BAB VII PENUTUP
A. Kesimpulan a. Anak berpotensi melakukan kenakalan yang harus berhadapan dengan hukum pidana karena kelemahan faktor internal, menguatnya faktor eksternal dan faktor kriminogen lain. Ketiga faktor penyebab kenakalan ini dapat dideskripsikan sebagai berikut: 1. Faktor internal Anak. Anak berpotensi melakukan kenakalan karena fisiknya
lemah, kejiwaannya
karakteristiknya masih childish (bersifat kenak-kanakan), integritas moral
labil, belum
terbentuk, dan tingkat intelegensinya masih rendah. 2. Faktor eksternal Anak merupakan bagian dari struktur sosial yang totaliter dan kompleks, kondisi sosial yang tidak mendukung, pengaruh lingkungan, perkembangan budaya, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi 3. Faktor kriminogen. Peran orang tua, masyarakat , dan negara dalam penanggulangan kenakalan anak kurang optimal, legal substance for the child delinquency tidak jelas, masih berkiblad pada hukum Euro Centis, paradigma para penegak hukum pidana anak masih formalistic dan tidak berwawasan hukum progresif. b. Kebijakan yudisial hakim yang dituangkan dalam putusan pidana anak di Indonesia belum mencerminkan nilai keadilan substantif bagi anak baik sebagai pelaku tindak pidana anak maupun sebagai korban tindak pidana anak, karena: 1.Keadilan substantif dalam peradilan pidana anak adalah keadilan yang didasarkan pada pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis yang dapat mengakumulasi nilai kepastian hukum, keadilan dan manfaat yang didasarkan pada nilai dan jiwa Pancasila serta UndangUndang Dasar 1945. 500
501 2. Sistem hukum peradilan pidana anak yang berlaku di Indonesia tidak bekerja seirama dengan sistem sosial yang hidup dalam masyarakat (the peculiar form of social life). 3. Terjadi abnormalisasi, bekerjanya sistem hukum pidana di Indonesia tidak efektif karena substansi hukum tidak valid dan aparat penegak hukumnya masih formalistik. 4. Paradigma hukum sudah bergeser dari kepentingan kolonial ke kepentingan global. 5.
Indonesia belum sepenuhnya mengadopsi Konvensi-Konvensi PBB, seperti: United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (“The Beijing Rules”) Adopted by General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985; Convention on the Rights of the Child, G.A res. 44/25, annex, 44.U.N. GAOR Supp (No 49) at 167, U.N. Doc.A /44/49 (1989) Sept 2 1990; United Nation Standard Minimum Rules for NonCustodial Measures (The Tokyo Rules), G.A. res 45/110, annex, 45 U.N. GAOR Supp (No 49 A) at 197, U.N. Doc. A/45/ 49 (1990); United Nation Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency. Riyadh Guidelines; Abolish the Juvenile Court : Youthfulness, Criminal responsibility, and Sentencing policy. Journal of Criminal Law & Criminology : Chicago; Fall 1997: Barry C Feld; Roma Statute of the International Court. Adopted by the United Nations Diplomatic Conference of Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court on 17 July 1998;.
6. Memperlakukan anak dijadikan subyek hukum kekerasan baik di rumah, di sekolah, maupun di instansi lain. 7. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, masih rancu, tidak merumuskan delict materiil secara tegas. 8. Hukum acara peradilan pidana anak masih bersifat interdepensi, artinya sistem peradilan pidana anak masih mengkaitkan ketentuan hukum acara pidana anak di luar KUHAP, seperti: Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Peraturan Menteri Kehakiman Nomor 06. U.M.01 Tahun 1983, tentang Tata Tertib Sidang Anak, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1987, tentang Tata Tertib Sidang Anak, tanggal 17 Nopember 1987, Surat Edaran Jaksa Agung Nomor B. 532 / E / 11 / 1995, tentang Petunjuk Teknis Penuntutana Terhadap Anak tanggal 9 Nopember 1995. Kondisi yang demikian dapat mengaburkan nilai kepastian hukum dan nilai keadilan yang substantif dalam penegakan hukum pidana anak di Indonesia.
