BAB VII. TINGKAT KESEHATAN DAS
7.1.
Indikator Karakteristik DAS DAS merupakan suatu wilayah kesatuan ekosistem bentanglahan yang
dibatasi oleh puncak-puncak gunung atau perbukitan menghubungkannya,
di
dalamnya
terdapat
sistem
dan igir-igir yang sungai
yang
saling
berhubungan, curah hujan yang jatuh dialirkan melalui sistem sungai tersebut dan keluar melalui satu outlet tunggal (Gunawan, 2002). Di dalam DAS terdapat berbagai komponen yang saling berinteraksi, seperti tanah, vegetasi, air, sungai, penduduk, biota, dan sebagainya. Dipandang dari keluaran yang bersifat biofisik, pengelolaan DAS difahami sebagai sistem perencanaan yang menggunakan masukan (input) pengelolaan dan masukan alamiah untuk menghasilkan keluaran (output) yang berupa barang dan jasa serta dampak terhadap sistem lingkungan baik di dalam maupun di luar DAS (Hufschmidt, 1986). Untuk menghimpun berbagai indikator karakteristik DAS secara menyeluruh yang menyangkut hidrologi, erosi tanah, sedimentasi, iklim, kualitas air, tutupan lahan dan perubahannya, jumlah penduduk, teknologi konservasi tanah, pengelolaan lahan dan sebagainya cukup sulit dilakukan karena data dan informasi tersebut tersebar di berbagai instansi. Belum adanya database dan sistem informasi mengenai pengelolaan DAS yang baku menyebabkan data karakteristik DAS di daerah penelitian cukup sulit untuk dihimpun. Untuk itulah maka di dalam penelitian ini sumber data diperoleh dari berbagai literatur yang diperoleh dari berbagai sumber. Analisis hidrologi didasarkan pada 5 indikator sesuai dengan metode yang dilakukan yaitu koefisien rejim sungai (KRS), koefisien variasi limpasan (CV), indeks penggunaan air (IPA), indeks koefisien simpanan air (KSA), dan indeks debit jenis (IDJ). Jumlah dan distribusi limpasan dari debit sungai menunjukkan indikasi sifat atau karakteristik DAS di hulunya dalam memberikan respon terhadap hujan yang jatuh sebagai masukan terhadap DAS. Nilai limpasan bisa dinyatakan dalam : (1) debit aliran yang merupakan jumlah per satuan waktu, (2) koefisien variasi limpasan, dan (3) koefisien rejim sungai (KRS) yaitu nisbah
126
debit maksimum dan minimum. Debit aliran yang penting adalah besarnya debit puncak atau banjir dan frekuensi kejadiannya sebagai indikasi kemampuan DAS dalam merespon air hujan yang jatuh. Besarnya KRS di daerah penelitian berkisar antara 92 – 713, dimana terendah di DAS Citanduy dan terbesar di DAS Cimanuk. Indikator hidrologi lain di daerah penelitian berturut-turut adalah sebagai berikut: (1) CV berkisar antara 9,6 – 28,2; (2) IPA berkisar antara 0,18 – 0,97; (3) KSA antara 0,06 – 0,2; dan (4) IDJ antara 7,38 – 31,04. Hasil selengkapnya indikator hidrologi, tanah, kualitas air, lahan dan penduduk disajikan pada Tabel 33. Berdasarkan indikator pada masing-masing sungai terlihat bahwa terdapat keberagaman dalam evaluasi dari indikator tersebut
sesuai dengan standar
evaluasi yang digunakan. Dengan mengacu pada standar evaluasi terhadap indikator KRS, maka kondisi KRS dari seluruh sungai mengindikasikan bahwa DAS-nya buruk karena melebihi 80 (Walker and Reuter, 1996; Paimin et al., 2002; Gunawan, 2002). Indikator CV yang dihasilkan pada penelitian ini mengindikasikan kondisi pengelolaan DAS sedang hingga baik. Demikian pula halnya dengan indikator IPA dan KSA mengindikasikan buruk hingga baik, sedangkan indikator IDJ mengindikasikan seluruh sungai buruk. Indikator erosi, laju sedimentasi dan indeks penutupan lahan permanen (IPLM) dari seluruh sungai mengindikasikan kondisinya buruk. Indikator kualitas air dan kepadatan penduduk berkisar antara buruk hingga baik. Adanya variasi yang beragam dari kualitas DAS tersebut menyebabkan kesulitan dalam menyimpulkan tingkat kesehatan DAS jika masing-masing indikator hanya dinilai berdasarkan standar evaluasi yang ada.
