PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI SALAH SATU PILAR PEMULIHAN PEREKONOMIAN BANGSA Dwi Sardjono
endahuluan Negara Republik Indonesia telah bebas merdeka dari jajahan pihak penjajah asing selama kurang lebih 56 tahun lamanya. Pada saat ini bangsa kita telah menjalani masa-masa pengisian kemerdekaan dengan melakukan pembangunan-pembangunan di segala bidang. Untuk mengisi kemerdekaan berupa kegiatan pembangunan tersebut kita telah sepakat bahwa UndangUndang Dasar 1945 adalah sebagai sumber hukum nasional kita, dan dipertegas melalui TAP MPR RI No. 3 tahun 2000. Sepantasnyalah apabila kita telah sepakat memilih Undang-Undang Dasar 1945, maka kita pun harus komitmen untuk menerapkan dan menegakkan dasar hukum tersebut dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara
kita, tidak ada pengecualian di dalam
pelaksanaannya, karena hal ini pun telah diatur secara khusus dalam Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (Hoeven, 1989) yang menyebutkan bahwa : “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya “. Selama proses pembangunan bangsa
kita selalu mengatakan
bahwa bangsa Indonesia adalah negara hukum yang berarti segala sesuatunya
diatur
oleh
hukum,
seperti
misalnya
dalam
kegiatan
bermasyarakat, kegiatan berusaha, kegiatan berbangsa dan kegiatan bernegara serta seluruh perbuatan hukum lainnya di negara ini harus dilakukan dan tunduk kepada hukum positif yang berlaku di bumi Indonesia tercinta ini. Dirumuskannya Indonesia sebagai negara hukum maka kita semua adalah pelaku, pendukung dan pelaksana pola negara hukum
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 172-182
Dwi Sarjono “Penegakan Hukum sebagai Salah Satu Pilar Pemulihan Perekonomian Bangsa”
tersebut dan segala tindakan termasuk kebijaksanaan haruslah didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku (Wahyono, 1983). Sebagai implementasi dari kebutuhan hukum bagi kehidupan bangsa kita, para pendiri republik ini telah membuat sarana hukum untuk pengaturan-pengaturan hal-hal tersebut, selain meletakkan sendi-sendi dasar perundang-undangan kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945, mereka juga memikirkan bahwa dengan undang-undang dasar yang hanya terdiri dari 37 pasal ditambah 4 pasal aturan peralihan dan 2 ayat aturan tambahan, tidak akan mungkin mengatur segala permasalahan yang akan timbul dalam pergaulan kehidupan di negara dan bangsa kita, untuk itu dibuatlah Pasal II Aturan
Peralihan
Undang-Undang
Dasar
1945
yang
mengakomodir
kebutuhan akan adanya hukum positif yang mengatur tata tertib, hak dan kewajiban kehidupan bermasyarakat di Indonesia, adapun bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut : “ Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini.” Hal
ini
jelas
membuktikan
bahwa
pendiri
bangsa
ini
juga
menghendaki adanya pengaturan-pengaturan hukum yang jelas dan tegas dalam kehidupan di negara kita. Hanya dengan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut tidak mungkin segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita dapat diakomodasi dengan baik. Untuk itulah para pendiri bangsa kita masih tetap memberlakukan peraturan-peraturan hukum yang sudah ada pada saat itu, walaupun peraturan hukum yang ada pada saat itu sudah tertinggal jauh tetapi semangat untuk mau diatur dan tunduk dengan hukum telah
terasa
gaungnya
sejak
negara
kita
ini
memproklamirkan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 (Mudjiono, 1997). Kita ambil contoh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/ BW) yang sampai hari ini masih menjadi acuan dari seluruh penegak hukum di Indonesia yang merupakan warisan dari negeri Belanda dan telah berlaku sejak tahun 1847, sementara pada saat ini di Belanda peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak dipakai lagi, karena
173
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 172-182
