BAB V KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN SARAN
V.1 Kesimpulan Proses konsepsi adopsi teknologi informasi dan komunikasi di pedesaan adalah proses yang melibatkan interaksi antara aktor-aktor dan artifak-artifak teknis yang membentuk konfigurasi sosio teknis1. Konfigurasi tersebut tersebut menentukan bentuk pillihan teknologi yang akan diadopsi dan sistem sosial pengadopsi. Negosiasi-negosiasi yang terjadi dalam proses konsepsi adopsi tersebut menyebabkan aktor-aktor dan artifakartifak teknis tersebut melakukan adaptasi, dan adaptasi inilah yang merubah bentuk pilihan teknologi dan sistem sosial yang berlaku.
Dua kasus difusi teknologi informasi dan komunikasi yang diteliti disini, yaitu projek Digital Learning: Pengembangan Teknologi Pencarian dan Konten Digital untuk Masyarakat Pedesaan di desa Cinta Mekar, Kabupaten Subang yang dilakukan oleh PPTIK ITB dan inisiatif pengembangan teknologi informasi dan komunikasi di desa Limbangan, Kabupaten Kendal yang dilakukan oleh Sekolah Rakyat, memberi gambaran mengenai dua proses difusi inovasi yang berangkat dari dua pendekatan adopsi teknologi yang berbeda. Proyek yang dilakukan oleh PPTIK ITB berangkat dari pendekatan sistematis dan terencana. Sedangkan inisiatif pengembangan TIK dari Sekolah Rakyat menggunakan pendekatan yang spontan dengan desain aksi yang berubah-ubah menyesuaikan kesepakatan-kesepakatan dengan aktor-aktor yang relevan di desa.
Pola konsepsi adopsi yang diambil oleh PPTIK ITB dan Sekolah Rakyat memiliki perbedaan dalam menciptakan ruang-ruang negosiasi dengan aktor-aktor dan artifakartifak teknis. Proses konsepsi dan adopsi yang dikembangkan dalam projek PPTIK ITB ini, membuka ruang negosiasi yang terbatas pada pihak-pihak yang telah ditetapkan sebelumnya oleh PPTIK ITB. Pihak-pihak tersebut, di antaranya adalah para pelaksana projek dan figur-figur tertentu yang telah ditentukan oleh inisiator projek. Sementara 1
Sony Yuliar, 2009
109
proses konsepsi adopsi yang dilakukan oleh Sekolah Rakyat membuka ruang negosiasi pada berbagai pelaku yang ditemui dalam implementasi proyek.
Kedua pendekatan tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda dalam pemilihan teknologi yang diterapkan. Pada proses konsepsi dengan pendekatan sistematis dan terencana yang dilakukan oleh PPTIK ITB, sebagian besar pemilihan spesifikasi dan prosedur teknologi telah dilakukan
pada tahap konsepsi. Pada tahap adopsi yang
dilakukan tinggal penyesuaian teknologi saja. Sedangkan pada konsepsi yang dilakukan oleh Sekolah Rakyat, penetapan pilihan teknologi baru dilakukan setelah proses interaksi antara pelaksana proyek dengan masyarakat desa menghasilkan pemahaman yang memadai bagi kedua belah pihak. Proses tersebut juga merupakan proses yang mengandung negoasiasi. Pilihan teknologi baru dilakukan setelah proses negosiasi terjadi.
Pola-pola konsepsi adopsi yang dilakukan oleh kedua institusi tersebut juga memiliki konsekuensi berbeda-beda dalam mempengaruhi perubahan bentuk sistem sosial. Pola pendekatan yang dilakukan oleh PPTIK ITB mengajak aktor-aktor yang ditemui di desa untuk menyesuaikan diri dengan spesifikasi dan prosedur teknologi yang dibawa. Pelatihan juga disediakan untuk mendukung penyesuaian diri tersebut. Pendekatan tersebut menghasilkan suatu sistem sosial pengguna teknologi informasi dan komunikasi yang lingkupnya agak terbatas, dan spesifik dalam pola penggunaannya, atau menggunakan sebatas fungsi yang sangat definitif. Kreatifitas pengguna untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan fungsi lain dari teknologi yang datang kurang berkembang, seperti komputer ya hanya cukup untuk belajar mengetik saja.
Sementara pola pendekatan terbuka yang dikembangkan oleh Sekolah Rakyat, mendorong aktor-aktor yang ditemui di desa untuk bernegosiasi mendefinisikan sendiri teknologi yang tepat bagi mereka. Ketika suatu pilihan teknologi telah ditetapkan dan dijalankan, kemudian muncul aktor-aktor lain yang melakukan negosiasi ingin mengubah bentuk teknologi, Sekolah Rakyat membuka peluang itu. Pendekatan tersebut membawa pada terbentuknya suatu sistem sosial yang lingkupnya cukup luas. Akan
110
banyak aktor yang bisa masuk ke dalam sistem sosial tersebut, karena isu yang dibawanya ada peluang untuk diakomodasi oleh sistem tersebut. Kreatifitas modifikasi teknologi, yang berupa proses penyesuaian pilihan teknologi dengan kepentingan aktoraktor yang terlibat tersebut, akan sangat terbuka.
