BAB IX WILAYAH DAN TATA RUANG
Pelaksanaan pembangunan selama ini telah membawa berbagai kemajuan, namun masih belum memberikan hasil yang optimal terutama dalam mewujudkan kesejahteraan secara merata kepada seluruh penduduk dan kemajuan yang seimbang bagi semua daerah. Pembangunan nasional masih dihadapkan dengan permasalahan utama yaitu masih tingginya kesenjangan antar daerah yang dicerminkan oleh belum meratanya persebaran penduduk dan ketenagakerjaan secara nasional, adanya kesenjangan tingkat kesejahteraan masyarakat, adanya kesenjangan pertumbuhan ekonomi antar daerah, serta kesenjangan pembangunan prasarana dasar antardaerah. Pembangunan di bidang wilayah dan tataruang ditujukan untuk mewujudkan pembangunan yang lebih merata dan berkeadilan ditandai oleh tingkat pembangunan yang makin merata ke seluruh wilayah diwujudkan dengan peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat, termasuk berkurangnya kesenjangan antarwilayah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah perlu dilakukan tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia, tetapi juga untuk menjaga stabilitas dan kesatuan nasional. Upaya pengurangan kesenjangan antarwilayah diselenggarakan dengan memerhatikan potensi dan peluang keunggulan sumberdaya darat dan/atau laut di setiap wilayah, serta memerhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan. Data dan informasi tentang potensi tersebut dihasilkan dari kegiatan survai dan pemetaan. Hasil kegiatan survai dan pemetaan tersebut selanjutnya menjadi basis bagi penyusunan Rencana Tata Ruang. Selanjutnya, Rencana Tata Ruang digunakan sebagai acuan kebijakan spasial bagi pembangunan di setiap sektor, lintas sektor, maupun wilayah agar pemanfaatan ruang dapat sinergis, serasi, dan berkelanjutan. Rencana pembangunan dijabarkan dan disinkronisasikan ke dalam rencana tata ruang yang konsisten, baik materi maupun jangka waktunya. Pelaksanaan pengembangan wilayah tersebut dilakukan secara terencana dan terintegrasi dengan semua rencana pembangunan sektor dan bidang. Pengurangan ketimpangan pembangunan antarwilayah dalam tahun 2011 dilakukan melalui berbagai upaya antara lain: (1) pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya dalam mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan daerah terutama di wilayah luar Jawa, sehingga dapat berfungsi sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang dapat menggerakkan pertumbuhan wilayah-wilayah yang tertinggal; (2) peningkatan pembangunan di wilayahwilayah tertinggal dan terpencil agar dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat dan dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dengan daerah lain; (3) pengembangan wilayah-wilayah perbatasan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan wilayah perbatasan yang selama ini cenderung berorientasi inward looking menjadi outward looking, sehingga kawasan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga; (4) penyeimbangan pertumbuhan kotakota metropolitan, besar, menengah dan kecil yang efisien dan efektif; (5) peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan; serta (6) keserasian pemanfaatan dan pengendalian tata ruang, serta penatagunaan tanah. Upaya pengurangan kesenjangan antarwilayah ini juga perlu didukung oleh pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah yang konsisten. Pelaksanaan agenda II.9 - 1
desentralisasi dan otonomi daerah memiliki nilai strategis yang tinggi terkait dengan upaya pengembangan ekonomi lokal dan regional. Pelaksanaan desentralisasi dilaksanakan melalui penataan pembagian urusan pemerintahan antar tingkatan pemerintahan, peningkatan kerjasama pemerintah daerah, penataan daerah otonom baru, pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintah daerah. Sedangkan dalam pelaksanaan otonomi daerah dilaksanakan melalui peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, peningkatan profesionalisme aparatur pemerintah daerah, serta peningkatan kapasitas kemampuan keuangan daerah.
9.1
Kondisi Umum
Data dan Informasi Spasial Data dan informasi spasial berperan penting sebagai basis analisis dalam perencanaan pembangunan nasional. Dalam UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), diamanatkan bahwa perencanaan pembangunan didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, yang mencakup data dalam bentuk kuantitatif, kualitatif, maupun gambar visual (images), termasuk didalamnya data dan informasi spasial. Data dan informasi spasial dihasilkan oleh beberapa instansi pemerintah pusat, daerah, dan swasta. Dalam upaya mengkoordinasikan penyediaan data dan informasi spasial, serta mempermudah akses terhadap data dan informasi spasial, telah diterbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) No. 85 Tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN). Sampai dengan tahun 2010, diharapkan telah terbangun simpul jaringan di 14 instansi pusat, dan simpul jaringan di beberapa pemerintah provinsi. Pada tahun-tahun berikutnya, pembangunan simpul jaringan akan terus dilanjutkan hingga mencakup seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, sehingga diharapkan dapat mendukung penguatan sinergi pusat dan daerah, serta sinergi antardaerah. Pembangunan data dan informasi spasial juga secara strategis mendukung upaya pemantapan tata kelola pemerintahan, antara lain melalui pemetaan batas wilayah kabupaten/kota. Sampai dengan tahun 2010, batas wilayah kabupaten/kota yang telah dipetakan adalah sebanyak 150 Nomor Lembar Peta (NLP). Sementara itu, pemetaan batas wilayah nasional untuk menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga perlu tetap dilanjutkan. Sampai dengan tahun 2010, telah terbangun Jaring Kontrol Batas Wilayah RI-Malaysia sebanyak 18.714 titik (94% dari jumlah ideal), Jaring Kontrol Batas Wilayah RI-RDTL sebanyak 110 titik (22% dari jumlah ideal), dan Jaring Kontrol Batas Wilayah RI-PNG sebanyak 52 titik (6% dari jumlah ideal). Secara umum, pengelolaan data dan informasi geospasial nasional akan dapat lebih ditingkatkan efisiensi dan efektifitasnya melalui penguatan kelembagaan, peningkatan koordinasi, kemudahan distribusi, serta penguatan sumber daya manusia. Pokok-pokok perhatian tersebut telah tercantum dalam Rancangan UU tentang Informasi Geospasial, sehingga rancangan UU tersebut memiliki nilai strategis untuk disahkan menjadi UU pada tahun 2010. Sampai dengan tahun 2010, telah tersedia data dan informasi spasial yang dihasilkan oleh beberapa instansi pusat untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional, antara lain sebagaimana dijabarkan dalam Tabel 9.1.
II.9 - 2
TABEL 9.1 HASIL CAPAIAN DATA DAN INFORMASI SPASIAL SAMPAI DENGAN TAHUN 2010 No A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 C 1 2 3 4 5 6 7 8 D 1 2 3 4 5
Capaian Pemetaan Dasar Nasional Peta rupabumi Skala 1:250.000 Peta rupabumi Skala 1:50.000 Peta rupabumi Skala 1:25.000 Peta rupabumi Skala 1:10.000 Peta rupabumi Skala 1:5.000 Peta Lingkungan Laut Nasional (LLN) skala 1:500.000 Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) skala 1:250.000 Peta LPI skala 1:50.000 World Aeronautical Chart (WAC) skala 1:1.000.000 Aeronautical Chart (AC) skala 1:250.000 Peta Lingkungan Bandara Indonesia (LBI) skala 1:25.000 Peta batas wilayah negara RI-PNG skala 1:50.000 dan 1:25.000 Peta batas wilayah negara RI-Malaysia skala 1:50.000 dan 1:25.000 Peta batas wilayah negara RI-RDTL skala 1:50.000 dan 1:25.000 Peta Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) skala 1:1.000.000 Peta Garis Pangkal skala 1:200.000 Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) skala 1:5.000.000 Peta pulau-pulau kecil terluar Kerangka Dasar Perpetaan Jaring Kontrol Horisontal Jaring Kontrol Vertikal Jaring Kontrol Geodinamik Jaring stasiun tetap Global Positioning System/GPS (Indonesian Permanent GPS Station Network) Jaring Kontrol Gaya Berat Orde I Jaring Kontrol Gaya Berat Orde II Stasiun absolute gravity Stasiun pasang surut laut (First Order Sea Level Network) Stasiun pasang surut laut (Second Order Sea Level Network) Stasiun pasang surut laut (Third Order Sea Level Network) Pembangunan Jaring Data Spasial Nasional Sistem penghubung simpul jaringan tingkat pusat Sistem penghubung simpul jaringan tingkat provinsi Sistem penghubung simpul jaringan tingkat kabupaten/kota Simpul jaringan BAKOSURTANAL Metadata geospasial BAKOSURTANAL Metadata geospasial tingkat pusat Metadata geospasial tingkat provinsi/kab/kota Standar Nasional Indonesia (SNI) Pemetaan Tematik Nasional Peta tematik Geologi skala 1:1.000.000 Peta tematik Kawasan Pesisir Indonesia skala 1:1.000.000 Peta tematik Terumbu Karang & Mangrove skala 1:1.000.000 Peta tematik Neraca Sumberdaya Alam Laut skala 1:1.000.000 Peta tematik Kawasan Pesisir dan laut skala 1:250.000
II.9 - 3
Jumlah 246 NLP 2.127 NLP 1.792 NLP 633 NLP 128 NLP 44 NLP 71 NLP 318 NLP 34 NLP 18 NLP 27 NLP 18 NLP 18 NLP 34 NLP 16 NLP 41 NLP 1 NLP 56 pulau 632 titik 5.871 TTG 300 titik 61 CORS 37 titik 7.255 titik 1 stasiun 57 stasiun 21 stasiun 9 stasiun 13 simpul 6 simpul 3 simpul 4 dataset 9.456 metadata 3.602 metadata 1.990 metadata 16 SNI 36 NLP 504 NLP 72 NLP 166 NLP 267 NLP
No 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
28
29
Capaian Peta tematik Mangrove skala 1:250.000 Peta tematik Ikan Karang skala 1:250.000 Peta tematik Demografi Pesisir skala 1:250.000 Peta tematik Terumbu Karang dan Lamun skala 1:250.000 Peta tematik Neraca Sumberdaya Alam Laut skala 1:250.000 Peta tematik Karakteristik Pesisir skala 1:50.000 Peta tematik Oseanografi skala 1:50.000 Peta tematik Aktivitas Sosial Ekonomi dan Kependudukan skala 1:50.000 Peta tematik Mangrove skala 1:50.000 Peta tematik Terumbu Karang skala 1:50.000 Peta tematik Ikan Karang skala 1:50.000 Peta tematik Neraca Sumberdaya Alam Laut skala 1:50.000 Peta tematik Pulau-Pulau Kecil Terluar skala 1:50.000 Peta tematik Pulau-Pulau Kecil Terluar skala 1:10.000 dan 1:15.000 Peta tematik MCRMP skala 1:15.000 Peta tematik Wilayah Potensial Budidaya Laut skala 1:50.000 Peta tematik Dasar Untuk Kajian Wilayah skala 1:250.000 Peta Tematik Sumber Daya Alam Darat Skala 1:1.000.000 Peta Tematik Sumber Daya Alam Darat Skala 1:250.000 Peta Tematik Sumber Daya Alam Darat Skala 1:50.000 Peta Tematik Sumber Daya Alam Darat Skala 1:25.000 Peta Dinding: a. Peta Provinsi b. Peta Kabupaten c. Peta Asean, Dunia, Benua Afrika, Eropa, Asia, Australia, Amerika Utara, Amerika Selatan Atlas: a. Atlas Pariwisata b. Atlas Multimedia c. Atlas Elektronik d. Atlas Nasional Indonesia e. From Space f. Atlas Etnik Indonesia, Atlas Sumber Daya Kelautan, Atlas Sebaran Bahan Pokok, Atlas Potensi Investasi, Atlas Flora Fauna Global Mapping (5°x 5°)
Jumlah 37 NLP 4 NLP 148 NLP 37 NLP 231 NLP 108 NLP 243 NLP 18 NLP 110 NLP 124 NLP 67 NLP 372 NLP 24 NLP 102 NLP 6200 NLP 387 NLP 9100 NLP 72 NLP 150 NLP 202 NLP 170 NLP 33 provinsi 53 kab/kota @ 1 lembar 7 provinsi 9 provinsi 5 tema 2 volume 5 provinsi 33 provinsi 232 NLP
Secara umum, pembangunan data dan informasi spasial sampai saat ini telah mencapai sasaran/indikator yang telah ditetapkan. Namun masih ditemui kendala, terutama dalam pelaksanaan pemetaan dasar rupabumi dan tataruang, serta pembangunan infrastruktur data spasial, sehingga perlu diprioritaskan penyelesaiannya pada tahun 2010. Penataan Ruang Penyelenggaraan penataan ruang yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: (i) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, (ii) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan (iii) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. II.9 - 4
Beberapa capaian yang telah dilaksanakan hingga awal tahun 2010 adalah disusunnya peraturan perundang-undangan pelaksanaan UU No. 26 Tahun 2007 yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) dan PP No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Sementara itu, beberapa peraturan perundang-undangan yang masih dalam proses penyelesaian yaitu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara dan Bentuk Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang, RPP tentang Tingkat Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang, dan RPP tentang Penataan Ruang Kawasan Pertahanan. Selain itu, Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) yang sedang diselesaikan adalah Raperpres Rencana Tata Ruang (RTR) Pulau Sumatera, RTR Pulau Jawa-Bali, RTR Pulau Kalimantan, RTR Pulau Sulawesi RTR Kawasan Strategis Nasional (KSN) Batam-Bintan-Karimun, RTR KSN Kawasan Perbatasan Kalimantan-Serawak (Kasaba), RTR KSN Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo (Mebidangro), RTR KSN Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar (Mamminasata) dan RTR KSN Borobudur. UU No. 26 Tahun 2007 juga mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk segera melakukan penyusunan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi, Kota dan Kabupaten yang telah disesuaikan dengan amanat UU No. 26 Tahun 2007 dengan batas waktu 2 tahun (untuk Provinsi) dan 3 tahun (untuk Kabupaten dan Kota) sejak UU tersebut diterbitkan. Namun hingga bulan Maret 2010 baru ada 2 (dua) provinsi (Perda RTRW Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, Perda RTRW Provinsi Sulawesi Selatan No. 9 Tahun 2009), 8 (delapan) kabupaten, dan 1 (satu) kota yang telah menetapkan Perda RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota yang disesuaikan dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP No. 26 Tahun 2008 tentang RTRWN. Untuk meningkatkan kualitas produk penataan ruang, telah disusun norma, standar, pedoman dan kriteria (NSPK) yang meliputi, antara lain: Peraturan Menteri PU No. 11/PRT/M Tahun 2009 tentang Pedoman Persetujuan Subtansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Beserta Rencana Rincinya; Peraturan Menteri PU No.15/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; Peraturan Menteri PU No.16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; Peraturan Menteri PU No.17/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota; Peraturan Menteri PU No. 05/PRT/M Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan; Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah, dan Peraturan Menteri Kehutanan No. 28 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Dalam Rangka Pemberian Persetujuan Substansi Kehutanan Atas Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah; sedangkan NSPK lainnya masih dalam proses penyusunan. Kelembagaan dalam bidang penataan ruang diperlukan untuk menunjang penyelenggaraan penataan ruang. Sejak ditetapkannya UU No. 26 Tahun 2007, kelembagaan penataan ruang baik di tingkat pusat maupun daerah menjadi prasyarat bagi tercapainya tujuan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Salah satu fungsi kelembagaan yang perlu diperkuat adalah koordinasi antara berbagai instansi terkait. Di tingkat pusat, koordinasi dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) yang telah ditetapkan berdasarkan Keppres No. 4 Tahun 2009 tentang II.9 - 5
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, sedangkan di tingkat daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) koordinasi dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) yang pembentukannya berdasar pada Permendagri No. 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Selain itu, dalam pengawasan dan penegakan hukum, sesuai dengan amanat UU No. 26 Tahun 2007 telah ditetapkan beberapa pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di tingkat pusat. Dalam rangka meningkatkan pemahaman seluruh pemangku kepentingan, maka telah dilakukan sosialisasi berbagai peraturan perundangan penataan ruang di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, bimbingan teknis, dan apresiasi teknis pemanfataan ruang. Pelaksanaan sosialisasi dan apresiasi diperlukan agar diperoleh kesamaan pemahaman terhadap produk penataan ruang yang berkualitas secara rutin dan intensif mengingat adanya dinamika pergantian pemangku kepentingan di daerah. Pertanahan Mengacu pada Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945) tanah seharusnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai bagian dari perwujudan amanat tersebut, telah dilakukan upaya untuk meningkatkan kinerja pelayanan pertanahan, diantaranya melalui percepatan penyediaan peta pertanahan dan sertifikasi tanah. Namun demikian percepatan tersebut belum secara optimal mengimbangi peningkatan tuntutan kebutuhan pelayanan pertanahan. Disamping itu, masih terjadi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, sengketa tanah serta belum tertatanya peraturan perundang-undangan terkait pertanahan. Diperlukan pengelolaan pertanahan yang efektif dan akuntabel agar dapat meningkatkan kinerja pelayanan pertanahan, memperkuat jaminan kepastian hukum hak atas tanah, menata penguasaan dan penggunaan tanah, serta menata peraturan perundang-undangan terkait tanah. Dalam rangka peningkatan pelayanan pertanahan dan kepastian hukum hak atas tanah serta peningkatan akses tanah bagi masyarakat kurang mampu, pada tahun 2010 ditargetkan penyediaan peta dasar pertanahan untuk luasan tanah 1.000.000 hektar, sehingga diharapkan sampai dengan tahun 2010 total penyediaan peta pertanahan telah mencakup 11 juta hektar (5,83% dari total luas daratan Indonesia). Pada tahun 2010 juga akan dilaksanakan percepatan pendaftaran tanah dengan jumlah total 309.567 bidang. Untuk memberi akses terhadap sumberdaya produktif, terutama permodalan, telah diterbitkan sertifikasi tanah untuk kalangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), petani, transmigran dan nelayan. Selain itu, mulai tahun 2008 telah dikembangkan Layanan Masyarakat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita), yang merupakan kantor pertanahan yang bergerak (mobile) untuk mendekatkan pusat-pusat layanan pertanahan kepada masyarakat terutama pada wilayah yang rendah aksesibilitasnya karena kondisi geografis, keterbatasan sarana transportasi dan minimnya informasi tentang pelayanan pertanahan. Sampai akhir tahun 2009 Larasita telah tersedia di 274 Kabupaten/Kota dan diharapkan pada akhir tahun 2010 seluruh wilayah RI telah dapat dilayani Larasita. Sebagai upaya mengurangi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T), sampai dengan tahun 2009 telah dilaksanakan kegiatan redistribusi tanah sejumlah 727.535 bidang; inventarisasi P4T 1.307.990 bidang tanah; penyusunan neraca penatagunaan tanah (PGT) meliputi 298 Kabupaten/Kota. Pada tahun 2010 akan dilaksanakan redistribusi tanah 210.000 bidang; konsolidasi tanah 10.000 bidang; inventarisasi P4T di 335.665 bidang; dan penyusunan neraca penatagunaan tanah pada 100 kabupaten/kota. Neraca Penatagunaan Tanah merupakan instrumen yang II.9 - 6
menggambarkan kesesuaian antara penggunaan tanah dengan Rencana Tata Ruang Wilayah/ RTRW. Dalam upaya mengefektifkan pemanfaatan tanah agar dapat lebih berkontribusi dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, telah diterbitkan PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, serta sedang disusun RPP Reforma Agraria. Selanjutnya sebagai upaya untuk penyelarasan peraturan perundangundangan terkait pertanahan, pada tahun 2010 sedang disiapkan RUU Pertanahan. Disamping itu juga disusun RUU Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, sebagai upaya mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan. Perkotaan Perkembangan kawasan perkotaan tidak dapat dilepaskan dari tingginya populasi penduduk perkotaan. Berdasarkan Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, penduduk perkotaan di Indonesia pada tahun 2015 akan mencapai 59,3 persen. Tidak dapat dielakkan lagi bahwa urbanisasi adalah suatu fenomena yang sedang dan akan terus terjadi di Indonesia. Sebagian besar urbanisasi (30-35%) di Indonesia terjadi karena adanya transformasi kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan akibat meluasnya areal perkotaan ke daerah sekitarnya. Hal ini juga ditunjukkan dengan pesatnya perkembangan kota-kota metropolitan dan kecenderungan pertumbuhan kawasan megapolitan. Berdasarkan laporan Commission on Growth and Development tahun 2008, 9 dari 13 negara yang berhasil mencapai tingkat pertumbuhan yang stabil berasal dari Asia, dan salah satunya adalah Indonesia. Kawasan perkotaan sebagai pusat kegiatan dan ‘mesin pertumbuhan’ berperan besar dalam pencapaian pertumbuhan ini. Hal ini didukung oleh data yang menunjukkan bahwa kontribusi PDRB kawasan perkotaan terhadap PDRB nasional pada tahun 2007 mencapai 39,78 persen. Kota besar dan metropolitan sebanyak 29,5% dari total jumlah kota otonom memberikan kontribusi sebesar 32,02%, sedangkan kawasan kota menengah dan kecil sebanyak 69,4% dari total jumlah kota otonom memberikan kontribusi sebesar 7,76%. Namun sayangnya pesatnya perkembangan kawasan perkotaan saat ini tidak diiringi dengan peningkatan kapasitas pemerintah kota dan kualitas pengelolaan kawasan perkotaan. Pertambahan jumlah penduduk belum diiringi dengan peningkatan penyediaan pelayanan publik serta penyediaan lapangan kerja yang dapat memenuhi kebutuhan seluruh penduduk tersebut. Akibatnya, walaupun sudah menurun dari tahun ke tahun, persentase penduduk miskin di perkotaan pada tahun 2009 masih cukup besar yaitu 10,72%, sedangkan tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2008 adalah sebesar 10,94%. Pada kawasan metropolitan, kota berkembang tanpa adanya keterkaitan antara kota inti dan kotakota yang mengitarinya akibat tidak terintegrasinya pengembangan serta pengelolaan kotakota tersebut. Selain itu juga belum ada suatu bentuk kelembagaan pengelolaan metropolitan yang memadai akibat kurang jelasnya kewenangan, SDM, dan sumber pembiayaan lembaga tersebut. Selain itu juga belum ada mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang yang kokoh untuk menjaga keteraturan penggunaan ruang di perkotaan akibat pembangunan yang ekstensif. Di lain pihak, kota menengah yang merupakan jenis kota terbanyak dan memiliki peran penting dalam menghubungkan antara kawasan perdesaan dan perkotaan, belum dapat berperan karena keterbatasan infrastruktur dan kapasitas SDM.
