BAB V PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian “Pemaknaan Wisata Kemiskinan oleh Interkultur dan Warga Pemukiman Kumuh Luar Batang” peneliti memberikan kesimpulan, dan saran sebagai berikut: A. Kesimpulan Simbol kemiskinan ditunjukan melalui manifestasi tentang kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup dibawah standar rata-rata masyarakat Jakarta. Simbol kemiskinan yang ditujukan kepada warga perkampungan kumuh Luar Batang dilihat dari infrastruktur bangunan yang tidak layak huni, mata pencaharian penduduk yang semakin sempit ruang lingkupnya akibat tekanan struktur sosial. Kemiskinan di Luar Batang terbentuk sejak tahun 1630-an ketika VOC menguasai pelabuhan Sunda Kelapa di Luar Batang. Pada akhirnya tenaga kasar yang bekerja untuk VOC mendirikan pemukiman sementara dari kayu-kayu berbentuk hunian kotak dan perahu bekas yang bertahan hingga sekarang menjadi pemukiman kumuh. Wisata kemiskinan dibentuk oleh Interkultur dengan melihat sejarah warga Luar Batang yang bertahun-tahun hidup dalam ketimpangan ekonomi, struktur sosial serta budaya di Jakarta. Interkultur menganggap sebagaian warga Luar Batang merupakan korban tekanan struktur sosial yang menyebabkan mereka menjadi warga miskin. Wisata kemiskinan bagi Interkultur adalah cara memperkenalkan kenyataan masyarakat Jakarta yang sebenarnya pada wisatawan. Wisata kemiskinan cenderung lebih diminati oleh wisatwan asing ketimbang wisatawan lokal Indonesia. Pada dasarnya warga Luar Batang tidak menyadari secara langsung bentuk eksploitasi kemiskinan dalam wisata kemiskinan yang ditujukan pada kehidupan sosial mereka.
156
Warga miskin Luar Batang merasa dengan adanya wisata kemiskinan mereka merasa terbantu melalui program pemberdayaan 3E (Emergency, Education, Empowerment) Interkultur. Namun wisata kemiskinan mendapat sorotan dari Pemerintah DKI Jakarta yang menilai bentuk kegiatan wisata tersebut bertentangan dengan program pengentasan kemiskinan pemerintah. Sikap Pemerintah DKI Jakarta terhadap wisata kemiskinan terbilang sangat apatis. Pemerintah DKI Jakarta mengatakan wisata kemiskinan sangat bertentangan dengan program pemberantasan kemiskinan yang sedang dijalankan oleh pemerintah. Selain itu, wisata kemiskinan hanya merusak citra Indonesia di mata asing dengan mempertontonkan kehidupan sosial warga miskin. Kemiskinan bagi pemerintah adalah hal yang harus diperbaiki atau bahkan diberantas. Karena bagi Pemerintah DKI Jakarta, hal tersebut merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya yang hidup di bawah standar kehidupan warga Jakarta pada umumnya. Dalam perspektif interaksionisme simbolik, relasi pemaknaan kemiskinan serta wisata kemiskinan tiga pihak antara Interkultur, warga Luar Batang dan Pemerintah DKI Jakarta terdapat “ketidakbermaknaan/mindless” antara satu sama lain. Tiga relasi tersebut dilihat dari tiga sub pembahasan seperti Historitas, Peran/Keterlibatan, serta Konteks (legal formal). Pemaknaan wisata kemiskinan menurut Interkultur adalah, bentuk kegiatan jalan-jalan, memperkenalkan “realitas Jakarta” yang sebenarnya. Kegiatan wisata kemiskinan mengedepankan interaksi sosial dan pertukaran budaya antara warga miskin dengan wisatawan asing. Wisatawan asing dianggap lebih memiliki perhatian khusus terhadap wisata kemiskinan, karena bagi Interkultur mereka cenderung mengedepankan sisi kemanusiaan. Interkultur tidak menyadari dengan menempatkan warga sebagai objek dari kegiatan wisata, justru secara tidak langsung
mengeksploitasi
kehidupan
sosial
warga
miskin
Luar
Batang.
