BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1
Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik subjek penelitian yang meliputi: usia, berat badan, dan tinggi
badan responden. Hasil deskripsi karakteristik subjek penelitian disajikan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Karekteristik Subjek Penelitian Kelompok I (n=15)
Kelompok II (n=15)
Mean±SD
Mean±SD
Umur (th)
64,33±3,519
64,33±3,331
Berat Badan (kg)
56,67±3,697
56,73±4,448
Tinggi Badan (cm)
158,13±2,295
157,93±3,674
22,64±1,05
22,72±1,30
Karakteristik subjek
IMT (kg/m2)
Berdasarkan dari tabel 5.1 di atas, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan data pada nilai umur, berat badan, tinggi badan dan indeks massa tubuh pada masing-masing kelompok.
58
59
5.2
Deskripsi Keseimbangan Dinamis Terhadap Risiko Jatuh Tabel 5.2 Deskripsi Keseimbangan Dinamis Terhadap Risiko Jatuh Risiko Jatuh
Tinggi (>15 detik) Sedang (11 – 15 detik) Rendah (<11 detik)
Sebelum Perlakuan Kelompok I Kelompok II
Setelah Perlakuan Kelompok I Kelompok II
20 %
86,7 %
0%
6,7 %
80 %
13,3 %
60 %
86,6 %
0%
0%
40 %
6,7 %
Berdasarkan tabel 5.2, menunjukkan bahwa pada kelompok I nilai keseimbangan dinamis sebelum perlakuan yang masuk kategori sedang lebih banyak dibandingkan dengan yang masuk dalam kategori tinggi. Kelompok II nilai keseimbangan dinamis sebelum perlakuan yang masuk kategori tinggi lebih banyak dibandingkan dengan yang masuk dalam kategori sedang. Kelompok I nilai keseimbangan dinamis setelah perlakuan mengalami peningkatan yaitu tidak ada yang masuk dalam kategori tinggi dan kategori sedang lebih banyak dibandingkan dengan yang masuk dalam kategori rendah. Kelompok II nilai keseimbangan dinamis setelah perlakuan mengalami peningkatan yang masuk kategori tinggi lebih sedikit dibandingkan dengan yang masuk dalam kategori sedang.
60
5.3
Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Tabel 5.3 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas
Keseimbangan Dinamis (detik)
Normalitas (p) Kelompok I
Kelompok II
Sebelum Perlakuan
0,286
0,897
Setelah Perlakuan
0,163
0,726
Selisih
0,337
0,183
Homogenitas (p) 0,200
Berdasarkan tabel 5.2, menunjukan bahwa pada uji normalitas (ShapiroWilk test) dan homogenitas (Levene’s-test) semua nilai p>0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data-data tersebut dapat dinyatakan berdistribusi normal dan homogen sehingga uji beda yang digunakan adalah uji parametrik.
5.4
Pengaruh Aquatic Exercise Therapy dan Senam Aerobic Low Impact Terhadap Keseimbangan Dinamis
Tabel 5.4 Pengaruh Aquatic Exercise Therapy dan Senam Aerobic Low Impact Terhadap Keseimbangan Dinamis Kelompok
Sebelum
Setelah
Selisih
Perlakuan
(Mean±SD)
(Mean±SD)
(Mean±SD)
I
13,21±1,63
11,16±1,52
2,05±0,33
0,001
II
13,45±1,35
12,40±1,26
1,05±0,39
0,001
P**
0,667
0,022
Keterangan: * paired t-test ** independent t-test
P*
61
Berdasarkan tabel 5.4, menunjukan hasil uji paired t-test kelompok I sebelum dan sesudah perlakuan didapat nilai p=0,001. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari keseimbangan dinamis sebelum dan sesudah perlakukan aquatic exercise therapy pada lansia. Hal ini juga menunjukkan bahwa aquatic exercise therapy meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia. Pada kelompok perlakuan II menunjukkan hasil uji t sebelum dan sesudah perlakuan didapat nilai p=0,001. Nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari keseimbangan dinamis sebelum dan sesudah perlakukan senam aerobic low impact pada lansia. Hal ini juga menunjukkan bahwa senam aerobic low impact meningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia. Berdasarkan tabel 5.4, menunjukkan bahwa hasil uji independent t-test pada data setelah perlakuan antara kelompok I dan kelompok II didapat nilai p=0,022. Maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara aquatic execise therapy dengan senam aerobic low impact terhadap keseimbangan dinamis. Dengan kata lain, hipotesis ke-3 dapat diterima yakni aquatic execise therapy lebih meningkatkan keseimbangan dinamis daripada senam aerobic low impact pada lansia. Berdasarkan nilai selisih, menunjukkan bahwa pada aquatic execise therapy lebih besar perubahannya dibandingkan pada senam aerobic low impact. 5.5
