2
Pengantar Anak pada umumnya menyampaikan keinginan dan perasaannya kepada orang lain melalui komunikasi, baik itu komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal (seperti gesture tubuh). Namun terdapat beberapa anak yang kesulitan menyampaikan keinginannya kepada orang lain terutama kepada orang diluar keluarga intinya. Banyak anak yang memilih diam dan tidak berbicara ketika diajak berkomunikasi dengan orang lain. Kondisi ini secara klinis disebut dengan Mutisme Selektif. Mutisme Selektif (selanjutnya akan disingkat dengan MS) merupakan diagnosa yang biasa digunakan untuk mendeskripsikan gangguan pada seseorang yang hanya berbicara dalam situasi tertentu saja. Anak yang mengalami MS menunjukkan beberapa simtom-simtom seperti menolak untuk berbicara di beberapa situasi sosial, sangat pemalu, menghindar, ketakutan berlebihan dan menunjukkan perilaku menentang pada beberapa situasi tertentu (Fisak, Oliveros dan Ehrnreich, 2006). Kriteria diagnosis untuk menentukan gangguan ini berdasarkan DSM-IV TR 313.23 Mutisme Selektif (American Psychiatric Association, 2002), yaitu: a. Kegagalan yang konsisten dalam berbicara pada situasi sosial spesifik (diharapkan untuk berbicara, misalnya: di sekolah) namun dapat berbicara pada situasi yang lain. b. Gangguan ini mempengaruhi prestasi dalam bidang pendidikan, pekerjaan dan komunikasi sosial. c. Gangguan telah terjadi minimal 1 bulan (tidak terbatas pada bulan pertama masuk sekolah). d. Kegagalan untuk berbicara tidak disebabkan oleh ketiadaan pengetahuan, atau ketidaknyamanan dengan bahasa yang digunakan dalam berbicara pada situasi sosial. e. Gangguan tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan komunikasi (misalnya: gagap) dan bukan merupakan bagian dari gangguan perkembangan pervasif, schizophrenia atau gangguan psikotik lainnya. Connor (2002) menambahkan, perilaku yang umumnya ditunjukkan oleh anak MS adalah perilaku diam pada saat berada di situasi sosial atau ketika bersama orang lain. Biasanya perilaku ini sering muncul ketika anak berada di
3
sekolah, mall, restoran atau tempat keramaian lainnya. Kesimpulan Connor (2002) ini didukung oleh Andersson dan Thomsen (1998) yang menyatakan bahwa sebanyak 27% anak yang mengalami MS hanya berbicara ketika di rumah, 64,9% berbicara di rumah dan dengan beberapa orang di luar rumah (kebanyakan dengan anak sebaya yang lain), 8,1% menolak bicara dalam beberapa situasi seperti di kelas namun berbicara pada situasi yang lain. Beberapa penelitian tersebut di atas menunjukkan bahwa MS tidak ditemukan selama anak berada di rumah. Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan perilaku anak selama berada di rumah dan di lingkungan sosialnya, terutama dalam hal perilaku bicara anak. Utnick (2008) mengklasifikasikan MS menjadi 4 kategori, yaitu: (a) Mild, anak hanya berkomunikasi dengan keluarga dan beberapa teman saja, anak lebih banyak menggunakan bahasa tubuh dan bahasa (namun tidak lancar) pada seting yang membuatnya kurang nyaman; (b) Moderate, anak berkomunikasi dengan suara bukan kata-kata; (c) Moderate severe, anak berkomunikasi menggunakan bahasa nonverbal (bahasa tubuh, menganggukkan kepala); (d) Severe, sebenarnya anak mampu berkomunikasi secara
nonverbal namun
memilih tidak menggunakannya dalam komunikasi dengan orang lain. Dalam penelitian lain (Karakaya dkk., 2008), diperoleh beberapa perbedaan manifestasi dari perilaku mutisme yang dialami oleh anak-anak MS. Diantara dua puluh satu kasus yang ditangani terdapat tujuh belas kasus (semuanya adalah anak yang duduk di TK dan kelas 1 SD) anak MS menolak secara total untuk berbicara dengan guru ataupun teman di sekolahnya, sementara empat (dua anak duduk di kelas 1 SD dan dua anak di kelas 2 SD) dilaporkan menunjukkan perilaku bicara yang sedikit dan lebih banyak berbisik. Prevalensi terjadinya MS adalah kurang dari 1 % anak usia sekolah (Jackson dkk., 2005). Dari beberapa penelitian lain diketahui bahwa prevalensi terjadinya MS berada antara 0,08 % dan 1,9 % (tanpa dipengaruhi efek gender pada beberapa kasus). Namun pada penelitian klinis lain yang lebih besar menunjukkan bahwa prevalensi jenis kelamin wanita untuk mengalami MS lebih besar dibandingkan jenis kelamin laki-laki yaitu 1,6:1 (Steinhausen, Wachter, Laimbock dan Metzke, 2006). Onset gangguan MS sulit diketahui dan beberapa mulai menolak berbicara dengan orang asing dimulai pada saat mereka mulai dapat berbicara.
