskipun sudah berjalan namun belum ada agenda, sasaran dan pembagian kerja yang disepakati bersama, dilaksanakan, dimonitor bersama. Masalah kedua adalah kesesuaian struktur TKPK dengan tupoksi masingmasing kementrian dan lembaga dalam anggota TKPK (42,71%). Ketidaksesuaian ini dinyatakan cukup sesuai (44,44%) dan kurang sesuai (38,38%). Ketidaksesuaian ini dalam bentuk posisi lembaga di dalam TKPK yang kurang sesuai dengan tupoksi dan kompetensinya. Sementara itu, masalah yang berkaitan dengan kekuatan hukum dan kewenangan dari TKPK menempati urutan berikutnya yaitu sebesar 7,29%. Dalam kategori ini hanya sekitar 18% yang menyatakan bahwa kewenangan sangat mencukupi, atau dengan kata lain lebih banyak yang menyatakan bahwa kewenangan masih rendah/kurang (27,27%). Demikian pula masalah kualitas SDM yang sangat mencukupi baru mencapai 16,16%.
184
Tabel 15.3. Persepsi Daerah dan Masyarakat Terhadap Permasalahan yang dihadapi oleh Kelembagaan TKPK
NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
KEWENANGAN
RESPONDEN
Bappeda BPM Dinas Kesehatan Dinas Pendidikan Dinas PU Dinas Sosial Dinas Kop. UKM Dinas Petanian dll BPS Daerah Camat Konsultan/Fasilitator Kades/Masyarakat JUMLAH PERSENTASE
JOBDESK
EGO SEKTORAL
KUALITAS SDM
A
B
C
I
A
B
C
II
A
B
C
III
A
B
C
IV
2 2 2 1 1 2 1 1 1 2 2 1
3 5 4 5 4 4 5 5 4 5 4 4
3 1 2 2 3 2 3 2 3 1 2 3
1 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 1
1 1 2 1 1 1 2 0 0 0 1 1
3 4 3 2 3 3 4 4 5 4 5 4
4 3 3 5 4 4 2 2 2 4 2 3
4 3 4 3 4 4 4 4 2 2 4 3
6 1 4 4 1 3 4 4 5 5 4 6
2 4 2 2 4 3 3 3 2 2 2 2
0 3 2 2 3 2 1 1 1 1 2 0
2 4 3 4 2 4 2 3 5 5 4 4
1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 3
5 6 5 4 5 4 4 4 4 5 5 4
2 1 2 2 3 3 3 2 3 1 2 1
1 1 0 1 1 0 1 0 1 0 0 0
18 52 27 7 11 44 38 41 47 31 18 42 16 55 25 6 18,75 52,53 27,27 7,29 11,11 44,44 38,38 42,71 47,47 31,31 18,18 43,75 16,16 55,56 25,25 6,25
Sumber Data Primer Diolah. A=Sangat , B=Cukup dan C=Kurang
185
Apabila dipertajam lebih lanjut, di dalam kategori kualitas SDM ini, maka penilaian daerah dan masyarakat terhadap sumber daya manusia yang dimiliki oleh anggota TKPK ialah kualitas intelektual dan pengetahuan tentang kemiskinan secara umum cukup baik yaitu 60,06% (Tabel 15.4.). Namun yang menyangkut masalah kapasitas atau kemampuan dalam hal pengelolaan dan manajemen penanggulangan kemiskinan kurang begitu baik (57,6%). Sikap ketegasan dan kejelasan komitmenya (integritas) dalam mendukung dan menyelesaikan tentang kemiskinan dari para anggota TKPK masih dipandang masih rendah oleh kebanyakan masyarakat dan daerah (59,6%). Tabel 15.4. Persepsi Daerah dan Masyarakat Terhadap Performance Sumberdaya Manusia PERFORMA SDM TKPK NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
RESPONDEN
Bappeda BPM Dinas Kesehatan Dinas Pendidikan Dinas Pekerjaan Umum Dinas Sosial Dinas Koperasi UKM Dinas Petanian/Perikanan BPS Daerah Camat Konsultan/Fasilitator Kades/Masyarakat JUMLAH PERSENTASE
Kualitas
Kapasitas
Integritas
A
B
C
A
B
C
A
B
C
0 1 0 0 1 1 0 1 0 1 1 1
5 6 5 5 5 5 6 4 5 4 6 4
3 1 3 3 2 2 2 3 3 3 1 2
0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0
4 5 3 4 5 1 2 1 2 3 3 3
4 3 5 4 2 7 6 7 5 5 4 5
0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0
3 4 2 3 4 2 3 2 3 2 4 3
5 3 6 5 3 6 5 6 5 6 4 5
7
60
28
4
36
57
2
35
59
7,1
60,6
28,3
4,0
36,4
57,6
2,0
35,4
59,6
Sumber: Data Primer, diolah. Ket : A=Tinggi; B=Cukup dan C=Rendah
15.4.