502 9. Ketidakhadiran Petugas Bapas di dalam persidangan anak, bukan merupakan hambatan dalam proses peradilan pidana anak. Proses persidangan pidana anak tetap berjalan sebagaimana yang terjadual pada Announcement Board of Trial Court di Pengadilan. Model peradilan seperti ini akan sulit untuk menggali, mendapatkan kebenaran dan keadilan yang intuitif karena Petugas Bapas adalah sumber informasi tentang kepribadian anak baik secara internal maupun eksternal. 10. Perolehan hasil litmas dilakukan dengan cara menghadirkan Klien (Pelaku tindak pidana anak) dan penyidik di Kantor Bapas untuk dimintai keterangan masalah keadaan internal dan eksternal anak merupakan tindakan tidak professional. Laporan Bapas tersebut tidak valid dan tidak akurat. Laporan atau hasil litmas itu tidak mengungkapkan fakta yang sebenarnya tentang keadaan obyektif internal dan eksternal anak. 11. Belum ada perikrutan
secara khusus tentang tenaga penegak hukum untuk anak
(penyidik, penuntut umum, hakim, petugas Bapas, petugas LP Anak dan avokat anak) yang profesional. 12. Kurangnya tenaga profesional khusus dari aparat penegak hukum pidana anak yang menguasai permasalahan anak secara internal dan eksternal. 13. Pertimbangan hukum dalam putusan pidana anak, masih dominan mengedepankan pertimbangan yuridis normatif daripada pertimbangan sosiologis dan filosofis. 14. Hasil litmas dari petugas Bapas nyaris tidak dipertimbangkan dalam putusan pidana anak meskipun secara yuridis normatif
mempertimbangkan hasil litmas dalam putusan
pidana anak, sudah ditegaskan sebagai kewajiban bagi hakim yang memeriksa, menangani dan memutus perkara pidana anak. 15. Secara kriminologis, faktor kebutuhan ekonomi masih menjadi causa prima dan menjadi unsur kriminogen bagi anak untuk melakukan kenakalan ( melakukan tindak pidana). 16. Secara legal praxis, model peradilan non-litigasi untuk perkara pidana anak belum berjalan secara efektif. 17. Peran serta masyarakat dalam proses peradilan anak masih lemah.
503 18. Pelaksanaan peradilan pidana anak masih dilaksanakan di Pengadilan Umum. c. Model Kebijakan Yudisial Hakim dalam Penegakan Hukum Pidana Anak Berdasarkan uraian factor kenakalan dan kebijakan yudisial hakim tersebut, model kebijakan yudisial hakim pidana anak yang dapat mencerminkan nilai keadilan substantif adalah melaksanakan peradilan pidana nak dengan sistem Dua Jalur (Double Tracks Criminal Justice Syatem for Juvenile Delinquency) yang mendasarkan pada nilai-nilai Pancasila berbasis keadilan progresif. Peranan hakim dalam Juvenile Integrated Justice System meduduki posisi yang sangat sentral, mempunyai tanggung jawab vertical dan horizontal dalam menentukan keadilan yang substatif bagi anak. Nasib dan masa depan anak dapat ditentukan dalam putusan Pengadilan. Putusan Pengadilan merupakan mustika keadilan substatif bagi anak, dan mustika keadilan substantif itu terletak dalam pertimbangan hakim. Hakim pidana anak tidak hanya dituntut mempunyai keunggulan kemampuan dalam bidang yuridis, tetapi juga harus mempunyai keunggulan kemampuan dalam bidang sosiologis dan filosofis. Hakim
pidana anak harus mempunyai pemikiran dan
langkah-langkah
kongkret
sebagai berikut: 1.Pertimbangan hakim harus dititikberatkan pada kebenaran hukum pidana materiil. 2. Kebenaran hukum pidana materiil adalah plural, hukum positif nasional dan global bukanlah pertimbangan hukum yang absolute dalam kebenaran hukum pidana materiil untuk anak. 3. Hakim memiliki kewenangan untuk melakukan rule breaking dan rule making dalam menjatuhkan sanksi pidana anak, melalui tindakan diskresi yang dimiliki. 4. Hakim tidak harus terikat dengan doktrin hukum la bouche de la –loi dan asas ultra petita dalam
penjatuhan pidana anak.
