BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Kondisi sehat individu tidak bisa hanya dilihat dari kondisi fisik saja melainkan juga kondisi mental dan kondisi sosial. Dalam kasus anak-anak yang mengidap HIV/AIDS memperhatikan kondisi mental dan sosial sangat penting karena melihat banyak penelitian yang menemukan bahwa anak-anak penderita HIV/AIDS sering kali mengalami masalah mulai dari kondisi kesehatan yang buruk, tidak mendapat perawatan yang semestinya, tidak diterima di sekolah bahkan ada yang dipekerjakan diusia yang masih belia. Di Indonesia untuk mengatasi permasalah yang dihadapi oleh ODHA pemerintah telah mengeluarkan sebuah layanan yang dinamakan Layanan Komprehensif Berkesinambungan yaitu sebuah layanan yang terdiri dari layanan promotif , preventif, kuratif dan rehabilitatif. Untuk menganalisa Layanan Komprehensif Berkesinambungan dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori aksi dari Talcott Parsons. Kondisi ADHA yang tinggal di Rumah Singgah Lentera peneliti membaginya menjadi kondisi fisik, mental dan konsisi sosial. Rata-rata kondisi fisik ADHA yang ada di Rumah Singgah Lentera baik karena mereka semua mendapatkan perawatan dengan terapi ARV yang memadai selain itu mereka juga mendapatkan hak-hak mereka sebagai anak yaitu mendapatkan akses pendidikan. Sementara kondisi mental atau psikologis ADHA yang ada di Lentera juga baik karena ADHA yang ada di Lentera rata-rata belum tahu tentang penyakit HIV yang diderita hanya satu orang saja yang berumur 14 tahun mengalami masalah psikologis setelah mengetahui dirinya mengidap HIV. Sedangkan kondisi sosial ADHA yang ada di Lentera juga baik, anak-anak yang belum tahu tentang kondisinya bisa membaur dengan orang asing yang datang ke Rumah Singgah Lentera sedangkan kondisi salah satu anak yang sudah mengatahui kondisinya yang positif HIV mengalami masalah interaksi sosial dimana dia cenderung menutup diri dan tidak mau membaur dengan orang lain yang baru di kenal.
2. Ada 4 aspek Layanan Komprehensif Berkesinambungan yang diberikan oleh Rumah Singgah Lentera : a. Layanan promotif Layanan promotif dilakukan dengan cara memberikan sosialisasi secara langsung kepada masyarakat melalui kegiatan di tingkat RT RW, keluarahan, sekolah-sekolah. Selain itu pemberian infromasi juga dilakukan melalui media pamflet, leaflet, stiker, poster yang di bagikan dan dipasang di tempat umum. b. Layanan Preventif Untuk mencegah penularan HIV kepada masyarakat pemerintah telah meluncurkan program PPIA. Yang dilakukan oleh Rumah Singgah Lentera untuk mendukung program PPIA adalah melalui upaya promotif untuk mencegah penularan virus HIV di masyarakat khusunya pada perempuan usia produktif yang beresiko. Selain itu untuk mencegah penularan dari ibu ke bayi Rumah Singgah Lentera juga memberikan konseling bagi ODHA yang memiliki keturunan agar anaknya tidak tertular HIV. c. Layanan Kuratif Layanan Kuratif yang diberikan kepada ADHA di Rumah Singgah Lentera yang utama adalah dengan terapi ARV lalu ADHA juga diberikan pengobatan penunjang untuk mengobati infeksi oportunistik yang di derita. d. Layanan Rehabilitatif Layanan Rehabilitatif yang diberikan kepada ADHA berupa pemenuhan kebutuhan dasar, pemenuhan hak-hak mereka sebagai anak untuk bisa mengakses pendidikan dan juga pemenuhan hak untuk mendapat kasih sayang mengingat kondisi mereka sebagai yatim piatu. 3. Hasil yang dicapai Layananan Komprehensif Berkesinambungan terhadap. Meningkatnya kesadaran masyarakat untuk tes HIV, Meningkatnya pengetahuan perempuan usia produktif yang beresiko, Mencegah penularan dari ibu positif yang didampingi Rumah Singgah Lentera ke anak yang
