BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dari temuan penelitian di lapangan dan didukung berbagai sumber lainnya, menunjukkan bahwa terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat oleh negara sejak masa pemerintahan kolonial Belanda hingga masa reformasi adalah karena adanya kekuasaaan negara yang begitu besar dan dominan atas masyarakat adat Kampung Naga. Namun demikian, perubahan rezim pemerintan yang memiliki arah kebijakan serta corak pemerintahan yang berbeda mengakibatkan adanya dinamika relasi kuasa diantara negara dan masyarakat adat Kampung Naga. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, praktek kekuasaan diwarnai dengan penggunaan alat-alat kekerasan dalam hal ini militer, terutama untuk memperluas wilayah teritorial politiknya. Selain itu, pratek kekerasan yang dilakukan oleh Belanda pada masa itu adalah melalui sistem tanam paksa (preanger stelsel dan cultuur stelsel), pajak tanah (landrente) serta praktek “kerja pertuanan” atau lebih dikenal dengan sistem kerja paksa. Kampung Naga sendiri harus kehilangan tanah ulayat mereka akibat adanya kebijakan ini. Berbagai pemaksaan kebijakan ini kemudian mengakibatkan munculnya perlawanan dari masyarakat. Oleh karena itu, relasi kuasa yang terjadi pada masa pemerintahan Belanda lebih bersifat dominasi. Berakhirnya masa pemerintahan kolonial di Indonesia ditandai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta.
141
Namun demikian, menurut Bennedict Anderson Indonesia yang kita kenal pada saat ini merupakan produk yang sama yang lahir dari perluasan yang luar biasa oleh kekuatan militer Batavia sekitar tahun 1850 dan 1910. Pengaruh dari masa kolonial Belanda ini cukup besar, termasuk dalam bidang hukum terutama untuk undang-undang Agraria. Kebijakan agraria pada masa pemerintahan Belanda yang sangat merugikan masyarakat adat di Indonesia baru dihapuskan dengan lahirnya UUPA tahun 1960. Namun demikian, euforia masa kemerdekaan dan wacana nasionalisme yang terus dibangun dalam masyarakat Indonesia, menghasilkan konsensus masyarakat terhadap pemerintah. Terlebih dengan adanya niat dari pemerintah untuk merubah peraturan agraria dengan memberikan peran besar pada hukum adat, semakin memperkuat konsensus masyarakat adat terhadap pemerintah, sehingga relasi kuasa yang terjadi diantara keduanya bersifat hegemoni. Bergantinya pemerintahan Orde Lama menjadi Orde Baru diikuti dengan perubahan arah kebijakan ekonomi yang cukup signifikan. Pada masa ini alat-alat kekerasan negara kembali sering digunakan oleh negara untuk mencapai dan melindungi kepentingannya. Dalam bidang agraria, pemerintahan Orde Baru mengeluarkan undang-undang yang bertentangan dengan nilai-nilai UUPA seperti Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Pertambangan, dampak dari kedua undang-undang tersebut banyak merugikan masyarakat secara ekologis, sosiologis dan kultural, khususnya masyarakat adat sebagai pemegang hak tanah ulayat yang banyak dirugikan akibat undang-undang tersebut. Dalam konteks Kampung Naga, selain beralihnya tanah ulayat mereka menjadi milik PT.