II.9 - 7
Hingga tahun 2010, upaya untuk mendorong dan menata pembangunan perkotaan telah dilakukan dengan adanya UU Tata Ruang No. 26 Tahun 2007 dan PP No.26 Tahun 2008 tentang RTRWN yang mengatur tentang Sistem Perkotaan Nasional, yang diikuti dengan penyusunan Permendagri No.69 Tahun 2007 tentang Kerja Sama Pembangunan Perkotaan; Permendagri No.1 Tahun 2008 tentang Pedoman Perencanaan Kawasan Perkotaan; Peraturan Pemerintah (PP) No.34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan; Permendagri No.9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) Perumahan dan Permukiman di Daerah; serta Rancangan Permendagri tentang Pedoman Standar Pelayanan Perkotaan (SPP). Upaya-upaya pembangunan perkotaan yang dilaksanakan melalui Program-Program Pengembangan Keterkaitan Antar Kota, Program Pengendalian Kota Besar dan Metropolitan, serta Program Pengembangan Kota Kecil dan Menengah, adalah penyiapan data dan informasi kebijakan dan strategi pengembangan perkotaan nasional; pengembalian fungsi kawasan permukiman metropolitan melalui peremajaan (urban renewal); penguatan sistem perkotaan nasional yang mendukung integrasi pembangunan sektoral dan wilayah melalui pelaksanaan kegiatan pembangunan sektor perkotaan Urban Sector Development Reform Project (USDRP); fasilitasi penguatan sistem perkotaan nasional; fasilitasi pengelolaan kawasan perkotaan; pengembangan dan revitalisasi sistem kelembagaan ekonomi perkotaan; serta penyusunan arahan pengembangan infrastruktur kota-kota kecil dan menengah melalui penyusunan Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten/Kota. Hasil-hasil yang dicapai diantaranya adalah mulai dilaksanakannya kegiatan peremajaan di kawasan pusat-pusat kegiatan perkotaan di 12 kota besar/metropolitan; tersusunnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Perkotaan; tersusunnya Permendagri No. 9 tahun 2009 tentang Pedoman Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) Perumahan dan Permukiman di Daerah; terlaksananya pemantauan dan pengevaluasian terhadap kegiatan penyerahan PSU di daerah; terlaksananya penyusunan Rancangan Permendagri tentang Pedoman Standar Pelayanan Perkotaan (SPP); terlaksananya fasilitasi kerjasama sister city (165 kerjasama sister city); terlaksananya fasilitasi kerjasama city sharing (12 pasang kerjasama city sharing) dan 4 objek kerjasama city sharing; terlaksananya Urban Sector Development Reform Project (USDRP) di 5 kabupaten/kota melalui pembangunan infrastruktur perkotaan dan fasilitasi reformasi dasar (partisipasi dan transparansi, pengelolaan keuangan dan reformasi pengadaan) dalam pembangunan pasar dan terminal; serta terlaksananya pendampingan penyusunan Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Kabupaten/Kota di 32 provinsi. Dari hasil pencapaian tersebut, masih terdapat beberapa sasaran yang belum tercapai seperti penyusunan Renstra pengembangan di 4 kota besar, penyusunan hasil kajian sinergitas pengelolaan kawasan perkotaan, penyelenggaraan rapat koordinasi pembangunan kawasan perkotaan di 3 wilayah, pelaksanaan evaluasi terhadap 10 kawasan kumuh perkotaan di 10 provinsi, pengendalian pembangunan 3 kawasan kota pinggiran di sekitar jalan nasional yang menghubungkan kota besar dan menengah, serta 3 kawasan kota pinggiran di sekitar jalan nasional yang menghubungkan kota metropolitan dan kota besar. Oleh karena itu perlu dilaksanakan upaya-upaya lebih lanjut untuk meningkatkan kualitas pengelolaan kawasan perkotaan terutama pada kota besar dan kawasan metropolitan. Selain itu juga masih perlu dilaksanakan upaya-upaya peningkatan keterkaitan pembangunan antar kota.
II.9 - 8
Perdesaan Kawasan perdesaan yang meliputi 82,3% kawasan dengan jumlah penduduk (tahun 2009) 131,8 juta jiwa atau 56,86 persen dari total penduduk Indonesia, memerlukan perhatian besar terhadap percepatan pembangunan perdesaan. Dari jumlah penduduk perdesaan tersebut, sebanyak 20,62 juta atau 15,64 % dari penduduk perdesaan merupakan penduduk miskin. Dari segi ketenagakerjaan, pada tahun 2009, sebagian besar penduduk atau sekitar 60,1 persen atau 37,1 juta penduduk bekerja di sektor pertanian. Menurut Data Sakernas BPS (2009), dilihat dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) yaitu jumlah angkatan kerja (bekerja dan mencari kerja) berbanding dengan penduduk usia kerja (15 tahun keatas) di perdesaan menurun dari tahun 2007 sebesar 70,2% menjadi 69,3% pada tahun 2009. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di perdesaan menurun dari tahun 2007 sebesar 6,8% menjadi 5,8% pada tahun 2009. GAMBAR 9.1. Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Menurut Daerah Dan Lapangan Kerja Utama, 2009 Jasa Kemasyarakatan, Sosial da n Perorangan
100%
70%
Lembaga Keuangan, Real Esta te, Usa ha Persewaan dan Jasa Perusahaan Tra nsportasi, Pergudangan dan Komunikasi
60%
Perdagangan, Rumah Makan da n Jasa Akomodasi
50%
Konstruksi
90% 80%
GAMBAR 9.2. Persentase Penduduk Pedesaan Berusia 15 Tahun Ke Atas Yang Bekerja Di Sektor Pertanian, 2009 Kehutanan Perikanan 1,49% 3,56% Peternakan 10,21%
Perburuan 0,09%
Lainnya 1,19%
40% Listrik, Ga s dan Air Minum
30% 20%
Industri
10% Pertambangan dan Penggalian
0% Perkotaan
Pedesaan Daerah
Indonesia
Pertanian, Perkebunan, Kehutan an, Perburuan dan Perikanan
Perkebunan 27,25%
Hortikultura 6,72%
Pertanian Tanaman Pangan 49,48%
Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dasar sumber daya manusia perdesaan, telah dilakukan berbagai upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan masyarakat perdesaan akan pendidikan dan kesehatan. Dari segi pendidikan, pada tahun 2009, terdapat 40,82 juta jiwa penduduk perdesaan yang bekerja yang tidak menamatkan pendidikan dasarnya atau tidak bersekolah. Berdasarkan data Indikator Kesejahteraan Rakyat-BPS (2008), peningkatan angka melek huruf di perdesaan terjadi di semua kelompok umur dengan ratarata 88,77% (2007) menjadi 89,03%(2008). Peningkatan akses masyarakat perdesaan terhadap sarana prasarana atau fasilitas pendidikan yang dilihat melalui Angka Partisipasi Murni (APM), pada tahun 2008, adalah untuk SD/MI sebesar 94,51%; SMP/MTs/SMPK sebesar 64,95%; SMA/MA/SMK sebesar 38,66%; dan PT sebesar 4,46%. Selain pendidikan, kesehatan adalah salah satu hak dasar lainnya masyarakat perdesaan yang setiap tahunnya diupayakan terjadi peningkatan baik jumlah maupun mutunya. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah peningkatan desa sehat melalui Desa Siaga. Berdasarkan data Indikator Kesejahteraan Rakyat-BPS (2008), dari tahun 2007-2008 di perdesaan telah terjadi penurunan angka kesakitan dari 19,01% menjadi 18,98% dan lamanya sakit dari 7,03 hari menjadi 6,34 hari. Dari tahun 2007-2008, dilihat dari ketersediaan dan keterjangkauan layanan kesehatan khususnya dalam persalinan atau melahirkan, terjadi peningkatan layanan kesehatan oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan dan lainnya) dari 60,56% menjadi 62,94%.
II.9 - 9
Dari segi ketahanan pangan di perdesaan, kondisi kehidupan petani terutama petani gurem di perdesaan masih memprihatinkan, dengan mengandalkan luas lahan yang sempit sekitar 0,3- 0,5 ha, pola pertanian dengan satu jenis komoditas pangan, dan teknologi produksi pertanian yang masih tradisional menyebabkan produksi pertanian belum optimal dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Pendapatan petani di perdesaan sebagian besar (60%-70%) digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan (BPS, 2008). Dari Pola Pangan Harapan (PPH) terlihat bahwa kecukupan gizi berimbang di perdesaan menunjukkan angka 79-80 yang mengindikasikan belum mencapai PPH ideal (100). Konsumsi pangan petani di perdesaan masih didominasi (60%) oleh beras (karbohidrat), dan sedikit sekali dari daging dan susu (protein). Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan khususnya di wilayah transmigrasi, pemerintah terus berupaya meningkatkan akses dan ketersediaan fasilitas perumahan dan permukiman baik di wilayah tertinggal, terpencil maupun perbatasan. Berdasarkan data Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan BPS- 2008, fasilitas kelistrikan sudah memenuhi 86,9% dari total keseluruhan rumah tangga di perdesaan, sumber air minum bersih baru memenuhi 42,20% dari total keseluruhan rumah tangga di perdesaan, sedangkan fasilitas tempat buang air besar menggunakan kloset selain leher angsa baru memenuhi 40,07% total keseluruhan rumah tangga di perdesaan. Sampai dengan awal tahun 2010, telah dilaksanakan berbagai upaya pembangunan perdesaan yang dilakukan melalui program utama dan program pendukung lainnya. Program utama terdiri dari: (1) program peningkatan keberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa, melalui kegiatan: (i) peningkatan kemandirian masyarakat perdesaan (PNPM-MP), (ii) peningkatan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan desa dan kelurahan, (iii) peningkatan keberdayaan masyarakat dan desa lingkup regional, (iv) peningkatan kapasitas kelembagaan dan pelatihan masyarakat, (v) fasilitasi pemberdayaan adat dan sosial budaya masyarakat, (vi) pengembangan usaha ekonomi masyarakat, (vii) fasilitasi pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna; (2) program pengembangan masyarakat transmigrasi dan kawasan transmigrasi, melalui kegiatan: (i) peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan masyarakat di kawasan transmigrasi, (ii) perencanaan teknis pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi, (iii) pengembangan usaha di kawasan transmigrasi, (iv) pengembangan sarana dan prasarana kawasan transmigrasi, (v) penyerasian lingkungan di kawasan transmigrasi; dan (3) program pembangunan kawasan transmigrasi, melalui kegiatan: (i) pengembangan peran serta masyarakat dalam pembangunan transmigrasi, (ii) penyediaan tanah transmigrasi, (iii) penyusunan rencana pembangunan kawasan transmigrasi dan penempatan transmigrasi, (iv) pembangunan permukiman di kawasan transmigrasi, dan (v) fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigrasi. Sedangkan upaya lainnya yang mendukung pembangunan perdesaan, sebagai berikut: (i) peningkatan prasarana dan sarana perdesaan, (ii) pengembangan, pemerataan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pos dan telematika, (iii) peningkatan kualitas jasa pelayanan sarana dan prasarana ketenagalistrikan, (iv) peningkatan ketahanan pangan, dan (v) peningkatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Hasil-hasil yang telah dicapai sampai dengan awal tahun 2010, adalah sebagai berikut: a. Program Peningkatan Keberdayaan Masyarakat Dan Pemerintahan Desa. (i) Untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan, melalui pengaturan perundangan, telah diupayakan penyiapan Rancangan Undang-Undang (RUU) II.9 - 10
tentang Pembangunan Perdesaan, yang telah diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dapat dibahas pada tahun 2010 (merupakan agenda dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tambahan 2010). (ii) Untuk meningkatkan Kapasitas Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan Kelurahan telah dilakukan fasilitasi untuk pengelolaan pemerintahan desa termasuk pengelolaan keuangan dan aset desa. Dilakukan pula penetapan indikator keberhasilan pemerintahan desa, penetapan dan penegasan batas wilayah desa, inisiasi penyusunan database desa dan kelurahan, serta fasilitasi pemantapan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). (iii)Upaya untuk meningkatkan Kemandirian Masyarakat Perdesaan dilakukan terutama melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri Pedesaan (PNPMMP) di 4.410 kecamatan dengan memperluas kesempatan usaha dan membuka lapangan kerja baru; meningkatkan keberdayaan kaum perempuan; meningkatkan kapasitas, kinerja lokal dan kelembagaan serta pembentukan model perencanaan dan pembiayaan partisipatif; meningkatkan akses ke pasar, pusat kota, fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta ke sumber air bersih di lebih dari 56% desa termiskin di seluruh Indonesia. PNPM-Mandiri Perdesaan telah mendanai lebih dari 171.466 kegiatan sarana/prasarana perdesaan di seluruh Indonesia dan memberikan bantuan langsung kepada 18 kelompok masyarakat di desa-desa tertinggal. (iv) Melalui Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PNPM-PISEW), telah diupayakan peningkatan kemampuan lokal, mengatasi masalah kemiskinan serta pengangguran dengan kegiatan pengembangan infrastruktur sosial ekonomi di 237 Kecamatan, 32 Kabupaten yang tersebar di 9 Provinsi (Sumut, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Kalsel, Kalbar, Sulsel, Sulbar, dan NTB) yang secara total terdiri dari 9.888 paket yang tersebar di 2.293 desa. Jumlah pembangunan infrastruktur ini terbagi ke dalam infrastruktur transportasi mencapai 68,81% dari seluruh alokasi pembiayaan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Infrastruktur, infrastruktur peningkatan produksi pertanian (12,15%), infrastruktur pemasaran pertanian (2,24%), infrastruktur air bersih dan sanitasi lingkungan (11,92%), infrastruktur pendidikan (1,47%), dan infrastruktur kesehatan (3,41%). (v) Untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, telah dilakukan penanganan lingkungan perdesaan dan mikro hidro di 26 kabupaten, 78 kecamatan melalui Program Nasional Pemberdayaan MasyarakatLingkungan Mandiri Perdesaan (PNPM-LMP) sejak tahun 2007–2010 dengan dua kegiatan inti yaitu i) upaya pelestarian lingkungan yang menunjang keberlanjutan mata pencaharian dan keamanan populasi masyarakat desa, ii) Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan pengembangan Teknologi Tepat Guna (TTG) berbasis masyarakat. Secara umum program ini ditujukan untuk mengurangi kemiskinan, dan secara khusus memotret peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan lestari. Pencapaian kegiatan PNPM-LMP sampai dengan pertengahan tahun 2009 adalah penanaman (64,8%), pembangunan infrastruktur fisik seperti pembuatan bronjong, talud penahan erosi dan pemecah ombak/abrasi pantai (13,7%), Capacity Building (12,9%), Energi Terbarukan (2,7%), dan Kompos/Bokasi (5,9%). (vi) Untuk meningkatkan Kapasitas Kelembagaan Masyarakat telah dilakukan fasilitasi penataan dan pengembangan lembaga kemasyarakatan di desa dengan pemberian stimulan kepada 10 desa. Dalam rangka penyusunan tata ruang kawasan perdesaan II.9 - 11
dan pengembangan pusat pertumbuhan antar desa (PPTAD), telah dilakukan fasilitasi kepada pemerintah daerah di 3 kawasan. Disamping itu, untuk meningkatkan keberdayaan adat dan sosial budaya masyarakat telah dilaksanakan berbagai kegiatan seperti (i) pelibatan peran ibu dalam kelompok PKK (PKK) dalam penguatan kelembagaan Posyandu dan Bangun Desa Mandiri Terpadu (Bangdesmadu), (ii) sosialisasi, dan penguatan kelembagaan HIV dan AIDS di daerah, (iii) pembinaan serta perlindungan tenaga kerja perdesaan melalui peningkatan kemampuan tenaga kerja pedesaan di wilayah perbatasan antar negara. (vii) Dalam rangka untuk mengembangkan usaha ekonomi masyarakat perdesaan, telah difasilitasi Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) mandiri di 18 desa, pengelolaan pasar desa, serta lembaga keuangan mikro. Melalui pemanfaatan tanaman jarak pagar telah dilaksanakan pula pembinaan Desa Mandiri Energi (DME) dan meningkatkan fungsi dari 20 Posyantekdes. Melalui koordinasi dengan Kementerian PU untuk pengelolaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL), telah dilakukan pelatihan dan bimbingan teknis termasuk Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) di 35 kabupaten, 15 Provinsi. b. Program Pembangunan Kawasan Transmigrasi. Salah satu upaya untuk mempercepat pembangunan perdesaan adalah dengan pembangunan transmigrasi. Wilayah pembangunan transmigrasi sampai dengan tahun 2010 sudah mencakup 60% dari keseluruhan daerah tertinggal dan perbatasan. Tahun 2009 dan 2010, merupakan tahun transisi dari pendekatan pembangunan transmigrasi berbasis permukiman ke pendekatan berbasis kawasan sebagaimana diamanatkan dalam perubahan UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian menjadi UU No. 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dalam dua tahun tersebut, pembangunan transmigrasi dilaksanakan melalui dua kegiatan pokok. Pertama, adalah kegiatan penyiapan permukiman dan penempatan transmigrasi, dan kedua, kegiatan pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi. Kedua kegiatan tersebut diarahkan untuk mendukung prioritas nasional untuk mendukung percepatan pembangunan wilayah tertinggal, wilayah perbatasan, dan wilayah strategis. Untuk mempersiapkan implementasi pendekatan pembangunan transmigrasi berbasis kawasan, dalam dua tahun tersebut dilaksanakan langkah-langkah pengintegrasian pembangunan permukiman transmigrasi baru (PTB) dengan permukiman transmigrasi yang telah ada (PTA) dan penataan permukiman penduduk setempat dengan skema Kota Terpadu Mandiri (KTM). c. Pada tahun 2009, telah dilaksanakan (1) pembangunan permukiman transmigrasi di 82 lokasi, (2) fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigrasi untuk 10.025 keluarga, (3) persiapan pembangunan sarana dan prasarana 3 KTM baru dan lanjutan 6 kawasan, serta (4) mediasi dan pelayanan investasi terintegrasi dengan pembangunan permukiman transmigrasi oleh 8 Badan Usaha dengan nilai rencana investasi sebesar 1 trilyun rupiah, (5) kerjasama dengan 35 lembaga/instansi untuk mendukung pelaksanaan penyiapan permukiman dan penempatan transmigrasi, (6) kerjasama antara pemerintah daerah tujuan transmigrasi dengan pemerintah daerah asal yang melibatkan 28 provinsi dan 148 kabupaten/kota, (7) memberikan penyuluhan transmigrasi untuk membangkitkan animo masyarakat miskin dan penganggur dalam menggunakan peluang usaha dan kesempatan kerja melalui transmigrasi kepada sekitar 200 ribuan II.9 - 12
keluarga dari 10 provinsi asal (Lampung, Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT), (8) menyediakan tanah untuk pembangunan permukiman transmigrasi tahun 2009 dan persiapan tahun 2010 seluas 86.000 ha (yang telah didukung legalitas 17.600 ha, dan sisanya 68.400 ha diproses legalitasnya tahun 2010), (9) menyusun perencanaan teknis penyiapan permukiman dan penempatan transmigrasi berupa 3 paket Rencana Wilayah Pengembangan Transmigrasi (RWPT), 9 paket Rencana Kerangka Satuan Pengembangan Transmigrasi (RKSKP), 21 paket Rencana Teknis Satuan Permukiman Transmigrasi (RTSP), 28 paket Rencana Teknis Sarana dan Prasarana Permukiman Transmigrasi (Rentek SARPRAS), dan 70 paket Rencana Pengembangan SDM Transmigrasi (Rentek SDM), (10) membangun sarana dan prasarana untuk 6 KTM baru dan 3KTM lanjutan. d. Program Pengembangan Masyarakat Transmigrasi dan Kawasan Transmigrasi. Dalam rangka meningkatkan kehidupan masyarakat transmigran telah dilakukan berbagai kegiatan melalui program pengembangan masyarakat transmigrasi dan kawasan transmigrasi. Pada tahun 2009, telah dilakukan fasilitasi untuk peningkatan 20 lembaga masyarakat, aparat pengelola di 100 kimtrans, pelatihan dan pendampingan oleh 10 instansi lintas sektor, 8 instansi swasta/investor, dan 68.326 keluarga transmigran. Selain itu, diberikannya bantuan pangan untuk 14.752 keluarga transmigran, bantuan pendidikan untuk 31.882 keluarga, bantuan kesehatan untuk 41.035 keluarga, dan pelayanan mental spiritual kepada 31.882 keluarga. Sosialisasi untuk perencanaan teknis pengembangan masyarakat telah dilakukan di 8 provinsi, penyusunan rencana teknis pembinaan permukiman transmigrasi di 20 kimtrans, dan penyusunan rencana teknis pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi masing-masing di 4 kawasan. Disamping itu, telah dilakukan upaya pengembangan usaha di kawasan transmigrasi melalui (i) penyediaan lahan produktif di permukiman/kawasan transmigrasi seluas 9.391,5 ha, (ii) pengembangan pasar desa sebanyak 5 buah, (iii) pengembangan Unit Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) sebanyak 6 unit, (iv) pengembangan lembaga ekonomi (koperasi/LKM-BMT Transmigrasi di permukiman transmigrasi) sebanyak 23 unit, (v) fasilitasi peningkatan iklim investasi kondusif yang menstimulasi peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha (swasta) dalam pembangunan perdesaan di 3 kawasan transmigrasi serta (vi) bimbingan, pendampingan, dan pelatihan kepada masyarakat dan pengembangan lahan di 18 kawasan transmigrasi. Terkait kegiatan pengembangan sarana dan prasarana kawasan transmigrasi telah dilakukan pengembangan jalan sepanjang 76 km, drainase sebanyak 18,4 km, sarana air bersih sebanyak 3,2 juta liter, energi terbarukan di 17 lokasi, bangunan fasilitas umum sebanyak 85 unit, dan rehabilitasi rumah transmigran sebanyak 410 unit. Kegiatan penyerasian lingkungan di kawasan transmigrasi telah dilakukan melalui peningkatan mitigasi lingkungan sebanyak 6 kawasan, pengembangan permukiman transmigrasi yang mandiri sebanyak 116 kimtrans, dan pengembangan permukiman transmigrasi menjadi Desa Mandiri Energi sebanyak 17 kimtrans. Upaya pendukung lainnya dalam pembangunan perdesaan sampai dengan awal tahun 2010 adalah sebagai berikut: a. Peningkatan Prasarana dan Sarana Perdesaan (termasuk pemanfaatan sumber daya air perdesaan), telah dilaksanakan melalui pengembangan jalan usaha tani sepanjang 507,5 km, dan pengembangan jalan produksi sepanjang 303,2 km; pengembangan JIDES seluas 46.628 Ha dan JITUT seluas 102.474 Ha, rehabilitasi jaringan irigasi tersier II.9 - 13
(PISP) sebanyak 20.640 unit dan pengelolaan irigasi partisipatif sebanyak 112 unit, pembuatan embung sebanyak 217 unit dan pemberdayaan P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) sebanyak 3.225 unit. b. Pengembangan, Pemerataan dan Peningkatan Kualitas Sarana dan Prasarana Pos dan Telematika, telah dilaksanakan melalui program Desa Berdering sebanyak 25.176 desa (100,70%) dari target 25.000 desa berdering termasuk didalamnya 100 Desa Pintar yang dilengkapi jaringan internet. c. Peningkatan Kualitas Jasa Pelayanan Sarana Dan Prasarana Ketenagalistrikan di perdesaan telah dilaksanakan melalui pembangunan PLTMH 1.178,3 kW, PLTS 3.871,7kWp, PLT Hybrid Surya-Angin 252 kW, Gardu Distribusi 1.355/69.820 Unit/kVA, Jaringan Tegangan Menengah 2.388,47 kms, dan Jaringan Tegangan Rendah 2.570,08 kms. d. Peningkatan Ketahanan Pangan, dilaksanakan melalui program Desa Mandiri Pangan di 32 Provinsi, 201 Kabupaten dan 825 desa.
e.