4
Namun dari penelitian yang dilakukan oleh Andersson dan Thomsen (1998) diperoleh usia rata-rata munculnya MS adalah pada usia 6.3 tahun dan sebanyak 46,9% kejadian MS adalah saat anak masuk jenjang Taman Kanak-kanak. Hasil yang berbeda ditunjukkan dari penelitian sosiodemografi yang meliputi 64.103 siswa di Turki (Karakaya, dkk., 2008). Penelitian tersebut menemukan bahwa jenjang kelas 1 SD memiliki jumlah kasus MS terbanyak dibandingkan dengan jenjang kelas yang lain. Dua puluh satu anak diantara 64.103 siswa yang terdiagnosa MS (atau setara dengan 0.033%), 3 diantaranya duduk di TK (0,01%), lima belas berada di kelas 1 SD (0,076%), dan 3 diantaranya berada pada kelas 2 SD (0,015%). Dari beberapa penelitian diatas dapat diketahui bahwa kasus MS paling banyak ditemui pada jenjang sekolah Taman Kanakkanak dan Kelas 1 SD. Selain itu, Andersson dkk. (1998) juga memperoleh data mengenai simtom yang sama yang dialami oleh anggota keluarga seperti pemalu dan kesulitan berbicara dalam situasi sosial ditemukan pada 59% kasus MS. Dalam 35,1% kasus, salah satu dari saudara kandung menunjukkan simtom yang sama. Namun hanya sedikit kasus yang menemukan bahwa salah satu dari anggota keluarga pernah didiagnosa MS. Dalam 35,1% kasus ditemukan terdapat gangguan kesehatan mental dalam salah satu atau lebih anggota keluarga dan yang paling banyak adalah gangguan depresi. Salah satu atau kedua orangtua anak MS biasanya (38,5% ibu dan 43,6% ayah) tidak menganggap bahwa simtom MS yang ditunjukkan oleh anak mereka adalah sesuatu yang serius sehingga harus mencari bantuan dari tenaga profesional (Andersson dkk., 1998). MS dihubungkan dengan beberapa faktor penyebab dan salah satunya adalah kelekatan yang tidak aman antara ibu dengan anak (Connor, 2002). Variabel dalam keluarga yang berhubungan dengan kecemasan sosial termasuk diantaranya overproteksi, kurangnya kehangatan dalam pengasuhan, dan kelekatan yang tidak aman (Kearney, 2006). Anak yang terlalu dependen dengan ibu akan sulit menyesuaikan diri di lingkungan sosial yang tidak ada kehadiran ibu dalam situasi tersebut. Hal ini salah satunya dapat diindikasikan dari perilaku lekat dan bersembunyi di belakang tubuh ibu yang biasanya ditunjukkan oleh anak MS. Selain itu, salah satu atau kedua orang tua anak biasanya memiliki karakteristik pemalu dan pendiam, yang memberikan contoh perilaku diam pada anak (Landreth, 2001).
