71
BAB VII PARTISIPASI DAN ASPIRASI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI 7.1. Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan Masyarakat mengetahui istilah pengembangan kawasan di wilayah ini bukan dengan istilah agropolitan, tetapi dengan istilah lain yaitu Gerdabangagri (Gerakan Daerah Pembangunan Agribisnis) yang diketahui terutama melalui pertemuan-pertemuan di kelompok tani. Hanya para aparat desa dan tokoh masyarakat saja yang pernah mendengar langsung istilah Gerdabangagri yaitu pada saat berpartisipasi di forum rapat-rapat resmi yang diadakan di tingkat kecamatan atau kabupaten. Asal pengetahuan masyarakat akan adanya kebijakan pengembangan wilayah (Gerdabangagri) oleh pemda tertera pada Tabel 27. Tabel 27 Asal Pengetahuan Masyarakat Akan Adanya Kebijakan Pengembangan Wilayah (Gerdabangagri)
No.
Asal Mengetahui
Aparat/Tokoh Masyarakat Jumlah
1 2
Pertemuan Kelompok tani Sosialisasi Pemda Jumlah
1 5 6
%
17 83 100
Petani Jumlah
19 0 19
Jumlah %
100 0 100
Responden
20 5 25
%
80 20 100
Sumber: Data primer (diolah). Data pada Tabel 27 menunjukkan bahwa petani mengetahui adanya kebijakan pengembangan wilayah (Gerdabangagri) dari adanya pertemuanpertemuan di kelompok tani (100%) dan hanya aparat/tokoh masyarakat yang mengetahui adanya kebijakan pengembangan wilayah (Gerdabangagri)
dari
sosialisasi oleh pemerintah daerah (83%). Gerdabangagri merupakan suatu program pembangunan yang direncanakan oleh pemerintah daerah sehingga perlu sosialisasi kepada masyarakat. Aparat atau tokoh masyarakat adalah anggota masyarakat yang pertama dihubungi pemerintah karena statusnya. Aparat atau tokoh masyarakat diharapkan menjadi jembatan penghubung yang menyampaikan ide-ide, memberikan pemahaman-pemahaman tentang rencana dan program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah kepada masyarakatnya.
72
Masyarakat
pada
umumnya
belum
terlibat
dalam
perencanaan,
pelaksanaan maupun evaluasi dalam pengembangan di kawasan tersebut. Sebagai contoh pada saat dilaksanakan pengerasan jalan dengan sirtu di desa Bumi Rapak, masyarakat merasa hanya sebagai penonton saja. Masyarakat mengetahui secara tiba-tiba ada droping material di lingkungannya dan pengerjaannya dilakukan oleh orang lain, padahal masyarakat ingin agar dalam pelaksanaannya masyarakat terlibat misalnya dengan model padat karya. Masyarakat mengharapkan dapat berperan sebagai tenaga kerja di lingkungan masing-masing dan mendapatkan upah dari pelaksanaan pengerasan jalan dengan sirtu tersebut. Namun demikian, jika kawasan tersebut ingin dikembangkan lebih lanjut masyarakat ingin lebih berpartisipasi dengan harapan kondisi perekonomiannya semakin meningkat dan kondisi sarana dan prasarana dasar wilayah semakin baik. Karena itu, dalam penelitian ini diuraikan aspirasi atau keinginan masyarakat agar kondisi kawasan transmigrasi Kaliorang semakin berkembang terutama dari aspek pengembangan perekonomian masyarakat dan sarana/prasarana wilayah. Direktorat Bina Potensi Persebaran Penduduk (2004), melaksanakan penyusunan desain rencana kegiatan yang dapat dilakukan masyarakat transmigran melalui pemberdayaan masyarakat dengan suatu pendekatan partisipatif. Maksud dari kegiatan tersebut adalah meningkatkan kemampuan dan produktivitas
masyarakat
transmigran,
membangun
kemandirian,
serta
mewujudkan integrasi dan sosial budaya di permukiman transmigrasi agar mampu tumbuh berkembang secara berkelanjutan. Pelaksanaan kegiatan pemberdayaan dilaksanakan bersama-sama dengan masyarakat, penggalian informasi dan pemetaan masalah dan kondisi lapang dilakukan dengan melibatkan masyarakat transmigran secara aktif melalui format diskusi/pertemuan. Namun demikian, ternyata masyarakat yang terlibat hanyalah perwakilan dari pengurus Rukun Tetangga (RT), kelompok tani, aparat desa dan tokoh masyarakat. Dalam pelaksanaannya mulai dari identifikasi permasalahan, menyeleksi prioritas masalah dan merencanakan kegiatan aksi dilakukan oleh masyarakat itu sendiri, dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai subyek bukan sebagai obyek. Selain itu, juga dilakukan wawancara dengan Kepala UPT serta masyarakat transmigran.