Peningkatan Pemanfaatan Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Hidup, dilaksanakan melalui program Desa Mandiri Energi berbasis BBN (Jarak Pagar, Kelapa, Sawit, Tebu/Sorghum Manis, Singkong dan lainnya) sebanyak 183 unit, sedangkan Desa Mandiri Energi berbasis non BBN yaitu Mikro Hydro, Tenaga Angin, Tenaga Surya, Biogas, Biomassa dan berbasis EBT lainnya sebanyak 429 unit.
Ekonomi Lokal dan Daerah Perekonomian Indonesia saat ini mendapat tantangan dengan adanya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai diberlakukan per 1 Januari 2010. ACFTA merupakan kesepakatan negara-negara ASEAN dengan China untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas. Tujuan dari kesepakatan ini adalah untuk meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara anggota ACFTA dengan menjadikannya sebagai basis produksi pasar dunia sehingga dapat menarik investasi dan meningkatkan perdagangan antar anggota. Pada dasarnya tujuan Indonesia mengikuti ACFTA adalah untuk menarik investor asing sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Kurangnya daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dan China terlihat dari rendahnya daftar peringkatnya di bawah ini. TABEL 9.2 PERINGKAT NEGARA-NEGARA ASEAN-CHINA DALAM INDEKS DAYA SAING GLOBAL
Negara Singapura Malaysia China Brunei Darussalam Thailand Indonesia Vietnam Kamboja
Peringkat 2008-2009 5 21 30 39 34 55 70 109
Sumber : The Global Competitiveness Report 2009-2010
II.9 - 14
Peringkat 2009-2010 3 24 29 32 36 54 75 110
Peringkat negara-negara dalam indeks daya saing global dipengaruhi 3 faktor yaitu persyaratan dasar, peningkatan efisiensi, dan faktor inovasi. Faktor persyaratan dasar meliputi kelembagaan, infrastruktur, stabilitas makroekonomi, serta kesehatan dan pendidikan dasar. Faktor peningkatan efisiensi meliputi pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar barang, efisiensi pasar tenaga kerja, kecanggihan pasar modal, kesiapan teknologi, dan ukuran pasar. Sedangkan, faktor inovasi meliputi kecanggihan bisnis dan inovasi. Peningkatan daya saing Indonesia yang masih sangat rendah pada aspek infrastruktur, kesiapan teknologi, pendidikan tinggi dan pelatihan, serta kelembagaan, merupakan hal yang penting dalam menghadapi ACFTA agar tidak tenggelam dalam persaingan perdagangan bebas tersebut. Salah satu upaya peningkatan daya saing ekonomi nasional dapat diawali dengan meningkatkan daya saing ekonomi daerah melalui pengembangan ekonomi lokal dan daerah yang dilakukan dengan menerapkan sistem tata kelola dan sinergi antara pusat dan daerah yang baik. Pengembangan ekonomi lokal dan daerah ini juga merupakan upaya mengurangi kesenjangan pembangunan antara perdesaan sebagai wilayah produksi dengan perkotaan sebagai pusat pertumbuhan dan mendorong keterkaitan kegiatan ekonomi di wilayah perdesaan dengan kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan secara sinergis. Pengembangan ekonomi lokal dan daerah perlu didorong dan dipercepat, dan dapat dilakukan dengan mengkombinasikan sumberdaya-sumberdaya lokal agar dapat menciptakan produk unggulan masing-masing daerah. Secara umum, sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar pada wilayah Jawa dan Bali, Sumatera, dan Kalimantan. Sedangkan, sektor yang mempunyai kontribusi terbesar di wilayah Maluku, Sulawesi, dan Nusa Tenggara adalah sektor pertanian. Sedangkan wilayah Papua, sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor pertambangan dan penggalian. Dengan masyarakat perdesaan yang berbasis pertanian tersebut, maka merupakan peluang besar bagi Indonesia untuk mengembangkan sektor pertanian secara umum (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan) ke arah sektor industri, khususnya industri makanan, minuman, dan tembakau, serta mengembangkan ke arah sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Pengembangan sektor pertanian tersebut dapat dilakukan dengan peningkatan nilai tambah produk pertanian melalui agribisnis yang nantinya dapat dikembangkan menjadi agroindustri. Hingga tahun 2010, berbagai peraturan perundangan dalam upaya mempercepat pengembangan ekonomi lokal dan daerah telah dilakukan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah RI Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 500/2390/V/BANGDA Tanggal 27 November 2008 tentang Pedoman Umum Pengembangan Kelembagaan Forum Pengembangan Ekonomi Daerah, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 511.2/1811/V/BANGDA tanggal 10 Oktober 2008 tentang Pedoman Umum Pengelolaan Pasar Tradisional Kabupaten/Kota, serta adanya Surat Keputusan Bersama 3 Menteri pada tahun 2007 yaitu Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Menteri Dalam Negeri, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Kebijakan Percepatan
Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam rangka percepatan Program Pemberdayaan UMK melalui Kegiatan Sertifikasi Hak Atas tanah untuk Peningkatan Akses Permodalan. Selain peraturan-peraturan tersebut, juga terdapat peraturan lain yang menerangkan mengenai kebijakan pengembangan ekonomi lokal dan daerah, meliputi kegiatan agropolitan dan minapolitan, II.9 - 15
serta transmigrasi. Penjelasan mengenai kawasan agropolitan/minapolitan dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sedangkan, penjelasan mengenai kawasan transmigrasi dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 yang merupakan Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 Tentang Ketransmigrasian. Berbagai upaya dalam pengembangan ekonomi lokal telah dilakukan melalui beberapa program peningkatan tata kelola ekonomi daerah, peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia pengelola ekonomi daerah, peningkatan fasilitasi/pendampingan dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah, peningkatan kerjasama dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah, serta peningkatan akses terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah. Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan melalui program-program tersebut yaitu kegiatan fasilitasi pengembangan potensi perekonomian daerah dan pengembangan produk unggulan daerah, fasilitasi pengembangan promosi ekonomi daerah dan sarana prasarana perekonomian daerah, fasilitasi pengembangan kelembagaan perekonomian daerah, dan fasilitasi pengembangan kerjasama ekonomi daerah. Salah satu kegiatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah sebagai salah satu kegiatan prioritas nasional Iklim Investasi dan Iklim Usaha adalah dengan mempercepat proses perijinan di daerah melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Hingga tahun 2010, sudah terdapat 341 daerah yang telah menyelenggarakan PTSP, terdiri dari 12 provinsi, 249 kabupaten, dan 80 kota. Selain itu, untuk mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi daerah, pada tahun 2008 telah dilaksanakan kegiatan pemetaan terhadap potensi ekonomi daerah di seluruh Indonesia. Pada tahun 2009, telah dilaksanakan fasilitasi pengembangan potensi perekonomian daerah dan pengembangan produk unggulan daerah, serta fasilitasi pengembangan promosi ekonomi daerah dan sarana dan prasarana perekonomian daerah. Di samping itu, pada tahun 2007-2009 juga telah dilaksanakan fasilitasi terhadap beberapa daerah pilot terkait penyusunan master plan Pengembangan Ekonomi Lokal dan peningkatan daya saing daerah melalui bantuan teknis dari Pemerintah Jerman, yaitu melalui Program Regional Economic Development (RED). Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan agropolitan, yang merupakan salah satu bentuk upaya pengembangan ekonomi lokal dan daerah, adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan yaitu sistem permukiman dan sistem agribisnis, dan dikembangkan secara khusus untuk komoditas perikanan melalui kawasan minapolitan. Kegiatan pengembangan kawasan agropolitan dan minapolitan sampai dengan tahun 2009 telah berhasil membangun 331 kawasan yang terdiri dari 293 kawasan agropolitan dan 38 kawasan minapolitan. Selain itu, untuk mendukung kawasan agropolitan dan minapolitan tersebut telah dibangun jalan poros/usaha tani sepanjang 1.424.715 meter, talud/saluran sepanjang 52.998 meter, jembatan sebanyak 106 unit, STA/Kios/Pasar sebanyak 141 unit, lantai jemur sebanyak 22 unit, sarana air baku sebanyak 15 unit, gudang/sarana produksi sebanyak 104 unit, dan tambatan perahu sebanyak 11 unit. Pembangunan ekonomi lokal dan daerah juga dilakukan melalui Program Kawasan Sentra Produksi (KSP) dan Kawasan Industri berbasis kompetensi inti industri daerah. Kawasan Sentra Produksi (KSP) pada dasarnya mengaitkan kegiatan produksi dan pemasaran, yang meliputi seluruh proses kegiatan agribisnis, yaitu subsistem agribisnis hulu, subsistem usahatani, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran, serta subsistem II.9 - 16
jasa dan penunjang. Pada tahun 2005, jumlah KSP yang telah dibangun adalah sebanyak 1.598 kawasan. Sebagian besar KSP berada di Pulau Jawa dan Bali, yaitu sebanyak 969 kawasan atau sebesar 61 persen, dengan provinsi-provinsi yang memiliki KSP terbanyak adalah Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat masing-masing sebanyak 433 kawasan dan 201 kawasan. Pada tahun 2006, program KSP ini mulai dilaksanakan sepenuhnya oleh daerah, di mana pemerintah pusat tidak lagi memberikan bantuan teknis untuk pengembangan program ini. Sedangkan, kawasan industri berbasis kompetensi inti industri daerah menghasilkan sekumpulan keunggulan atau keunikan sumberdaya termasuk sumber daya alam dan kemampuan suatu daerah untuk membangun daya saing dengan upaya mengelompokkan industri inti yang saling berhubungan, baik dengan industri pendukung, maupun dengan industri terkait sehingga dapat meningkatkan daya saing daerah. Pengembangan kompetensi inti industri daerah dikelompokkan ke dalam 8 (delapan) kelompok industri, yaitu: (1) makanan, minuman dan tembakau; (2) tekstil, barang kulit dan alas kaki; (3) barang kayu dan hasil hutan; (4) pupuk, kimia, dan barang dari karet; (5) semen dan bahan galian non logan; (6) logam dasar, besi, dan baja; (7) alat angkut, mesin, dan peralatan; dan (8) barang lainnya. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, terdapat 834 kawasan daftar lokasi pengembangan industri pengolahan komoditi unggulan daerah di 33 provinsi. Pada tahun 2008, telah dilakukan penyusunan master plan pengembangan kawasan industri berbasis kompetensi inti daerah pada beberapa daerah, yaitu Kabupaten Banyuasin (Sumatera Selatan), Gowa (Sulawesi Selatan), dan Kendari (Sulawesi Tenggara). Kawasan transmigrasi merupakan kawasan budidaya yang memiliki fungsi sebagai permukiman dan tempat usaha masyarakat dalam satu sistem pengembangan pun merupakan upaya pengembangan ekonomi lokal dan daerah dalam Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT). Program ketransmigrasian sampai dengan tahun 2009, telah melaksanakan rintisan pembangunan kawasan perkotaan baru melalui skema KTM di 44 kawasan pada 22 provinsi, yaitu 14 kawasan di Pulau Sumatera (Provinsi NAD, Sumbar, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumsel, dan Lampung), 10 kawasan di pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan), 12 kawasan pulau Sulawesi (Provinsi Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara), 1 kawasan di Provinsi Maluku Utara, 1 kawasan di Provinsi Maluku, 3 kawasan di Provinsi Papua, 1 kawasan di Provinsi NTT, dan 2 kawasan di Provinsi NTB. Selain itu, pada tahun 2005-2009, juga telah dilaksanakan pembangunan 117 Unit Permukiman Transmigrasi (UPT). Berdasarkan hasil capaian hingga tahun 2010 tersebut, sudah terdapat peningkatan akses terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah yang terlihat dengan banyaknya pembangunan sarana dan prasarana fisik, serta terdapat peningkatan tata kelola ekonomi daerah yang terlihat dari adanya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Akan tetapi, peningkatan tersebut belum diiringi dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia pengelola ekonomi daerah, peningkatan fasilitasi/pendampingan, dan peningkatan kerjasama dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah yang merupakan unsur-unsur penting dalam rangka keberlanjutan pelaksanaan program. Oleh karena itu, unsur-unsur tersebut perlu ditingkatkan pelaksanaannya, selain tetap meningkatkan sarana dan prasarana fisik, seperti pengembangan kawasan transmigrasi, agropolitan, dan minapolitan, serta tata kelola ekonomi daerah, seperti pengembangan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sehingga keberlanjutan program pengembangan ekonomi lokal dan daerah akan lebih terjaga.
II.9 - 17
Kawasan Strategis Kebijakan pengembangan kawasan strategis dan cepat tumbuh sebagai upaya memacu pengembangan pusat-pusat pertumbuhan dalam rangka pengurangan ketimpangan pembangunan antar wilayah telah dilaksanakan dalam periode tahun 2004-2009. Namun demikian, inisiasi kebijakan pemerintah melalui pengembangan kawasan andalan, strategis dan cepat tumbuh diantaranya Pengembangan KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu), dan KPBPB (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas) belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa program pengembangan pusat-pusat pertumbuhan melalui KAPET dan KPBPB belum mampu mengakselerasi percepatan pertumbuhan secara signifikan. Dalam pelaksanaan pengelolaan KPBPB Batam, laju pertumbuhan PDRB Kota Batam cenderung menurun pada tahun 2005-2006 kemudian meningkat secara bertahap pada tahun 2007-2008. Ditinjau dari persentase kontribusi antarsektor, kontribusi peningkatan sektor industri cenderung menurun, kontribusi sektor jasa sedikit meningkat, dan terjadi peningkatan signifikan pada sektor perdagangan antara periode 2005-2008. Kontribusi PDRB Kota Batam pada periode 2005-2008 menguasai lebih dari 65% terhadap PDRB provinsi. Selain itu, dalam rangka pengelolaan KPBPB Sabang, laju pertumbuhan PDRB Kota Sabang meningkat tajam pada tahun 2006 hingga mencapai 51,25%, dan menurun menjadi 4,33% pada tahun 2007, kemudian turun menjadi 3,37% pada tahun 2008. Berdasarkan persentase kontribusi antarsektor dalam pengembangan dan pengelolaan KPBPB Sabang, terjadi penurunan kontribusi dari sektor industri, sedangkan sektor jasa sedikit meningkat, dan terjadi peningkatan signifikan pada sektor perdagangan antara periode 2005-2008. Dengan demikian peran KPBPB Batam sebagai roda penggerak pertumbuhan ekonomi wilayah masih menunjukkan peningkatan kontribusi aktifitas industri yang relatif konsisten. Sementara itu, kinerja KPBPB Sabang dan KAPET masih perlu terus ditingkatkan, terutama dalam meningkatkan daya saing sektor dan produk unggulannya sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi maupun sebagai penggerak pengembangan wilayah. Sebagai langkah awal dalam mendukung kebijakan pengembangan kawasan strategis bidang ekonomi, telah ditetapkan berbagai peraturan perundangan yang menjadi payung hukum dan mendukung aktivitas perekonomian. Dalam pengelolaan KPBPB, pada tahun 2006 telah disusun Inpres No.3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Investasi, dan pada tahun 2007 mulai diberlakukan Perpu Nomor 1 Tahun 2007 tentang perubahan atas UU Nomor 36 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas Sabang dan ditetapkannya UU Nomor 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pada tahun 2008 disahkan 7 buah produk perundangan terkait KPBPB, yaitu PP Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam, PP Nomor 47 Tahun 2007 tentang KPBPB Bintan, PP Nomor 48 Tahun 2007 tentang KPBPB Karimun, Perpres Nomor 30 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional KPBPB; serta Keppres Nomor 9, 10, 11 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan KPBPB Batam, Bintan dan Karimun. Dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, maka Pemerintah telah menetapkan UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan pembentukan Panitia Khusus Tim Nasional KEK melalui Keputusan Menteri Perekonomian Nomor 16 Tahun 2009 yang bertugas mengkoordinasikan penyiapan kawasan-kawasan KEK. Capaian sasaran Tahun 2010 dalam kegiatan pengembangan kawasan otorita (KPBPB) adalah sekitar 60%, dan daerah yang sudah menerapkan pedoman/kebijakan yang terkait dengan pengembangan potensi perekonomian daerah II.9 - 18
adalah sekitar 40% dimana di dalamnya termasuk tersusunnya kebijakan dan strategi pengembangan wilayah dan percepatan pembangunan KAPET, KPBPB dan KEK. Dari hasil capaian tahun 2010, diketahui masih terdapat sejumlah kendala, diantaranya masih minimnya infrastruktur di kawasan strategis, belum kondusifnya pelayanan investasi di daerah, serta masih lemahnya aspek kelembagaan dan koordinasi yang diperlukan dalam pengembangan KAPET dan KPBPB yang berpengaruh terhadap belum berperannya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi bagi hinterland-nya. Sementara itu, dalam perkembangan penyelenggaraan KEK, telah sampai pada tahap penyiapan PP tentang tata cara penyelenggaraan, termasuk rancangan tata cara pemilihan lokasi KEK. Sedangkan kebijakan penetapan lokasi KEK direncanakan akan dilaksanakan tahun 2011. Kawasan Perbatasan Kawasan perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar memiliki nilai strategis terhadap kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan nasional. Upaya pengembangan kawasan perbatasan dilakukan dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi ke dalam (inward looking), yaitu memandang kawasan perbatasan semata-mata sebagai wilayah pertahanan dan keamanan, menjadi berorientasi ke luar (outward looking) yaitu dengan juga memanfaatkan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang aktivitas perdagangan dan ekonomi dengan negara tetangga. Upaya pengembangan kawasan perbatasan pada lima tahun mendatang akan diprioritaskan pada 38 (tiga puluh delapan) kabupaten/kota di 12 (dua belas) provinsi, dimana 27 kabupaten diantaranya tergolong daerah tertinggal. Upaya penanganannya juga diarahkan pada upaya pecepatan pembangunan 20 (dua puluh) Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai kota utama kawasan perbatasan secara bertahap. Pada pelaksanaan RPJMN tahap pertama (2004-2009), upaya pengembangan kawasan perbatasan telah menghasilkan beberapa kemajuan positif. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap kabupaten-kabupaten di kawasan perbatasan yang menjadi prioritas penanganan pada RPJMN tahap pertama, dari sisi perekonomian wilayah kesejahteraan masyarakat telah dicapai peningkatan rata-rata pertumbuhan PDRB dari 5.84% (2005) menjadi 6.63% (2008), penurunan rata-rata persentase penduduk miskin dari 24.16% (2005) menjadi 21.56% (2008), dan peningkatan jumlah kabupaten perbatasan dengan IPM diatas rata-rata nasional dari 4 kabupaten (2005) menjadi 6 kabupaten (2008). Dari sisi penetapan batas wilayah, telah dilaksanakan ratifikasi perjanjian Batas Laut Kontinen (BLK) RI-Vietnam pada tahun 2007 dan penandatanganan kesepakatan dengan Singapura tentang penetapan garis batas laut wilayah di bagian barat Selat Singapura pada tahun 2009. Pada pelaksanaan RPJMN tahap kedua (2010-2014), upaya pengembangan kawasan perbatasan hingga triwulan pertama tahun 2010 telah menghasilkan capaian penting dalam aspek kebijakan, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai amanat dari UndangUndang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Badan ini berkedudukan di tingkat pusat dan memiliki tugas untuk menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengkoordinasikan pelaksanaan, serta melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan. Selanjutnya akan diterbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri selaku Kepala BNPP mengenai Organisasi dan Tata Kerja BNPP agar BNPP dapat mulai efektif II.9 - 19
bekerja selambat-lambatnya pada bulan Juli 2010. Keberadaan BNPP diharapkan dapat mewujudkan manajemen pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan negara secara terpadu. Penyelenggaraan berbagai kebijakan, program dan kegiatan Pemerintah di kawasan perbatasan diharapkan tidak lagi dilaksanakan secara parsial dan cenderung sektoral, namun dapat diselenggarakan secara sinergis dan terkoordinasi antar sektor maupun antara pusat dan daerah. Berbagai kemajuan hingga triwulan pertama tahun 2010 tersebut perlu dilanjutkan dan lebih dipercepat pencapaiannya pada tahun-tahun berikutnya, mengingat berbagai permasalahan kawasan perbatasan belum dapat dituntaskan secara signifikan dan menyeluruh. Masalah-masalah tersebut meliputi seluruh batas wilayah negara maupun yurisdiksi disepakati dengan negara tetangga, rata-rata persentase penduduk miskin yang masih tinggi, sebagian besar kabupaten masih memiliki IPM dibawah rata-rata nasional, belum optimalnya perkembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai pusat pelayanan kawasan perbatasan, serta masih relatif tingginya kegiatan illegal. Daerah Tertinggal Upaya mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah merupakan tugas utama, sekaligus tantangan besar bagi pemerintah Indonesia. Adanya kesenjangan ini didukung fakta masih tingginya disparitas kualitas sumber daya manusia antarwilayah, perbedaan kemampuan perekonomian antardaerah, serta belum meratanya ketersediaan infrastruktur antarwilayah. Permasalahan kesenjangan yang berkaitan dengan ketertinggalan dalam pembangunan tersebut, meliputi sebanyak 183 kabupaten, dan telah menjadi agenda dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal pada periode 2010-2014. Arah kebijakan pembangunan daerah tertinggal untuk melakukan percepatan pembangunan perekonomian daerah dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, sejalan dengan RPJMN 2010-2014, akan diwujudkan melalui strategi: (i) pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal; (ii) penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di daerah tertinggal; (iii) peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau di daerah tertinggal; (iv) peningkatan pelayanan pendidikan yang berkualitas di daerah tertinggal; dan (v) peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur daerah tertinggal serta peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan. Realisasi dari strategi pengembangan di atas didukung melalui program percepatan pembangunan daerah tertinggal yang dilaksanakan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal pada tahun 2010. Penjabaran dari program tersebut, dalam rangka mendukung pengembangan ekonomi lokal meliputi kegiatan-kegiatan prioritas : pengembangan kebijakan, koordinasi dan fasilitasi dalam aspek pengembangan pusat produksi, pusat pertumbuhan, pengembangan usaha mikro kecil menengah dan koperasi, pendanaan dan kemitraan usaha, dan investasi ekonomi daerah daerah tertinggal. Dalam rangka penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di daerah tertinggal, didukung dengan kegiatan prioritas: (i) pengembangan kebijakan, koordinasi dan fasilitasi penguatan kelembagaan pemerintah daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan pascakonflik; (ii) pengembangan kebijakan, koordinasi dan fasilitasi yang berkaitan dengan aspek: penguatan kelembagaan sosial masyarakat; lembaga kerjasama antardaerah; lembaga perekonomian; dan kemitraan antar lembaga daerah tertinggal; (iii) pembinaan administrasi pendapatan dan investasi daerah; II.9 - 20
