Bab V PENUTUP A. Kesimpulan Keseluruhan paparan dalam tulisan ini menaruh hasrat yang besar untuk mengetengahkan fenomena kemiskinan sebagai sebuah derita yang membelenggu masyarakat dampak tambang di Kecamatan Sekongkang, Kabupaten Sumbawa Barat. Hasil temuan menujukkan bahwa kemiskinan yang terjadi di daerah dampak tambang merupakan produk yang dihasilkan oleh kompromi dan perselingkuhan mesra yang terjadi antara elit-elit lokal bersama korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara). Perlu diakui bahwa masyarakat lokal di Kecamatan Sekongkang pada mulanya adalah penduduk miskin, namun kemiskinan ini semakin merajalela akibat desain kemiskinan yang sengaja diciptakan untuk menghisap hak-hak masyarakat lingkar tambang. Menarik untuk diinformasikan bahwa kemiskinan telah terjadi sejak awal kedatangan PT. Newmont Nusa Tenggara, yang ditandai dengan terjadinya perampasan dan pemaksaan penjualan tanah rakyat untuk dijadikan areal tambang. Proses pembebasan tanah dilakukan tanpa permisi dan musyawarah. Setelah mendapat reaksi dari masyarakat, barulah dilakukan pemanggilan satu per satu terhadap pemilik tanah. Mirisnya tindakan anarkis itu justru dilakukan oleh elit-elit lokal bersama oknum kepolisian sewaan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) untuk mengancam bahkan mengintimidasi rakyat yang enggan untuk menjual tanah garapannya, yang menyebabkan masyarakat menderita secara psikologis. Masyarakat bahkan tidak tahumenahu akan beroperasinya mega proyek tambang di Kecamatan Jereweh saat itu, karena kesepakatan keberadaan tambang merupakan hasil persetujuan elit-elit pusat yang direstui oleh pemerintah daerah dengan mengabaikan masyarakat lokal. Hal ini merupakan sebuah bukti betapa elit nasional dan elit lokal kita membuka pintu selebar mungkin untuk masuknya kontrol asing. Para elit lokal berkeyakinan bahwa keberadaan proyek eksplorasi PT. Newmont Nusa Tenggara akan berkontribusi terhadap kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Mudah diprediksi kesejahteraan dan kemajuan mutlak menjadi milik paraelit lokal bukanlah masyarakat, hingga saat ini masyarakat lokal merasa bertambah miskin karena kesulitan untuk menyediakan pangan karena banyak dari tanah warga yang telah berubah menjadi areal tambang.
xvii
Perselingkuhan mesra antara elit lokal dengan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) tidak hanya memicu terjadinya kemiskinan, namun berhasil merusak tatanan sosial-budaya, politik dan ekologi Kecamatan Sekongkang tanpa ampun seperti yang telah dijelaskan pada Bab II. Bila kondisi di atas terus terjadi bukan tidak mungkin kalau masyarakat di Kecamatan Sekongkang akan terus mengalami kemiskinan yang “terprogram”, sistematik dan jangka panjang disebabkan karena keserakahan dari para pemimpin yang bodoh. Realitas ini tentu mencemaskan, namun anehnya segenap stakeholders apalagi pihak korporasi PT. Newmont Nusa Tenggara merasa lupa atas ekternalitas negatif yang telah ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan tersebut. Persekongkolan yang dibangun oleh para predator yang korup (kepala desa, pihak kecamatan, tokoh-tokoh lokal, pengusaha-pengusaha lokal serta pemerintah daerah) berkolaborasi dengan PT. Newmont Nusa Tenggara menciptakan pilihan kemiskinan yang semakin merajalela. Lingkaran setan ini dibangun dengan apik mengatasnamakan masyarakat dengan menggadaikan harta dan masa depan generasi berikutnya tanpa manusiawi. Para predator yang serakah itu cenderung kompromistis dalam melacurkan kekuasaan dan kewenangannya untuk memperoleh margin keuntungan pribadi dan golongan meskipun dengan mengangkangi hak-hak masyarakat lokal. Seperti diuraikan di Bab III, bahwa pemerintah daerah dan PT. Newmont Nusa Tenggara menjalin hubungan simbiosis mutualisme yang ditunjukkan dengan menjadikan pilkada 2005 tidak hanya sebagai momen euforia demokrasi, melainkan sebagai arena transaksi bisnis-politik untuk saling memenuhi kepentingan dan keuntungan masing-masing. Pihak perusahaan memberikan jaminan biaya kampanye kepada seluruh calon kandidat bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) saat itu. Calon yang terpilih kemudian akan menjadi fasilitator kepentingan PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai bentuk balas jasa atas pemberian dana kampanye. Uang pelumas yang diberikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara terhadap seluruh kandidat bupati diprediksi besar, namun peneliti tidak berhasil menemukan kandidat yang mempoleh uang sogokan paling besar. Berkat uang pelumas tersebut dipastikan akan terjadi kolusi terselubung antara predator politik dengan predator ekonomi, bisa jadi korporasi dapat melakukan pemesanan kebijakan yang bersesuaian dengan kepentingan PT. Newmont Nusa Tenggara.