Namun situasi yang terbuka, dimana semua kepentingan dan kreatifitas bisa masuk tersebut, juga memberi kemungkinan terjadinya konflik. Sebuah proses negosiasi yang tak terselesaikan, seperti pada kasus berakhirnya radio komunitas Sekolah Rakyat. Pendekatan seperti yang dilakukan oleh PPTIK-ITB nampaknya lebih menjanjikan kemudahan dalam pengendalian dan menghindari konflik kepentingan tersebut.
Isu Demokrasi Kedua kasus adopsi teknologi informasi dan komunikasi yang dibahas tersebut memberi gambaran mengenai peran dari proses negosiasi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, dalam menentukan pilihan teknologi. Kesempatan bernegosiasi yang dibukakan bagi aktor-aktor yang sering disebut sebagai “kelompok sasaran proyek” akan menjadikan bentuk teknologi bergerak menyesuaikan agregasi kepentingan yang berkembang dari aktor-aktor tersebut. Pada kasus Sekolah Rakyat, pada awalnya, kepentingan-kepentingan yang diberi ruang untuk bernegosiasi tersebut membawa bentuk teknologi pada tempat yang disukai oleh masyarakat di desa tersebut. Sementara pada kasus PPTIK ITB, kesempatan bagi teknologi untuk beradaptasi tersebut kurang dibuka.
Pengalaman kedua kasus tersebut menunjukkan bahwa adopsi oleh suatu sistem sosial terhadap teknologi yang masuk tidak dapat berlangsung serta merta. Untuk menjadikan suatu inovasi teknologi diterima, membutuhkan tidak sekedar peningkatan pemahaman atau pengenalan masyarakat terhadap teknologi tersebut, namun juga perlu penyesuaianpenyesuaian, baik di sisi masyarakat maupun bentuk teknologinya. Demokrasi, yang dalam hal ini diartikan oleh penulis sebagai kesempatan bagi semua orang untuk terlibat dalam proses negosiasi dalam membentuk penyesuaian-penyesuaian tersebut, ternyata mendorong terjadinya penerimaan teknologi tersebut.
111
Demokrasi dalam penetapan pilihan-pilihan teknologi tersebut juga tidak bisa lepas dari konteks lokal yang berlaku. Seperti turut terlibat aktifnya berbagai aktor desa di kasus Sekolah Rakyat tidak lepas dari modal sosial desa Limbangan, tempat proses adopsi ini dijalankan. Penerapan model yang demokratis dalam pemilihan teknologi, mungkin akan mengalami hambatan di desa Cinta Mekar, karena mungkin modal sosial di desa tersebut tidak mendukung proses seperti itu.
Peran Kelas Menengah Dua kasus adopsi teknologi informasi dan komunikasi yang dikemukan di atas, diterapkan pada dua lokasi dengan dua konteks sosial yang berbeda. Desa Cinta Mekar memiliki konteks tipikal pedesaan homogen dengan struktur masyarakatnya terdiri dari masyarakat biasa dan tokoh masyarakat. Kelompok kelas menengah2 tidak terlalu tampak di desa ini. Sementara desa Limbangan memiliki konteks yang lebih heterogen, di desa ini terdapat kelas menengah, yaitu kelompok masyarakat yang memiliki jaringan cukup luas ke dalam ataupun ke luar desa, memiliki kapasitas untuk memanfaatkan berbagai hal baru termasuk teknologi baru, dan secara ekonomi kelompok ini tidak terlalu menggantungkan hidupnya dari sumberdaya lokal desanya semata. Kelas menengah inilah yang menjadi pelopor adopsi teknologi informasi dan komunikasi di desanya. Dari kedua kasus adopsi teknologi informasi dan komunikasi tersebut, telah dipaparkan bahwa proses adopsi yang terjadi di desa Limbangan lebih cepat. Hal ini tidak lepas dari peran kelas menengah yang ada di desa Limbangan dalam mendukung adopsi teknologi tersebut.
Inovasi teknologi yang dilakukan melewati kelas menengah ini lebih cepat diadopsi oleh masyarakat, karena kelas menengah ini menjadi simpul jaringan, baik dengan
2
Kelas menengah yang dimaksud penulis adalah kelompok-kelompok di masyarakat yang memiliki relasi sosial padat dengan berbagai pelaku lain (kelas bawah, kelas atas, masyarakat lokal, masyarakat di luar ), serta memiliki relasi yang padat pula dengan berbagai artifak teknis (peralatan elektronik, metodametoda, buku-buku dan sebagiainya). Kelompok-kelompok tersebut biasanya memiliki kemandirian ekonomi namun bukan merupakan institusi kuat yang mendominasi kegiatan-kegiatan ekonomi dan tatanan di tingkat lokal. Kelompok ini juga seringkali menjadi simpul transfer informasi maupun negosiasi antar berbagai kelompok-kelompok yang ada di desa tersebut.
