BAB V Penutup A. Kesimpulan Kuasa uang dalam pemilu dengan wujud money politics, masih menjadi cara mutakhir yang dipercaya oleh calon anggota legislatif untuk menjaring suara masyarakat agar mampu menghantarkan dirinya meraih kursi anggota legislatif pada pemilu 2014. Uang dalam nalar ekonomi sebagai alat tukar barang dan jasa, dalam arena kontestasi politik berubah makna menjadi alat tukar dengan suara pemilih. Layaknya transaksi komersial yang mempertemukan antara penjual dengan pembeli, keberadaan uang dalam pemilu berhasil membangun ikatan timbal balik antara kandidat dengan pemilih dalam arena pasar suara. Dalam hal ini kandidat menempati posisi sebagai pembeli suara yang akan memberikan uang kepada pemilih, dan pemilih menempati posisi sebagai penjual suara yang akan memberikan suaranya kepada kandidat yang memberikanya uang. Logika seperti inilah yang kemudian bekerja pada Masyarakat Dusun Tunjungan, Kabupaten Kulon Progo sebagai salah satu daerah pemilihan dari sekian banyak daerah pemilihan di Indonesia, yang menjadi arena pasar suara bekerjanya praktek money politics yang dilakukan oleh caleg untuk meraih suara terbanyak pada pemilu legislatif 2014. Liberalisasi politik yang berhasil mendorong terjadinya marketisasi dalam pemilu, menjadi salah satu aspek penting yang ikut melahirkan money politics dalam proses pemilihan umum. Sistem pemilu proposional terbuka yang digunakan dalam pemilu legislatif 2014 dibawah payung hukum Undang-Undang No. 8 Tahun 2012, semakin membuka ruang bagi setiap kandidat untuk menduduki kursi wakil rakyat dengan syarat memperoleh suara terbanyak. Berhasil mendorong tingginya persaingan antara kandidat pada arena internal partai yakni sesama calon anggota legislatif dalam satu partai dan satu daerah pemilihan, serta persaingan di eksternal partai antar calon anggota legislatif yang berbeda partai politik tetapi menempati daerah pemilihan yang sama. Dari sinilah kemudian terjadi pergeseran orientasi wakil rakyat dari representasi menjadi kompetisi elektoral dengan tujuan untuk meraih suara terbanyak. Ditengah keadaan kompetitif seperti ini, uang mulai berbicara sebagai sarana atau instrumen untuk meraih suara terbanyak. Dalam hal ini uang diyakini oleh calon anggota legislatif sebagai 79
jawaban atas kejenuhan masyarakat yang tidak mau lagi menjadikan program dan visi-misi yang ditawarkan oleh sebagai instrumen untuk memberikan suaranya kepada kandidat. Selain itu kehadiran marketisasi pemilu ikut mempengaruhi orientasi masyarakat yang tidak segan-segan untuk memberikan suaranya kepada setiap kandidat yang mau memberikannya uang dalam proses kampanye. Dari sinilah uang tidak hanya penting dalam setiap kampanye, tetapi uang dianggap mampu mempengaruhi hasil perolehan suara yang didapatkan oleh kandidat dalam pemilu legislatif 2014. Sehingga dalam prakteknya tingginya biaya kampanye kandidat dalam pemilu legislatif 2014 tidak bisa dihindari yang tidak hanya digunakan untuk biaya oprasional atau atribut kampanye semata. Melainkan untuk membiayayi kebutuhan penyelenggaraan praktek money politics yang dilakukan oleh kandidat. Pada realitasnya berdasarkan hasil penelitian ini, kehadiran money politics di Dusun Tunjungan hanya dibatasi pada tiga calon anggota legislatif yang berasal dan khsusus Dusun Tunjungan yakni: pada level DPRD Kabupaten Kulon Progo dilakukan oleh Surana yang berasal partai Gerinda dan Tujo Biantoro yang berasal partai Hanura, serta calon anggota legislatif pada level DPRD provinsi incumbent yakni Gunawan. Dibatasi kehadiran money politics di Dusun Tunjungan tidak terlepas dari adanya peran Suwanto selaku kepala Dusun Tunjungan yang berusaha memproteksi daerahnya dari kehadiran calon anggota legislatif yang bukan berasal dan khusus Dusun Tunjungan, melalui pelarangan berbagai