BAB VII. PEMIKIRAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAS Sebagai akibat dari kesalahan sistem pengelolaan, menyebabkan banyak lahan menjadi daerah kritis di sebagian besar DAS di Indonesia. DAS dikatakan kritis apabila: a.
Sebagian besar daerah di DAS tersebut mengalami erosi yang besar
b.
Sebagian besar daerah tersebut tidak bisa diusahakan untuk budidaya pertanian baik di musim kemarau maupun penghujan
c.
tidak berfungsi sebagai daerah resapan air yang berdampak pada timbulnya banjir.
Banjir dan erosi merupakan dua akibat dari lahan kritis yang berdampak pada terjadinya pengendapan sedimen, kerusakan infrstruktur bangunan, industri, pertanian dan terntunya dampak negatif pada ekonomi masyarakat. Menurut Mangundikoro, ada sekitar 8,5 juta ha lahan kritis di DAS Indonsia, jumlah itu lebih kutang 60 % dari luas lahan pertanian. Secara umum dapat diduga penyebab terjadinya degradasi DAS adalah sebagai berikut:
penggunaan lahan melebihi kapabilitas lahan
penggunaan lahan yang tidak mengindahkan aspek konservasi tanah, misalnya penanaman tanaman semusim di lereng-lereng gunung
perladangan berpindah atau bersambung
penebangan hutan yang tidak mengindahkan aturan yang berlaku
kesalahan sistem penggembalaan ternak, seperti over grazing. Pertumbuhan penduduk yang demikian besar khususnya di kawasan DAS,
menjadi
pemikiran
dalam
mengambil
kebijakan
pengelolaan
DAS,
karena
meningkatnya penduduk akan berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan papan dan pangan, sehingga meningkatnya kebutuhan akan perumahan dan aeal pertanian. 7.1. Kepedulian dan kebijakan nasional Tanah dan air adalah merupakan sumberdaya alam penting untuk menunjang kehidupan masyarakat bahkan kehidupan bangsa, apalagi Indonesia sebagai negara agraris di mana sebagian besar rakyatnya hidup dari pertanian. Sehingga kepedulian terhadap keberlanjutan kemanfaatan tanah dan iar harms dipertahankan.
Universitas Gadjah Mada
Degradasi DAS merupakan masalah nasional tidak hanya menjadi masalah petani saja, sehingga program-program pengembangan pengelolaan DAS menjadi bagian penting dari program pemerintah. Memberikan kesadaran kepada masyarakat betapa pentingnya peranan tanah dan air bagi kehidupan manusia merupakan tugas yang berat. Dengan mengubah bentuk kesadaran ini menjadi citra bagi masyarakat sehingea menjadi budaya yang harus dianut membutuhkan waktu yang lama. Sejak tahun 1961 pemerintah telah mencanangkan kampanye penghijauan nasional yang dilaksanakan setiap meinggu ke tiga bulan Desember. Maksud kegiatan itu adalah untuk merehabilitasi DAS yang kritis yang kalau ingin pulih membutuhkan waktu yang lama. Namun kegiatan seperti itu sudah tidak menggema akhir-akhir ini karena negara disibukkan dengan kasus keamanan, kemiskinan, dan politik. Kesadaran akan pentingnya tanah dan air itu harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan secara nasional. Meskipun dalam garis besar haluan negara telah disebutkan bahwa rehabilitasi sumberdaya alam yang mengalami degradasi hutan, tanah dan air hams dilakasanakan melalui pendekatan pengembangan DAS terpadu secara regional. Sehingga dalam setiap rencana pembangunan janyeka panjang (lima tahunan), pemerintah selalu mencangkan kegiatan tersebut. 7.2. Pengelolaan hutan Di banyak negara berkembang kebijakan tataguna lahan untuk lahan hutan dikemukakan' berdasarkan peran nutan yang dianggap dapat mempengaruhi ciri-ciri tertentu hidrologi, perlindungan erosi tanah dan pengurangan endapan yang terjadi di DAS. Dalam beberapa hal peran ini dibuktikan ceraca ilmiah dan dalam hal lain ada pula merupakan mitos. Sebagai contoh, dikemukakan bahwa penebangan hutan hujan tropika akan mengakibatkan terbentuknya gurun. Tidak ada bukti bahwa curah hujan di daerah tropika akan menurun sampai suatu titik di mana daerah akan menjadi kering selamanya. Juga dikatakan bahwa penghutanan kembali atau penanaman daerah terbuka menjadi hutan, akan menyebabkan naiknya muka air sumur, mengalirnya kembali mata air, dan meningkatkan debit pada musim kemarau. Bagaimanapun bahwa hasil penelitian di daerah beriklim sedang menunjukkan kebalikannya (Hamilton dan King, 1988). Memang kondisi di daerah beriklim sedang dan daerah tropika sangat berbeda baik sifat huiannya maupun kondisi DASnya. Sehingga hasil penelitian di daerah beriklim sedang tidak semuanya dapat diterapkan di daerah tropika seperti Indonesia.