(iv) peningkatan koordinasi bidang politik, hukum dan keamanan; (v) koordinasi pengelolaan masyarakat kawasan tertinggal, pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan desa; (vi) serta peningkatan kapasitas kelembagaan dan pelatihan masyarakat, dan peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah Dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau di daerah tertinggal didukung dengan kegiatan prioritas: (i) pengembangan kebijakan, koordinasi dan fasilitasi yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur kesehatan; (ii) pelayanan kesehatan dasar dan lanjutan; (iii) pembangunan infrastruktur pendidikan, pelayanan pendidikan dasar, menengah dan kejuruan; serta (iv) pelayanan pendidikan luar sekolah di daerah tertinggal. Dalam rangka peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur daerah tertinggal serta peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan, didukung dengan kegiatan prioritas: (i) pengembangan kebijakan, koordinasi dan fasilitasi dalam aspek : pembangunan infrastruktur ekonomi daerah tertinggal; (ii) pembangunan infrastruktur energi daerah tertinggal, pembangunan infrastruktur telekomunikasi daerah tertinggal; (iii) pembangunan infrastruktur transportasi daerah tertinggal. Upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal yang berjalan selama ini telah memberikan hasil perbaikan kondisi perekonomian daerah dan kualitas sumberdaya manusia di daerah tertinggal, antara lain diindikasikan melalui beberapa fakta berdasarkan data yang tersedia, serta data perkiraan yang dapat dicapai pada tahun 2010. Kondisi perekonomian daerah menurut indikator rata-rata PDRB perkapita pada tahun 2007 sebesar Rp. 7.942 ribu meningkat menjadi Rp. 9.269 Ribu pada tahun 2008, dan dipekirakan akan mencapai Rp.9.377 ribu pada tahun 2010. Rata-rata laju pertumbuhan PDRB daerah tertinggal tahun 2007 sebesar 7,72% menurun menjadi 5,85% pada tahun 2008, dan diperkirakan akan meningkat menjadi 6,32% pada tahun 2010. Kondisi rata-rata tingkat kemiskinan di daerah tertinggal tahun 2007 sebesar 24,9 persen, berkurang menjadi 22% pada tahun 2008, dan diperkirakan akan menurun menjadi 19,4% pada tahun 2010. Perkembangan kondisi kualitas sumberdaya manusia menurut indikator IPM di daerah tertinggal, yang pada tahun 2007 mencapai rata-rata sebesar 67,2 meningkat menjadi 67,7 pada tahun 2008, dan diperkirakan meningkat menjadi 69 pada tahun 2010. Komponen pembentuk IPM berdasarkan Usia Harapan Hidup pada tahun 2007 rata-rata sebesar 66,7 tahun, meningkat menjadi 66,9 tahun pada tahun 2009, dan diperkirakan menjadi 67,4 tahun pada tahun 2010. Rata-rata lama sekolah di daerah tertinggal pada tahun 2008 rata-rata sebesar 7 tahun, diperkirakan meningkat menjadi 7,2 tahun pada tahun 2010. Sementara angka melek huruf pada tahun 2008 sebesar 89,6 persen, diperkirakan meningkat menjadi 90,9 persen pada tahun 2010. Berdasarkan evaluasi terhadap perkembangan status ketertinggalan 199 kabupaten tertinggal, sebanyak 50 kabupaten telah terentaskan ketertinggalannya selama tahun 2005— 2009 sehingga sisa kabupaten yang masih tertinggal menjadi 149 kabupaten. Namun dari hasil evaluasi pada tahun 2009, beberapa kabupaten yang mengalami pemekaran wilayah menjadi daerah otonomi baru, teridentifikasi sebanyak 34 kabupaten masih merupakan daerah tertinggal. Dengan demikian agenda percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam RPJMN 2010-2014 menjadi sebanyak 183 kabupaten. Berbagai upaya dalam memperkuat strategi percepatan pembangunan di daerah tertinggal dalam periode RPJMN 2004-2009, telah didukung dengan penyusunan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Stranas PPDT) yang berjangka menengah dan Rencana Aksi Nasional (RAN PPDT) yang berjangka tahunan. Sementara II.9 - 21
setiap daerah tertinggal telah menyusun Strategi Daerah Percepatan Pembangunan Daerah Tertingal (STRADA) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) yang berjangka tahunan. Namun demikian upaya ini belum memberikan hasil yang optimal, karena STRADA dan RAD yang disusun oleh lintas pelaku di daerah, kualitasnya masih beragam dan masih banyak yang belum memenuhi harapan untuk menjadi acuan operasional. Hal lainnya yang jauh lebih penting adalah belum terbangunnya ownership dari lintas pelaku di daerah, sehingga dokumen yang disusun tidak menjadi pengikat komitmen dari sektor-sektor terkait maupun dari jajaran pemerintahan lainnya. Sementara itu, kualitas STRANAS dan RAN PPDT masih perlu adanya penajaman-penajaman yang didukung basis data yang komprehensif, sehingga mampu merumuskan strategi dan kebijakan yang tepat dalam upaya percepatan pembangunan di daerah tertinggal. Evaluasi terhadap enam instrumen percepatan pembangunan daerah tertinggal yang dikoordinasikan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, yang meliputi (1) Percepatan Pembangunan Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (P2KPDT), (2) Percepatan Pembangunan Pusat Pertumbuhan Daerah Tertinggal (P4DT), (3) Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT), (4) Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP), (5) Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal (P2SEDT), dan (6) Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), dinilai masih belum optimal dalam penguatan kelembagaan masyarakat, rehabilitasi dan penyediaan prasarana dan sarana dasar, penguatan ekonomi lokal, dan peningkatan kualitas SDM. Hal ini disebabkan pada tingkat pelaksanaannya di lapangan kurang memperhatikan proses yang partisipatif. Hal ini berimplikasi terhadap hasil yang kurang optimal, khususnya dalam pembelajaran dalam mendukung peningkatan kapasitas kelembagaan, baik di tingkat masyarakat maupun pada jajaran pemerintahan daerah. Untuk menjamin adanya percepatan pembangunan di daerah tertinggal di masa mendatang, diperlukan adanya upaya serius dalam merespon permasalahan yang dihadapi daerah tertinggal, dengan diikuti sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, serta lintas sektor, sehingga dapat menyelesaikan persoalan yang sebenarnya. Melalui RKP 2011 ini, agenda peningkatan koordinasi dan fasilitasi dalam berbagai aspek, tetap akan menjadi prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. Dengan demikian, pencapaian kinerja pembangunan tersebut diharapkan dapat menjadi komitmen semua pihak khususnya instansi pemerintah untuk dapat merealisasikannya secara sungguh-sungguh dalam mewujudkan pembangunan yang adil dan merata. Kawasan Rawan Bencana Berbagai kejadian bencana dalam kurun waktu lima tahun terakhir, semakin mendorong dan memperkuat komitmen Pemerintah dalam melaksanakan perubahan paradigma penanggulangan bencana dari yang bersifat penanganan darurat ke arah upaya pengurangan risiko bencana. Selain itu secara geografis, wilayah Indonesia terletak pada pertemuan lempeng tektonik yang besar dan aktif serta sebagian besar wilayah kabupaten/kota merupakan kawasan rawan bencana. Di samping itu, daratan Indonesia memiliki lebih dari 500 gunung berapi dimana 128 diantaranya masih aktif, yang terkenal sebagai lingkaran api (ring of fire). Fakta inilah yang menjadikan wilayah Indonesia rawan terhadap bencana alam (natural disaster) seperti gempa bumi, tsunami, angin topan dan ancaman letusan gunung berapi. Selain jenis bencana alam tersebut, Indonesia masih memiliki berbagai potensi ancaman bencana lain, seperti tanah longsor, kebakaran hutan, II.9 - 22
bencana yang diakibatkan oleh perubahan iklim global seperti banjir, gelombang pasang, kekeringan dan angin puting beliung, yang hampir setiap tahun terjadi berbagai wilayah tanah air, yang dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Upaya upaya penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana telah dilakukan, malalui ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta tiga Peraturan Pemerintah turunannya, yaitu: (1) PP Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; (2) PP Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana; serta (3) PP Nomor 23 tahun 2008 tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Selain itu, telah pula dilakukan pembentukan kelembagaan penanggulangan bencana melalui Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan pembentukan kelembagaan penanggulangan bencana daerah di 28 Provinsi dan 87 kabupaten/kota yang pembentukannya diatur di dalam Permendagri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Sedangkan dalam kaitannya dengan kebijakan pembangunan nasional, telah ditetapkan pengelolaan bencana menjadi bagian dari prioritas pembangunan nasional 2010-2014. Ditetapkan pula Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014. Selain upaya pengurangan risiko bencana, pada pelaksanaan RPJMN 20042009 telah diselesaikan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah pasca bencana di Provinsi Aceh dan Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara yang dilaksanakan oleh BRR, serta di Provinsi DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa tengah yang dilaksanakan oleh masingmasing pemerintah provinsi melalui dukungan Tim Teknis Nasional. Selain itu terkait pelaksanaan penanganan semburan lumpur panas Sidoarjo akan terus dilaksanakan sampai dengan periode pelaksanaan RPJMN 2010-2014. Selanjutnya pada pelaksanaan RPJMN 2010-2014, sebagai penjabaran upaya pengurangan risiko bencana telah diterbitkan Peraturan Kepala BNPB Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN PRB) 2010-2012 yang digunakan sebagai masukan terhadap penyusunan rencana kerja Pemerintah tahunan, juga sebagai acuan bagi pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana bagi lembaga-lembaga non pemerintah termasuk lembaga/organisasi internasional, sesuai dengan penjelasan di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 bahwa penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, lembaga/organisasi non pemerintah, swasta dan masyarakat. Namun demikian bencana alam tetap saja tidak dapat dihindarkan, hal tersebut ditunjukkan dengan terjadinya bencana alam gempa bumi yang cukup besar di pesisir selatan Provinsi Jawa Barat, serta di Provinsi Sumatera Barat yang terjadi pada tahun 2009. Merujuk pada kejadian tersebut, maka upaya pengurangan risiko bencana menjadi sangat penting sebagai prioritas di tingkat nasional dan di daerah. Selain itu, untuk meningkatkan kemampuan dan efektifitas penanganan kedaruratan, Pemerintah melalui inisiatif Presiden membentuk Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana. Selanjutnya dalam kaitannya dengan upaya pemulihan wilayah pascabencana, maka pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca bencana terutama di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Sumatera Barat menjadi salah satu fokus utama dalam rencana pembangunan tahun 2011, termasuk pemulihan wilayah pascabencana alam lainnya.
II.9 - 23
Desentralisasi, Hubungan Pusat Daerah dan Antardaerah a. Penataan Pembagian Urusan Pemerintahan antar Tingkat Pemerintahan Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, memperjelas pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintah. Kementerian/lembaga diharapkan dapat menyesuaikan kebijakannya masing-masing sesuai dengan peraturan pemerintah ini, dengan mempercepat penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK). Ketaatan pelaksanaan urusan pemerintahan ini akan meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya secara nasional. b. Peningkatan Kerja Sama Pemerintah Daerah Penerbitan regulasi yang mengatur dan mendorong kerjasama pemerintah daerah diharapkan akan menjadi dasar hukum bagi kerja sama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga. Bentuk kerja sama yang telah ada saat ini cukup beragam, mulai dari kerja sama tanpa pembentukan organisasi baru sampai pada pembentukan organisasi baru dengan nama khusus yang menjadi ciri khas daerah masing-masing. Selain itu, terdapat kerja sama yang diinisiasi oleh pemerintah provinsi untuk semua wilayah kabupaten/kota di wilayahnya, dalam rangka koordinasi penyelenggaraan pembangunan. Bentuk kerja sama lainnya adalah kerja sama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga (kementerian/lembaga, perusahaan swasta berbadan hukum, BUMN, BUMD, koperasi, yayasan, dan lembaga di dalam negeri lainnya berbadan hukum). Beberapa bidang yang dapat dikerjasamakan di antaranya promosi investasi, sarana dan prasarana, kesehatan, pendidikan, perekonomian, serta sosial budaya. c. Penataan Daerah Otonom Baru Dalam rangka membatasi pemekaran dan pembentukan daerah otonom baru, Pemerintah telah menerbitkan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Selain itu, telah ditempuh upaya moratorium untuk menunda sementara usulan pembentukan daerah otonom baru. Upaya lain yang sedang dilaksanakan adalah menyusun Desain Besar Penataan Daerah 2010-2025 (sebelumnya disebut sebagai Strategi Dasar/Grand Strategy Penataan Daerah) yang diharapkan selesai pada pertengahan tahun 2010. Desain Besar Penataan Daerah 20102025 diharapkan akan menjadi dokumen acuan Pemerintah dan DPR dalam merespon usulan pemekaran dan pembentukan daerah otonom baru. d. Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah Dalam rangka pelaksanaan pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintah daerah, telah ditetapkan PP No. 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Selanjutnya, dalam rangka pengawasan Pemerintah terhadap pemerintah daerah, telah diterbitkan PP No. 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah kepada Masyarakat. Demikian pula, untuk mengevaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah, telah terbit PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan Daerah.
II.9 - 24
Tata Kelola dan Kapasitas Pemerintahan Daerah a. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah Selain peraturan pemerintah yang mengatur pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan, maka PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah menjadi peraturan pemerintah yang penting. Hal ini mengingat pentingnya peran kelembagaan pemerintah dalam konteks pembangunan daerah tersebut, sebagai tindak lanjut dari penerbitan PP No. 38 Tahun 2007, diperlukan pedoman mengenai organisasi perangkat daerah yang sinergis dengan urusan pemerintahan yang harus dilaksanakan. Peningkatan kapasitas kelembagaan ini bertujuan untuk memperbaiki kondisi kelembagaan pemerintah yang belum menunjukkan efisiensi dan efektivitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kelembagaan yang efektif dan efisien di antaranya meliputi kejelasan tugas pokok dan fungsi tiap instansi tanpa adanya tumpang tindih, kelengkapan prosedur operasional, sistem koordinasi antarorganisasi pemerintah, serta pemenuhan sarana dan prasarana pemerintahan. Pembentukan organisasi perangkat daerah telah diatur dalam PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. b. Peningkatan Profesionalisme Aparatur Pemerintah Daerah Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah telah banyak dilakukan, baik melalui pendidikan maupun pelatihan. Pelatihan tersebut diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan pemerintah daerah atau karena adanya kebijakan baru Pemerintah. Komponen-komponen penunjang pendidikan dan pelatihan (diklat) seperti kualitas pengajar, koordinasi dalam penyelenggaraan diklat, fasilitas diklat, dan sebagainya juga terus ditingkatkan. Pada tahun 2010 ini dilaksanakan upaya pengintegrasian berbagai pendidikan dan pelatihan dalam suatu grand design. Diharapkan hal ini akan meninkatkan efisiensi dan efektivitas pendidikan dan pelatihan terhadap aparatur pemerintah daerah.
c. Peningkatan Kapasitas Keuangan Daerah Seiring dengan pengalihan sebagian besar urusan pemerintahan ke daerah, alokasi dana APBN yang ditransfer ke daerah juga meningkat secara signifikan. Dengan meningkatnya anggaran untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah, tuntutan untuk mewujudkan praktek pengelolaan keuangan daerah yang lebih baik terus meningkat pula. Sebagai tindak lanjut dari amanat UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, pengelolaan keuangan daerah meliputi keseluruhan kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah tersebut merupakan subsistem dari dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
II.9 - 25
9.2
Permasalahan dan Sasaran
9.2.1
Permasalahan
Data dan Informasi Spasial Tantangan yang dihadapi dalam bidang data dan informasi spasial pada tahun-tahun ke depan, antara lain: a. Penyelesaian aspek diplomasi antara Indonesia dengan negara tetangga dalam menyelesaikan garis batas wilayah negara; b. Penyiapan sumberdaya manusia Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi di bidang survei dan pemetaan nasional di dunia internasional; c. Penyediaan peta rawan bencana bagi keperluan mitigasi bencana dalam proses perencanaan pembangunan nasional. Berdasarkan hasil evaluasi pencapaian kebijakan, program dan kegiatan, serta tantangan yang akan dihadapi ke depan, pembangunan data dan informasi spasial masih menghadapi permasalahan sebagai berikut: a.
Belum optimalnya koordinasi kegiatan survei dan pemetaan nasional Pelaksanaan kegiatan survei dan pemetaan nasional, baik di instansi pemerintah pusat, daerah, maupun swasta, belum terkoordinasikan secara optimal, sehingga masih terdapat tumpang tindih dalam kegiatan survei dan pemetaan, dan pada akhirnya penyelenggaraan kegiatan survei dan pemetaan relatif menjadi kurang efektif dan efisien. Terkait dengan peraturan perundang-undangan, data dan informasi spasial belum diatur dalam kerangka peraturan perundang-undangan yang lengkap dan komprehensif. Hal tersebut menyebabkan masing-masing instansi menyusun Norma, Standar, Pedoman, dan Kriteria (NSPK) sehingga menyebabkan interoperabilitas produkproduk data dan informasi spasial yang dihasilkan menjadi kurang optimal. Terhadap NSPK yang sudah ada dan telah distandarisasikan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) pun belum sepenuhnya diterapkan. Standar metadata yang dapat dipergunakan secara nasional belum tersedia, terkecuali standar metadata pada tingkat global yang telah banyak digunakan oleh komunitas data geospasial.
b.
Data dan informasi spasial belum memadai baik dalam kuantitas dan kualitas Dari segi kuantitas, ketersediaan data dan informasi geo spasial berupa Peta Rupabumi Indonesia pada skala 1:100.000, 1:50.000, dan 1:25.000 yang sangat diperlukan bagi penyusunan RTRW Provinsi, Kabupaten/Kota belum mencakup seluruh wilayah nasional, khususnya Papua. Beberapa data dan informasi tematik pokok seperti kehutanan, perhubungan, dan lain-lain juga belum mencakup seluruh wilayah nasional. Dari segi kualitas, data dasar dan peta dasar yang idealnya harus divalidasi ulang setiap 20 tahun untuk peta dasar dan 5 tahun untuk peta tematik belum sepenuhnya dilakukan. Disamping itu, data yang ada juga sulit diintegrasikan karena belum mengacu kepada satu standar nasional dan satu peta dasar.
c. Akses terhadap data dan informasi spasial belum memadai Akses data dan informasi spasial dengan menggunakan internet masih sangat terbatas dan secara umum masih menggunakan cara konvensional melalui pertukaran langsung II.9 - 26
dengan media portable disc. Kesulitan akses terhadap data dan informasi spasial juga disebabkan oleh kebijakan di lingkungan instansi tertentu, dimana data spasial yang dibuat oleh instansi tersebut hanya digunakan secara terbatas untuk lingkungan internal saja dan tidak untuk disebarluaskan kepada pihak lain. Informasi tentang data informasi spasial (metadata) juga masih sangat terbatas pada masing-masing instansi pembuat data dari informasi yang bersangkutan. Sementara itu, sebagian besar instansi, terutama pemerintah daerah, masih belum memahami konsep metadata sehingga belum dapat menyusun metadata dengan baik. d. Sumberdaya manusia di bidang survei dan pemetaan belum mencukupi Sumberdaya manusia di bidang survei dan pemetaan secara nasional masih sangat terbatas baik jumlah maupun penyebarannya. Dari jumlah yang terbatas tersebut, sebagian besar masih terkonsentrasi di lingkungan instansi pusat dan provinsi, seperti beberapa ibukota provinsi berikut: Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Medan, Makasar, dan Yogyakarta. Sedangkan di instansi kabupaten dan kota, kondisi sumberdaya manusia belum memadai. Diperkirakan di instansi pemerintah kabupaten dan kota, baru terdapat 1.000 orang atau sekitar 10 persen dari jumlah ideal yang dibutuhkan. Penataan Ruang Tantangan yang akan dihadapi dalam tahun-tahun mendatang di bidang penataan ruang adalah : a. Target pencapaian Millenium Development Goals (MDG) 2015, yaitu terkait dengan tujuan (goals) nomor 7 “Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup”. Dalam tujuan ini maka penataan ruang sangat terkait dengan pencapaian Target nomor 9, yaitu memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang, merupakan bagian dari pencapaian pelaksanaan pembangunan lingkungan hidup. b. Globalisasi yang telah terjadi menjadikan setiap negara berlomba-lomba meraih investasi dalam melakukan pembangunan untuk semakin memajukan negaranya, tidak terkecuali negara Indonesia. Persaingan dalam memperoleh investasi menuntut setiap negara untuk selalu memperbaiki diri dan menonjolkan keunggulan yang dimiliki untuk dapat menarik investor sebanyak-banyaknya. Dalam rangka memantapkan posisi Indonesia pada persaingan menarik investasi di dunia, salah satu langkah yang dibutuhkan adalah pembuatan Rencana Tata Ruang yang tanggap terhadap kebutuhan ekonomi namun tidak mengorbankan lingkungan. Selain itu, layanan perijinan yang cepat serta regulasi yang jelas juga diperlukan untuk menarik investor tidak enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Kompetisi dalam perekonomian yang semakin ketat dapat diatasi oleh daerah-daerah di Indonesia melalui peningkatan efisiensi pemanfaatan ruang, memaksimalkan potensi wilayah dan sinkronisasi program lintas sektor yang dapat menghasilkan penyediaan infrastruktur yang memadai di seluruh wilayah Indonesia. c. Fenomena global warming dan perubahan iklim yang terjadi di seluruh dunia akibat kegiatan manusia yang terlalu banyak merusak alam dan menghasilkan polusi. Penataan ruang harus bisa mengantisipasi dampak yang ditimbulkan fenomena tersebut, seperti naiknya muka air laut, banjir, longsor, dan sebagainya. Tantangan ini juga perlu dijawab dengan tindakan preventif dengan pengelolaan kawasan lindung yang lebih baik dan pertimbangan yang matang dalam proses persetujuan alih fungsi lahan hutan. II.9 - 27
Pembangunan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat dimulai dari penataan ruang yang tanggap merespon isu lingkungan sejak dini. Beberapa permasalahan di bidang penataan ruang adalah: a. Belum selesainya seluruh peraturan perundang-undangan terutama dalam rangka penyiapan acuan pelaksanaan pembangunan daerah seperti Perpres RTR Pulau/Kepulauan dan KSN, dan Perda RTRW Provinsi, Kabupaten dan Kota di Indonesia; b. Masih rendahnya pemahaman mengenai berbagai peraturan perundangan bidang penataan ruang baik di pusat maupun daerah serta kurangnya kapasitas kelembagaan penataan ruang di daerah yang berkaitan dengan pengendalian dan pengawasan; c. Belum adanya prosedur dan mekanisme dalam upaya sinergitas berbagai kegiatan sektor pembangunan seperti kehutanan, pertanian, pertambangan, transportasi, pengairan, penanaman modal, pertanahan, dan lain-lain. d. Belum tersebarnya kualitas dan kuantitas data ke seluruh Indonesia sebagai acuan yang memadai, peta dasar dan peta tematik yang up-to-date, dan belum tersedianya sistem informasi yang terpadu; dan e. Belum lengkapnya instrumen pengendalian seperti arahan dan peraturan zonasi, mekanisme perizinan yang mengacu kepada RTRW, petunjuk pelaksanaan pemberian sanksi terhadap pelanggaran RTRW, dan instrumen pengawasan seperti PPNS.
