BAB V PENUTUP
5.1.Kesimpulan Kuburan merupakan benda budaya yang keberadaannya sudah setua manusia itu sendiri. Bagaimanapun bentuk, fungsi dan tata cara yang berkaitan dengan kuburan dan penguburan selalu bergantung pada budaya masyarakatnya. Peranan kuburan berubah mengikuti perkembangan masyarakat. Praktik konsumsi kuburan pun mengikuti perkembangan ini. Di Indonesia sendiri, kuburan sudah menyimpan sejarah panjang tentang pergerakan budaya manusia, soal bagaimana dia dikonsumsi. Ribuan tahun lalu, terutama sebelum masuknya agama-agama samawi, kuburan telah digunakan sebagai simbol budaya yang menunjukkan status, kekayaan, dan kekuasaan dalam sebuah masyarakat. Kuburan terus mengalami dinamika, hingga belakangan ini muncul kuburan-kuburan mewah yang menawarkan berbagai hal baru selain berduka cita dengan kematian. Contohnya pembangunan fasilitas rekreasi. Zaman dahulu, kuburan raja dibedakan dengan bekal kubur, ukiran, dan letaknya, kini masyarakat kelas atas bisa mendatangi kompleks kuburan mewah dan membeli kuburan dengan harga mahal serta mendapatkan beragam fasilitas mewah. Berbagai kepemilikan kapital, terutama kapital ekonomi, terlihat dari pembelian dan pemilihan tanah kuburannya. Dulu ritual seputar kematian adalah arena untuk menunjukkan segala jenis kapital untuk mendapatkan distingsi sosial, kini konsumen punya lebih banyak arena untuk berstrategi dalam praktik konsumsinya. Sebagai kuburan yang menyodorkan konsep baru tentang kemewahan, San Diego Hills didatangi konsumen-konsumen dengan praktik konsumsi yang menarik dan tentu saja berbeda
dengan konsumen kuburan lainnya. Pertama, konsumen / pengunjung San Diego Hills melakukan praktik-praktik konsumsi untuk menunjukkan distingsi sosial mereka. Hal ini dilakukan secara disadari maupun tidak. Ada konsumen yang sengaja mengatakannya terus terang sehingga terlihat jelas bagaimana distingsi sosial itu terjadi, ada juga konsumen yang memilih memperlihatkan tanpa banyak mengatakannya. San Diego Hills tidak hanya menjadi tempat praktik menguburkan dan berziarah saja. Praktik-praktik konsumsi yang tadinya tidak biasa ada di kompleks kuburan, kini bermunculan, seperti rekreasi dan tempat menikah, misalnya. Konsumen San Diego Hills sebagian besar adalah masyarakat kelas atas. Di antara sesama masyarakat kelas atas, mereka tetap saling membedakan diri satu dengan lainnya untuk menunjukkan distingsi sosial. Kedua, dalam praktik konsumsi yang dilakukan, mereka menunjukkan, mengorbankan, memperoleh, mengakumulasi, berstrategi dan mengubah kepemilikan kapital. Di antara semua narasumber, mereka memiliki kapital ekonomi yang menjadi aset utama pembelian kuburan. Kapital ekonomi adalah jenis kapital yang paling mudah dikonversi ke bentuk kapital lain. Mereka mengkonsumsi terutama untuk mendapatkan atau mengakumulasi kapital simbolik. Nilai guna tanah kuburan adalah untuk menguburkan ketika ada yang meninggal. Membeli tanah kuburan biasanya dilakukan karena dibutuhkan untuk dipakai saat itu juga. Pembelian tanah kuburan sebelum dibutuhkan kini menjadi tren baru yang sedang banyak dilakukan. Penjual dan pengelola tanah kuburan jenis ini tidak hanya menjual tanahnya saja, tetapi juga fasilitas-fasilitas lain yang sengaja dibangun agar orang berkunjung tidak hanya bertujuan yang ada hubungannya dengan kematian. Konsumen membeli kuburan saat ini sebagai nilai tanda. Mereka melakukan konsumsi simbolik dan menjadi bagian dari masyarakat simbolik. Ketiga, kegiatan berfoto merupakan salah satu cara yang sering dilakukan pengunjung untuk mendapatkan distingsi sosial. Foto yang mereka ambil akan diunggah ke media sosial.