Respon terhadap Program Penanggulangan Kemiskinan
Apabila melilhat Tabel 15.1. nampak bahwa Pemda dan masyarakat merasa sangat membutuhkan program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah pusat. Namun demikian, persepsi masayrakat terhadap manajemen dan skema program masih kurang baik. Sebagaimana disajikan di dalam Tabel 15.5, faktor paling utama adalah menyangkut masalah manajemen pengelolaan program di segala lini (46,5%), masalah skema program yang kurang jelas dan kurang sederhana (31,3%) dan masalah targeting yaitu penentuan dan penetapan lokasi pemanfaat maupun alokasinya jumlah bantuan (19,2%). Dalam pengelolaan (manajemen) program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan, pemerintah daerah dan masyarakat masih menilai kurang baik atau buruk yaitu sebesar 63,6%, dan hanya sebesar 32,3% yang menilai cukup baik. Masalah
186
skema program dinilai oleh pemerintah daerah dan masyarakat cukup rumit atau kurang sederhana (47,5%) dan 39,4% pemerintah daerah dan masyarakat menilai cukup lengkap dan cukup sederhana. Berkaitan dengan masalah targeting yaitu proses dan hasil ketetapan dan penetapan lokasi (tempat dan pemanfaat) serta alokasi sumberdaya (BLM, pendamping dan lain-lain), pemerintah daerah dan masyarakat masih memandang bahwa targetting masih kurang tepat dan kurang akurat (47,5%) dan hanya 37,4% daerah dan masyarakat yang menjawab cukup tepat (Tabel 15.5).
Tabel 15.5. Persepsi Daerah dan Masyarakat Terhadap Tingkat Permasalahan Program dan Kegiatan Penanggulangan Kemiskinan
NO
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
RESPONDEN
Bappeda BPM Dinas Kesehatan Dinas Pendidikan Dinas Pekerjaan Umum Dinas Sosial Dinas Koperasi UKM Dinas Petanian/Ikan BPS Daerah Camat Konsultan/Fasilitator Kades/Masyarakat
EFEKTIVITAS PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN
PERMASALAHAN PROGRAM PK
Targetting (I)
Skema (II)
Manajemen (III)
I
II
III
A
B
C
A
B
C
A
B
C
3
3
2
5
3
1
2
3
3
0
3
5
2
2
4
1
3
4
1
4
3
1
4
3
1
3
4
2
2
4
1
2
5
0
2
6
1
4
3
2
3
5
1
4
3
0
3
5
2
2
4
1
3
5
0
4
4
0
2
6
1
2
5
0
4
4
0
1
7
0
3
5
0
3
5
0
3
5
0
2
6
0
3
5
0
2
6
0
3
5
1
5
2
0
2
6
4
2
2
0
3
5
0
2
6
0
3
5
2
2
4
0
2
6
0
6
2
0
2
6
1
3
4
3
3
2
1
3
4
1
3
5
2
3
3
2
5
1
3
3
2
0
2
6
JUMLAH
19
31
46
16
37
47
10
39
47
2
32
63
PERSENTASE
19,2
31,3
46,5
16,2
37,4
47,5
10,1
39,4
47,5
2,0
32,3
63,6
Sumber: Data Primer, diolah. Ket: Targetting (A=Sangat Tepat; B=Cukup ; C=Kurang Tepat), Skema (A=Sangat Lengkap dan Sederhana; B=Cukup Lengkap dan Sedehana; C=Rumit), Manajemen (A=Sangat Bagus; B=Cukup; C=Kurang Bagus)
187
BAB XVI. STRATEGI PENINGKATAN EFEKTIVITAS PENANGGULANAN KEMISKINAN DI DAERAH
Untuk menyusun strategi peningkatan efektivitas penanggulangan kemiskinan di daerah, akan dikupas satu persatu isu yang masih menjadi permasalahan. Selanjutnya akan diidentifikasi strategi untuk peningkatan efektivitas pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di daerah, disertai dengan langkah konkrit yang dapat segera dilakukan.
