BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Proses analisis tanda dalam film telah dilakukan untuk mengetahui representasi multikulturalisme dalam film Cheng Cheng Po. Berdasarkan hasil temuan data yang diperoleh, film dapat berperan menyebarkan pesan multikulturalisme melalui unsur-unsur yang ada pada film. Penelitian ini cukup berbeda dengan penelitian lain karena mengangkat tema tentang multikulturalisme pada film pendek. Penelitian tentang multikulturalisme pada film sudah cukup banyak dilakukan, tetapi film yang diteliti sebagian besar adalah film-film mainstream atau film panjang yang umumnya
ditampilkan
di
bioskop.
Sedangkan
penelitian
mengenai
multikulturalisme pada film pendek belum banyak dilakukan. Film pendek ini juga diperuntukkan bagi anak-anak sehingga penelitian ini unik. Multikulturalisme merupakan sebuah konsep yang merujuk pada suatu masyarakat yang ingin menunjukkan keanekaragaman yang dimilikinya serta cara mengakomodasi keberagaman tersebut, yaitu dengan cara mengakui dan menghargai budaya lain secara sederajat. Film berjudul Cheng Cheng Po yang diproduksi oleh Sanggar Cantrik mengajak anak-anak untuk melihat konsep multikulturalisme melalui alur cerita, karakter, simbol-simbol dan penggambaran budaya dalam sebuah film pendek untuk anak. Penelitian ini menggunakan analisis semiotik dalam menelaah hal-hal yang berkaitan dengan multikulturalisme. Dengan analisis semiotik, peneliti mencoba untuk mendalami makna tertentu dalam film lewat tanda-tanda yang ada pada film Cheng Cheng Po. Tanda mengandung simbol, dimana simbol adalah sesuatu yang berdiri untuk sesuatu yang lain, dan kebanyakan tersembunyi. Sebuah simbol dapat berdiri dari sebagai bagian budya, identitas, kayakinan, dan yang lainnya. Tanda yang ada pada teks film dapat dipahami melalui unsur pokok film yaitu visual film,dalam hal ini scene dan shot, karakterisasi, serta narasi cerita.
125
Dari pemaknaan tanda tersebut, penelitian ini memiliki beberapa kesimpulan mengenai representasi multikulturalisme dalam film pendek Cheng Cheng Po. Pertama, film Cheng Cheng Po mencoba menampilkan keberagaman budaya yang ada di Indonesia dengan menampilkan tiga etnis yang menjadi ciri khas Indonesia yaitu etnis Jawa, etnis Tionghoa, dan etnis Papua. Keberagaman etnis ditunjukkan dengan karakterisasi tokoh yang ada pada film tersebut dan disertai dengan ciri fisik yang melekat pada etnis tersebut. Selain etnis, keberagaman budaya juga ditampilkan dengan adanya keberagaman agama di Indonesia. Indonesia mengakui enam agama secara hukum, namun pada film ini hanya menampilkan dua agama secara eksplisit yaitu Islam dan Nasrani (Katolik dan Kristen). Yang dimaksud secara eksplisit di sini adalah adanya simbol-simbol visual yang mewakili atau melekat dengan dua agama tersebut. Keberagaman budaya pada film ini, juga ditunjukkan adanya beberapa tradisi yang ada di Indonesia, dan memang melekat pada etnis tertentu pada setiap tradisinya. Tradisi disini bisa berupa kesenian atau pun nilai-nilai kehidupan yang ada pada etnis tersebut dan dijadikan pedoman hidup. Sebagai contoh kesenian Barongsai pada etnis Tionghoa. Karakter mereka yang suka menjaga tradisi leluhur mereka, menjadikan kesenian ini tetap ada bagi masyarakat Tionghoa. Kedua, dalam film Cheng Cheng Po dalam merepresentasikan multikulturalisme terjadi penonjolan budaya. Penonjolan budaya ini terjadi pada etnis Jawa. Penonjolan etnis Jawa terletak pada banyaknya scene yang menunjukkan ciri khas orang Jawa seperti adanya budaya mangan ora mangan kumpul. Adanya penonjolan budaya tidak dapat dipungkiri, mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah etnis Jawa. Ketiga, pada film Cheng Cheng Po terdapat stereotipe yang melekat pada masing-masing etnis. Etnis Tionghoa pada film ini digambarkan sebagai seorang pedagang. Stereotipe ini sudah melekat pada diri etnis Tionghoa sejak jaman dahulu ketika etnis Tionghoa berada di Indonesia. Sampai sekarang
126
peran sebagai pedagang identik dengan etnis Tionghoa. Namun, pada film ini etnis Tionghoa digambarkan sebagai pedagang kecil dan dari kelas bawah. Hal ini berlawanan dengan stereotipe masyarakat Indonesia yang selalu menganggap etnis Tionghoa dari kalangan kelas atas dan kaya. Stereotipe negatif digambarkan pada etnis Papua. Etnis Papua pada film ini digambarkan dari kalangan sosial bawah. Identitas orang Papua sebagai etnis yang terbelakang dan miskin melekat pada film ini. Penggambaran peran Markus sebagai orang Papua yang miskin semakin menegaskan audiens yang menonton film ini, bahwa orang Papua merupakan etnis yang miskin. Diskriminasi pada etnis Papua juga terdapat pada film ini. Markus sebagai orang Papua memiliki kulit yang hitam, hal ini menyebabkan dia didiskriminasi oleh temannya. Diskriminasi terhadap orang Papua tidak hanya menyangkut masalah warna kulit, tetapi mencakup hal yang lebih luas, seperti diskriminasi dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan. Etnis