127
Tabel 33.Indikator karakteristik DAS di daerah penelitian DAS
Tanah9-15)
Hidrologi 1,2,4)
3)
5,6)
1-4)
Kualitas Air7,8, 17)
Lahan
Penduduk
4,16)
7,9-15)
1-4)
KRS CV IPA KSA IDJ IE LS Keruh pH DO NO3 NO2 PO4 BOD IPLM KP Ciujung 189,5 28,2 0,88 0,19 26,48 1,46 2,5 32 5,67 1,8 2,92 0,22 0,42 13,7 11,67 14 Cisadane 143,0 20,6 0,48 0,20 31,04 2,79 3,1 42 5,72 3,6 1,85 0,31 0,38 11,5 17,97 22 Citarum 92,0 9,6 0,42 0,09 8,63 2,62 2,1 26 6,55 5,2 3,11 0,11 0,15 8,42 13,24 18 Cimanuk 713,0 27,2 0,18 0,06 30,12 2,61 7,4 32 6,67 7,2 2,39 0,01 0,11 3,2 19,09 12 Citanduy 111,2 15,8 0,89 0,18 20,16 2,90 3,6 35 6,12 6,1 2,12 0,01 0,03 4,1 9,32 8 Serayu 165,0 13 0,75 0,15 27,47 4,75 4,7 29 6,54 7,3 2,72 0,03 0,01 3,1 11,68 10 B.Solo 541,0 18,7 0,42 0,06 11,73 1,38 3,1 37 6,16 7,1 3,24 0,06 0,15 5,6 13,57 13 Brantas 205,0 14,4 0,97 0,17 7,38 1,94 4,7 31 6,02 6,8 2,16 0,07 0,21 7,5 8 11 Sumber: 1) = Nugroho, 2005; 2) Nugroho, 2007; 3) Puslitbang Air, 2007; 4) The Unesco-IHP, 2000; 5) Triatmodjo, 2005; 6) Bappenas, 2005; 7) Pawitan et al., 2007a; 8) Pawitan et al., 2007b; 9) PIPWS Ciujung Ciliman, 2004; 10) Arwindrasti, 1997; 11) Nippon Koei, 2001; 12) Ilyas, 2002; 13) PIPWS Cimanuk Cisanggarung, 2004; 14) Astisiasari, 2008; 15) Bappedal Jateng & UGM, 2003; 16) Dephut, 2002; 17) Aldrian et al., 2006
Tabel 34. Hasil evaluasi per indikator dari masing-masing karakteristik DAS di daerah penelitian DAS
Hidrologi KRS CV IPA KSA Ciujung 1 2 2 1 Cisadane 1 2 1 2 Citarum 1 3 1 1 Cimanuk 1 2 1 1 Citanduy 1 2 2 2 Serayu 1 2 2 2 B.Solo 1 2 1 1 Brantas 1 2 3 2 Keterangan: 1 = buruk, 2 = sedang, 3 = baik,
Tanah IDJ 1 1 1 1 1 1 1 1
IE 1 1 1 1 1 1 1 1
LS 1 1 1 1 1 1 1 1
Keruh 1 1 1 1 1 1 1 1
pH 2 2 3 3 2 3 2 2
DO 1 2 3 3 3 3 3 3
Kualitas Air NO3 NO2 2 3 3 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3 2 3
PO4 1 2 3 3 3 3 3 3
BOD 1 1 2 3 3 3 2 2
Lahan IPLM 1 1 1 1 1 1 1 1
Penduduk KP 2 1 2 2 3 2 2 2
128
Dengan melihat indikator dan standar evaluasi yang digunakan dari 8 sungai di daerah penelitian, sangat sulit untuk menyimpulkan kualitas DAS yang ada karena dari satu sungai ada yang mengindikasikan baik tetapi adanya juga yang sedang dan buruk (Tabel 34). Sebagai contoh DAS Brantas, indikator IPAnya mengindikasikan baik, namun CV dan KSA sedang, sedangkan KRS, erosi, laju sedimentasi, dan IPLM menunjukkan indikasi buruk. Kondisi demikian juga terjadi pada tujuh sungai lainnya di daerah penelitian yang memiliki keberagaman dari masing-masing indikatornya. Oleh karena itu, metode penentuan kesehatan DAS yang mampu memadukan berbagai indikator yang ada sehingga mampu menyimpulkan tingkat kesehatan DAS menjadi sangat penting.