16.1. ANALISA TERHADAP DIHADAPI
ISU
DAN
PERMASALAHAN
YANG
Berdasarkan isu-isu yang sudah diuraikan di depan, keberadaan dokumen baik berupa RPJMD dan terutama adanya SPKD sangat menentukan ada atau tidaknya rencana yang jelas mengenai penanggulangan kemiskinan. Namun demikian, tidak dapat diperoleh informasi yang rinci tentang kualitas dan penerapan dari SPKD untuk pelaksanaan penanggulagan kemiskinan. Dari sisi isi dokumen SPKD, tidak diperoleh penjelasan lebih lajut mengenai isi yang ada di dalam SPKD: (i) program dan kegiatan apa saja yang dicantumkan di dalam SPKD; (ii) pembagian peran dinas-dinas dalam pelaksanaan SPKD; (iii) sumber pendanaan dari mana saja dan bagaimana sinergi antar sumberdana tersebut; (iv) apakah terdapat indikator untuk mengukur perkembangan penanggulangan kemiskinan dari waktu ke waktu; (v). apakah dilakukan proses pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan SPKD. Selanjutnya, dari sisi penggunaan beberapa hal yang penting adalah: (i) apakah dan bagaimana SPKD digunakan di dalam proses koordinasi di TKPKD; (ii). sejauh mana SPKD mengikat masing-masing dinas yang berperan dalam pelaksanaannya; (iii) apakah ada instrumen yang digunakan untuk menggunakan SPKD dalam penerapannya. Selanjutnya, dari penggalian informasi masyarakat, persepsi masyarakat dan pemerintah daerah atas berbagai aspek penanggulangan kemiskinan di masing-masing daerah, antara lain: (i) keberadaan program dan TKPK; (ii) fungsi koordinasi dan efektivitas TKPK, kebijakan, pelaksanaan, monev; (iii) masalah yang dihadapi: kewenangan, job desk, ego sektoral, kualitas SDM; (iv) respon terhadap program penanggulangan kemiskinan: targetting, skema program dan manajemen. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, keberadaan program penanggulangan kemiskinan dan TKPK sangat diperlukan oleh masyarakat dan pelaku penanggulangan kemiskinan di daerah. Namun demikian, fungsi koordinasi dan efektivitas TKPK baik dari sisi fungsi koordinasi kebijakan, pelaksanaan maupun pemantauan dan evaluasi masih dirasakan kurang. Kurang efektifnya fungsi koordinasi tersebut, dalam pelaksanaannya fungsi TKPK tersebut, hubungan antar pelaku masih dibayangi dengan masalah kewenangan, kejelasan pembagian tugas, masih adanya ego sektoral antar dinas-dinas, serta kualitas SDM yang ada. Respon terhadap program penanggulangan kemiskinan: targetting, skema program dan manajemen. Dengan adanya permasalahan yang tersebut di atas, diperlukan berbagai strategi dan langkah konkrit untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan di daerah.
188
16.2.
STRATEGI DAN BEBERAPA LANGKAH KONKRIT
Strategi yang perlu ditempuh untuk meningkatkan efektivitas peningkatan penanggulangan kemiskinan adalah: (i) penataan kelembagaan; (ii) penguatan kapasitas; (iii) koordinasi pelaksanaan yang intensif dan kontinyu.
16.2.1. PENATAAN KELEMBAGAAN Penataan kelembagaan TKPKD yang dimaksud disini adalah melakukan: (i) pembentukan dan/atau peningkatan keaktifan TKPKD; (ii) pembagian tugas dan kewenangan antar SKPD di dalam TKPKD; dan (iii) peningkatan fungsi TKPKD. Tujuan dari penataan kelembagaan TKPKD adalah untuk membentuk TKPKD yang sebagai forum bersama, menjadi satu-satunya wadah pengambilan keputusan dan koordinasi pelaksanaan serta memiliki rencana dan target penanggulangan kemiskinan secara jelas. Aspek pertama yaitu pembentukan TKPKD untuk mengkoordinasikan rencana pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi penanggulangan kemiskinan. Dengan keberadaan forum koordinasi ini diharapkan program-program penanggulangan kemiskinan yang terwadahi dalam 3 kluster dapat diarahkan kepada target dan sasaran yang diinginkan, serta dilaksanakan sesuai tujuan untuk menurunkan angka kemiskinan di seluruh pelosok wilayah daerah yang bersangkutan. Apabila suatu daerah sudah memiliki TKPKD daerah maka keaktifan fungsi koordinasi dalam forum tersebut perlu ditingkatkan, dengan meningkatkan frekuensi koordinasi dengan menggunakan instrumen koordinasi yang tepat. Yang kedua, adalah pembagian tugas dan kewenangan antar SKPD di dalam TKPKD. Sesuai dengan persepsi masyarakat, SKPD yang menjadi penanggungjawab program-program penanggulangan kemiskinan masih belum memiliki pemahaman yang sama dan pembagian peran dan fungsi yang jelas sehingga sesuai dengan tupoksi lembaga/SKPD. Dengan pembagian peran dan fungsi yang jelas, maka sinergi antar program penanggulangan kemiskinan untuk mengatasi masalah kemiskinan di daerah akan dapat dilakukan secara efektif. Ketiga, peningkatan fungsi TKPKD agar menjadi satu-satunya forum rencana pelaksanaan penanggulangan kemiskinan di suatu daerah. Sebagai satu-satunya forum koordinasi penanggulangan kemiskinan di suatu kabupaten/kota, agar dilengkapi dengan agenda kerja koordinasi yang jelas, rencana kerja penanggulangan kemiskinan (SPKD) yang konkrit dan disertai instrumen koordinasi berupa data kondisi dan peta kemiskinan daerah. Dengan demikian, selain sinergi antar program dapat dilakukan, melalui forum TKPKD akan dapat pula mengarahkan program ke sasaran wilayah dan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara tepat.