142
Perhutani dan PTPN, pemerintah juga menjadikan Kampung Naga sebagai objek pariwisata, praktek ini merupakan praktek penguasaan tanah ulayat secara tidak langsung. Akibat dari praktek kekuasaan ini kemudian muncul resistensi dari masyarakat, sehingga kemudian relasi kuasa yang terjadi diantara keduanya menjadi bersifat dominasi. Jatuhnya rezim Orde Baru yang kemudian disebut-sebut sebagai masa reformasi membawa harapan bagi masyarakat adat dengan adanya wacana reformasi agraria melalui TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Meskipun demikian, sampai hari ini tanah ulayat Kampung Naga yang beralih menjadi milik Negara belum dikembalikan kepada masyarakat. Selain itu, pada masa reformasi ini pemerintah kembali melakukan upaya pembangunan sarana dan prasarana pariwisata di Kampung Naga. Namun dengan adanya kontestasi wacana, penggunaan alat penegakkan hegemoni, transformasi militer dari alat represif negara menjadi patron menghasilkan konsensus dari masyarakat terhadap negara, sehingga kemudian relasi diantara keduanya bersifat hegemoni. Berdasarkan
pemaparan
dinamika
relasi
kuasa
diatas,
dengan
menggunakan teori Gramsci dalam mengukur hegemoni melalui pelacakan alat penegakkan kepemimpinan hegemoni dan alat kekerasan, disimpulkan bahwa hegemoni dikatakan bekerja dan terus berlangsung di Kampung Naga ketika negara mampu menggunakan alat-alat penegakkan hegemoni untuk memperoleh konsensus dari masyarakat. Disisi lain, hegemoni juga bekerja ketika adanya transformasi alat-alat kekerasan dari sebagai alat represif negara menjadi patron,
143
serta ketika pemerintah mampu memenangkan kontestasi wacana yang sesuai dengan kepentingannya. Hal ini seperti yang terjadi pada masa Orde Lama dan reformasi. Sedangkan ketika alat-alat kekerasan, seperti militer dan pengadilan bersikap represif terhadap masyarakat, hal ini akan menimbulkan resistensi dari masyarakat, sehingga kemudian relasi kuasa yang terjadi diantara negara dan masyarakat adat menjadi bersifat dominasi. Alat penegakkan kepemimpinan hegemoni negara di Kampung Naga diantaranya melalui pemberdayaan koperasi yang yang dikelola oleh lembaga adat, serta kontestasi wacana. Koperasi Sauyunan merupakan koperasi yang dibentuk karena adanya tuntutan dari pemerintah untuk diadakannya lembaga berbadan hukum untuk menyalurkan subsidi minyak tanah bagi masyarakat Kampung Naga. Hal ini sebagai respon pemerintah atas tuntutan dari masyarakat Kampung Naga yang melakukan protes kenaikan harga minyak tanah dengan melakukan aksi menutup dari dari kunjungan wisatawan dan peneliti. Selain melalui koperasi, upaya hegemoni negara juga bekerja melalui kontestasi wacana. Wacana-wacana yang dikontestasikan negara dengan wacana adat diantaranya adalah wacana pembangunan, wacana peningkatan ekonomi dan wacana wisata budaya. Wacana pembangunan dan wacana peningkatan ekonomi adalah wacana yang digunakan pada masa pemerintah Orde Baru, diantaranya dalam pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Namun, pada masa tersebut wacana adat mampu menghentikan pemerintah untuk meneruskan pembangunan tempat penginapan di daerah tersebut. Sementara wisata budaya, merupakan
144
sebuah wacana yang ditawarkan oleh pemerintah untuk mengganti wacana objek wisata yang mendapat penolakan dari masyarakat. Dengan adanya keluarga lembaga adat yang bekerja sebagai PNS di lingkungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya, dan juga ditempatkan sebagai pengelola wisata Kampung Naga, tentu saja bukan hal sulit untuk meyakinkan lembaga adat agar bisa menerima wacana wisata budaya tersebut. Bahkan setelah Koperasi Sauyunan yang dikelola lembaga adat diberi kontrak untuk mengelola pariwisata, tidak ada lagi resistensi dari masyarakat terhadap Negara. Praktek negara menjadikan lembaga adat sebagai elit dengan memberikan berbagai keuntungan, sesungguhnya merupakan praktek yang mirip dengan apa yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda, dimana mereka menjadikan bangsawan Sunda sebagai elit dan memberikannya akses untuk memperbudak buruh tani. Berdasarkan studi sebelumnya, hasil wawancara dan observasi di lapangan, hilangnya tanah ulayat Kampung Naga yang berpindah tangan pada Negara dan swasta serta kebijakan pariwisata banyak menimbulkan dampak negatif kepada masyarakat. Salah satu dampak dari berpindah tangannya tanah ulayat adalah hilangnya tanah garapan masyarakat Kampung Naga. Akibatnya masyarakat Kampung Naga banyak yang harus membeli beras untuk mencukupi kebutuhan pangannya, dan beberapa masyarakat juga ada yang bekerja di berbagai sektor informal diluar kota untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Banyaknya jumlah kunjungan wisatawan yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda telah membawa dampak bagi kehidupan masyarakat
