BAB VII KESIMPULAN A. Kesimpulan Sinrilik Kappalak Tallumbatua (SKT) sebagai hasil tradisi sastra lisan dari masyarakat suku Makassar telah difungsikan oleh pencerita atau pasinrilik sebagai alat untuk menyatukan suku, raja, dan kerajaan besar di Sulawesi Selatan, Bugis dan Makassar. Wujud penyatuan dalam SKT ditandai dengan disatukannya tokohtokoh cerita, yakni Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka serta Andi Patunru dan Karaeng Tu Nisombayya dalam hubungan keluarga (passibijang/ Makassar atau assiajingeng/ Bugis) yang erat. SKT adalah sinrilik yang berlatarkan peristiwa bersejarah yang terjadi di Sulawesi Selatan yang dikenal dengan Perang Makassar. Di dalam teks SKT terdapat fakta-fakta sejarah mengenai peristiwa Perang Makassar begitu pula penegakan harga diri (sirik) serta perebutan kekuasaan antara Sultan Hasanuddin, Arung Palakka, dan Belanda. Meskipun unsur-unsur yang membangun teks seperti tokohtokoh dan latarnya memperlihatkan persamaannya dengan peristiwa Perang Makassar, SKT tidak bisa disamakan dengan peristiwa sejarah Perang Makassar. Teks SKT memang terlihat memberikan informasi kesejarahan, namun tidak mengandung kebenaran historis. Hal tersebut karena pencerita/ pasinrilik telah memasukkan unsur-unsur imajinasinya ke dalam cerita SKT sesuai dengan bekal pengetahuan yang ada dalam dirinya yang terus-menerus dikembangkan olehnya. Dengan demikian, SKT yang di dalamnya berisi sejarah tidak sama atau bukanlah buku sejarah meskipun aspek-aspek yang inti dari peristiwa sejarah tersebut tetap dipertahankan. Meskipun demikian, peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam SKT
610
telah menjadi memori yang tersimpan pada diri orang-orang Makassar terhadap peristiwa Perang Makassar yang terjadi antara tahun 1666 – 1669. Fakta-fakta yang terdapat dalam SKT yang diwariskan secara turun-temurun tersebut diyakini sebagai peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi bagi masyarakat Makassar sampai saat ini. Berdasarkan penelitian terhadap SKT, ditemukan dua versi cerita yang memperlihatkan perbedaan mengenai tokoh dan cerita yang disampaikan. SKT versi 1 dan versi 2 yang disampaikan oleh masing-masing pasinrilik memperlihatkan bahwa keduanya mendasarkan ceritanya pada peristiwa perang yang terjadi di Kerajaan Gowa dengan tokoh utamanya adalah Sultan Hasanuddin, Karaeng Tu Nisombayya, dan Arung Palakka/ Andi Patunru. SKT versi 1 (pasinrilik melek huruf) menempatkan tokoh Andi Patunru sebagai anak dari Raja Gowa Karaeng Tu Nisombayya, sedangkan dalam SKT versi 2 (pasinrilik buta huruf) menempatkan tokoh Arung Palakka sebagai paman dari Sultan Hasanuddin. Hasil telaah terhadap formula pembentuk baris pada penciptaan SKT ditemukan adanya struktur puisi dan struktur cerita. Kedua struktur yang terdapat dalam SKT memperlihatkan perbedaan yang khas. Di dalam kedua versi SKT terlihat adanya penggunaan pengulangan kata, kelompok kata, dan baris-baris cerita untuk mendeskripsikan dan menceritakan peristiwa-peristiwa tertentu yang berulang di dalam cerita melalui larik-lariknya. Dalam penyusunan ceritanya, pasinrilik terlihat banyak menggunakan unsur perulangan kata maupun kelompok kata sebagai unsur formula yang digunakan dalam kerangka sintaksis tertentu terutama dalam SKT versi 2. Larik-larik tersebutlah yang digunakan untuk membangun struktur berpikir pada masyarakat suku Makassar untuk membenarkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh tokoh cerita. Kata-kata yang digunakan untuk membangun struktur cerita dan
611
