BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan Rencana reklamasi Teluk Benoa Bali awalnya menjanjikan peningkatan perekonomian yang cukup tinggi serta akan menjadikan Bali sebagai salah satu destinasi wisata terbaik di Indonesia. Dengan kalkulasi bahwa akan terbukanya lapangan pekerjaan baru bagi generasi muda Bali, rencana Pemerintah Provinsi Bali periode (Pastika-Sudikerta) yang telah tertata sedemikian rupa, pupus oleh kuatnya people power yang menolak keras rencana reklamasi tersebut. Kalkulasi untung-rugi, laba perusahaan, investasi baru, peningkatan pajak, serta kebijakan strategis Pemerintah Provinsi Bali ternyata tidak berjalan sesuai dengan perkiraan Pemprov. Bali. Pemikiran para pakar dan juga teknokrat di dalam tubuh eksekutif maupun legislatif tidak mendapatkan angin positif dari masyarakat. Bukan hanya kebijakan yang tidak pro rakyat yang didengungkan para komunitas penolak reklamasi Teluk Benoa seperti ForBALI, tetapi proses perencanaan kebijakan yang ditutup-tutupilah yang menjadikan polemik rencana reklamasi Teluk Benoa ini semakin sulit untuk dicarikan solusi pemecahan. Ibarat nasi telah menjadi bubur, seperti itulah perasaan dan kekecewaan rakyat Bali dengan pemerintahan Pastika-Sudikerta. Bukannya mengakomodir kepentingan publik untuk mendapatkan legitimasi kembali, malah menyatakan bahwa rencana reklamasi Teluk Benoa
207
bukanlah wewenang pemerintah daerah karena telah diterbitkannya Perpres 51 tahun 2014 oleh Presiden SBY. Proses formulasi Surat Keputusan No. 1727/01-B/HK/2013 mengenai izin studi kelayakan rencana pemanfaatan pengembangan dan pengelolaan wilayah perairan Teluk Benoa sangat kental dengan pendekatan elitis. Dimulai dari penyusunan agenda antara PT. TWBI dengan Pemprov. Bali (baik dari penentuan wilayah, pengkajian aspek teknis, ekonomis, sosial-budaya) sampai sampai tahap formulasi kebijakan yang melibatkan eksekutif (Pemprov. Bali) dan legislatif (DPRD Prov. Bali) yang menghasilkan output berupa kebijakan rencana reklamasi Teluk Benoa. Proses formulasi kebijakan teknokratis idealnya merupakan hasil dari keputusan para teknokrat yang dianggap memiliki keahlian dalam menata ruang publik. Tetapi proses formulasi SK No. 1727/01-B/HK/2013 sangat lemah dalam sisi informasi/data ini memperlihatkan runtuhnya pendekatan teknokratis oleh kebijakan elitis. Walapun hasil Feasibility Study dari LPPM Universitas Udayana menyatakan bahwa Teluk Benoa “tidak layak” untuk direklamasi, Gubernur Bali tetap tidak mau mencabut SK No. 1727/01-B/HK/2013. Bahkan Gubernur Bali sangat memaksakan bagaimanapun caranya agar reklamasi Teluk Benoa bisa dilanjutkan.
Hal ini memperlihatkan
hilangnya evidence based policy dalam proses perumusan kebijakan reklamasi Teluk Benoa. Kebijakan teknokratis merupakan hasil dari para pakar ahli kebijakan, tetapi tidak diindahkannya hasil kajian LPPM UNUD telah membuat pertanyaan besar, 208
akankah kebijakan teknokratis tetap disalahkan dalam kasus kebijakan reklamasi Teluk Benoa Bali? Terlepas dari itu semua SK reklamasi Teluk Benoa Bali yang awalnya diputuskan oleh Gubernur Bali dengan segala prosesnya tetap merupakan suatu kebijakan teknokratis, karena ketika awal dari terbutnya kebijakan reklamasi diputuskan memang hanya segelintir aktor yang mengetahui dan turut terlibat di dalam proses perumusan kebijakannya. Tetapi setelah diputuskannya hasil dari kajian LPPM UNUD, Gubenur Bali tetap memaksakan kebijakan reklamasi untuk tetap dijalankan, dari sinilah terjadi kejanggalan dalam pendekatan teknokratis tersebut. Gubernur Bali telah bersikap otoriter yang menyatakan bahwa Gubernurlah yang berkuasa dalam penentuan kebijakan. Bukannya mengadakan diskusi dengan masyarakat tetapi Gubernur Bali mengajukan perubahan zona terkait Teluk Benoa kepada Menteri Koordinator Perekonomian sehingga diterbitkannya Perpres 51 Tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhiyono. Terbitnya Perpres 51 Tahun 2014 dengan mengubah wilayah konservasi menjadi zona penyangga semakin membuat runyam masalah reklamasi Teluk Benoa. Bukan saja bermasalah dari sisi konten kebijakan (karena tidak adanya kajian/data) tetapi dalam sisi proses, kebijakan publik ini juga bermasalah (karena tanpa adanya partisipasi dari publik) yang memperlihatkan kepentingan elit sangat kuat baik dari Presiden SBY dan Gubernur Bali MMP (yang merupakan kader dari partai Demokrat).