5.Pertimbangan hukum pidana anak dalam praktik Double Tracks Criminal Justice System for Juveniles Delinquency, harus didasarkan pada faktor internal, eksternal dan, faktor kriminogen bagi anak.
504 B. Implikasi Hukum Berdasarkan
kesimpulan
tersebut, nilai keadilan substantif
dalam penegakan
hukum pidana anak menjadi sulit dirasakan oleh Pelaku tindak pidana anak. Kesulitan itu disebabkan: 1.Legal substance, legal structure dan legal culture tidak bekerja secara optimal. 2. Sistem penegakan hukum pidana anak tidak bekerja sesuai dengan struktur sosial yang hidup dalam masyarakat (the peculiar forms of social life). 3. Substansi hukum penegakan pidana anak tidak memiliki induk hukum yang sesuai dengan nilai dan nurani keadilan dalam masyarakat. 4. Paradigma berhukum dari aparat penegak hukum pidana anak (penyidik, jaksa penuntut umum, hakim, petugas
Lembaga
Pemasyarakatan, dan Avokat)
masih
dengan pemikiran positivistik, legalistik, formalistik, emperatif dan
berhegomoni
finalistik daripada
berpikir ke a rah sosiologis dan filosofis. 5. Sistem peradilan pidana anak masih terperangkap dalam model peradilan civil law system yang lebih berpihak pada nilai kepastian hukum daripada nilai keadilan substantif. 6. Doktrin hukum la bouche de la-loi dan asas ultra petita masih memblenggu kemerdekaan hakim dalam menciptakan keadilan substantif. Hakim tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan konstitusional dalam memberikan putusan pidana anak. 7. Keberanian materiil
hakim
dan
melakukan rules breaking untuk mencari kebenaran hukum pidana
rules making untuk menciptakan keadilan substantif masih merupakan
perbuatan yang langkah bagi Hakim penegak hukum pidana anak. 8. Pemahaman
berhukum
dari
praktisi
hukum
pidana anak masih bertaraf pemikiran
ontologis. 9. Proses
peradilan pidana
anak
tidak memiliki
infra
struktur
memproses peradilan pidana yang profesional dan proporsional.
yang memadai untuk
505 10.Sistem
peradilan pidana anak non-litigasi (peradilan restoratif dan peradilan diversi)
belum bekerja opimal C. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan dan implikasi hukum tersebut, maka diperlukan pembaharuan hukum nasional tentang Peradilan Pidana Anak yang memiliki nilai-nilai filsafat Pancasila dan character building yang unggul, berintegritas moral yang tinggi dan berdaya saing global dalam penegakan hukum pidana anak. Untuk kepentingan tersebut diperlukan penegak hukum
yang
profesional, memiliki legal skill dan integritas moral yang
beretoskerja yang tulus dalam proses
tinggi
dan
peradilan pidana anak. Profesionalitas penegakan
hukum pidana anak diperlukan pemikiran dan langkah-langkah kongkret sebagai berikut: a. Pencegahan Kenakalan Anak Pencegahan kenakalan anak perlu diadakan tindakan kongkret dari Pemerintah untuk memperbaiki sumber daya anak (humen resources for the children) dengan cara melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1.Meningkatkan kualitas pedidikan anak melalui penndidikan formal dan informal di sekolah maupun di masyarakat; 2.Meningkatkan pendidikan hukum di Perguruan Tinggi dengan cara memperbaiki kurikulum nasional yang sudah ketinggalan zaman diganti dengan kurikulum yang berdaya saing global 3.Membangun
budaya hukum yang profesional di kalangan
akademisi, penegak hukum,
birokrat dan masyarakat; 4.Meningkatkan lembaga pendidikan sosial yang merata di seluruh wilayah Indonesia untuk menampung dan membina anak-anak yang bermasalah dengan hukum, dan 5. Meningkatkan penegakan hukum pidana anak secara optimal dan professional di seluruh wilayah Indonesia.
