71 BAB V KESIMPULAN, SARAN, DAN REKOMENDASI
Pada bab akhir ini penulis akan memaparkan deskripsi dukacita ritual niki paleg pada suku Dani dan kesimpulannya dalam pemahaman penulis sendiri. Dilanjutkan dengan saran-saran bagi suku Dani sendiri dan pada bagian akhiri bab ini diberikan rekomendasi bagi peneliti selanjutnya dengan tujuan pengembangan dan perbaikan yang ke arah yang lebih baik.
A.
PEMBAHASAN Ketujuh partisipan penelitian ini merupakan keturunan asli masyarakat suku
Dani. Lahir dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat suku Dani, bahkan berkeluarga dan memiliki keturunan yang berasal dari suku Dani pula. Para partisipan berdomisili di kabupaten Kota Wamena, mereka tersebar di daerah yang cukup jauh dari kota, yaitu di Sinakma, Honai Lama, Welesi, serta Ibele. Mereka khusus dipilih menjadi partisipan dalam penelitian ini karena memiliki karakteristik yang sangat sesuai dengan partisipan penelitian. Selanjutnya akan dibahas mengenai hasil penelitian mengenai dukacita (grief) yang berkaitan dengan kebudayaan orang Dani pada ritual niki paleg. Menurut pandangan Neale (1985) tentang kedukaan sebagai suatu kehilangan dan merupakan suatu proses peralihan dari situasi terkejut dan ketidakmampuan melupakan masa lalu menuju ke situasi sedih yang sangat dalam atas peristiwa kehilangan itu, kemudian berusaha memanfaatkan apa yang berharga sebaai dasar bagi pola hubungan baru yang berguna (h. 469-470). Dilihat dari proses dukacita orang Dani peneliti sependapat dengan apa yang dipaparkan Neale ini, dimana orang Dani menggambarkan kedukaan sebagai proses peralihan dari tahap terkejut tidak dapat menerima kenyataan dan merasakan kesedihan yang sangat dalam samapai mencapai sebuah keseimbangan yang baru. Makna Niki Paleg Seorang Dani bersedia memotong sebagian dari keempat jarinya disebebkan oleh rasa duka yang lahir dari perasaan afeksi yang mendalam yang terjalin selama hidup. Sebegitu dalamnya perasaan cinta yang terjalin membuat mereka sanggup melukai diri
72 mereka sendiri secara fisik. Hal ini sebagai representasi kesedihan hati yang amat dalam bagi seorang Dani. Tangan adalah anggota tubuh yang sangat berarti dalam menjalani kehidupan. Apabila jari tangan sudah tidak sempurna maka kehidupan akan menjadi tidak sempurna pula. Bekerja dengan jari yang tidak lengkap pun akan sulit dirasakan. Kesulitan yang dialami adalah bentuk kesedihan yang dalam. Sebagian dari jari yang telah terpotong akan dijemur dan pada akhirnya dibakar. Maksudnya adalah setengah jari bersamamu sementara aku akan bertahan hidup sebagaimana hidupku yang sudah tidak lengkap ini. Makna ini dianalisa berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai suku Dani sehingga peneliti mendapatkannya kembali dan dapat membuktikan bahwa makna ini benar adanya sesuai hasil penelitian yang didapat dan penelusuran ilmiah dari sumber terpercaya. Duka yang unik Keunikan dari proses dukacita dalam ritual niki paleg ini memang terbukti. Pengalaman duka yang dimiliki orang Dani ini menunjukan sangat personal, situasional, dan kontekstual. Setiap partisipan memiliki pengalaman pribadi yang tidak sama dengan partisipan yang lainnya yang membuat masing-masing partisipan sanggup memilih pandangan yang unik terhadap kematian dari yang terkasih. Seperti yang diakatakan Wiryasaputra (2003), bahwa manusia dapat mengalami kedukaan, ditinggalkan yang terkasih namun kedalaman kedukaannya berbeda (h.69). Peneliti sependapat dengan fakta ini, bahwa orang Dani memang benar mengalami dukacita mendalam hanya saja tingkat kedalaman kedukaan yang mereka alami berbeda dengan orang lain. Ritual niki paleg dianggap budaya duka yang cukup unik apabila kita memandangnya dari tingkat kedalaman kedukaan. Pada dasarnya Orang Dani pun memiliki kepribadian yang cukup unik apabila dibandingkan dengan suku-suku lain di Papua. Kepribadian suku Dani yang paling menonjol dan diakatakan cukup unik adalah sikap taat dan menghormati leluhur yang berlebihan. Dikatakan berlebihan karena suku ini terkadang tidak memahami sepenuhnya dari tatanan nilai yang terkandung dalam satu aturan adat yang dibuat oleh para leluhur mereka. Oleh sebabnya, sikap dan perilaku mereka terkadang tampak lugu apabila mereka tidak bersama kelompok masyarakat suku mereka sendiri, atau mereka sementara
73 ada dalam komunitas masyarakat suku lain. Hal inilah yang membuat peneliti menganggap bahwa ritual niki paleg ini adalah sebuah proses duka yang unik. Air mata kepedihan atas dukacita: “para kerabat dan orang-orang yang datang untuk melayat akan duduk mengelilingi bea dan menangis sekeras-kerasnya..”
Menangis adalah gejala yang normal dalam proses dukacita. Menangis merupakan sebuah tindakan yang manusiawi dan bukanlah sebuah kesalahan fatal atau dosa bagi mereka yang dalam situasi duka. Jika ada adat yang melarang kaum lelaki untuk pantang menangis pada saat-saat duka, tidak demikian pada orang Dani. Tak terkecuali, laki-laki dewasa dan muda, wanita dewasa dan muda sama-sama meratap bahakan meratap sekeres-kerasnya pada saat hari kematian dan pada masa-masa duka. Cara menangis memang berbeda-beda dari satu orang ke orang lain atau dari kelompok satu ke kelompok lain. Cara menangis orang kulit putih beda dengan orang kulit hitam di Amerika Serikat. Namun, kedua kelompok itu tetap menangis. Pengalaman atau perasaan orang dapat sama, namun cara mengekspresikannya berbeda. Dengan alasan ini peneliti sependapat bahwa dengan menangis orang yang berduka menumpahkan atau mengeluarkan segala isi hatinya, kepedihan batinnya, dan semua uneg-uneg yang mengotori batinnya. Menangis dalam proses berduka merupakan ekspresi dari kepedihan hati yang paling dalam (Wiryasaputra. T., 2003: 108).
Stress Atas Kepergian Yang Terkasih Stress merupakan reaksi terhadap bahaya atau ancaman yang ada. Dalam situasi ini sistem syaraf dan tubuh secara otomatis memobilisasi energi yang ada untuk menghadapi yang muncul (Wiryasaputra. T., 2003: 109). Dalam situasi duka yang dialami orang Dani, stress menjadi reaksi atas kematian yang dialami. Peneliti yakin reaksi yang terwujud pada orang Dani dalam situasi stress ini nampak dalam gejala-gejala fisik seperti mati rasa, tidak berdaya, badan gemetaran, sakit pada pencernaan, rematik, dsb. Gejala-gejala fisik ini sangat berkaitan erat dengan kondisi psikologis, maka gejalagejala ini biasa disebut sebagai psikosomatis. Dalam situasi ini peneliti menyimpulkan bahwa ada hubungan antara situasi kedukaan dengan penyakit secara fisik. Dengan demikian, hubungan antara kedukaan dan stress sangat erat.