209
Kebijakan teknokratis yang ditutup-tutupi seperti inilah disebut dengan kebijakan elitis. Kebijakan elitis ketika penguasa bertindak sesuai dengan kemauan dan kepentingan kelompoknya, bahkan ntuk melancarkan kepentingannya, para elit memobilisasi sumber daya ekonomi, termasuk jaringan antara lembaga, pengetahun, dan informasi/evidence. Hasil dari kebijakanpun menghasilkan suatu ruang publik yang mempunyai tingkat konflik yang tinggi. Hasil dari suatu hasil kebijakan publikpun bisa dilihat ciri-cirinya dengan tidak pro terhadap publik, hanya mementingkan kelompok tertentu, dan prosesnya sengaja ditutup-tutupi, maka kebijakan tersebut bisa dinyatakan kebijakan elitis. Padahal dalam hal era demokrasi suatu kebijakan publik memang diharuskan untuk memiliki keterbukaan dan wadah bagi aspirasi publik untuk menghindari konflik nilai dalam demokrasi itu sendiri. Proses kebijakan elitis bukan hanya bermasalah dalam konten kebijakan tentang baik dan buruknya reklamasi Teluk Benoa tetapi menutup akses publik untuk turut terlibat kedalam perdebatan ruang publik. Adapun keterlibatan masyarakat sipil hanya terbatas oleh pihak-pihak yang merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Provinsi Bali. Belum selesai dengan masalah minimnya akomodasi publik dalam perumusan SK No. 1727/01-B/HK/2013, terbitnya Perpres 51 Tahun 2014 semakin menambah perih luka rakyat Bali sendiri. Ini memperlihatkan bahwa tekanan dari para investor (kaum borjuis) begitu besar kepada eksekutif baik dari level pemerintah kabupaten, provinsi, bahkan pemerintah pusat yang menghalalkan segala cara untuk melegalkan reklamasi di kawasan konservasi Teluk Benoa. Ini memperlihatkan
210
bagaimana ruang publik, yang seharusnya menjadi tempat publik untuk berpartisipasi dan turut terlibat dalam perumusan kebijakan telah direkayasa sedemikian rupa hanya untuk melancarkan kepentingan borjuis. Bahkan kebijakan secara elitis telah mereduksi peran negara, yang tidak lagi memihak pada kepentingan rakyatnya. Konflik yang terjadi karena kebijakan reklamasi Teluk Benoa merupakan dampak dari bias elit dan bias teknokratik dalam perumusan kebijakan. Bias elit diartikan bahwa pengambilan kebijakan reklamasi Teluk Benoa merupakan para elit, yang akhirnya hasil dari kebijakan reklamasi Teluk Benoa akan menguntungkan kelompok-kelompok kepentingan dari elit tersebut. Sedangkan bias teknokratik adalah ketika tidak sedikit ilmuan di “balik meja” melakukan pembuktian di masyarakat dengan pendekatan positivistik, yaitu dengan “memaksakan” kebenaran teori akademis pada kenyataan di lapangan. Hal itu sangat terlihat dari pencetusan tujuan dan dampak dari reklamasi Teluk Benoa yang bahkan masyarakat Bali sebelumnya tidak pernah mempermasalahkan tentang kawasan suci di Bali Bagian Selatan tersebut. Munculnya gerakan-gerakan masyarakat Bali yang menentang rencana reklamasi Teluk Benoa telah memperlihatkan bagaimana kebijakan yang merupakan produk dari para penguasa tersebut telah membuat rakyat seakan melawan negaranya sendiri. Kebijakan teknokratis ini
telah memperlihatkan bahwa kebijakan yang
dihasilkan cenderung kurang demokratis karena hilangnya akomodasi esensi public interest dalam formulasi kebijakan publik. Rakyat bali yang tergabung di dalam ForBali (Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi) tidak pernah ingin melawan 211