506 b.Substansi Hukum Pidana Anak 1.KUH Pidana yang berlaku sekarang harus segera direformasi secara total baik dari segi isi maupun bentuknya karena Kitab ini sudah tidak sesuai lagi dengan nurani keadilan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. KUH Pidana ini harus memiliki keseimbangan kepentingan global. Demikian pula dengan KUHAP yang tidak dapat menjaga keseimbangan keadilan antara pencari keadilan dan aparat penegak hukum yang terbukti bersalah dalam melakukan praktik peradilan (melakukan malpraktik peradilan). KUHAP sudah ketinggalan zaman, tidak sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi global. 2. Dibentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Anak ( KUHPA ) ; 3. Menghapus
Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan
mengikat; 4. Membentuk upaya hukum untuk meninjau kembali atau membatalkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 110 /PUU-X/2012, karena bertentangan dengan nurani keadilan dalam masyarakat; 5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak harus
direvisi atau disempurnakan secara proporsional; 6. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak harus segera direvisi agar tidak merugikan kepentingan anak dan negara; 7. Dibentuk undang-undang yang mengatur tentang Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pidana. 8. Hakim tidak harus terikat dengan doktrin hukum la bouche de la –loi dan asas ultra petita dalam penjatuhan pidana anak. 9. Dibentuk undang-undang yang mengatur tentang penjatuhan sanksi administrasi maupun sanksi
pidana
terhadap hakim yang telah melakukan kesalahan vonnis dalam Putusan
Onstlag van Rechtvervolging.
507 c. Model Kebijakan Yudisial Hakim dalam Penegakan Hukum Pidana Anak 1. Pertimbangan hakim yang dituangkan dalam putusan pengadilan harus memperhatikan perkembangan global dan norma-norma sosial yang hidup dalam masyarakat. Dalam proses peradilan pidana anak, hakim harus mengabdi pada kepentingan keadilan. Tanpa keadilan substantif, maka hukum itu hanyalah sebuah kekerasan yang diformalkan oleh Penguasa atau Pemegang kebijakan yang bersangkutan. 2. Mengevaluasi dan
menyempurnakan
kurikulum
pendidikan hukum pidana khususnya
hukum pidana anak di Perguruan Tinggil sesuai dengan kebutuhan nasional dan kebutuhan global. 3. Membangun budaya
hukum
nasional
yang legitimate
melalui pendidikan hukum di
Lembaga Pendidikan Tinggi (para akademisi) agar dapat berkompetetif secara global. 4. Fungsi aparat penegak hukum pidana anak mempunyai peranan yang sangat sentral dalam Integrated Juvenile Criminal Justice System, dituntut harus memiliki kemampuan yuridis yang tinggi dan kemampuan sosilogis yang luas ; 5. Hakim pidana anak sebagai penentu keadilan substantif dituntut harus memiliki integritas moral yang tinggi, keunggulan kemampuan yuridis, keunggulan kemampuan sosiologis dan filosofis yang luas, seperti : psychology, paedagogy criminology, victimology, pathology of social, sosio-legal and culture, dan philosophy. 6. Berdasarkan temuan fakta hukum baru dalam persidangan, keadaan yang terjadi di sekitar actus rius dan alat bukti petunjuk yang rasional, hakim dibenarkan melakukan kebijakan dengan melakukan rules breaking dan rules making, untuk mengadili sendiri dengan cara yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) dengan mendasarkan hukum yang berlaku yang secara sosiologis berkaitan dengan substansi perkara yang diadili. 7. Bagi
insan penegak hukum, tidak dibenarkan mengdekotomikan antara nilai kepastian
hukum dan nilai keadilan, karena keduanya memiliki fungsi dan kepentingan yang tidak dapat dipisahkan bagaikan satu sisi mata uang yang sama dalam mencari keadilan substantif.