74 Penolakan Atas Kematian Orang Dani mengalami penolakan dalam masa dukanya. Mereka menolak fakta yang sebenarnya, tidak percaya bahwa fakta itu benar-benar terjadi dan penolakan ini dikaitkan dengan perasaan terkejut. Dari penelitian yang dilakukan, khusunya pada partisipan ke-7 nampak bahwa mereka menolak kematian yang terkasih. Terbukti dari pernyataan partisipan ke-7:
“Ya dia percaya maksudnya aduh, bapa ini ada.. mungkin saya bisa ada hidup.. mungkin ada umpanya.. dia bapa ada.. kami mungkin umpama kami ada babi.. harta-harta.. mungkin kekeayaan lebih ini.. bapa meninggal mungkin kami ada kekurangan, kekuragan makan..kekurangan hidup..” (P7/W7/1/2/2011 No. 330-334).
Lewat pernyataan P7 sebagai orang Dani menunjukkan gejala penolakan atas kematian orang yang terkasih. Bagi mereka kematian ini tidak seharusnya terjadi dalam hidup mereka khususnya bagi kaum lelaki, karena orang Dani sangat menjunjung tinggi nilai relasi seperti halnya mereka menggunakan suku menurut garis keturunan ayah. Dalam menghadapi situasi duka orang Dani menolak untuk hidup normal. Kematian orang yang dicintai membuat mereka menolak fakta yang sebenarnya. Dengan melakukan ritual niki paleg seakan mereka hidup di dalam pikiran mereka sendiri. Mereka tidak bisa lepas dari kesedihan yang mendalam atau dengan kata lain mereka mengalami kesedihan yang berkepanjangan dengan mengenang orang yang telah meninggal sepanjang hidupnya.
Tekanan Batin Batin yang tertekan atas kematian orang yang terkasih nampak dalam peneltian ini terbukti dari pernyataan-pernyataan partisipan seperti berikut: “Iyo. Empat jari dia potong. Saudara laki-laki punya anak meninggal, mama dia potong jari satu kali empat.” (P3/W3/5/2/2011 No.10-12) “Sedih...” (nada melemah) (P3/W3/5/2/2011 No.2-3) “Ia ini, dia ini gara-gara pikiran. Io pikirin baru langsung dia potong tangan.”(P1/W1/05/2/2011 No.10)
75 “untuk ini.. bapanya meninggal atau mama, sama saja...meninggal terus rasa sakit hati dalam sekali...atau sakit...rasa sayang...mungkin lebih dalam…” (P7/W7/1/2/2011 No. 24-26).
Dari pernyataan-pernyataan di atas peneliti berpendapat bahwa kedukaan yang dialami oleh orang Dani mempengaruhi batin mereka selama hidup yang diungkapkan melalui ritual niki paleg. Hal ini menyebabkan mereka hidup mengalami duka yang berkepanjangan (prolonged grief), dimana dalam golongan ini orang yang mengalami dukacita membawa kedukaannya pada masa lalu ke dalam kehidupannya masa kini. Dengan kata lain kelompok penduka tidak melalui proses kedukaan secara wajar (Wiryasaputra. T., 2003: 37). Peneliti sependapat dengan Wiryasaputra seperti yang telah dikemukakan bahwa benar orang Dani mengalami proses kedukaan secara tidak wajar, dimana mereka melakukan pemotongan jari secara berlebihan yang disebabkan oleh tekanan batin yang dalam. Disaksikan juga oleh WT selaku pemerhati sosial dalam pemaparannya sebagai berikut: “Adik, sekarang itu kalo mereka potong ini kan (sambil menunjuk jari) kalo memang yang dulu itu kesedihan kalo sudah melewati batas mungkin orang mengalami belum cukup umur, berarti masih muda begitu dia bisa ‘saya nanti bekerja bagaimana?’,‘orang yang biasa kasih hidup saya dia sudah meninggal lebih duluan‘ sehingga dia bisa kasih habis potong jari nih satu kali. Nah, kemudian kalo tidak, dia mulai hitung yang meninggal sodaranya tu satu meninggal dia potong satu, dan seterusnya. Cuma tidak bisa ibu jari dipotong (menjelaskan secara detil).” (P7/W7/13/2/2011No.54-61)
Berdasarkan pernyataan WT di atas penelitian ini membuktikan bahwa semakin dalamnya tekanan batin maka akan semakin banyak jari yang akan dipotong dan terbukti bahwa apa yang disampaikan oleh Wiryasaputra mengenai kedalaman duka yang membuat manusia mengalami tekanan batin yang dalam. Singh dan Bhandarker (dalam Kim, Yang, & Hwang, 2011) mengatakan bahwa “seseorang mencari sosok ayah (secara simbolik) di tempat kerja untuk pemberdayaan, perlindungan, perhatian, dan perkembangan” (h.732). Berdasarkan pernyataan ini, suku Dani yang melakukan ritual niki paleg dalam kondisi duka
76 pada kenyataannya sementara memiliki hubungan paternalistik antara mereka dengan orang yang sudah meninggal dalam hal ini ayah, anak laki-laki, serta saudara laki-laki. Mereka sangat membutuhkan sosok itu dalam kehidupan nyata demi mempertahankan kehidupan mereka dalam berbagai aspek. Menyesal Atas Kematian Penyesalan atas sebuah kepergian atas kematian yang terkasih nampak dalam ekpresi perasaan yang terungkap dalam studi ini. Bagaimana mereka mengungkapkan penyesalan itu sangat terasa pada kalimat yang mereka sampaikan dibawah ini: “Kehilangan sangat besar sekali.. rasa rugi sangat besar..dalam..Ya sama-sama.. harus sama-sama..kita sama-sama sekaligus boleh..maksudnya begitu (menegaskan kembali atas makna kehilangan). Hm..(bergumam) sayang..akhirnya buang diri di kali.. (menjatuhkan diri ke dalam kali wamnea yang arusnya sangat kuat dan banyak binatang buaya).” (P7/W7/1/2/2011 No. 82-91)
Pernyataan di atas merupakan satu-satunya pernyataan yang mengungkapkan rasa penyesalan dari orang Dani yang mengalami dukacita. Kata ‘rugi’ dalam pernyataan tersebut bermakna penyesalan yang dalam atas kepergian yang terkasih dalam sebuah kematian. Orang Dani merasa kerugian yang besar sebagai sebuah penyesalan mengapa yang terkasih harus pergi meninggalkan mereka secepat itu, sementara mereka masih membutuhkan keberadaan mereka dalam kehidupan nyata. Akibat penyesalan yang terlalu dalam perilaku tidak wajar sering dilakukan oleh orang Dani yaitu dengan cara membuang diri di kali Wamena. Hal ini bermakna “biarlah kita pergi bersama dalam kematian ini, sebab aku tak mampu hidup tanpamu”. Hal ini hanya dapat diungkapkan dan dirasakan pada masyarakat suku Dani ini, dimana pandangan mereka terhadap mereka yang sangat dikasihi yang telah pergi meninggalkan mereka. Oleh karena tidak sanggup merelakan kepergian tersebut mereka berani memutuskan untuk melakukan ritual niki paleg ini dengan penuh penghayatan pada nilai-nilai adat yang mereka percayai.