bentuk aktivitas kampanye yang dilakukan oleh caleg-caleg lainnya di Dusun Tunjungan. Pembatasan ini dilakukan oleh Suwanto dengan tujuan untuk memenangkan ketiga kandidat yang sudah memiliki kedekatan dengan dirinya dan Dusun Tunjungan, agar mampu memberikan keuntungan-keuntungan ekonomi bagi masyarakat Dusun Tunjungan ketika terpilih menjadi anggota legislatif. Sehingga bukan hanya terbatasinya dari segala bentuk aktivitas kampanye yang dilakukan oleh calon anggota legislatif lainnya, tetapi berdampak pada terbatasinya pasar suara money politics di Dusun Tunjungan. Dengan adanya karakter konvertabilitas dari uang yang dapat diubah dalam bentuk apapun, kehadiran money politics di Dusun Tunjungan terbagi kedalam dua jenis money politics yakni: vote buying dengan memberikan uang dalam wujud utuh fresh money sebesar Rp. 30.000 kepada pemilih, dan pemberian uang dalam wujud fisik dengan menjanjikan adanya program pembangunan fasilitas publik serta adanya anggaran rutin setiap bulannya yang dialokasikan untuk pembangunan di Dusun Tunjungan ketika kandidat berhasil meraih kursi legislatif. 80
Pertama, jenis money politics dalam bentuk vote buying dilakukan oleh Surana selaku calon anggota legislatif baru di DPRD Kabupaten Kulon Progo, dengan memberikan uang sebesar 30.000 rupiah kepada masyarakat satu hari sebelum masa tenang. Dalam proses vote buying yang dilakukan oleh Surana, ia memanfaatkan peran intermediary agent atau broker dengan menggunakan jaringan pribadi yakni melibatakan Supriyono dan Supriyadi selaku “Kaum” atau tokoh agama setempat dalam proses pendistribusian uang. Adanya pemanfaatan jaringan pribadi yang dilakukan oleh Surana dengan menempatkan kedua tokoh agama sebagai agen penghubung untuk mendistribusikan uang, tidak terlepas dari adanya kedekatan hubungan sosial di antara keduanya yang berhasil membangun rasa kepercayaan antar satu dengan yang lain untuk mendistribusikan uang secara diam-diam kepada masyarakat setempat. Mengingat tidak ada satupun negara di Dunia ini termasuk Indonesia yang melegalkan praktek jual-beli suara dalam pemilu, karena pada dasaranya suara sebagai political goods bukanlah komoditas yang dapat diperjual-belikan. Sehingga bagi setiap caleg yang melakukan hal tersebut dapat dikenakan sanksi sesuai aturan hukum yang ada. Pada sisi lain ditempatkanya kedua tokoh agama sebagai agen penguhubung dalam praktek jual beli suara, dilandasi oleh adanya pemahaman dan kemampuan yang dimiliki oleh Supriyadi dan Supriyono selaku “Kaum” di Dusun Tunjungan untuk membaca pasar suara didaerahnya sendiri. Adanya kemampuan dan pemahaman mengenai pasar suara di Dusun Tunjungan ini, kemudian dijadikan sebagai cara untuk memetakan individu masyarakat siapa saja yang akan diberikan uang. Dalam hal ini proses pendistribusian uang tidak dilakukan secara inklusif kepada masyarakat di Dusun Tunjungan. Akan tetapi berjalan secara eksklusif yang hanya diberikan kepada individu masyarakat yang mau memberikan suaranya kepada kandidat jika diberikan uang, dan tidak beresiko terhadap terbongkarnya praktek vote buying yang dilakukan. Sehingga tokoh-tokoh masyarakat setempat seperti kepala Dusun, ketua RT dan RW tidak mendapatkan uang dari Surana, karena dapat beresiko terhadap diketahuinya praktek jual-beli suara yang dilakukan dan dapat dilaporkan kepada pihak penyelenggara pemilu. Pemetaan individu masyarakat yang akan dijadikan target sasaran ini kemudian dikenal dengan “Bitingan” yakni daftar nama catatan nama-nama masyarakat yang akan diberikan uang. Pada awalnya “Bitingan” di kenal sebagai model pemilihan tokoh masyarakat di desa-desa Jawa, namun pada hari ini lebih di maknai sebagai praktek vote buying dengan menghitung jumlah 81
