BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Di negara-negara yang banyak mengalami pergulatan politik, novel menjadi salah satu media penyampai kritik. Di Indonesia, istilah jurnalisme dibungkam sastra melawan yang dilontarkan penulis Seno Gumira Ajidarma menguatkan sastra (novel) sebagai media alternatif yang memuat dokumentasi mengenai hal-hal yang tidak diberitakan oleh Pers pada zaman Orde Baru. Penulis perempuan juga melakukan hal yang sama. Ayu Utami adalah salah satu penulis perempuan yang konsisten tentang isu-isu perempuan, politik, dan sosial-kultural. Dengan berlindung pada sastra, ia menggugat nilai-nilai dalam masyarakat yang tidak adil pada perempuan dan menuliskan hal-hal yang selama ini dianggap tabu. Pada titik inilah, sastra (novel) menjadi media yang menjembatani antara penulis, pembaca, dan semesta teks yang mempengaruhi mereka. Ada tiga aspek yang saling berkaitan dalam proses pemaknaan teks novel. Teks adalah karya dari penulis novel yang mengandung pesan-pesan yang bermakna. Makna-makna itu tersimpan rapi dalam kode-kode bahasa yang termuat dalam novel. Pembuat teks adalah penulis novel yang membuat novel dengan tema dan makna tertentu. Audiens adalah mereka yang membaca dan mengapresiasi teks tersebut dengan membangun makna yang beragam sesuai kemampuan dan pengalaman mereka masing-masing. Tiga aspek ini membentuk sirkulasi. Pada titik tertentu, suatu teks dapat mengubah posisi audiens menjadi pembuat teks, dan pembuat teks menjadi audiens. Studi resepsi dalam penelitian ini menekankan pada pengetahuan audiens dalam memaknai teks. Salah satu konsep penting dalam analisis resepsi adalah encoding dan decoding yang digagas oleh Stuart Hall. Pembuat pesan menciptakan pesan dengan makna tertentu yang diharapkan dapat diterima audiens. Namun, audiens dapat memaknai teks tersebut sesuai dengan
185
interpretasinya yang bisa saja tidak sejalan dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat pesan. Konsep Hall ini digabung dengan konsep audience- workuniverse (audiens – teks – semesta teks) dalam pendekatan pragmatik yang digagas M.H. Abrams. Dalam memaknai suatu karya, audiens tidak dapat dipisahkan dari semesta teks atau segala sesuatu yang mempengaruhi pemaknaannya terhadap karya itu. Latar belakang budaya, agama, politik, sejarah, pribadi individu, relasi keluarga, kebiasaan bermedia, tipe media, dan sebagainya akan membentuk kerangka pemikiran audiens dalam memaknai sebuah karya. Tidak hanya itu, relasi ini membentuk sirkulasi yang memungkinkan audiens membuat teks baru berdasarkan pemaknaannya. Teks baru itu dapat berupa pemikiran baru dalam bentuk diskusi atau tulisan yang disebarkan melalui media massa. Model relasi teks Abrams dan model encoding/decoding Hall memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan relasi teks Abrams adalah membantu menjelaskan hubungan sebab-akibat antara audiens, teks, dan semesta teks. Abrams memasukkan unsur semesta teks (nature/universe) sebagai bagian penting dari proses penerimaan audiens karena membantu menelusuri faktorfaktor internal (diri sendiri) dan eksternal (lingkungan) audiens yang mempengaruhi interpretasi dan tindakannya terhadap suatu karya. Semesta teks dapat mempengaruhi audiens dalam melakukan tindakan memproduksi teks baru atau sekedar menyimpannya sebagai sebuah diskusi. Kekurangan model relasi teks Abrams adalah belum ada pemosisian pembacaan audiens. Model Relasi teks Abrams secara umum digunakan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat dari suatu tiruan realita (mimesis) dalam masyarakat. Kelebihan model encoding/decoding Hall adalah pemosisian pembacaan audiens yang jelas. Namun, kelebihan ini sekaligus menjadi kekurangan model ini karena penempatan audiens dalam tiga posisi tersebut sangat ketat. Hall tidak memberikan alternatif posisi yang kemungkinan muncul dalam proses resepsi audiens. Gabungan antara model relasi teks Abram dan model encoding/decoding Hall yang digunakan dalam penelitian ini mampu bersinergi dalam menjawab permasalahan penelitian yang diteliti.
