BAB V PENUTUP
5.1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut: 1. Kewajiban implementasi SAKIP melalui Inpres No. 7 Tahun 1999 tidak lepas dari tuntutan terselenggaranya good government governance pada awal bergulirnya era reformasi. Selain sebagai alat mewujudkan akuntabilitas kepada pihak eksternal, SAKIP diharapkan lebih berfungsi sebagai alat manajemen
kinerja
untuk
menghadirkan
perbaikan
kinerja
secara
berkelanjutan. 2. Selama lebih dari satu dekade, konstruksi SAKIP mengalami perkembangan. Berdasarkan periodisasi perkembangannya, SAKIP dibedakan menjadi dua macam yaitu SAKIP lama dan SAKIP baru. Komponen SAKIP lama meliputi: perencanaan (rencana strategik), pengukuran dan evaluasi kinerja, dan pelaporan kinerja. Sementara itu, komponen pembentuk SAKIP baru lebih lengkap yang terdiri dari: perencanaan (rencana strategik, rencana kinerja tahunan, dan penetapan kinerja), pengukuran dan evaluasi kinerja, dan pelaporan kinerja. Selain komponen, perubahan dari SAKIP lama ke SAKIP baru ditunjukkan pada perbaikan prosedur dan penyederhanaan terhadap alat bantu pembentuk komponen. Perubahan yang cukup progresif terjadi pada penyusunan dokumen perencanaan. Pada SAKIP baru, perencanaan strategik
142
yang dilakukan sudah dirumuskan indikator dan target kinerja untuk sasaran. Selain itu, konstruksi SAKIP baru diperkuat dalam fase adopsi ukuran kinerja yang ditunjukkan dengan kewajiban penggunaan indikator kinerja utama (IKU) mulai tahun 2007. 3. SAKIP memberikan rerangka pengukuran kinerja yang lebih baik daripada model pengukuran sebelumnya. Apabila alat ukur model pengukuran sebelumnya hanya berorientasi pada indikator input, yaitu berkenaan dengan tingkat penyerapan anggaran, maka dalam model SAKIP telah dimasukkan indikator kinerja yang lebih komprehensif, yaitu: input, ouput, outcome, benefit, dan impact. Pengukuran kinerja model SAKIP dilakukan secara periodik (periodic basis), bukan secara terus menerus (ongoing basis). Pada SAKIP lama, pengukuran dilakukan secara berjenjang dan dengan teknik pembobotan. Pengukuran ini diarahkan untuk menghitung nilai akhir capaian kinerja dan membuat kesimpulan akhir hasil evaluasi dari nilai capaian tersebut berdasarkan skala pengukuran ordinal. Sementara itu, teknik pengukuran kinerja model SAKIP baru dilakukan sesuai dengan jenjang organisasi dan tanpa pembobotan terhadap setiap kategori indikator kinerja. Untuk level organisasi yang memiliki basis kinerja yang strategis, makro, dan berhubungan dengan pembangunan, maka pengukuran dilakukan terhadap pencapaian sasaran. Sedangkan bagi level organisasi yang memiliki tugas pokok dan fungsi berkenaan dengan kegiatan teknis/operasional, maka pengukuran dilakukan terhadap kinerja kegiatan.
143
4. Desain pengukuran pada SAKIP lama yang dilakukan secara berjenjang dan dengan pembobotan membuat jalannya pengukuran menjadi rumit, tidak sistematis, dan tidak realistis. Pengukuran terhadap pencapaian sasaran terlalu “dipaksakan” untuk dilakukan, walaupun tidak dikembangkan indikator beserta target capaian kinerja sasaran yang dapat dijadikan acuan pengukuran. Hal ini ditambah kenyataan bahwa teknik pembobotan dilakukan secara subjektif berdasarkan kesepakatan internal organisasi sehinggga memicu terjadinya permainan aritmatika dalam menghitung nilai capaian kinerja. Sementara itu pada SAKIP baru desain pengukuran mencoba mengurangi kerumitan dalam hal scoring kinerja dengan cara menghilangkan pembobotan. Walaupun demikian, berjalannya SAKIP baru secara substansial tidak jauh beda dengan SAKIP lama. Pembandingan data kinerja masih dilakukan secara terbatas, yaitu antara kinerja aktual dengan target kinerja untuk kategori indikator kinerja yang sama. 5. Dari hasil evaluasi konstruksi, SAKIP memiliki kelemahan utama dalam komponen perencanaan dan pengukuran. Dalam kedua komponen ini tidak dikembangkan ukuran kinerja yang baik dan komprehensif. Sementara itu, teknologi pengukuran yang diadopsi pada komponen pengukuran, secara eksplisit belum menyentuh penilaian dengan 3 E/value for money.
144
5.2.