7.2.
Kesehatan DAS Pengelolaan DAS difahami sebagai upaya manusia dalam mengendalikan
hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam DAS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan (Dephut, 2001). Brooks et al., (1990) mendeskripsi pengelolaan DAS sebagai suatu proses pengorganisasian dan pemanduan penggunaan sumberdaya lahan dan sumberdaya lainnya dalam DAS untuk menyediakan barang dan jasa yang diinginkan tanpa mengkibatkan kerusakan sumberdaya tanah, air dan sebagainya. Pengelolaan DAS menyangkut aneka sumberdaya alam dan memerlukan pengertian hubungan antara penggunaan lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara hulu dan hilir. Sama pentingnya juga pemahaman sistem sosial dan politik yang berlaku dalam suatu batas DAS, karena kelembagaan demikian menuntun penggunaaan lahan baik melalui regulasi maupun insentif. Dalam kenyataan lapangan, permasalahan dan kendala tidak terduga sering muncul begitu implementasi pengelolaan DAS dimulai. Segala sesuatunya tidak selalu seperti yang direncanakan; situasi bisa berubah sehingga memaksa untuk merubah perencanaan. Hal ini bukan karena perencanaan yang salah tetapi mencerminkan adanya perubahan yang terjadi dengan berjalannya waktu. Hal ini disadari bahwa dalam perencanaan pengelolaan DAS dijumpai adanya faktor ketidakpastian (Asdak, 1995, Brooks, et al., 1990).
129
DAS sebagai suatu ekosistem merupakan satuan monitoring dan evaluasi (monev) karena setiap ada masukan (input) ke dalam ekosistem tersebut dapat dievaluasi proses yang telah dan sedang berlangsung dengan melihat keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Wilayah DAS yang terdiri dari komponen tanah, vegetasi dan air/sungai berperan sebagai prosesor. Kegiatan monev yang menghasilkan informasi tentang tingkat kesehatan DAS (catchment health) bersangkutan pada sistem pengelolaan yang diterapkan dapat dipandang sebagai kegiatan diagnose Monitoring dan evaluasi merupakan unsur dasar dari perencanaan dan pengelolaan. Monitoring adalah menghimpun informasi tentang dunia (fakta) nyata yang dapat dibandingkan dengan dunia khayal yang diuraikan dalam rencana proyek, untuk melihat seberapa dekat apa yang direncanakan dengan apa yang berjalan dalam kenyataannya. Menggunakan prinsip yang tidak berbeda Becerra (1995) menyebutkan monitoring sebagai pengukuran secara sistematis dari indikator proyek untuk menetapkan hasil yang diperoleh terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi adalah mengorganisasi dan menilai informasi yang terhimpun dalam monitoring, dibandingkan dengan informasi yang terhimpun melalui cara lain, untuk dipresentasikan kepada manajer dan perencana pada tempat dan waktu yang tepat (Brooks et al., 1990). Hasil monev tersebut akan memandu pengelola mampu menyediakan fakta yang berupa data kuantitatif yang jelas dan obyektif atas manfaat dari aktivitas yang telah dicapai dan sejalan dengan tujuan pengelolaan yang direncanakan. Dalam melakukan monev DAS, Jenkins dan Sanders (1992), seperti dikutip Walker et
al., (1996), mengikuti prosedur pemeriksaan kesehatan
