Bab V Penutup A. Kesimpulan
Sejarah membuktikan bahwa tato telah menjadi bagian dari kebudayaan dunia sejak ribuan tahun lalu. Meskipun istilah ‘tato’ pertama kali berasal dari kata Tahiti ‘Tatau’ yang berarti menandai sesuatu, Mesir diyakini sebagai suku bangsa pertama di dunia yang menggunakan tato dalam kehidupannya. Hingga kemudian tato menyebar dan ditemui pada suku – suku bangsa lain di seluruh dunia dengan pemaknaan yang berbeda – beda. Termasuk di Indonesia. Tato di Indonesia sendiri pertama kali ditemui pada Suku Mentawai di Sumatera Barat dan Suku Dayak di Kalimantan. Tato pada suku – suku pedalaman ini digunakan sebagai bagian dari ritual dan penanda status sosial tertentu. Bahkan pada Suku Dayak, selain sebagai penanda status sosial, tato diyakini memudahkan mereka dalam perjalanan menuju surga ketika wafat. Perjalanan tato di Indonesia, baik di suku pedalaman maupun masyarakat umum, tidak berjalan mulus dan cenderung pasang surut. Pada masa kejayaan rezim orde baru, tato diidentikkan dengan pelaku kriminal karena digunakan oleh para anggota GALI atau preman untuk mengintimidasi orang lain. Salah satu tren tato yang sempat beredar dan memperkuat stigma itu adalah tato penjara, yang dijadikan penanda bahwa seseorang pernah / sering keluar masuk penjara (residivis).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, setidaknya pemaknaan terhadap tato oleh para narasumber dapat dikategorikan ke dalam 3 kategori yakni : pemaknaan tato secara positif, pemaknaan tato secara netral, dan pemaknaan tato secara lain – lain. Pemaknaan tato secara positif seperti diketemukan pada narasumber pertama dan kedua dimana tato dimaknai sebagai wujud kasih sayang serta penghargaan terhadap orangtua dan sebagai janji suci sehidup semati dengan pasangan. Kemudian pemaknaan tato secara netral sendiri seperti sebagai apresiasi terhadap seni, dan sebagai perlawanan terhadap stigma tato itu sendiri seperti yang ditemui pada narasumber ketiga. Sedangkan narasumber keempat, yang memaknai tatonya sebagai daya tarik seksual, tergolong ke dalam kategori pemaknaan tato secara lain – lain. Seperti yang telah dikemukakan, pemaknaan yang dilakukan oleh para narasumber terhadap tato ditubuhnya sangatlah beragam. Hal tersebut dikarenakan adanya proses berpikir yang lepas dari tekanan struktur. Dalam artian para narasumber tidak memaknai tato menurut definisi sosial yang ditekankan oleh masyarakat kepada mereka, melainkan memaknainya menurut pandangannya sendiri sebagai enlightment subject. Mead di dalam teoritisi interaksionisme simbolik menyatakan bahwa di dalam proses interaksi, individu terlibat dalam proses saling mempengaruhi, terutama melalui simbol – simbol. Melalui pemaknaan – pemaknaan tersebut dan interaksinya dengan lingkungan masyarakat, para narasumber berupaya untuk membuktikan atau katakanlah “membahasakan ulang” predikat tato yang selama ini diafiliasikan oleh masyarakat dengan hal – hal kriminal.
Tumbuh dan berkembangnya tato di kota – kota besar seperti Yogyakarta mengisyaratkan adanya pergerakan tato dari ranah privat menuju ranah publik. Dimana tato dahulu hanya dimiliki oleh mereka yang tangguh dan kuat, seperti ditemui pada Suku Dayak atau suku – suku pedalaman lainnya, kini tato bisa dimiliki oleh siapa saja yang mampu membayar jasa untuk membuat tato itu sendiri. Seperti yang ditemui pada para narasumber yang berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Walaupun mungkin secara pemaknaan tato sifatnya personal (privat), akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kini tato telah berada pada ranah publik. Terlebih lagi ketika tato tersebut dikaitkan dengan paham kebebasan. Terlepas dari itu, agaknya kini tato lebih diterima keberadaannya sebagai salah satu bentuk seni, bukan lagi sebagai simbol kriminal atau sebagainya. Semakin banyak saja orang bertato berseliweran di media berkat prestasinya. Meskipun pada kenyataannya masih dijumpai orang – orang yang menggunakan tato untuk tujuan – tujuan seperti mengintimidasi atau mengganggu kenyamanan orang lain, atau bahkan sebagai ajang gagah – gagahan semata. Dimana perilaku semacam
inilah
yang
turut
melanggengkan
predikat
buruk
tato
dan
mendiskriminasi orang – orang yang memilikinya.
B. Catatan Kritis Keberadaan stigma tato di kehidupan masyarakat Indonesia tidak lepas kaitannya dengan sejarah kelam terjadi di orde baru. Bahkan hingga kini, dimana orang – orang dengan lantang berkoar “Don’t judge a book by it’s cover”, masih
ada saja yang menganggap tato sebagai simbol kriminal. Sehingga kemudian orang – orang yang memilikinya dijauhi dari lingkup interaksi. Meskipun kini tato sudah berada pada ranah publik, pemaknaan tato seperti yang ditemui pada narasumber sifatnya masih bisa dikatakan personal / sakral. Akan tetapi di dalam upaya mereka “membahasakan ulang” tato itu kepada masyarakatlah yang mencerminkan adanya kecenderungan mempertontonkan (appearing). Perspektif Guy Debord mungkin terlalu determinatif, karena hanya memperhatikan perilaku individu sebagai konsumen pasif yang mengkonsumsi makna suatu produk budaya sesuai dengan yang makna yang dilekatkan oleh produsen pada produk budaya. Padahal didalam bahasan tato melalui Circuit of Culture terdapat apa yang disebut dengan Encoding dan Decoding, dimana makna yang diproduksi produsen melalui suatu produk budaya akan berbeda dengan pemaknaan yang diberikan konsumen ketika mengkonsumsi produk budaya tersebut. Terlebih lagi posisi tato sebagai objek abstrak yang pemaknaannya bersifat relativistis. Pada akhirnya, setiap individu, baik yang memiliki tato maupun tidak, memiliki peluang yang sama di dalam kehidupan bermasyarakat. Akan tetapi tantangan yang lebih besar akan menghinggapi mereka yang memiliki tato. Hal ini terjadi karena stigma tato yang sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari – hari masyarakat. Namun demikian, sebagian besar dari orang – orang bertato hari ini telah membuktikan bahwa tato tidak seperti yang digambarkan oleh stigma masyarakat. Hal ini menjadi sinyal baik bahwa tato memang diterima sebagai
kebudayaan asli Indonesia dan bentuk seni yang memiliki banyak penikmat dari berbagai lapisan masyarakat.