73
Wakil dari transmigran antusias mengikuti kegiatan, mulai dari identifikasi masalah, menyeleksi prioritas masalah dan merencanakan kegiatan aksi dikarenakan pengetahuan transmigran jika ada perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini ada wakil-wakil dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi provinsi dan kabupaten maka biasanya akan ada realisasi atau manfaat yang dapat diperoleh dari perencanaan tersebut. Permasalahan yang berkaitan dengan tidak tersedianya sarana/prasarana, programnya diusulkan untuk dapat ditindaklanjuti oleh Ditjen PSKT (sebelum reorganisasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada awal tahun 2006) dan untuk dapat diprioritaskan pada usulan program anggaran biaya tambahan pada tahun 2004. Salah satu lokasi uji coba adalah UPT Bertak SP 2, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Hasil peninjauan lapang ke UPT Bertak SP 2 (pola usaha tanaman pangan pasang surut), selama ini transmigran hanya mengolah LP dengan tanaman pangan (padi, palawija, sayur-sayuran), dan dari usaha pertaniannya tersebut kurang berhasil yang disebabkan terutama karena kesesuaian lahan pada umumnya adalah S3 (sesuai marginal) dengan faktor pembatas kedalaman pirit (± 50 cm ) dan kesuburan tanah. Peserta transmigran di lokasi ini sebagian merupakan transmigran pengungsi dari NAD Darussalam, di mana pada lokasi lama transmigran selain telah mengembangkan tanaman perkebunan kelapa sawit mereka bercocok tanam tanaman pangan pada lahan kering.
Kebiasaan masyarakat transmigran yang
sebelumnya berusahatani di lahan kering dengan pengolahan tanah yang optimal, menghadapi masalah setelah pindah ke lahan pasang surut dengan lapisan pirit ± 50 cm. Selain itu, terjadi serangan hama tikus dan babi hutan yang disebabkan karena lokasi berbatasan dengan LU I dan LU II yang masih berhutan (belum dibuka), selain juga adanya rumah yang ditinggalkan masyarakat sehingga rumah dan lahan pekarangan menjadi semak belukar. Masalah lain yang terjadi adalah pada saat air pasang, tanaman sering terendam air laut (intrusi air asin) yang disebabkan tidak adanya pintu air di 6 saluran sekunder. Akibat dari berbagai sebab tersebut, maka saat itu masyarakat mengalami gagal panen dan untuk
74
memenuhi kebutuhan hidupnya sebagian masyarakat bekerja sebagai buruh dan tukang di luar lokasi. Masalah lain yang dihadapi masyarakat pada saat itu adalah masalah pendidikan seperti belum tersedianya bangunan SD dan guru SD PNS. Masalah kesehatan yaitu belum adanya bangunan puskesmas pembantu, keterbatasan droping pengadaan obat, dan obat-obatan yang tersedia hanya obat-obatan standart (generik) yang tidak sesuai dengan