BAB V KESIMPULAN
Masalah hubungan PDI dengan massa pendukung Pra dan Pasca Fusi hingga berdiri PDI-P, bisa dilihat dari dua aspek, yakni: antar unsur penyokong fusi dan hubungan profesional PDI dengan massa secara keseluruhan khususnya massa muda. Sebelum fusi, hubungan partai-partai dengan pendukungnya sangat dinamis. Hal ini bisa dilihat dari dukungan suara untuk partai-partai yang kelak bergabung dalam PDI. PNI merupakan partai pemerintah Orde Lama dengan dukungan suara terbesar pada Pemilu 1955. Dukungan suara tersebut menandakan hubungan PNI dengan basis massanya cukup harmonis sehingga berbuah kemenangan dalam Pemilu 1955. Begitupun dengan empat partai lainnya, meskipun tidak mendapatkan dukungan yang signifikan, namun keempat partai lainnya memiliki basis massa yang jelas. Namun pada Pemilu 1971, konfigurasi dukungan terhadap partai pembentuk PDI mengalami kemunduran. PNI sebagai pemenang dalam Pemilu 1955, hanya mendapatkan 6,94 persen atau hanya 20 kursi di parlemen, Parkindo 1,34 persen atau 7 kursi, Partai Katolik 1,11 persen atau 3 kursi, sedangkan IP-KI dan Murba tidak mendapatkan jatah kursi di parlemen. Kelima partai tersebut memiliki basis dukungan massa muda, berupa organisasi-organisasi mahasiswa dan kepemudaan yang kemudian menjadi basis tradisional partai politik. Namun setelah kelima partai tersebut membentuk PDI
149
dengan adanya fusi, pemerintah membuat batasan kepada partai politik dengan adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 dan disempurnakan menjadi UU No. 8 Tahun 1985 tentang Keormasan. Dimana keanggotaan ormas bersifat perorangan. Ormas tidak mempunyai keterkaitan dengan orsospol, menandakan matinya hubungan partai dengan massa pendukung di akar rumput, yang selama ini menjadi penyuplai kader dan simpatisan dalam mendulang suara. Dengan adanya peraturan tersebut membuat hubungan secara organisatoris antara PDI dengan underbouw penyokong fusi menjadi renggang bahkan terputus. Namun hubungan perseorangan masih tetap terjalin, hal ini setidaknya terlihat dari pergantian kepemimpinan dalam PDI yang berasal dari underbouw partai unsur PDI, seperti Soerjadi yang berasal dari GMNI, Sukowaluyo yang berasal dari GAMKI dan Nico Daryanto yang berasal dari Partai Katolik. Di sisi lain, PDI semakin memperlihatkan diri sebagai partai masa depan dengan pola rekrutmen yang semakin terbuka. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya penyokong PDI dari massa muda yang berasal dari luar unsur pendukung PDI. Pola hubungan seperti ini berlangsung ketika Soerjadi memimpin PDI yang kemudian diteruskan oleh Megawati Soekarno Putri sampai terbentuknya PDI-P. Keterbukaan PDI pada masa kepemimpinan Soerjadi membuat massa muda menaruh perhatian serius kepada PDI sebagai partai yang peduli terhadap nasib kaum muda dan kebebasan atas kritisisme yang didambakan oleh pemuda. Hal senada dilakukan oleh Mega dalam memimpin PDI, sehingga banyak pendukung PDI akhirnya berani berbicara dan menikmati kemerdekaannya secara politik
150
dalam tubuh PDI. Sebagai pemimpin partai, Megawati banyak memberikan kepercayaan tersebut, sehingga elit-elit di sekeliling Mega berani menyalurkan pandangannya tanpa merasa takut. Dalam hal program, salah satu program keberhasilan dalam stabilisasi organisasi PDI periode awal fusi sampai Kongres III adalah dengan membagi jatah kue elit PDI dengan formula “proporsional-representatif-toleran” dengan beberapa kesepakatan, yakni: Ketua Umum DPP dipegang oleh unsur PNI dan unsur PNI memperoleh lebih banyak kursi DPP. Strategi lainnya adalah dengan selalu mengganti kepengurusan yang berhalangan dari unsur yang sama. Namun, hampir semua suksesi PDI merupakan hasil campur tangan