struktur puisi SKT semuanya mengarahkan pernyataan untuk memuliakan dan mengcela perbuatan yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, terlihat bahwa perulangan yang menggunakan pola formulaik dipakai pada (1) perulangan deskripsi ataupun adeganadegan cerita; (2) perulangan penyebutan epitet tokoh cerita; (3) perulangan lariklarik pembuka percakapan; dan (4) perulangan larik-larik penanda pergantian adegan atau episode. Dalam SKT versi 2 keempat pola formulaik tersebut, digunakan oleh pencerita, sedangkan dalam SKT versi 1 pola (2) tidak banyak digunakan dalam cerita. Pengulangan pola formulaik itu semuanya diarahkan dan dipakai untuk menguatkan kedudukan dan tindakan masing-masing tokoh. Peristiwa-peristiwa yang ditonjolkan dalam SKT merupakan bagian yang ingin disampaikan sebagai pembenaran terhadap apa yang dilakukan, agar masyarakat suku Makassar menerima dan mengakui perbuatan tersebut sebagai sesuatu yang benar. Dalam kaitannya dengan penyampaian lisan, SKT versi 1 dan 2 terlihat menampilkan tokohnya dengan ciri-ciri maupun kepribadian yang khas sehingga tokoh-tokohnya terkesan berjiwa dan hidup pada saat diceritakan. Oleh karena sinrilik disampaikan secara lisan, terlihat bahwa penyebutan nama tokoh di dalam SKT versi 1 dan 2 berkaitan dengan kedudukan serta watak tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, penikmat cerita SKT dengan cepat dapat mengenali tokoh-tokoh yang disebutkan. Penyebutan tokoh dengan julukannya masing-masing pun memudahkan penikmat dengan cepat mengenal watak tokoh yang disampaikan. Cara penyebutan epitet tokoh dengan sendirinya akan memudahkan penikmat untuk mengenal watak tokoh yang terlibat dalam suatu tindakan ataupun dialog dalam
612
cerita yang dengan mudah akan membawa pemahaman terhadap amanat yang akan disampaikan. Berdasarkan analisis terhadap latar belakang penciptaan SKT versi 1 dan versi 2 ditemukan bahwa penciptaannya didasarkan dua hal, yaitu sebagai pelegitimasi kekuasaan atas kebesaran raja dan kerajaan serta penegakan harga diri (sirik) meskipun dalam bentuk yang berbeda. SKT sebagai hasil tradisi lisan terlihat sarat dengan nilai-nilai yang terdapat dan berasal dari masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, SKT secara tidak langsung telah melestarikan nilai-nilai yang terdapat di sekitarnya. Nilai-nilai inilah yang tentunya diharapkan menjadi pedoman tingkah laku karena berasal dari adat-istiadat, sistem norma, aturan etika, aturan moral, sopan santun, pandangan hidup, ataupun ideologi pribadi yang dianut dan diyakini oleh masyarakat pendukungnya. SKT adalah sinrilik yang berisi tentang keberanian, semangat untuk berjuang, dan rasa kebanggaan terhadap negeri maupun bangsa sendiri, nilai pendidikan yang terwujud dalam bentuk nilai kejujuran, nilai moral, nilai ketegasan, nilai hukum, dan nilai demokrasi yang masih relevan digunakan sekarang ini. Keseluruhan nilai-nilai itu dapat ditemukan pada tokoh-tokoh serta peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam SKT tersebut. Hasil penelitian
menunjukkan terjadi resepsi dan intertekstual yang
berlangsung secara bertingkat terhadap SKT. Pertama, intertekstual terjadi dari hasil resepsi pasinrilik terhadap tradisi dan karya-karya sebelumnya yang kemudian digunakan di dalam teks SKT. Kedua, resepsi terhadap SKT yang kemudian melahirkan karya-karya sesudahnya dalam bentuk yang berbeda ataupun sama. Teks SKT versi 1 merupakan hasil resepsi pencerita terhadap karya sebelumnya dengan cara menentang teks Syair Perang Mengkasar yang dikarang oleh Enci’ Amin.