manusia. Pada diagnose awal, pasien (DAS) ditetapkan sehat atau sakit; kemudian diikuti diagnose lanjut untuk menemukan jenis penyakitnya, yang akhirnya diputuskan cara dan jenis pengobatannya. Monev kesehatan DAS bisa dilakukan dalam 3 skala yakni nasional, regional/DAS, dan usaha tani (site). Untuk menetapkan tingkat kesehatannya, masing-masing skala memerlukan jumlah indikator berbeda. Semakin tinggi tingkat skalanya semakin sederhana jumlah indikator yang digunakan. Indikator tingkat usaha tani memberikan nilai angka dan sesuai untuk pemetaan distribusi spasial nilai, sedangkan indikator tingkat
130
DAS/sub-DAS
mengintegrasikan
seluruh
respon
DAS
tetapi
tidak
mengindikasikan lokasi hot-spot-nya. Berdasarkan metode penentuan kesehatan DAS yang digunakan dalam penelitian ini, yakni yang memadukan indikator hidrologi, tanah, kualitas air, penutupan lahan dan kepadatan penduduk, maka hasil perkalian antara indikator dan bobot menunjukkan jumlah yang bervariasi antara 127 – 155. Hasil perkalian antara indikator dan bobot untuk masing-masing indikator di daerah penelitian selengkapnya disajikan pada Tabel 35. Indeks tingkat kesehatan DAS untuk masing-masing sungai berturut-turut adalah sebagai berikut: DAS Ciujung (130); Cisadane (129); Citarum (138); Cimanuk (130); Citanduy (154); Serayu (150); Bengawan Solo (127); dan Brantas (155). Berdasarkan klasifikasi kriteria tingkat kesehatan DAS yang ada yaitu: < 150 (buruk/sakit); 150 ≤ DAS < 200 (sedang); 200 ≤ DAS < 250 (baik/sehat); dan ≥ 250 (sangat baik/sangat sehat), maka berturut-turut DAS Ciujung, Cisadane, Citarum, Cimanuk, dan Bengawan Solo tergolong DAS buruk atau sakit sedangkan DAS Citanduy, Serayu dan Brantas tergolong sedang. Semakin kecil indeks tingkat kesehatan DAS maka semakin buruk atau sakit pula kondisi DAS yang ada. Oleh karena itu berturut-turut dari indeks tingkat kesehatan DAS terkecil ke terbesar adalah Bengawan Solo, Cisadane Cimanuk,
Ciujung,
Citarum, Serayu, Citanduy. dan Brantas Artinya DAS Bengawan Solo merupakan DAS dengan kondisi terburuk sedangkan Brantas memiliki kondisi kesehatan yang paling baik dari DAS lain di daerah penelitian. Berdasarkan analisis kesehatan DAS tersebut terlihat bahwa DAS yang memiliki aliran sungai ke arah utara atau bermuara di sekitar Laut Jawa dan Selat Madura sudah tergolong dalam kondisi buruk atau sakit, sedangkan yang bermuara ke selatan yaitu ke Samudera Hindia kondisinya sedang.
131
Tabel 35. Hasil perkalian antara indikator dan bobot serta kesehatan DAS DAS Ciujung Cisadane Citarum Cimanuk Citanduy Serayu B.Solo Brantas
KRS 10 10 10 10 10 10 10 10
CV 20 20 30 20 20 20 20 20
Hidrologi IPA KSA 20 10 10 20 10 10 10 10 20 20 20 20 10 10 30 20
IDJ 10 10 10 10 10 10 10 10
Tanah IE LS 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Keruh 1 1 1 1 1 1 1 1
pH 2 2 3 3 2 3 2 2
DO 2 2 3 3 3 3 3 3
Kualitas Air NO3 NO2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2 4 2
PO4 2 4 6 6 6 6 6 4
BOD 2 2 4 6 6 6 4 4
Lahan IPLM 15 15 15 15 15 15 15 15
Penduduk KP 10 5 10 10 15 10 10 10
Jml 130 129 138 130 154 150 127 155
Kesehatan DAS Buruk/Sakit Buruk/Sakit Buruk/Sakit Buruk/Sakit Sedang Sedang Buruk/Sakit Sedang
132