mereka telah membuat dan memakai undang-undang yang baru (the new BW). Inilah mungkin salah satu segi positifnya dari pengaruh Belanda di Indonesia, bahwa hukum yang kita adopsi dari Belanda tersebut sampai saat ini masih eksis dan masih relevan dipakai di negara kita dan menjadi acuan dari seluruh penegak hukum di Indonesia, hal ini dimungkinkan karena sistem hukum yang membentuk perundang-undangan tersebut sangat baik sehingga satu pasal dengan pasal yang lain tidak bertentangan dan berjalan beriringan, dapat awet berlaku dalam kurun waktu yang cukup lama. Kita ambil contoh produk perundang-undangan kita yang sering kali masa berlakunya sangat sempit, antara lain : 1. Undang-Undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan yang saat ini telah diganti dengan Undang-Undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan. Masa berlaku Undang-Undang No. 7 hanya berlangsung selama 7 (tujuh) tahun lamanya (Bank Indonesia, 1998). 2. Undang-Undang No.19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, telah diubah dengan adanya Undang-Undang No.19 tahun 2000, tentang perubahan atas undang-undang yang mengatur hal yang sama, masa berlaku undang-undang yang lama dengan undang-undang perubahannya hanya berlangsung selama 3 tahun. 3. Undang-Undang No.25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan diubah dengan Perpu No.3 tahun 2000 dan ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang No.28 tahun 2000. Masih
banyak
peraturan
perundang-undangan
lainnya
yang
mengalami bongkar pasang dan ganti peraturan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama, contoh di atas merupakan contoh peraturan dalam bentuk undang-undang, bagaimana pula dengan peraturan hukum yang di bawah undang-undang, seperti misalkan Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan lain sebagainya.
174
Dwi Sarjono “Penegakan Hukum sebagai Salah Satu Pilar Pemulihan Perekonomian Bangsa”
Kodifikasi Hukum Nasional Walaupun saat ini untuk pengaturan hukum keperdataan kita masih memakai
Burgelijk
Wetboek
sebagai
warisan
dari
negeri
Belanda,
pemerintah kita beserta badan-badan lain yang ada telah berusaha membuat kodifikasi hukum nasional yang berakar dari keragaman budaya dan agama bangsa kita dan berwawasan nasional. Tetapi karena terlalu sulit dan waktu yang cukup lama diperlukan untuk mengadakan perubahan atas suatu undang-undang sekelas Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka perubahan atau kodifikasi dilakukan secara bertahap atau parsial menurut kebutuhan dari bangsa kita, misalkan telah lahir undang-undang tentang
perkawinan,
undang-undang
pertanahan,
undang-undang
perbankan, undang-undang perpajakan, undang-undang lalu lintas dan jalan raya, undang-undang pendidikan, undang-undang hak cipta, undang-undang kepailitan, undang-undang hak tanggungan, undang-undang pasar modal dan lain sebagainya yang saat ini sudah bejumlah puluhan bahkan sampai ratusan. Pertanyaan yang timbul adalah apakah selama perjalanan bangsa kita, hukum tersebut baik hukum yang kita sepakati kita adopsi dari negeri Belanda maupun hukum dalam bentuk peraturan-peraturan dan perundangundangan yang kita buat sendiri telah dijalankan dengan sesungguhnya dan telah ditegakkan dengan baik tanpa pandang bulu terhadap seluruh lapisan warga negara Indonesia seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 kita tersebut di atas. Pada era tahun 1998 perekonomian bangsa kita terpuruk dengan rontoknya sebagian besar bank-bank swasta nasional Indonesia, juga bankbank pemerintah. Bagi bank-bank pemerintah dilakukan merger dan bagi bank-bank swasta yang sudah tidak mungkin dimerger dikenakan sebagai Bank dalam Likuidasi, Bank Beku Kegiatan Operasional (BBKU), Bank Take Over (BTO) atau Bank Rekap oleh pemerintah yang pada intinya bank-bank tersebut adalah bank-bank yang bermasalah Katakan saja satu bank tersebut memiliki 1.000 debitur maka dapat dipastikan sekitar 50.000 debitur
175
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 172-182
yang akan terlantar, belum lagi besarnya nilai kredit dari masing-masing debitur
tersebut
maka
hal
tersebut
akan
berdampak
pada
sistim
