12 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD) merupakan klasifikasi penyakit dan masalah kesehatan dalam kode huruf dan angka (WHO, 2011). ICD dapat didefinisikan sebagai satu kategori sistem untuk menunjukkan bentuk yang sesuai dengan kriteria morbiditas dalam konsep penyakit. Penggunaannya untuk membentuk suatu analisis pencatatan yang sistematik, jelas dan sama pada pengumpulan data kesakitan dan kematian. Salah satu tantangan penggunaannya, ICD belum dapat memenuhi kebutuhan informasi data morbiditas pada koding pelayanan kesehatan primer/Primary Health Care (PHC) seperti Puskesmas. Di negara-negara dengan informasi dan kualitas data yang rendah, berbagai pendekatan perlu diadopsi untuk menambah atau mengganti penggunaan konvensional ICD (WHO, 2011), karena karena untuk Puskesmas masih terdapatnya masalah 63,16% pada 12 Bab yang digunakan (Wockenfuss et al., 2009) (Wockenfuss et al., 2009) Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan salah satu bentuk dari pelayanan kesehatan primer. Puskesmas merupakan layanan kesehatan yang paling banyak dipakai, dengan masalah lebih rumit dan mengandung lebih banyak ketidakpastian (Djanun, 2012). Pada pelayanan ini, kelemahan penggunaan ICD ditemui pada pengelompokan morbiditas. Gejala atau kondisi non penyakit yang dikeluhkan pasien tidak dapat diberi kode, karena ICD dirancang untuk penerapan statistik kematian dengan struktur yang didasarkan atas konsep penyakit, bukan episode pelayanan pasien (WONCA, 2005). Konsep penyakit, berbeda dengan konsep episode pelayanan pasien / episode of care (Djanun, 2012). Konsep koding episode pelayanan pasien berpatokan pada keluhan pasien, gejala dan tanda pengamatan petugas medis serta diagnosis/kondisi akhir yang ditegakkan dalam alasan kedatangan pasien/Reason for Encounter (RFE) (WONCA, 2005). Koding ini lebih tepat menggunakan International Classification of Primary Care-Two Revision (ICPC-2R) yaitu klasifikasi koding internasional sebagai refleksi dari tampilan karakteristik dan isi (WONCA, 2005) untuk pelayanan kesehatan primer termasuk Puskesmas (Hatta, 2012). ICPC-2R merupakan bagian dari koding ICD (WHO, 2011). Pada konsep RFE untuk pertama kalinya
1
2 pemberi layanan kesehatan dapat mengelompokkan kondisi dalam 1 kode menggunakan 3 unsur sekaligus, yaitu Alasan Kedatangan Pasien (AKP) /Reason for Encounter (RFE), diagnosis atau masalah kesehatan dan proses pelayanannya. Dapat berupa: 1). Gejala atau keluhan (sakit kepala atau takut terkena kanker), 2). Berkaitan dengan penyakit (flu atau diabetes), atau 3). Permintaan untuk pencegahan atau pelayanan diagnose (cek tekanan darah atau rontgen), permintaan terapi (mengulangi resep), atau mengambil hasil test atau administratif (surat keterangan sehat). Hubungan antara ketiganya memungkinkan pengelompokkan sejak pertama kunjungan dengan alasannya, sampai kesimpulan kondisi pasien (WONCA, 2005). ICPC-2R berbasis bukti dalam sebuah struktur untuk penggunan rekam medis elektronik yang memungkinkan menjamin rekaman secara dinamis. World Health Organization (WHO) merekomendasikan Puskesmas menggunakan ICPC-2R sebagai standard pencatatan dan pelaporan data sebagai bagian family dari ICD. Bagi pemakai jasa pelayanan, mutu