112
aktor-aktor lain maupun dengan berbagai artifak teknis yang ada di desa dan luar desanya. Dengan itu mereka lebih intens terlibat dalam berbagai proses negosiasi, baik dengan aktor-aktor maupun artifak-artifak teknis. Hal ini mendorong percepatan diperolehnya pilihan teknologi yang dan bentuk sistem sosial yang tepat dalam proses adopsi teknologi ini.
Kelas menengah di desa ini juga memiliki pengaruh dalam mendorong pergeseran pilihan teknologi dan sistem sosial, termasuk norma sosial, secara cepat. Sebuah pilihan teknologi berserta institusi sosial pendukungnya yang baru terbentuk di desa, misalnya radio komunitas, akan mudah dirombak secara cepat oleh kelas menengah desa. Kecepatan tersebut seringkali tidak bersesuaian dengan kecepata pola adopsi masyarakat desa. Misalnya dalam kasus radio komunitas, masyarakat bisa mengadopsi keberadaan institusi radio komunitas, namun ketika radio komunitas tersebut membawa nilai yang berbeda dengan masyarakatnya, masyarakat tidak bisa menerimanya. Terlepas dari persoalan tersebut, keberadaan kelas menengah penting diperhatikan, karena karakter yang dimilikinya sebagai simpul jaringan memungkinkan proses adopsi inovasi berjalan secara demokratis dengan membuka berbagai negosiasi dan adaptasi / modifikasi yang mengarahkan pada suatu konfigurasi sosio teknis yang konvergen. Hal ini dapat menjadi alternatif dari pemikiran yang mengatakan bahwa proses adopsi inovasi harus dilakukan secara terpimpin dan terencana oleh sebuah institusi yang kuat.
V.2 Rekomendasi 1. Kedua
pendekatan
Pendekatan model
tersebut PPTIK
memiliki ITB
keunggulannya
memilikii
keunggulan
masing-masing. dalam
sumber
pengetahuan dan pakar yang kompeten untuk merencanakan suatu desain adopsi teknologi yang bersifat generik dan dapat direplikasi diberbagai tempat. Sedangkan pendekatan yang dilakukan oleh Sekolah Rakyat lebih membutuhkan kapasitas untuk memahami sistem sosial yang berlaku dan mengolah modal sosial yang ada di tempat dimana adopsi teknologi akan dilakukan. Mungkin akan berguna jika institusi-institusi dengan tipe keduanya saling tukar menukar pengalaman secara langsung, agar kekuatan keduanya bisa disatukan.
113
2. Demokratisasi pemilihan teknologi bagi masyarakat, seperti yang dicontohkan oleh Sekolah Rakyat, dapat digunakan sebagai lesson learned bagi proses adopsi teknologi di tempat lain. Peran pemerintah, perguruan tinggi dan lembagalembaga pembangunan untuk mempalajari lebih dalam dan memfasilitasi pengembangan lesson learned tersebut akan sangat relevan. 3. Proyek-proyek adopsi teknologi untuk pedesaan, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, sebaiknya memperhatikan peran kelompok-kelompok yang menjadi simpul jaringan, dimana berbagai aktor dan artifak teknis terhubung dengannya. Karena kelompok ini seringkali memiliki kemampuan untuk membantu
proses
adopsi
teknologi
dengan
menjembatani
perbedaan
kepentingan dari masing-masing aktor dan karakter dari artifak-artifak teknis.
V.3 Saran Penelitian yang dilakukan ini telah melihat bagaimana proses-proses negosiasi mempengaruhi konfigurasi sosio teknis dari aktor-aktor dan artifak-artifak teknis dalam proyek pengembangan TIK. Penelitian ini belum terlalu dalam melihat bagaimana peran institusi-institusi sosial desa, kelas menengah dan dinamika politik di desa dalam mempengaruhi pola adopsi teknologi. Seperti apakah diperlukan institusi yang kuat atau keberadaan kelas menengah di tingkat desa agar proses adopsi dapat berjalan dan berkelanjutan. Penelitian ini juga belum melihat bagaimana relasi antara berbagai faktor luar desa, seperti kebijakan pemerintah, budaya kosmopolitan di kota yang berimbas ke desa, kemunculan suplai berbagai produk teknologi baru terhadap pola adopsi teknologi tersebut. Penelitian mengenai hal tersebut, menurut penulis, perlu mendapat perhatian. Karena penulis melihat bahwa banyak faktor dari isu tersebut yang mempengaruhi pola adopsi teknologi pada kedua kasus yang diteliti, namun belum banyak diungkapkan dalam penelitian ini.
Selain itu, penelitian mengenai proses-proses negosiasi dalam mempengaruhi konfigurasi sosio teknis dapat pula dilakukan untuk mengaji faktor-faktor lain terkait adopsi teknologi, seperti pengaruh kebijakan atau pengaruh kekuatan pasar pada pola adopsi teknologi.
114