BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bahwa SHM 139 Pegangsaan Dua adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata, yang telah memenuhi definisi/ syarat suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka pembatalan suatu KTUN adalah harus melalui Pengadilan Negeri yang berwenang, dalam hal ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara, khusus mengenai SHM 139 Pegangsaan Dua, maka menjadi wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Apabila ditinjau mengenai Pembatalan Hak Atas Tanah Karena Melaksanakan Putusan Pengadilan Yang Telah Memperolah Kekuatan Hukum Tetap, Permenag 9/ 1999 telah menyatakan dan mensyaratkan hal-hal secara eksplisit, yaitu:
Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 harus dilampiri dengan: a. foto copy identitas; b. foto copy surat keputusan/sertipikat; c. foto copy akta pendirian badan hukum; d. foto copy putusan pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan putusan terakhir; e. berita acara eksekusi, apabila perkara perdata atau pidana; f. atau surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.
Pembatalan SHM 139 Pegangsaan Dua melalui penerbitan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Tanggal 25-02-1999 No. 7-XI-1999 Mengenai Pembatalan Sertifikat Hak Milik No 139/ Pegangsaan Dua jelas menyalahi aturan sebagaimana diatur dalam Permenag, dikarenakan putusan yang dijadikan dasar adalah Putusan Pengadilan Negeri, yang bersifat deklaratoir, Non Exekutabel, yang tidak memiliki berita acara eksekusi.
2.
Dalam pertimbangannya sebagaimana telah dikutipkan, Menteri Negara Agraria menekankan berpatokan pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 1 Juli 1992 No. 17/ Pdt/ G/ 1991/ PN. Jkt. Ut jo Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 29 Mei 1993 No. 158/ Pdt/ 1993/ PT. DKI jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 28 Januari 1997 No. 538 K/ Pdt/ 1994.
Pasal 129 ayat (2) Permenag No 9/ 1999 mewajibkan Menteri untuk meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya amar putusan pengadilan dilaksanakan. Menteri seharusnya dapat memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa amar putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan disertai dengan alasan dan pertimbangannya.
Dalam hal Menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan pengadilan, Menteri dapat mohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalam pelaksanaan amar putusan pengadilan dimaksud.
Putusan Pengadilan Negeri yang bersifat deklaratoir adalah jenis putusan yang tidak dapat dieksekusi, dengan jelas Permenag 9/ 1999 mengatur harus adanya berita acara eksekusi putusan apabila putusan tersebut adalah atas Perkara Perdata ataupun Pidana, namun kemudian dengan tanpa memohon fatwa kepada Mahkamah Agung pun Menteri Negara Agraria dalam pertimbanganya yang telah penulis kutipkan, tetap melakukan pembatalan terhadap Sertipikat Hak Milik No. 139/ Pegangsaan Dua.
Menteri Negara Agraria dalam pertimbangannya juga mencantumkan mengenai penguasaan fisik oleh Pihak Summarecon Agung semenjak tahun 1985, yang pada akhirnya sampailah keputusan Menteri untuk membatalkan Sertipikat Hak Milik No. 139/ Pegangsaan Dua tercatat atas nama Abdullah Bin Naman seluas 8.320 m2 sebagaimana diuraikan dalam surat ukur tertanggal 31 oktober 1974 No 976/ 1974 terletak di Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
3.
Robert Sudjasmin sebagai pembeli lelang atau pemenang lelang yang telah membeli dengan itikad baik dengan demikian telah kehilangan haknya, dan dilain sisi yaitu PT. Summarecon juga tidak dapat dihilangkan haknya atas tanah tersebut, sehingga kepastian hukum dan jaminan atasnya terhadap kepemilikan suatu objek bidang tanah baik dalam hukum agraria maupun dalam pelelangan oleh Negara harus dilindungi.