Pembahasan Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian dilakukan di dua tempat yaitu kolam renang Hotel Kelapa
Gading sebagai tempat kelompok I dan Balai Banjar Dharma Santi Denpasar
62
sebagai tempat pelatihan kelompok II. Jumlah subjek pada masing-masing kelompok adalah 15 orang. Data karakteristik yang diambil dalam penelitian meliputi usia, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh. Kedua kelompok tersebut memiliki kesamaan dalam lingkungan tempat tinggalnya dan tidak ada aktivitas berat yang dilakukan sehari-hari. 5.6
Pengaruh Aquatic Exercise Therapy Terhadap Keseimbangan Dinamis Berdasarkan analisis data sebelum dan setelah diberikan program latihan
kelompok I pada tabel 5.4, menujukkan bahwa pemberian aquatic exercise therapy selama 12 kali menunjukkan peningkatkan keseimbangan dinamis pada lansia yang signifikan. Penelitian ini mirip dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestianti (2012) yang berjudul Pengaruh Aquatic Exercise Therapy Terhadap Keseimbangan Statis Pada Lansia. Dalam penelitian tersebut meneliti peningkatan keseimbangan statisnya saja berbeda dengan penelitian ini yang meneliti penigkatan keseimbangan dinamis. Tetapi dosis latihan yang diberikan sama, yaitu dengan frekuensi selama 6 minggu. Gerakan pada latihan tersebut diambil dari buku Bates (1996) dan penambahan dari buku Brody (2009) serta dimodifikasi. Adapun penelitian lain yang dilakukan oleh Smulders (2005) menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan setelah diberikan aquatic exercise therapy dapat mengurangi resiko gangguan keseimbangan dan mencegah kejadian jatuh pada lansia. Aquatic exercise therapy juga memiliki efek positif untuk mencegah insiden jatuh pada lansia. Seseorang dapat bergerak bebas didalam air dalam lingkup gerak sendi yang luas karena air memberikan sanggaan terhadap tubuh
63
ketika masuk kedalam air, sehingga tidak terjatuh. Hasil uji t-test dari penilitian tertebut didapatkan nlai p=0,001 sama dengan penelitian ini karena gerakan dan dosis yang diberikan sama dengan penelitian ini. Aquatic exercise therapy dapat memanfaatkan lima prinsip fisik dari air yaitu buoyancy, hydrostatic pressure, fluid resistance, turbulence dan relative density. Saat melakukan latihan di dalam air, gaya apung (buoyancy) dapat digunakan untuk mengurangi pembebanan di dalam air serta memberikan efek rileksasi. Tekanan hidrostatis memberikan tahanan pada saat melakukan latihan di dalam air. Tahanan tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot, yaitu, otot-otot lengan, otot-otot tungkai dan yang terpenting adalah otot-otot postural. Otot-otot postural berfungsi untuk menjaga tubuh agak tetap tegak saat melakukan aktivitas. Bila otot-otot postural meningkat dapat meningkatkan respon perubahan posisi, gravitasi, titik tumpu, serta aligmen tubuh sehingga dapat mempertahankan keseimbangan (Wollam, 2009). Selain itu, prinsip fisik air yaitu fluid resistance mampu meningkatkan somatosensoris pada tubuh saat melakukan latihan di dalam air. Peningkatan somatosensori dapat membantu mempertahankan keseimbangan tubuh karena somatosensoris berfungsi sebagai pemberi informasi posisi tubuh dan perubahan gravitasi saat bergerak. Dalam penelitian ini, ada gerakan memutar tungkai, gerakan menyilang kaki dan berjalan di dalam air. Gerakan tersebut dapat meningkatkan gaya turbulence dalam air sehingga otot-otot tungkai dan otot-otot postural akan mendapat tahanan dari air yang akan mengganggu kestabilan tubuh. Otot-otot tungkai dan postural akan bekerja mempertahankan posisi tubuh agar
64
tetap tegak saat melakukan latihan di dalam air sehingga terjadi peningkatan keseimbangan pada tubuh. Oleh karena lingkungan air tidak selalu dalam kondisi yang stabil, orang itu harus mampu mengantisipasi terhadap gangguan yang akan muncul saat latihan. Hal ini melatih otot-otot postural agar dapat menjaga tubuh tetap stabil dan dapat dengan cepat mengantisipasi gangguan yang muncul. Dengan semakin cepat daya antisipasi seseorang, waktu reaksi akan semakin meningkat yang memberikan umpan balik pada keseimbangan tubuh saat bergerak sehingga kejadian jatuh pada lansia dapat berkurang (Henley, 2009). 5.7