16.2.2. PENGUATAN KAPASITAS Agar supaya TKPKD dapat menjalankan fungsi dan peran sebagaimana tujuan yang diharapkan dalam penataan kelembagaan tersebut di atas, maka perlu didukung
189
dengan kapasitas yang mencukupi, baik kapasitas lembaga dengan perangkatnya maupun kapasitas sumberdaya manusianya. Kapasitas dari sisi lembaga adalah adanya basis data penanggulangan kemiskinan yang terpelihara secara kontinyu dan mutakhir. Basis data ini dimiliki dan dapat diakses oleh semua anggota TKPKD serta digunakan untuk pengambilan keputusan, dasar pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan. Basis data yang terpelihara dan mutakhir ini penting untuk dapat diakses oleh pemangku kepentingan penanggulangan kemiskinan di daerah dan masyarakat secara luas sebagai wujud transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Untuk dapat memiliki dan memelihara kapasitas lembaga seperti itu, diperlukan keberadaan sumberdaya manusia yang berkualitas. Sumberdaya yang dimiliki baik dalam bidang pemeliharaan dan penyajian data untuk perencanaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaan; maupun analisis data untuk dasar pengambilan keputusan serta evaluasi program dan capaian penanggulangan kemiskinan di daerah. Untuk dapat memiliki SDM dengan kapasitas seperti ini, maka perlu adanya: (i) cara rekrutmen yang berkualitas; (ii) pelatihan SDM sesuai kebutuhan secara periodik; (iii) pembinaan dan pemfungsian kerja serta hasil kerja staf sesuai dengan kebutuhan kerja, dalam hal ini agenda kerja TKPKD dan penyusunan SPKD serta pemantauan pelaksanaannya.
16.2.3. KOORDINASI YANG INTENSIF DAN KONTINYU Setelah kelembagaan tertata dengan baik, dan kapasitas TKPKD diperkuat, maka pimpinan TKPKD harus melakukan koordinasi secara intensif dan kontinyu. Intensif dalam arti bahwa pelaksanaan koordinasi secara periodik tetap dilakukan, seperti koordinasi, pemantauan pelaksanaan dan evaluasi hasil. Namun yang lebih penting lagi adalah koordinasi dalam penanganan permasalahan kemiskinan yang berkembang di daerah. Koordinasi permasalahan ini sangat penting karena bersifat kekinian dan langsung dirasakan masyarakat yang apabila tidak ditangani secara langsung dapat menimbulkan keresahan sosial di masyarakat. Pola koodinasi semacam ini perlu dipelihara secara kontinyu dalam forum TKPKD, sehingga forum TKPKD akan menjadi satu-satunya pusat koordinasi segala upaya penanggulangan kemiskinan dan penyelesaian permasalahan kemiskinan di daerah masing-masing. Hasil dari forum inilah yang kemudian menjadi bagian dari pembangunan daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah tersebut, serta menjadi dasar komunikasi politik dengan DPRD. Demikian pula, hasil penanggulangan kemiskinan daerah menjadi input dan bagian dari penanggulangan kemiskinan secara nasional. Ketiga langkah tersebut di atas, apabila dilaksanakan oleh daerah akan sangat meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah. Meskipun tidak berarti bahwa setelah melakukan langkah-langkah di atas akan memiliki penurunan kemiskinan dengan kecepatan yang sama, namun dengan langkah-langkah di atas, dapat diharapkan bahwa penurunan kemiskinan di semua daerah akan lebih dipercepat.