Saran Beberapa saran untuk memperbaiki desain atau konstruksi SAKIP dan
implementasi SAKIP sebagai sistem pengukuran kinerja dan alat manajemen kinerja ke depannya adalah sebagai berikut: 1. Agar tidak terjadi kerancuan dalam tahap adopsi ukuran kinerja, perlu dilakukan penajaman karakteristik untuk tiap kategori indikator, terutama antara output dan outcome (jangka pendek, menengah, panjang). 2. Selain menggolongkan target dan indikator kinerja dengan mengikuti elemen program (input, output, dan outcome), pada pengembangan alat ukur tersebut perlu dikombinasikan dengan jenis (perspektif) indikator lain agar tercipta sistem
pengukuran
kinerja
secara
komprehensif.
Mardiasmo
(2009)
menyatakan bahwa penentuan indikator kinerja perlu juga mempertimbangkan komponen biaya pelayanan, tingkat penggunaan, kualitas dan standar pelayanan, cakupan layanan, dan kepuasan pelanggan. 3. Agar diperoleh informasi kinerja yang lengkap, teknik pengukuran jangan hanya berfokus pada pembandingan antara kinerja aktual dengan target untuk kategori indikator yang sama. Pengembangan pembandingan kinerja perlu dilakukan, misalnya: antara kinerja aktual perioda sekarang dengan periodaperioda sebelumnya (standar historis), antara kinerja aktual instansi dengan instansi lain yang memiliki praktik terbaik pada lingkup lokal bahkan internasional (standar eksternal), dan antar kategori indikator kinerja. 4. Bagi instansi pemerintah yang menjalankan SAKIP, tidak perlu kaku dalam menerapkan SAKIP. Perlu dikombinasikan pengukuran kinerja model SAKIP
145
dengan teknologi pengukuran kinerja model lain, seperti: BSC dan six sigma, mengingat teknologi pengukuran kinerja yang digunakan dalam SAKIP masih sangat sederhana. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan informasi kinerja yang valid dan reliable. Sehingga, stakeholder dapat memanfaatkan informasi kinerja tersebut untuk mengevaluasi kinerja yang telah dilakukan (fungsi retrospektif) dan yang lebih penting adalah untuk mengambil keputusan masa depan berkenaan dengan perbaikan kinerja (fungsi prospektif). 5. Dalam mengembangkan pengukuran kinerja, instansi pemerintah perlu mengkaitkan pengukuran kinerja dengan manajemen pemberian kompensasi. Dari sisi manfaat, pengukuran kinerja yang terintegrasi dengan manajemen kompensasi akan berpengaruh positif terhadap motivasi, moral, dan perilaku inovatif pegawai (Kaplan dan Norton, 1996). Selain itu, pengintegrasian digunakan untuk menindaklanjuti Permendagri 13 tahun 2006 pasal 39 yang mengatur mengenai tambahan penghasilan bagi pegawai berdasarkan prestasi kerja. 6. Perlu koordinasi antar pembuat regulasi jika membuat pedoman atau panduan mengenai SAKIP agar tidak tumpang tindih dan tidak menimbulkan kebingungan implementasi di lapangan.
5.3.
Keterbatasan dan Penelitian Selanjutnya Penelitian dilakukan dalam basis studi literatur. Oleh karena itu, dalam
penelitian
tidak
dikembangkan
dan
didesain
variabel-variabel
yang
mempengaruhi pemanfaatan informasi kinerja. Hal ini mengakibatkan terbatasnya
146
kajian penggunaan sistem pengukuran kinerja instansi pemerintah di Indonesia. Hasil penelitian tidak memberikan bukti empiris berkenaan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan informasi kinerja dalam sistem pengukuran kinerja instansi pemerintah Indonesia pada dua tahap utama yaitu: pengembangan ukuran kinerja dan tahap penggunaan hasil informasi kinerja dari implementasi sistem pengukuran kinerja. Bahasan penelitian berfokus pada analisis konstruksi SAKIP dan berjalannya SAKIP sebagai sistem pengukuran kinerja. Secara lebih spesifik, kajian kritis diarahkan untuk menganalisis sistem pengukuran kinerja model SAKIP berdasarkan aspek apa yang diukur dan bagaimana cara mengukurnya (teknologi pengukuran) melalui pendekatan simulasi dan analisis konten terhadap modul SAKIP. Dengan demikian, penelitian tidak mampu menangkap potret secara utuh terjadinya gap antara konsep yang berlaku dengan praktik pengukuran kinerja sesungguhnya dalam pengembangan dan penerapan sistem pengukuran kinerja instansi pemerintah. Analisis penelitian ini ditujukan untuk pengukuran dan evaluasi kinerja model SAKIP yang dilakukan instansi secara internal atau self assessment. Untuk penelitian
selanjutnya
yang
menggunakan
basis
studi
literatur,
dapat
menambahkan analisis terhadap metoda evaluasi akuntabilitas kinerja yang dilakukan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB).
147