Papua yang dari awal termarjinalkan, semakin menjadi termarjinal karena sikap pemerintah Indonesia yang tidak mengurus pembangunan di Papua. Sehingga semakin membuat orang Papua semakin tertinggal dari daerah lain terutama wilayah Indonesia Barat. Stereotipe etnis Jawa di sini adalah etnis Jawa lebih tinggi statusnya daripada etnis lain. Terlihat dari karakter Tyara sebagai orang Jawa yang memiliki status sosial tinggi yaitu berasal dari kalangan kelas atas. Hal ini membuktikan bahwa etnis Jawa lebih maju. Etnis yang maju umumnya sadar akan pendidikan sehingga status sosial tinggi bisa diraih dengan pendidikan. Karakter etnis Jawa juga dilekatkan pada orang Jawa mampu menjadi pemimpin. Seperti karakter Tohir yang memimpin pembuatan Barongsai, mulai dari ide membuat Barongsai, menggambar desain Barongsai, hingga menjadi penari Barongsai yang berada di depan. Dalam film Cheng Cheng Po juga terselip pesan mengenai harapan multikulturalisme yang ada di Indonesia. Harapan multikutralisme di Indonesia direpresentasikan dari beberapa scene. Seperti scene atap kubah masjid berdampingan dengan menara gereja. Hal ini ingin menunjukkan
127
bahwa keinginan hidup berdampingan antar agama secara selaras. Kemudian, scene di kelas ketika murid berdoa. Di sini terselip harapan untuk saling menghagai dan toleransi antar agama. Di Indonesia, walaupun antar agama hidup berdampingan, namun toleransinya sangat kurang. Terbukti dari banyaknya konflik yang berbasis agama. Kemudian, scene membersihkan burung garuda. Pada burung garuda terdapat semboyan Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Hal ini mengajak audiens untuk menilik kembali makna Bhinneka Tunggal Ika tersebut. Dari sisi cerita film pendek untuk anak, multikulturalisme ditampilkan melalui tema persahabatan antara anak-anak yang memiliki perbedaan latar belakang budaya, Mereka dapat bersatu walaupun berbeda budaya, hal ini menunjukkan indahnya kebersamaan dalam kehidupan yang damai. Tema ini sangat menarik untuk mencuri hati audiens, mengingat permasalahan multikulturalisme merupakan masalah yang kompleks di Indonesia. Bagi anak-anak perbedaan merupakan hal yang sederhana. Sedangkan bagi orang dewasa perbedaan justru semakin kompleks. Pada dasarnya film ini mampu merepresentasikan multikulturalisme mengenai keberagaman budaya yang ada di Indonesia melalui karakter tokoh yang ada pada film. Dari sisi pesan film yaitu mengenai persahabatan antartokoh yang berbeda etnis, agama, dan tradisi, film ini mampu merepresentasikan
konsep
multikulturalisme
yang
menghargai
dan
menganggap budaya lain setara. Film ini ingin mengakomodasi kaum minoritas yaitu dengan adanya penampilan budaya-budaya minoritas di tengah budaya mayoritas, contohnya penampilan Tari Liang Liong. Representasi negatif dari pada film ini terdapat kaum minoritas yang justru semakin terminorkan seperti yang terjadi pada representasi etnis Papua dan kaum mayoritas yang semakin mayor yaitu representasi etnis Jawa. Sisi positif pada film ini adalah film ini tidak hanya membahas masalah keberagaman budaya saja tetapi juga menawarkan solusi bagaimana menyikapi keberagaman tersebut, seperti pesan mengenai toleransi beragama.
128
B. Saran Peneliti merasa penelitian ini jauh dari sempurna. Setelah melakukan penelitian dan analisa pada film Cheng Cheng Po dengan semiotik, peneliti ingin mengajukan beberapa saran. Semiotik merupakan metode penelitian kualitatif, sehingga penelitian bersifat subjektif. Pun demikian dengan penelitian ini yang menggunakan metode semiotik, menjadikan penelitian ini bersifat kualitatif sehingga hasil dari penelitian ini cenderung ke arah subjektif. Pembahasan dalam penelitian ini kurang detail dikarenakan keterbatasan peneliti. Peneliti hanya mengulas mengenai multikulturalisme dari tiga sisi saja yaitu etnis, agama, dan tradisi sehingga unsur budaya lain kurang terjelaskan. Jika ada peneliti lain yang ingin meneliti tentang multikulturalisme pada film pendek disarankan agar memadupadankan beberapa ilmu semiotika agar hasil yang didapatkan lebih mendalam. Pada penelitian ini, peneliti hanya berpatokan pada semiotika Roland Barthes mengenai konotasi dan denotasi. Sebaiknya peneliti lain juga diharapkan meneliti tentang film pendek, mengingat penelitian tentang film pendek multikulturalisme masih sedikit. Kelebihan film pendek adalah sifatnya yang tidak massive dan tidak diputar di bioskop sehingga feedback yang diperoleh bisa secara langsung. Kekhasan tersebut menjadikan film pendek menarik untuk diteliti sebagai objek penelitian. Peneliti ingin memberikan sejumlah saran atas tema penelitian yang berkorelasi dengan penelitian ini, di mana diharapkan dapat berkontribusi positif dalam pengembangan kajian film dan multikulturalisme selanjutnya, diantaranya : Efektivitas
film
pendek
dalam
menyampaikan
pesan
multikulturalisme. Resepsi audiens pada film pendek multikulturalisme. Penggunaan media film pendek sebagai sarana pendidikan multikultur.
129