BAB V Penutup
A. Kesimpulan Dalam studi komunikasi antarbudaya, salah satu yang menarik untuk dikaji dan ditelaah lebih jauh adalah proses akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan latar belakang budaya yang berbeda. Dalam penelitian ini, mahasiswa Bugis dan mahasiswa Jawa menjadi objek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat kecendrungan akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh para mahasiswa Bugis ketika berinteraksi dengan mahasiswa Jawa. Kecendrungan akomodasi tersebut dapat dilihat melalui dua proses, yakni proses akomodasi komunikasi secara konvergensi dan proses akomodasi komunikasi secara divergensi. Adapun elemen-elemen dari kedua variabel di atas adalah elemen verbal dan non verbal. Berdasarkan temuan penelitian dan analisis terhadap temuan-temuan di lapangan maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa terdapat kecendrungan akomodasi komunikasi baik itu konvergensi maupun divergensi. Hal ini dapat kita lihat dari dua elemen di atas, di mana elemen verbal menjadi elemen yang paling menonjol yang menunjukkan adanya akomodasi komunikasi. Misalnya, pada saat Awal melakukan percakapan dengan temannya, Awal menggunakan bahasa Jawa seperti ‘piro iki’?, ‘neng ngendi’? dan ‘seko ngendi’. Selain itu Rahma juga terlihat menggunakan bahasa Indonesia dengan logat orang Jawa dengan baik, hal ini tidak terlepas dari kebiasaannya di kampung halamannya yang sudah terbiasa berinteraksi dengan orang Jawa yang ada di lingkungan tempat tinggalnya. Perbedaan budaya yang dimiliki dari kedua belah pihak menjadikan bahasa yang mereka gunakan juga berbeda. Baik bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia dengan logat orang Jawa menjadi bahasa outgroup bagi mahasiswa Bugis.
108
Berdasarkan hasil penelitian, mahasiswa Bugis terlihat menggunakan bahasa outgroup dalam berinteraksi dengan mahasiswa Jawa. Hal ini menunjukkan akomodasi komunikasi yang bersifat konvergen di mana mahasiswa Bugis mencoba untuk ‘menjadi seperti’ mahasiswa Jawa dalam berinteraksi. Bukan hanya itu, indikasi terjadinya akomodasi komunikasi secara verbal juga terlihat pada kelancaran bahasa yang dilakukan oleh mahasiswa Bugis. Hal ini terlihat ketika mahasiswa Bugis menjelaskan sesuatu dengan panjang lebar tanpa ada jeda atau interupsi dari seorang mahasiswa Jawa akibat tidak mengerti terhadap apa yang disampaikan oleh mahasiswa Bugis. Penggunaan bahasa outgroup dengan lancar menandakan bahwa mahasiswa Bugis melakukan akomodasi komunikasi dengan mahasiswa Jawa. Berdasarkan pengakuan Awal, hal tersebut ia lakukan karena sadar akan keberadaanya di tengah-tengah budaya Jawa sebagai budaya yang mayoritas, sehingga adaptasi sangat penting untuk dilakukan. Penggunaan bahasa outgroup dengan pengucapan seperti orang asli masuk dalam kategori komunikasi konvergensi secara verbal, begitupun dengan penggunaan bahasa outgroup dengan pengucapan ingroup. Dalam penelitian ini, mahasiswa Bugis seringkali terlihat menggunakan bahasa outgroup dengan pengucapan ingroup. Hal ini disebabkan karena ketidakterbiasaan mahasiswa Bugis menggunakan bahasa tersebut sehingga terdengar aneh ketika diucapkan. Meskipun begitu, hal ini tergolong ke dalam konvergensi secara verbal, karena adanya keinginan untuk meniru gaya bahasa outgroup meskipun terdengar aneh karena pelafalan bahasa ingroup. Selain itu, komunikasi yang konvergensi juga dapat kita lihat melalui bahasa tubuh atau non verbal. Komunikasi non verbal dapat dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain untuk bertukar makna yang dikirimkan dan diterima secara sadar untuk mendapatkan umpan balik atau respon agar tujuan dapat tercapai. Dalam penelitian ini, terdapat elemen-elemen non verbal yang dapat kita ketahui, yakni penolakan ingroup, dan senyuman, tatapan dan bahasa tubuh. Dari kedua elemen tersebut juga terlihat dalam interaksi yang dilakuakan oleh mahasiswa Bugis. Misalnya, penyebutan nama dengan menggunakan akhiran nama. Penggunaan
109