xvii
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat beserta kroninya sedang mengalami krisis integritas karena melakukan penghambaan secara berlebihan terhadap rezim pasar (PT.NNT), para pejabat publik yang idiotik itu lebih memilih berselingkuh dengan para kapitalis ketimbang mencari kiat cerdas untuk mengelola sumber daya alam lokal tanpa memiskinkan masyarakat. Predatory state menjadi penyebab utama keterbelakangan yang menimpa masyarakat dampak tambang. Elit daerah-desa begitu bernafsu dalam memaksimalkan kekuasaannnya untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompok-kelompok tertentu. Sehingga mudah diperkirakan bahwa pemerintahan Bupati Zulkifli-Mala Rahman memiliki keberpihakan yang terlampau tinggi terhadap PT. Newmont Nusa Tenggara sehingga dengan kalap memberikan segala kemudahan yang dapat mendukung berlangsungnya operasi perusahaan Batu Hijau tersebut, pun sebaliknya PT. NNT juga tidak kalah hebatnya dalam membeli pemerintahan yang korup dengan menyediakan anggaran hibah sebesar 9 Juta USD untuk menjalankan pembangunan yang berkedok kemaslahatan masyarakat, namun nyatanya proyek pembangunan itu ditujukan untuk memenuhi kepentingan pribadi dari para predator lokal tersebut. Praktek korupsi dan kongkalikong antara elit desa, pihak kecamatan dengan pihak PT. Newmont Nusa Tenggara tidak kalah menghebohkan, mereka beramai-ramai melakukan pengingkaran terhadap nasib kerja masyarakat dampak tambang dengan menempatkan keluarga pihak perusahaan dan keluarga elit desa sebagai prioritas. Kejahatan keji yang dilakukan bersama oleh Newmont dan kepala desa-lurah adalah memperdagangkan kuota pribumi untuk menjadi karyawan yang seharusnya dinikmati tanpa pungutan harga, para predator serakah itu menjual kesempatan masyarakat lokal untuk menjadi karyawan seharga 3-10 juta per kepala. Realitas keji ini menjerumuskan masyarakat dampak tambang menjadi semakin miskin karena mereka tidak diberikan ruang untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Upaya pemiskinan tidak hanya dilakukan oleh aktor formal, namun dipraktekkan pula oleh tokoh-tokoh lokal yang mengabdi kepada PT. Newmont Nusa Tenggara. Tokoh-tokoh lokal dalam hal ini tokoh adat ataupun tokoh agama diangkat oleh korporasi (PT.NNT) untuk menempati posisi penting dalam manajemen perusahaan. Para tokoh lokal tersebut melakukan penukaran kedaulatan masyarakat lokal dengan posisi dan gaji besar yang diperolehnya dari perusahaan. Bahkan tokoh-tokoh lokal ini seringkali melakukan distorsi informasi dua arah timbal-balik antara korporasi dan masyarakat lingkar tambang. Posisi dan peran yang dijalankan xvii
oleh ‘tokoh lokal’ dalam perusahaan ini mengaburkan banyak persoalan penting yang berkaitan dengan operasi tambang dan hak-hak yang seharusnya dapat dinikmati dengan lebih baik oleh masyarakat lingkar tambang (MLT). Masyarakat lingkar tambang dilumpuhkan kekuatannya oleh korporasi bersama dengan tokoh-tokoh lokal. Elemen-elemen lokal semakin tidak memiliki posisi yang cukup kuat ketika berhadapan dengan PT.NNT. Tokoh-tokoh lokal yang berpihak kepada korporasi bertindak agresif dalam melawan masyarakat bahkan selalu berupaya untuk menyebarkan doktrin kebaikan atas nama perusahaan. Usaha-usaha yang dilakukan oleh masyarakat dampak tambang untuk dapat memperbaiki kualitas hidup kini semakin rumit, karena tidak ada aktor-aktor lain yang berusaha untuk membantu mewujudkan perbaikan itu. LSM yang semula berada pada garda terdepan dalam menentang keberadaan PT. Newmont Nusa Tenggara di Kecamatan Sekongkang kini turut bermesraan dengan korporasi. LSM seolah luluh dan mendukung penuh sikap pemerintah daerah-desa dalam membenarkan setiap tindakan perusahaan. Masyarakat kerapa kali mengeluh terkait inkonsistensi LSM dalam memerangi kemungkaran, ketika terdengar berita yang menguntungkan maka secara responsif LSM akan