Pertanahan Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam bidang pertanahan adalah : a. Keterbatasan Infrastruktur Pelayanan Pertanahan Salah satu penghambat utama dalam pendaftaran tanah adalah belum memadainya infrastruktur pendaftaran tanah, terutama peta dasar untuk pendaftaran tanah, yang baru tersedia untuk 10 juta ha atau sekitar 5,3 persen dari total wilayah Indonesia. Ketersediaan peta pertanahan penting untuk akurasi data dan kepastian lokasi tanah, tidak hanya dalam rangka meningkatkan pelayanan pertanahan tetapi juga untuk mencegah resiko sertifikat ganda dan sengketa pertanahan. Sementara itu, dari 419 kantor pertanahan di Kabupaten/Kota, 57 di antaranya belum memiliki gedung sendiri, 342 belum memiliki gedung arsip dan 100 masih memerlukan rehabilitasi. Selanjutnya, hanya 14 kantor wilayah dan 38 kantor pertanahan saja yang telah merintis pengembangan sistem informasi dan manajemen pertanahan nasional. Padahal kondisi kantor pertanahan sangat mempengaruhi kinerja pelayanan pertanahan. Percepatan pendaftaran tanah pada kurun waktu 2005-2009 telah mencapai 14.434.741 bidang tanah. Namun demikian, secara total diperkirakan baru mencapai 39.681.839 bidang atau 45,69 persen dari total sekitar 86, 9 juta bidang tanah di Indonesia yang telah terdaftar. b. Belum Optimalnya Penataan Penguasaan dan Penggunaan Tanah Ketimpangan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) masih terus berlangsung. Di satu sisi, berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan Badan Pusat Statistik/BPS pada tahun 2007, terdapat 27 juta rakyat tidak memiliki tanah (landless) dan 56,5% dari mereka memiliki kurang dari 0,5 hektar tanah pertanian. Di sisi lain terjadi penguasaan tanah-tanah berskala besar, serta tercatat tanah terindikasi terlantar mencapai 7,3 juta hektar. Padahal ketersedian tanah sangat penting II.9 - 28
untuk mewujudkan penguasaan dan penggunaan tanah yang berkeadilan maupun untuk melaksanakan pembangunan. Permasalahan lain yang masih dihadapi adalah penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sehingga mengganggu daya dukung lingkungan. c. Belum Optimalnya Pertanahan
Penataan
dan
Penegakan
Peraturan
Perundang-Undangan
Permasalahan pokok yang masih dihadapi dalam pengelolaan pertanahan adalah belum tertatanya peraturan perundangan terkait pertanahan baik dalam hal masih adanya ketidakselarasan maupun belum lengkapnya peraturan pada aras operasional. Kondisi tersebut mengurangi kepastian hukum hak atas tanah, menghambat penegakan hukum, dan tidak jarang memicu konflik pertanahan.
Perkotaan Adapun tantangan pembangunan perkotaan yang dihadapi pada tahun 2011 adalah sebagai berikut : a. Penerapan kebijakan pembangunan perkotaan berdasarkan tipologi/karakteristik masing-masing kota. Arah kebijakan pembangunan perkotaan dalam RPJMN 20102014 telah dijabarkan kedalam rumusan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional, yang kemudian akan diadopsi oleh pemerintah daerah dengan penyusunan Kebijakan dan Strategi Perkotaan Daerah. Tantangan pembangunan perkotaan adalah untuk dapat menyusun dan menerapkan kebijakan-kebijakan tersebut sesuai dengan karakteristik setiap kota. b. Antisipasi terhadap dampak perubahan iklim, mengingat karakteristik kota sebagai pusat kegiatan yang menyebabkan tingginya faktor resiko dampak perubahan iklim terhadap kelangsungan kehidupan di perkotaan. Terlebih dengan banyaknya kota di Indonesia yang berlokasi di daerah pesisir sehingga beresiko terhadap kenaikan permukaan air laut. Dibutuhkan kerjasama dan koordinasi yang erat dengan pemerintah daerah, mengingat bahwa pemerintah daerah memiliki peran paling besar dalam pembangunan kota dalam aspek-aspek yang terkait dengan antisipasi dampak perubahan iklim. c. Peningkatan penyediaan pelayanan publik perkotaan. Infrastruktur dan jaringan transportasi yang baik merupakan kunci terhadap kelancaran mobilitas kegiatan dan perwujudan pembangunan berkelanjutan melalui pengurangan emisi gas buang di perkotaan. Selain itu penyediaan infrastruktur dasar lainnya seperti sanitasi dan air bersih juga masih harus ditingkatkan, terutama pada kawasan-kawasan permukiman kumuh perkotaan. Kebutuhan penyediaan pelayanan publik ini terkait erat dengan perlunya dilakukan upaya-upaya pengembangan sumber pembiayaan pembangunan perkotaan. d. Peningkatan kesejahteraan penduduk kota. Pertumbuhan penduduk kota yang pesat yang tidak diiringi dengan peningkatan penyediaan pelayanan publik dan lapangan pekerjaan mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin dan meluasnya kawasan kumuh di perkotaan. Pada tahun 2009, sebanyak 11,9 juta penduduk perkotaan hidup di bawah garis kemiskinan.
II.9 - 29
e. Peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah kota. Perkembangan kota juga seringkali tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah kota, padahal kota dengan kompleksitas permasalahan dan perkembangannya membutuhkan kapasitas masyarakat dan aparatur pemerintah kota yang memadai. Akibatnya, timbul persoalan-persoalan seperti tingginya kerawanan sosial di perkotaan, dan lemahnya kapasitas pemerintah kota dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan pengelolaan perkotaan serta penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik. Permasalahan pembangunan perkotaan yang harus ditangani adalah sebagai berikut : a. Belum adanya peraturan perundangan yang mengatur tentang pembangunan perkotaan dan menjadi payung bagi penyelenggaraan pembangunan perkotaan oleh pemerintah pusat, sektor maupun pemerintah daerah. b. Belum optimalnya upaya koordinasi pembangunan perkotaan di tingkat pusat, sektor, maupun daerah. c. Belum optimalnya upaya penurunan tingkat kemiskinan, pemanfaatan modal sosial dan budaya masyarakat, serta penurunan tingkat kerawanan sosial di perkotaan. d. Belum jelasnya mekanisme dan terintegrasinya kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan dan metropolitan. e. Masih terbatasnya kapasitas pemerintah kota dalam melaksanakan perencanaan dan pengelolaan pembangunan perkotaan, termasuk penerapan prinsip tata kepemerintahan yang baik. f. Belum optimalnya upaya pengelolaan lingkungan, antisipasi dampak perubahan iklim, dan mitigasi bencana yang terintegrasi dalam pengelolaan perkotaan. g. Belum optimalnya upaya peningkatan peran sektor informal dan kelembagaan ekonomi dalam pengembangan ekonomi perkotaan. h. Belum optimalnya pembangunan serta pengembangan pembiayaan penyediaan pelayanan publik di perkotaan untuk memenuhi kebutuhan penduduk perkotaan yang terus bertambah. i. Rendahnya implementasi rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di perkotaan, termasuk dalam perizinan pemanfaatan ruang (IMB).
Perdesaan Tantangan yang akan dihadapi di tahun 2011 dalam pembangunan perdesaan sebagai berikut: a. Penyelenggaraan Tata Pemerintahan dan Otonomi Desa belum mantap. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (i) Implementasi pembagian kewenangan antara desa dengan kabupaten belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, (ii) Peraturan daerah yang mengatur hal itu belum ada karena belum adanya aturan hukum yang memadai yang menjadi dasar pembagian kewenangan tersebut, (iii) Kemampuan perangkat desa maupun anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) relatif terbatas baik dalam hal tingkat pendidikan formal, kemampuan khusus terkait dengan tuntutan juga fungsinya, maupun pemahaman terhadap kewenangan desa itu sendiri, dan (iv) pelayanan pemerintahan desa dan kelurahan kepada masyarakat yang belum optimal.
II.9 - 30
b. Kualitas sumber daya manusia aparat desa dan masyarakat serta kelembagaan yang ada di desa relatif kurang, yang dilihat dari belum optimalnya peran aktif lembaga kemasyarakatan di perdesaan, serta kurang berfungsinya lembaga pemerintahan desa dan pemerintahan kelurahan dalam memotivasi dan menggerakkan partisipasi masyarakat. c. Pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan yang masih kurang, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pemantauan dan evaluasinya, sehingga aspirasi masyarakat belum sepenuhnya terakomodasi. d. Dalam pelaksanaan PNPM MP masih terdapat kabupaten yang belum dapat melakukan kerjasama dari seluruh atau sebagian kecamatan yang telah dialokasikan Pemerintah melalui APBN. Ketidaksanggupan partisipasi Pemerintah Kabupaten terhadap pelaksanaan PNPM-MP tersebut, karena faktor keterbatasan penyediaan APBD. Dari sejumlah 4.371 kecamatan, terdapat 61 kecamatan (1,76% dari total lokasi yang sudah ditetapkan dalam DIPA PNPM Mandiri Perdesaan Tahun Anggaran 2009) di 7 (tujuh) kabupaten belum dapat dilaksanakan melalui PNPM Mandiri Perdesaan yaitu Kabupaten Kepulauan Sula – Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Malinau, Paser dan Berau – Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Cirebon dan Majalengka – Provinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Murung Raya – Provinsi Kalimantan Tengah. e. Kecenderungan memudarnya sistem nilai sosial budaya sebagai pranata utama pembentukan sikap dan perilaku masyarakat, serta kecenderungan kekurangpatuhan masyarakat terhadap ketentuan hukum yang berlaku, yang mengakibatkan adanya kecenderungan kekurangteraturan kehidupan masyarakat (social disorder). f. Ketidakmampuan masyarakat perdesaan secara ekonomi serta kurangnya akses untuk memperoleh berbagai pelayanan dasar maupun pelayanan publik dalam peningkatan kemampuan dan ketrampilan mengembangkan usaha ekonomi produktif dalam meningkatkan pendapatannya. g. Belum optimalnya penyediaan berbagai informasi dan teknologi tepat guna yang dibutuhkan masyarakat dalam mendukung perbaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Masalah yang harus ditangani untuk pembangunan perdesaan adalah: a. Belum mantapnya penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemerintahan kelurahan dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, sehingga memerlukan percepatan upaya dalam penataan kewenangan, dukungan prasarana dan sarana kerja, peningkatan kapabilitas perangkat pemerintahan desa (termasuk kapabilitas Badan Permusyawaratan Desa) dan aparatur Pemerintahan Kelurahan. b. Belum optimalnya peran aktif masyarakat dalam pembangunan perdesaan, karena kurang berfungsinya lembaga Pemerintahan Desa dan Pemerintahan Kelurahan, serta lembaga kemasyarakatan dalam memotivasi dan menggerakkan partisipasi masyarakat. c. Berkurangnya motivasi dan swadaya gotong royong masyarakat, hal ini dapat dilihat dari: (i) kurangnya peningkatan pemberdayaan perempuan dan organisasi perempuan, (ii) lemahnya peningkatan pemberdayaan anak dan remaja, (iii) berkurangnya nilai-nilai sosial budaya masyarakat sesuai tradisi dan adat istiadat masyarakat, (iv) kecenderungan memudarnya sistem nilai sosial budaya sebagai pranata utama pembentukan sikap dan perilaku masyarakat, serta (v) kecenderungan kekurangpatuhan
II.9 - 31
masyarakat terhadap ketentuan hukum yang berlaku, yang mengakibatkan adanya kecenderungan kekurangteraturan kehidupan masyarakat (social disorder). d. Kurang berkembangnya usaha ekonomi masyarakat di perdesaan, yang mengakibatkan rendahnya kondisi kehidupan ekonomi masyarakat sehingga memerlukan upaya penguatan usaha ekonomi keluarga dan masyarakat. e. Belum optimalnya ketahanan pangan masyarakat perdesaan, karena hal ini berpengaruh pada rendahnya ketersediaan cadangan pangan perdesaan. f. Belum memadainya ketersediaan dan kualitas sarana prasarana perdesaan seperti sarana prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, permukiman, telekomunikasi, kelistrikan, sumber daya air, produksi pertanian dan sebagainya. g. Rendahnya akses masyarakat (khususnya di desa-desa terisolir, terpencil, perbatasan, dan kawasan kritis) terhadap pelayanan pemerintah dalam aspek penyebaran dan pendayagunaan teknologi tepat guna, sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas kerja, rendahnya peluang pemasaran hasil usaha, serta rendahnya pendapatan masyarakat. Ekonomi Lokal dan Daerah Tantangan pengembangan ekonomi lokal dan daerah adalah berlakunya kesepakatan perdagangan bebas, yang berimplikasi pada penetrasi pasar dan kompetisi di antara negaranegara peserta perdagangan bebas. Aliran barang dan jasa (goods and services) dari luar negeri ke Indonesia tidak dapat dihindarkan lagi. Produk-produk dari luar negeri dapat masuk dengan mudah ke Indonesia karena tidak adanya hambatan bea masuk sehingga produk-produk luar negeri tersebut dapat dengan mudah didapat di Indonesia dan bersaing langsung dengan produk sejenis di Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan daya saing ekonomi lokal dan daerah sangat dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing nasional agar mampu bersaing dengan negara-negara lain. Percepatan pengembangan ekonomi lokal dan daerah pun tidak dapat dilaksanakan secara optimal apabila pelaksanaan otonomi daerah masih belum terlaksana secara optimal. Saat ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas dalam mengelola pengembangan ekonomi lokal dan daerah. Masalah kewenangan pusat dan daerah, kepastian lahan, ketersediaan infrastruktur, akses terhadap modal untuk pengembangan usaha ekonomi, dan rendahnya akses kepada pasar, adalah beberapa tantangan daerah dalam rangka mengoptimalkan kewenangannya untuk pembangunan ekonomi lokal dan daerah. Selain itu, pengembangan ekonomi lokal dan daerah dibutuhkan untuk menjadi perekat keterkaitan antara desa-kota di dalam kabupaten dan provinsi, serta antara pusatpusat pertumbuhan lokal dengan daerah belakangnya (hinterlandnya). Terkait dengan isuisu mengenai daya saing di atas, maka masalah mendasar dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah adalah sebagai berikut. a. Belum optimalnya kapasitas tata kelola ekonomi daerah (i) Dukungan peraturan dan perundangan yang berpihak dan tidak saling tumpang tindih yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, dalam upaya pengembangan ekonomi daerah masih kurang. (ii) Peran dan fungsi kelembagaan pengelolaan ekonomi daerah, terutama di bidang permodalan dan perizinan usaha masih lemah.
II.9 - 32
(iii)Akses pada data dan informasi potensi investasi daerah, serta penelitian pengembangan ekonomi daerah masih terbatas. (iv) Efektivitas dan efisiensi pengelolaan ekonomi daerah masih kurang. b. Rendahnya kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan ekonomi daerah secara lintas sektor dan lintas wilayah (i) Kapasitas SDM aparatur daerah dalam mengelola ekonomi daerah secara lintas sektor masih rendah. (ii) Kompetensi SDM stakeholder lokal/daerah (masyarakat dan pengusaha lokal/daerah) masih rendah. (iii)Partisipasi stakeholder lokal/daerah dalam pengambilan keputusan terkait pengembangan ekonomi daerah masih rendah. c. Terbatasnya kapasitas lembaga dan fasilitasi pengembangan ekonomi lokal dan daerah
dalam
mendukung
percepatan
(i) Fungsi lembaga-lembaga fasilitasi ekonomi daerah, baik di tingkat pusat maupun di daerah, baik dari segi kapasitas, jumlah maupun jangka waktunya kurang optimal. Salah satunya adalah fasilitasi dalam percepatan sertifikasi karena hingga saat ini masih terdapat lahan, terutama lahan di kawasan transmigrasi yang belum disertifikasi sehingga mengakibatkan ketidakjelasan status lahan yang berdampak pada kepemilikan aset sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi daerah. (ii) Kapasitas tenaga fasilitator pengembangan ekonomi lokal dan daerah masih terbatas. d. Kurangnya kerjasama antardaerah dan kemitraan pemerintah-swasta dalam upaya pengembangan ekonomi lokal dan daerah (i) Hubungan kerjasama antardaerah belum optimal yang disebabkan karena masih belum adanya kesadaran untuk bekerja sama antar pemerintah daerah. (ii) Kemitraan antara Pemerintah-Swasta dalam pengembangan ekonomi daerah rendah yang disebabkan karena kurangnya pemahaman akan pentingnya kerjasama pemerintah-swasta. e. Kurang meratanya pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah Kurang bertumbuhnya pengembangan ekonomi lokal dan daerah terutama disebabkan oleh kurang meratanya pembangunan jaringan sarana prasarana pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah, terutama transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi, serta air baku.
Kawasan Strategis Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan kawasan strategis adalah mengupayakan kawasan yang berdaya saing melalui pengembangan kuantititas, kualitas dan kontinuitas produk-produk unggulan terutama terhadap masuknya produk yang sama dari negara lain, seperti dalam menindak lanjuti kesepakatan Perdagangan Bebas AseanChina (ACFTA). Masalah yang dihadapi untuk pengembangan kawasan strategis adalah masih minimnya infrastruktur di kawasan strategis; belum kondusifnya pelayanan pengembangan investasi di daerah; lemahnya SDM pengelola usaha pada sektor atau produk-produk II.9 - 33
unggulan kawasan; lemahnya aspek kelembagaan dan pengelolaan serta kurangnya efektifitas koordinasi dalam rangka kerjasama keterpaduan program/kegiatan lintas sektor, lintas pelaku usaha dan lintas wilayah; dan masih adanya sejumlah peraturan yang belum dapat diselesaikan dalam jangka satu tahun. Semua masalah tersebut mengakibatkan belum optimalnya peran pusat-pusat pertumbuhan bagi pengembangan ekonomi di wilayah hinterland-nya. Kawasan Perbatasan Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan kawasan perbatasan pada tahun 2011 antara lain : a. Belum disepakatinya batas wilayah negara dan batas yurisdiksi dengan negara tetangga; b. Pencegahan dan penanganan kegiatan ilegal seperti penyelundupan, pencurian ikan, penebangan hutan ilegal, dan perdagangan manusia yang terjadi di kawasan perbatasan; c. Masih rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat khususnya di kecamatan perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar; d. Masih rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur berkembangnya perekonomian wilayah.
yang menyebabkan sulit
Permasalahan yang berpotensi muncul pada tahun 2011 berdasarkan hasil pencapaian pembangunan sebelumnya adalah sebagai berikut : a. Belum selesainya penyusunan Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Perbatasan sebagai acuan bagi penyusunan rencana induk dan rencana aksi pengembangan kawasan perbatasan diperkirakan akan menghambat upaya-upaya pembangunan di kawasan perbatasan; b. Koordinasi yang dilaksanakan oleh BNPP dengan Kementerian/Lembaga maupun oleh Pemerintah Daerah terkait dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun pengendalian, diperkirakan belum berjalan optimal karena masih diperlukan upaya konsultasi, komunikasi, dan sosialisasi yang cukup intensif mengenai mekanisme koordinasi yang dilakukan. Di samping itu, hambatan koordinasi juga dapat disebabkan oleh belum dibentuknya Badan Pengelola Perbatasan ditingkat daerah. Daerah Tertinggal Dalam perkembangannya, pembangunan daerah tertinggal menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan, khususnya berkaitan dengan beragamnya kondisi dan intensitas permasalahan yang dihadapi antardaerah. Dengan demikian, upaya membangun daerah tertinggal memerlukan adanya pemahaman terhadap tantangan dan permasalahan yang perlu dihadapi dalam upaya percepatan pembangunan daerah tertinggal. Beberapa tantangan dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal adalah sebagai berikut: a. Pemekaran wilayah yang melahirkan DOB yang termasuk kategori daerah tertinggal. Kebijakan otonomi daerah seharusnya sejalan dengan tujuan utama dalam percepatan pembangunan daerah, namun memiliki tantangan yang cukup besar khususnya berkaitan dengan kuantitas maupun kualitas SDM pada jajaran aparatur pemerintah yang umumnya masih balum memadai. II.9 - 34
b. Membangun sinergi antara pemerintah pusat dan daerah sinergi lintassektor, sehingga penyelesaian permasalahan ditangani secara holistik dan tidak terfragmentasi. c. Kebutuhan dukungan pendanaan yang memadai untuk menjaga keberlanjutan percepatan pembangunan daerah tertinggal, yang diharapkan tidak hanya tergantung dari pemerintah, tetapi sejalan dengan peningkatan daya saing daerah diharapkan dapat didukung melalui kemitraan dengan dunia usaha dalam meningkatkan perekonomian daerah. Sementara itu, beberapa permasalahan mendasar yang dihadapi daerah tertinggal adalah sebagai berikut: a. Belum optimalnya pengelolaan potensi sumber daya lokal dalam pengembangan perekonomian daerah tertinggal, yang diantaranya disebabkan oleh: (i) rendahnya kemampuan permodalan, penguasaan teknologi, informasi pasar dan investasi dalam pengembangan produk unggulan daerah, dan (ii) rendahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya lokal; b. Rendahnya kualitas SDM dan tingkat kesejahteraan masyarakat daerah tertinggal, yang tercermin dari rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan angkatan kerja, rendahnya derajat kesehatan masyarakat, dan tingginya tingkat kemiskinan; c. Lemahnya koordinasi antarpelaku pembangunan di daerah tertinggal dan belum dimanfaatkannnya kerjasama antardaerah tertinggal pada aspek perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan pembangunan; d. Belum optimalnya tindakan afirmatif kepada daerah tertinggal, khusunya pada aspek kebijakan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, koordinasi, dan pengendalian pembangunan; e. Rendahnya aksesibilitas daerah tertinggal terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah, khususnya terhadap sentra-sentra produksi dan pemasaran, karena belum didukung oleh sarana dan prasarana angkutan barang dan penumpang yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tertinggal; f. Terbatasnya sarana dan prasarana pendukung ekonomi lainnya, yang meliputi energi listrik, telekomunikasi, irigasi dan air bersih.
Kawasan Rawan Bencana Perubahan paradigma penanganan bencana yang semula terfokus pada penanganan darurat, menjadi lebih berorientasi pada pencegahan dan pengurangan risiko bencana, masih menghadapi permasalahan yang terkait dengan besarnya potensi ancaman berbagai jenis bencana alam. Permasalahan ini perlu disikapi dengan peningkatan aspek pengurangan risiko bencana secara keseluruhan dan diperlukan komitmen bersama yang kuat dan jelas dalam menangani kebencanaan di tingkat nasional maupun daerah. Tantangan yang dihadapi pada tahun 2011 adalah; a.
Belum memadainya kinerja penanggulangan bencana. Permasalahan tersebut terkait dengan percepatan pembentukan kelembagaan di daerah, peningkatan kapasitas kelembagaan dan masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana, penanganan kedaruratan termasuk pemenuhan peralatan dan logistik di kawasan rawan bencana, dan peningkatan kapasitas dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi, serta penguatan basis data yang termutakhirkan dan teradministrasi secara reguler.
b.