Dasar putusan pengadilan yang bersifat deklaratoir juga harus ditinjau kembali, dikarenakan apabila suatu keputusan Menteri Negara Agraria
dalam hal pembatalan Sertifikat Hak atas Tanah didasarkan pada suatu pertimbangan yang tidak memenuhi ketentuan formil adalah dapat dinyatakan sebagai Keputusan yang cacat, implikasinya adalah hilangnya keadilan dan kepastian hukum bagi Pihak Robert Sudjasmin, yang seharusnya dapat ditempuh perbaikan dengan melakukan upaya hukum pembatalan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini melalui Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang, namun sebagaimana diketahui hal tersebut adalah tidak mungkin, dikarenakan telah lewat waktu sebagaimana diatur dalam undang undang Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Saran
1.
Pembatalan SHM 139 Pegangsaan Dua melalui penerbitan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Tanggal 25-02-1999 No. 7-XI-1999 Mengenai Pembatalan Sertifikat Hak Milik No 139/ Pegangsaan Dua jelas menyalahi aturan sebagaimana diatur dalam Permenag, dikarenakan putusan yang dijadikan dasar adalah Putusan Pengadilan Negeri, yang bersifat deklaratoir, Non Exekutabel, yang tidak memiliki berita acara eksekusi, maka dapat diajukan upaya hukum melalu Pengadilan yang berwenang dalam membatalkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, yaitu dalam hal ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
2.
Atas
pertimbangan
Menteri
Negara
Agraria
yang
menekankan
berpatokan pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 1 Juli 1992 No. 17/ Pdt/ G/ 1991/ PN. Jkt. Ut jo Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 29 Mei 1993 No. 158/ Pdt/ 1993/ PT. DKI jo Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 28 Januari 1997 No. 538
K/ Pdt/ 1994 sedangkan putusan putusan tersebut memiliki amar yang bersifat Deklaratoir, dan Putusan Pengadilan Negeri yang bersifat deklaratoir adalah jenis putusan yang tidak dapat dieksekusi, dengan jelas Permenag 9/ 1999 mengatur harus adanya berita acara eksekusi putusan apabila putusan tersebut adalah atas Perkara Perdata ataupun Pidana, namun kemudian dengan tanpa memohon fatwa kepada Mahkamah Agung pun Menteri Negara Agraria dalam pertimbanganya yang telah penulis kutipkan, tetap melakukan pembatalan terhadap Sertipikat Hak Milik No. 139/ Pegangsaan Dua, maka hal hal ini dapat dijadikan dasar bagi Robert Sudjasmin untuk mengajukan Gugatan Tata Usaha Negara melalui Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
3.
Robert Sudjasmin sebagai pembeli lelang atau pemenang lelang yang telah membeli dengan itikad baik dengan demikian telah kehilangan haknya, dan dilain sisi yaitu PT. Summarecon juga tidak dapat dihilangkan haknya atas tanah tersebut, sehingga kepastian hukum dan jaminan atasnya terhadap kepemilikan suatu objek bidang tanah baik dalam hukum agraria maupun dalam pelelangan oleh Negara harus dilindungi. Bagi PT. Summarecon dapat mengajukan permohonan penerbitan sertifikat hak kepada Kantor Pertanahan dalam yurisdiksi tanah tersebut berada, dan hilangnya keadilan dan kepastian hukum bagi Pihak Robert Sudjasmin, yang seharusnya dapat ditempuh perbaikan dengan melakukan upaya hukum pembatalan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria sebagaimana dimaksud dalam penelitian ini melalui Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang, namun sebagaimana diketahui hal tersebut adalah tidak mungkin, dikarenakan telah lewat waktu sebagaimana diatur dalam undang undang Peradilan Tata Usaha Negara, maka setidaknya ia dapat mengajukan permohonan ganti rugi kepada Menteri Keuangan Negara RI cq Kantor Lelang Negara sebagai penyelenggara lelang atas objek Sertifikat Hak Milik yang seharusnya dimenangkannya, atau setidaknya dapat mengajukan Gugatan Ganti
Kerugian kepada Kementrian Keuangan Negara RI cq Kantor Lelang Negara mengenai hilangnya hak atas objek jual beli yang dibelinya yaitu Sertipikat Hak Milik No. 139/ Pegangsaan Dua.