BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1
Hasil Penelitian
5.1.1
Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian Berikut ini disajikan deskripsi sampel berdasarkan umur dan indeks
massa tubuh pada Tabel 5.1: Tabel 5.1 Deskripsi Sampel Berdasarkan Umur dan Indeks Massa Tubuh pada Kelompok Perlakuan I dan Kelompok Perlakuan II Karakteristik Sampel Umur (thn) IMT (kg/m2)
Perlakuan I (n=10)
Perlakuan II (n=10)
Rerata ± SB
Rerata ± SB
29,70 ± 2,83 25,10 ± 1,35
29,70 ± 3,26 23,57 ± 1,44
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa karakteristik sampel berdasarkan umur dan indeks massa tubuh dari kedua kelompok tidak ada beda, adapun rerata umur subjek pada kelompok perlakuan I diperoleh nilai 29,70 ± 2,83 tahun dan pada kelompok perlakuan II diperoleh nilai 29,70 ± 3,26 tahun. Disini nilai rerata indeks massa tubuh pada kelompok perlakuan I diperoleh nilai 25,10 ± 1,35 kg/m2 dan pada kelompok perlakuan II diperoleh nilai 23,57 ± 1,44 kg/m2.
53
54
Berdasarkan
nilai rerata umur pada kedua kelompok perlakuan
menunjukkan umur sampel terbanyak 21-30 tahun, dengan kategori dewasa muda. Sedangkan berdasarkan nilai rerata indeks massa tubuh kelompok perlakuan I menunjukkan sampel terbanyak termasuk dalam kategori pre obesitas dan
nilai rerata indeks massa tubuh kelompok II menunjukkan
sampel terbanyak termasuk dalam kategori normal. 5.1.2 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Untuk menentukan jenis uji statistik komparasi yang akan digunakan untuk membandingkan hasil sebelum dan sesudah latihan antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II, maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan Saphiro Wilk Test. Selanjutnya uji homogenitas varian data dengan menggunakan Levene’s Test yang akan disajikan pada Tabel 5.2 sebagai berikut: Tabel 5.2 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas
Kekuatan Otot Dasar Panggul Sebelum Sesudah
p. Uji Normalitas (Saphiro Wilk-Test) Perlakuan I (n=10) 0,473 0,143
Perlakuan II (n=10) 0,646 0,208
p. Uji Homogenitas (Levene’s Test) 0,767
55
Dari hasil uji normalitas dengan Saphiro Wilk-Test sebelum dan sesudah latihan pada kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II diketahui nilai p>0,05 yang berarti data berdistribusi normal. Sedangkan uji homogenitas menggunakan Levene’s Test pada semua sampel sebelum dan sesudah latihan pada kedua kelompok data diketahui nilai p>0,05 yang berarti data homogen atau varian data yang sama. 5.1.3
Uji Peningkatan Kekuatan Otot Dasar Panggul Sebelum dan Sesudah
Latihan pada Kelompok Perlakuan I dan Kelompok
Perlakuan II Uji beda ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kekuatan otot dasar panggul sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II. Tabel 5.3 Uji Kekuatan Otot Dasar Panggul Sebelum dan Sesudah Kelompok Perlakuan I dan Kelompok Perlakuan II Variabel Kelompok Perlakuan I Kelompok Perlakuan II p**
Sebelum Rerata ± SB (mmHg) 4,80 ± 1,75 4,90 ± 1,66 0,767
Sesudah Rerata ± SB (mmHg) 6,70 ± 1,82 9,50 ± 1,90 0,004
t
p*
-10,585 -20,804 -3,357
0,000 0,000
Keterangan: p* = Paired t-Test. p** = Independent t-Test
Tabel 5.3 menunjukkan beda peningkatan kekuatan otot dasar panggul sebelum dan sesudah latihan kelompok perlakuan I dengan menggunakan Paired t-Test memiliki nilai t = -10,585 dan p<0,05. Hal ini berarti pada
56
kelompok perlakuan I terjadi peningkatan otot dasar panggul sesudah diberikan kegel exercise secara bermakna. Kegel exercise terbukti secara signifikan meningkatkan kekuatan otot dasar panggul. Pada Tabel 5.3 menunjukkan beda peningkatan kekuatan otot dasar panggul sebelum dan sesudah latihan kelompok perlakuan II dengan menggunakan Paired t-Test memiliki nilai t = -20,804 dan p< 0,05. Hal ini berarti pada kelompok perlakuan II terjadi peningkatan kekuatan otot dasar panggul sesudah diberikan kombinasi biofeedback dan kegel exercise secara bermakna. Kombinasi biofeedback dan kegel exercise terbukti secara signifikan meningkatkan kekuatan otot dasar panggul. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Independent t-Test seperti pada Tabel 5.3 menunjukkan bahwa beda peningkatan kekuatan otot dasar panggul sesudah latihan antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II memiliki nilai t = -3,357 dan p<0,05. Hal ini
berarti ada
perbedaan peningkatan kekuatan otot dasar panggul yang bermakna. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kombinasi
biofeedback dan kegel
exercise lebih baik dalam meningkatkan kekuatan otot dasar panggul dibandingkan kegel exercise tunggal pada inkontinensia urinae tipe stres pasca partus normal.