5
Peristiwa yang traumatik juga diduga sebagai penyebab anak mengalami MS, yaitu sebanyak 36,4% dari kejadian MS pada anak (Andersson dkk., 1998). Beberapa kejadian traumatik yang dapat menjadi penyebab munculnya gangguan MS antara lain seperti perceraian orang tua dan kematian orang terdekat, emigrasi, terjangkit suatu penyakit berat seperti diabetes, tanggalnya gigi yang menyebabkan kesulitan bicara, dan lahirnya saudara kandung/adik (Andersson dkk., 1998). Kondisi MS yang dialami oleh anak dapat menimbulkan efek negatif jangka panjang apabila kondisi ini tidak segera tertangani (O’Reilly dkk, 2008). Landreth (2001), menyatakan bahwa banyak peneliti meyakini bahwa semakin dini intervensi dilakukan maka hasilnya akan semakin baik. Intervensi dini tidak hanya mencegah anak dari timbulnya permasalahan akademis tetapi juga mencegah dari berkembangnya permasalahan sosial lebih lanjut dari tidak adanya interaksi dengan anak lain. Kesimpulan ini sejalan dengan penelitian lain yang menyebutkan bahwa gangguan MS akan menimbulkan dampak kronis yang mempengaruhi kemampuan anak untuk menjalin pertemanan, pemenuhan tugas akademis, pengembangan ketrampilan sosial dan bahasa (Kearney&Vecchio, 2007). Havighurst (dalam Mönks, 2001) mengemukakan bahwa perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi. Tugas ini dalam batas tertentu bersifat khas untuk setiap masa hidup seseorang. Havighurst menyebutnya sebagai tugas perkembangan (development task) yaitu tugas yang harus dilakukan oleh seseorang dalam masa hidup tertentu sesuai dengan norma masyarakat dan norma kebudayaan. Konsep diri dan harga diri akan turun bila seseorang tidak dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik, karena orang tersebut akan mendapat respon negatif dari lingkungan sekitar. Berdasarkan
tabel
1
dapat
diketahui
bahwa
salah
satu
tugas
perkembangan anak pada usia 6-12 tahun (TK sampai SD) adalah melakukan interaksi dengan teman sebayanya serta belajar untuk membentuk sikap dalam kelompok. Anak dengan Mutisme Selektif mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan nyaman dengan teman sebayanya. Hal ini menyebabkan salah satu tugas perkembangan anak menjadi terhambat dan dapat menimbulkan efek di kemudian hari. Santrock (2002) menjelaskan bahwa relasi yang baik antar teman
6
sebaya penting bagi perkembangan sosial yang normal. Isolasi sosial atau ketidakmampuan dalam “melebur” ke dalam suatu jaringan sosial diasosiasikan dengan banyak masalah dan gangguan di kemudian hari. Berikut ini disajikan tabel mengenai tugas-tugas perkembangan, yaitu: Tabel 1 Tugas Perkembangan Anak Sekolah Dasar Ahli Perkembangan Robert J. Havighurst (dalam Mönks dkk, 2001)
Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah (antara 6-12 tahun) Belajar ketangkasan fisik untuk bermain, Pembentukan sikap yang sehat terhadap diri sendiri sebagai anak yang sedang tumbuh, Belajar bergaul dan bersahabat dengan anak-anak sebaya, Belajar peranan jenis kelamin, Mengembangkan dasardasar kecakapan yang diperlukan guna keperluan kehidupan sehari-hari, Mengembangkan kata hati (moralitas), Belajar membebaskan ketergantungan diri dari figur lekat, Belajar mengembangkan sikap sehat terhadap kelompok.
Elizabeth B. Hurlock (Hurlock, 1980)
Anak belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, Anak belajar memberontak yang ditunjukkan dengan tingkah laku negatif.
John W. Santrock (Santrock, 2002)
Relasi yang baik antar teman sebaya, mendefinisikan diri dilihat dari karakteristik sosial dan perbandingan sosial.
Intervensi untuk mengatasi gangguan MS cukup beragam, mulai dari farmakoterapi, psikodinamika, terapi bermain, konseling keluarga dan yang paling
sering
digunakan
adalah
dengan
menggunakan
terapi
perilaku.