Masih rendahnya kesadaran terhadap risiko bencana dan masih rendahnya pemahaman terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, meliputi II.9 - 35
rendahnya kesadaran terhadap upaya pengurangan risiko bencana serta kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Secara rinci masalah yang dihadapi terkait dengan kesadaran terhadap upaya pengurangan risiko bencana, antara lain: (a) keterbatasan jaringan informasi dan komunikasi yang efektif dalam penyebaran informasi kebencanaan kepada masyarakat; (b) penjabaran kebijakan nasional kedalam kebijakan daerah secara sinergis dan terintegrasi; dan (c) masih kurangnya pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengurangi risiko bencana. Permasalahan yang berpotensi muncul pada tahun 2011 berdasarkan hasil pencapaian pembangunan sebelumnya dan tantangan pembangunan hingga tahun 2013 adalah sebagai berikut: a.
Pembentukan dan penguatan kapasitas kelembagaan bencana di daerah sampai dengan tingkat kabupaten/kota, peningkatan kapasitas penanganan kedaruratan Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan yang memadai.
b.
Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana yang sinergis antara pusat dan daerah dalam sistem perencanaan pembangunan daerah, penguatan jaringan informasi dan komunikasi, serta pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengurangi risiko bencana.
Desentralisasi, Hubungan Pusat Daerah dan Antar Daerah Seiring dengan kebutuhan dan mendorong harmonisasi kebijakan antara pemerintah daerah Provinsi dan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota, serta terbentuk proses pembangunan yang lebih efisien dan efektif serta yang mampu meningkatkan sinergi antara Pusat dan daerah, teridentifikasi beberapa permasalahan yang terkait dengan desentralisasi, serta hubungan pusat daerah dan antardaerah dapat dirinci sebagai berikut. a. Belum mantapnya pelaksanaan kebijakan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. b. Masih banyak daerah yang berpikir dan bertindak kedaerahan sehingga belum memanfaatkan peluang kerja sama daerah di berbagai bidang (ekonomi dan keuangan, pelayanan publik, pengelolaan sumber daya alam). c. Masih belum efektifnya pelaksanaan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. d. Masih belum efektifnya sistem pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintahan daerah agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berjalan dengan lebih baik. Kebutuhan akan sistem pengawasan dan evaluasi kinerja pemerintahan daerah yang andal makin diperlukan terlebih saat dana yang ditransfer ke daerah makin membesar serta makin banyaknya daerah otonom baru di wilayah yang jauh dan terpencil dari kedudukan pemerintah provinsi dan Pemerintah. Selain itu, jumlah daerah yang memiliki Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) masih relatif rendah dan perlu ditingkatkan.
Tata Kelola dan Kapasitas Pemerintahan Daerah Selain itu, untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik diperlukan kapasitas pemerintahan daerah yang berkualitas. Terdapat beberapa permasalahan yang terkait tersebut yaitu sebagai berikut. II.9 - 36
a. Belum mantapnya kelembagaan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan Standar Pelayanan Minimal. b. Masih belum meratanya tingkat kompetensi atau kualitas dan pengelolaan atau pendayagunaan aparatur pemerintah daerah untuk melaksanakan pelayanan publik berdasarkan SPM. Selain itu sistem pengelolaan PNS daerah belum terintegrasi yang meliputi sistem rekruitmen, pendidikan, penempatan, promosi, dan mutasi PNS. c. Permasalahan pada bidang keuangan pemerintah daerah, antara lain: (a) belum optimalnya penggunaan dana perimbangan daerah, (b) belum optimalnya pendapatan pajak dan retribusi daerah yang tepat dan proporsional sehingga dapat menjadi sumber utama penerimaan daerah sekaligus tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah, (c) belum optimalnya pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber alternatif penerimaan daerah seperti pinjaman daerah, aset daerah, BLUD, BUMD, dan (d) masih perlu ditingkatkannya profesionalisme dalam pengelolaan keuangan daerah.
9.2.2
Sasaran
Berdasarkan permasalahan diatas, sasaran kebijakan pembangunan wilayah dan tata ruang tahun 2011 yaitu: Data dan Informasi Spasial Sasaran prioritas bidang data dan informasi spasial tahun 2011 adalah: a. Koordinasi kegiatan survei dan pemetaan nasional: (i) Tersusunnya kerangka peraturan perundang-undangan di bidang survei dan pemetaan nasional; (ii) Tersusunnya standar, prosedur, dan manual teknis bagi kegiatan survei dan pemetaan nasional, termasuk peraturan terkait dengan pengadaannya; b. Kuantitas dan kualitas data dan informasi spasial: (i) Tersedianya kerangka dasar dan data dasar pemetaan nasional; (ii) Tersedianya peta dasar dan peta tematik wilayah nasional; (iii) Terbarukannya peta dasar dan tematik nasional; c. Akses data dan informasi spasial: (i) Terbangunnya simpul jaringan di beberapa provinsi dan kabupaten/kota; d. Sumber Daya Manusia di bidang survei dan pemetaan belum mencukupi: (i) Meningkatnya jumlah tenaga terampil di bidang survei dan pemetaan; (ii) Tersusunnya kurikulum dan silabus nasional bagi pelatihan survei dan pemetaan. Penataan Ruang Sasaran prioritas bidang penyelenggaraan penataan ruang tahun 2011 adalah: a. Terselesaikannya 14 Perda RTRW Provinsi, 343 Perda RTRW Kabupaten, dan 77 Perda RTRW Kota, dan Perpres RTR KSN sebagai acuan pembangunan di daerah. b. Terbentuknya integrasi RTRW dan rencana pembangunan melalui bantuan teknis dan pembinaan teknis penataan ruang di daerah c. Tersedianya peta dasar dan tematik sebagai dasar untuk penyusunan rencana rinci
II.9 - 37
d. Tersosialisasikannya berbagai peraturan perundangan-undangan bidang penataan ruang dan meningkatnya kapasitas kelembagaan penataan ruang di daerah. e. Tercapainya peningkatan jumlah Pejabat Penyidik PNS Penataan Ruang Pertanahan Dalam upaya meningkatkan efektivitas pengelolaan pertanahan sehingga lebih berkontribusi dalam pembangunan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat banyak, sasaran yang perlu dicapai pada tahun 2011 adalah: a. Penguatan kepastian hukum hak atas tanah dan peningkatan pelayanan pertanahan, melalui: (i) Penyediaan peta pertanahan mencakup 2.800.000 hektar. Ketersediaan peta pertanahan tidak hanya bermanfaat untuk mendapatkan akurasi lokasi tanah, tetapi juga untuk mencegah resiko sertifikat ganda dan konflik pertanahan. (ii) Legalisasi aset tanah meliputi 781.650 bidang. (iii)Pembangunan gedung kantor sebanyak 27 unit, Rehabilitasi Gedung Kantor sebanyak 12 unit, Pengadaan sarana dan prasarana kantor serta peralatan teknis sebanyak 16 unit. (iv) Penyediaan Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (Larasita) di 419 Kabupaten/Kota. b. Penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T), melalui: (i) Penyusunan neraca penatagunaan tanah (PGT) di daerah pada 100 kabupaten/kota. (ii) Inventarisasi P4T sebanyak 335.665 bidang. (iii)Inventarisasi dan identifikasi tanah terindikasi terlantar sebanyak 75.900 ha. (iv) Redistribusi tanah sebanyak 181.825 Bidang. c. Penataan dan penegakan peraturan perundang-undangan terkait tanah, melalui: (i) Penanganan sengketa, konflik dan perkara pertanahan sebanyak 2.791 kasus. (ii) Penyusunan paket rancangan peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang pertanahan dalam rangka pelaksanaan reforma agraria, pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, konsolidasi tanah serta dalam rangka mendukung pelaksanaan Undang-undang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Perkotaan Sasaran Pembangunan Perkotaan adalah sebagai berikut: a. Terlaksananya penyiapan kebijakan dan regulasi pembangunan perkotaan yang dapat menjadi payung bagi penyelenggaraan pembangunan perkotaan oleh pemerintah pusat, sektor maupun pemerintah daerah. b. Terlaksananya penurunan tingkat kemiskinan, pemanfaatan modal sosial dan budaya masyarakat, serta penurunan tingkat kerawanan sosial di perkotaan. c. Terbangunnya kelembagaan dan kerjasama antarkota, termasuk koordinasi pembangunan perkotaan di tingkat pusat, sektor, maupun daerah serta lembaga pengelola kawasan perkotaan/metropolitan. d. Terlaksananya peningkatan kapasitas pemerintah kota dalam melaksanakan perencanaan dan pengelolaan pembangunan perkotaan, termasuk penerapan prinsip tata II.9 - 38
kepemerintahan yang baik dan pengembangan pembiayaan penyediaan pelayanan publik di perkotaan. e. Terlaksananya peningkatan peran sektor informal dan kelembagaan ekonomi dalam pengembangan ekonomi perkotaan. f. Terlaksananya peningkatan pengelolaan lingkungan, antisipasi dampak perubahan iklim, dan mitigasi bencana yang terintegrasi dalam pengelolaan perkotaan. g. Terlaksananya peningkatan implementasi rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di perkotaan, termasuk dalam perizinan pemanfaatan ruang (IMB).
Perdesaan Sasaran Pembangunan Perdesaan tahun 2011 adalah sebagai berikut: a. Meningkatnya kapasitas pemerintahan desa dan kelurahan dalam penyusunan perencanaan pembangunan desa, pelayanan administrasi, penetapan indikator keberhasilan pemerintahan desa, penetapan dan penegasan batas wilayah desa, penyusunan data base desa dan kelurahan, pemantapan Badan Permusyawaratan Desa, penyusunan perda tentang tata ruang kawasan perdesaan, pengembangan pusat pertumbuhan antar desa (PPTAD), pemberdayaan adat dan budaya nusantara, Pemberdayaan dan Kesejahteraan keluarga (PKK), pemantapan kelembagaan Posyandu, penanggulangan HIV dan AIDS, perlindungan dan penanganan tenaga kerja, serta pemberantasan buta aksara. b. Meningkatnya kemandirian dan keberdayaan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan perdesaan dalam pengelolaan keuangan dan asset desa, pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam, pengembangan wisata, pemberdayaan perempuan. c. Meningkatnya ekonomi perdesaan melalui peningkatan sarana prasarana produksi, distribusi dan konsumsi. d. Meningkatnya ketahanan pangan perdesaan melalui pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah Desa dan peningkatan pemahaman agribisnis di perdesaan. e. Meningkatnya sarana prasarana perdesaan melalui peningkatan akses dan ketersediaan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. f. Meningkatnya pemanfaatan dan konservasi sumber daya alam melalui pemanfaatan teknologi tepat guna, Desa Mandiri Energi (DME), konservasi tanah, dan rehabilitasi lahan dengan pengembangan mangrove, pengelolaan hutan, pemanfaatan lahan dan pesisir dan pengelolaan sampah.
Ekonomi Lokal dan Daerah Sasaran dari pengembangan ekonomi lokal dan daerah adalah: a. Terwujudnya iklim investasi yang kondusif dalam mendukung pengembangan ekonomi daerah dengan (i) Tersusunnya regulasi/kebijakan pengembangan ekonomi lokal dan daerah terkait dengan optimalisasi potensi, promosi, sarana dan prasarana, kerjasama serta kelembagaan ekonomi daerah; (ii) Berkembangnya lembaga usaha ekonomi daerah; (iii) Tersedianya data dan informasi tentang terkait dengan potensi, sarana dan prasarana, kerjasama dan kelembagaan ekonomi daerah, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, transmigrasi, dan lain-lain; II.9 - 39
(iv) Terfasilitasinya daerah dalam memecahkan permasalahan implementasi kebijakan yang terkait dengan potensi, promosi, sarana dan prasarana, kerjasama serta kelembagaan ekonomi daerah, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, transmigrasi, dan lain-lain; (v) Terwujudnya proses perijinan di daerah yang sederhana dan efisien; (vi) Tersedianya hasil penelitian dan pengembangan untuk pengembangan masyarakat, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, transmigrasi, dan lain-lain yang dijadikan rekomendasi/ kebijakan; dan (vii) Tersedianya data dan informasi kawasan potensi ekonomi lokal, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, transmigrasi, dan lain-lain. b. Meningkatnya kemandirian dan keberlanjutan program/ kegiatan pengembangan ekonomi daerah, terutama di daerah dengan (i) Terlaksananya peningkatan wawasan aparatur dalam bidang pengembangan ekonomi lokal dan daerah; (ii) Terbentuknya forum lintas stakeholder terkait perencanaan dan penganggaran program/kegiatan pengembangan ekonomi lokal dan daerah; (iii) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan masyarakat dan kawasan transmigrasi di kawasan tertinggal, perbatasan, serta strategis dan cepat tumbuh, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, dan lain-lain; (iv) Terlaksananya pelatihan Business Development Services (BDS) bagi masyarakat dan pengusaha lokal/ daerah di kawasan transmigrasi di kawasan tertinggal, perbatasan, serta strategis dan cepat tumbuh, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, dan lain-lain; (v) Terbentuknya forum lintas stakeholder terkait perencanaan dan penganggaran program/ kegiatan pengembangan ekonomi lokal dan daerah di kawasan transmigrasi di kawasan tertinggal, perbatasan, serta strategis dan cepat tumbuh, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, dan lain-lain; serta (vi) Terwujudnya optimalisasi pengembangan wilayah tertinggal, perbatasan, pesisir dan pulau kecil dan kawasan strategis dan cepat tumbuh, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, dan lain-lain. c. Terintegrasinya sumber daya dari berbagai stakeholder (pemerintah, dunia usaha, dan akademisi) dalam upaya fasilitasi pengembangan ekonomi lokal dan daerah dengan (i) Terlaksananya penyusunan kebijakan pelaksanaan dan perencanaan pengembangan ekonomi lokal dan daerah; (ii) Terintegrasinya sumber daya dari berbagai stakeholder (pemerintah, dunia usaha, dan akademisi) dalam upaya fasilitasi pengembangan ekonomi lokal dan daerah; (iii) Meningkatnya ketersediaan tenaga fasilitasi dan jangka waktu fasilitasi kepada pelaku usaha ekonomi daerah mengenai kualitas produksi, pengolahan dan pemasaran; serta (iv) Meningkatnya fasilitasi pengembangan usaha ekonomi kawasan transmigrasi sebagai kawasan perkotaan baru di kawasan tertinggal, perbatasan, serta strategis dan cepat tumbuh, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, dan lain-lain. d. Meningkatnya hubungan kerjasama antar daerah dan kemitraan pemerintahswasta dalam mendukung pengembangan ekonomi lokal dan daerah dengan (i) Meningkatnya kualitas kerja sama antar daerah dan kemitraan pemerintah swasta dalam mendukung pengembangan ekonomi lokal dan daerah;
II.9 - 40
(ii) Meningkatnya kualitas kerja sama antar daerah dan kemitraan pemerintah swasta dalam mendukung pengembangan ekonomi lokal dan daerah; (iii) Meningkatnya kualitas kerja sama antar daerah dan kemitraan pemerintah swasta dalam mendukung pengembangan ekonomi kawasan di Kawasan kawasan tertinggal, perbatasan, serta strategis dan cepat tumbuh, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, dan lain-lain. e. Meningkatnya akses terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah dengan (i) Meningkatnya akses terhadap sarana dan prasarana kawasan transmigrasi di kawasan tertinggal, perbatasan, serta strategis dan cepat tumbuh, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, dan lain-lain; (ii) Tertanganinya kawasan-kawasan pusat pertumbuhan di perdesaan, termasuk kawasan agropolitan, minapolitan, transmigrasi, dan lain-lain; serta (iii) Terbangunnya kawasan yang didukung oleh infrastruktur ekonomi dan sosial wilayah.
Kawasan Strategis Sasaran pengembangan kawasan strategis Tahun 2011 antara lain : penyelesaian sejumlah peraturan yang terkait penetapan lokasi KEK, pemantapan pengelolaan KAPET, penetapan dewan nasional dan dewan kawasan KEK, pengembangan insenstif fiskal dan insentif non fiskal termasuk pelimpahan kewenangan dalam pelayanan satu pintu, dan pengembangan kualitas SDM pelaku usaha di kawasan strategis di daerah khususnya KAPET.
Kawasan Perbatasan Sasaran prioritas bidang pembangunan kawasan perbatasan pada Tahun 2011 merupakan kelanjutan dari sasaran pembangunan tahun sebelumnya sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan dalam RPJM Nasional 2010-2014, antara lain : a. Terwujudnya kedaulatan wilayah nasional yang ditandai dengan kejelasan dan ketegasan batas-batas wilayah negara; b. Menurunnya kegiatan ilegal dan terpeliharanya lingkungan hidup di kawasan perbatasan; c. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan menurunnya jumlah penduduk miskin di kecamatan perbatasan dan pulau kecil terluar; d. Berfungsinya Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) sebagai pusat pelayanan kawasan perbatasan; e. Meningkatnya kondisi perekonomian kawasan perbatasan, yang ditandai dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi di 38 kabupaten/ kota perbatasan yang diprioritaskan penanganannya, khususnya pada 27 kabupaten perbatasan yang tergolong daerah tertinggal.
II.9 - 41
Daerah Tertinggal Sejalan dengan pelaksanaan RPJMN 2010-2014, sasaran pembangunan daerah tertinggal untuk tahun 2011 adalah: a. Meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar 6,4 persen pada tahun 2011; b. Berkurangnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal hingga mencapai ratarata sebesar 17,6 persen pada tahun 2011; dan c. Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia di daerah tertinggal yang diindikasikan oleh rata-rata Indeks pembangunan manusia (IPM) pada tahun 2011 menjadi 69,6.
Kawasan Rawan Bencana Berdasarkan penjabaran permasalahan-permasalahan tersebut di atas, maka sasaransasaran pokok pembangunan tahun 2011 adalah sebagai berikut : a. Terintegrasinya kebijakan pengurangan risiko bencana dalam sistem perencanaan pembangunan tingkat nasional dan daerah; b. Terlaksananya penanganan kedaruratan yang efektif, dan pemberian bantuan kemanusiaan di wilayah terkena dampak bencana alam dan kerusuhan sosial; serta c. Terlaksananya rehabilitasi dan rekonstruksi serta pembangunan berkelanjutan yang berdimensi pengurangan risiko bencana di wilayah yang terkena dampak bencana alam dan kerusuhan sosial.
Desentralisasi, Kualitas Hubungan Pusat Daerah dan Antar Daerah Dalam RPJMN 2010-2014, sasaran untuk prioritas bidang ini adalah meningkatnya efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditandai dengan tertatanya perumusan kebijakan dan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan antartingkat pemerintahan, peningkatan kerja sama daerah dan manfaat yang diperoleh, pembatasan/penundaan pemekaran daerah, dan terlaksananya sistem pemantauan dan evaluasi penyelenggaran pemerintahan daerah yang baik. a. Penataan Urusan Pemerintahan Daerah dan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (i) Terbentuknya 1 (satu) buah peraturan pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai turunan dari revisi UU No. 32 Tahun 2004. (ii) Terlaksananya 1 paket sosialisasi penyempurnaan pembagian urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan kepada K/L dan (iii)Terdapat 70% daerah atau 10 Provinsi yang sudah menyelesaikan perda mengenai kewenangan/urusan (wajib dan pilihan) pada pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. (iv) Terlaksananya 70% perda kewenangan/urusan pada pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota yang telah dievaluasi.
II.9 - 42
(v) Terlaksananya 18 bidang urusan yang telah disusun Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) oleh K/L dan fasilitasi implementasi. (vi) Terlaksananya harmonisasi 30% peraturan perundang-undangan sektoral dengan peraturan perundang-undangan desentralisasi dan otonomi daerah di pusat b. Penataan Daerah (i) Meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di Daerah Otonom Baru (DOB); (ii) Menghentikan sementara pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) sampai terlaksananya evaluasi menyeleuruh terhadap DOB; (iii)Meningkatkan kinerja Daerah Otonom Baru (DOB) melalui peningkatan peran DPOD dan percepatan pembangunan di DOB; (iv) Evaluasi menyeluruh terhadap kinerja DOB yang difokuskan pada seluruh bidang (ekonomi, sosial dan politik) dengan menerbitkan Moratorium Pemerintah. c. Penyelenggaraan Hubungan Pusat dan Daerah serta Kerja Sama Daerah (i) Jumlah daerah yang melaksanakan kerja sama daerah dalam bidang ekonomi, prasarana dan pelayanan publik meningkat 15%. (ii) Terdapat 60% daerah yang menerima manfaat dari kerja sama daerah dalam bidang ekonomi, prasarana dan pelayanan publik. (iii)Terdapat 1 paket sistem database dan sistem monev kerja sama daerah yang disusun (iv) Terlaksananya 75% kegiatan fasilisasi kerjasama antar daerah yang diusulkan. (v) Terdapat 20% kabupaten/kota yang telah melaksanakan pelayanan administrasi terpadu kecamatan serta telah memiliki dan menerapkan regulasi pelayanan terpadu di tingkat kecamatan d. Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah (i) Melakukan fasilitasi penguatan kapasitas penyelenggaraan Pemerintahan Aceh sebagai daerah berotonomi khusus; (ii) Mempercepat lahirnya peraturan pelaksana yang diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; (iii)Melakukan harmonisasi dan sinkronisasi berbagai peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah, untuk menghindari ekonomi biaya tinggi, serta menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam mendorong kemajuan daerah dan penciptaan lapangan kerja; serta (iv) Meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui: penataan kelembagaan daerah di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi; evaluasi penyelenggaraan pemerintah daerah; dan pengembangan kapasitas pemerintah daerah Tata Kelola dan Kapasitas Pemerintahan Daerah Dari RPJMN 2010-2014, sasaran untuk prioritas bidang Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang memiliki kapasitas yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah dalam kerangka NKRI yang ditandai dengan terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efisien dan efektif, meningkatnya efisiensi dan efektivitas penggunaan dana perimbangan daerah, aparatur pemerintah daerah dan anggota DPRD yang profesional, terlaksananya standar pelayanan minimal, serta penetapan dan pelaksanaan peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
II.9 - 43
a. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD (i) Tersusunnya peraturan pemerintah pengganti PP No. 41 Tahun 2007 dan peraturanperaturan pelaksanaannya agar organisasi perangkat daerah dapat efektif dan efisien dalam melaksanakan seluruh SPM yang telah ditetapkan serta mengharmoniskan dengan amanat perundang-undangan sektor dalam pembentukan organisasi sektor di daerah. (ii) Meningkatnya Implementasi Urusan Pemerintahan Daerah dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Daerah (iii)Kapasitas kepala daerah dan pimpinan DPRD yang memadai dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah b. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD (i) Terintegrasinya seluruh diklat bagi PNS Daerah untuk menunjang penyelenggaraan pemerintahan, politik dan penerapan SPM di daerah c. Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah (i) Meningkatkan persentase jumlah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang telah memanfaatkan DAK sesuai Petunjuk Pelaksanaan, untuk mengoptimalkan penyerapan DAK. (ii) Memperkuat aspek peraturan perundangan dalam rangka pembinaan dan fasilitasi Dana Perimbangan (melalui Permendagri dan Surat Edaran Mendagri) (iii)Membina dan meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam penyusunan APBD (iv) Meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam administrasi pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) (v) Meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah dalam pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.