77 Kerinduan dan Attachment Behavior sesudah ritual Niki Paleg Cinta pada seseorang dapat menyebabkan kita mengalami kedukaan apabila orang yang kita cintai itu hilang. Cinta dapat menyebabkan kehilangan dan kedukaan yang dalam. Semakin dalam cinta kita maka semakin dalam kedukaan kita. Sebaliknya, semakin dangkal cinta kita semakin ringan dan sederhana kedukaan kita. Jadi, kedalaman cinta dan kedukaan berbanding lurus. Hal ini mendukung pernyataan Sinha (dalam Kim, Yung & Hwang, 20111) dikatakan bahwa”cinta dan perhatian diferensial pada umumnya dibalas dengan perasaan dan tindakan yang serupa. Orang yang dicintai dan diperhatikan semakin dekat dengan sosok ayah (sosok paternal) sementara yang lain menjadi jauh...cenderung memberikan banyak cinta dan perhatian kepadanya” (h.727). Bowlby (dalam Haditono, 1994) menyatakan bahwa sebuah hubungan akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu. Pengertian ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Ainsworth mengenai kelekatan. Ainsworth (dalam Hetherington dan Parke, 2001) yang mengatakan bahwa kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik, mengikat mereka dalan suatu kedekatan yang bersifat kekal sepanjang waktu. Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh tingkah laku lekat (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut (Durkin, 1995). Attachment behavior yang nampak dalam penelitian ini terbukti dalam beberapa pernyataan partisipan sebagai berikut: “Iyo anak meninggal “(P2/W2/05/2/2011 No.4-5), “ini sa dalam hati...“(Iya, (P2/W2/05/2/2011 No.4-5)
anak
saya
meninggal,
sedih
yang
mendalam)
“Karna orang meninggal baru ini potong tangan.” (ekspresi sedih) (P4/W4/14/2/2011 No.2); “Dia punya saudara punya laki-laki to dia punya anak mati potong dia pung jari tangan.”(Keponakanya dari saudara laki-lakinya meninggal yang membuatnya memotong jarinya) (P3/W3/5/2/2011 No.3-5).
78 Dari semua pernyataan di atas terlihat adanya hubungan lekat antara orang tua dan anak. Pernyataan ini membenarkan apa yang dikatakan Bowlby seperti pernyataannya di atas bahwa kelekatan antara ibu dan keponakan laki-laki, antara ayah dan anak laki-laki sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada partisipan ke-2, ke-3 dan ke-4 membuat rasa cinta mereka bertahan cukup lama sehingga mengakibatkan adanya perilaku potong jari yang mereka lakukan, yang didasarkan oleh rasa rindu yang mendalam terhadap mereka yang telah meninggal. Sama halnya seperti yang diungkapkan oleh Durkin bahwa tingkah laku lekat dinyatakan dalam ritual niki paleg dengan tujuan untuk menjaga keutuhan hubungan kasih sayang diantara mereka yang masih hidup dan orang yang sudah mati. “Mungkin ada pikir.. mungkin.. umpamanya sa ke wamena dia beli tiket untuk saya berangkat.. ya.. itu harus pikir dengan itu” (menjadi beban pikiran apabila ada orang lain yang meringankan beban dengan membelikan tiket ke wamena). “Dia punya jasajasa.. mungkin dia datang ke jayapura.. (menegaskan kembali)..bukan hubungan darah. Umpanya dia trun ke Jayapura, mungkin dia masih sekolah.. dia bantu, itu yang diingat.. ingat itu yang hancur hati...ya, hancur hati yang bisa jadi potong juga...”(P7/W7/1/2/2011 No.401-414) “Ya...ada...sekarang ini juga ada.. karena sayang sekali.. karena mereka untuk kehilangan” (merasa kehilangan) (P7/W7/1/2/2011 No.101-109), “Ya.. sakit dalam pokoknya ya.. atau sayang lebih dalam, ya.. karena kehilangan untuk saudaranya atau bapaknya atau ayahnya, terus...” (P7/W7/1/2/2011 No. 249-269).
Seperti yang sudah dikatakan di awal bahwa kedalaman duka tidak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya nilai atau makna objek yang hilang, melainkan juga oleh tingkat hubungan emosional antar orang yang kehilangan dengan seseorang yang hilang. Dalam penelitian ini pengalaman duka yang dialami oleh orang Dani tidak saja disebabkan oleh hubungan yang lekat antara orang tua dan anak melainkan orang Dani sendiri dengan orang suku lain. Orang lain yang dimaksudkan adalah keluarga yang tinggal bersama dengan orang Dani atau mereka yang hidup dan tinggal bersama dalam waktu yang lama, yang mana keluarga tersebut bukanlah berasal dari keturunan suku Dani namun memiliki kepedulian dan rasa sayang yang tinggi terhadap mereka. Hal inilah yang mendasari ritual niki paleg dapat terjadi apabila satu dari anggota keluarga itu meninggal dunia. Bagi orang Dani, orang yang meninggal itu telah dianggap seperti keluarga kandung
79 sehingga ritual niki paleg tetap terjadi meskipun ditempat yang berbeda dan terhadap objek yang berbeda. Kerinduan (yearning) terhadap sosok orang yang disayangi dapat muncul ketika sedang teringat mengenai kenangan yang dulunya pernah terjadi (Turner & Helmes, dalam Cahyasari, 2008). Peneliti sependapat dengan apa yang diungkapkan oleh Turner & Helmes, bahwa adanya kenangan yang terjadi di masa silam akan selalu muncul dalam benak orang Dani pada saat mereka melihat jari tangan mereka yang telah terpotong, karena kerinduan terhadap sosok yang disayangi telah pergi meninggalkan mereka. Partisipan 7 pun mengatakan dalam wawancara bersama peneliti tentang hal ini bahwa orang Dani selalu mengenang kenangan indah, perbuatan baik, rasa cinta yang diberikan kepada mereka dalam perbuatan nyata selama hidup sebagai sebuah kerinduan dan simbol kehormatan terhadap mereka yang sudah pergi.