190
16.3. PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN YANG BERPIHAK KE MASYARAKAT MISKIN (PRO POOR PLANNING AND BUDGETING)
Dalam era desentralisasi, berbagai program pembangunan nasional, termasuk program-program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh berbagai Kementrian/Lembaga telah didelegasikan kewenangan pelaksanaannya kepada Pemerintah Daerah (Pemda). Sehubungan dengan itu, Pemda memiliki kewenangan yang cukup besar untuk memanfaatkan program dan anggaran tersebut untuk disinergikan dengan program dan anggaran dari APBD untuk melayani dan memenuhi kebutuhan pembangunan dan masyarakat. Untuk itu, aparat Pemda perlu melakukan: (i) mengenali kondisi wilayah dan kebutuhan masyarakat serta memetakan kondisi kemiskinan masyarakat. Instrumen yang disusun untuk mengetahui gap antara kondisi yang ingin dicapai dan kondisi saat ini disebut dengan score card, sedangkan kondisi kemiskinan digambarkan dalam peta kemiskinan (poverty map); (ii) menggunakan kondisi hasil identifikasi di dalam score card tersebut itu untuk menyusun rencana pembangunan dan penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah; (iii) mengarahkan program dan anggaran sesuai dengan kebutuhan wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam hal ini masyarakat miskin. Dengan melakukan ketiga langkah tersebut, maka rencana dan anggaran pembangunan daerah akan lebih pro kepada masyarakat miskin; (iv) selanjutnya berdasarkan rencana yang sudah pro poor tersebut, maka dilakukan pemantauan terhadap pelaksanaan program dan penggunaan anggaran, serta hasil yang dicapai; (v) mengevaluasi hasil dan dampak pelaksanaan program terhadap kemajuan wilayah dan kesejahteraan masyarakat (Bagan 16.1.).
PELAKSANAAN MEMAHAMI KEMISKINAN: a. Kondisi b. Penyebab c. Ukuran dan Peta
MENYUSUN RENCANA DAN ANGGARAN YANG PRO POOR
HASIL DAN MANFAAT
PENURUNAN KEMISKINAN DAN PENINGKATAN KESRA
MONEV
PARTISIPASI MASYARAKAT MISKIN DAN LEMBAGA NON PEMERINTAH
Bagan 16.1. Proses Kegiatan Pro Poor Planning and Budgeting
191
Selanjutnya, rencana dan anggaran yang sudah pro poor tersebut, dikomunikasikan dengan DPRD yang memiliki hak budget. Sehubungan dengan itu, DPRD juga perlu memiliki pemahaman yang sama dengan Pemda, bahwa prinsip yang digunakan dalam penanggulangan kemiskinan adalah membantu masyarakat miskin memiliki akses terhadap sumberdaya produktif dan kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Untuk itu, program penanggulangan tidak bersifat membagi-bagi sumberdaya yang ada untuk membantu masyarakat miskin mencapai standar garis kemiskinan sehingga menciptakan ketergantungan. Program yang bersifat bantuan tersebut harus diarahkan pada masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk bekerja, atau meskipun mampu bekerja namun masih tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. Dengan pemahaman seperti ini maka rencana program dan anggaran di daerah-daerah akan benar-benar memihak kepada masyarakat miskin dan diarahkan kepada daerah-daerah yang relatif lebih miskin. Untuk dapat melakukan proses penyusunan rencana dan anggaran pembangunan yang memihak kepada masyarakat miskin, Pemda perlu didukung dengan, pertama, adalah basis data yang konsisten dan reliable. Keberadaan data dengan kualitas seperti ini dihasilkan dan didukung oleh: (i) sistem pendataan yang dipelihara secara kontinyu; (ii) data yang cukup detil, akurat dan mutakhir; (iii) staf pendataan yang memiliki kemauan untuk memelihara dan selalu memutakhirkan data serta staf yang memiliki kemampuan untuk menganalisa. Sistem pendataan ini tidak hanya berada di Bappeda namun juga berada pada SKPD yang menjadi anggota TKPKD. Di beberapa provinsi dan kabupaten/kota, sistem pendataan seperti ini diatur melalui peraturan Kepala Daerah. Dengan demikian, setiap aparat Pemda terutama yang menjadi anggota TKPKD memiliki sistem pendataan yang sama, basis data yang sama dan cara pemanfaatan yang sejalan dengan proses pro poor planning and budgetting. Kedua, untuk membimbing Pemda agar memiliki kemampuan tersebut, maka Pemda perlu memiliki tenaga ahli dan pendamping. Namun demikian, untuk daerahdaerah yang tidak mampu memiliki tenaga ahli, maka Pemerintah dapat membantu menyediakannya. Dalam hal ini Bappenas sebagai lembaga perencanaan yang menjadi pembina Bappeda, serta Kantor Menko Kesra sebagai Ketua TKPK dan sebagai lembaga yang memiliki tupoksi untuk membina TKPKD. Ketiga, tenaga