9.3
Arah Kebijakan Pembangunan Tahun 2011
Untuk menanggulangi berbagai permasalahan wilayah dan tata ruang, serta dalam mencapai sasaran ke depan, maka arah kebijakan pembangunan bidang wilayah dan tata ruang tahun 2011 adalah : Pembangunan Data dan Informasi Spasial Arah kebijakan pembangunan bidang data dan informasi spasial tahun 2011 adalah: a. Menjaga keutuhan NKRI melalui pemetaan seluruh wilayah nasional termasuk wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar, dengan memusatkan perhatian pada penyelesaian pemetaan batas wilayah RI-Malaysia dan RI-RDTL, serta melanjutkan upaya penyelesaian batas RI-PNG; b. Memperkuat daya saing perekonomian nasional melalui penyediaan data dan informasi spasial yang meningkatkan kualitas tahapan-tahapan perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi dalam pembangunan nasional, dengan memusatkan perhatian pada (1) penyelesaian simpul jaringan di provinsi; (2) penyelesaian pembangunan jaring kontrol geodesi dan geodinamika; (3) pemenuhan kebutuhan Peta Rupabumi Indonesia (RBI) Skala 1:50.000, Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) Skala II.9 - 44
1:250.000 dan Skala 1:50.000; dan (4) melanjutkan upaya pemenuhan kebutuhan Peta RBI Skala 1:25.000. Sementara itu, strategi prioritas bidang data dan informasi spasial ke depan, terbagi kedalam: a. Strategi dalam meningkatkan koordinasi kegiatan survei dan pemetaan nasional: (i) Menyusun kerangka peraturan perundang-undangan tentang kegiatan survei dan pemetaan; (ii) Menyusun standar, prosedur, dan manual bidang survei dan pemetaan nasional; b. Strategi dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas data dan informasi spasial: (i) Memprioritaskan tersedianya peta dasar dan tematik nasional baik di darat maupun di laut pada wilayah nasional berikut : • Wilayah nasional dengan nilai strategis keamanan dan pertahanan tinggi; • Wilayah nasional yang terkena bencana nasional yang mengakibatkan perubahan rona muka bumi secara masif; • Wilayah nasional yang belum tercakup kegiatan survei dan pemetaan; • Wilayah dengan potensi kegiatan ekonomi tinggi; • Wilayah dengan kegiatan ekonomi tinggi dengan data dan informasi tersedia dengan kualitas rendah terutama sebagai akibat jangka waktu valid data dan informasi telah terlampaui (20 tahun untuk data dasar dan 5 tahun untuk data tematik); (ii) Meningkatkan ketersediaan kerangka dasar dan data dasar pemetaan nasional; (iii) Melakukan pemutakhiran pada data dasar dan tematik yang ada. c. Strategi dalam meningkatkan akses data dan informasi spasial: (i) Membangun jaringan JDSN hingga mencakup seluruh instansi pemerintah pusat, dan beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota; d. Strategi dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia di bidang survei dan pemetaan: (i) Mengadakan pelatihan sumberdaya manusia di bidang survei dan pemetaan; (ii) Menyusun kurikulum dan silabus nasional bagi pelatihan survei dan pemetaan. Penataan Ruang Arah kebijakan prioritas bidang penyelenggaraan penataan ruang pada tahun 2011 adalah pemantapan instrumen pelaksanaan penataan ruang untuk mendukung sinergi pembangunan pusat dan daerah. a. b. c. d.
Untuk mencapai arah kebijakan tersebut, dirumuskan strategi, yaitu : Percepatan penyelesaian Perda RTRW Provinsi dan Kab/Kota sebagai amanat UU No. 26 Tahun 2007 Mewujudkan sinkronisasi program pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Mempercepat penyelesaian sistem informasi penataan ruang terpadu, peta dasar dan tematik Meningkatkan kapasitas kelembagaan penataan ruang dengan meningkatkan kualitas SDM dan koordinasi antar sektor dan wilayah, dan membangun kerjasama dan kesepakatan antar wilayah II.9 - 45
e. Mengoptimalkan pengawasan penyelenggaraan penataan ruang termasuk didalamnya melalui pengendalian pemanfaatan ruang dan terbentuknya PPNS. Fokus prioritas bidang penyelenggaraan penataan ruang, sesuai dengan RPJMN 2010-2014 adalah: a. b. c. d.
Penyelesaian peraturan perundangan sesuai amanat undang-undang penataan ruang Peningkatan kualitas produk rencana tata ruang Sinkronisasi program pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang Peningkatan kesesuaian pemanfaatan lahan dengan rencana tata ruang
Pertanahan Arah kebijakan prioritas bidang reforma agraria adalah memantapkan efektivitas pengelolaan pertanahan melalui strategi: a. Peningkatan jaminan kepastian hukum hak masyarakat atas tanah b. Penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) termasuk pengurangan tanah terlantar. c. Peningkatan kinerja pelayanan pertanahan. d. Penataan dan penegakan hukum pertanahan serta pengurangan potensi sengketa tanah.
Pembangunan Perkotaan Sesuai dengan arah kebijakan RPJMN 2010–2014, maka arah kebijakan pembangunan tahun 2011 tetap berfokus pada mengembangkan kota sebagai suatu kesatuan kawasan/wilayah, yaitu kota sebagai pendorong pertumbuhan nasional dan regional serta kota sebagai tempat tinggal yang berorientasi pada kebutuhan penduduk kota. Walaupun demikian, kebijakan pembangunan perkotaan tahun 2011 perlu lebih difokuskan kepada pengelolaan urbanisasi, khususnya pada kota-kota besar dan kawasan metropolitan. Arah kebijakan pembangunan kawasan perkotaan tersebut diwujudkan dalam 10 (sepuluh) fokus prioritas sebagai berikut : a. Menyiapkan kebijakan pembangunan perkotaan dan meningkatkan sinkronisasi peraturan perundangan terkait pembangunan perkotaan dilakukan dengan (i) menyiapkan rancangan peraturan perundangan tentang perkotaan. (ii) menyusun NSPK dan strategi pembangunan perkotaan. b. Menurunkan tingkat kemiskinan perkotaan dilakukan dengan (i) menyiapkan kebijakan dalam pengendalian pertumbuhan penduduk di perkotaan. Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Dalam Negeri. Kegiatan ini dilaksanakan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait dengan Bab II Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama. (ii) mengembangkan kegiatan industri kreatif di kota besar/metropolitan, dan kegiatan industri agro di kota menengah. Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Kegiatan ini dilaksanakan melalui arah
II.9 - 46
kebijakan dan strategi yang terkait Bab III Bidang Ekonomi dan Bab II Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama. (iii)menyiapkan kebijakan daerah pada sektor perumahan yang berpihak kepada kelompok masyarakat miskin perkotaan dan optimalisasi pemanfaatan lahan di perkotaan. (iv) menyelenggarakan fasilitasi pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan di perkotaan, termasuk peningkatan peran PKL dan peremajaan kawasan kumuh. c. Menurunkan tingkat kerawanan sosial dan kriminalitas di perkotaan dilakukan dengan (i) meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintah kota dalam pengendalian masalah sosial dan penyakit menular. (ii) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat perkotaan, dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Perhubungan, dengan kegiatan yang selaras dengan arah kebijakan dan strategi yang terkait Bab V Bidang Sarana dan Prasarana. (iii)meningkatkan kerukunan sosial masyarakat perkotaan, dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Dalam Negeri, dengan kegiatan yang selaras dengan arah kebijakan dan strategi yang terkait Bab VI Bidang Politik. (iv) menurunkan tingkat penggunaan narkoba dan penderita HIV/AIDS. Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Kesehatan dan Badan Narkotika Nasional, dengan melaksanakan kegiatan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait Bab VII Bidang Pertahanan Keamanan dan Bab II Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama. (v) meningkatkan keamanan kawasan perkotaan, yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga yang terkait yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk dilaksanakan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait Bab VII Bidang Pertahanan Keamanan. d. Meningkatkan pemanfaatan dan pengembangan modal sosial dan budaya di perkotaan dilakukan dengan (i) meningkatkan peran lembaga masyarakat sebagai wadah interaksi dan partisipasi masyarakat perkotaan dalam proses pembangunan (ii) memelihara dan mengembangkan warisan budaya lokal (bangunan warisan budaya dan sejarah, kegiatan dan produk budaya lokal) dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang melaksanakan kegiatan dengan arah kebijakan dan strategi yang terkait Bab II Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama e. Menguatkan kelembagaan dan kerjasama antarkota dilakukan dengan (i) mengembangkan sistem informasi dan database pembangunan perkotaan yang terintegrasi antar kota dan antar kota-kabupaten provinsi-nasional. (ii) mengembangkan badan kerjasama pembangunan dan pengelolaan kawasan perkotaan khususnya kawasan metropolitan, kerjasama antarkota (sister city dan city sharing) dalam aspek infrastruktur dan pengembangan investasi. (iii)memberikan fasilitasi dalam penetapan batasan pengembangan kawasan perkotaan (iv) menyiapkan pembentukan forum koordinasi pembangunan perkotaan
II.9 - 47
(v) membangun infrastruktur perdagangan terpadu dan industri di kota menengah untuk mendorong keterkaitan kegiatan ekonomi kota-desa dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian yang melaksanakan kegiatan ini sesuai dengan arah kebijakan dan strategi yang terkait Bab III Bidang Ekonomi. f. Menguatkan kapasitas pemerintah kota dalam perencanaan, penyelenggaraan, dan pengelolaan pembangunan perkotaan serta penerapan prinsip tata pemerintahan yang baik dilakukan dengan (i) meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah kota dalam penyusunan strategi dan NSPK pembangunan perkotaan. (ii) meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah kota dalam perencanaan dan pembiayaan pembangunan kota dengan penerapan prinsip tata kepemerintahan yang baik, termasuk penerapan e-procurement dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang melaksanakannya dengan arah kebijakan dan strategi yang terkait Bab III Bidang Ekonomi dan Bab VIII Bidang Hukum dan Aparatur. (iii)mendorong kepemimpinan kota yang baik melalui pendidikan politik kepada masyarakat dalam pemilihan calon kepala daerah dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Komisi Pemilihan Umum dan Kementerian Dalam Negeri, kegiatan ini dilaksanakan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait Bab VI Bidang Politik. g. Meningkatkan penanganan polusi lingkungan dan mitigasi bencana dalam pengelolaan perkotaan dilakukan dengan (i) memberikan fasilitasi kepada pemerintah daerah dalam peningkatan kualitas pengembangan perkotaan dan kapasitas kelembagaan yang memperhatikan pengelolaan lingkungan dan berwawasan mitigasi bencana, termasuk pengelolaan sampah dan sanitasi perkotaan. (ii) meningkatkan pemahaman dan kewaspadaan masyarakat dan aparatur pemerintah kota dalam mitigasi bencana dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kegiatan ini dilaksanakan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait prioritas bidang Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Resiko Bencana dalam Bab IX Bidang Wilayah dan Tata Ruang. (iii)meningkatkan pemahaman masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan penegakan hukum lingkungan dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Negara Lingkungan Hidup; kegiatan ini dilaksanakan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait Bab X Bidang SDA dan Lingkungan Hidup . h. Meningkatkan investasi dan pembangunan ekonomi di perkotaan dilakukan dengan (i) mengembangkan potensi ekonomi lokal perkotaan melalui peningkatan pengelolaan pasar tradisional. (ii) menyiapkan kebijakan penataan kelembagaan ekonomi di perkotaan. (iii)menciptakan iklim usaha kondusif di kota-kota kecil dan menengah dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Dalam Negeri. Kegiatan ini dilaksanakan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait II.9 - 48
prioritas bidang Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah dalam Bab IX Bidang Wilayah dan Tata Ruang. (iv) meningkatkan kapasitas kelembagaan ekonomi perkotaan dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Dalam Negeri; kegiatan ini dilaksanakan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait prioritas bidang Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah dalam Bab IX Bidang Wilayah dan Tata Ruang. i. Menyediakan pelayanan publik sesuai dengan Standar Pelayanan Perkotaan dilakukan dengan (i) meningkatkan pembangunan infrastruktur pelayanan publik perkotaan sesuai dengan Standar Pelayanan Perkotaan, termasuk sarana dan prasarana permukiman. (ii) meningkatkan pembangunan infrastruktur pelayanan publik perkotaan, termasuk sarana dan prasarana permukiman; sistem jaringan transportasi perkotaan; jalan; listrik; dan telekomunikasi dan Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian ESDM dan Kementerian Kominfo; kegiatan ini dilaksanakan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait Bab V Bidang Sarana dan Prasarana. (iii)melaksanakan evaluasi terhadap inovasi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur pelayanan publik. (iv) meningkatkan penyelenggaraan pengelolaan pelayanan publik. j. Meningkatkan implementasi rencana tata ruang perkotaan dan pengendalian pemanfaatan ruang perkotaan dilakukan dengan (i) meningkatkan pengendalian pelaksanaan rencana tata ruang dalam pembangunan perkotaan. (ii) mengembangkan keterpaduan pembangunan perkotaan, serta meningkatkan pembinaan teknis pelaksanaan pengembangan perkotaan di kawasan metropolitan (PKN, PKW, dan PKSN). Pembangunan Perdesaan Arah kebijakan pembangunan perdesaan tahun 2011 adalah meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat perdesaan melalui peningkatan tata kelola kepemerintahan desa dan kelurahan yang baik, sinergi pusat–daerah, dan meningkatkan partisipasi masyarakat desa (beserta pemangku kepentingan lainnya) dalam pelaksanaan pembangunan perdesaan. Sedangkan pembangunan transmigrasi dilaksanakan untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumberdaya alam kawasan perdesaan dengan memberikan perlakuan yang adil antara transmigran pendatang dengan penduduk setempat. Arah kebijakan pembangunan kawasan perdesaan diwujudkan dalam 7 (tujuh) fokus prioritas adalah : a. Menguatkan kapasitas, peran, dan tata kelola kepemerintahan desa dan kelurahan. (i) Meningkatkan perencanaan pembangunan desa yang partisipatif dan terpadu serta mengoptimalkan alokasi dana desa dan menggali sumber-sumber pendapatan asli desa. (ii) Meningkatkan kapasitas aparat dan kelembagaan pemerintahan desa dan kelurahan dalam perencanaan, pelayanan publik, penggalian potensi lokal, serta penggerak kegiatan kemasyarakatan.
II.9 - 49
(iii)Meningkatkan kapasitas dan kepeduliaan pemerintahan kabupaten/kota dalam pembangunan perdesaan. (iv) Meningkatkan peran serta masyarakat. Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan (i), (ii) dan (iii) adalah Kementerian Dalam Negeri, sedangkan kegiatan (iv) dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. b. Meningkatkan kualitas dasar sumber daya manusia perdesaan. (i) Meningkatkan taraf pendidikan dan kesehatan penduduk. (ii) Meningkatkan angka kecukupan gizi. (iii)Meningkatkan ketahanan mental spiritual masyarakat di kawasan transmigrasi. (iv) Meningkatkan penataan dan pengembangan lembaga kemasyarakatan di desa, serta peran aktif seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan perdesaan Kementerian/ Lembaga yang terkait dengan kegiatan butir (i) dan (ii) adalah Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Kesehatan. Kegiatan tersebut dilaksanakan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait dengan Bab II Bidang Sosial Budaya. Kegiatan (i), (ii), (iii), dan (iv) juga dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. c.
Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan. (i) Meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat perdesaan (termasuk dalam perencanaan pengembangan masyarakat dan kawasan). (ii) Meningkatkan pembinaan dan pengakuan masyarakat adat dan budaya nusantara. (iii)Meningkatkan pengembangan dan perlindungan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja perempuan serta penanggulangan penyakit sosial seperti HIV dan AIDS. (iv) Meningkatkan peran serta pemuda dan perempuan melalui pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga (PKK). Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan (i), (ii), (iii) dan (iv) adalah Kementerian Dalam Negeri. Sedangkan kegiatan butir (i) juga dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan kegiatan butir (iv) dilaksanakan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait dengan Bab II Bidang Sosial Budaya.
d. Meningkatkan ekonomi perdesaan. (i) Meningkatkan peningkatan usaha ekonomi keluarga, kewirausahaan dan penguatan kelembagaan BUMKel di perdesaan (termasuk di wilayah pesisir). (ii) Meningkatkan ketersediaan data dan informasi potensi perdesaan serta mengembangkan penelitian dan pengembangan untuk mendukung pengembangan ekonomi perdesaan. (iii)Meningkatkan pengembangan dan pengelolaan pasar desa/lokal serta pengembangan informasi pasar. (iv) Meningkatkan produktivitas dan pengembangan lahan, kemampuan masyarakat dalam penerapan teknologi tepat guna dan penyerapan informasi pasar, pembiayaan bagi usaha mikro dan kecil menengah, serta peningkatan usaha pengolahan hasil.
II.9 - 50
(v) Meningkatkan penciptaan usaha melalui iklim investasi kondusif yang menstimulasi peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha (swasta) dalam pembangunan perdesaan. Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan (i), (iii), dan (iv) adalah Kementerian Dalam Negeri. Butir (ii), (iv) dan (v) juga dilaksanakan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. e. Meningkatkan kualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana perdesaan. (i) Meningkatkan ketersediaan rencana pembangunan kawasan dan rencana penataan persebaran penduduk. (ii) Meningkatkan fungsi, ketersediaan sarana prasarana permukiman (jalan, drainase, sistem air bersih, air baku dan air minum, kelistrikan, irigasi, pengembangan energi terbarukan, pengembangan bangunan fasilitas umum, internet, sarana telekomunikasi, transportasi dan revitalisasi rumah). (iii)Meningkatkan pembangunan kawasan transmigrasi dalam bentuk Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) atau Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) yang layak. (iv) Pembangunan permukiman, pembangunan kawasan transmigrasi dan fasilitasi penataan ruang perdesaan. Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan (i), (iii), dan (iv) adalah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kegiatan butir (iv) juga dilaksanakan Kementerian Dalam Negeri. Kegiatan butir (ii) juga dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Kementerian Perhubungan melalui arah kebijakan dan strategi yang terkait dengan Bab IV Bidang Sarana Prasarana.
f. Meningkatkan ketahanan pangan masyarakat perdesaan. (i)
Mengembangkan usaha ekonomi masyarakat pengelola Cadangan Pangan Pemerintah Desa (CPPD). (ii) Meningkatkan kualitas pangan masyarakat perdesaan, termasuk di kawasan transmigrasi. (iii) Mengembangkan agribisnis perdesaan dan pembiayaan pertanian. (iv) Melakukan upaya percepatan penganekaragaman konsumsi pangan, keamanan pangan segar dan penanganan rawan pangan. (v) Mengembangkan sumber air alternatif dalam mendukung peningkatan produksi pertanian. Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Dalam Negeri untuk butir (i), dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk butir (ii). Untuk kegiatan butir (iii), (iv), (v) dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian. g. Meningkatkan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang seimbang, berkelanjutan, berwawasan mitigasi bencana. (i)
Meningkatkan fasilitasi pengelolaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna.
II.9 - 51
(ii) (iii) (iv) (v) (vi) (vii)
Meningkatkan penyerasian lingkungan di kawasan transmigrasi yang serasi dengan daya dukung sumberdaya alam. Meningkatkan fasilitasi perpindahan dan penempatan transmigrasi. Meningkatkan pengendalian pencemaran limbah domestik Meningkatkan penyediaan dan pengelolaan energi baru terbarukan dan pelaksanaan konservasi energi. Meningkatkan fungsi Daya Dukung DAS. Meningkatkan penyediaan dan Pengelolaan Energi Baru Terbarukan dan Pelaksanaan Konservasi Energi.
Kementerian/Lembaga yang terkait dengan kegiatan ini adalah Kementerian Dalam Negeri untuk butir (i), dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk butir (ii) dan (iii). Pelaksanaan kegiatan terkait butir (iv) oleh Kementerian Lingkungan Hidup, (vi) oleh Kementerian Kehutanan, butir (v) dan (vii) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pengembangan Ekonomi Lokal dan Daerah Arah kebijakan pengembangan ekonomi lokal pada tahun 2011 adalah meningkatkan keterkaitan ekonomi antara desa-kota atau antara wilayah produksi dengan wilayah pusat pertumbuhan (hulu-hilir). Hal ini dapat dilakukan dengan menerapkan sistem tata kelola yang baik dan dengan meningkatkan sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Arah kebijakan dan strategi pengembangan ekonomi lokal dan daerah tersebut diwujudkan dalam 5 (lima) fokus prioritas sebagai berikut : a. Meningkatkan tata kelola ekonomi daerah, dilakukan dengan (i) Menyusun kebijakan/regulasi yang mendukung pengembangan ekonomi lokal dan daerah; (ii) Menyusun rencana tata ruang dan masterplan kegiatan kawasan yang berpotensi menjadi pusat pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah yang baru; (iii) Meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan usaha ekonomi daerah, terutama di bidang permodalan dan perizinan usaha; (iv) Mengembangkan penelitian dan sistem data dan informasi potensi daerah dan kawasan yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah; (v) Mengembangkan sarana dan prasarana kelembagaan ekonomi lokal dan daerah; dan (vi) Melaksanakan pemantauan dan evaluasi tata kelola ekonomi daerah termasuk melaksanakan pemantauan dan evaluasi efisiensi dan efektivitas regulasi yang mendukung pengembangan ekonomi daerah. b. Meningkatkan kapasitas SDM pengelola ekonomi daerah, dilakukan dengan (i) Meningkatkan kapasitas SDM aparatur, terutama di bidang kewirausahaan (entrepreneurship); (ii) Meningkatkan kompetensi SDM stakeholder lokal/ daerah dalam mengembangkan usaha ekonomi daerah; serta II.9 - 52
(iii) Meningkatkan partisipasi stakeholder lokal/daerah dalam upaya pengembangan ekonomi daerah. c. Meningkatkan fasilitasi/ pendampingan dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah, dilakukan dengan (i) Mengembangkan lembaga fasilitasi pengembangan ekonomi lokal dan daerah yang terintegrasi secara lintas stakeholder (pemerintah, dunia usaha, dan akademisi), dan berkelanjutan, baik di pusat maupun di daerah; serta (ii) Meningkatkan kapasitas fasilitasi pengembangan ekonomi lokal dan daerah berbasis Iptek dan keterampilan. d. Meningkatkan kerjasama dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah, dilakukan dengan (i) Meningkatkan kerjasama antardaerah, terutama di bidang ekonomi baik antara daerah yang memiliki pusat-pusat pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah dengan daerah belakangnya, maupun antara daerah tersebut dengan daerah lainnya; (ii) Meningkatkan kemitraan pemerintah-swasta dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah. e. Meningkatkan akses terhadap sarana dan prasarana fisik pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah, dilakukan dengan (i) Mengembangkan prasarana dan sarana kawasan yang berpotensi menjadi pusatpusat pertumbuhan ekonomi lokal dan daerah; dan (ii) Membangun dan meningkatkan jaringan infrastruktur perhubungan, telekomunikasi, energi, air minum, dan pasar tradisional.