Melukai diri artinya membagi rasa Dalam tatanan nilai-nilai budaya masyarakata suku Dani, nilai membagi dianggap memiliki kekuatan yang lebih besar dari nilai relasi. Mereka sangat menghargai nilai-nilai ini dalam budaya mereka. Hampir segala hal mereka dapat berbagi dalam kehidupan, demikian juga dalam kaitannya membagi rasa. Pandangan dibalik ritual niki paleg ini , ialah: “dia pergi membawa membawa potongan asnggota tubuhku, dan aku tinggal dengan jari atau telinga terpotong. Setiap saat kami boleh saling memandang”. (dikutip dari Kebudayaan Jayawijaya, Sunario, 1994) Ada beberapa kalimat-kalimat yang sangat menunjukan nilai membagi rasa dalam studi ini. Beberapa diantaranya ialah sebagai berikut: “Ya…ceritanya begini ceritanya.. kalo umpamanya ibu saya, dia bapa meninggal, meninggal atau untuk suaminya meninggal ya...terus kasihan dia rasa untuk sedih rasa sedih..akhirnya potong jari... jadi dia mungkin potong dua jari ka atau tiga ka atau empat. “ (P7/W7/1/2/2011 No.8-11)
80 “Ya.. ada.. sekarang ini juga ada.. karena sayang sekali.. karena mereka untuk kehilangan (merasa kehilangan). Kehilangan sangat besar sekali.. rasa rugi sangat besar..dalam..Ya sama-sama.. harus sama-sama..kita sama-sama sekaligus boleh..maksudnya begitu (menegaskan kembali atas makna kehilangan). Hm..(bergumam) sayang..akhirnya buang diri di kali.. “ (P7/W7/1/2/2011 No. 82-91) “Kalo laki-laki, untuk dia. Apa ni dia juga sayang dan duka untuk ini akhirnya potong telinga. “ (P7/W7/1/2/2011 No.49-50) “Trus.. anak itu bapa lebih sayang dan cinta skali.. ada lebih sakit hati dalam akhirnya dia potong telinga..“ (P7/W7/1/2/2011 No.62-64)
Dari semua ungkapan-ungkapan kalimat yang dituturkan para partisipan, nilai membagi rasa diwujudkan dalam perilaku niki paleg yang dilakukan. Orang Dani menganggap sebuah nilai ‘membagi rasa’ lebih tinggi dibandingkan memiliki sebuah jari tangan yang utuh selama ia hidup. Apalah artinya mereka hidup jika tanpa memotong jari mereka sebagai perwujudan penghormatan nilai membagi rasa kepada mereka yang sangat terkasih yang telah pergi dalam sebuah keamtian. Seperti beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli, diantaranya “father reported that they could manage their strong emotions in their work and home lives, but when they were alone their feelings would break (Wood & Milo, 2001: 648)”. Para ayah mengalami masalah dalam mengatasi emosi mereka pada saat mereka tidak sedang sendiri. Artinya perasaan para ayah mulai terganggu pada saat mereka tidak dalam tingkat kesibukan yang tinggi, sementara hal ini bertentangan dengan yang terjadi pada suku Dani. Berdasarkan penelitian yang peneliti lakukan, para ayah atau bahkan ibu yang sudah ditinggalkan anak atau orang yang terkasih mereka tidak dapat mengatasi emosi mereka selama hidup selama mereka belum melakukan ritual niki paleg, sehingga apa pada saat mereka telah memotog jari mereka, mereka merasa sudah melepaskan kepergian keluarga mereka yang terkasih dengan sah. Rasa sakit hati yang dialami akan sangat menyakitkan apabila mereka tidak merasakan sakit pada saat jari mereka dipotong. Pernyataan Bendt (2000) “the loss also may cause self-destructive thought and behavior among fathers (h. 649) dan Laakso dan Paunonen (2002) “mother perceived that the loss of child may be even more difficult for fathers than for mothers, because the loss caused mental health problems, including suicidal ideation, and some fathers even
81 attempted or committed suicide (h. 649) mendukung apa yang tejadi pada suku Dani. Akibat dari ketidakmampuan orang Dani mengatasi emosi mereka, kesedihan mendalam dan marah atas kehilangan orang terkasih, mereka dapat mengalami perubahan pola pikir bahkan perilaku. Bahkan dapat mengalami masalah kesehatan mental yaitu ide untuk bunuh diri, yang artinya pergi bersama dengan anak mereka atau orang yang terkasih. Hal yang tak terduga dapat tercipta dalam tragedi kematian orang yang dicintai. Suku Dani tergolong sekelompok manusia yang memiliki sifat nekat dan berani mengungkapkan perasaan mereka. Dikatakan oleh Neimeyer & Holland (2006) “possibly reflective of ‘bereavement overload, a phenomenon in which in individual confronts multiple losses, such that one loss can not be accommodated before another accur” (h. 1146) dan “there is also suggestion that parents who have faced multiple death tend to say report poorer outcomes than who experienced a single loss (Rando, 1983: 1146). Berkaitan dengan hasil penelitian yang didapat, ada beberapa partisipan yang mengalami kedukaan lebih dari dua kali. Hal ini berarti bahwa apa yang dikatakan oleh Neimeyer, Holland, dan Rando mendukung apa yang hasil penelitian ini. Bahwa mereka yang mengalami kedukaan lebih dari sekali ákan mengalami perasaan sakit hati lebih kuat dan lebih lama akibat banyak menghadapi kematian orang yang dicintainya. Semua penelitian dukacita yang dilakukan para ahli pada orang tua ayah yang mengalami kematian anak, pada orang tua yang mengalami kematian lebih dari sekali pada keluarga mereka ini terbukti telah mendukung hasil penelitian yang didapat. Secara psikologis orang Dani dianggap mengalami penyakit mental akibat kehilangan anak lakilaki mereka yang sangat mereka cintai sehingga mereka sanggup melukai diri mereka dengan melakukan ritual niki paleg, yaitu memotong jari atau telinga mereka, dan bahkan ada beberapa orang Dani yang mengalami suicidal ideation dengan memukul kepala mereka dengan batuan tajam atau kayu dan membuang diri mereka di kali Wamena. Tanggung Jawab Terhadap Hutang Adat Orang Dani memiliki kewajiban adat dalam banyak hal yang diatur dalam kehidupan mereka. Salah satunya dampak dari ritual niki paleg adalah keluarga besar seperti om dan tante dari pihak ayah dan ibu yang mengalami kedukaan ini dilimpahkan tanggung jawab adat. Mereka diwajibkan memberikan uang (harta) atau babi (binatang peliharaan yang sangat bernilai) kepada anggota keluarga dekat seperti mama (ibu) atau
82 bapa (ayah). Dan apabila pada saat kematian itu terjadi keluarga belum bisa melunasinya, maka hal itu dianggap sebagai hutanga adat. Dan apabila hutang adat siap dibayarkan maka dengan seijin kepala suku besar orang Dani, mereka akan mengadakan pesta besar untuk merayakannya sebagai peringatan akan kematian yang terkasih dari keluarga yang ditinggalkan tersebut secara besar-besaran. Ungkapan rasa tanggung jawab yang besar nampak dalam beberapa pernyataan partisipan pelengkap (P7) dibawah ini: “Hari yang meninggal.. umpanya hari ini meninggal.. Besok itu tidak kubur, mati sekaligus tidak tapi.. ya.. hari ini mati besok upacara atau sodaranya ada sumbang babi, sumbang uang trus ada acara trus.. ada om-om mereka bayar.. semua dapat bagian.. harta-harta itu.. sodaranya.. ya.. dia punya mama-mama juga.” “Itu harus bayar, bayar baru.. kemudian itu baru dia potong jari.. “(P7/W7/1/2/2011 No. 280-294) “Tetapi masih ada juga satu ehm… masih ada yang berjalan itu walaupun gereja sudah menasehatkan tidak boleh lari dari Firman Tuhan tapi masih, masih jalan itu..” (P7/W7/13-02-2011/ No.17-19 ) “Kalo dulu itu kalo ada yang potong jari seperti itu mereka orang tua yang punya keluarga yang duka itu dia mesti harus ada buat ini, e…budaya apa ada begitu untuk ganti jarinya itu, tapi tidak harus bentuk jari tapi dia buat upacara, ya.. waktu upacara itu dia harus kasih babi ke yang potong telinga atau yang potong jari itu. Sehingga mereka itu tidak ada utang begitu. Karena orang yang potong jari dengan ini dia membuat tambah beban kepada mereka yang ditinggalkan, sehingga keluarga yang ditinggalkan ini dia harus buat satu acara menyelesaikan utangnya itu, jadi mereka yang dapat, yang potong telinga juga harus dibayar, yang potong jari dibayar. Nah, jadi itu dalam bentuk upacara-upacara khusus.“ (P7/W7/13/02/2011 No.21-30)
Dari seluruh pernyataan diatas yang disampaikan P7 dan WW mengenai hutang adat ini memberi kesimpulan bahwa ritual neki paleg juga memiliki nilai yang dalam sebagai sebuah aturan adat dan juga dampak positif dalam aspek sosial ekonomi masyarakat adat suku Dani ini. Ada tanggung jawab yang direalisasikan sebagai anggota masyarakat adat dan sebagai anggota keluarga yang merasakan dukacita mendalam atas kematian dari orang terkasih.