dikandungnya, Meningkatnya kondisi kesehatan ADHA, Berkurangnya infeksi oportunistik yang di derita ADHA, Terpenuhinya kebutuhan dasar (sandang, papan dan pangan) bagi ADHA, Akses bagi ADHA untuk bersekolah lagi, Terpenuhinya kebutuhan psikologis (kasih sayang) ADHA. 4. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan LKB di Surakarta yang pertama adalah keterbatasan sumber daya manusia yang terjun dalam penanggulangan HIV/AIDS di kota Surakarta, yang kedua masalah pendanaan yang sampai saat ini masih bergantung pada bantuan founding dari luar negeri sedangkan APBD belum banyak berkontribusi. Yang ketiga adalah ketersediaan obat HIV yang belum semua tersedia di Kota Surakarta dan keberadaan fasilitas kesehatan yang belum memadai. B. Implikasi 1. Implikasi Praktis Masalah HIV/AIDS di era globalisasi saat ini telah menjadi isu yang masih menjadi sulit untuk diatasi. Perubahan sosial di masyarakt telah mengakibatkan pergeseran dimana saat ini penderita HIV bukan hanya dari kelompok-kelompok beresiko saja. Yang lebih mencengangkan adalah jumlah penderita HIV saat ini paling banyak dari kalanan ibu rumah tangga. Banyaknya ibu rumah tangga yang teinfeksi HIV berpotensi menularkan HIV pada anak yang dikandungnya jika tidak mendapat perawatan medis yang benar. Infeksi HIV pada anak memunculkan masalah baru. Dari penelitianpenelitian yang terdahulu ditemukan anak-anak yang menderita HIV harus menjadi yatim akibat orangtuanya meninggal akibat AIDS, selain itu mereka juga harus mendapat penolakan dari keluarga, sekolah , dan lingkungannya. Anak-anak penderita HIV juga banyak yang ditemukan dengan kondisi kesehatan yang buruk dan tidak mendapat perawatan medis yang semestinya. Untuk menciptakan kualitas hidup ADHA yang baik bukan hanya persoalan sehat secara fisik saja. Masalah-masalah yag dihadapi ADHA membuat kesehatan mntal dan sosial mereka terganggu. Untuk itulah Pemerintah melalui Kementrian Kesehatan membuat suatu layanan yang mencakup pemberian informasi HIV (Promotif), Preventif (Pencegahan),
Pengobatan (Kuratif) dan Perawatan dan Dukungan (Rehabilitatif) yang termuat dalam Layanan Komprehensif Berkesinambunga dengan melibat setiap elemen mulai dari stakeholder, LSM, Tokoh Masyarakat dll. LKB hadir untuk menciptakan kondisi ODHA yang sehat secara utuh yakni sehat fisik, mental, dan sosial. Dalam pelaksanaannya LKB terhadap ADHA di Kota Surakarta nampaknya belum memberikan hasil yang maksimal terbukti dengan masih adanya stigma dan diskriminasi yang diberikan kepada anakanak yang menderita HIV di Rumah Singgah Lentera. Masalah stigma dan diskriminasi yang dialami oleh anak dengan HIV/ADIS di Rumah Singgah Lentera berakibat pada kondisi sosial dan metalnya. 2. Implikasi Teoritis Dalam menganalisa pelaksanaan LKB penulis menggunakan teori aksi dari Talcott Parsons. Penulis menganalisis LKB dengan menggunakan skema tindakan seperti yang dijelaskan oleh Parsons. Dalam skema tindakan itu terdapat komponen-komponen sebagai berikut : a. Aktor dalam pelaksanaan LKB merupakan orang-orang yang memiliki peran dalam pelaksanaan LKB baik dari stakeholder maupun pihak swasta atau LSM seperti KPA, Dinas Kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas, KDS Solo Plus, Rumah Singgah Lentera dll. aktor-aktor dalam hal ini tidak bisa berjalan sendiri-sendiri melainkan berhubungan satu sama lain dalam melaksanakan LKB. b. Seperti yang dijelaskan oleh Parsons bahwa setiap tindakan pasti memiliki tujuan-tujuan yang hendak dicapai begitupun dalam pelaksanaan LKB memiliki tujuan yang termuat dalam pedoman Layanan Komprehnsif Berkesinambungan HIV & IMS yang dirilis oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia yaitu : 1) Meningkatkan
akses
dan
cakupan
terhadap
upaya
promosi,
pencegahan, dan pengobatan HIV & IMS serta rehabilitasi yang berkualitas dengan memperluas jejaring layanan hingga ke tingkat puskesmas,termasuk layanan untuk populasi kunci.