508 8.Perlu dirumuskan kebijakan yang melibatkan unsur pemerintah terkait seperti: Dinas Pemerintah Daerah (Dinas Pemkot/Pemkab dan unsur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), Dinas Pendidikan, unsur penegak hukum (penyidik, jaksa penuntut umum, hakim, Dinas Lembaga Pemasyarakatan, dan avokat), Dewan Pakar Permasalahan Anak, Unsur Masyarakat, LSM, LP3A, dan Orang tua untuk melakukan tindakan pencegahan terhadap kenakalan dan tindak pidana yang dilakukan anak-anak yang dituangkan dalam perangkat hukum normatif yang berlaku bagi Pemerintah Daerah yang bersangkutan. D. S a r a n a.Pencegahan Kenakalan 1. Secara internal, sumber daya anak harus ditingkatkan baik melalui pendidikan mental, agama, pendidikan keterampilan, pendidikan vokasi, pendidikan olahraga, pendidikan kemasyarakatan, pendidikan lingkungan, menanamkan rasa kebangsaan, rasa nasionalisme, kepahlawanan, maupun mendewasakan pendidikan anak sampai minimal tingkat sarjana. 2. Secara eksternal, anak harus mendapat perlindungan dari orang tua, masyarakat dan negara. Anak harus hidup sejahtera, tidak
terhimpit kesulitan ekonomi, terbebas dari
pengaruh budaya asing yang merusak nilai-nilai kebangsaan Indonesia. 3. Anak
harus hidup secara harmonis dengan keluarganya, tidak terpisah dari orang tua
kandung. 4. Pemerintah harus membangun infra struktur ibadah, tempat
untuk kepentingan anak, misalnya: tempat
bermain, Lembaga Sosial Anak untuk menampung anak yatim piatu,
Lembaga Pendidikan Sosial untuk membina dan memberi pelatihan kerja bagi anak yang putus
sekolah (drop out), membina Karang Taruna
yang mempunyai bakat tertentu,
membina dan menampung anak-anak yang bermasalah dengan hukum pidana. 5. Pemerintah harus memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang bermasalah dengan hukum pidana.
509 6. Pemerintah
harus
memberikan
pembelajaran
berpolitik
yang
profesional,
berdemokratisasi yang santun, berkeadilan yang transparan dan berakuntabel terhadap anak. 7. Anak dapat mengakses media cetak dan elektronik yang terdidik baik dari Pemerintah maupun swasta. 8. Sistem hukum di Indonesia yang bersifat Euro centris termasuk KUH Pidana dan KUHAP sebagai
pedoman
induk
penegakan hukum pidana di Indonesia harus diubah dan
disesuaikan dengan nurani keadilan bangsa Indonesia. Perlu diadakan Rules breaking dan Rules making terhadap Undang-Undang RI Nomor:11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Jo Undang-Undang RI Nomor: 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas
Undang-Undang RI Nomor: 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 9. Pranata hukum di Indonesia harus dibangun sesuai dengan peradaban dunia agar dapat berkompetisi secara global dan menghasilkan kepribadian bangsa Indonesia yang sejajar dengan peradaban dunia. b. Substansi dan Paradigma Hukum 1. Harus ada perubahan paradigma berhukum yang intuitif di kalangan para Penegak hukum mulai dari penyidik, penuntut umum, hakim, petugas Lembaga Pemasyarakatan, dan
Avokat
agar tidak menganggap bahwa kebenaran hukum pidana formil sebagai
dokumen hukum yang absolut, asas ultra petita, dan doktrin hukum la bouche de la-loi tidak dianggap sebagai sumber kebenaran yang
utama oleh
hakim
dalam
mencari
kebenaran hukum pidana materiil. 2. Pendidikan budaya hukum harus dimulai dibangun dari kalangan Akademisi dan Aparat Penegak Hukum. 3. Kemerdekaan a tau independensi hakim dalam pemeriksaan dan penjatuhan pidana harus tidak dimaknai secara sempit. 4. Mal-legal praxis, dalam Putusan Onslag Van Rechtvervolging harus diformulasikan sebagai tindak pidana dan dituangkan dalam undang-undang hukum pidana. Penegak hukum
510 (mulai dari penyidik, penuntut umum, hakim dan Lembaga Pemasyarakatan) yang telah melakukan
kesalahan
dalam
putusan
Onslag
Van
Rechtvervolging
harus
mempertanggungjawabkan kesalahan aquo dalam hukum pidana. 5. Hakim yang
tidak
mempertimbangkan hasil litmas dari Bapas dalam putusan
yang
dibuatnya dan para penegak hukum yang tidak melaksanakan peradilan diversi juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya menurut ketentuan hukum pidana. c. Model Kebijakan Yudisial Hakim dalam Peradilan Pidana Anak Pemerintah
harus
memfasilitasi model peradilan pidana anak dengan sistem
peradilan anak dua jalur dengan cara membangun dan melengkapi Pengadilan Khusus untuk Anak secara terpisah dengan Pengadilan Orang Dewasa.
511