terkait dengan morbiditas sesuai ICPC-2R ditetapkan dalam pencapaian kategori dalam 17 Chapter dan 7 komponen didalamnya. Diperlukan adanya konversi dan mapping antara ICD dengan ICPC-2R untuk menyatukan dua prinsip koding tersebut (Okkes et al. 2002). Mapping yang dimaksud dapat berupa kosakata medis dengan standard terminologi medis (Wang et al. 2008). Pemberlakuan Terminologi Medis ICD sejalan dengan ICPC-2R, sehingga struktur mapping ICPC-2R juga potensial digunakan untuk rekam medis pasien secara elektronik pada pelayanan Puskesmas (Hatta, 2012). Informasi didapatkan 52 faktor utama dokumentasi, berupa 4.464 faktor kedatangan pasien. Pada kode dan analisis, didapatkan 6.225 alasan kedatangan pasien dan 6.491 diagnosis/masalah dokumentasi, 169 kosakata baru yang lebih spesifik dibutuhkan dalam ICPC-2R menggunakan terminologi medis yang benar (Charity et al. 2013). Mapping ICPC-2R, mampu mengidentifikasi hasil secara detail gejala dan tanda dari kondisi pasien hyperthyroidism. Cross-mapping standard mampu menampilkan data spesifik tentang mapping gejala dan tanda kondisi pasien dengan 7 komponen dasar yang tidak dapat ditampilkan dalam ICD (Okkes et al. 2002). Mapping dua coding untuk respek pasien, etiologi dan lokasinya dapat dilakukan dengan ICPC-2R (Gambar 1.1.). Rentang waktu satu tahun (Januari-Desember 2007) menunjukkan bahwa pada pelayanan kesehatan dasar, penggunaan penyalah gunaan obat (substance abuse) merupakan data terbesar dengan melakukan identifikasi tentang perhatian pasien terhadap masalah kesehatannya, seperti; alergi, cedera, masalah
3 pernafasan, kesehatan mental, perhatian, pengobatan rutin, suspect tuberculosis atau gangguan istirahat (Wolfenstetter & Wenig 2011).
Gambar 1.1. Grafik 17 Bab ICPC-2R pada 2195 masalah kesehatan di Pelayanan Kesehatan Dasar Genewa, Switzerlandia 2007
Konsep pelaporan data morbiditas sendiri, untuk Puskesmas di Indonesia disusun sesuai Keputusan Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat (1998) dalam laporan bulanan berupa LB 1, digunakan dalam Daftar Tabulasi Morbiditas/Daftar Tabulasi Dasar (DTD) yang merupakan kumpulan data ICD revisi kesepuluh (ICD-10) setiap periode. Digunakan juga Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik HK.00.05.1.4.00744 tertanggal 19 Februari 1996 tentang penggunaan ICD-10 di Indonesia sebagai dasar pelaporan di Rumah sakit, tetapi juga digunakan untuk Puskesmas. ICD-10 sebenarnya difungsikan untuk sarana pelayanan kesehatan rujukan seperti rumah sakit (WHO, 2011.) bukan untuk Puskesmas. Kedua peraturan diatas menunjukkan belum sesuainya konsep yang digunakan Indonesia dalam penentuan dasar pelaporan pada pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas. Penggunaan ICPC-2R sebagai bagian upaya wajib Puskesmas dalam pengobatan dan penanggulangan penyakit sebenarnya sudah sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128 tahun 2004. Tetapi pelaksanaannya di Indonesia masih dalam tahap sosialisasi (Kuswenda, 2012). Menurut survei di Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (PUSDATIN), ICPC belum dapat diterapkan di Pelayanan kesehatan primer di negara kita, sebab utamanya adalah keterbatasan pemahaman dan sumber daya manusia, serta dana kesehatan.