186
Peneliti melakukan penelitian studi resepsi dengan menganalisis decoding audiens terhadap isu pernikahan dan keperawanan dalam novel otobiografi Pengakuan karya Ayu Utami. Masing-masing audiens memiliki pandangan, penangkapan, dan penafsiran sendiri yang mempengaruhi cara mereka memaknai isu yang mereka baca dari novel. Meski sebagian informan penelitian mengaku menyukai karya-karya Ayu Utami, hal itu tidak menjamin bahwa mereka menerima teks yang diajukan Ayu Utami. Keenam informan dalam posisi pembacaan baik dominan atau posisi tetap memiliki kekuatan untuk memilah mana teks yang diterima dan mana teks yang ditolak. Informan dalam penelitian ini adalah Astri, Dicky, Esti, Imran, Rina, dan Tiyar. Kesamaan di antara mereka berenam adalah masuk dalam kategori pembaca dewasa, yaitu antara usia 23-31 tahun dan belum menikah, meski ada sebagian yang saat ini sudah memiliki pacar. Namun, di balik kesamaan tersebut, masing-masing
informan
memiliki
perbedaan-perbedaan
yang
juga
mempengaruhi cara mereka memaknai isu pernikahan dan isu keperawanan dalam novel Pengakuan. Secara umum, pemaknaan audiens dalam konsep encoding dan decoding yang dikemukakan Stuart Hall menempatkan audiens ke dalam tiga posisi yaitu dominant-hegemonic position (posisi dominan), negotiated position (posisi negosiasi), dan oppositional position (posisi oposisional). Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa audiens terbagi dalam dua posisi pembacaan, yaitu posisi dominan dan posisi negosiasi. Ketiadaan posisi oposisional disebabkan limitasi penelitian melalui kualifikasi informan yang menyempit pada pembaca karyakarya Ayu Utami. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hilangnya posisi oposisional, antara lain tradisi membaca informan yang hampir semuanya adalah pembaca berat (heavy reader) sehingga memiliki wawasan yang luas; mereka merupakan penggemar Ayu Utami yang dapat mengenali ciri khas dan posisi karya-karya Ayu Utami dibandingkan penulis lain , dan pengalaman pribadi yang menyebabkan mereka mau membaca karya-karya Ayu Utami. Dalam mengumpulkan data, peneliti memperoleh hasil pemaknaan isu pernikahan dan keperawanan berdasarkan pandangan informan sendiri. Masing-
187
masing posisi yang dihasilkan oleh informan tersebut merupakan kombinasi pengenalan dasar atau pemahaman menyeluruh terhadap teks serta interpretasi dan evaluasi terhadap makna berkenaan dengan kode teks yang relevan. Peneliti juga menilik bagaimana informan melihat makna yang tersirat di balik teks dan penerimaan atau penolakan audiens terhadap teks. Peneliti juga memperhatikan informan yang membuat teks baru dan menyebarkannya melalui media online sebagai tindakan mereka dalam menegosiasikan teks yang diterima. Setelah itu, peneliti menelusuri perbedaan antara pembaca yang membuat teks baru dan pembaca yang mendiskusikan teks tanpa membuat teks baru. Informan yang berada pada posisi dominan berarti sejalan, paham, dan menyetujui apa yang disampaikan oleh Ayu Utami mengenai isu pernikahan dan isu keperawanan dalam novel Pengakuan. Itu berarti informan memiliki sikap kritis dan cara pandang yang sama dengan Ayu Utami dalam menyikapi persoalan gender dalam situasi sosial saat ini. Informan yang berada pada posisi dominan juga umumnya menyukai atau menikmati hampir semua novel-novel karya Ayu Utami. Misalnya Astri dan Dicky yang mengaku sangat menyukai novel-novel Ayu Utami ternyata secara konsisten berada di posisi dominan dalam menerima isu pernikahan dan keperawanan. Informan yang berada di posisi negosiasi dapat menerima apa yang disampaikan Ayu Utami pada hal-hal tertentu saja yang sesuai pandangannya. Mereka menolak teks yang tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi dalam kehidupan
sosial-kulturalnya.