Farmakoterapi pada anak MS dilakukan dengan memberikan fluoxetine (Silveira dkk., 2004) atau dengan menggunakan 52,5mg Phenelzine (Jackson dkk., 2005). Penelitian yang dilakukan Jackson dkk. (2005) menganalisa mengenai penggunaan berbagai pendekatan seperti psikodinamika. Pada kasus MS pada anak usia 6 tahun menunjukkan adanya perkembangan pada kepribadian anak dengan memfokuskan intervensi pada konflik dan agresi pada diri anak. Namun metode psikodinamika membutuhkan waktu lama yaitu 3,5 tahun. Selain itu penggunaan metode terapi bermain secara murni juga membutuhkan waktu lama sekitar 9 bulan sampai 1 tahun. Beberapa anak dengan gangguan MS juga mendapatkan terapi wicara sebagai bagian dari keseluruhan terapi yang harus diikutinya. Stone, Kratochwill, Sladezcek, Serlin (2002) menjelaskan bahwa kondisi MS yang dialami oleh anak akan lebih baik apabila menjalani tritmen daripada tanpa adanya penanganan. Beare dkk. (2008), mengungkapkan bahwa
7
intervensi dengan menggunakan metode terapi perilaku dengan pengukuhan dan stimulus fading cukup efektif untuk anak yang mengalami MS. Pernyataan ini juga didukung oleh Jackson dkk. (2005); Stone dkk. (2002) dan Amari, Slifer, Gerson, Schenck, Kane (1999) yang menyatakan bahwa kondisi MS merupakan kondisi yang akan lebih efektif apabila diukur dan diintervensi menggunakan metode intervensi perilaku. Beberapa metode intervensi dengan prinsip-prinsip dasar intervensi perilaku yang digunakan oleh para peneliti antara lain: Sosial-Problem Solving (O’Reilly dkk., 2008); SET-C (Fisak dkk., 2006); pengukuhan positif dan teknik stimulus fading (Beare dkk., 2008 dan Amari dkk., 1999); shaping (Amari dkk., 1999). Stone, Kratochwill, Sladezcek, dan Serlin (2002) menemukan bahwa dari enam puluh sembilan kasus yang ditangani dengan menggunakan pendekatan terapi perilaku. Terapi perilaku yang banyak digunakan adalah (a) shaping (n=25), (b) fading stimulus (n=15), (c) manajemen kontingensi (n=16) dan (d) pengukuh positif/pengukuh sosial (n=55). Ditemukan bahwa 78% dari kasus yang ditangani menunjukkan kesuksesan atau keberhasilan berdasarkan artikel dan jurnal aslinya. Amari dkk. (1999) menjelaskan bahwa dari segi perilaku, MS dapat dikonseptualisasikan sebagai adanya kekurangmampuan dalam generalisasi atau kurangnya kemampuan dalam memberikan respon (misalnya menghasilkan respon suara) dalam seting lingkungan sosial. Selain itu, MS merupakan contoh perilaku (bicara) yang berada dibawah stimulus kontrol tertentu (hanya muncul saat hadirnya stimulus tertentu seperti orang dewasa yang familiar). Program Modifikasi Perilaku yang menggunakan shaping telah terbukti efektif sebagai tritmen untuk masalah yang berkaitan dengan bicara pada populasi yang berbeda. Dalam kasus MS, shaping terdiri dari target dari rangkaian perilaku yang berturut-turut seperti menunjuk, berbisik, mengucapkan sepatah kata, dll. Target tersebut telah ditetapkan melalui proses pemeriksaan psikologis dan observasi perilaku anak selama di rumah dan di lingkungan sosialnya (yaitu rumah). Stone dkk. (2002) menjelaskan bahwa pada model pendekatan perilaku, perhatian difokuskan pada faktor lingkungan yang menentukan perilaku, fokus ada pada perilaku yang tampak dan psikopatologi biasanya perilaku yang berlebih atau perilaku yang kurang atau sebagai perilaku yang muncul pada
8