83 Rasa bangga atas ritual niki paleg “Yang dulu memang budaya.. tangan potong begini memang bangga juga..” (dalam budaya asli sejak dulu ada perasaan kebanggan tersendiri) “Ya, harus tapi, memang.. budaya harus.. tapi bergantung pribadi orang..” (tergantung tiap orang walaupun ada aturan adat) “Orang yang.. pribadi mungkin, umpamanya satu orang yang kepala suku besar.. umpamanya isri yang lebih banyak baru anak-anak yang banyak juga.. tetapi.. semua orang itu potong jari tidak.. tapi satu orang. yang lebih dalam sekali sakit.. dan aduh.. bapa yang kehilangan bapa saya.. itu yang potong jari.. ya, bukan semua orang (apabila ada seorang kepala suku yang memiliki istri dan anak yang banyak, jika ada kematian dari anak atau istri yang paling dikasihinya barulah ia memotong jari tanda sakit hati karena kehilangan yang terkasih).” (P7/W7/1/2/2011 No. 366-389)
Perasaan bangga yang timbul dalam ritual ini terungkap dalam pernyataan Partisipan pelengkap (P7) dalam pernyataannya diatas sebagai kepala suku kecil dan orang Dani asli yang mengetahui ritual ini secara adat. Ia menyampaikan bahwa setiap orang Dani yang melakukan ritual niki paleg memiliki kebanggan tersendiri. Terbukti pada saat mereka menunjukan tangan mereka untuk diambil gambar dan rekaman video. Mereka nampak sekali antusias dan bangga pada jari mereka yang terpotong akibat kematian orang yang dicintai.
Ritual Niki Paleg ditinjau dalam pendekatan indigenous psychology Mempertimbangkan bahwa studi ini dilihat dari sudut pandang psikolgi indigenus, maka ritual niki paleg ini benar-benar menjadi variabel tunggal dalam penelitian ini, sementara suku Dani adalah unique subject-nya. Hal ini membuktikan apa yang dijelaskan yuniardi dan Dayakisni (2008) dalam variasi pendekatan penelitian cross cultural psychology. Disamping itu, studi ini pun menjadi bukti auntentik pada pemahaman-pemahaman yang dipaparkan oleh Kim, Huang, dan Yang bahwa psikologi indigenous mewakili sebuat pendekatan yang berisi makna sesungguhnya, nilai, dan kepercayaan dalam konteks keluarga, sosial, budaya, dan ekologi yang tersirat dan tidak tergantung pada desain penelitian yang sudah ada. Perilaku potong jari dalam situasi dukacita oleh orang Dani sendiri merupakan sebuah perilaku yang dibuat untuk kelompok mereka sendiri dan bukanlah merupakan hasil imitasi dari budaya orang lain. Kebenaran ini juga membuktikan apa yang
84 disampaikan Kim dan Berry (1993). Sementara studi ini merupakan studi yang diawali dengan analisis deskriptif mengenai orang Dani dalam perilaku potong jari atau ritual niki paleg ini. Dalam hal ini penelitian pada suku Dani ini pun
dikategorikan dalam
indigenization from within dimana teori, konsep dan metode dikembangkan secara internal, dan informasi indigenous dianggap sebagai sumber utama pengetahuan.
Ritual Niki Paleg merupakan Budaya Informal Dalam kaitanya dengan nilai-nilai dan ideologi, penelitian indigenous mengakui bahwa pengetahuan dapat dipisahkan dengan praksis, kesadaran, identitas, dan keterlibatan. Dalam kaitanya dengan keyakinan dan teori, pendekatan multimetode yang tepat guna dan total adalah cara untuk mendapatkan informasi yang valid. Sementara dalam kaitanya dengan norma dan asumsi, peneliti berusaha menyatu dengan kelompok masyarakat (suku Dani) yang sedang diteliti, melalui cara bertindaknya (Enriques, 1992). Dalam kaitannya dengan pembagian kerja, peneliti dalam hal ini dan partisipan bekerja di tingkat unity. Peneliti menggunakan kemampuannya untuk menyistematisasikan sesuatu, dan partisipan meroknfirmasi upaya peneliti. Dalam studi ini, kekuasaan tidak terletak pada peneliti, namun pada partisipan sebagai culture-bearer yang menyediakan dan menentukan cakupan dan batas-batas penelitian (Enriques, 1992). Dilihat dari prosedur teknologinya yaitu definisi permasalahanya, penelitian ini tidak mendeduksinya dari teori (seperti yang dilakukan oleh para peneliti experimental) dan juga tidak mengevaluasi isu-isu dari data, namun lebih dari pendekatan partisipatorik yang permasalahanya ditetapkan oleh peneliti dan partisipan secara bersama-sama. Peneliti membiarkan masyarakat culture-bearer (orang Dani pelaku niki paleg) mendefinisikan permasalahnya. Tidak ada blue-print untuk desain penelitian dari perencanaan dan pengambilan keputusan kolektif partisipan, yang peneliti dalam hal ini bertindak sebagai fasilitator.
Apabila dilihat dalam kaitannya dengan pengumpulan data, sementara penelitian partisipatorik hanya mendorong pihak yang paling kredibel untuk mengumpulkan data, penelitian inipun hanya membiarkan pihak yang terlibat untuk mengumpulkan data. Sementara berkaitan dengan manfaat temuan, partisipan culture bearer-lah yang dalam
85 hal ini adalah masyarakat suku Dani pelaku ritus niki paleg yang menentukan bagaimana temuan ini disebarluaskan. Pengumpulan data dalam studi ini mengikuti apa yang dideskripsikan oleh Viney (1988) sebagai mutual-orientation dimana “data kolektor maupun kontributor memberikan sesuatu kepada, dan mendapatkan sesuatu dari, pengumpulan datanya” (Enriquez 1994; h.61). Dalam studi ini orang suku Dani lah (partisipan culture-bearer) yang menjadi penentu cakupan penelitian, mendefinisikan permasalahan, menentukan cara atau metode tepat guna untuk mendapatkan informasi, mengumpulkan data, dan menentukan penggunaannya. Dengan kata lain partisipan telah menjadi peneliti indigenous-nya atau peneliti riilnya (Enriquez 1994). metode indigenous ini tidak hanya sensitif dan tepat secara kultural, namun berorientasi-masyarakat (Enriquez 1992).
Peneliti Sebagai Insider Dalam penelitian ini peneliti sebagai insider (orang dalam) yang pada dasarnya memiliki keuntungan dalam pelaksanaan kerja lapangan. Peneliti dapat memahami dengan baik nilai-nilai, sentimen, keyakinan, dan pengalaman mereka. Peneliti cenderung lebih muda diterima oleh para partisipan karena peneliti adalah “one of us” (orang dalam).
