BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan fakta dan data yang ditemukan di lapangan serta kajian terhadap komodifikasi kain tenun songket Bali di tengah perkembangan industri kreatif fesyen
di Denpasar dengan menggunakan teori secara ekletik telah
menghasilkan simpulan sebagai berikut: 8.1 Simpulan Kain songket Bali merupakan kain tradisional yang penting dalam kegiatan seremonial maupun ritual di Bali.
Selain berfungsi sebagi wastra
ataupun kemben penutup tubuh, songket Bali diapresiasi sebagai petanda status bagi masyarakat triwangsa. Secara khusus songket Bali dibuat dari bahan berkualitas baik dengan penambahan benang emas dan perak yang memberikan kesan mewah bagi pemakainya. Ragam motif yang digunakan juga merupakan refleksi keyakinan hidup yang mendalam pada filsafat Hindu. Beberapa motif seperti motif wayang, naga, singa mengampid merupakan songket rerajaan yang secara eksklusif digunakan oleh raja dan orang terdekatnya. Dalam konteks kesejarahan, songket Bali adalah salah satu karya budaya adiluhung Bali yang dahulunya hanya dapat diakses oleh kalangan terbatas, yakni diantara kelompok masyarakat bangsawan dan pimpinan keagamaan. Keahlian menenun songket Bali
hanya diturunkan didalam keluarga dan oleh garis
keturunan. Tetapi melemahnya hubungan tradisional dan eksklusivitas hubungan antara songket dengan status masyarakat kalangan atas dan pengaruh ideologi demokrasi yang menguat didalam masyarakat, menyebabkan hak-hak privilege 186
187
produksi konsumsi songket mulai memudar. Puncak momentumnya pada tahun 1980, saat Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra dan seorang Brahmana, mendorong masyarakat untuk membeli produk-produk tekstil Bali termasuk songket dan mengenakannya sebagai busana upacara. Kapitalisasi budaya Bali merambah keseluruh artefak budaya Bali tidak terkecuali kain tenun tradisional songket.
Keunikan songket Bali merupakan
sumber inspirasi untuk mendulang keuntungan rupiah. Kapitalisasi menjadikan songket Bali sebagai komoditi yang layak jual dengan harga yang tak tergolong murah. Komodifikasi songket Bali terjadi mulai dari hulu kehilir, yakni pada mulai dari tahapan produksi, distribusi sampai pada tahapan konsumsi. Pada tahapan produksi komodifikasi terjadi pada motif, warna, desain, pakem. Perubahan warna, motif dan desain merupakan tuntutan pasar khususnya konsumen fesyen yang selalu memintah karya-karya up to date, modern, stylish, dan berbeda. Perubahan trend, musim dan preferensi masyarakat sangat kuat mempengaruhi perubahan-perubahan dalam warna, motif dan desain. Para desainer mengaktualisasikan permintaan ini dalam karya-karya yang menabrak pakem atau keluar dari pola-pola lama yang sudah ajeg sebelumnya. Dalam proses distribusi, terjadi perluasan rantai tataniaga sehingga menjadi semakin kompleks. Kegiatan distribusi juga memperlihatkan eksploitasi hasrat terutama untuk mendorong tindakan mengkonsumsi melalui pendekatan pasar yang agresif, eksploitasi seksualitas dan sensualitas, serta propaganda melalui citra-citra visual. Pada tingkat konsumsi, komodifikasi songket Bali
188
terjadi dalam bentuk produk fesyen. Konsumsi songket Bali menjadi simbol diferensiasi dan status kelompok tertentu. Komodifikasi terjadi seiring dengan perubahan struktur masayarakat Bali yang dahulu agraris menjadi non agraris (jasa). Modernitas menjangkau Bali melalui pariwisata, pendidikan, dan teknologi informasi yang menyebar luas di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, peningkatan jumlah kelas menengah di Bali menyebabkan kebutuhan akan benda-benda simbolik melebihi kebutuhan dasar. Dampak komodifikasi
songket
Bali secara
sosial budaya
memperkuat
kecenderungan terbentuknya “masyrakat komoditas” (commodity society). .Masyarakat komoditas ditandai dengan kondisi masayarkat yang mengutamakan citra dan gaya hidup (life styles). Hal ini di perlihatkan dengan permintaan akan kebutuhan simbolik salah satunya melalui busana. Selain itu komodifikasi songket Bali adalah bagian dari proses erosi budaya yang terus berlangsung. Gejala komodifikasi songket Bali dalam masyarakat Bali mengungkapkan berbagai makna-makna baru. Komodifikasi tidak hanya dipandang sebagai sebuah fenomena komersialisasi artefak budaya yang destruktif tetapi mampu mengungkap makna-makna lain seperti makna dari sakral ke profan, makna egalitarian, makna kesejahteraan, makna kreativitas, makna pelestaraian, makna identitas dan makna estetika. Pemaknaan baru tersebut memberikan arahan bagi pemerintah dan masyarakat Bali dalam pengambilan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan komodifikasi budaya Bali.
189
8.2 Saran Dari kajian terhadap fakta dan dan data dilapangan ada beberapa hal yang yang menjadi catatan bagi komodifikasi kain tenun songket Bali di tengah perkembangan industri kreatif fesyen di Denpasar. Oleh karena itu ada beberapa saran disampaikan berkaitan penelitian ini. Kepada pihak Pemerintah sebagai pengambil kebijakan khsususnya Pemerintah Daerah Bali: (1) Membuat kebijakan-kebijakan strategis untuk melidungi benda-benda warisan budaya khusunya songket Bali, melalui peraturan-peraturan yang mendukung upaya pelestarian songket Bali, melakukan inventarisasi motif-motif songket Bali baik yang otentik maupun setelah mengalami modifikasi. Selain itu pemerintah harus mendaftarkan ragam motif songket Bali sebagai kekayaan intelektual masyarakat Bali. (2) Mendukung industri hulu dan hilir songket Bali, melalui penciptaan kondisi usaha yang kondusif untuk berkembang secara sehat. (3) Melakukan monitoring terhadap perkembangan industri kreatif fesyen, melakukan pembinaan dan memberikan ruang seluas-luasnya untuk berkarya dengan mengintegrasikannya dengan local wisdom dalam tatanan masyarakat Bali.
190
Untuk Asosiasi desainer dan para desainer sebagai penggerak industri fesyen: (1) Agar memperhatikan suara masyarakat khususnya masyarakat adat Bali saat mengeksplorasi kain-kain tradisional Bali khususnya songket Bali. (2) Menjadikan kain tenun tradisional Bali sebagai tuan rumah, sebagai busana yang mampu mengangkat nilai-niai tradisional Bali dalam konteks kekinian.