Universitas Gadjah Mada
Sekarang ini sedang dianjurkan bahwa kita hams menyelamatkan hutan tropika. khususnya hutan tropika basah, karena penebangan hutan itu dapat menimbulkan kekeringan. Kampanye hutan tropika diawali pada tahun 1982 di Bali oleh Dana Satwa Liar (WWF, 1982). Dikemukakan bahwa setelah penebangan hutan, '`lahan emas hijau" ini akan berubah menjadi `'gurun tak berguna ' dan terjadi kekeringan yang melayu di musim kemarau. Sebenarnya pengertian gurun di sini dimaksudkan bukan seperti pengertian gurun sesungguhnya yaitu -lahan kering dengan curah hujan yang tidak memunginkan pertumbuhan tanaman". Arahnya yaitu lahan tersebut akan menjadi lahan kritis. 7.3. Perladangan berpindah dan penebangan hutan Perladangan berpindah sering dituduh menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan DAS yang mengarah pada timbulnya banjir, erosi dan lahan kritis. Namun penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang luas eksploitasinva jauh lebih besar dari ladang berpindah sering diabaikan. Padahal berdampak lebih besar daripada ladang berpindah. Apalagi HPH yang tidak mengindahkan aturan yang berlaku akan memberikan dampak yang jauh lebih buruk. Kekeliruan yang menuding kesalahan pada perladangan berpindah adalah kesalahan semantik. Dalam arti tradisional, perladangan berpindah adalah system penebangan hutan, pembakaran, penanaman, dan pemberaan yang sifatnya dapat dilakukan tern. menerus, karena petani adalah penghuni jangka panjang di suatu tempat dan lahan pertanamannya dirotasikan di daerah sekelilingnya. Masa waktu tidak ditanami (8 — 10 bulan) dapat mengembalikan kondisi hutan menjadi hutan sekunder untuk memungkinkan pulihnya unsur hara sebelum akhirnya ditebang lagi untuk masa penanaman berikutnya. Dengan kepadatan penduduk rendah, teknologi sederhana, dan perekonomian untuk menyambung kehidupan, system ini stabil dan dari segi ekologi sangat sesuai dengan lingkungan daerah tropika. Sistem yang lebih baru adalah akibat dari pertambahan tekanan penduduk, tidak dimilikinya lahan, kemajuan teknologi, dan pergeseran ke sistem tanaman niaga daripada sistem tanaman untuk penyambung hidup. Para petani berpindah gara baru ini (perambah hutan) memang sering benar-benar berpindah dalam arti bahwa mereka memasuki daerah baru, membukanya dengan sistem ebas bakar dalam petak yang lebih besar, mengusahakan sampai tak dapat menghasilkan lagi, dan kemudian pindah ke tempat lain. Mereka adalah perambah perennial yang menyerang tepi-tepi hutan asli dan meninggalkan hutan yang telah rusak yang menderita erosi berat.