Kondisi demikian sangat berkaitan dengan laju pengembangan wilayah. Pengembangan wilayah di Jawa bagian utara lebih berkembang dibandingkan dengan selatan (Whitten et al., 1999). Hal ini telah berlangsung sejak lama, dimana daerah-daerah di pesisir utara Jawa lebih berkembang daripada di selatan karena didukung oleh kemudahan aksesibilitas dan perhubungan antara pulau di bagian utara Jawa, dan kesuburan tanah serta topografi dataran yang luas berada di sepanjang Pantai Utara Jawa. Tidak aneh jika pesisir Jawa bagian utara merupakan daerah yang lebih berkembang, padat penduduk dan sentra produksi pertanian (Whitten et al., 1999; Breman dan Wiradi, 2004). Kepadatan penduduk di DAS Serayu dan Citanduy kurang lebih 764 – 975 jiwa/km2 atau 8-10 jiwa/ha, sedangkan di DAS lainnya aliran sungainya bermuara ke arah utara kepadatan penduduk lebih dari 1.000 jiwa/km2, bahkan di DAS Cisadane mencapai 2.269 jiwa/km2. Akibat prasarana dan sarana yang serba minim, kemajuan ekonomi di selatan jauh tertinggal. Ekonomi Jawa kurang lebih 70-80 persen dibangun di pantai utara Jawa. Pembangunan di Provinsi Jawa Timur, sebagai misal untuk menggambarkan ketimpangan pembangunan di Jawa, kawasan utara mengelola uang Rp 250 triliun dari sektor usaha non pertanian, sedangkan kawasan selatan hanya mengelola Rp 56 triliun. Contoh lain, pendapatan domestik regional bruto (PDRB) kabupaten/kota di kawasan selatan Jawa Timur lebih kecil dibandingkan dengan di utara. Rata-rata PDRB kota/kabupaten di selatan kurang lebih Rp 1,5 triliun hingga Rp 3,5 triliun. PDRB kota/kabupaten di utara Jawa mencapai Rp 3 triliun hingga Rp 10 triliun. Bahkan jika dikaitkan secara nasional, PDRB kawasan selatan seluruh Indonesia hanya 10 persen sedangkan kawasan utara mencapai hampir 90 persen. Ketertinggalan wilayah selatan Jawa Timur juga merupakan dampak dari kondisi geografis kawasan tersebut. Terutama dimulai dari Pacitan hingga Blitar, yang merupakan bentangan Pegunungan Kapur. Kondisinya kering dan miskin sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan. Ada beberapa daerah yang memiliki sumber daya alam, tetapi saat ini belum tergarap optimal. Pemanfaatan lahan yang lebih intensif dan kepadatan penduduk yang lebih tinggi menyebabkan tingkat kerusakan DAS dari sungai-sungai yang bermuara di
133
utara Jawa lebih tinggi kerusakannya. Hasil analisis kesehatan DAS yang menunjukkan bahwa 8 DAS di daerah penelitian kondisinya sakit dan sedang, juga sesuai dengan penetapannya sebagai DAS kritis atau super prioritas dalam pengelolaannya dari tahun 1984 hingga sekarang (Departemen Kehutanan, 1984; Suwarjo et al., 1994;
Suripin, 2002; Departemen Kehutanan, 2003). Dasar
penetapan DAS kritis dan super prioritas oleh pemerintah tersebut didasarkan pada a) Daerah yang hidroorologisnya kritis, ditandai oleh besarnya angka perbandingan antara debit maksimum (musim hujan) dan debit minimum (musim kemarau) serta kandungan lumpur (sediment load) yang berlebihan; b) Daerah yang telah, sedang, atau akan dibangun bangunan vital dengan investasi besar, antara lain waduk, bendung, dan bangunan pengairan lainnya; c) Daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan; dan
d) Daerah dengan kepadatan
penduduk yang tinggi.
7.3.