57
5.2
Pembahasan 5.2.1 Subjek Penelitian Jumlah subjek penelitian sebanyak 20 orang wanita multiparitas 3 bulan pasca partus normal yang mengalami kelemahan otot dasar panggul dan inkontinensia urinae tipe stres yang datang ke Posyandu Lembayung, Desa Babussalam, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Pada kelompok perlakuan I diberikan latihan kegel exercise terdiri dari 10 orang, sedangkan pada kelompok perlakuan II diberikan kombinasi biofeedback dan kegel exercise terdiri dari 10 orang. Umur sampel terbanyak pada kedua kelompok adalah 21-30 tahun (kategori dewasa muda). Umur merupakan salah satu faktor risiko terjadinya inkontinensia urinae. Umur yang dianggap paling aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Peningkatan umur akan menyebabkan penurunan tonus otot dasar panggul yang menyebabkan terganggunya kontrol otot sfringter uretra eksternal dan otot kandung kemih, hal ini yang menyebabkan terjadinya inkontinensia urinae (Craven dan Hirnle, 2007). Penelitian ini sesuai hasil penelitian yang dilakukan oleh Hullfish, et.al., (2007), memperoleh data rata-rata umur ibu pasca partus normal yang diteliti adalah 29,2 tahun dengan rentang umur 18 sampai 37 tahun. Rerata umur pasca partus yang diperoleh Neilsen, et.al., (2009), dalam penelitiannya adalah 29 tahun. Dari hasil penelitian ini, rerata umur sampel yang diteliti 29,70 tahun dengan rentang usia 25-35 tahun, tergolong umur yang aman menjalani persalinan.
58
Berdasarkan rerata indeks masa tubuh pada kedua kelompok perlakuan menjelaskan bahwa status gizi semua sampel dalam penelitian ini dalam kategori normal dan pre obesitas. Indeks massa tubuh menggambarkan status gizi seseorang, interpretasi status gizi berdasarkan WHO (2006), seseorang dikatakan obesitas bila mempunyai indeks massa tubuh ≥ 30 kg/m2 (Adiatmika, 2002). Obesitas merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya inkotinensia urinae karena otot dasar panggul lemah akibat beban kerja dasar panggul yang berlebihan (Soetojo, 2009). Berdasarkan studi Daneshgari dan Moore (2007),bahwa faktor lain yang memicu tingkat kejadian stres inkontinensia urinae diantaranya adalah partus normal, karena dapat menyebabkan gangguan dasar panggul sebagai konsekuensi dari regangan dan lemahnya otot serta jaringan ikat selama proses partus akibat dari produksi hormon progesteron dan relaksin selama kehamilan. Menurut Golberg, et.al., (2003) yang melakukan penelitian pada wanita dengan riwayat partus normal secara bermakna lebih cenderung untuk mengalami inkontinensia urinae tipe stres dibandingkan dengan tanpa partus normal dengan nilai rata-rata (n=201) sejumlah 50,4% yang secara bermakna lebih tinggi jika dibandingkan wanita tanpa partus normal sebelumnya 39%.