melakukan aksi dengan suara lantang mengkritik keburukan atas sikap pemerintah daerah-desa serta PT. Newmont Nusa Tenggara. Namun setelah mendapat suntikan dana dari perusahaan atau elit-elit tertentu seketika LSM akan bungkam bahkan seperti tidak terjadi persoalan apa-apa. Peneliti sungguh mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi LSM lokal mana yang benar-benar berpihak terhadap rakyat, rasanya susah untuk menemukan LSM lokal yang betul-betul kredibel dan tulus mengadvokasi persoalan masyarakat. Sulit pula untuk menemukan keberadaan dan jumlah LSM yang ada di Kabupaten Sumbawa Barat karena LSM hanya merebak ketika ada isu, namun setelah memperoleh sujumlah bayaran mereka menghilang. Skema Corporate Social Responsibility PT. Newmont Nusa Tenggara yang dijadikan sebagai penawar untuk mengeliminir persoalan kemiskinan di daerah dampak tambang diyakini tidak akan berhasil dikarenakan proses implementasi program CSR yang berlangsung selama ini cenderung tidak tepat sasaran. Artinya, skema CSR justru membuat masyarakat bertambah miskin karena program dan anggaran CSR justru dinikmati oleh penikmat yang tidak semestinya. Disamping itu, tidak bisa dinafikkan bahwa CSR (Corporate Social Responsibility) memiliki pesona yang memikat bagi banyak kepentingan termasuk kepentingan politik. Elit-elit politik xvii
baik yang berada di level kabupaten dan level desa berlomba menjalin hubungan baik dengan perusahaan (PT.NNT) dalam mengimplementasikan program moralitas perusahaan terhadap masyarakat. Pemerintah dengan kebaikan “setengah hati” selalu men-support Newmont karena adanya niatan terselubung untuk memanfaatkan CSR sebagai alat dan arena untuk melepaskan tanggungjawabnya terhadap masyarakat lingkar tambang dalam hal penyediaan public goods. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat apatis terhadap nasib masyarakat dampak tambang, para birokrasi picik itu menilai bahwa masyarakat dampak tambang tidak berhak memperoleh anggaran pembangunan dan sekaligus program pembangunan dikarenakan telah ada dana CSR dari industri ekstraktif (PT.NNT) yang tengah beroperasi disana. Dilain sisi, skema CSR yang diimplementasikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara merupakan sebuah kamuflase sekaligus politisasi sebagai alat untuk mengukuhkan dominasi dan kepentingan bisnisnya, berkolaborasi bersama elit-elit lokal yang bernafsu untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan. Skema CSR yang digembar-gemborkan sebagai kebaikan hati dari perusahaan merupakan bagian dari strategi untuk memaksimalisasi keuntungan. Sesuai dengan tabiat dasarnya sebagai institusi profit, kontribusi PT. Newmont Nusa Tenggara tidak pernah berdasarkan keikhlasan melainkan sebagai investasi sosial yang menjadi pilar keberlanjutan perusahaan. Sungguh mencemaskan, bahwa skema CSR PT.NNT tanpa sadar telah berhasil mengelabui semua pihak, seolah-olah PT. Newmont Nusa Tenggara hadir sebagai korporasi baik hati yang selalu mengedepankan masyarakat. Implementasi program-program Corporate Social Responsibility yang ditawarkan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara terasa sangat “hipokrit” karena tidak berhasil menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dampak tambang, anggaran yang besar diyakini akan mampu menciptakan pencapaian kualitas masyarakat justru pupus karena keberadaan skema CSR oleh perusahaan dimaknai sebagai alat untuk memperoleh lisensi sosial sekaligus sebagai alat pencitraan. Perusahaan menggelar program-program CSR tidak terlepas dari gangguan yang dilakukan oleh masyarakat yang merasa dirugikan akan aktivitas pertambangan, CSR kini mampu membungkam para pengusik perusahaan dengan cara membagi-bagikan uang. Tampak jelas bahwa CSR PT. Newmont Nusa Tenggara masih berorientasi pada pendekatan pragmatis demi keamanan operasi produksi korporasi.