145
sehari-hari. Pariwisata telah mulai menghilangkan kearifan lokal secara perlahanlahan, merubah perilaku masyarakat dan merubah gaya hidup masyarakat. Namun demikian, adanya berbagai dampak negatif dari kebijakan Negara tersebut tidak membuat masyarakat melakukan resistensi dan menuntut pengembalian tanah mereka. Bahkan perwakilan masyarakat Kampung Naga memilih walk out dari Kongres Masyarakat Adat Nusantara II yang memperjuangkan pengembalian hak-hak masyarakat adat, termasuk tanah ulayat. Masyarakat Kampung Naga menganggap tidak perlu meminta pengembalian tanah ulayat kepada Negara, hal tersebut dianggap sebagai sebuah pengabdian kepada Negara. Hal ini tidak terlepas dari nilai-nilai ajaran leluhur yang terus dipelihara dan diinternalisasikan kepada seluruh masyarakat, diantaranya nilainilai kepatuhan terhadap pemerintah, baik pemerintahan adat maupun negara. Ajaran tersebut mengajarkan bahwa pemerintah tidak untuk dilawan melainkan sebagai tempat mengabdi. Lembaga adat, terutama Kuncen memiliki berbagai sumber daya kekuasaan diantaranya kekuasaan normatif dan kekuasaan keahlian, dengan sumber kekuasaannya yang bersifat primordial mampu menjaga kepatuhan masyarakat Kampung Naga. Dengan sumber daya kekuasaannya, lembaga adat mendapatkan legitimasi penuh dari masyarakat untuk menentukan setiap kebijakan, untuk melakukan resistensi atau memberikan konsensus kepada pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh Erich Fromm yang melakukan studi mengenai kepatuhan, bahwa kepatuhan yang ditunjukkan oleh masyarakat Kampung Naga
146
kepada Negara adalah untuk memberikan rasa aman kepada mereka melalui perlindungan yang diberikan oleh negara. Militer yang sebelumnya sebagai alat kekerasan berubah menjadi patron yang memberikan perlindungan bagi masyarakat. Sedangkan berdasarkan studi Stanley Milgram yang menyebutkan bahwa ketidaktaatan atau resistensi muncul seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan seseorang, maka kepatuhan yang ditunjukkan masyarakat Kampung Naga bisa juga sebagai akibat dari rendahnya tingkat pendidikan mereka, sehingga mereka menjadi kurang kritis dan hanya mengikuti apa yang diputuskan oleh lembaga adat, baik ketika harus bersikap resisten maupun ketika harus memberikan konsensus. Dari penelitian ini, pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa adanya hegemoni dan dominasi yang dilakukan oleh negara telah mengakibatkan terjadinya kontinuitas penguasaan tanah ulayat masyarakat adat Kampung Naga oleh negara, meskipun telah terjadi peralihan kekuasaan dari pemerintahan kolonial hingga masa reformasi. Hubungan negara dan masyarakat adat dalam kerangka Accomodating Informal Institutions dapat dilihat sebagai sebuah “strategi terbaik kedua” untuk aktor yang tidak menyukai hasil yang dibuat oleh aturan formal namun tidak bisa merubah atau melanggar aturan tersebut secara terbuka. Mengakomodasi kepentingan masyarakat adat bukan berarti kekalahan Negara, melainkan menjadi sebuah strategi negara untuk kepentingan yang lebih besar yakni menjaga stabilitas politik dan keamanan, atau dengan kata lain untuk mempertahankan hegemoni negara terhadap masyarakat adat.
147
Hal ini sejalan dengan pernyataan Gramsci mengenai praktek hegemoni oleh negara bahwa praktek hegemoni, salah satu tujuan akhirnya adalah untuk mencari stabilitas dalam masyarakat terkait sebuah kepentingan tertentu. Dalam kaitannya dengan Masyarakat Kampung Naga, maka praktek hegemoni yang dilakukan oleh Negara melalui alat penegakkan kepemimpinan hegemoni dan alat-alat kekerasan bertujuan untuk menciptakan stabilitas dalam masyarakat tersebut.
148