59
5.2.2 Kegel Exercise Dapat Meningkatkan Kekuatan Otot Dasar Panggul Pada Inkontinensia Urinae Tipe Stres Pasca Partus Normal Berdasarkan hasil Paired t-Test, uji beda kelompok perlakuan I didapatkan rerata kekuatan otot dasar panggul sebelum latihan sebesar 4,80 mmHg dengan nilai minimal 2 mmHg dan maksimal 7 mmHg. Setelah 8 minggu latihan didapatkan rerata kekuatan otot dasar panggul sebesar 6,70 mmHg dengan nilai minimal 4 mmHg dan maksimal 9 mmHg. Diperoleh nilai p=0,000 artinya terdapat perbedaan kekuatan otot dasar panggul sebelum dan sesudah diberikan kegel exercise. Persentase ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kekuatan otot dasar panggul pada kelompok perlakuan I sesudah
kegel exercise. Hal ini sesuai dengan pendapat Kegel yang
mengatakan latihan kegel sangat bermanfaat untuk menguatkan otot rangka pada dasar panggul, sehingga memperkuat fungsi sfringter eksternal pada kandung kemih (Widiastuti, 2001). Penelitian
yang
dilakukan
Rahajeng
(2010),
kegel
exercise
berhubungan dengan berbagai perubahan yang terjadi pada kekuatan otot dasar panggul seperti sfringter uretra. Proses ini dapat meningkatkan tekanan atau tahanan untuk menutup uretra sehingga dapat mencegah pengeluaran urin di luar kontrol, dari penelitian diperoleh keistimewaan kegel exercise adalah sangat mudah dalam pelaksanaanya, tidak memerlukan ruang yang luas, dapat dilakukan dalam berbagai posisi.
60
Pernyataan yang sama disampaikan oleh Craven dan Hirnle (2007), bahwa wanita yang melakukan kegel exercise secara konsisten dan benar selama satu bulan hasilnya sangat memuaskan dan dapat mengatasi masalah inkontinensia urinae. Kegel exercise terbukti sangat bermanfaat untuk memulihkan inkontinensia urinae, mengendalikan perkemihan dan buang air besar, mengencangkan otot vagina kembali seperti sebelum melahirkan dan meningkatkan elastisitas otot pelvik. Menurut Smith (2009), yang meneliti tentang efek latihan otot dasar panggul terhadap inkontinensia pada 6181 wanita hamil dan pasca partus juga menemukan bahwa wanita yang mengalami inkontinensia urinae pada periode 3 bulan pasca partus lebih rendah 20% pada kelompok yang dilatih kegel exercise. Selain mencegah dan mengatasi inkontinensia urinae pada periode pasca partus, kegel exercise dapat dijadikan intervensi preventif terhadap inkontinensia urinae pada kehamilan. Penelitian yang sama dilakukan Pinem (2009), hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dilakukan kegel exercise terjadi penurunan kejadian inkontinensia urinae dari 44,4% menjadi 16,7% setelah intervensi. Maka dapat disimpulkan bahwa kegel exercise dapat meningkatkan kekuatan otot dasar panggul pada inkontinensia urinae tipe stres pasca partus normal di Posyandu Lemba yung, Desa Babussalam, Kecamatan Rambah, Kabupaten Rokan Hulu. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Melania (2013).
61
Beberapa penelitian latihan otot dasar panggul terjadi perubahan signifikan dengan pemeliharaan hasil yang baik setelah 3-6 minggu latihan secara rutin dan terus-menerus pasca partus. Disini akan terjadi proses adaptasi secara keseluruhan berupa banyaknya serabut dari otot yang bekerja sehingga akan meningkatkan rekrutmen motor unit otot dasar panggul. Peningkatan rekrutmen motor unit dapat meningkatkan kekuatan otot sehingga mempengaruhi daya tahan dan kemampuan untuk menahan berkemih (Lubis, 2009). Menurut Pangkahila (2008), kekuatan otot dasar panggul perlu ditingkatkan dengan pelatihan secara benar dan teratur sehingga masalah yang timbul akibat kelemahan otot tersebut menurun. Dari hasil analisis peneliti mengambil simpulan bahwa kegel exercise dapat meningkatkan kekuatan otot dasar panggul pada inkontinensia urinae tipe stres pasca partus normal. Peningkatan kekuatan otot dasar panggul ini dibuktikan dengan hasil uji statistik parametrik pada kelompok perlakuan I yang membuktikan bahwa terdapat perbedaan peningkatan kekuatan otot dasar panggul sebelum dan sesudah diberikan kegel exercise.
