SATU (Tinggalkan Masa Lalu, meskipun Dia Mengejarmu)
Perusahaan Percetakan. Jumat Pagi. Undangan pernikahan. Aku memegang sebuah undangan pernikahan bentuk kertas A4. Hanya sebatas contoh desain undangan yang akan dicetak. Sembari menunggu Mas Edo, sang pemilik percetakan, aku duduk di sebuah ruangan khusus. Tidak seperti kebanyakan yang lain - di luar bertemu dengan pegawai percetakan - aku dianggap tamu spesial oleh Mas Edo dan semua pegawai disini. Mereka mengenalku. Aku membolak-balik, membuka, menutup, memutar, memainkan undangan itu. Ku buka – ku baca – tutup lagi. Aku tersenyum, melihat nama – nama yang tertulis di kertas itu. Aku senang. Akhirnya… sebuah pernikahan. Pernikahan. Titik dimana kamu melepas masa kesendirian dengan seseorang yang akan hidup bersamamu. Jika dengan orang yang tepat, habiskanlah seumur hidup. …… dengan seseorang yang mencintaimu, seseorang yang kamu cintai… atau seseorang yang pernah menyelamatkanmu dari masa lalumu… ***
Kantor WO RoemahKoe. Beberapa hari yang lalu. Rabu Pagi. “Guys, sorry. Gue terpaksa bikin meeting dadakan,” kata Arjuna memulai meeting pagi itu. “Kita dapet job baru. Nama klien kita Elma. All about wedding stuff, diserahin ke kita semua… dan ini event untuk bulan depan.” Sontak semua orang di ruang meeting mengeluh. Ribut. “Yang bener aja Jun. Satu bulan buat urus gedung, gaun, catering, undangan, belum yang lain. Gila ini namanya,” kata Gery yang tiba-tiba membuat semuanya menganggukkan kepala. “Jun, lo serius mau ambil itu? Gue nggak yakin bisa maksimal,” Rangga, sang General Affair, ikut menolak. “Hei, kalian pernah seperti ini juga. Waktu hanya sebulan dan kalian berhasil. Kalian tim yang profesional kan?,” Arjuna balik bertanya. “Iya kita bisa bikin acara dengan persiapan hanya sebulan. Tapi Jun, dua minggu ini kita juga punya dua event lain. Kita juga nggak mau fokus event selanjutnya, lalu yang lain keteteran. Gue juga nggak sanggup kalau jadi GA buat acara itu. Gue mundur,” Rangga terang-terangan menolak. Semua terdiam, antara setuju dengan Rangga dan takut menolak. Suasana menjadi tegang. Seisi ruangan seakan menolak Arjuna. “Ok. Gue udah nggak bisa nolak permintaan ini ke klien. Conclusion made …?” Arjuna 2
menghentikan perkataannya sembari meminta keputusan. Semua mata tertuju pada Rangga, sang General Affair yang menjadi juru bicara semua karyawan. “Ok. Kita profesional, tapi juga harus fokus dua event sebelumnya. Gue mundur jadi GA untuk event ini. Preparation kita semua lepas, tapi kita bisa bantu di lapangan.” “… dan setidaknya lo juga harus minta pertimbangan ke kita untuk permintaan klien baru,” Rangga mengarahkan pandangan ke teman-teman yang lain. Semua mengangguk, tanda setuju. Arjuna menghela nafas. “Well. Gue minta maaf untuk ini. Gue salah juga nggak cek timetable kalian. Acara Elma harus tetap berjalan. Gue akan urus semua preparation, kalian kerja di lapangan. Tapi, tetap harus ada orang yang jadi GA. Gue butuh partner... Alona!. Jadi General Affair untuk acara ini,” kata Arjuna memandangku. “Ha?” Serasa ada sesuatu yang menghentakku. Mata terbelalak, hidung mengembang, mulut terbuka, telinga mencoba mendengar gema kalimat terakhir Arjuna. Tiba-tiba ditunjuk oleh bos satu ini untuk mendampinginya menyelesaikan persiapan sebuah acara hanya berdua?. Ini akan menjadi awal dari perang dunia ketiga!. Sepertinya aku sedang duduk tenang mendengarkan perdebatan antara Arjuna dan Rangga. Aku pun ikut mengangguk setiap kalimat yang keluar 3
dari mulut Rangga. Aku setuju dengan perkataan Rangga, bukan menjadi pengikut Arjuna. Kenapa tiba-tiba makhluk ini memanggilku?. Aarrrghh… Arjuna membubarkan rapat dan memintaku untuk ikut masuk ke ruangannya. Aku tahu akan ada perdebatan di dalam ruangan bos tercinta ini, antara aku dan Arjuna. “Apa-apaan ini?” serangan pertamaku. “Alo, please help me!. Gue nggak bisa nolak kerjaan ini. Elma itu sahabat gue banget,” Arjuna tiba-tiba menghampiriku dan memegang kedua tanganku. “Lalu, kalau dia sahabat lo, trus kita nggak bisa nolak?. Gitu?. Lo punya berapa sahabat di dunia ini, dan kita harus nerima semua permintaan sahabat lo itu?.” “Ini sahabat. Benar-benar sahabat. Untuk ini gue nggak bisa kompromi lagi. Niat dari awal, gue emang kepingin lo yang jadi GA.” Aku diam. “Kamu mau kan, Alo?. Please, cuma kamu yang bisa bantuin ini. Cuma kamu yang ngerti aku banget. Tolong,” Arjuna memohon, semakin erat memegang tanganku dan menundukkan kepala. “Kamu? aku?. Hah!. Kalau ada maunya aja bisa manggil se-sopan itu,” kataku sinis. Arjuna tersenyum. Manis. Sangat manis. Wajahnya yang tampan ditambah senyuman manis. Dia tunjukkan di hadapan seorang wanita. AKU. 4