perekonomian kita. Pengaruh atau imbasnya akan berdampak kepada masyarakat negara kita. Ditutupnya bank maka kegiatan usaha otomatis akan berkurang dan dengan terlantarnya para debitur maka berakibat memburuknya kwalitas pinjaman debitur yang telah diberikan. Misalkan saja seharusnya debitur mendapatkan 50% pencairan kredit tahap kedua, tetapi karena banknya ditutup maka pemenuhan 50% persen tahap kedua atas dana pinjaman tersebut gagal dilakukan. Hal ini tentu mempengaruhi kinerja proyek dan terbengkalainya proyek yang sedang ditangani oleh debitur tersebut. Hal ini dapat berakibat pengurangan jumlah tenaga kerja karena mengecilnya volume proyek yang ditangani, tentu saja hal ini akan menambah banyaknya pengangguran di negara kita, belum lagi pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tidak mampu menahan badai krisis yang menambah rumit permasalahan perekonomian bangsa ini. Apabila kita cermati, salah satu penyebab hal tersebut adalah tidak adanya penegakan hukum yang baik di negara ini. Saya ambil contoh bahwa penyumbang badai krisis ekonomi yang terjadi adalah di sektor perbankan, yang merupakan urat nadi sistem kegiatan perekonomian kita; kemampuan dan kekuatan penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan perbankan
yang
kemudian
disalurkan
dalam
bentuk
kredit,
besar
pengaruhnya dalam kesinambungan pembangunan nasional dan menunjang kegiatan perekonomian nasional (Saleh, 1997). Negara kita telah memiliki rule of law yang jelas atas dunia perbankan dan peraturan tersebut murni dibuat oleh bangsa kita sendiri, tetapi justru tidak dapat diterapkan dan tidak dapat ditegakkan oleh komponen-komponen yang ada sehingga terjadilah malapetaka krisis tersebut walaupun memang terdapat faktor-faktor lain sebagai pemicu terjadinya krisis tersebut. Andaikata Undang-Undang Perbankan beserta segala peraturan-peraturan yang ada dilaksanakan dengan baik dan benar
176
Dwi Sarjono “Penegakan Hukum sebagai Salah Satu Pilar Pemulihan Perekonomian Bangsa”
serta ditegakkan dengan baik bagi para pelanggarnya, maka diharapkan krisis tersebut dapat diminimalisasi. Bagaimana
pengaruh
penegakan
hukum
bagi
perbaikan
perekonomian bangsa? Dengan adanya penegakan hukum yang baik dan adanya kepastian hukum atas seluruh sektor-sektor yang ada di masyarakat kita maka diharapkan krisis tersebut dapat diantisipasi ataupun dapat dicegah terjadinya krisis yang disebabkan oleh adanya hal yang sama dikemudian hari misalkan pada:
Penegakan Hukum Di Bidang Perbankan Kita saat ini telah memiliki hukum nasional berupa Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang perbankan yang merupakan pengganti dari Undang-Undang No. 7 tahun 1992. Dalam Pasal 11 ayat 1 yang antara lain berbunyi bahwa Bank Indonesia diberi wewenang untuk menetapkan batas maksimal pemberian kredit (BMPK) bagi pejabat-pejabat bank terkait, antara lain kepada pemegang saham bank, direksi bank, komisaris bank dan lainlain. Hal ini yang sering kali dilanggar oleh perbankan nasional, bank hanya dijadikan sapi perahan saja dalam menggalang dana dari masyarakat sementara penggunaannya mengabaikan peraturan BMPK tersebut. Pada Pasal 50 undang-undang tersebut sangat jelas disebutkan bahwa pihak terafiliasi bank yang dengan sengaja tidak mentaati peraturan undang-undang perbankan ini dapat dikenakan ancaman pidana paling lama 8 tahun serta denda paling banyak Rp. 100.000.000.000,- (seratus milyar rupiah). Apabila hukum ini ditegakkan dengan baik dan adil terhadap pelanggar BMPK tersebut misalkan pada satu bank terdapat 5 (lima) pejabat bank yang melanggar BMPK (biasanya keputusan pemberian kredit di bank dilakukan oleh suatu kredit komite, sehingga melibatkan banyak orang), baik itu pemegang sahamnya, ataupun direksinya, ataupun komisarisnya, maka berdasarkan undang-undang ini mereka dapat dikenakan denda dan negara
177
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 172-182