62
5.2.3
Kombinasi Biofeedback dan Kegel Exercise Lebih Baik Dalam Meningkatkan Kekuatan Otot Dasar Panggul Dibandingkan dengan Kegel Exercise Tunggal pada Inkontinensia Urinae Tipe Stres Pasca Partus Normal Menurut Paired t-Test didapatkan hasil peningkatan kekuatan otot
dasar panggul sebelum dan sesudah latihan pada kelompok perlakuan II, nilai rerata sebelum latihan 4,90 mmHg dengan nilai minimal 2 mmHg dan maksimal 7 mmHg. Setelah 8 minggu latihan didapatkan rerata kekuatan otot dasar panggul sebesar 9,50 mmHg dengan nilai minimal 7 mmHg dan maksimal 12 mmHg, dengan nilai p=0,000. Hasil analisis statistik parametrik membuktikan bahwa kombinasi biofeedback dan kegel exercise signifikan meningkatkan kekuatan otot dasar panggul pada inkontinensia urinae tipe stres pasca partus normal. Kekuatan otot dasar panggul dapat diukur dengan cara digital/palpasi (memasukkan jari pemeriksa ke dalam vagina), dengan alat perineometer dan dengan bantuan ultrasonografi. Perineometer pertama kali diperkenalkan oleh Arnold Kegel (Isherwood dan Rane, 2000). Kini berbagai jenis perineometer misalnya PFX2, Peritron dan Camtech telah diciptakan dan digunakan dalam praktek klinis dan penelitian. Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa berbagai alat tersebut reliabel dalam mengukur kekuatan otot dasar panggul. Perineometer PFX2 memiliki skala 0-12 mmHg, abnormal jika < 8 mmHg (Dietz, 2003). Penelitian ini menggunakan perineometer PFX2 sebagai alat ukur sekaligus biofeedback pada kegel exercise.
63
Beberapa
penelitian
menunjukkan
biofeedback
dapat
meningkatkan efektivitas kegel exercise dan membantu memulihkan kandung kemih yang tepat fungsi. Biofeedback sendiri bukanlah pengobatan untuk inkontinensia urinae, tetapi dapat digunakan sebagai tambahan pada kegel exercise. Dengan memberikan pasien umpan balik bersamaan pada otot, biofeedback dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan pasien dalam belajar dan latihan lebih efektif (Morkved, et.al., 2002). 40% wanita tidak dapat melakukan latihan kegel exercise secara tepat. Perineometer PFX2 sangat membantu memberi umpan balik untuk menemukan cara melakukankan latihan otot dasar panggul, menilai kekuatan otot dasar panggul dan mengajarkan latihan otot dasar panggul yang baik dan benar. Pembacaan angka pada PFX2 akan terlihat nilai kekuatan otot dasar panggul. Melakukan latihan tanpa umpan balik dapat menyebabkan pasien bosan dan frustasi, karena tidak ada yang memberitahu pasien jika mereka melakukan latihan dengan benar atau membuat kemajuan, sehingga membantu pasien menguasai tantangan dan mencapai peningkatan kekuatan otot dasar panggul lebih cepat (Isherwood dan Rane, 2000). Menurut Park dan Lee (2002), sesuai data dari The Australian Continence Foundation mengatakan bahwa latihan tanpa umpan balik adalah seperti mencoba mengendalikan berat badan seseorang tanpa ada timbangan berat badan. Begitu juga dengan kegel exercise, jika tidak dikombinasi dengan biofeedback, maka tidak ada umpan balik yang ingin dicapai, seperti latihan yang tidak akan tahu kebenaran dan keberhasilannya.
64
Kombinasi biofeedback dan kegel exercise bisa memberikan bantuan yang signifikan dalam memperbaiki fungsi otot dasar panggul, membantu pasien lebih yakin, percaya dan meningkatkan proses psikologi dalam pengontrolan secara sadar terhadap otot-otot dasar panggul. Jika kombinasi ini tanpa disertai dengan persiapan kognitif, instruksi dan pemandu terapi tidak akan memberikan hasil sesuai harapan, sehingga sering dimanfaatkan untuk membantu pasien mengenali ketepatan otot dasar panggul yang akan dilatih (Rahmani, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti (2011), menemukan hasil yang signifikan mengenai kombinasi kegel exercise dengan biofeedback. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan kombinasi kegel exercise dengan biofeedback meningkatkan keberhasilan penatalaksanaan inkontinensia urinae sebesar 91% dibandingkan kelompok kontrol tanpa biofeedback yaitu sebesar 55%. Penyempurnaan biofeedback saat ini dapat sekaligus memonitor kontraksi dan relaksasi otot dasar panggul, bahkan biofeedback dapat digunakan di rumah pasien yang mengalami inkontinensia urinae tipe stres. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Independent t-Test, menunjukkan bahwa beda rerata
kekuatan otot dasar panggul sesudah
latihan antara kelompok perlakuan I dan kelompok perlakuan II memiliki nilai p=0,004 ini kelompok.