penyebutan nama dengan menggunakan akhiran nama orang tersebut bukan merupakan kebiasaan orang-orang Bugis dalam memanggil seseorang. Jadi bisa dikatakan bahwa hal ini merupakan strategi adaptasi yang dilakukan oleh mahasiswa Bugis terhadap lingkungan sekitarnya yang memiliki budaya yang berbeda dengan dirinya. penolakan ingroup juga mengindikasikan sikap keterbukaan diri terhadap budaya mayoritas. Selanjutnya dalam akomodasi komunikasi konvergen secara non verbal adalah senyuman, tatapan dan bahasa tubuh. Memulai percakapan dengan senyuman akan memberikan prasangka yang baik terhadap lawan bicara, ini akan menjadi modal utama dalam melakukan interaksi-interaksi selanjutnya, dan hal tersebut dilakukan oleh mahasiswa Bugis. Bukan hanya itu, posisi duduk dengan berdampingan juga turut mengirimkan makna bahwa ketika duduk berdampingan maka tidak akan ada sekat di antara kita. Beda halnya dengan duduk berhadapan, apabila duduk berhadapan, terdapat spasi di tengah-tengah dua individu, ini menyiratkan ada jarak di antara keduanya. Perilaku non verbal lainnya yang ditunjukkan mahasiswa Bugis adalah dengan merangkul temannya ketika berjalan beriringan. Ini memberikan makna bahwa meskipun keduanya berbeda budaya, tetap ada persahabatan di dalamnya, dan mahasiswa Jawa akan merasa dihargai ketika perilaku seperti ini dilakukan. Dalam akomodasi komunikasi, selain komunikasi konvergensi juga terdapat komunikasi divergensi. Komunikasi divergensi adalah ketika pembicara tidak menunjukkan usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara. Sama halnya dengan komunikasi konvergensi, komunikasi divergensi juga terlihat signifikan dalam perannya mengakomodasi percakapan. Hal ini dapat kita lihat dalam proses komunikasi yang terjadi di antara mahasiswa Bugis dengan mahasiswa Jawa. Dan divergensi juga dapat kita ketahui melalui elemen verbal dan non verbal. Misalnya, dalam komunikasi verbal, indikator verbal diantaranya interupsi percakapan, giliran percakapan, sarkasme, pertentangan pendapat, dan penggunaan bahasa ingroup. Perilaku divergen secara verbal dengan indikator interupsi
110
percakapan sering terlihat ketika mahasiswa Bugis berada di tengah-tengah diskusi dengan mahasiswa Jawa. Bukan hanya pada saat diskusi, berbicara dengan santai pun masih terlihat perilaku tersebut. Ini menunjukkan bahwa masih melekatnya identitas ke Bugisa nya pada dirinya. Selain itu, perilaku divergensi juga ditunjukkan oleh mahasiswa
Bugis
dengan
tidak
menunggu
giliran
percakapan,
seringnya
menggunakan bahasa sarkasme, dan melakukan pertentangan pendapat dengan temannya yang mahasiswa Jawa. Perilaku divergensi mahasiswa Bugis yang lain juga terlihat dalam bahasa tubuhnya, misalnya berbicara dengan posisi berdiri, tangan kanan selalu memegang sikut tangan kirinya. Ini menandakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang Bugis ketika berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi manusia senantiasa terikat oleh budaya, sebagaimana budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka praktek dan perilaku komunikasi individu-individu yang diasuh dalam budaya-budaya tersebut pun akan berbeda-beda pula. Semakin besar perbedaan budaya antara dua atau lebih orang yang terlibat dalam proses komunikasi, semakin besar pula perbedaan mereka dalam memandang suatu realitas. Dalam hal ini, apresiasi terhadap budaya sangat diperlukan, sehingga seluruh proses komunikasi pada akhirnya menggantungkan keberhasilan pada tingkat ketercapaian tujuan komunikasi, yakni sejauh mana para partisan tersebut memberikan makna yang sama atas pesan yang dipertukarkan. Itulah yang dimaksud sebagai komunikasi antarbudaya yang efektif. Kendatipun mahasiswa Bugis berusaha untuk beradaptasi dengan mahasiswa Jawa, identitas ke’Bugis’an mahasiswa Bugis tetap muncul ketika berinteraksi. Perbedaan latar belakang budaya dari keduanya menjadi elemen yang sangat mempengaruhi dalam proses akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh mahasiswa Bugis. Perbedaan perilaku akomodasi komunikasi yang ditunjukkan oleh para informan juga berbeda. Awal yang memulai komunikasi antar budaya pada saat memasuki bimbingan belajar kemudian masuk dalam dunia kampus dan bergaul dengan mahasiswa Jawa memiliki cara tersendiri untuk berinteraksi. Cara ang lain juga ditunjukkan oleh Tya yang sadar akan kemampuan komunikasi antar budayanya