Misalnya,
pemaknaan
informan
pada
isu
keperawanan di mana informan menerima bahwa keperawanan perempuan tidak dinilai dari selaput dara saja tetapi di sisi lain mereka tetap menganggap bahwa keperawanan perlu dijaga untuk memasuki pernikahan. Tidak semua informan bertindak dengan cara yang sama meskipun mereka mengaku menyukai karya-karya Ayu Utami. Tidak semua informan mengoleksi secara lengkap atau membaca novel-novelnya. Tidak semua informan pernah bertemu dengan Ayu Utami atau mendatangi acara bedah buku dan seminarnya. Tidak semua juga dari mereka yang membuat teks baru sebagai tindakan terhadap teks yang mereka maknai dari novel-novel karya Ayu Utami. Beberapa informan
188
bahkan masih menyimpan rasa skeptis terhadap sepak terjang Ayu Utami dalam kancah kesusastraan Indonesia. Di lain sisi, kesukaan informan pada novel-novel dan pribadi Ayu Utami juga tidak lantas membuat mereka senantiasa menerima atau menyetujui sepenuhnya pesan-pesan dalam novel Pengakuan. Perbedaan dinamika pada masing-masing audiens dipengaruhi semesta teks yang di dalamnya antara lain kebiasaan bermedia audiens, pengaruh konten fiksi, dan pengalaman kultural. Namun, ketiga hal tersebut tidak cukup kuat menggerakkan audiens untuk membuat teks baru. Audiens harus memiliki motivasi reproduksi pengetahuan (reproduction of knowledge) untuk dapat menggerakkan mereka dalam membuat teks baru. Motivasi reproduksi pengetahuan ini yang menjadikan pembaca sebagai prosumer atau konsumer yang menjadi produser dalam sirkulasi penggunaan media. Dalam penelitian ini, informan yang menggebu-gebu dalam menyukai Ayu Utami berada dalam posisi dominan seperti Astri dan Dicky. Namun, ada juga informan yang mengaku menyukai Ayu Utami justru berada dalam posisi negosiasi, seperti Imran. Sementara informan yang tidak terlalu menyukai Ayu Utami, seperti Rina berada dalam posisi negosiasi. Adapun informan yang merupakan pembaca pemula seperti Esti dan pembaca yang menyukai sekaligus skeptis pada Ayu Utami seperti Tiyar yang berganti-ganti posisi pembacaan. Dalam isu pernikahan, Esti berada di posisi negosiasi, sementara Tiyar berada dalam posisi dominan. Namun, pada isu keperawanan, Esti justru berada di posisi dominan dan Tiyar berada di posisi negosiasi. Audiens juga memiliki pandangan yang beragam terkait karakter-karakter dalam novel. Karakter-karakter utama tersebut dikategorikan sebagai perempuan yang melawan nilai-nilai tradisional dan perempuan yang menganut nilai-nilai tradisional. Selain itu, adapun karakter laki-laki yang menjadi simbol patriarki dan laki-laki baru dalam relasi kesetaraan. Dari hasil penjabaran audiens, perbedaan gender tidak memberikan pengaruh terhadap pemaknaan mereka karena informan perempuan tidak selalu mendukung karakter perempuan, bahkan ada yang mengkritik, sebaliknya demikian dengan informan laki-laki. Adapun faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi pembaca untuk
189
bersimpati dengan karakter-karakter tersebut, antara lain: (1) Kedekatan atau proksimitas antara audiens dengan karakter tersebut; (2) Karakter menjadi representasi fantasi audiens; dan (3) Pembaca dapat menunjukkan sikap tidak bersimpati terhadap karakter-karakter apabila memiliki sikap skeptis, sikap defensif, dan karakter-karakter tersebut tidak memenuhi harapan audiens. Secara umum, posisi laki-laki dan perempuan yang ditampilkan dalam teks tidak dapat dikategorikan dalam bentuk hierarki. Pembaca yang berada dalam dikotomi lakilaki dan perempun juga memberikan pandangan yang lebih bersifat negosiasi daripada justifikasi. Dalam