konteks yang kurang tepat. Dengan model ini perilaku dipelajari melalui prinsip kondisioning klasik, kondisioning operan dan belajar observasi (modeling atau imitasi). Asesmen dengan model pendekatan ini biasanya menyertakan observasi secara langsung dalam berbagai setting untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai masalah perilaku yang dialami dan variabel lingkungan (seperti anteseden, konsekuensi) yang mengkontribusi pada masalah utama. Pada praktik kerja profesi yang dilakukan oleh penulis di puskesmas Ngaglik II, penulis sempat menangani subjek anak yang mengalami MS berusia 8 tahun. Mutisme Selektif yang dialami subjek tersebut dalam situasi sosial membuat subjek melakukan penghindaran ketika diajak berkomunikasi dengan orang lain. Bentuk penghindaran yang dilakukan adalah dengan cara diam, tidak berbicara meskipun teman-temannya bertanya dan mengajak subjek berbicara. Teman-teman yang merasa tidak dihiraukan oleh subjek, menjadi enggan untuk mengajak subjek berbicara atau bermain. Hal ini menyebabkan subjek merasa nyaman dan aman sehingga meneruskan perilaku diamnya. Dengan menggunakan paradigma perilaku, maka perilaku subjek yang “memilih dengan siapa subjek mau bicara” dapat digambarkan dalam bagan berikut ini (Puspitasari, 2010):
S
R1
Diajak berkenalan dan diajak berbicara saat berada di sekolah SR+
R1 Diam di sekolah
tidak diajak bicara
Gambar 1. Paradigma Perilaku Keterangan: S : Simulus R1 : Respon 1 SR+ : Positive Reinforcer R2 : Respon 2
diam R2 merasa aman
9
Penelitian
terhadap
anak
yang
mengalami
MS
telah
dilakukan
sebelumnya oleh Aulia (2008) yang menggunakan metode desentisisasi dan penguat positif dalam program “Termometer Rasa”, Huda (2009) yang menggunakan metode desentisization dan penguat positif dalam bentuk “Pelatihan Lingkar Persahabatan”
Sahabat”,
yang
Puspitasari (2010)
menggunakan
prinsip
dasar
dengan “Program Tali stimulus
fading
dan
pengukuhan positif serta Hartono (2010) yang mengemas dalam bentuk “Pelatihan Sahabat Anak” dengan menggunakan prinsip dasar pengukuhan positif dan stimulus fading. Dari keempat penelitian sebelumnya, tiga penelitian telah membuktikan bahwa metode intervensi perilaku cukup efektif untuk meningkatkan komunikasi verbal pada anak MS. Penelitian Aulia (2008) tidak menunjukkan adanya perubahan yang berarti dari fase baseline sampai tindak lanjut dikarenakan kurangnya dukungan dari orangtua dan kurang melibatkan guru dalam sesi intervensi. Penelitian yang dilakukan oleh Huda (2009) menunjukkan adanya peningkatan komunikasi verbal sebesar 99,1%. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Puspitasari (2010) menunjukkan adanya peningkatan sebesar 61% pada fase tindak lanjut. Peneitian Hartono (2010) menunjukkan adanya peningkatan komunikasi verbal sebanyak 24,53% pada fase Baseline II. Hartono (2010) menyatakan bahwa hal-hal yang mendukung dalam proses pelatihan sehingga intervensi dapat memberikan hasil yang positif terhadap perkembangan anak MS, antara lain: (a) Guru kelas terlibat langsung sebagai pendamping sehingga terjadi komunikasi yang intens antara guru dan subjek, (b) Orangtua menyadari masalah yang dialami oleh subjek serta mendukung intervensi terhadap subjek, (c) Terapis mampu menjalin kedekatan dengan subjek dan mempertahankan hubungannya, sehingga subjek mau mengikuti seluruh rangkaian pelatihan. Berdasarkan beberapa penelitian dengan pendekatan perilaku di atas, intervensi pada penelitian ini dikemas dalam bentuk Terapi “Aku Bisa dan Aku Berani” yang menggunakan teknik pengukuhan positif, shaping dan stimulus fading untuk subjek MS. Tujuan dari terapi ini adalah untuk meningkatkan respon komunikasi verbal dan nonverbal subjek di situasi sosial seperti sekolah dan lingkungan sekitar rumah. Terapi “Aku Bisa dan Aku Berani” disusun dalam 11 sesi pertemuan dengan interval masing-masing paling lama 2 hari dan lama
10