2) Meningkatkan pengetahuan dan rasa tanggung jawab dalam mengendalikan epidemi HIV & IMS di Indonesia dengan memperkuat koordinasi antar pelaksana layanan HIV & IMS melalui peningkatan partisipasi komunitas dan masyarakat madani dalam pemberian layanan sebagai cara meningkatkan cakupan dan kualitas layanan. 3) Memperbaiki dampak pengobatan antiretroviral dengan mengadaptasi prinsip “treatment 2.0” dalam model layanan terintegrasi dengan desentralisasi di tingkat Kabupaten/Kota. c. Tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi. Halhal yang termasuk dalam situasi ialah prasarana dan kondisi. Prasarana berarti fasilitas, alat-alat, dan biaya yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Sedangkan kondisi adalah halangan yang menghambat tercapainya tujuan. Prasarana yang digunakan untuk melaksanakan LKB adalah kondom sebagai alat pencegahan HIV, Terapi ARV, penyediaan fasilitas kesehatan yang sudah support LKB serta pendanaan baik dari APBD maupun lembaga-lembaga lain. Sedangkan halangan dalam pelaksanaan LKB seperti yang termuat dalam hasil penelitian di atas yaitu terbatasnya sumber daya manusia yang terjun langsung menjadi relawan HIV/AIDS, kurangnya pendanaan, kurangnya koordinasi penanganan HIV antara daerah, serta masalah ketersediaan obat dan fasilitas layanan HIV yang belum maksimal. d. Skema yang terakhir ini merupakan hal yang paling penting menurut Parsons dimana untuk mencapai tujuan aktor harus memenuhi sejumlah standar yang telah ditentukan. Dalam hal ini standar-standar normatif dapat berbentuk peraturan yang dibuat sebagai pedoman dalam pelaksanaan LKB. Kementerian Kesehatan RI sudah merilis panduan pelaksanaan LKB yang dapat menjadi acuan bagi aktor dalam pelaksanaan LKB. Selain itu pemerintah Kota Surakarta juga membuat Peraturan Daerah No 12 Tahun 2014 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Panduan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak yang dirilis Kementerian Kesehatan RI, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS, Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 76 Tahun 2014 tentang strategi dan rencana aksi daerah penanggulangan hiv dan aids provinsi jawa tengah tahun 20142018 Menurut Parsons dalam melakukan tindakan individu atau kelompok dipengaruhi oleh 4 sistem yang pertama adalah sistem budaya yaitu berkaitan dengan nilai-nilai atau norma yang menjadi kesepakatan dalam masyarakat. Kedua adalah sistem sosial yang berkaitan dengan interaksi antar aktor dalam sebuah sistem. Ketiga adalah sistem kepribadian yang berkaitan dengan aktor/pelaku dalam sebuah sistem. Pusat perhatian dalam analisa ini adalah kebutuhan-kebutuhan, motif-motif, dan sikap-sikap seperti motivasi untuk mendapatkan kepuasan atau keuntungan. Keempat adalah sistem organisme. Sistem organisme berkaitan dengan sistem fisik manusia termasuk linunan dimana individu hidup. 3. Implikasi Metodologis Dalam
penelitian
yang
berjudul
Layanan
Komprehensif
Berkesinambungan Terhadap Anak dengan HIV/AIDS di Kota Surakarta ini peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif digunakan untuk memahami bagaimana pelaksanaan layanan komprehensif berkesinambungan terhadap Anak dengan HIV/AIDS di kota Surakarta. Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data yang tampak (Sugiyono, 2012 : 8-9). Studi kasus lebih dipahami sebagai pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau mengintepretasikan suatu ‘kasus’ dalam konteknya yang alamiah tanpa intervensi pihak luar. Diantara semua ragam studi kasus kecenderungan yang paling menonjol adalah upaya untuk menyororti suatu keputusan atau seperangkat keputusan yakni kenapa keputusan itu diambil, bagaimana itu diterapkan dan apa pula hasilnya (Schramm dalam Salim, 2006 : 118). Studi kasus sangat tepat untuk memahami bagaiamana Layanan Komprehensif