pemilih potensial yang akan diberikan uang oleh caleg melalui pembuatan daftar nama catatan masyarkat di daerah tertentu. Praktek “Bitingan” ini kemudian semakin mempersulit untuk melacak dan menjerat pembelian suara yang dilakukan kandidat dalam pemilu legislatif 2014 oleh penyelenggara pemilu. Dari sinilah kemudian pemanfaatan intermediary agent dalam praktek money politics selain berfungsi untuk menghubungkan calon anggota legislatif dengan konstituen dalam cakupannya luas, berguna pula untuk mengelabui aturan hukum yang ada melalui jaringan pribadi informal berada diluar struktur formal tim pemenangan kandidat. Kedua, jensi money politics dalam bentuk pork barrel di Dusun Tunjungan dilakukan dengan dua bentuk dan dua cara yang berbeda pada dua level persaingan yang berbeda. Pada level DPRD Provinsi pork barrel dilakukan oleh Gunawan selaku caleg incumbent melalui janji kampanye pengaspalan jalan yang disampaikan kepada masyarakat Dusun Tunjungan jika terpilih kembali sebagai anggota DPRD Provinsi. Hal ini ia kemas dengan cara mensosialisasikan fungsi dari anggota legislatif terutama dalam urusan penganggaran, dan adanya dana aspirasi yang dimiliki oleh setiap anggota legislatif yang wajib disalurkan kepada masing-masing daerah pemilihannya. Dari situlah kemudian ia menegaskan akan meningkatkan penyaluran dana aspirasi ketika terpilih kembali menjadi anggota DPRD Provinsi kepada masyarakat Dusun Tunjungan untuk pembangunan fasilitas publik yang ada, dalam hal ini pengaspalan jalan disekitar Dusun Tunjungan. Sehingga sebagai caleg incumbent yang masih memiliki akses terhadap sumber daya negara, ia mencoba untuk memanfaatkan kuasa anggaran yang ia miliki untuk mendistribusikan program bantuan pemerintah kepada daerah pemilihanya yang di klaim sebagai hasil pemberian dirinya dalam rangka meraih dukungan politik di Dusun Tunjungan. Sedangkan pada level DPRD Kabupaten pork barrel dilakukan oleh Tujo Biantoro dengan menjanjikan pemotongan gaji yang ia dapatkan setiap bulannya jika terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Kulon Progo, sebagai anggaran rutin pembangunan yang akan didatapatkan oleh Dusun Tunjungan setiap bulannya. Dengan rincian dua juta rupiah untuk keperluan Dusun, satu juta rupiah untuk Rukun Tangga, dan satu juta rupiah untuk ibu-ibu PKK. Sebagai caleg baru, Tujo Biantoro tentunya tidak memiliki akses terhadap sumber daya pemerintah yang kemudian dapat ia klaim sebagai program pembangunan yang berasal dari kandidat untuk meraih dukungan masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Gunawan. Akan tetapi dalam prakteknya ia 82
berusaha untuk melakukan pork barrel dengan melakukan pemotongan gaji yang ia dapatkan jika terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten untuk pembangunan fasilitas publik di Dusun Tunjungan. Meskipun berbeda bentuk pork barrel yang ditawarkan dalam prakteknya, kedua kandidat ini baik Gunawan maupun Tujo Biantoro memanfaatkan kedekatakan hubungan sosial dengan Suwanto selaku Kepala Dusun Tunjungan untuk dijadikan sebagai agen penghubung yang menyediakan forum-forum pertemuan warga sebagai sarana untuk menyampaikan janji-jani pembangunan fasilitas publik tersebut. Bahkan Suwanto sendiri selaku kepala dusun ikut mengampanyekan untuk memilih Gunawan kepada masyarakat yang akan memberikan pembangunan fasilitas publik di Dusun Tunjungan jika dirinya terpilih kembali secara terbuka dihadapan masyarakat Tunjungan. Mengingat pork barrel merupakan salah satu bentuk programmatic politics yang dalam prakteknya tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada, sehingga dalam prosesnya tidak perlu dilakukan secara diam-diam layaknya money politics dalam bentuk vote buying. Dengan kehadiran dua jenis money politics yang terjadi di Dusun Tunjungan telah berhasil mengeser pemahaman masyarakat di Dusun Tunjungan mengenai pemilu sebagai arena