pemerintahannya, tetapi mengkritisi pemerintahan menjadi harga mati bagi mereka. Karena dalam sistem demokrasi yang kuat di dalamnya pasti terjadi perdebatan dan tahap terbentuknya civil society itulah yang menunjukkan semakin kuatnya demokrasi dari bangsa tersebut. Posisi tawar masyarakat Bali sangat tinggi dan sangat signifikan dalam arah dan kebijakan pemerintah untuk melancarkan rencana reklamasi Teluk Benoa. Bahkan gerakan ForBALI bukan hanya menjadi isu nasional, bahkan internasional ketika beberapa majalah dan media internasional turut meliput aksi dan alasan penolakan mereka terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Bukan hanya ForBALI, tetapi akademisi, pemuda di hampir seluruh kabupaten/kota di Bali, masyarakat asli Tanjung Benoa semua menyatakan satu suara untuk menolak rencana reklamasi Teluk Benoa, bahkan ada beberapa kelompok masyarakat Indonesia di luar negeri seperti di Prancis, Belanda, Jerman yang menyatakan sikap untuk menolak reklamasi tersebut. Walaupun penolakan mereka belum bisa merubah kebijakan dari para elit penguasa (pemerintah daerah maupun pemerintah pusat) tetapi suara mereka yang terdengar di seluruh antero nusantara dan dunia telah memperlihatkan bahwa jika rakyat bersatu untuk menolak ketidakadilan dari penguasa, maka mereka akan memiliki posisi tawar yang tinggi dalam mengontrol legitimasi rakyat kepada pemerintah. Permasalahan tentang reklamasi Teluk Benoa bukan hanya permasalahan untung-rugi, bukan saja permasalahan partai politik, bukan hanya masalah peningkatan perekonomian, tetapi masalah bagaimana hak-hak dan pendapat masyarakat sipil bisa 212
terakomodasi untuk terlibat di dalam perumusan kebijakan publik dan turut terlibat dalam arah pembangunan Pulau Dewata Bali. Ini memperlihatkan kebijakan elitis telah mengambil alih demokrasi dan menggeser “ruang publik” hanya untuk kepentingan investor semata. 7.2 Saran Dalam hal membangun kembali kepercayaan publik terkait lemahnya legitimasi publik terhadap pemerintah dalam kasus kebijakan rencana reklamasi Teluk Benoa Bali, maka diperlukan dukungan dari masyarakat sipil dalam penentuan kebijakan publik itu sendiri ataupun peran yang lebih besar dari publik dalam menentukan arah kebijakan. Adapun untuk mengembalikan kepercayaan publik ada beberapa pilihan yang dianggap bisa ditempuh oleh pemerintah dan juga rakyat Bali. (I) Pada level praksis misalnya, upaya untuk membangun pemerintahan yang efektif harus dilakukan dalam setting multi-actors rule, yaitu otoritas pengelolaan sektor publik yang berada di tangan banyak pihak, bahwa pluralis yang berlebihan dan tidak bisa terkelola, memang perlu disederhanakan, tetapi penyederhanaan multiactorsrule hanya akan terbatas pada mengurangi, dan tidak akan meniadakannya. Sebagai misal, menghadapi otonomi masing-masing daerah, birokrasi pemerintah pusat harus menemukan cara baru untuk membangun sinergi antara pusat dan daerah, dan sinergi antar daerah. Hal ini dimaksudkan bahwa walaupun tidak lagi bisa mengontrol media dan organisasi masyarakat sipil, seorang kepala daerah harus
213
mampu untuk membangun sinergi dengan masyarakat dalam kerangka demokrasi dan efektivitas pemerintahan. Demikian pula sebaliknya, walaupun tidak secara formal mempunyai akses dalam proses perumusan kebijakan pemerintah, para peneliti dan aktivis masyarakat sipil tetap bisa bersinergi dengan para politisi dan birokrat. Bila dilihat dari permasalahan reklamasi Teluk Benoa Bali bahwa kepala daerah (Gubernur Bali) bisa membangun sinergi dengan memberikan akomodasi bagi ruang publik untuk turut terlibat dalam perencanaan maupun evaluasi kebijakan reklamasi Teluk Benoa. Sinergi ini dimaksudkan bahwa walaupun secara formal tidak ada payung hukum yang tegas membidangi proses formulasi ini, bahwa politisi (pengemban amanah rakyat yakni DPRD) seharusnya mampu membawa aspirasi dan suara dari konstituennya. Begitu juga para birokrat yang harus duduk bersama dengan masyarakat Bali dan mendengarkan keluhan dari masyarakat, bukannya malah bersikap kaku dan hanya melancarkan kepentingan kelompoknya. (II) Diperlukan perubahan perilaku dan pemahaman tentang demokrasi dari para birokrat dan pemimpin baik di level Presiden, Gubernur, Bupati (seluruh level eksekutif maupun legislatif) untuk merubah paradigma tentang pejabat pemerintahan yang tidak hanya berlandaskan pendekatan elitis dan teknokratis semata. Ini dikarenakan di era demokrasi pejabat publik bukanlah pejabat militer, birokrasi bukanlah mesin yang memiliki garis komando yang tegas dari level atas sampai bawah. Pejabat publik adalah pengayom masyarakat, yang bukan bertindak sebagai diktator dalam setiap perumusan maupun pencetusan suatu kebijakan publik. Di era demokrasi