pertemuan pada masing-masing sesi 60-90 menit. Secara berangsur-angsur, subjek dilatih untuk merasa nyaman dalam berkomunikasi dengan orang lain. Diharapkan anak dapat memunculkan respon komunikasi baik nonverbal maupun verbal dalam seting rumah, lingkungan rumah, dan sekolah. Intervensi dimulai dari rumah, tempat subjek merasa sangat aman dan nyaman. Dalam sesi awal ini, peneliti akan memasukkan beberapa orang teman untuk melatih subjek memberikan respon secara nonverbal maupun verbal serta melibatkan orangtua yang merupakan figur yang dapat membuat subjek merasa nyaman. Selanjutnya, secara berangsur-angsur, subjek akan diajak pada setting lingkungan sosial yang lebih kompleks, yaitu lingkungan rumah, dan sekolah. Guru dan orangtua akan membantu anak MS untuk tetap merasa nyaman di setiap peningkatan jumlah orang, tempat dan aktivitas. Pada setting lingkungan sosial yang lebih kompleks, orangtua akan sedikit demi sedikit menjauh selama proses berlangsung. Teknik terapi perilaku yang akan digunakan adalah teknik pengukuhan positif, stimulus fading, dan shaping. Pengukuhan positif adalah stimulus yang diikuti oleh respon yang dapat menyebabkan meningkatnya kekuatan respon atau kemungkinan munculnya respon (Sundel & Sundel, 2005). Lebih lanjut Martin & Pear (2007) menjelaskan, pengukuhan positif terjadi jika dalam situasi yang diinginkan, seseorang melakukan sesuatu yang diikuti segera oleh pengukuh positif lalu orang tersebut semakin sering melakukan hal yang sama dikemudian hari ketika ia menghadapi situasi yang sama. Stimulus fading adalah prosedur yang diterapkan dengan melakukan kontrol stimulus pada satu perilaku yang diharapkan, stimulus yang diberikan diikuti oleh pengukuh dan secara bertahap stimulus diubah ke stimulus anteseden lainnya (Sundel & sundel, 2005). Individu secara terus-menerus mendapatkan pengukuh untuk respon yang muncul pada stimulus yang ditentukan yang secara berangsur-angsur akan berkurang atau diubah. Seiring dengan pengubahan stimulus yang akan diberi pengukuh, individu tetap menunjukkan respon yang diinginkan (Sundel & sundel, 2005). Shaping merupakan modifikasi perilaku dengan memunculkan perilaku baru dengan memberi pengukuh secara berturut-turut yang semakin mendekati perkiraan perilaku/aproksimasi suksesif yang diinginkan dengan menghilangkan perilaku tujuan yang sebelumnya (Martin & Pear, 2007). Modifikasi perilaku
11
dimulai dengan memberi pengukuh pada respon yang muncul (walaupun hanya sedikit frekuensinya) dan setidaknya hampir menyerupai atau menuju respon akhir yang diinginkan. Perbedaan stimulus fading dan shaping terletak pada variable yang diubah secara berangsur-angsur. Pada stimulus fading perubahan secara berangsur-angsur terletak pada stimulus sementara respon tetap, sedangkan shaping terletak pada respon sementara stimulus tetap. Diharapkan dengan menggunakan ketiga metode diatas diperoleh perubahan perilaku pada anak MS dalam seting lingkungan sosial. Setiap sesi dalam proses terapi didesain dengan menggunakan metode permainan, karena melalui bermainlah anak dapat belajar dalam situasi yang menyenangkan tanpa ancaman. Terapi ini disebut “Aku Bisa dan Aku Berani” karena biasanya anak MS merasa sangat tidak nyaman ketika bersama teman di sekolah maupun di lingkungannya. Dengan meningkatkan perasaan aman anak saat sedang bersama teman-temannya maka diharapkan perilaku bicara anak (baik secara verbal maupun nonverbal) akan muncul dengan sendirinya. Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah terapi “Aku Bisa dan Aku Berani” dapat meningkatkan komunikasi verbal dan nonverbal anak MS dalam situasi sosial? Kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Kehadiran orang lain (di dalam rumah dan di luar rumah), Situasi/Lingkungan baru, /publik, misalnya sekolah, toko, dll
Anak Mutisme Selektif
Menghindar, menyendiri, diam, tidak berkomunikasi dan berinteraksi
Penilaian negatif dari Lingkungan, Kurangnya Dukungan Keluarga dan Sekolah
Terapi “Aku Bisa dan Aku Berani”
Komunikasi Verbal dan Nonverbal Rendah
Terlibat, Berani, menjalin interaksi dan komunikasi
Gambar 2. Kerangka Berpikir Penelitian Keterangan : : alur proses : mempengaruhi : diberikan intervensi
Komunikasi Verbal dan NonVerbal Meningkat