Bias Observer Sebuah masalah yang selalu timbul bersama dalam pemakaian metode indigenous subjektivitas responden interpretasi terhadap data penelitian ini. Subjektivitas partisipan yang ingin menyenangkan si peneliti bisa dihindari jika hubungan antara keduabelah pihak didasari oleh rasa saling percaya. Masalah bias observer ini telah diatasi dengan menggunakan lebih dari satu orang partisipan untuk melaksanakan penelitian, sehingga memenuhi kecukupan data dalam satu sudut pandang yang sama. Hal inilah yang memastikan relibilitas dan validitas datanya. Pandangan umum terhadap ritual neki paleg Pada saat peneliti mengambil keputusan untuk meneliti tentang ritual niki paleg dalam kajian pskilogi budaya, banyak pihak yang menganggap penelitian ini hanya akan menghabiskan tenaga, waktu dan biaya saja. Banyak pihak yang tidak mendukung
86 sepenuhnya untuk dilakukannya penelitian ini. Hal ini disebabkan persepsi mereka terhadap ritual ini yang negatif dan dianggap tindakan anarkis pada diri sendiri. Peneliti menyadari, memahami, menghargai seluruh pandangan pihak-pihak yang kurang mendukung adanya penelitian ini. Tidak sedikit peneliti mengalami kendala untuk mendapatkan partisipan dan dukungan moril dari pihak-pihak ini. Oleh sebabnya, dengan segala kerendahan hati dan penuh semangat diri peneliti mencoba melakukan penelitian ini secara tertutup (tidak begitu fulgar didepan umum) dan belajar menghargai segala hal yang didapat di lapangan pada saat melakukan pengumpulan data. Dalam hal ini peneliti menyadari bahwa banyak kekurangan yang terjadi dalam proses pengumpulan data. Hanya saja peneliti berusaha menutupi banyak kekurangan-kekurangan itu dengan pikiran positif dan terus berusaha menyelesaikan penelitian ini sesuai dengan kemampuan yang Tuhan berikan kepada peneliti. Berkaitan dengan hal ini peneliti mencoba menggali beberapa literatur mengenai pandangan masyarakat umum terhadap ritual niki paleg. Dibawah ini adalah beberapa pandangan para ahli mengenai konsep penting antar budaya, antara lain: Kebudayaan Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, dan penggambaran (imej), struktur aturan, kebiasaan, nilai, pemrosesan informasi, dan pengalihan pola-pola konvensi antara para anggota suatu sistem sosial dan kelompok sosial. Etnosentrisme Konsep etnosentrisme seringkali dipakai secara bersama-sama dengan rasisme. Konsep ini mewakili sebuah pengertian bahwa setiap kelompok etnik atau ras mempunyai semangat bahwa kelompoknyalah yang lebih superior dari kelompok lain. Prasangka Prasangka adalah sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi atau generalisasi yang tidak luwes yang diekspresikan lewat perasaan. Prasangka merupakan sikap negatif atas suatu kelompok tertentu dengan tanpa alasan dan pengetahuan atas seseuatu sebelumnya. Prasangka ini juga terkadang digunakan untk mengevaluasi sesuatu tanpa adanya argument atau informasi yang masuk. Efeknya adalah
87 menjadikan orang lain sebagai sasaran, misalnya mengkambinghitamkan sasaran melalui streotip, diskriminasi, dan penciptaan jarak sosial (Bennet & Janet, dalam Fikri, 2010). Sementara itu menurut Sumner (dalam Fikri, 2010), manusia pada dasarnya seorang yang individualis yang cenderung mengikuti naluri biologis mementingkan diri sendiri sehingga menghasilkan hubungan diantara manusia yang bersifat antagonistic (pertentangan yang menceraiberaikan). Agar pertentangan dapat dicegah maka perlu adanya folkways yang bersumber pada pola-pola tertentu. Pola-pola itu merupakan kebiasaan, lama-kelamaan, menjadi adat istiadat, kemudian menjadi norma-norma susila, akhirnya menjadi hukum. Kerjasama antarindividu dalam masyarakat pada umumnya bersifat antagonictic cooperation (kerjasama antarpihak yang berprinsip pertentangan). Akibatnya, manusia mementingkan kelompok dan dirinya atau orang lain. Lahirlah rasa in-groups
atau we groups yang berlawanan dengan rasa outgroups atau they groups yang
bermuara pada sikap etnosentris. Masih dalam pemahaman yang sama Sumner dalam Veeger (dalam Fikri, 2010) sendiri yang memberikan istilah etnosentris. Dengan sikap itu, maka setiap kelompok merasa folkways-nya yang paling unggul dan benar. Sementara itu, hal yang senada disampaikan Zatrow (dalam Fikri, 2010) bahwa “setiap kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentrisme” (h.5). Oleh karenanya etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolut dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentrisme memunculkan sikap prasangka dan streotip negatif terhadap etnik atau kelompok lain. Dan dari beberapa penjelasan para ahli diatas, peneliti menganggap ritual niki paleg juga mengalami hal yang sama sebagai suatu simbol budaya yang dinyatakan dalam perilaku potong jari. Hidup dan tinggal bersama orang suku Dani telah peneliti alami untuk waktu yang cukup lama selama peneliti berdomisili di pulau Papua. Peneliti bisa merasakan adanya sikap etnosentris yang terjadi pada mereka lewat pandangan dan perilaku orang yang bukan suku Dani (suku lain) dalam hal ini adalah masyarakat umum terhadap mereka.
88 Sebagai seorang peneliti yang tidak lepas dari kekurangan, peneliti merasa bersyukur karena peneliti mendapatkan kesempatan untuk mengenal orang dani secara lebih dekat. Dalam hal ini peneliti tidak bermaksud membangga-banggakan ritual niki paleg secara berlebihan atau dengan serta merta mendukung penuh perilaku ini, tidak demikian. Namun, peneliti merasa perlu menghargai adanya ritual ini dan melakukan banyak pendekatan-pendekatan psikologis pada mereka dalam waktu kesempatan yang berbeda guna kelangsungan hidup yang lebih baik sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Oleh karenanya, pandangan masyarakat umum yang berprasangka buruk terhadap ritual niki paleg ini perlu diubah dengan cara berpikir yang lebih realistis, berwawasan, serta perlu memperhatikan nilai-nilai etika. Keberbedaan ini dapat memicu adanya perpecahan yang mengarah ke dis-integrasi antar budaya. Hal inilah yang kemudian dirasa perlu oleh peneliti bagi masyarakat umum yanga da di Papua bahkan di luar Papua untuk mempelajari lebih dalam tentang maknamakna yang sama dalam memahami setiap pesan dalam suatu kebudayaan.
B.
KESIMPULAN Dari penelitian tentang dukacita suku Dani dalam ritual niki paleg yang telah
dilakukan pada tujuh partisipan melalui observasi, wawancara, studi dokumentasi, triangulasi serta perpanjangan keikutsertaan, peneliti mendapat tema-tema yang selalu muncul dari partisipan utama (P1-P7) dan dua partisipan pelengkap (WW & GT). Tematema tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Ritual Niki Paleg dalam makna yang sesungguhnya ialah sebuah ritus penghayatan atas nilai relasi yang sangat dalam antara satu manusia dengan yang lainnya dalam kehidupan bermasyarakat suku Dani.
2.
Ritual Niki Paleg ialah ritual dukacita yang diturunkan sejak nenek moyang sampai sekarang dan masih terus dilakukan oleh masyarakat suku Dani.
3.
Ritual Niki Paleg lahir dari nilai relasi dan nilai berbagi rasa yang dianut masyarakat suku Dani.
4.
Ritual Niki Paleg tersusun dengan tahapan duka, seperti: terkejut, kaget (1); pencurahan perasaan (menangis, marah, perasaan bersalah/ menyesal, sedih, panik, kesepian) (2); bergumul antara khayalan dengan kenyataan (3); memeriksa
kenangan-kenangan di masa lalu (4); berusaha membenam kesedihan (5);
89 menerima kenyataan (6); dan melanjutkan kehidupan sebagaimana adanya (7). 5.
Pengaruh ritual Niki Paleg telah menjadi kebiasaan dan cara hidup masyarakat asli yang tinggal di kota. Ritual niki paleg dapat terjadi apabila terjadi konflik dalam keluarga, kegagalan dalam usaha/ pekerjaan, serta masalah hubungan cinta muda-mudi orang Dani, oleh karenanya ritual Niki Paleg telah mengalami perluasan makna.