4 Penggunaan ICPC di Puskesmas merupakan suatu upaya peningkatan mutu kualitas pelayanan. Hal ini didasarkan pada perlunya pembenahan data yang dihasilkan di pelayanan kesehatan. Seperti tercermin dari kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang belum optimal. Menurut SUSENAS 2001 ditemukan 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Bali menyatakan tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan yang diselenggarakan oleh pelayanan kesehatan pemerintah di kedua pulau tersebut. Kualitas data kesehatan belum didukung oleh pengelolaan data medis pasien dari rekam kesehatan yang baik, seperti: terbaca, dapat dipercaya, tepat, lengkap, konsisten, jelas dan tidak kadaluwarsa. Rekam kesehatan dalam elektronik, akan semakin memberi dampak positif pada kualitas pelayanan kesehatan hanya bila informasi rekaman yang dihasilkan memang berkualitas baik (Hatta, 2010a). Selama ini, rekaman data Rekapitulasi Laporan Morbiditas (LB1) Puskesmas belum dapat digunakan sepenuhnya untuk analisis dan peningkatan upaya pelayanan kesehatan. Data ini dikirim tanpa ada intervensi pasti. Berbagai penelitian epidemiologi, pendayagunaan obat, surveilance, Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menggunakan dasar data morbiditas, belum difasilitasi sesuai sasaran. Berbagai perencanaan sarana dan prasarana, kurang terpenuhi dan terkadang tidak sesuai kebutuhan karena pelaporan data morbiditas kurang menunjang. Hal ini dapat diakomodir dengan penggunaan ICPC-2R untuk koding morbiditas Puskesmas (Hatta, 2012). Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Sukoharjo merupakan institusi yang membawahi 12 Puskesmas di wilayah Sukoharjo. Disini, pencatatan dan pelaporan LB 1 telah dikembangkan menggunakan sistem informasi kesehatan online berbasis web-based dan terintegrasi yang pemanfaatannya digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dan regulasi. Juga terdapatnya Primary Care (PCARE) berupa pelayanan informasi pasien dengan internet dan berbasis komputer. Meskipun nampak masih sangat asing dan baru, diharapkan PCARE bisa efektif dan membantu dalam proses kerja Badan Pemeriksa Jaminan Kesehatan (BPJS) kesehatan sebagai asuransi kesehatan. Untuk itu, dibutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni yang mampu mendukung pelayanan informasi menggunakan sistem PCARE BPJS untuk Puskesmas (BPJS, 2015). Konsep data morbiditas PCARE sebenarnya sesuai dengan konsep episode of care dalam RFE di ICPC-2R. Tetapi, karena belum ada kesamaan penggunaanya, maka ICPC-2R belum dapat diterapkan dalam PCARE.
5 Peneliti menggunakan 2 Puskesmas di DKK Sukoharjo. Hasil implementasi, diharapkan data morbiditas mampu digunakan sesuai dengan kebutuhan, khususnya upaya penanggulangan penyakit, serta pengambilan keputusan. Melihat hal tersebut, maka dirasa perlu adanya kegiatan pendekatan implementasi, untuk mengetahui kualitas data yang diperoleh dari data morbiditas dengan penerapan ICD-10 konversi ICPC-2R. Sehingga dapat diketahui seberapa besar kegunaan konversi yang diterapkan, sebagai upaya peningkatan kualitas kebutuhan data dan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas.
B. Perumusan Masalah Pelaksanaan koding di pelayanan kesehatan primer, belum sesuai dengan standard yang diharapkan, karena koding yang dilakukan berdasarkan ICD belum dapat mewakili ketersediaan data kesehatan untuk peningkatan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Disisi lain ICPC-2R yang menjadi standard koding WHO di pelayanan kesehatan dasar masih dalam tahap sosialisasi di Indonesia. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian guna menjawab masalah tersebut, dengan rumusan “Apakah konversi ICPC-2R dari ICD dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan terutama pada manajemen pencatatan dan pelaporan data di Puskesmas ?’’.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Melakukan evaluasi hasil konversi ICPC-2R dari ICD untuk peningkatan kualitas pelayanan data di Puskesmas. 2. Tujuan Khusus : a.
Mengetahui hasil mapping konversi ICPC-2R dari ICD pada SIMPUS di Puskesmas.
b.
Mengetahui dimensi mutu yang mempengaruhi kualitas pelayanan dari penerapan konversi ICPC-2R dari ICD-10 di SIMPUS.
c.