214
keerbukaan dan keterlibatan civil society merupakan susuatu yang diharuskan bahkan substansial dalam perjalanan demokrasi. Inipun sesuai dengan kebijakan pluralis yang menekankan harus adanya keterbukaan akses kepada publik, harus ada kominikasi, dan partisipasi dari masyarakat dalam semua proses pembangunan dan kebijakan. Reformasi birokrasi publik seperti ini perlu ditekankan, agar tidak terjadi permasalahan-permasalahan seperti kebijakan reklamasi Teluk Benoa terjadi di daerah lainnya di Indonesia. (III) Reorientasi dan reformulasi peran negara (dalam kasus ini Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah Pusat RI), Ini dikarenakan karena selama ini pemerintah begitu dominan dalam pengambilan keputusan publik. Negara seharusnya hanya sebagai katalisator yang seharusnya lebih banyak sebagai “pendengar” bukan “pembicara”. Mendengarkan keluhan rakyat Bali dan bertindak sesuai dengan kepentingan masyarakat Bali. (IV) Formulasi kebijakan sebaiknya bukan sebagai proses yang sekali jadi. Dalam bahasa pluralis, debat publik dan dialog yang komunikatif antara elit pemerintah Provinsi Bali dan masyarakat Bali perlu dihidupkan dan dimensi intersubyektifitas harus mendapatkan tempat yang selayaknya. Dimaksudkan bahwa perlu adanya partisipasi publik dalam setiap perumusan kebijakan atau arah pembangunan guna mendapatkan kebijakan yang legitimate. (V) Pada dimensi yang lebih fungsional-operasional, diperlukan konsolidasi demokrasi idealnya harus mencakup tiga aspek sekaligus, yakni aspek institusional, perilaku, dan kinerja. Pada aspek institusional, konsolidasi demokrasi diarahkan untuk 215
memperkuat institusi publik (baik dalam sitem administrasi, peradilan, kelompok penekan, dan sebagainya harus dalam bentuk aturan main yang ada didalamnya) yang dapat bekerja efektif dan selaras dengan kepentingan publik. Ini memberikan pandangan mengenai batasan-batasan serta aturan dan norma dari Pemerintah Provinsi Bali dan juga ForBALI dalam menyampaikan masukan atau menyuarakan aspirasi tetapi masih berada dalam kaidah aturan dan norma masing-masing. Adapun diperlukan adanya aturan main yang jelas antara pemerintah dan kelompok penekan dalam penguatan institusional. Pada aspek perilaku, konsolidasi demokrasi harus mengembangkan kultur politik dari publik di dalam sendi kehidupan. Dalam tahap ini masyarakat Bali membangun kepercayaan dengan elit politik ataupun birokrat (DPRD Provinsi Bali, Pemerintah Provinsi Bali, bahkan Presiden RI), sikap saling percaya antara masyarakat Bali dengan Pemerintah Provinsi Bali ini akan mempengaruhi partisipasi demokrasi dan juga norma dari toleransi serta budaya dalam sikap mengemukakan pendapat baik masyarakat dengan pemerintah. Sedangkan pada aspek kinerja, konsolidasi demokrasi bergerak secara praktis untuk memberikan dampak secara langsung bagi masyarakat bahwa prinsip demokrasi memang benar-benar diterapkan oleh pemegang otoritas. Dalam tahap ini segala kebijakan yang bersinggungan langsung dengan rakyat dilaksanakan dengan terbuka, adil, transparan, seperti pemerintah Provinsi Bali mengadakan secara langsung diskusi publik dengan masyarakat Bali terkait permasalahan dan solusi reklamasi Teluk Benoa. Pemerintah disini bukan hanya 216
mendengar suara publik seperti tetapi harus menjalankan kehendak publik. Konsolidasi demokrasi ini bertujuan bahwa untuk berjalannya mekanisme demokrasi yang ideal, harus menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan atau dikenal dengan prinsip “kedaulatan rakyat,” maka bisa dipastikan pemerintahan yang legitimate.
217