memaknai
isu
pernikahan
dan
keperawanan,
informan
menggunakan pengalaman pribadi, referensi media massa, interaksi dengan keluarga, dan berkaca pada keadaan budaya dan agama masing-masing. Faktorfaktor tersebut tentunya berbeda-beda pada tiap informan sehingga mereka memiliki pemaknaan yang beragam pula. Sebagian pemaknaan informan juga berasal dari bidang studi yang dipelajari selama menempuh pendidikan tinggi. Posisi pembacaan dari keseluruhan informan berimbang. Perbedaan gender memperlihatkan bahwa dalam isu pernikahan yang berada lebih banyak dalam posisi dominan adalah laki-laki (2:1), sementara yang berada dalam posisi negosiasi adalah perempuan (2:1). Artinya, informan laki-laki menyepakati altenatif nilai yang diajukan Ayu Utami dalam pernikahan sementara perempuan justru memperlihatkan sikap negosiasi. Dalam hal ini, budaya patriarki telah membebani laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga yang menyebabkan mereka harus berjuang dalam mencari nafkah. Di masa seperti sekarang, persaingan dunia kerja dan kerasnya hidup membuat laki-laki tertekan untuk menjadi yang utama dalam keluarga dan masyarakat. Pembagian peran dalam rumah tangga yang fleksibel membuat mereka melepaskan beban itu. Di lain sisi, budaya patriarki telah membentuk perempuan dalam ambiguitas: di satu sisi ingin mandiri, namun di sisi lain masih terlena dengan kenyamanan dan ketergantungan yang ditawarkan suami sebagai pemimpin keluarga. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi posisi dominan pembaca antara lain: (1) Loyalitas terhadap penulis, (2) Tradisi membaca, (3) Relasi dalam
190
keluarga, dan (4) Ideologi tentang humanisme yang menghubungkan dengan feminisme. Hal ini menunjukkan terjadi pergeseran pandangan terhadap jenis pernikahan tradisional yang hierarki (alliance marriage) menuju pernikahan yang setara dengan pembagian peran yang fleksibel (seesaw marriage). Di sisi lain, faktor-faktor yang mempengaruhi posisi negosiasi pembaca, antara lain: (1) Kurangnya loyalitas terhadap penulis; (2) Terbatasnya tema-tema novel yang dibaca, (3) Kurangnya kedekatan latar belakang (budaya, agama, ideologi, pengalaman hidup, jenis kelamin, dll) dengan penulis yang membuat audiens tidak dapat memaknai konteks yang diajukan penulis; dan (4) Adanya negosiasi antara pembaca dengan teks; (5) ideologi pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa audiens memadukan jenis pernikahan tradisional dengan pernikahan yang setara. Dalam isu keperawanan, posisi pembacaan berkebalikan dari posisi pembacaan terhadap isu pernikahan. Perbedaan gender memperlihatkan bahwa dalam isu keperawanan yang berada lebih banyak dalam posisi dominan adalah perempuan (2:1), sementara yang berada dalam posisi negosiasi adalah laki-laki (2:1). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan masih merasakan tekanan masyarakat terhadap idealisasi keperawanan perempuan. Di lain sisi, laki-laki meskipun menganggap bahwa selaput dara tidak penting mereka tetap menganggap keperawanan perempuan dan laki-laki harus dijaga demi kebaikan bersama. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi posisi dominan pembaca antara lain: (1) Pengaruh novel-novel tentang perempuan, khususnya yang membahas seksualitas telah membuka pandangan pembaca tentang kesadaran tubuh perempuan; (2) Tipe novel otobiografi yang membuat pembaca kurang kuat mengkritisi teks yang diajukan Ayu Utami; (3) Pengaruh budaya dan lingkungan yang memberikan pengalaman-pengalaman yang menggugah rasa keadilan audiens; dan (4) Ideologi. Hal ini menunjukkan audiens telah memisahkan konsep selaput dara dalam idealisasi keperawanan dan tidak mempersoalkan tentang keperawanan seseorang. Pembaca di posisi dominan memiliki pandangan bahwa kontrol tubuh terletak pada individu bukan pada masyarakat yang bertolak belakang dengan konsep pertukaran perempuan (exchange of women) yang selama