6.
Ritual Niki Paleg merupakan dampak dari pengaruh budaya warisan leluhur yang dianut masyarakat suku Dani sebagai sebuah penghormatan terhadap leluhur dan ungkapan rasa solidaritas yang sangat tinggi atas kematian orang terkasih dalam keluarga yang direalisasikan dalam bentuk hutang adat.
7.
Jari dan daun telinga dijadikan simbol utama dalam ritual niki paleg memiliki makna nilai berbagi dan nilai relasi yang tak terputus sampai selamanya terhadap orang yang dianggap terkasih dan tercinta.
8.
Ritual Niki Paleg bersifat unik yaitu personal dan khas, juga bersifat holistik. Dimana ritual ini berpengaruh pada aspek fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Diakhir dari penelitian ini peneliti ingin memaparkan beberapa hal
mengenai
pandangan peneliti atas ritual niki paleg berdasarkan pendekatan indigenous psychology. Ritual Niki Paleg merupakan contoh perwujudan dari studi psikologi indigenous secara ilmiah dan dapat dibuktikan kebenaranya, serta memiliki makna mendalam, nilai, dan kepercayaan tersendiri yang tersirat bagi dunia luar. Peneliti merasa beruntung menjadi peneliti insider dalam studi ini dalam menerapkan studi psikologi indigenous ini. Peneliti menjadi benar-benar memahami dengan lebih baik tentang nilai-nilai, sentimen, keyakinan, dan pengalaman dari suku Dani ini. Karena peneliti sudah diterima oleh para partisipan sebagai one-of-us bagi mereka. Adalah sesuatu yang rumit untuk mendapatkan data yang cukup apabila peneliti tidak dapat membangun rapport dari sejak awal dengan suku Dani ini dalam kehidupan bersama dan peneliti menyadari kekurangan-kekurangan peneliti.
90 Studi indigenous menjadi sangat tepat pada penelitian ini karena memiliki karakter guiding research yang sesuai dengan penelitian ini. Meski tergolong baru di Indonesia, peneliti merasa sangat perlu untuk dikembangkan dan dilanjutkan pada studi-studi psikologi yang mengangkat kebudayaan adat orang Papua lainnya. Begitu unik dan menariknya sebuah studi psikologi budaya akan memperkaya kajian ilmu psikologi di Indonesia. Manusia dengan perilakunya membuat banyak keunikan serta menjadi fenomena yang tidak dapat dinilai dengan tingkatan level manapun didunia ini. Penulis menyadari betapa pentingnya memahami studi indigenous psychology ini dengan sangat baik. Careful planning adalah salah satu dari sekian poin penting dalam melaksanakan studi lapangan. Seperti groping atau meraba-raba adalah kesan yang bisa muncul pada saat menganalisis data. Meskipun kesan ini muncul, adanya kesan ‘mengikuti arus’, pelaksanaan aktual penelitian indigenous tetap mengikuti rigors (ketaatasasan) penelitian ilmiah. Dengan perencanaan yang cermat, dokumentasi yang teliti dan saksama, perhatian pada kontribusi atau input unik masing-masing partisipan, dan seterusnya. Dalam penelitian inipun peneliti berusaha meminimaliskan yang disebut dengan kesan groping tersebut. Adanya pesan yang tersirat dalam ritual niki paleg menjadi sebuah nilai kehidupan dalam berelasi. Nilai relasi yang dijunjung tinggi oleh suku Dani ini menjadi cikal bakal ritual ini dilakukan semenjak nenek moyang orang Dani. Studi indigenous psychology yang dilakukan di Korea (Park & Kim, 2004) menyebutkan bahwa konsepsi tentang masa lalu dan masa depan memiliki dasar relasional. Nenek moyang merepresentasikan masa lalu, dan anak-anak merepresentasikan masa depan. Penting untuk menghormati nenek moyang karena melalui nenek moyanglah seseorang ada. Kakek nenek adalah saksi hidup dan penghubung dengan masa lalu. Sementara di lain pihak, ana-anak merepresentasikan masa depan keluarga sehingga investasi emosional, finansial, dan sosial yang luar biasa ditanamkan untuk mereka dan dalam diri mereka. Demikian halnya dengan suku Dani, mereka sangat menghormati nenek moyang dan hal-hal dimasa lalu yang dianggap menjadi awal mula kehidupan orang Dani hidup. Tatanan budaya suku Dani ini, seperti yang telah penulis paparkan diawal diatur secara historikal. Kelompok masyarakat ini termasuk suku
yang sangat kuat dalam
91 mempertahankan nilai-nilai budayanya. Terbukti dari gaya hidup mereka yang telah peneliti lihat selama peneliti tinggal di
pulau Papua khususnya, suku ini ada dimana-
mana, yang dimaksudkan adalah mereka tidak hanya tinggal di homeland mereka sendiri. Namun demikian, daerah dimana mereka tempati tidak akan merubah tatanan budaya mereka sebagai suku Dani. Ritual niki paleg dapat ditemui dimana ada orang Dani berdomisili. Ritual niki paleg telah menjadi gaya hidup mereka pada saat mereka menghadapi kematian orang terdekat mereka. Tidak hanya orang Dani sendiri, tetapi mungkin saja orang terdekat itu adalah orang dari non-suku Dani. Hal ini yang penulis dapatkan sebagai salah satu hasil dari penelitian indigenous ini, bahwa telah terjadi peluasan makna ‘kehilangan’ dalam ritual ini. Peneliti pernah menemukan seorang wanita Dani yang berada di UGD RS. katholik di Jayapura sementara menangis kesakitan akibat ia telah melakukan ritual neki paleg atas kehilangan kekasihnya. Hal ini tentunya membuat peneliti terkejut dan sempat mewawancarainya secara cepat. Ia merasa sangat kehilangan, hancur hati, dan terluka. Sebagai wanita Dani ia merasa pantas melakukan ritual ini karena betapa sakit hati ia ditinggalkan. Menjunjung tinggi nilai sebuah hubungan atau relasi dalam suku Dani ini telah menggugah hati peneliti melakukan studi indigenous ini. Kehidupan manusia yang tidak terlepas dari yang disebut menjalin hubungan dari waktu ke waktu menyadarkan peneliti betapa pentingnya menjaga kualitas relasi itu sendiri. Lewat studi indigenous inilah peneliti menemukan sebuah makna mendalam dari ritual niki paleg dari suku Dani yang tidak dapat dbandingkan oleh apapun didunia ini. “Sebuah jari yang terputus tiada berarti bagi seorang manusia Dani dibandingkan sebuah nilai relasi yang telah ada selama kehidupan ini dijalani bersama selama nafas masih ada”. Demikianlah kiranya makna tersirat pada perilaku potong jari atau ritual niki paleg yang peneliti coba simpulkan dalam studi indignous psychology ini. Kesamaan tema dari ketujuh partisipan dan dalam proses triangulasi serta perpanjangan data telah memberikan sebuah benang merah yang mendukung teori dukacita, terkait pula dengan teori attachment serta menjadi focused intensive study approach dalam studi indigenous psychology ini. Dan sebagai deskripsi akhir tentang
92 dukacita suku Dani yang dinyatakan dalam ritual niki paleg ini, peneliti pun berkesimpulan bahwa dalam situasi dukacita orang Dani telah memenuhi kriteria ‘penduka’, dimana kedukaan mereka bersifat unik dan holistik, dan memenuhi tahaptahap kedukaan itu sendiri, dan yang pada akhirnya dapat mengelola kedukaan mereka dengan melakukan ritual niki paleg yang digunakan sebagai sebuah simbol duka dalam budaya suku Dani yang telah menjadi sebuah kebiasaan atau gaya hidup dalam kehidupan sehari-hari.