pendamping tersebut di atas juga membantu proses menginternalisasikan proses pro poor planning and budgetting ke dalam proses Musrenbang provinsi dan kabupaten/kota, bahkan di tingkat yang lebih rendah di kecamatan dan desa. Apabila proses ini secara konsisten dan kontinyu dilaksanakan maka akan dapat dipastikan bahwa program anggaran secara proporsional akan terarah ke daerah yang membutuhkan dan program bantuan sosial akan benar-benar sampai ke masyarakat miskin (tepat sasaran). Keempat, pelatihan kepada staf pelaksanaan khususnya di Bappeda sebagai koordinator penyusunan rencana dan anggaran pembangunan daerah termasuk program penanggulangan kemiskinan, serta SKPD lainnya. Pelatihan yang dilakukan adalah tentang: (i) data kemiskinan, analisis data dan pemanfaatannya, pemantauan dan evaluasi; (ii) pembuatan score card dan poverty map serta pemutakhirannya; (iii)
192
proses Musrenbang yang partisipatif dan cara pengelolaan partisipasi stakeholders dan masyarakat. Kelima, adalah proses komunikasi politik dengan DPR dan termasuk kemungkinan pembentukan Perda sebagai legal basis untuk komunikasi politik yang mengutamakan penyusunan rencana dan anggaran yang berpihak kepada masyarakat miskin (pro poor). Dengan kepemilikan faktor-faktor di atas dan penerapannya dalam proses penyusunan rencana dan anggaran, maka rencana pembangunan yang disusun di setiap daerah akan selalu mengutamakan masyarakat miskin, dan programpenanggulangan kemiskinan akan tepat sasaran. Dengan cara ini diharapkan penurunan kemiskinan di setiap daerah akan dapat berjalan lebih cepat.
16.4.
PERAN BAPPENAS DALAM MENDUKUNG PRO POOR PLANNING AND BUDGETING
Sebagai lembaga perencanaan, Bappenas memiliki peran besar untuk dapat meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan di daerah pada khususnya dan pembangunan daerah pada umumnya. Peran yang dapat dilakukan adalah melalui membantu Bappeda: (i) menerapkan pro poor planning and budgeting (P3B); (ii) melakukan koordinasi program penanggulangan kemiskinan melalui fungsi Bappeda sebagai sekretariat TKPKD; (iii) meningkatkan proses perencanaan melalui Musrenbang; (iv) meningkatkan efektivitas pembangunan daerah secara keseluruhan. 16.4.1. PENERAPAN PRO-POOR PLANNING AND BUDGETING DI DAERAH Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan penanggulangan di daerah, perlu dimulai sejak proses perencanaan. Untuk itu, P3B akan sangat baik diterapkan di daerah terutama di tingkat kabupaten/kota yang memiliki kewenangan terbesar dalam pembangunan, sumberdaya yang ada baik dari APBN Kementerian/Lembaga, maupun dari dana perimbangan serta dana dari pendapatan asli daerah (PAD). Oleh sebab itu, Bappenas memiliki peran strategis untuk membina Kabupaten/Kota menerapkan P3B atau mekanisme semacamnya untuk menjamin bahwa Pemerintahan Daerah memang fokus dalam menanggulangi kemiskinan di wilayahnya masing-masing. Peran strategis diperlukan karena pada saat ini sudah ada sebanyak hampir 500 kabupaten/kota dan 33 provinsi. Dengan sekitar 533 daerah ini maka diperlukan fokus yang sama, pendataan yang dapat diintegrasikan dan proses yang memang menjamin bahwa prioritas nasional penanggulangan kemiskinan akan terjadi disemua daerah dengan baik, sehingga target penurunan kemiskinan untuk membantu masyarakat miskin meningkatkan kesejahteraannya dapat tercapai. Untuk membantu Pemerintahan daerah tersebut, maka Bappenas dapat berperan dalam kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
193
1.
2.
3.
Pelatihan: a.
Melakukan pelatihan dalam penyusunan sistem basis data di Bappeda dengan jaringan SKPD yang terkait dalam penanggulangan kemiskinan. Penyusunan sistem data ini dikoordinasikan di Bappenas, namun merupakan sumbangan dari data yang ada di masing-masing sektor pembangunan. Sedangkan jaringan fisik sistem pendanaan dapat dibiayai dari APBD.
b.
Melakukan pelatihan: (i) penyusunan poverty map untuk mengetahui kondisi kemiskinan di wilayahnya masing-masing; dan (ii) penyusunan score card untuk mengetahui gap antara capaian pembangunan, dalam hal ini target di dalam MDG, dengan sasaran yang harus dicapai di masing-masing daerah.
Mengembangan sistem data pembangunan daerah, baik data rencana dan anggaran, data hasil pelaksanaan serta manfaat dari berbagai program daerah. Dalam kaitan ini, Bappenas dapat membantu pengembangan sistem pendataan pembangunan yang antara lain data-data yang berkaitan dengan: a.