penyakit dominan yang ada di UPT tersebut (kulit, ISPA, influensa, malaria) dan keterbatasan sarana dan prasarana kesehatan, terutama untuk menolong kelahiran tidak tersedia kebidanan kit. Permasalahan sarana/prasarana transportasi terutama target pembangunan jembatan pada saluran sekunder 6 buah dan saat ini hanya terealisasi 3 buah jembatan, sehingga pada 3 saluran sekunder yang lain belum dibangun jembatan, sehingga oleh masyarakat secara gotong royong dibuat jembatan dengan konstruksi kayu gelam yang sifatnya darurat dan hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki dan sepeda/motor. Berkaitan dengan kelembagaan UPT, saat itu pada UPT Bertak SP 2, tidak tersedia dana yang memadai untuk manajemen UPT, tidak tersedia motor dinas untuk operasionalisasi sehari-hari dan kurangnya pembinaan secara intensif dari dinas dan lintas sektor terkait. Berdasarkan diskusi yang dilakukan dari prioritas masalah yang ada, transmigran sepakat untuk melakukan diversifikasi usaha pertanian melalui pengembangan usaha ternak itik. Sesuai dengan dana yang tersedia maka dapat diadakan itik sebanyak 2.400 ekor yang terdiri dari 2.000 ekor betina dan 400 ekor jantan yang akan dibagikan kepada 400 KK transmigran. Pembelian dan pembagian itik dilakukan bersama-sama dengan masyarakat, karena sebagian diantara mereka pernah sebagai pengembala itik di daerah asal sehingga mengetahui ciri-ciri itik yang baik dan siap bertelur. Pertimbangan transmigran memilih pengembangan usaha ternak itik adalah jika sudah bertelur maka pemasaran mudah, karena selain dekat dengan ibukota kabupaten dan provinsi, sarana transportasi relatif tersedia dengan mudah baik lewat air maupun darat. Untuk menjaga keberlanjutan pengembangan usaha ternak itik maka dilakukan pengaktifan Kelompok Usaha Bersama disertai dengan rencana pemberian modal usaha yang digunakan untuk penyediaan sarana produksi untuk ternak itik dan membeli hasil produksi telur itik dan memasarkannya secara
75
bersama-sama
sehingga
tercapai
volume
ekonomi.
Berdasarkan
data
perkembangan UPT tahun 2006, populasi itik di UPT Bertak SP 2 ternyata tinggal hanya 65 ekor. Berkurangnya populasi ternak terutama disebabkan karena dikonsumsi, mati atau dijual oleh transmigran. Hal ini menunjukkan, meskipun kegiatan perencanaan dan pelaksanaan dilakukan oleh masyarakat tetapi jika kondisi perekonomian masyarakat masih kekurangan maka sebagian dari investasi apalagi bersifat bantuan dan tidak ada sanksi jika menjualnya maka sebagian akan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang lain. Kejadian yang hampir mirip terjadi di UPT Toliwang SP 5F, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara.