191
ini mengidealkan keperawanan perempuan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi posisi negosiasi pembaca, antara lain: (1) Novel-novel tentang isu perempuan tidak selalu dimaknai positif; (2) Pembaca lebih kuat mengkritisi teks yang diajukan Ayu Utami meskipun Pengakuan merupakan tipe novel otobiografi. Hasilnya adalah sikap negosiasi dengan mengaitkan hal-hal yang bersifat teknis dengan yang esensial; dan (3) Pengaruh budaya dan lingkungan audiens yang memberikan pertimbanganpertimbangan dalam mengambil keputusan terkait isu keperawanan. Hal ini menunjukkan bahwa pembaca tetap memegang konsep keperawanan sebagai nilai sekalipun mereka tidak lagi menganggap keperawanan sebagai tolak ukur untuk menilai seseorang. Pembaca di posisi negosiasi tetap memegang konsep pertukaran perempuan (exchange of women) namun bukan dalam pandangan untuk merendahkan perempuan atau laki-laki namun untuk menjaga posisi sosial seseorang dalam pernikahan maupun masyarakat. Novel tidak akan dianggap berpengaruh terhadap audiens tanpa adanya tindakan memaknai sebagai suatu negosiasi terhadap teks yang dimaknainya. Teks baru dapat berupa pemikiran baru dalam bentuk diskusi dan membuat teks baru dengan menggunakan media lain. Penelitian ini mengambil konsep teks baru yang kedua untuk secara spesifik ditelusuri. Dari enam informan, terdapat tiga audiens yaitu Esti, Rina, dan Imran yang membuat teks baru yaitu refleksi, resensi, dan cerpen dengan menggunakan new media yaitu blog dan cerpen. Tiga audiens yang berada dalam level diskusi dengan orang lain adalah Astri, Dicky, dan Tiyar. Berdasarkan penjabaran di atas, ada tiga faktor yang menyebabkan audiens membuat teks baru sebagai sikap negosiasinya, antara lain: (1) Audiens terpengaruh dengan teks dan pengalamannya; (2) Keinginan audiens untuk melatih diri dalam mengembangkan wawasannya; dan (3) Ada hal-hal yang menarik dalam novel yang mengundang kontroversial baik dari audiens sendiri maupun yang umumnya sudah ada dalam masyarakat. Pembuatan teks baru membuktikan keterlibatan audiens yang tidak hanya mencakup antara dirinya dengan teks tetapi dirinya dengan orang lain. Penelitian ini setidaknya menunjukkan bahwa novel yang ditulis oleh
192
penulis perempuan dan mengandung kritik sosial ternyata diterima dan dinegosiasikan oleh audiens. Setiap penulis perempuan yang menyampaikan pesan kritik sosial dalam karya-karyanya tentu berharap pesan tersebut tersampaikan dan diterima oleh masyarakat luas. Lebih jauh lagi, mereka juga berharap pesan kritik sosial dalam novel tersebut dapat membawa perubahan. Dalam hal ini, Ayu Utami berusaha memberikan alternatif-alternatif baru yang mengubah pandangan dalam melihat relasi antara laki-laki dan perempuan. Penelitian ini berada dalam area critical research dalam ilmu komunikasi yaitu penelitian yang bertujuan melakukan kritik terhadap kekuasaan, mengubah pandangan masyarakat, dan emansipatoris. Manfaat penelitian ini secara pragmatis, antara lain: (1) Menunjukkan perubahan wawasan generasi muda Indonesia dalam memandang isu pernikahan dan keperawanan; serta (2) Membantu memberdayakan dan membebaskan pandangan perempuan dan lakilaki yang terkungkung dengan nilai sosial terkait pernikahan dan keperawanan yang membelenggu. Hasil penelitian ini telah menunjukkan pandangan generasi muda yang pelan-pelan bergeser dari model pernikahan tradisional yang menempatkan peran suami lebih tinggi dari peran istri menuju model pernikahan modern yang menempatkan peran suami dan istri yang setara dan fleksibel dalam menjalankan peran-perannya. Pandangan mengenai idealisasi keperawanan perempuan yang selama ini diagung-agungkan masyarakat juga perlahan-lahan memudar. Generasi muda mulai melihat bahwa konsep idealisasi keperawanan bukan menjadi ukuran untuk menilai seseorang. Pernikahan dilihat sebagai jenjang yang dimasuki dengan penuh kesadaran bukan karena tuntutan untuk menyenangkan masyarakat sementara keperawanan berada dalam kontrol yang secara sadar dimiliki individu. Nilai idealisasi keperawanan seharusnya tidak lagi menghakimi seseorang karena pilihan-pilihan menyangkut seksualitas mereka. Isu pernikahan dan isu keperawanan dipilih karena kenyataannya kedua hal inilah yang paling banyak menimbulkan permasalahan dalam masyarakat. Ayu Utami mengatakan bahwa sastra adalah usaha mencari bentuk estetik bagi kejujuran. Keberaniannya dalam menulis sebuah novel otobiografi dengan mengangkat persoalan seksualitas dan spiritualitas telah diapresiasi oleh
193
audiensnya. Ada dari mereka yang berubah pandanganya dalam memandang pernikahan dan keperawanan, ada yang mendapatkan penguatan atau afirmasi atas pemikiran mereka yang ternyata sama dengan tokoh A dalam Pengakuan, dan ada juga yang mengaku sepakat tetapi masih bernegosiasi dengan realita yang ada. Penelitian ini menunjukkan dua hal utama: (1) Isu pernikahan dan keperawanan dalah novel Pengakuan telah mengubah wawasan, menguatkan pemikiran, dan memberikan alternatif nilai bagi audiens dalam memandang pernikahan dan keperawanan; (2) Adanya sikap dominan audiens dalam memaknai novel yaitu audiens senantiasa mencari titik temu atau mendamaikan antara teks yang mereka maknai, diri mereka sendiri, dan apa yang terjadi di sekitarnya. Pada akhirnya, studi-studi tentang makna menunjukkan bahwa manusia tidak mudah untuk disederhanakan.
B. Saran Setelah melakukan penelitian ini, peneliti memiliki beberapa saran yang ditujukan untuk penelitian selanjutnya maupun untuk keperluan keilmuan lainnya, antara lain: 1. Metode pengumpulan data tidak hanya dengan in-depth interview tetapi juga menggunakan metode etnografi untuk mendapatkan hasil yang lebih luas dan menyeluruh dari relasi antara novel dan audiens. Hal ini dilakukan untuk menelusuri seberapa jauh novel sebagai media mempengaruhi pemikiran dan perilaku audiens. 2. Penelitian sejenis dengan menggunakan isu-isu lain yang berhubungan dengan keadaan sosial-kultural dalam masyarakat seperti penerimaan terhadap homoseksualitas atau toleransi dalam beragama dengan tujuan mengetahui arah perubahan wawasan masyarakat terhadap isu tersebut. 3. Keterlibatan informan yang lebih beragam dalam penelitian yang mengangkat isu pernikahan. Informan tidak saja dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan gender tetapi juga orientasi seksual. Isu pernikahan berada dalam lingkup heteronormatif sehingga perlu ada penelitian yang membuka ruang bagi konsepsi hubungan pasangan homoseksual.
194