Melakukan evaluasi hasil penerapan konversi ICPC-2R dari ICD di SIMPUS.
6 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi Sebagai bahan pemikiran dan masukan informasi bagi pihak pengelola pelayanan kesehatan tentang standard data morbiditas untuk pelayanan kesehatan primer terutama di puskesmas. 2. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Referensi bacaan bagi mahasiswa pascasarjana khususnya SIMKES UGM serta pengembangan dan implementasi teori yang didapatkan dalam mengikuti pendidikan khususnya dalam penerapan ICPC-2R konversi ICD untuk peningkatan kualitas data pelayanan kesehatan primer. 3. Bagi peneliti Menjadi bahan untuk dapat dikembangkan dalam penelitian lebih lanjut tentang penerapan ICPC-2R konversi ICD dalam upaya peningkatan kualitas data pelayanan kesehatan primer.
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai evaluasi penerapan ICPC-2R dari ICD dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dasar (Access, 2009), adalah sebagai berikut : 1. Dilakukan penelitian tentang “ ICPC-2R: sebagai aplikasi baru dalam penelitian dan catatan rekam medis pasien secara elektronik dalam pelayanan keluarga” (Okkes et al. 2000). Peneliti melakukan analisis penggunaan ICPC-2R konversi ICD-10 dari berbagai negara dalam 19 bahasa. Pada komunitas Eropa peneliti mempelajari episode pelayanan dengan ICPC-2R, dari ciri khas epidemiologi, persamaan klinis dan perbedaannya antara berbagai tempat asal, termasuk konsep Alasan Kedatangan Pasien (AKP) pada waktu pelayanan. Pelengkap konversi juga menggunakan Anatomic Therapeutic Chemical Classification Index (ATC) untuk koding obat. Norwegia, Netherland, Finlandia menggunakannya untuk membantu sistem pembayaran dilengkapi International Clasification of Diseases Nine Revision (ICD-9) demikian juga Amerika. Inggris memadukan ICPC-2R dengan daftar istilah tertentu pada rekam medis pasien secara elektronik. Hasilnya, AKP dapat memberikan informasi lengkap kondisi pasien, juga
7 kemudahan untuk penelitian dan pendidikan, seperti 10 besar kondisi yang berhubungan dengan batuk berdasarkan usia. Kasus terbanyak pada anak (1189 orang) dengan kondisi head cold 456 kasus. AKP juga dapat mempengaruhi pemberian resep, pemeriksaan radiologi dan laboratorium. ICPC-2R dapat membedakan antara diagnosis dan tindakan terapeutik berdasarkan AKP. Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan ICD10 konversi ICPC-2R sebagai kajian dalam penentuan koding diagnosis di pelayanan kesehatan dasar. Perbedaannya terletak pada desain studi, teknik pengambilan data, Penggunaan ATC sebagai kode obat, dan pemilihan lokasi. 2. Penelitian tentang ‘’17 tahun penggunaan ICPC-2R di Norwegia pada pelayanan kesehatan dasar: melihat keberlangsungan kondisi dilapangan’’. Menggunakan Problem Oriented Electronic Medical Record (PROMEDs) dalam ICPC-2R, pendekatan retrospektif pada 15 juta kode ICPC-2R dan diagnosis yang digunakan 16 tahun keatas di 12 tempat pelayanan kesehatan dasar (Botsis et al. 2010). Penelitian menunjukkan, petugas medis banyak memasukkan diagnosis baru dan berbagai masalah yang terkait didalamnya. Pertimbangan waktu, progress pasien, derajat kesakitan, etiologi, struktur anatomi, terapi, komplikasi, juga memusatkan hal tersebut dengan diagnosis atau kondisikondisi diagnosis yang menyertai, menjadi pusat kajian. Kasus terbanyak pada Pneumonia, Diabetes, Tonsilitis dan Anemia. Hasil menunjukkan tingkat kesalahan input data 6,5 %. Ketidak sesuaian