Pengaruh Senam Aerobic Low Impact Terhadap Keseimbangan Dinamis Hasil analisis data sebelum dan setelah diberikan program latihan pada
kelompok II pada tabel 5.4, menunjukkan bahwa senam aerobic low impact selama 12 kali mengalami peningkatan keseimbangan dinamis pada lansia yang signifikan. Peningkatan keseimbangan dinamis pada lansia pada penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2004) yang berjudul Pengaruh Senam Lansia Terhadap Keseimbangan Pada Orang Lanjut Usia dalam penelitian tersebut para lansia mendapatkan porsi latihan yang sama dengan frekuensi selama 6 minggu. Adapun penelitian yang dilakukan Bertiyana (2012) yang berjudul Senam Aerobic Low Impact Meningkatkan Keseimbangan Dinamis Pada Lansia. Pada penelitian tersebut, keseimbangan dinamis setelah diberikan senam aerobic low impact meningkat 5% sedangkan pada penelitinan ini keseimbangan
65
dinamis meningkat 10%. Hal ini dikarenakan pada penelitian ini banyak gerakan baru yang disesuaikan untuk meningkatkan keseimbangan dinamis. Peningkatan keseimbangan dinamis pada lansia yang diberikan senam aerobic low impact secara terprogram tidak lepas dari aktifnya otot-otot tubuh secara general. Pada lansia terjadi penurunan input sensoris, perlambatan respon motoris, serta keterbatasan kondisi muskuloskeletal (Salzman, 2010). Pada senam aerobic low impact otot-otot tubuh secara general akan dipacu untuk bergerak. Gerakan-gerakan yang terpola dan terprogram akan memberikan respon adaptif secara fisiologis pada sistem muskuloskeletal. Kemampuan otot besar yang baik akan meningkatkan respon otot-otot postural yang sinergis. Pada tungkai, gerakan dari senam aerobic low impact akan memperkuat kemampuan otot tungkai dalam mempertahankan keseimbangan. Menurut Scott (2013) kemampuan ankle strategy yang ditopang oleh otototot plantaris, gastrocnemius, grup quadriceps dan hamstring serta gluteal akan lebih optimal. Otot-otot tungkai yang baik akan mamapu menyangga tubuh bagian atas secara lebih sempurna sehingga keseimbangan lebih terjaga. Aktivasi dari otot hamstring dan otot-otot paraspinal mempertahankan sendi panggul dan sendi lutut dalam keadaan ekstensi (Shumway, 2007). Respon otot-otot postural tubuh yang sinergis mengarah pada waktu dan jarak dari aktivitas kelompok otot yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan dan kontrol postural. Beberapa kelompok otot baik pada tubuh bagian atas (kelompok otot abdomen dan back muscle) maupun bagian bawah (otot-otot tungkai) berfungsi mempertahankan
66
postur tubuh saat berdiri tegak serta mengatur keseimbangan tubuh terhadap base of support (Suhartono, 2005). Gerakan kepala yang terdapat pada senam aerobic low impact saat pemanasan dan inti latihan akan menstimulus sistem vestibular dan visual yang berperan sebagai faktor internal dalam keseimbangan. Gerakan yang bervariatif akan menjaga koordinasi mata dan respon visual. Respon visual akan memberikan informasi ke susunan sarat pusat tentang posisi tubuh terhadap kondisi lingkungan di sekitar dan antar bagian tubuh sehingga kesiagaan postural dengan lingkungan menjadi lebih baik. Sistem vestibular yang baik akan membantu tubuh dalam menjaga keseimbangan dan mengontrol kepala (Miller, 2009). 5.7
Perbandingan Aquatic Exercise Therapy dan Senam Aerobic Low Impact Terhadap Keseimbangan Dinamis Hasil analisis dilihat dari nilai keseimbangan dinamis setelah perlakuan
pada kelompok I dan kelompok II pada tabel 5.4, menunjukkan bahwa aquatic exercise therapy lebih meningkatkan keseimbangan dinamis daripada senam aerobic low impact pada lansia. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Avelar (2009), menunjukkan bahwa Aquatic exercise lebih meningkatkan keseimbangan dinamis daripada noaquatic exercise pada lansia dengan nilai p=0,001. Hal tersebut berbeda dengan penelitian ini dengan nilai p=0,022 dikarenakan penelitian tersebut dilakukan selama 8 minggu, pertemuan sebanyak 18 kali. Jadi semakin lama perlakuan diberikan, maka hasil keseimbangan dinamis akan semakin terlihat. Aquatic
67
exercise therapy dan senam aerobic low impact sangat berbeda, dapat dilihat dari stimulasi yang diberikan kepada tubuh sebagai berikut: 1.