Sebagian ada yang menyertakan caption, status atau sekedar mengunggahnya. Setelah diunggah, foto dan status akan mendapatkan timbal balik dari orang lain, mislanya tanda like / unlike, komentar, share dan sebagainya. Cara ini mudah dilakukan, murah, cepat dan terasa timbal baliknya. Di era digital ini, media sosial memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Media sosial menjadi etalase untuk memperkenalkan diri. Membagi sesuatu baik berupa gambar, foto, tulisan dan sebegainya merupakan cara efektif untuk menunjukkan kapital simbolik, ekonomi, sosial, bahkan budaya kita. Meskipun keabsahannya bisa dipertanyakan, misalnya menulis status bohongan atau foto hasil editan, media sosial tetap menjadi favorit untuk membentang jarak antara masyarakat suatu kelas dengan kelas lainnya.
5.2.
Rekomendasi Kajian tentang praktik konsumsi kuburan seperti yang tertuang dalam tesis ini, masih
menyediakan sejumlah jalur penelitian lainnya. Sepanjang perjalanan penelitian ini, saya mencatat beberapa kajian untuk diteliti lebih lanjut, di antaranya adalah; 5.2.1. Penelitian tentang produksi ruang yang mengkaji seluk beluk produksi ruang, peruntukan, dan pergeserannya. Lefebvre mengajukan tiga jenis produksi ruang, yaitu spatial practice, representations of space dan representational spaces. Praktik tata ruang di dalamnya mencakup bagaimana ruang diproduksi dan direproduksi, dan menjelaskan bagaimana set dan lokasi tertentu merupakan bentukan karakteristik masing-masing formasi sosial. Representasi ruang, terkait dengan hubungan-hubungan produksi dan 'aturan' yang memaksakan hubungan tersebut, juga menyoal pengetahuan, tanda-tanda, kode-kode, dan hubungan 'frontal'. Sedangkan ruang representasi, adalah ruang di mana kita bisa
mewujudkan simbolisme kompleks terkait dengan sisi bawah tanah kehidupan sosial (Lefebvre; 1991: 31). 5.2.2. Identitas si mati dan pengunjung di area kuburan Universal Garden. San Diego Hills memiliki tiga besar area, salah satunya adalah Universal Garden yang melarang penggunaan simbol agama apapun di sekitar tanah kuburan. Meskipun dilarang, bukan berarti pengunjung sama sekali meninggalkan identitasnya agamanya. Mereka melakukan resistensi terhadap peraturan yang dibuat pihak penyelenggara tanah kuburan. Mereka berstrategi untuk menunjukkan identitasnya. Tidak hanya di area kuburan tertentu, strategi konsumsi dilakukan pada berbagai hal selama proses konsumsi. Mengapa dan bagaimana mereka berstrategi merupakan hal yang bisa menjadi kajian lainnya. 5.2.3. Wacana kematian dalam masyarakat perkotaan. Sejak berdirinya kompleks-kompleks kuburan yang menjual tanah kuburan dengan sistem prakebutuhan, masyarakat perkotaan mulai memikirkan pembelian kuburan sebagai investasi atau kepentingan lainnya. Kegiatan persiapan kematian tampaknya tidak hanya sekedar membeli kuburan. Ada persiapan ruhani yang sudah sering kita dengar, sampai persiapan peralatan dan perlengkapan yang berhubungan dengan ritual kematian. Keluarga Alex misalnya, mereka mementingkan pemilihan peti mati. Beberapa informan lain ada yang mengikuti arisan sesama pembeli kuburan dan mengisi kegiatan dengan pembahasan seputar persiapan kematian. Peneliti bisa menelusuri bagaimana perubahan wacana kematian bagi masyarakat perkotaan setelah adanya tanah kuburan yang dijual pre-need. Jalur penelitian lainnya adalah bagaimana peran adat istiadat dalam kegiatan di seputar kematian. Indonesia punya banyak suku bangsa dan tradisi menghadapi kematian pada setiap suku, berbeda-beda. Munculnya kuburan mewah Contohnya karena menguburkan
di kompleks kuburan mewah, mereka tidak menggunakan ritual yang berkaitan dengan adat.
5.2.4. Komodifikasi agama pada kuburan mewah. Kuburan sebagai benda komoditas, mengalami proses-proses komoditisasi, rekomoditisasi, dan dekomoditisasi (Appadurai: 1986). Sejak 15 tahun lalu, pebisnis dalam bidang apa saja mulai memberi label syariah pada dagangannya. Contohnya bank, pakaian, perumahan, pariwisata, hotel, dan sebagainya. Tahun 2012, giliran kuburan yang memakai label syariah. Beberapa kompleks kuburan mewah terang-terangan mencatut agama sebagai tema jualannya. Mereka mencantumkan kata-kata syariah, mengutip Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai penarik konsumen. Sebagai negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia, pebisnis menyadari peluang umat Islam sebagai sasaran konsumen penting sehingga membuat label-label berbau agama. Maka penelitian komodifikasi agama menjadi hal yang hendaknya mendapat perhatian besar untuk dikaji lebih lanjut.