xvii
Dari penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa watak sesungguhnya dari CSR PT. Newmont Nusa Tenggara bersifat karitatif dengan adanya pembinaan dan pemberdayaan yang terkesan setengah hati, masyarakat tidak dilatih dan dibina secara sungguh-sungguh. Melainkan dibina dan dilatih hanya untuk memenuhi syarat anggaran dan program semata, tanpa serius meningkatkan kualitas kapasitas masyarakat. PT. Newmont Nusa Tenggara meskipun bergerak sebagai orienasi profit, namun pelaksanaan CSR hendaknya dimaknai sebagai komitmen moral yang dapat menciptakan kemakmuran dan terwujudnya pembangunan sosial bagi masyarakat. Artinya program-program CSR harus dijalankan secara sungguh-sungguh dan tepat sasaran. Inti pembahasan yang ingin saya tegaskan disini adalah, bahwa keberadaan PT. Newmont Nusa Tenggara membawa manfaat positif bagi masyarakat yang memiliki pengaruh dan modal, seperti elit lokal dan pengusaha-pengusaha lokal. Sementara masyarakat dampak tambang harus menjadi masyarakat yang bertambah miskin karena dimiskinkan oleh para predator lokal baik formal maupun informal dan PT. Newmont Nusa Tenggara. Mereka bersama begitu berambisi untuk memenuhi nafsu keduniaan mereka dengan cara melakukan pemiskinan berlapis terhadap masyarakat dampak tambang. Masyarakat dampak tambang dimiskinkan oleh seluruh aktor melalui berbagai aspek: politik, ekonomi, sosial budaya dan ekologi yang dieksploitasi secara massif untuk kemakmuran segelintir pihak. Skema CSR yang dijadikan sebagai penawar kemiskinan justru hadir dalam bentuk kamuflase yang dipolitisasi oleh seluruh predator lokal tersebut. B. Rekomendasi Studi ini tidak bermaksud untuk menawarkan kerangka konseptual baru, namun menjadi terobosan menarik untuk melengkapi kajian-kajian sebelumnya dalam melihat fenomena kemiskinan di level lokal sebagai akibat dari perselingkuhan para elit-elit lokal bersama korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara). Gambaran kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Sekongkang, sebagai daerah dampak tambang menyuguhkan potrem buram pertambangan yang meminggirkan masyarakat lokal. Kondisi ini menjadi semakin tragis karena kebaikan hati dari elit-elit lokal yang cenderung memaknai kemiskinan sebagai ajang eksploitasi dan kolaborasi untuk memperkaya kocek pribadi dan golongan tertentu. Dengan kata lain mereka ini adalah para xvii
predator lokal yang bersama dengan PT. Newmont Nusa Tenggara turut melakukan politisasi terhadap agenda Corporate Social Responsibility (CSR). Skema CSR yang digaungkan sebagai penawar kemiskinan menjadi ladang politisasi dari para predator tesebut, sehingga fenomena kemiskinan menjadi pemandangan yang tidak terelakkan lagi. Persoalan kemiskinan di Kecamatan Sekongkang menjadi semakin kompleks karena adanya upaya pemiskinan yang tidak hanya dilakukan oleh predator formal tapi muncul pula dari para predator informal seperti pengusaha lokal serta tokoh-tokoh lokal yang kekuasaannya dibeli untuk menjadi kaki tangan korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara). Tidak hanya itu aktor yang seharusnya memainkan peran sebagai corong negara untuk melakukan advokasi agar masyarakat dampak tambang memperoleh keadilan kini memilih berpihak kepada pemerintah daerah-desa ataupun bermitra dengan korporasi (PT.NNT). kepentingan LSM tergadaikan demi uang untuk kelompok yang ada dalam LSM tersebut. Selain LSM, pihak kepolisian juga turut melakukan pengingkaran terhadap masyarakat lokal. Selama ini oknum kepolisian