Luluh… “Ok,” kataku setuju. Singkat. Arjuna memelukku dan mengucapkan terima kasih yang terus diulang. “Kalau begitu nanti kita makan siang diluar sekalian ketemu Elma dan calon suaminya. Nanti kita berangkat bareng ya,” lagi-lagi Arjuna tersenyum. “Gini nih kalau ada maunya. Jadi baik banget. Biasanya sok sibuk, gue disuruh panggil taksi,” aku membalas ajakannya. Arjuna semakin mengembangkan senyumnya. Aku berjalan keluar dengan wajah jutek dan tidak peduli dengan senyuman Arjuna yang… yah… layaknya pangeran dalam cerita dongeng yang mampu menarik semua wanita. Begitulah komentar para wanita di divisi promosi. “Alo…,” Arjuna memanggil. “Kalau Elma itu sahabatku. Kalau kamu… lebih dari seorang sahabat.” Aku sejenak terpaku dengan kata-katanya. Beberapa detik setelah itu aku tersadar. Rayuan Arjuna yang biasa diberikannya ketika dia butuh. Aku segera menutup pintu ruangannya, bergegas menuju mejaku, sesekali masih memikirkan kalimat Arjuna tentang “lebih dari sahabat”. *** Mango Café. Rabu Siang. “Kopi seperti biasa ya, Mas,” Arjuna memesan minuman. 5
“Kopi lagi?. Lo nggak bisa jauh-jauh dari kopi ya?. Minuman nggak sehat tetep aja dimasukin perut,” kataku mengomentari. “Iya, Mbak-mbak penasehat. Lama-lama lo pantes juga jadi penasehat presiden. Atau janganjangan, nantinya lo lebih cerewet dari istri gue. Hahaha…” Arjuna membalas. Yaaa… beginilah jika seorang Alona dan Arjuna bersama. Alona Kale Sabil. Aku seorang perempuan sarjana lulusan fakultas ilmu sosial sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kota ini. Lahir dari kalangan masyarakat biasa. Hidup berdua saja dengan Ibu, sedangkan kakak laki-laki ku (Reza) menempati rumah sendiri dengan teman hidupnya dan si kecil – dia sudah berkeluarga. Adikku, Raisa, saat ini duduk di bangku SMP. Ayahku meninggal 3 tahun yang lalu, semasa aku kuliah. Semuanya mendadak – dapat dikatakan serangan jantung. Sudah satu tahun ini aku bekerja di sebuah Wedding Organizer “RoemahKoe” milik teman yang saat ini sedang bersamaku, Arjuna. Setidaknya, aku harus berterimakasih dengannya. Pekerjaan ini mampu menghidupi keluargaku. Arjuna Gamaleindra, nama bekennya Juna. Sarjana Akutansi di PTN yang sama denganku. Dia memiliki kehidupan yang berbeda denganku. Terlahir di lingkungan Keraton Mangkunegaran, Juna bukan satu-satunya cucu berdarah biru. Dia memiliki kakak laki-laki yang katanya saat ini mengembangkan usaha yang sama di Bandung. Neneknya adalah kerabat keluarga keraton yang masih memegang adat 6
dan tata cara keraton. Kata Juna, hidup di kota ini sama saja seperti kehidupan di lingkungan kerajaan. Berbeda dengan kehidupanku, kemapanan, rumah besar, keluarga yang lengkap, dia miliki semua. Ya, itulah yang aku ketahui tentang Arjuna, pemilik sekaligus bos, dan juga sebagai sahabatku. Satu tahun itu waktu yang singkat untuk bisa dikatakan menjadi “sahabat”. Bertemu setiap hari, menghabiskan waktu bersama selama setahun. Bahkan menginap di kantor bersama… hanya untuk pekerjaan. Apa kesukaan dan kebiasaannya sudah tercatat dalam otakku “Kemarin gue udah ngobrol dikit sama Elma. Lihat deh soal konsep yang dia pingin. Mulai dari akad nikah sampai resepsi,” Arjuna memberiku beberapa lembar kertas. “Pernikahan Elma dan …” “Juna!” Seorang wanita memanggil Juna. Sontak aku dan Juna menoleh ke arah sumber suara. “Halo, cantik!” Juna berdiri, membuka kedua tangan dan memeluk wanita itu. “Eh, ini terakhir kali, ya. Besok-besok jangan meluk gue lagi. Ada yang marah nanti,” kata wanita itu setelah berpelukan dengan Juna. “Iya. Gue ngerti. Eh, ini kenalin…” Juna mempertemukanku dengan wanita itu. Elma. “Alona” “Elma” Kami berjabat tangan. Hening. Aku dan Elma tersenyum.
7
“Lo sendirian, El?. Calon lo mana?” tanya Juna clingukan, mencari seseorang. “Ada kok. Dia tadi lagi cari parkir. Bentar lagi juga kemari,” jawab Elma. Kami duduk bersama sembari Elma memesan minuman. “Maaf ya kalian nunggu lama.” “Halo.” Seorang pria muncul dan menyapa kami. Aku terpaku melihat wajah pria itu. Hatiku berdetak lebih cepat. Nafasku terhenti. Sesak. Aku segera membuka kertas konsep milik Juna memastikan. Pernikahan Elma dan … “Kenalin, ini calon suami gue, Rega” Mataku dan Rega bertemu. Saat itu juga kami saling memandang. Berpikir. Menelaah. Mengingat sesuatu… Masa lalu… ***
8