dapat mengumpulkan dana sebagai berikut 50 bank bermasalah x 5 orang pejabat bank x denda maksimal Rp 100 milyar = Rp 25 Trilyun rupiah. Pada Pasal 37A ayat 1 Undang-Undang Perbankan disebutkan bahwa apabila bank mendapat kesulitan yang dapat membahayakan perekonomian nasional, maka pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat membentuk badan khusus dalam rangka penyehatan perbankan tersebut. Dalam implementasinya badan khusus tersebut adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 95 tahun 1999, Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 2000. Dalam melaksanakan tugasnya, BPPN selain bertugas mengadakan penyehatan kepada perbankan nasional yang masuk dalam kategori Bank Rekap, BPPN juga mengurusi penyelesaian debitur-debitur macet ex bank-bank yang telah ditutup tersebut dan total asset yang ditangani BPPN hampir sekitar 600 trilyun, suatu nilai yang fantastis bila dibandingkan dengan nilai anggaran dan pendapatan belanja negara kita. Apabila asset yang dikuasai BPPN dapat dicairkan maka hal tersebut akan sedikit banyak dapat membantu perekonomian kita. Salah satu kewenangan BPPN yang diatur dalam PP No. 17 tahun 1999, yang sampai saat ini masih berlaku adalah mengadakan legal action kepada para pengurus Bank khususnya atas perbuatan-perbuatan pengurus dan karyawan bank yang telah melakukan transaksi tidak wajar yang berakibat meruginya Bank yang mereka urus. Dalam Pasal 44 ayat 2 disebutkan bahwa Badan Penyehatan Nasional dapat mengajukan gugatan baik di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia untuk menuntut ganti rugi tersebut (BPPN, 1999). Apabila penegakan hukum ini dapat berjalan dengan lancar tentu saja keuangan negara yang berasal dari dana-dana Bantuan Likuiditas Bank
178
Dwi Sarjono “Penegakan Hukum sebagai Salah Satu Pilar Pemulihan Perekonomian Bangsa”
Indonesia (BLBI) yang disalahgunakan oleh para bankir tersebut dapat diselamatkan untuk membantu pemulihan perekonomian bangsa kita. Apabila ternyata terjadi penyelewengan pengunaan kredit yang diterima oleh para debitur, tentu saja dapat dilakukan tindak pidana ataupun denda. Di sinilah penegakan hukum diuji kemampuannya, apakah mampu mengimplementasikan peraturan hukum yang ada, guna menyelamatkan keuangan negara yang pada akhirnya dapat membantu pemulihan perekonomian bangsa. Lain halnya apabila kredit macet terjadi karena memang nyata-nyata disebabkan faktor iklim usaha yang tidak mendukung sehingga upaya restukturisasi hutang mungkin dapat dilakukan. Apabila restrukturisasi hutang dapat berjalan dengan baik maka dari sisi debitur akan terselamatkan. Bagi pihak bank, kemungkinan pendapatan bunga pinjaman akan mungkin didapat lagi, juga bagi debitur akan lebih leluasa mengatur bisnisnya dengan adanya restrukturisasi hutang tersebut. Apabila pemerintah melalui BPPN mampu melaksanakan tugas sesuai peraturan perundangan-undangan yang berlaku, maka pihak internasional akan percaya kepada bangsa kita bahwa persoalan kredit bermasalah dan perbankan di Indonesia mampu diselesaikan sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Penegakan Hukum di Bidang Pasar Modal Negara
kitapun
telah
memiliki
undang-undang
yang
khusus
mengatur tentang pasar modal yaitu Undang-Undang No.8 tahun 1995. Undang-undang ini sudah berjalan hampir 6 (enam) tahun, tetapi sangat sedikit sekali pelanggaran-pelanggaran hukum dibidang pasar modal yang ditindak sesuai aturan hukum yang ada Kalau kita telaah lebih jauh dalam undang-undang pasar modal sendiri sudah cukup lengkap pengaturan mengenai hak dan kwajiban masyarakat pasar modal. Pelanggaran yang sering kali muncul adalah mengenai ketidakterbukaan pihak emitan (pihak yang melakukan penawaran umum) pada saat melakukan penawaran efek, antara lain memberikan fakta-
179
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 172-182