C.
SARAN-SARAN 1. Bagi Orang Dani Setiap kebudayaan sebenarnya telah mengembangkan berbagai perangkat
dan kebijaksanaan budaya untuk membantu warganya dalam menghadapi setiap siiklus perkembangan manusia. Oleh karena kematian dan kedukaan adalah bagian integral dari siklus perkembangan manusia, maka setiap kebudayaan pasti mempunyai perangkat dan kebijaksanaan dalam membantu warganya menghadapi kedukaan dan kematian, dan diharapakan setiap warganya masyarakatnya dapat melewati masa-masa sulit dalam kedukaan. Hidup baik dalam penghayatan dan pandangan terhadap nilai-nilai batin yang sangat dihormati dan dipercayai dan dituangkan dalam ritual ritual telah diturunkan dari generasi ke generasi merupakan sebuah kekayaan budaya yang perlu dilestarikan. Pemaknaan dibalik ritual maupun kebiasaa merupakan hal yang penting dan dianggap perlu untuk terus dijaga kelestarianya sebagai warisan budaya pula. Sayangnya, kita kurang memahami makna dan kegunaan yang mendasar dari perangkat dan kebijaksanaan budaya tersebut secara tepat. Seringkali yang terjadi adalah kita terjebak untuk menangkap kulit luarnya saja. Kita menggunakan perangkat dan kebijaksanaan itu sebagai upacara atau ritus tanpa menangkap maknanya secara hakiki. Kita lebih cenderung memonumenkan perangkat dan kebijaksanaan itu sebagai adat istiadat yang tidak menyentuh realitas kehidupan sejati. Bahkan tidak jarang perangkat dan kebijaksanaan budaya itu kita kemas menjadi alat bisnis wisata yang sama sekali jauh dari tujuan yang paling hakiki.
93 Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati dan dengan tidak beprasangka buruk bagi ritual nIki paleg ini, peneliti menghimbau kembali bagi semua kepala-kapala suku besar adat masyarakat suku Dani untuk mengkaji kembali semua aturan-aturan adat yang sudah diatur dari sejak dulu, guna melakukan pencerahan dan revitalisasi perangkat dan kebijaksanan budaya, khususnya yang berhubungan dengan proses kehilangan dan kedukaan.
2. Bagi Ilmu Psikologi Sebagai kajian ilmu yang mempelajari manusia dan perilakunya dalam kehidupan, peneliti menganggap pentiing sekali untuk memperdalam cabang-cabangnya. Peneliti masih merasa kurangnya penelitian psikologi indigenous yang dilakukan secara lebih fokus dan terarah pada perilaku manusia khususnya di negara kita Indonesia. Masih banyak sekali perilaku-perilaku unik, khusus, bermakna yang disajikan dalam perangkat dan kebijaksanaan budaya dan sampai saat ini belum terjangkau oleh para psikolog di Indonesia. Perlunya motivasi yang secara terus menerus diberikan bagi para psikolog di seluruh Indonesia agar dapat lebih bergairah melakukan penelitian indigenus, penelitian psikologi lintas budaya, serta pendekatan lainnya dalam ranah ilmu psikologi budaya. Peneliti sangat yakin bahwa hal ini tidak hanya menarik tapi juga menguntungkan banyak pihak.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini mungkin dianggap baru dalam kajian Indigenous Psychology dalam ruang lingkup cabang ilmu Psikologi yang ada. Dari penelitian ini, peneliti menyarankan agar lebih lagi memberikan banyak masukan kepada peneliti selanjutnya untuk lebih terfokus dan kreatif dalam melakukan penelitian selanjutnya berdasarkan kajian psikologis.
Peneliti selanjutnya disarankan juga lebih bersemangat dan antusias dalam menggali makna perangkat budaya yang direalisasikan dalam bentuk ritus dan upacara adat. Secara khusus peneliti memberi saran agar penelitian yang telah dilakukan ini tidak
94 berhenti sampai disini saja namun terus dilakukan sebagai tindak lanjut pengembangan ilmu Psikologi beserta cabang-cabang ilmu Psikologi. Hanya saja jangan terlalu meluas sehingga kurang terfokus pada makna sesungguhnya. Peneliti juga memberi saran agar para ahli-ahli psikologi yang bekerja khususnya pada dunia pendidikan pun dapat terus aktif melakukan banyak studi-studi terhadap macam perilaku manusia di seluruh Indonesia bahkan di luar Indonesia guna memperkaya bobot ilmu psikologi itu sendiri. Peneliti juga menyarankan agar setelah adanya peneilitian ini, ada banyak peneliti psikologi budaya yang datang meneliti di pulau Papua. Dimana Papua memiliki kekayaan suku, bahasa, dan budaya serta tatanannya dalam berbagai aspek. Untuk itu peneliti dengan segala senang hati dan tangan terbuka, siap membantu dan mensuksekkan stud-studi yang berkaitan dengan penelitian budaya sebagai Indigenous Psychology dan Cross Culture Psychology yang masih terbilang sangat jarang. Namun demikian, mengingat kekurangan atau kelemahan yang peneliti miliki selama pengambilan data, peneliti selanjutnya perlu memperhatikan juga segi finansial dan hubungan sosial budaya dalam melakukan penelitian jenis ini dikemudian hari. Para peneliti diharapkan lebih siap dalam menghadapi fakta lapangan, serta membuat pertimbangan sebijak mungkin sebelum melakukan penelitian. Satu hal juga yang harus diperhatikan bagi peneliti selanjutnya adalah tetap memperhatikan biaya penelitian yang cukup karena penelitian ini membutuhkan biaya yang besar. Seperti biaya transportasi, biaya jasa partisipan, biaya hidup yang tinggi, serta biaya lain yang tidak terduga sehingga tidak penelitian berjalan lancar dan penelitian selanjutnya juga diharapkan untuk menggali data selengkap mungkin sesuai dengan tujuan penelitiannya.
95 B.
REKOMENDASI Bagi penelitian-penelitian yang akan dilakukan di waktu dan kesempatan mendatang, peneliti merekomendasikan beberapa hal, yaitu: 1.
Penelitian yang sudah dilakukan ini adalah penelitian kualitatif, oleh
sebabnya adalah lebih bijak dan tepat bahwa dalam penelitian selanjutnya dapat digunakan mix-method, yaitu merupakan kombinasi antara metode kualitatif dan kuantitatif, dengan melibatkan lebih banyak lagi partisipan, sehingga dapat menghasilkan literatur lebih bersifat bervariatif dalam pembelajaran psikologi kebudayaan, sehingga dapat menghasilkan literatur sebagai perbandingan hasil penelitian dalam perbedaan gender pada suku yang sama. 2.
Dengan mempertimbangkan bahwa orang Dani sangat menjunjung
tinggi nilai relasi dengan sesamanya, adalah baik dan penting untuk diadakan penelitian selanjutnya seiring perkembangan zaman dan perubahan-perubahan dalam beberapa aspek kehidupan manusia. Sehingga dapat diketahui apabila terjadi perluasan makna atau bahkan mungkin terjadi pergeseran makna pada kelompok masyarakat yang sama namun dalam kurun waktu dan situasi yang berbeda di masa yang akan datang.