Jumlah penempatan 225 KK,
masyarakat yang berasal dari daerah asal/Transmigran Daerah Asal (TPA) semuanya mengungsi pada saat terjadi kerusuhan bermuatan SARA pada tahun 2000 dengan meninggalkan semua yang telah diperoleh selama mengembangkan usaha di lokasi tersebut. Pada saat kondisi sudah kondusif dan ada pemulangan kembali transmigran yang mengungsi diadakan pemberdayaan ekonomi dengan model partisipatif dengan salah satu hasil perencanaanya adalah pengembangan ternak sapi dengan model bergilir. Akhir tahun 2004, penulis berkesempatan melakukan peninjauan lapang ke UPT tersebut, ternyata sebagian ternak sapi telah dijual dengan “kesepakatan” di antara kelompok masyarakat. 7.2. Aspirasi Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan 7.2.1. Pengembangan Kegiatan Usaha dan Perekonomian Pemahaman masyarakat tentang Gerdabangagri lebih pada program pengembangan pertanian di kawasan ini. Masyarakat menyetujui adanya kebijakan Gerdabangagri tersebut dan berkeinginan untuk mengkerjasamakan pengusahaan lahan usahanya yang saat ini berupa semak belukar atau padang alang-alang. Komoditas pisang dan kakao yang saat ini diusahakan masyarakat mengalami kemunduran karena adanya serangan penyakit dan masyarakat merasa tidak sanggup untuk mengatasinya. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan kondisi perekonomian masyarakat. Upaya-upaya pemerintah setempat untuk mengembangkan pertanian dengan menerjunkan sarjana pendamping di pedesaan, menurut masyarakat
76
perannya dan keaktifannya perlu ditingkatkan mengingat kondisi pertanian masyarakat terutama yang berkaitan dengan pengusahaan tanaman pisang dan kakao yang menjadi andalan sebagian masyarakat sedang terserang penyakit dan sampai saat ini masyarakat belum berhasil mengatasinya dan masyarakat cenderung menelantarkan. Efektifitas keberadaan sarjana pendamping masih dirasakan kurang terlihat dari masyarakat ada yang tidak mengenal siapa petugas pendamping pertanian yang ada di desanya, karena pada umumnya petugas pertanian baru datang pada pertemuan kelompok tani jika diundang. Masalahnya pertemuan kelompok tani tidak diadakan secara berkala, tetapi dilaksanakan pada saat-saat tertentu jika ada program dari pemerintah atau pada saat menjelang musim tanam terutama untuk berkoordinasi dalam pembelian sarana produksi pertanian (pupuk) yang harus dipesan pada pedagang yang ada di Bontang. Masyarakat mengharapkan adanya pengembangan komoditas baru misalnya kelapa sawit untuk diusahakan di lahan usahanya yang saat ini berupa semak belukar atau padang alang-alang. Contoh lahan bukan-sawah (LU II) yang berupa semak belukar atau padang alang-alang tertera pada Gambar 4.
Gambar 4 Lahan Usaha II yang berupa semak belukar atau padang alang-alang. Hambatan utama dalam pengembangan komoditi kelapa sawit ini adalah permodalan
sehingga
masyarakat
mengharapkan
adanya
perusahaan
mitra/investor. Hal ini juga didorong oleh pengetahuan masyarakat tentang adanya beberapa perusahaan perkebunan swasta yang saat ini telah mulai membangun
77
perkebunan kelapa sawit di sekitar desa mereka diantaranya PT Gonta Samba, PT Telen dan PT Wira Sukses Abadi. Dengan adanya investor yang menyediakan modal untuk pengembangan komoditas kelapa sawit, masyarakat berharap lahan usaha II dan I yang saat ini tidak dapat diusahakan secara optimal dapat kembali diusahakan. Berdasarkan data potensi desa tahun 2006 di kawasan ini terdapat lahan bukan-sawah seluas 23.503,5 ha dan yang saat ini tidak diusahakan seluas 7.917,5 ha yang merupakan potensi untuk pengembangan pertanian. Bentuk kerjasama kemitraan yang diinginkan masyarakat adalah investor yang melaksanakan pembukaan lahan kembali, penyediaan bibit, penanaman dan pemeliharaan sedangkan masyarakat sebagai tenaga kerja. Hal ini dikarenakan sulitnya mencari pekerjaan lain di sektor pertanian maupun di luar sektor