613
Dalam SKT versi 2, terlihat juga hubungan intertekstualnya dengan Syair Perang Mengkasar dalam hal perkataan dan perbuatan terhadap Arung Palakka, Belanda, dan Karaeng Butung. Berbagai sambutan dan transformasi terhadap SKT memperlihatkan bahwa teks tersebut telah difungsikan sesuai dengan kebutuhannya masing-masing, telah memperkaya, dan semakin mengukuhkan maknanya. Beragamnya bentuk-bentuk transformasi yang menyambut teks SKT semakin menguatkan kedudukannya sebagai karya sastra lisan Makassar pada masyarakat pendukung tradisi tersebut. Hasil sambutan dan transformasi yang terdapat dalam berbagai teks tersebut telah menempatkan dua tokoh, yakni Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka dengan eksistensinya masing-masing di dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan khususnya pada masyarakat suku Makassar. Berdasarkan penelitian terhadap nilai-nilai, fungsi, dan resepsi terhadap SKT yang terdapat pada masyarakat suku Makassar, dapat disimpulkan bahwa sinrilik tersebut
digunakan
sebagai
media
penerimaan
dan
pengakuan—terhadap
seseorang—agar dapat diterima sebagai sesuatu yang benar dan tepat untuk memegang kekuasaan. Teks SKT oleh pencerita dipakai sebagai alat untuk menyatukan suku Bugis dan Makassar dalam satu ikatan kekerabatan. SKT pun bagi masyarakat suku Makassar telah dipakai sebagai alat untuk melegitimasi pranata sosial, agama, budaya, dan kekuasaan yang telah menempatkan tokoh Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka sebagai tokoh hebat dan kharismatik dalam pikiran dan kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Ungkapan-ungkapan formulaik yang muncul dalam teks SKT tentang pembelaan dan penegakan harga diri (sirik) tokoh terhadap kerajaan Gowa
614
berlangsung secara berulang-ulang dalam sinrilik tersebut. Pernyataan dan ungkapan tena salangku, tena sapa buttaku, naanrong manggeku naallea erok nabuno. Addakka mae angngerang Balanda, angngerangngangi sallang bali sallomponna butta Gowa (tidak ada salahku, tidak ada sapa buttaku, tetapi ibu-bapakku menginginkan saya dibunuh. Saya melangkah kemari membawa Belanda, membawakan lawan yang sama besarnya dengan tanah Gowa) dipakai sebagai pembenaran terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Andi Patunru atau Arung Palakka untuk menyerang dan melawan kerajaan Gowa. Ungkapan itu digunakan untuk pendukung ide, gagasan, dan nilai-nilai yang berusaha ditanamkan oleh pasinrilik melalui SKT kepada masyarakat suku Makassar khususnya dan masyarakat Sulawesi Selatan umumnya. Dengan demikian, SKT sebagai karya sastra lisan suku Makassar telah digunakan sebagai media dan alat untuk menyampaikan pembelaan dan pembenaran terhadap perbuatan yang dilakukan agar diterima dan diakui oleh masyarakat. SKT pun telah digunakan sebagai alat pengakuan dan penerimaan masyarakat Makassar terhadap hak kekuasaan dan moral untuk memegang tampuk kekuasaan. B. Saran Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap Sinrilik Kappalak Tallumbatu (SKT), sebagai salah satu hasil sastra lisan yang berasal dari Sulawesi Selatan, perlu dikemukakan sejumlah saran yang berkaitan dengan hal tersebut sebagai berikut. 1. Pertunjukan sinrilik dan pasinrilik yang menyampaikan cerita SKT di depan penikmat semakin jarang ditemukan, dan jenis permainan ini semakin terpinggirkan, bahkan cenderung mati. Sehubungan dengan hal itu, disarankan agar
dilakukan
upaya
penyelamatan
dengan
cara
membangkitkan,
615
memperkenalkan, dan memberikan penghargaan kembali terhadap jenis sastra lisan ini kepada masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, akan timbul kebanggaan terhadap salah satu jenis tradisi lisan yang ada pada masyarakat suku Makassar sebagai pemilik tradisi tersebut. 2. Fungsi dan nilai-nilai tradisional yang terdapat di dalam SKT, yang berlatarbelakang budaya Bugis Makassar jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat sekarang, masih sangat relevan untuk dijadikan sebagai modal utama dalam kerangka pembangunan budaya bangsa. Nilai-nilai luhur budaya Bugis Makassar yang terdapat dalam SKT dapat dijadikan sebagai bagian yang sangat penting untuk menunjang kerangka modernisasi. 3. Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dapat memasukkan pertunjukan tradisional sinrilik ke dalam kurikulum sebagai muatan lokal dimulai dari pendidikan dasar. 4. Pemerintah dan masyarakat diharapkan sesering mungkin dapat mengadakan pertunjukan sinrilik, dengan melibatkan generasi muda, sehingga mereka akan semakin dekat dan mengenal sastra lisan tersebut yang pada akhirnya dapat mempercepat perkembangannya. 5. Perlu dilakukan penelitian sejenis yang berguna untuk menghadirkan teks tertulis yang didapat dari tradisi lisan sehingga menjadi bahan inventaris yang dapat dibaca dan dipelajari untuk generasi selanjutnya.
616