politik, sekaligus sebagai arena ekonomi untuk meraih keuntungan. Akan tetapi bentuk money politics yang diberikan berpengaruh pada tingkat keuntungan yang dirasakan oleh masyarakat. Pemberian fresh money sebagai private goods dalam kerangka kerja vote buying yang ditujukan kepada individu atau keluarga, memiliki tingkat keuntungan lebih besar karena mampu dirasakan secara langsung personal oleh pemilih dan mampu menggarakan pemilih untuk memberiakan suaranya kepada kandidat tersebut. Sehingga berdampak pada perolehan suara yang didapatkan oleh caleg melakukan praktek pembelian suara melalui pemberian fresh money. Surana misalnya, melalui pemberian uang sebesar Rp.30.000 kepada masyarakat Tunjungan, telah berhasil menempatkan dirinya di posisi pertama perolehan suara tertinggi di TPS 11 Dusun Tunjungan. Sedangkan Tujo Biantoro yang menggunakan money politics dalam bentuk pork barrel melalui janji pemotongan gaji, menempati perolehan suara kedua setelah Surana. Meski demikian bukan berarti money politics dalam bentuk pork barrel tidak memiliki pengaruh sama sekali dalam mendorong perolehan suara caleg. Untuk caleg DPRD Provinsi seperti Gunawan
83
misalnya, ia berhasil memperoleh suara tertinggi pada TPS 11 Dusun Tunjungan dibandingkan dengan calon anggota legislatif lainnya. Meskipun berdasarkan hasil akhir perolehan suara keseluruhan dari ketiga kandidat tersebut, menyatakan ketiga-tiganya tidak lolos mendapatkan kursi anggota legislatif pada periode 2014-2015. Akan tetapi karena studi ini tidak bermaksud untuk melihat implikasi money politics pada level yang lebih luas sampai pada tingkatan berhasil atau tidaknya kandidat memperoleh kursi di parlemen, melainkan hanya melihat implikasi money politics pada level Dusun Tunjungan yang menjadi fokus studi. Kehadiran money politics dengan jenis vote buying melalui pemberian uang dalam wujud fresh money, merupakan strategi yang lebih tepat dan berpengaruh untuk digunakan dalam rangka memobolisasi pemilih untuk meraih suara terbanyak. Sehingga kehadiran money politics yang bekrja dalam nalar transaksi komersial sedikit banyak berpengaruh terhadap masyarakat Dusun Tunjungan dalam memberikan suaranya dalam pemilihan umum anggota legislatif 2014. Pada sisi lain, kehadiran studi mengenai praktek bekerjanya money politics dalam pemilu legislatif di Dusun Tunjungan, secara sederhana paling tidak mampu memperkaya studi money politic yang pada saat ini masih terbilang minim karena keberadaanya yang sangat sulit untuk dilacak. Untuk itu studi ini paling tidak memberikan warna baru dalam ranah kajian ilmu politik, terutama berkaitan dengan kepemiluan yang selama ini fokus kajiannya masih berada pada ranah teknis prosedural berkaitan dengan sistem pemilu, ataupun pada ranah pemilih yang berkaitan dengan aspek behavioral, tanpa melihat upaya untuk memperoleh kekuasaan dibalik pemilu yang menggunakan dan menghalalkan berbagai cara didalamnya seperti money politics. Meski demikian setudi ini masih memiliki kekurangan yang berkaitan dengan belum bisanya studi ini melacak lebih jauh dampak dari kehadiran money politics terhadap jalannya demokrasi di suatu negara. Dalam hal ini berkaitan dengan hubungan perwakilan yang ditimbulkan antara kandidat yang menggunakan money politics dengan pemilih yang menerima money politics pasca pemilu. Dengan kata lain apakah money politics dapat mempengaruhi linkage antara wakil rakyat dan rakyanya. Selain itu berkaitan dengan dampak perilaku predator dengan berburu rente yang mungkin saja dilakukan oleh kandidat yang melakukan money politics ketika berhasil memperoleh bangku wakil rakya. Akan tetapi paling tidak studi ini menjadi pemantik awal yang dapat mengantarkan agenda penelitian berikutnya untuk melihat praktek money politics berikut dampak yang linkage ditimbulkan.
84