berarti ada perbedaan yang bermakna diantara kedua
65
Nilai rerata peningkatan kekuatan otot dasar panggul pada kelompok perlakuan I dengan kelompok perlakuan II sangat berbeda, pada kelompok perlakuan I nilai rerata 6,70 mmHg, dari 10 sampel yang mengalami kelemahan otot dasar panggul hanya 3 sampel yang mencapai nilai normal atau ≥ 8 mmHg (30%), sedangkan pada kelompok perlakuan II nilai rerata 9,50 mmHg, dari 10 sampel yang mengalami kelemahan otot dasar panggul ada 8 sampel yang mencapai nilai normal ≥ 8 mmHg (80%). Terbukti bahwa kombinasi biofeedback dan kegel exercise lebih baik dalam meningkatkan kekuatan otot dasar panggul dibandingkan kegel exercise tunggal. Sehingga juga dapat diterapkan pada ibu yang tidak mengalami inkontinensia urinae tipe stres sebagai upaya pencegahan, baik sebelum ataupun sesudah partus. Mekanisme terjadinya peningkatan kekuatan otot dasar panggul dimulai dari meningkatnya resistensi uretra melalui kontraksi aktif otot pubokoksigeus, kemudian kontraksi ini akan menambah kekuatan penutupan pada uretra dan meningkatkan sokongan pada struktur panggul dan periuretra, sehingga otot-otot dasar panggul yang tidak tampak dari luar dapat diaktifkan secara langsung dan benar. Nilai peningkatan yang diinginkan dapat dicapai dengan menggunakan biofeedback melalui angka yang ditampilkan pada perineometer, sedangkan pada kegel exercise tanpa biofeedback belum tentu mekanisme ini tercapai karena kontraksi yang tidak tepat dan benar. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Price, et.al., (2010), dan sesuai dengan penelitian Ratanasiripong, et.al., (2012), yang mengatakan bahwa biofeedback dapat membangun fungsi
66
fisiologis tubuh dengan menggunakan perangkat dan sensor, sehingga seseorang dapat menerima umpan balik pada aktivitas gelombang otak melalui sentuhan pada kulit dan aktivitas otot. Latihan dengan biofeedback membantu seseorang belajar memodifikasi aktivitas fisiologis tubuh untuk meningkatkan kesehatan seperti meningkatkan kekuatan otot dasar panggul. Otot dasar panggul tidak dapat dilihat dari luar, sehingga sulit untuk menilai kontraksinya secara langsung. Oleh karena itu, kombinasi biofeedback dan kegel exercise dapat diterapkan di klinik dan di rumah, agar otot yang ingin dilatih adalah otot yang tepat dan benar. Sedangkan tingkat keberhasilan yang dilaporkan dari beberapa penelitian adalah antara 40% 90% (Yun, 2000). Ini menunjukkan tingkat keberhasilan dari penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu. Keberhasilan ini juga sangat ditentukan oleh keterampilan pelayanan dan dedikasi fisioterapis dan
pemahaman pasien yang baik terhadap
masalahnya, tujuan terapi serta partisipasi pasien untuk meningkatkan kekuatan otot dasar panggul. Terapis dapat memberikan home programe untuk latihan kombinasi biofeedback dan kegel exercise di rumah yaitu stop test exercise dengan cara latihan menahan miksi beberapa detik pada saat pasien miksi, kemudian miksi dilanjutkan sampai tuntas. Latihan ini bertujuan melatih penutupan ureter pada saat ada tekanan ketika pasien miksi (Melania, 2013). Peneliti menyadari keterbatasan dalam pemberian home programe karena kesulitan dalam mekanisme kontrol, sehingga pasien diberi petunjuk latihan di rumah agar penelitian dapat berhasil optimal.