Data dasar pemerintah daerah: (i) mengenai SDM daerah, termasuk kepala desa/lurah, camat, guru, dokter, bidan, penyuluh dsb yang sangat penting untuk pelayanan masyarakat; (iii) data program dan anggaran SKPD baik yang berasal dari pusat maupun daerah, termasuk DAU, DAK, dan bagi hasil; (iv) data kelembagaan pemerintah (kelengkapan perangkat kerja desa, kecamatan, kabupaten dsb); (v) data lembaga/pusat layanan masyarakat: rumah sakit, Posyandu, Puskesmas, Poskeswan, dsb; dan (vi) data lembaga kemasyarakatan yang ada dan berfungsi di masyarakat.
b.
Data perekonomian daerah: (i) data perkembangan bidang-bidang ekonomi (pertanian, industri, perusahaan termasuk usaha menengah dan besar) di daerah; (ii) data penduduk dan karakteristik sosialnya; (iii) data kemiskinan dan inequality penduduk; (iii) data ketenagakerjaan terutama penganggur; dan (iv). data usaha mikro dan informal dsb.
Melakukan bimbingan dan pendampingan dalam: a.
Proses penyusunan rencana kerja dan anggaran daerah yang pro poor, sebagai satu-satunya landasan pembangunan di daerah, untuk alat koordinasi antar SKPD dan antara Pemda dengan DPRD.
b.
Bimbingan dan pendampingan termasuk dalam proses Musrenbang daerah sehingga produk RKPD merupakan: (a) rencana pembangunan yang realistis dan operasional; (b) satu-satunya dokumen pembangunan di tingkat daerah, yang menjadi pengikat dan landasan koordinasi antar SKPD di daerah.
c.
Melakukan pemantauan dan menyusun laporan serta evaluasi program pembangunan daerah. Dalam kaitan ini termasuk memantau: (a) seluruh
194
program dan anggaran baik yang berasal dari APBN maupun APBD; (b) memantau perkembangan kesejahteraan masyarakat miskin dengan memantau perkembangan kondisi Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang menjadi sasaran program penanggulangan kemiskinan tercakup dalam Kluster I; melaporkan perkembangan pelaksanaan dan output dari DAK, yang selama ini belum dilaporkan dengan baik oleh daerah.
16.4.2. PENGUATAN BAPPEDA SEBAGAI SEKRETARIAT TKPKD Sesuai dengan Perpres 13/2009 Bappeda disarankan kepada daerah agar ditetapkan sebagai Sekretariat TKPKD, karena sesuai dengan tupoksinya sebagai koordinator perencanaan, pelaksanaan dan terutama pemantauan dan evaluasi. Sehubungan dengan itu, maka Bappenas dapat membantu meningkatkan kapasitas Bappeda dalam berperan sebagaimana dalam pro poor planning dan budgeting, namun dalam kaitan ini khusus untuk program-program penanggulangan kemiskinan. Penguatan untuk peran Bappeda dalam kaitan dengan ini adalah seperti di atas, namun untuk penyusunan rencana penanggulangan kemiskinan di daerah, pemantauan dan evaluasinya yaitu: 1.
Penyusunan basis data kemiskinan sebagai bagian dari basis data pembangunan daerah. Termasuk dalam basis data ini adalah: (i) data karakteristik masyarakat terutama masyarakat miskin (makro kemiskinan) yang diperoleh dari hasil Susenas di wilayahnya masing-masing di setiap kabupaten; (ii) data hasil capaian 3 Kluster program penanggulangan kemiskinan; (iii) data RTS (mikro kemiskinan) yang dapat digunakan untuk mengarahkan program Kluster 1, mengetahui ketepatan sasarannya dan dampak terhadap kemajuan kondisi RTS; (iv) data PNPM Mandiri dsb.
2.
Penyusunan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai satu-satunya dokumen untuk rencana penanggulangan kemiskinan di daerah. Penyusunan SPKD perlu dilakukan berdasarkan sistem data yang dibangun dan program serta anggaran di SPKD baik dari APBN maupun APBD, serta dana masyarakat.
3.
Koordinasi pelaksanaan SPKD, pemantauan dan evaluasinya, baik dari sisi penurunan angka kemiskinan yang tercermin dalam angka kemiskinan secara makro (pendapatan) maupun peningkatan layanan dan kebutuhan dasar di tingkat RTS sebagai hasil dari program-program afirmasi yang dilakukan melalui 3 Kluster program penanggulangan kemiskinan.