menjadi aktor yang reaktif melawan masyarakat ketika pihak korporasi (PT. Newmont Nusa Tenggara) berhadapan dengan masyarakat lokal yang melakukan aksi protes dan demo terhadap perlakukan diskriminasi perusahaan dalam rangka memperoleh penghasilan extra budget. Realitas kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Sekongkang menambah sumbangan kajian terhadap dinamika politik lokal, dimana politik dapat ditilik melalui bekerjanya para predator lokal baik formal maupun informal bersama korporasi (PT.NNT) dalam rangka melakukan pemiskinan terhadap masyarakat dampak tambang. Praktek predatory juga ditunjukkan oleh keserakahan mereka dalam melakukan politisasi terhadap skema Corporate Social Responsibility (CSR) PT. Newmont Nusa Tenggara yang keberadaannya justru memiskinkan masyarakat lokal. Program CSR PT. Newmont Nusa Tenggara yang tampil selama ini cenderung bersifat kamuflase dan tidak tepat sasaran. Realitas di atas memberi sumbangan untuk memperkaya teori predatory state yang aktornya tidak hanya berasal dari aktor formal namun dapat dilakoni oleh aktor-aktor informal, para predator formal dan informal itu semakin menguat dan serakah ketika mendapat dukungan dari pihak korporasi (PT.NNT) yang sama-sama memiliki orientasi profit sepanjang masa. Berbeda dengan masa Soeharto dimana praktek predatory state dilakukan
xvii
terbatas oleh penyelenggara negara. Demokrasi dalam manifestasi otonomi daerah di Kabupaten Sumbawa Barat menciptakan para predator baru dengan tingkah pola lama (old predatory). Untuk meminimalisir situasi di atas, perbaikan moral terhadap seluruh aktor formal dan informal menjadi titik yang paling krusial. Mengembalikan peran sesungguhnya dari setiap aktor dan instansi agar mampu membangun relasi yang harmonis dengan semua pihak demi perbaikan dan kemajuan masyarakat. Peneliti sesungguhnya merasa pesimis, karena entah sampai kapan akan hadir pemimpin dan birokrasi yang kuat dengan praktek hukum dan sistem politik yang mampu menjamin akuntabilitas. Untuk meminimalisir praktek predatory praktek hukum untuk memberantas birokrasi dan aktor yang korup sebenarnya harus ditegakkan. Keberadaan sektor tambang seharusnya dapat dimaksimalkan untuk perbaikan dan peningkatan kualitas masyarakat dengan cara menjalin relasi yang berkomitmen untuk perbaikan moral dan bertanggun jawab atas perubahan sosial budaya, lingkungan, politik kearah yang teratur dan terarah. CSR tidak hanya dipolitisi untuk kemaslahatan segelintir pihak namun harus dipolitisasi untuk kemaslahatan bersama. CSR dijadikan arena komplementer untuk mendukung program pemerintah daerah dan desa untuk mewujudkan program yang memandirikan masyarakat khususnya masyarakat dampak tambang. Substansi dari tulisan ini menghadirkan kompleksitas kajian politik lokal yang akan mengantarkan pembaca untuk memahami Indonesia tidak secara generalistik. Menjadi menarik untuk diiformasikan bagi peneliti ilmu politik lain yang berhasrat untuk melakukan kajian serupa untuk tetap menjadi intelektual yang jernih, kritis dan objektif meskipun harus berhadapan dengan penguasa dan pengusaha ‘penjilat’ yang kerap melukai hati rakyat, berkaryalah atas nama perjuangan dan kebenaran mewakili rakyat. Saya berpendapat bahwa seorang peneliti akan jauh lebih bermakna bagi masyarakat dengan tidak menjadi pengabdi kekuasaan. Artinya dalam membongkar kebobrokan para predator lokal dan kejahatan korporasi butuh jiwa keberpihakan terhadap rakyat karena tantangan yang akan dihadapi relatif sulit.
xvii