Hubungan antara Indikator dan Kesehatan DAS Berdasarkan metode yang digunakan untuk menentukan kesehatan DAS,
indikator hidrologi merupakan indikator yang memiliki bobot terbesar dibandingkan dengan indikator lainnya. Korelasi antara indeks kesehatan DAS dengan indikator lainnya, berturut-turut adalah hidrologi (0,94), erosi (0,50), laju sedimentasi (0,50), kualitas air (0,31), penggunaan lahan (0,83), dan kepadatan penduduk (0,62). Indikator hidrologi dan penggunaan lahan merupakan indikator yang memiliki hubungan yang paling besar dengan indeks kesehatan DAS dibandingkan dengan indikator lainnya. Oleh karena itu maka dalam menilai dan mengkaji kondisi suatu DAS (apakah kondisinya sehat atau kritis) dapat memanfaatkan data hidrologi dan penggunaan lahan. Lebih jauh, indikator hidrologi terdiri dari lima parameter yaitu koefisien rejim sungai (KRS), koefisien variasi limpasan (CV), indeks penggunaan air (IPA), indeks koefisien simpanan air (KSA), dan indeks debit jenis (IDJ). Hasil analisis statistik korelasi terhadap masing-masing parameter tersebut terhadap indeks kesehatan DAS ternyata juga memberikan hasil yang bervariasi. Parameter KSA, IPA, dan KRS memiliki korelasi yang cukup besar yaitu 0,77; 0,67; dan
134
0,60, sedangkan CV (0,40) dan IDJ (0,05). Indikator penggunaan lahan yaitu dari parameter IPLM (Indeks Penutupan Lahan Permanen) menunjukkan nilai korelasi yang besar yaitu 0,83. Adanya korelasi yang cukup besar antara KSA, IPA, KRS dan IPLM dengan indeks kesehatan DAS, maka dalam penentuan tingkat kesehatan atau kekritisan suatu DAS dapat cukup menggunakan empat parameter tersebut, jika parameter yang lain tidak tersedia. Hal ini sangat penting mengingat beberapa metode monitoring dan evaluasi pengelolan DAS atau sering dikenal pula metode penentuan kesehatan DAS yang ada, menggunakan parameter yang sangat banyak, seperti metode dari Departemen Kehutanan yang menggunakan 24 parameter (Paimin et al., 2002), PUSPICS UGM 18 parameter (Gunawan, 2002), dan metode yang digunakan di DAS Serayu dengan 14 parameter (Soedjoko dan Fandeli, 2002). Dalam penelitian ini menggunakan 16 parameter. Kesulitan utama dalam penentuan kesehatan DAS
adalah mengumpulkan data untuk seluruh
parameter yang digunakan karena data tersebut tersebar di berbagai sumber dan sering sulit diakses. Semakin lengkap data yang digunakan akan semakin baik, namun kendalanya data karakteristik DAS di Indonesia sangat terbatas. Selain terbatas datanya, keberadaannya juga tersebar di berbagai tempat sehingga sangat sulit untuk mengumpulkan data secara lengkap. Dari tiga paramater hidrologi yang dapat digunakan sebagai alternatif metode pengkajian cepat (rapid assessment), parameter koefisien rejim sungai (KRS) merupakan salah satu paremeter yang paling sering digunakan sebagai faktor yang menentukan kekritisan suatu DAS. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan dan Menteri Pekerjaan Umum No. 19 Tahun 1984 – No. 059/Kpts-II/1984 – No. 124/Kpts/1984 tanggal 4 April 1984 tentang Penanganan Konservasi Tanah dalam Rangka Pengamanan DAS Prioritas, KRS digunakan sebagai salah satu dasar penetapan DAS super prioritas. Dalam SKB tersebut, dasar penetapan yang lain adalah: (a) adanya bangunan vital dengan investasi besar, misal waduk, bendung, dan bangunan pengairan lainnya; (b) daerah yang rawan terhadap banjir dan kekeringan; (c) daerah perladangan berpindah dan atau daerah dengan penggarapan tanah yang merusak tanah dan lingkungan; (d) daerah dimana tingkat
135
kesadaran masyarakat terhadap usaha konservasi tanah masih rendah; dan (e) daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Paramater penggunaan lahan saat ini telah menjadi acuan dalam penataan ruang, dalam hal ini dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang pasal 17 ayat (5) disebutkan bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan untuk rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% persen dari luas DAS. Penetapan proporsi luas kawasan hutan terhadap luas DAS dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan tata air, karena sebagian besar wilayah Indonesia mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air. Distribusi luas kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi DAS, antara lain, meliputi morfologi, jenis batuan, serta bentuk pengaliran sungai dan anak sungai. Oleh karena itu maka kawasan hutan tidak harus terdistribusi secara merata pada setiap wilayah administrasi yang ada di dalam daerah aliran sungai. Berdasarkan interpretasi citra Landsat tahun 2001, luas tutupan hutan di daerah penelitian menunjukkan proporsi yang sangat kecil yaitu kurang dari 20%. DAS Brantas, Citanduy dan Serayu yang tergolong dalam DAS yang cukup sehat ternyata luas prosentase hutan hanya 8%, 9,32% dan 11,68%. Berdasarkan hal itu maka untuk kegiatan kajian cepat dalam menilai kondisi (performance) DAS dapat dilakukan dengan menganalisis IPLM, KSA, IPA, dan KRS.
136