16.4.3. MENINGKATKAN KUALITAS MUSRENBANG
Dengan adanya dukungan Bappenas untuk memperkuat Bappeda di kedua bidang atau kegiatan di atas, maka akan terjadi berbagai penguatan kualitas fungsi dan peran Bappeda dalam proses pembangunan di daerah. Penguatan Bappeda di daerah baik sebagai leading institution di dalam penerapan P3B maupun dalam pelaksanaan
195
koordinasi melalui TKPKD. Peningkatan kapasitas di kedua bidang tersebut akan sangat membantu fungsi dan peran Bappeda dalam melakukan Musrenbang baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota untuk lebih dapat mengakomodir usulan masyarakat yang dihasilkan antara lain dari proses Musrenbang tingkat kecamatan dan desa. Kesinambungan proses bottom up Musrenbang ini penting karena sampai saat ini tidak dapat diketahui keterkaitan dan traceability dari usulan masyarakat yang dikumpulkan di tingkat desa (musrenbangdes dan Musrenbang kecamatan) sampai ke tingkat kabupaten/kota. Dengan kata lain, tidak ada titik temu antara usulan masyarakat dengan alokasi proyek/kegiatan dari SKPD yang berasal dari dana kementerian/lembaga. Proses Musrenbang secara praktek telah dilaksanakan secara bertahap, namun isi dan agenda pembicaraan di dalamnya masih top down, karena lebih banyak mengabarkan alokasi yang sudah ditentukan dari Kementerian/Lembaga. Dengan menggunakan peningkatan kapasitas yang sudah dibangun di Bappeda, maka akan dapat lebih mudah meningkatkan peran Bappeda agar perencanaan melalui proses Musrenbang lebih demand oriented (people oriented), artinya lebih mengakomodir usulan masyarakat. Perwujudan peran ini tidak mudah karena memerlukan: (i) kapasitas yang memadai di Bappeda, artinya kapasitas staf Bappeda haruslah setingkat lebih tinggi dibanding SKPD, baik di dalam pengenalan kondisi daerah secara menyeluruh yang diperoleh dari pendataan yang konsisten dan kontinyu, juga pengetahuan mengenai program-program yang ada serta cara pemanfaatan yang sesuai dengan karakteristik daerah; (ii) instrument koordinasi yang dimiliki Bappeda, yaitu data, poverty map, score card, SPKD, dan RKPD sebagai alat koordinasi; (iii) penetapan indikator kinerja dan pembangunan dan pemantauan serta evaluasinya; (iv) dukungan dari pimpinan daerah untuk menerapkan dan mendukung peran Bappeda sebagai koordinator pembangunan di daerah. Dengan kemampuan dan alat koordinasi tersebut, maka penyelenggaran Musrenbang di daerah akan dapat lebih transparan dan menampung usulan serta kebutuhan riil masyarakat, yang dipenuhi dengan menggunakan program/kegiatan dari APBN dan APBD. Dengan kemampuan dan alat ini, maka akan mudah pula untuk menggalang kontribusi konstruktif dari perusahaan swasta untuk pembangunan daerah. Untuk membantu peningkatan kapasitas dan peran Bappeda, selain pelatihan tersebut di atas dalam rangka P3B maupun TKPKD, Bappenas dapat pula menempatkan staf Bappenas untuk diperbantukan dalam jangka waktu tertentu sesuai kebutuhan daerah.
16.5. KEGIATAN/PERSIAPAN YANG PERLU DILAKUKAN BAPPENAS Agar Bappenas dapat berperan dalam kegiatan di atas, maka Biro SDM dan Pusbindiklatren perlu melakukan: 1. 2.
Pelatihan pelatih (training of trainers) untuk staf Bappenas yang akan melatih staf Bappeda dan SKPD. Pelatihan staf Bappeda dan SKPD terkait dengan: (i) kebijakan dan program nasional; (ii) kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan; (iii)
196
3. 4. 5.
pendataan pembangunan nasional; (iv) pemantauan dan evaluasi pembangunan. Penyelenggaraan workshop antara lain: untuk DPRD dan stakeholders lain di daerah. Menempatkan staf Bappenas dan JFP untuk membantu di daerah dalam jangka pendek (mingguan atau bulanan). Menerima magang staf Bappeda dan SKPD di Bappenas.
Sementara itu, peran dari Kedeputian dan Direktorat teknis adalah untuk menyediakan substansi, sebagai pengajar/tutor dalam pelatihan dan juga mengirimkan staf/JFP yang ada dalam lingkup koordinasinya untuk mendukung pelaksanaan tugas Bappenas dalam meningkatkan kapasitas Bappeda. Dengan cara ini maka Pemda dapat memiliki pemahaman yang sama dengan Bappenas dan kementerian/lembaga di tingkat pusat, memiliki instrumen untuk koordinasi, pemantauan dan evaluasi. Dengan demikian, pembangunan di daerah akan lebih berkualitas dan programprogram dapat diterapkan secara benar dan efektif menurunkan kemiskinan di daerahdaerah.
197