Universitas Gadjah Mada
Kelompok ke empat yang paling ekstrim adalah penebangan hutan secara liar yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mendapat dukungan dana dari cukong atau sering juga disebut juragan. Penebangan dilakukan dengan rnenggunakan gergaji mesin dan dilakukan secara berkelompok. Cara ini akan bedampak lebih buruk karena rusaknya hutan cukup luas dan tidak ada penanaman kembali. 7.4. Pengelolaan padang rumput Beberapa
penelitian
(Hamilton
dan
King,
1.988)
menyatakan
bahwa
pengkonversian hutan dengan rumput sebagai penutup lahan dominan, biasanya menyebabkan basil air yang lebih besar, jeluk air tanah dangkal dan sedikit kenaikkan pada kondisi hujan lebat. Namun kebijakan ini apabila diterapkan secara luas tidak tepat karena dua hal ; pertama, karena percobaan ini dilakukan pada lereng yang tidak curam dan secara masal tidak rusak apabila terjadi hujan lebat. Pentingnya dava lekat akar-akar pohon dalam mempertahankan kestabilan lereng di lahan miring merekomendasikan penanaman hutan untuk memberikan perlindungan terbaik. Kedua, Hutan dari segi hidrologi dan erosi adalah lebih aman karena hutan tidak peka terhadap pengunaan intensif selama masih dipertahankan sebagai lahan hutan. Bahkan pemungutan hasil kayu komersial oleh HPH tidak berdampak negatif karena dilakukan dalam tenggang waktu yang relatif lama dan setelah itu akan dilakukan penanaman kembali (reboisasi). Yang bermasalah adalah HPH yang nakal yang tidak mengindahkan aturan yang berlaku. 7.5. Pengelolaan DAS terintegrasi. Secara sistematik telah dikemukan di bagian depan bahwa di dalam DAS terdapat banyak sumberdaya baik sumberdaya slam maupun sumberdaya manusia. Pengelolaan yang terbaik adalah bagaimana membuat sinkronisasi pemanfaatan sumberdaya tersebut agar terjadi interaksi timbal balik antara sumberdaya yang satu dengan lainnya yang saling kompatibel untuk menghasilkan tujuan pengelolaan yang spesifik.
Selain
interaksi
antar
sumberdaya,
juga
interaksi
institusi
yang
membawahinya juga kompatibel. Dengan demikian wilayah DAS yang terletak lebih dari satu kabupaten, bahkan lebih dari satu propinsi memerlukan kearifan dalam menjalankan otonomi bagi daerahnya.
Universitas Gadjah Mada
PUSTAKA Chow, V. T. 1988. Applied Hydrology, McGraw-Hill Book Co. New York Craig, G. S. dan J. G. Rankl, 1978..
Analysis of runoff from small drainage basin in
Wyoming, Geological Survey : Water Supply Paper 2056, Washington, United Nation Government Printing Office. Easter dan Hfschmidt, 1985. Watershed Management Research Institute of Natural Resources, Honolulu FAO, 1979. Yearbook of Forest Pruducts, 1966-1977, Rome Fleming, G. 1979. Deterministic model in hydrology, FAO Irrigation and Drainage Paper, Rome Gill, N. 1979. Watershed development with special reference to soil and water conservation. FAO bulletin No. 44 Rome. Gregory dan Walling, 1973. Drainage Basin Form and Process. Edward Arnold Publ. Harto, BR. 1985. Pengkajian sifat-sifat hidrograf satuan sungai-sungai di Pulau Jawa untuk perkiraan banjir. Disertasi, UGM Yogyakarta Hamilton, L. dan P. N. King. 1988. Daerah aliran sungai hutan tropika. Terjemahan: Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Hardjono, H. W. 1980. The effects of permanent vegetation and its distribution on streamflow of three sub-watersheds in Central Java. Paper at Seminar on Hydrology and Watershe Manajement, Surakarta, 5 Juni 1980. Haryadi, 2002.Kajian teknik konservasi tanah pada lahan keying palawija. BP2TP DAS, Surakarta Holmes, J. W. dan E. B. Wrosnki. 1982. On the water harvest from afforested catchments. First National Symposium on Forest Hydrology, Melbourne Mangundikoro, A. 1984. Watershed Management in Indonesia. Paper presented at the 1st ASEAN Watershed Symposium, Philippines, 25 — 30 June, 1984 Pramono Hadi, 1988. Pendekatan hidromorfometri DAS untuk pengembangan suatu model hidrologi. Fak. Geografi UGM Rukmana, 1995. Teknik pengelolaan lahan berbukit dan kritis. Kanisius, Yogyakarta. Selby, M. J. 1985. Earth's changing surface: An introduction to geomorphology. Clareden Press, Oxford.
Universitas Gadjah Mada
Seyhan, E. dan B. Keet, 1981. Multivariate statistical analysis : Aplication to hidromorphometrical data. Rodopi, Amsterdam. Sinukaban, 2000. Pentingnya pola pertanian konservasi dalam pembangunan pertanian. Diskusi Panel MMA-IPB, 2 Mei 2000 WWF/IUCN, 1982. Tropical forest campaign. World Wildlife Fund, Switzerland.
Universitas Gadjah Mada