Bagaimanapun warga dianggap pasif menerima kegiatan wisata kemiskinan ini,
157
kehidupan mereka dijadikan “tontonan” turis asing dengan menawarkan nila-nilai kepekaan sosial yang tidak bisa dipahami semua pihak. Pemaknaan wisata kemiskinan menurut warga Luar Batang adalah bentuk “hiburan” yang saling meguntungkan satu sama lain. Warga merasa senang dengan kehadiran para turis asing yang jarang mereka temui, apalagi bisa berinteraksi langsung. Sedangkan para turis asing bisa mendapatkan pembelajaran bagaimana mensyukuri nilai-nilai kehidupan dari warga miskin yang mampu bertahan hidup meski serba kekurangan. Sejatinya warga miskin Luar Batang memiliki mindless makna terhadap wisata kemiskinan tersebut. Warga miskin cenderung dinilai oleh Interkultur dan Pemerintah DKI Jakarta sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran rendah. Kesadaran rendah inilah yang dimanfaatkan Interkultur untuk terus menjalankan kegiatan wisata kemiskinan. Sebab, Interkultur menyadari jika warga miskin Luar Batang tidak memiliki power yang berarti ketika dilabeli sebagai “objek” wisata kemiskinan. Pemaknaan wisata kemiskinan bagi Pemerintah DKI Jakarta dianggap sebagai pelanggaran etika, namun tidak bisa ditindak tegas secara hukum. Sebab kegiatan wisata kemiskinan ini dijalankan oleh pihak swasta. Wisata kemiskinan dimaknai oleh Pemerintah DKI Jakarta sebagai bentuk eksploitasi kehidupan warga miskin yang dikategorikan langsung sebagai warga yang belum “tersentuh” program pemberantasan kemiskinan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Efektifitas makna pesan yang coba dikonstruksi Interkultur menunjukan wisata kemiskinan ini menjadi hal yang menarik dan mendatangkan banyak minat wisatawan asing untuk mengikuti kegiatan wisata tersebut. Dalam kerangka audit komunikasi ditemukan Mindless antara Interkultur, warga Luar Batang dan Pemerintah DKI Jakarta ternyata justru tidak mempengaruhi keberhasilan wisata kemiskinan. Hal tersebut cenderung dipengaruhi oleh keterbatasan wewenang Pemerintah DKI untuk menindak kegiatan yang dianggap
158
hanya sekedar melanggar etika. Sedangkan warga Luar Batang yang memiliki kesadaran rendah lebih memilih tidak menganggap kegiatan wisata kemiskinan sebagai hal yang merugikan mereka. Wisata kemiskinan dianggap oleh warga sebagai kegiatan yang menunjukan perhatian masyarakat luar pada mereka. Inilah fungsi dari kerangka audit komunikasi yang melihat bagaimana sumber-sumber pesan tadi berhasil dikomunikasikan oleh Interkultur kepada masyarakat serta warga pemukiman kumuh Luar Batang itu sendiri. Mindless (ketidakbermaknaan) antara Interkultur, warga Luar Batang dan Pemerintah DKI Jakarta terbentuk karena adanya perbedaan pengertian mengenai penanggulangan kemiskinan di Ibukota Jakarta. Selain itu perbedaan pemaknaan wisata kemiskinan antara ketiga pihak tersebut lebih terlihat akibat adanya ketidakpedulian satu pihak (pemerintah) dengan pihak lainnya (warga miskin Luar Batang) yang telah bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan di DKI Jakarta. Maka dari itu wisata kemiskinan dianggap sebagai alternatif cara memperoleh “perhatian” dari pihak lain bagi warga Luar Batang. Keberhasilan pesan dalam strategi pariwisata “wisata kemiskinan” tidak terlepas dari
upaya
Interkultur
melemparkan
gagasan
wisata
kemiskinan
dengan
memaknainya sebagai kegiatan positif dari sudut pandang mereka. Sekalipun hal tersebut menimbulkan mindless diantara pihak-pihak terkait (warga Luar Batang & Pemerintah DKI). Pada kenyataannya pesan yang dikonstruksikan kepada masayarakat luas mengenai wisata kemiskinan dinilai berhasil dengan fakta banyaknya peminat tur wista kemiskinan oleh para turis asing hingga saat ini. B. Saran Wisata kemiskinan harusnya menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah DKI Jakarta sebagai stimulus untuk lebih memberdayakan regulasi terhadap fenomena urbanisasi di Ibukota Jakarta. Sebab wisata kemiskinan timbul karena Pemerintah DKI sendiri tidak begitu memperhatikan cara menekan invasi penduduk dari daerah 159
yang akan tinggal di Jakarta. Pemerintah DKI sebaiknya mampu membaca maksud dari tujuan wisata kemiskinan yang dibentuk oleh Interkultur dengan terjun langsung mengikuti kegiatan wisata tersebut. Tujuannya adalah mendapatkan kesepahaman apa yang hendak Interkultur sampaikan dengan adanya gagasan wisata kemiskinan yang mereka buat. Sikap positif para wisatawan asing untuk mengikuti kegiatan ini sebaiknya ditanggapi oleh pemerintah sebagai bentuk mendorong penyelenggara wisata lebih memperhatikan izin resmi dalam kegiatan wisata. Sedangkan bagi warga Luar Batang agar lebih memperhatikan manfaat program 3E Interkultur lebih konkret lagi, bukan sekedar menerima kunjungan wisatawan secara pasif. Dibutuhkan studi etnografi panjang dengan mengikuti informan dalam melalui proses berlangsungnya wisata kemiskinan yang dijalankan Interkultur. Hal tersebut akan memberikan kedalaman informasi, karena penelitian ini ditemukan bahwa pemaknaan wisata kemiskinan berkaitan dengan aktifitas kehidupan sehari-hari warga miskin Luar Batang dengan Interkultur yang tidak mungkin dicapai oleh penelitian ini dalam waktu singkat. Bentuk keberhasilan kegiatan wisata kemiskinan juga dapat ditinjau dari proses strategi komunikasi yang komprehensif. Karena dengan demikian dapat melihat secara utuh rangkaian komunikasi yang terjadi di Interkultur.
160