Visual-auditori Pada aquatic exercise therapy sangat mempengaruhi visual-auditori
dibandingkan dengan senam aerobic low impact. Hal ini, dikarenakan saat melakukan latihan di air, suara dari gemuruh air akan mengganggu visualauditori sehingga berakibat pada ketidakstabilan tubuh. Tubuh akan merespon gangguan tersebut yang akan mempertahankan kestabilan agar menimbulkan keseimbangan secara otomatis (Devenruex, 2006) 2. Vestibular Senam aerobic low impact lebih baik dalam merangsang vestibular, karena dalam senam banyak terdapat gerakan-gerakan kepala daripada aquatic exercise therapy. Gerakan kepala tersebut terdapat
pada bagian
pemanasan, inti dan pendinginan. Gerakan kepala yang paling mempengaruhi keseimbangan adalah gerakan lateral fleksi dan gerakan rotasi. Gerakan lateral fleksi kepala akan mempengaruhi sistem vestibular yaitu utrikulus dan sakulus. Pergerakan linier seperti gerakan fleksi kepala akan merangsang makula dan menyebabkan membran otolithic untuk meluncur di atas makula arah gravitasi. Membran otolithic bergerak, stereosilia
menekuk
menyebabkan
beberapa
sel
rambut
untuk
mendepolarisasi dan yang lain hiperpolarisasi. Posisi yang tepat dari kepala ditafsirkan oleh otak berdasarkan pola depolarisasi sel rambut. Perbedaan inersia antara stereosilia sel rambut dan membran otolithic mengarahkan ke
68
gaya geser yang menyebabkan stereosilia untuk menekuk ke arah akselerasi linear dan tubuh harus merespon secara tepat agar seimbang (Gananca, 2006). Gerakan rotasi pada senam aerobic low impact akan mempengaruhi semisirkular kanal oleh mekanisme sistem push-pull. Pergerakan rotasi kepala akan menyebabkan seluruh cairan keluar kanal dan selama gerakan rotasi maka terjadi pergerakan kupula dan rambut sensorik. Pergerakan silia menyebabkan exictation sel menuju kinocilium dan frekuensi perubahan kecepatan gerak rotasi yang ditransmisikan kinocilium akan menggerakan serabut saraf vestibular memberi input menuju ke saraf kranial. Sinyal yang dikirim ke saraf ini menyebabkan refleks vestibulo-okular yang akan memungkinkan mata untuk memperbaiki posisi pada objek bergerak. Gerakan baru akan dikirim ke retikular kemudian dikirim ke sumsum tulang belakang dan terjadi reaksi refleks cepat untuk kedua tungkai dan batang untuk mendapatkan kembali keseimbangan (Saladin, 2011). 3. Somatosensoris Somatosensori mendapat rangsangan dari aquatic exercise therapy dan senam aerobic low impact karena keduanya memiliki gerakan yang sama, yaitu gerakan pada posisi kaki rapat, kaki membuka-menutup, berjalan, berdiri, berdiri satu tungkai dan tungkai yang bersilangan. Gerakan pada posisi kaki rapat mengakibatkan base of support menjadi sempit. Sempitnya base of support akan meminimalisir kerja visual dan meningkatnya body sway. Minimalnya kerja visual akan mengakibatkan berkurangnya input vestibular sehingga mengakibatkan propioseptif bekerja
69
mempertahankan keseimbangan akibat adanya persepsi ketidakseimbangan. Respon
keseimbangan
akan
muncul
sebagai
umpan
balik
adanya
ketidakstabilan akibat BOS yang sempit. Respon umpan balik terjadi secara cepat dengan adanya aktifasi desenden dan tanggapan singkat atency refleks akibat adanya gerakan kompensasi mekanik pergelangan kaki menstabilkan otot dan mengubah informasi proprioseptif (Chang, 2009) Gerakan kaki terbuka mengakibatkan base of support menjadi bervariasi. Base of support yang bervariasi akan merangsang propioseptif untuk identifikasi posisi sendi.