Berkesinambungan terhadap ADHA di Kota Surakarta untuk melihat bagaiamana pelaksananya dan bagaimana pula hasilnya. Untuk lokasi penelitian penliti memilih di Kota Surakarta karena melihat data yang dari KPA Kota Surakarta memiliki jumlah penderita dari kalangan ibu rumah tangga dan Anak yang yang terpapar Hiv cukup tinggi. Sedangkan untuk mengambil kasus ADHA peneliti memilih lokasi di Rumah Singgah Lentera yakni Rumah Singgah yang diperuntukan bagi ADHA yang yatim piatu. Saat ini Rumah Singgah Lentera telah merawat 9 ADHA dengan rentang usia paling kecil 1 tahun dan yang paling besar 14 tahun. Untuk mendapat data yang dapat diuji validitasnya yang membuktikan apakah permasalahan yang diteliti esuai dengan keadaan yang sebenarnya, untuk itu maka yang dilakukan oleh peneliti adalah mencari permasalahan yang sama dengan informan yang berbeda kemudian membandingkan hasil yang diperoleh. Peneliti lalu menggunakan teknik triangulasi yakni upaya pemeriksaan validitas data dengan memanfaatkan hal lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau perbandingan (Moleong, 2000 : 178). Peneliti melakukan validasi dengan membandingkan hasil wawancara dari Pengurus Rumah Singgah Lentera dengan ADHA yang tinggal di Rumah Singgah Lentera, Pengelola Program di KPA, serta perawat dan petugas administrasi yang bekerja di klinik VCT RSUD Dr. Moewardi. Selain itu peneliti juga membeandingkan data hasil wawancara dengan dokumen seperti jurnal dan data dari internet. Adapun kekurangan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Keterbatasan informan khususnya ADHA yang tinggal di Rumah Singgah Lentera yang masih berusia 6 tahun dan 10 tahun di tambah pula belum mengerti tentang kondisinya yang menderita HIV sehingga peneliti tidak bisa menggali informasi dengan maksimal. Selain itu pertimbangan kondisi psikologis ADHA yang tinggal di Rumah Singgah Lentera membuat peneliti tidak bisa memberikan pertanyaan yang terlalu sensitif yang kaitannya dengan masalah stigma dan diskriminasi.
2. Keterbatasan waktu yang dimiliki informan karena sebagian informan karena berbenturan dengan waktu kerja sehingga mengakibatkan wawancara menjadi kurang maksimal sehingga peniliti harus mencari informan lain untuk mendapatkan data atau mengulang wawancara lagi untuk mendapatkan data yang dinginkan. 3. Keterbatasan peneliti untuk bisa menemukan keluarga ADHA yang tinggal di Rumah Singgah Lentera mengingat kondisi merka yang sudah yatim piatu dan juga banyak dari mereka yang tidak diterima oleh keluarganya. C. Masukan Sebagai penutup dalam penelitian tentang Layanan Komprehensif Berkesinambungan terhadap Anak dengan HIV/AIDS di Kota Surakarta berikut adalah masukan yang dapat diberikan peneliti : 1. Kepada stakeholder Diharapkan stakeholder yang memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Kota Surakarta lebih memperioritaskan masalah
HIV/AIDS dalam pengambilan keputusan
terutama masalah-masalah yang dihadapi oleh Anak dengan HIV/AIDS karena mengingat penderita HIV di Kota Surakarta semakin hari semakin meningkat. Stakeholder juga diharapkan meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait mulai dari LSM, kelompok-kelompok beresiko, tokoh masyarakat dan relawan-relawan yang terjun langsung dalam penanganan masalah HIV/AIDS di Kota Surakarta. 2. Kepada relawan HIV/AIDS Kepada relawan yang terjun langsung dalam mendampingi Anak dengan HIV AIDS di Kota Surakarta diharapkan supaya meningkatkan jangkauan dalam pendampingan terhadap ADHA mengingat jumlah ibu rumah tangga dan anak yang terpapar HIV/AIDS semakin hari semakin banyak dan belum terjangkau oleh pemerintah dan relawan. Juga diharapkan relawan HIV baik dari LSM maupun kelompok-kelompok beresiko bisa melibatkan pihak lain
seperti akademisi dalam melakukan pendampingan terhadap ADHA untuk mengatasi keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki. 3. Kepada akademisi Kepada Akademisi baik dosen maupun mahasiswa diharapkan akan lebih banyak yang mengangkat tema masalah sosial yang dihadapi anak-anak penderita HIV/AIDS karena saat ini di Indonesia khususnya masih jarang sekali yang mengangkat masalah sosial yang dihadapi ADHA. Diharapkan jika banyak yang melakukan penelitian dengan tema Anak dengan HIV/AIDS dan dipublikasikan melalui media cetak maupun internet akan membantu penyampaian informasi tentang HIV/AIDS kepada masyarakat. Selain itu hasil dari penelitian juga bisa menjadi bahan edukasi serta menjadi bahan acuan bagi pemangku kebijakan dalam pengambilan keputusan.