pertanian di kawasan tersebut. Dengan bekerja sebagai tenaga kerja di lahan sendiri atau perusahaan inti masyarakat mengharapkan adanya tambahan penghasilan sekaligus LU II yang saat ini berupa semak belukar atau padang alang-alang dapat diusahakan kembali. Dalam kerjasama kemitraan ini, masyarakat menginginkan investor yang bermodal artinya tidak ada penyerahan sertifikat LU II yang digunakan sebagai agunan untuk mendapatkan kredit/modal dari Bank. Hal ini disebabkan adanya pengalaman masyarakat (di desa Bukit Makmur), di mana pernah ada yayasan yang mengumpulkan uang dari masyarakat tetapi ternyata setelah uang masyarakat terkumpul yayasan tersebut tidak jelas keberadaannya. Masyarakat keberatan jika sertifikat yang telah diserahkan, digunakan sebagai agunan. Masyarakat tidak rela, jika perusahaan rugi maka lahan yang masyarakat punyai akan disita dan dilelang kepada pihak lain untuk mengangsur pinjaman. Selain
pengembangan
pertanian,
masyarakat
juga
mengharapkan
dibangunnya prasarana perekonomian berupa pasar. Di kawasan ini belum tersedia pasar. Pasar yang ada adalah di kecamatan induk yaitu pasar di ibukota Kecamatan Sangkulirang. Pasar yang ada di kawasan ini hanyalah pasar tenda. Pasar tenda ini biasanya diadakan seminggu sekali bila cuaca di kawasan tersebut tidak sedang musim hujan. Pedagang di pasar tenda adalah masyarakat dari luar kawasan yang berkeliling dari satu desa ke desa yang lain, tetapi tidak semua desa
78
didatangi oleh pedagang keliling tersebut. Pasar tenda terutama diadakan di desa Bangun Jaya untuk SKP Kaliorang dan di desa Bumi Rapak untuk SKP Kaubun dan Pengadan.
Masyarakat dari desa-desa yang lain di kawasan tersebut
berdatangan ke desa di mana pasar tenda sedang berlangsung untuk membeli kebutuhan yang dibutuhkan. Kondisi pasar tenda seperti tertera pada Gambar 5.
Gambar 5 Persiapan Pasar Tenda di Desa Bumi Rapak. 7.2.2. Peningkatan Sarana dan Prasarana Transportasi Masyarakat terutama di desa-desa yang telah dilaksanakan peningkatan jalan penghubung telah merasakan manfaat dari adanya program pembangunan tersebut di kawasan ini. Peningkatan jalan penghubung dengan sirtu dilakukan setelah dicanangkan Gerdabangagri oleh pemerintah daerah pada tahun 2003. Sebelum adanya peningkatan jalan untuk menuju ke simpang Kaliorang Kaubun dari desa Bumi Rapak atau desa-desa lain di kawasan tersebut sangat sulit apalagi jika musim hujan karena jalan penghubung yang ada jika musim hujan berlumpur sehingga sulit untuk dilalui kendaraan. Karena itu masyarakat mengharapkan adanya peningkatan prasarana jalan bukan hanya sirtu tetapi diperkeras dengan aspal atau semenisasi terutama pada jalan-jalan yang menghubungkan antar SKP di kawasan transmigrasi ini. Peningkatan kondisi jalan penghubung ini juga diikuti dengan tersedianya prasarana transportasi yang diperlukan masyarakat untuk mobilitas antar desa atau juga untuk anak-anak sekolah yang meneruskan sekolah lanjutan yang sudah terbangun yang lokasinya di desa yang lain. Selain jalan penghubung, masyarakat juga mengharapkan adanya peningkatan jalan desa dan jalan usahatani yang
79
sebagian masih berupa jalan tanah agar memudahkan dalam pengangkutan sarana produksi dan hasil panen. 7.2.3. Penerangan Kutai Timur merupakan salah satu penghasil minyak bumi dan batubara di Indonesia. Namun demikian untuk kawasan transmigrasi ini belum tersentuh oleh listrik PLN. Saat ini, untuk penerangan masyarakat menggunakan lampu minyak ataupun untuk masyarakat yang lebih mampu menggunakan genset pribadi yang digunakan untuk beberapa keluarga, sehingga kondisi kawasan ini pada malam hari gelap gulita karena tidak tersedianya sarana penerangan jalan. Masyarakat mengharapkan adanya listrik dari PLN yang menjangkau wilayah ini agar anakanak mereka dapat belajar dengan baik pada malam hari dan kondisi lingkungan pada malam hari tidak gelap gulita.