Identifikasi posisi sendi direspon tubuh
sebagai informasi gerakan baru kemudian timbul umpan balik untuk mempertahankan posisi tetap seimbang. Pengulangan posisi dengan BOS yang besar akan diterima oleh otak dan COG untuk secara cepat memberikan umpan balik sehingga keseimbangan dapat dicapai secara otomatis (Streepey, 2007) Gerakan berdiri dan gerakan berdiri satu kaki terjadi masukan (input) proprioseptor pada sendi, tendon dan otot dari kulit di telapak kaki juga merupakan hal penting untuk mengatur keseimbangan saat berdiri statis maupun dinamis. Pengaturan posisi tubuh akan merangsang central processing yang berfungsi untuk memetakan lokasi titik gravitasi, menata respon sikap, serta mengorganisasikan respon dengan sensorimotor. Selain itu, efektor berfungsi sebagai perangkat biomekanik untuk merealisasikan respon yang telah terprogram sistem saraf pusat, yang terdiri dari unsur
70
lingkup gerak sendi, kekuatan otot, aligmen sikap, serta stamina (Suhartono, 2005). Gerakan persilangan akan mengkoordinasikan otak atas (korteks) dan batang otak kemudian ke pusat gerak dan pusat nerves cranialis yang akan aktivasi di serebelum sehingga merangsang vestibular system (Thomas, 2012). 4. Muskuloskeletal Muskuloskeletal
adalah
komponen
terpenting
dalam
menjaga
keseimbangan tubuh agar tidak mengalami jatuh. Dari kedua perlakuan yang diberikan dalam penelitian ini, keduanya berperan dalam meningkatkan kekuatan pada otot terutama pada otot-otot tungkai dan postural. Pada senam aerobic low impact terdapat gerakan-gerakan yang terpola dan terprogram akan memberikan respon adaptif secara fisiologis pada sistem muskuloskeletal. Kemampuan otot besar yang baik akan meningkatkan respon otot-otot postural yang sinergis. Pada tungkai, gerakan dari senam aerobic low impact akan memperkuat kemampuan otot tungkai dalam mempertahankan keseimbangan (Shumway, 2007). Sedangkan aquatic exercise therapy lebih memberikan tahanan terhadap otot-otot tungkai dan postural karena aquatic exercise therapy memiliki prinsip buoyancy dengan keuntungan saat melakukan latihan di dalam air, yaitu dukungan yang membantu meringankan gerakan di dalam air dan tahanan yang dapat meningkatkan kekuatan otot jika tubuh digerakan menjauhi permukaan air. Ketika melakukan latihan di dalam air, gerakan
71
akan dihambat oleh tekanan air sehingga otot akan berkontraksi lebih kuat untuk melawan dan mempertahankan posisi tubuh agar mencapai keadaan stabil (Kaneda, 2008). Prinsip air yang menjadi tahanan saat melakukan latihan di dalam air terutama prinsip turbulence yang menimbulkan efek dari pusaran air memberikan tahanan dan gangguan yang membuat kondisi tubuh di dalam air tidak stabil sehingga otot-otot postural dan otot-otot tungkai akan bekerja lebih kuat mempertahankan kestabilan dan keseimbangan tubuh (Resende, 2008). Selain itu, air juga memiliki gaya tahanan cairan yang tidak terdapat pada senam aerobic low impat karena dapat memberikan hambatan gerakan pada tubuh dari segala arah sedangkan bila latihan di darat hanya dari satu arah yang tergantung pada arah beban yang diberikan. Tahanan cairan juga memberikan efek kesadaran sensoris dan meningkatkan waktu reaksi gerakan pada tubuh. Hal ini akan memberikan umpan balik pada keseimbangan sehingga keseimbangan dapat terjadi secara optimal (Kaneda, 2008) Walaupun data statistik menunjukkan bahwa aquatic exercise therapy lebih meningkatkan keseimbangan dinamis daripada senam aerobic low impact pada lansia secara signifikan. Akan tetapi, nilai keseimbangan dinamis pada kedua kelompok bila dimasukan dalam klinis resiko jatuh, nilai keseimbangan dinamis pada lansia tetap dalam range resiko jatuh sedang, yaitu 11 – 15 detik. Maka, perlu adanya penelitian lanjutan dengan dosis pelatihan yang berbeda.