pemerintah, bahkan bisa dikatakan sebagai keberhasilan pemerintah dalam menanam orang kepercayaannya dan menggeser orang yang tidak kooperatif dengan kebijakan pemerintah. Sanusi dan Soerjadi merupakan “orang-orang yang ditanam” oleh pemerintah di tubuh PDI. Meskipun demikian, Soerjadi merupakan tokoh PDI dari GMNI yang merupakan underbouw PNI, berhasil memformulasi PDI menjadi partai masa depan dengan masuknya unsur di luar unsur tradisional PDI. Soerjadi muda berhasil meregenerasi PDI dari tokoh-tokoh tua. Pola ini dilakukan oleh Soerjadi karena Soerjadi tidak didukung oleh kelompok tua di tubuh PDI. Sementara itu dalam dua masa kepemimpinan Megawati yakni pasca Munas 1993 dan PDIP, terlihat perbedaan Mega dalam memimpin PDI, untuk mempertahankan roda organisasi. Mega pasca Munas cenderung akomodatif dengan pemerintah dengan konsekuensi independensi dirinya sebagai ketua umum
151
selalu “diawasi” oleh rival-rivalnya di internal partai. Sedangkan masa kepemimpinannya dalam PDIP, Mega memperlihatkan independensinya sebagai pemimpin dengan dukungan dan loyalitas penuh dari massa pendukung atas segala keputusan yang dikeluarkan oleh Mega. Sebagai partai massa, PDI tentu memerlukan kader yang mampu menggerakan massa. Meskipun buku panduan kader sudah ditetapkan sejak Soenawar memimpin PDI, namun pelaksanaanya baru terlihat saat kepemimpinan Soerjadi, dengan munculnya Alex Asmasubrata yang merintis karir politik dari kader biasa yang menjadi Kordes, kemudian berhasil menjadi Ketua DPD PDI Jakarta. Stabilitas organisasi ini merupakan salah satu aspek yang mengakibatkan massa muda tertarik kepada PDI, setidaknya pada masa Soerjadi. Beberapa program yang dikembangkan oleh Soerjadi untuk menarik massa muda adalah dengan merekrut pemimpin muda dari berbagai latar belakang bahkan berani mencalonkan legislator dari pemuda lebih banyak dibanding dua OPP lain. Hal ini semakin meyakinkan massa pemuda, jika PDI merupakan partai masa depan dan partainya anak muda. Selain itu, PDI juga mahir dalam mengolah isu yang ditawarkan kepada massa muda, antara lain: sikapnya tentang NKK/BKK dan isu-isu demokratisasi. Pandangan-pandangan tersebut selain dijual dalam setiap event kampanye, juga diejewantahkan dalam sikap DPP, khususnya terkait isu KKN yang sedang menjadi sorotan dan dikritisi oleh massa muda. Bagi PDI, kepeduliannya atas isu KKN bukan hanya diwujudkan dalam pandangan-pandangan semata, namun juga
152
dalam
sikap,
seperti
membatasi
keterlibatan
anggota
keluarga
dalam
kepengurusan PDI, kecuali orang yang memenuhi standar dan kualifikasi yang ditetapkan PDI. Hal ini juga berlaku bagi elit di DPP PDI. Selain unsur tradisional, seperti banyaknya elit PDI yang berasal dari underbouw unsur pendukung fusi, kebanyakan massa muda menaruh dukungan kepada PDI dikarenakan adanya sebuah harapan akan sebuah perubahan atas demokrasi yang selama ini dijalankan. Bagi massa muda, kebebasan dan kritisisme merupakan faktor yang ingin dipenuhi, hal tersebut mereka dapatkan di Partai Demokrasi Indonesia. Sejak kepengurusan Soerjadi, massa muda semakin gandrung dengan PDI karena sikap dan loyalitas PDI kepada nasib masyarakat khususnya massa muda yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk real seperti, dibukanya keran pencalonan dari unsur muda untuk menjadi anggota DPR. Sedangkan dalam kepemimpinan Megawati, faktor yang mendekatkan massa muda dengan PDI adalah ketokohan Mega yang dianggap sebagai simbol perlawanan terhadap kemapanan pemerintah yang dinilai sibuk mengembangkan dimensi fisik daripada substansi demokrasi itu sendiri. Keberanian Mega terhadap kepongahan pemerintah itulah yang menjadikan massa muda menaruh harapan kepada PDI dan PDIP.
153