kondisi dengan kode 4,0%, dan adanya perbedaan
diagnosis dengan catatan dalam ICPC-2R 53,8%. Persamaan dengan penelitian ini adalah menggunakan ICPC-2R sebagai kajian dalam penentuan koding diagnosis di pelayanan kesehatan dasar. Perbedaannya terletak pada desain studi, teknik pengambilan data, Penggunaan PROMEDs sebagai analisis dan pemilihan lokasi. 3. Observasi Lingkup Diagnosis dalam Waktu yang Ditentukan pada Pelayanan Kesehatan Dasar di Delapan Negara Eropa dilakukan menggunakan retrospektif dengan studi observasi pada rekam medis pasien dari waktu yang ditetapkan pada masa lampau di pelayanan kesehatan dasar (Huibers et al. 2011). Meliputi: Belgia, Denmark, German, Netherlands, Norwegia, Slovenia, Spain (Spanyol), dan Switzerland. 1000 kontak pasien sebagai objek, dalam tiga organisasi pernegara. Kategori ICPC-2R digunakan untuk menunjukkan gejala dan diagnosis sebagai dasar. Pada dua Negara Solvenia dan Spanyol ICD-10 diterjemahkan kedalam kode ICPC-2R. Hasil menunjukkan, pada pria banyak
8 ditemukan kasus beragam dari masing-masing negara. Data terkecil 33,7% di Jerman dan 48,3% di Denmark, distribusi usia 18-24 tahun. Kategori ICPC-2R dengan hasil rata-rata A ’Kondisi Umum’ 13,2%, R ’Pernafasan’ 20,4%, L ’Sistem Otot dan Kerangka’ 15%, S ’Kulit’ 12,5% dan D ’Sistem Pencernaan’ 11,6%. Sehingga, jumlah tertinggi relatif pada pasien dengan penyakit infeksi atau sakit akut yang disertai dengan sindrom. Skala terbesar didapatkan pada kasus berdasarkan usia ada pada H ’Masalah Telinga’, L ‘Sistem Otot dan Kerangka’ dan K ’Jantung dan Pembuluh Darah’. Masalah yang mengancam hidup secara mendadak, hanya terdapat beberapa kasus. Persamaan penelitian menggunakan ICPC-2R sebagai standard indikator koding di pelayanan kesehatan dasar. Perbedaannya terletak pada desain studi, teknik pengambilan data, analisis dan pemilihan lokasi. 4. Pengembangan Pelayanan Kesehatan Dasar dengan ICD-10 Menggunakan Mapping Systematized Nomenclature of Medicine Clinical Terminology (SNOMED CT). Peneliti melakukan mapping hasil evaluasi manual dari informasi elektronik dan melihat sampai jumlah terkecil data terbaru dari Classification av sjukdomar och halsoproblem 1997 Primarvard (KSH97-P’s) ke konsep SNOMED CT dengan isi mengacu pada ICD-10. Hasil dapat memasukkan KSH97-P kategori A00 pada Kolera dengan ICD-10 kategori A00 (Colera) dan dilakukan mapping dalam SNOMED CT untuk konsep data klinis kasus Colera (Nyström et al. 2010). Meneliti tentang “. Didapatkan konsep baru, pada Blok II Haemangioma dan Lipoma, VII konsep gangguan yang menyertai, dan XII penyakit dan kondisi pada kuku dan rambut. Statistik dengan algoritma, dapat ditampilkan data berdasarkan mapping secara keseluruhan. Memungkinan dari mapping dari KSH97-P ke SNOMED CT atau kebalikannya secara bergantian, dalam satu stuktur data. Persamaan dengan penelitian adalah
menggunakan ICD-10 sebagai standard
indikator mapping untuk koding diagnosis pasien. Perbedaannya terletak pada penggunaan KSH97-P ke SNOMED CT untuk konversi data, desain studi, teknik pengambilan data, analisis dan pemilihan lokasi.