111
kurang, memilih untuk menyewa kamar kos agar lebih memiliki waktu yang lebih untuk beriinteraksi dengan orang Jawa khususnya mahasiswa Jawa yang tinggal bersamanya. Sedangkan Rahma yang memiliki seorang teman yang berasal dari Jawa semasa remajanya di kampung halamannya juga mempunyai cara tersendiri dalam hal berinteraksi dengan mahasiswa Jawa. Dia lebih dinamis dalam berinteraksi, terkadang bahasa yang digunakannya sangat akomodatif dan tidak teridentifikasi sebagai orang Bugis, sebaliknya dia langsung teridentifikasi sebagai orang Bugis ketika mendengar suara dan bahasa yang digunakannya ketika berinteraksi dengan mahasiswa Jawa. Sama halnya dengan Ayyub yang memiliki banyak pengalaman dalam berinteraksi dengan mahasiswa Jawa. Dia juga sering menjelaskan sesuatu dengan menggunakan logat Jawa dalam berinteraksi tetapi tidak menghilangkan identitas ke’Bugisa’nya dengan menggunakan logat Bugis. Semua orang dapat menjadi strangers dan memerlukan proses adptasi ketika memasuki lingkungan budaya baru atau tidak dikenal (Gudykunst & Kim, 1997). Tak terkecuali dengan mahasiswa Bugis yang berada di Yogyakarta, meskipun memiliki perbedaan latar belakang budaya yang berbeda, mahasiswa Bugis sangat memerlukan adaptasi dengan budaya yang mayoritas dalam hal ini budaya Jawa. Akan tetapi sikap adaptif yang ditunjukkan oleh mahasiswa Bugis ini tidak semuanya konvergen, terkadang ada hal-hal yang sifatnya divergen. Ini lebih disebabkan karena perbedaan latar belakang budaya di antara para mahasiswa Bugis dengan mahasiswa Jawa. Selain itu, adaptasi yang ditunjukkan oleh mahasiswa Bugis sifatnya sementara, karena mereka hanya melanjutkan pendidikannya dalam beberapa tahun, setelah itu kembali ke kampung halamannya. Ini yang kemudian menjadi salah satu penyebab perilaku akomodasi komunikasi dan adaptasi yang ditunjukkan oleh mahasiswa Bugis terlihat dinamis.
112
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang dipaparkan di atas, maka peneliti menyampaikan saran kepada peneliti selanjutnya terkhusus dalam ranah kajian ilmu komunikasi antarbudaya bahwa dalam penelitian komunikasi antarbudaya merupakan penelitian yang dapat memberikan sumbangsih yang besar terhadap keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia yang multikultural agar bisa hidup berdampingan dengan damai, saling menghargai satu sama lain meskipun ada perbedaan di antara mereka, baik itu perbedaan secara suku, ras, dan agama. Mengingat pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia maka penelitian tentang komunikasi antarbudaya menjadi sangat urgen untuk dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari banyaknya suku, bahasa daerah dan budaya yang berbeda-beda yang dimiliki setiap masyarkat yang menempati suatu wilayah di Indonesia. Tidak terkecuali kota Yogyakarta yang mendapatkan penamaan sebagai ‘kota pendidikan’ dan ‘Indonesia Mini’ diwajibkan untuk memberikan pengajaran terhadap generasi muda mengenai pentingnya pendidikan multikultural. Berikutnya saran kepada para pendatang yang ada di Yogyakarta, hendaknya menghargai perbedaan budaya yang dimiliki dengan penduduk asli Yogyakarta. Terkhusus kepada mahasiswa Bugis, meskipun orang Bugis memiliki budaya tersendiri yang tidak kalah kentalnya dengan budaya Jawa, tetap menjunjung tinggi yang namanya perbedaan. Orang-orang Bugis agar kiranya tetap mempertahankan budaya rantau nya tanpa menghilangkan budaya Bugis itu sendiri. Dalam budaya Bugis tentu kita mengenal kata ‘sipakatau, sipakalebbi dan sipakainge,’ artinya kita saling menghargai, menghormati dan saling mengingatkan apabila ada perbedaan di antara sesama manusia.
113