fakta material yang tidak benar yang berakibat menimbulkan gambaran yang menyesatkan. Dalam Pasal 90 point c Undang-Undang No.8 tahun 1995 dikatakan : “ Dalam kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung atau tidak langsung : ……… C. Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindari kerugian untuk diri sendiri atau pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi pihak lain untuk membeli atau menjual efek “. Ancaman atas perbuatan di atas juga telah ada di dalam undangundang tersebut yaitu pada Pasal 104 yang antara lain berbunyi, bahwa pelanggaran Pasal 90 tersebut diancam hukuman pidana 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 15.000.000.000,- (lima belas milyar rupiah). Pelanggaran hukum lainnya adalah persoalan adanya insider trading (perdagangan yang melibatkan adanya informasi dari orang dalam sehingga dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu saja) yang akhir-akhir ini marak diisukan terjadi di bursa saham kita, hal itu pun sebenarnya telah diatur di dalam undang-undang pasar modal kita yaitu pada Pasal 95 yang berbunyi : “Orang dalam dari emiten atau perusahaan publik yang mempunyai informasi orang dalam dilarang melakukan pembelian atau penjualan atas efek”. a. Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud atau b. Perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan “. Pelanggaran atas perbuatan insider trading inipun telah ada ancaman hukumannya yaitu sama dengan ancaman hukuman di atas yaitu penjara 10 (sepuluh) tahun dan denda maksimal Rp 15.000.000.000,- (lima belas miyar rupiah). Pelanggaran hukum insider trading adalah salah satu area yang oleh beberapa orang dianggap paling sulit untuk diwujudkan penegakan hukumnya, walaupun sebenarnya apabila dilakukan oleh pihak penegak
180
Dwi Sarjono “Penegakan Hukum sebagai Salah Satu Pilar Pemulihan Perekonomian Bangsa”
hukum dengan penuh kesungguhan, memiliki political will, integritas dan komitmen yang kuat untuk menegakkan peraturan yang ada, maka hal tersebut dapat dilakukan (Fuady, 1996). Dapat
dibayangkan
apabila
penegakan
hukum
benar-benar
dilaksanakan maka negara mendapatkan masukan yang tidak sedikit dari hasil penegakan hukum tersebut. Masih banyak bidang-bidang lain yang memerlukan penegakan hukum agar dapat membantu memulihkan perekonomian kita antara lain di bidang pajak. Bagaimana kita menegakkan hukum perpajakan agar memaksimalkan pendapatan negara dari sektor pajak, minimal mengurangi kebocoran dalam penerimaan pajak kita, di bidang pengembalian piutang negara yang dikelola oleh Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), bagaimana menegakkan hukum perundang-undangan yang ada agar upaya-upaya BUPLN dapat maksimal dalam mengembalikan piutang negara, penegakan hukum atas adanya Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) dan penegakan hukum pada bidang-bidang lain yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu di sini. Adanya penegakan hukum yang baik akan melahirkan kepastian hukum yang akan menimbulkan rasa aman. Hal ini adalah salah satu kunci keberhasilan pemulihan perekonomian bangsa kita. Di samping itu dengan adanya kepastian hukum maka para investor lokal maupun asing tidak akan ragu dalam menanamkan investasinya di negara kita ini, karena selain jaminan rasa aman yang ada juga ada jaminan penegakan hukum. Untuk itu pembangunan yang sedang dilaksanakan di Indonesia, harus berjalan seiring dengan pembangunan bidang hukum yang ditujukan untuk meningkatkan pembinaan hukum nasional, penertiban fungsi lembaga hukum, peningkatan kewibawaan penegak hukum
yang pada akhirnya
dapat meningkatkan kesadaran hukum (Sumantoro, 1999).
181
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 172-182
Daftar Pustaka Bank Indonesia. 1998. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. BPPN. 1999. Peraturan Tugas dan Wewenang BPPN. Penerbit BPPN Fuady, Munir. 1996. Pasar Modal Modern. PT Citra Aditya Bakti, Bandung Mudjiono. 1997. Sistim Hukum Indonesia. Liberty, Yogyakarta. Saleh, Ma’ruf. 1997. Solusi dalam Penyelesaian Kredit Bermasalah. Infobank. Sumantoro. 1987 Aspek Hukum Potensi Pasar Modal . PT.Ghalia Indonesia Van Hoeven. 1989. Himpunan Peraturan Perundang-undangan. Wahyono, Padmo. 1983. Indonesia Negara berdasarkan atas Hukum. PT Ghalia Indonesia
182