Pengembangan Kawasan Strategis Dengan memperhatikan sasaran pengembangan kawasan strategis, yaitu arahan untuk mendorong pembangunan kawasan strategis sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang memiliki skala ekonomi yang berorientasi daya saing nasional dan internasional, maka diharapkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi motor penggerak percepatan pembangunan daerah tertinggal dan sekitarnya dalam suatu sistem wilayah pengembangan ekonomi yang terpadu dan sinergis, melalui keterkaitan mata-rantai proses produksi dan distribusi. Arah kebijakan tersebut dijabarkan ke dalam strategi, melalui fokus prioritas sebagai berikut: a. Percepatan pengembangan iklim investasi yang kondusif bagi pengembangan KAPET, KPBPB, dan KEK, dan kawasan strategis lainnya; b. Meningkatkan peran dunia usaha dalam pengelolaan pengembangan produk unggulan KAPET, KPBPB, KEK, dan kawasan strategis lainnya; c. Pembangunan sarana dan prasarana transportasi dan energi yang mendukung pengembangan kawasan strategis;
II.9 - 53
d. Pembentukan dan pengembangan kelembagaan pengelola KAPET, KPBPB, KEK, dan kawasan strategis lainnya. Strategi pembangunan kawasan strategis melalui percepatan pengembangan iklim investasi yang kondusif bagi pengembangan KAPET, KPBPB dan KEK serta kawasan strategis dan cepat tumbuh lainnya dilaksanakan melalui penetapan kebijakan dalam rangka mendukung penciptaan iklim investasi yang kondusif melalui penyusunan kebijakan dan regulasi yang sinergis, diantaranya melalui: (a) penyusunan peraturan pelaksanaan pengembangan KEK sebagai penjabaran UU No. 39 tahun 2009; (b) peningkatan ekspor dan penanaman modal; (c) peningkatan aplikasi perizinan dan nonperizinan; serta (d) penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP), fasilitas kepabeanan, cukai dan kerjasama perpajakan, (e) peningkatan regulasi perlindungan tenaga kerja serta harmonisasi hubungan pekerja dan perusahaan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan oleh sektorsektor terkait dalam Bidang Ekonomi pada Bab III, untuk mendukung pembangunan kawasan strategis. Masih terkait dengan upaya peningkatan potensi perekonomian, strategi meningkatkan peran dunia usaha dalam pengelolaan pengembangan produk unggulan KAPET, KPBPB, KEK, dan kawasan strategis lainnya akan dikembangkan untuk mendorong fasilitasi peran dunia usaha melalui pelatihan, dan pembukaan akses dunia usaha terhadap penciptaan produk unggulan dan pemasarannya. Kegiatan-kegiatan utama dalam peningkatan peran dunia usaha akan difasilitasi melalui: (a) peningkatan kinerja pengendalian kualitas produk-produk unggulan untuk ekspor melalui standar prosedur dan manual tentang penggunaan bahan baku lokal bagi industri; (b) pendampingan penerapan teknologi tepat guna bagi pelaku usaha dan efektifitas pemanfaatannya; (c) fasilitasi pengembangan UMKM guna kelancaran distribusi, pembinaan pemasaran, peningkatan nilai tambah produk, dan daya saing. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan oleh sektorsektor terkait dalam Bidang Ekonomi pada Bab III dalam rangka percepatan pembangunan kawasan strategis. Dalam skema strategi ini, digunakan pendekatan input, proses dan output dalam peningkatan daya saing produk yang diawali dengan pemanfaatan teknologi tepat guna, dan diikuti dengan kontrol kualitas dan efektifitas pengolahan produk, seperti pangan, tekstil, pariwisata, maupun produk unggulan lainnya dalam penyediaan bahan baku dan pengolahan di suatu kawasan. Selanjutnya, kepekaan dunia usaha terhadap potensi pasar dan mekanisme distribusi perlu ditingkatkan dalam rangka optimalisasi proses dan distribusi dalam merespon dinamika kecenderungan konsumsi masyarakat nasional dan internasional. Strategi pembangunan sarana dan prasarana transportasi dan energi yang mendukung pengembangan kawasan dilaksanakan dalam rangka mengurangi tingginya biaya produksi yang dikeluarkan oleh dunia usaha sehingga dapat mengoptimalkan harga yang berdaya saing dengan produk impor yang relatif lebih murah. Permasalahan utama yang dialami selama ini adalah ketersediaan energi listrik yang sangat minim baik bagi kawasan industri maupun industri rumah tangga, serta terbatasnya mobilisasi distribusi melalui jaringan transportasi lokal, regional, nasional maupun internasional. Biaya yang dikeluarkan dalam proses distribusi yang relatif tinggi membutuhkan suatu kebijakan yang efektif, didukung oleh penegakan hukum yang tegas. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan oleh sektorsektor pembangunan energi dan jaringan transportasi untuk membangun kawasan strategis dalam koridor operasionalisasi strategi pembangunan terkait dalam Bidang Sarana dan Prasarana pada BAB V dalam suatu arah kebijakan yang terintegrasi untuk pembangunan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana berskala regional, nasional dan internasional di kawasan strategis. II.9 - 54
Strategi dan fokus prioritas pembentukan dan pengembangan kelembagaan pengelola KAPET, KPBPB, KEK, dan kawasan strategis lainnya merupakan salah satu implementasi dari UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini terkait dengan upaya pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara pengelola kawasan dengan daerah untuk menjiwai semangat otonomi daerah dan desentralisasi. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menentukan sikap dan arah kebijakannya terhadap fungsionalisasi pembangunan yang berbasis karakteristik daerah, yang sekaligus dalam rangka meningkatkan daya saing terhadap daerah lainnya secara ragional, nasional, dan internasional. Strategi ini diharapkan dapat menghasilkan suatu pengaturan mekanisme pengadministrasian pemerintahan di kawasan, dan terbentuknya intervensi pembangunan antara pemerintah daerah dengan lembaga pengelola kawasan serta pemerintah pusat yang sinergis. Kebijakan ini menjadi prioritas utama dalam prioritas bidang pengembangan kawasan strategis untuk mengawal efisiensi dan efektifitas kelembagaan dalam pelaksanaan koordinasi dan pengelolaan kawasan, sehingga sasaran pembangunan kawasan terutama KAPET, KPBPB dan KEK serta kawasan strategis lainnya dapat tercapai. Kegiatankegiatan tersebut dilaksanakan oleh sektor-sektor terkait dalam Bidang Ekonomi Bab III dan dalam Bidang Wilayah dan Tata Ruang, untuk mendukung pembangunan kawasan strategis. Pengembangan Kawasan Perbatasan Arah kebijakan prioritas bidang pembangunan kawasan perbatasan yaitu mempercepat pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang sebagai beranda depan negara dan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi dan berwawasan lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional. Arah kebijakan tersebut dijabarkan melalui 5 (lima) strategi atau fokus prioritas, yaitu : (1) Penyelesaian penetapan dan penegasan batas wilayah negara; (2) Peningkatan upaya pertahanan, keamanan, serta penegakan hukum; (3) Peningkatan pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan; (4) Peningkatan pelayanan sosial dasar; (5) Penguatan kapasitas kelembagaan dalam pengembangan kawasan perbatasan secara terintegrasi. Strategi penyelesaian penetapan dan penegasan batas wilayah Negara merupakan salah satu langkah strategis untuk menjamin kedaulatan wilayah dan hak berdaulat (yurisdiksi) di perbatasan darat dan perbatasan laut. Upaya penetapan batas wilayah Negara dilaksanakan melalui penguatan diplomasi internasional atau perundingan batas wilayah Negara untuk menyelesaikan permasalahan segmen-segmen batas wilayah teritorial dan yurisdiksi (Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan) yang belum disepakati dengan negara tetangga. Upaya penegasan batas wilayah Negara juga dilakukan melalui pemetaan batas wilayah serta perbaikan dan pemeliharaan tugu batas (investigation, refixation, and maintenance). Kegiatan-kegiatan tersebut akan dilaksanakan oleh sektor-sektor terkait dalam Bidang Politik pada Bab VI dan Bidang Pertahanan dan Keamanan pada Bab VII dalam rangka mendukung pengembangan kawasan perbatasan. Upaya untuk menjamin kedaulatan wilayah, serta untuk mengurangi tindakantindakan ilegal yang banyak terjadi di kawasan perbatasan, seperti pembalakan liar, pencurian ikan, dan penyelundupan, diwujudkan dalam Strategi Peningkatan Upaya Pertahanan, Keamanan, serta Penegakan hukum. Strategi ini dilaksanakan melalui: (a) peningkatan kesejahteraan aparatur Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang bertugas di kawasan II.9 - 55
perbatasan dan pulau kecil terdepan (terluar); (b) peningkatan ketersediaan dan kualitas materiil sarana dan prasarana pertahanan dan keamanan; (c) peningkatan pelayanan pos lintas batas (PLB) tradisional dan internasional untuk mengawasi dan memfasilitasi aktivitas lintas batas, termasuk penyediaan sarana dan prasarana penunjang yang memadai, seperti jalan, listrik, alat komunikasi, dan fasilitas kepabeanan, imigrasi, karantina, dan keamanan (Custom, Imigration, Quarantine and Security/CIQS); (d) peningkatan koordinasi antarinstansi dalam upaya penegakan hukum; (e) pelaksanaan kerjasama pertahanan dan keamanan dengan negara tetangga, serta (f) peningkatan wawasan kebangsaan masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dilaksanakan oleh sektor-sektor terkait dalam Bidang Politik pada Bab VI, Bidang Pertahanan dan Keamanan pada Bab VII, dan Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup pada Bab X, dalam rangka mendukung pengembangan kawasan perbatasan. Upaya pengembangan perkonomian kawasan perbatasan diwujudkan melalui Strategi Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi Kawasan Perbatasan, yang dilaksanakan melalui beberapa pendekatan, antara lain: (a) pengembangan kutub pertumbuhan; (b) pengisian dan pengembangan “ruang-ruang kosong”; (c) penguatan keterkaitan kota-desa khususnya PKSN dengan wilayah sekitarnya; (d) promosi pengembangan ekonomi lokal; (e) peningkatan kemandirian perekonomian desa-desa yang berbatasan langsung, termasuk yang berada di wilayah pesisir dan pulau kecil terdepan (terluar); serta (f) penciptaan interaksi ekonomi yang positif dan saling menguntungkan dengan negara tetangga. Berbagai pendekatan ini dimaksudkan untuk mengembangkan daya saing perekonomian kawasan perbatasan dengan berbasis kepada pengembangan keunggulan komparatif wilayah, misalnya potensi pertanian tanaman pangan, peternakan, perkebunan, perikanan dan kelautan, kerajinan, dan pariwisata, yang diselenggarakan secara terintegrasi antarsektor dan antarwilayah. Upaya-upaya yang dilaksanakan dalam strategi ini meliputi: (a) penyediaan sarana dan prasarana usaha; (b) peningkatan kemampuan berwirausaha masyarakat; (c) penerapan IPTEK dalam pengembangan potensi unggulan; (d) penyediaan fasilitas ekonomi; (e) penyelenggaraan transmigrasi; (f) penyediaan sarana dan prasarana wilayah seperti transportasi, telekomunikasi dan informasi, air bersih, dan energi; serta (g) peningkatan kemudahan berinvestasi bagi dunia usaha. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dilaksanakan oleh sektor-sektor terkait dalam Bidang Ekonomi pada Bab III, Bidang Sarana dan Prasarana pada Bab V, dan Bidang Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup pada Bab X, dalam rangka mendukung pengembangan kawasan perbatasan. Upaya untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di kawasan perbatasan, terutama masyarakat yang berada di wilayah kecamatan terdepan (terluar) pada kawasan perbatasan negara diwujudkan melalui Strategi Peningkatan Pelayanan Sosial Dasar. Strategi ini dilaksanakan melalui upaya peningkatan pelayanan pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, serta penyediaan permukiman yang layak dan memadai bagi masyarakat. Dalam aspek pendidikan, upaya yang dilakukan terutama melalui pemerataan distribusi guru di perbatasan, pemberian insentif atau tunjangan khusus bagi guru; penyediaan sarana dan prasarana sekolah, serta peningkatan kompetensi dan profesionalisme guru. Dalam aspek kesehatan, upaya yang dilakukan terutama melalui penyediaan puskesmas perawatan di perbatasan dan pulau-pulau kecil terdepan (terluar) berpenduduk; penyediaan RS bergerak yang memberikan pelayanan kesehatan rujukan; pemerataan distribusi tenaga kesehatan; pemberian insentif khusus bagi tenaga kesehatan; serta pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat miskin (Jamkesmas) di perbatasan. Dalam aspek kesejahteraan sosial, upaya yang dilakukan terutama melalui penanggulangan kemiskinan; pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT); serta peningkatan pelayanan
II.9 - 56
sosial dasar bagi penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) termasuk lansia dan penyandang cacat. Dalam aspek permukiman, upaya yang dilakukan terutama melalui pemberian bantuan stimulan peningkatan kualitas perumahan swadaya di kawasan perbatasan; fasilitasi penyediaan prasarana, sarana, utilitas perumahan swadaya bagi masyarakat berpenghasilan rendah di kawasan perbatasan; serta penataan kawasan perumahan di daerah tertinggal, perbatasan, dan pulau kecil terluar. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dilaksanakan oleh sektor-sektor terkait dalam Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama pada Bab II dan Bidang Sarana dan Prasarana pada Bab V, dalam rangka mendukung pengembangan kawasan perbatasan. Upaya untuk memperkuat kelembagaan pengelolaan kawasan perbatasan diwujudkan melalui strategi penguatan kapasitas kelembagaan dalam upaya pengembangan kawasan perbatasan secara terintegrasi. Strategi ini diarahkan untuk memperkuat koordinasi antarsektor dan antardaerah serta antartingkatan pemerintahan (pusat dan daerah) melalui pembentukan lembaga khusus yang menangani pengelolaan kawasan perbatasan; meningkatkan partisipasi masyarakat dan dunia usaha; meningkatkan kualitas pelayanan kepemerintahan; serta meningkatkan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan kawasan perbatasan. Pembangunan Daerah Tertinggal Memperhatikan sasaran pembangunan daerah tertinggal, dan tema RKP tahun 2011 tentang “Percepatan pertumbuhan ekonomi didukung pemantapan tata kelola dan strategi pusat daerah” maka arah kebijakan yang akan ditempuh adalah percepatan pembangunan daerah tertinggal melalui komitmen dan sinergisitas pusat dan daerah dalam meningkatkan pengembangan perekonomian daerah yang didukung dengan peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat sehingga daerah tertinggal dapat tumbuh dan berkembang secara lebih cepat guna dapat mengejar ketertinggalan pembangunannya dari daerah lain. Arah kebijakan ini selanjutnya ditempuh melalui strategi pembangunan yang disesuaikan dengan karakteristik ketertinggalan suatu daerah. Percepatan pembangunan daerah tertinggal dilakukan melalui strategi sebagai berikut. a. Pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal; b. Penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di daerah tertinggal; c. Peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau di daerah tertinggal; d. Peningkatan pelayanan pendidikan yang berkualitas di daerah tertinggal; e. Peningkatan sarana dan prasarana infrastruktur daerah tertinggal serta peningkatan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan. Strategi pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal ditujukan untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya alam secara berkelanjutan dengan menekankan pada pengembangan daerah pusat pertumbuhan, pusat produksi, serta meningkatkan pertumbuhan usaha mikro kecil menengah dan koperasi. Untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi lokal di daerah tertinggal, dibutuhkan dukungan penguatan sentra produksi/klaster usaha skala mikro dan kecil; dan pengembangan kawasan transmigrasi yang berada di daerah tertinggal, baik dari segi kualitas sumber daya manusia, maupun sarana dan prasarana kawasan transmigrasi. Upaya lain yang juga diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas produk unggulan lokal, melalui dukungan pengembangan dan pendayagunaan. Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan oleh sector-sektor terkait dalam Bidang Ekonomi pada Bab III, Bidang Ilmu Pengetahuan II.9 - 57
dan Teknologi pada Bab IV, dan Bidang Wilayah dan Tata Ruang dalam bab ini. Strategi penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya lokal di daerah tertinggal diperlukan untuk meningkatkan perekonomian daerah tertinggal. Hal ini dilakukan melalui penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah, kelembagaan sosial masyarakat dan lembaga perekonomian lokal di daerah tertinggal. Di samping itu, penguatan kelembagaan perlu didukung dengan kerjasama antarlembaga, sehingga terjadi sinergi peran yang baik dan terpadu dalam rangka mengoptimalkan pengembangan ekonomi lokal di daerah tertinggal. Strategi peningkatan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau di daerah tertinggal perlu didukung melalui peningkatan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan khusus juga dibutuhkan untuk daerah tertinggal dan pulau-pulau kecil terdepan (terluar) melalui pelayanan medik spesialis di RS bergerak, pemberian insentif khusus terhadap tenaga kesehatan yang didayagunakan di daerah tertinggal dan pulau kecil terdepan (terluar), serta pemberian Jamkesmas. Kegiatan tersebut merupakan koridor dalam rangka operasionalisasi arah kebijakan dan strategi pembangunan yang terdapat dalam Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama pada Bab II dalam rangka percepatan pembangunan daerah tertinggal. Strategi peningkatan pelayanan pendidikan yang berkualitas di daerah tertinggal berorientasi pada upaya mengatasi permasalahan rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan angkatan kerja di daerah tertinggal. Peningkatan pelayanan pendidikan ini tidak hanya difokuskan pada pendidikan dasar, menengah dan kejuruan, tetapi terutama pada pendidikan luar sekolah berupa pendidikan ketrampilan hidup (life-skill) melalui lembaga kursus dan pelatihan lainnya yang berorientasi untuk meningkatkan kemampuan ketrampilan ekonomi produktif. Untuk mendukung pemerataan tenaga pendidik, diperlukan keberpihakan kepada daerah tertinggal melalui adanya pemberian insentif khusus terhadap tenaga pendidik yang berada di daerah tertinggal, serta adanya peningkatan kompetensi dan profesionalisme tenaga pendidik di daerah tertinggal. Kegiatan tersebut merupakan koridor dalam rangka operasionalisasi arah kebijakan dan strategi pembangunan yang terdapat dalam Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama pada Bab II, dalam rangka percepatan pembangunan daerah tertinggal. Strategi peningkatan sarana dan prasarana di daerah tertinggal ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kondisi perekonomian masyarakat. Dukungan terhadap sarana dan prasarana yang diperlukan diantaranya melalui pembangunan pasar tradisional, pembangunan jalan dan jembatan, Transportasi keperintisan, permukiman, serta pembangunan sarana dan prasarana informatika di daerah tertinggal. Pengembangan sektor transportasi keperintisan, diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas daerah tertinggal dengan pusat-pusat pertumbuhan, sehingga terjadi keterkaitan pembangunan antara kawasan tertinggal dengan pusat pertumbuhan kawasan. Kegiatan tersebut merupakan koridor dalam rangka operasionalisasi arah kebijakan dan strategi pembangunan yang terdapat dalam Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama pada Bab II, dalam rangka percepatan pembangunan daerah tertinggal. Penanggulangan Bencana dan Pengurangan Resiko Bencana Untuk mencapai sasaran pengurangan risiko bencana, arah kebijakan yang akan ditempuh meliputi pengintegrasian kebijakan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas pembangunan nasional dan daerah, penguatan kapasitas penanggulangan bencana di pusat II.9 - 58
dan daerah, mendorong keterlibatan dan partisipasi lembaga- lembaga non-pemerintah dan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana dan pengurangan risiko bencana, peningkatan sumber daya penanganan kedaruratan dan bantuan kemanusiaan yang dilingkapi dengan peralatan dan logistik yang memadai, serta percepatan pemulihan wilayah yang terkena dampak bencana. Melalui arah kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dukungan bagi peningkatan kinerja penanggulangan bencana serta peningkatan kesadaran terhadap risiko bencana dan peningkatan pemahaman pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana terutama dalam peningkatan pengelolaan kelembagaan, serta pembangunan berbasis kewilayahan dalam rangka mengembangkan penataan ruang berbasis kebencanaan. Selanjutnya arah kebijakan tersebut akan dilaksanakan dengan strategi pembangunan bidang, antara lain sebagai berikut. a. Pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional dan daerah serta penguatan kelembagaan penanggulangan bencana dengan fokus prioritas: Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah dan masyarakat dalam usaha pengurangan risiko, mitigasi dan penanganan bencana dan bahaya kebakaran hutan di 33 propinsi. b. Peningkatan kapasitas penanganan kedaruratan dan penanganan korban yang terkena dampak bencana melalui fokus prioritas: Pelaksanaan tanggap darurat dan penanganan korban bencana alam dan kerusuhan sosial yang terkoordinasi, efektif dan terpadu, melalui pemantapan tim reaksi cepat penanganan bencana dengan dukungan alat transportasi yang memadai dengan basis di 2 (dua) lokasi (Jakarta dan Malang) yang dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia). c. Percepatan pemulihan wilayah terkena bencana dengan fokus prioritas: Rehabiltasi dan rekonstruksi di wilayah pasca bencana Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Sumatera Barat, serta wilayah pasca bencana lainnya. d. Pengadaan dan pemantapan peralatan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.
Pemantapan Desentralisasi, Peningkatan Kualitas Hubungan Pusat Daerah Dan Antar Daerah Arah kebijakan prioritas bidang pemantapan desentralisasi, hubungan pusat daerah, dan antardaerah adalah menata pembagian urusan antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, meningkatkan kerja sama daerah, menunda untuk sementara waktu pembentukan daerah otonom baru, serta meningkatkan pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. a. Penataan Pembagian Urusan Pemerintahan antartingkat Pemerintahan (i) Memperjelas pembagian kewenangan atas urusan pemerintahan dalam rangka mengurangi dan menghilangkan tumpang tindihnya kewenangan antartingkat pemerintahan dalam pelaksanaan suatu urusan pemerintahan. (ii) Mempercepat penyelesaian penyusunan NSPK. Selain itu, strategi ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pemanfaatan sumber daya pembangunan sehingga menjadi lebih efisien. Hasil efisiensi yang didapat dari penataan pembagian urusan antartingkat pemerintahan tersebut akan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan lainnya yang dinilai lebih strategis dan berdampak lebih besar. b. Penataan Daerah Otonom Baru (i) Memperkuat kerangka regulasi bagi penataan daerah ke depan, termasuk penyempurnaan terhadap persyaratan dan tata cara pembentukan/penghapusan/penggabungan daerah. Sehubungan dengan itu, akan
II.9 - 59
dilakukan penundaan pemekaran daerah sampai dengan diselesaikannya evaluasi kinerja daerah otonom baru dan tersusunnya Desain Besar Penataan Daerah (dulu disebut dengan Grand Strategy/Strategi Dasar Penataan Daerah) 2010-2025 (ii) Pelaksanaan Desain Besar Penataan Daerah 2010-2025 (sebelumnya disebut dengan Grand Strategy/Strategi Dasar Penataan Daerah). (iii) Peningkatan kepasitas daerah otonom baru agar dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan mendorong peningkatan daya saing daerah secara mandiri. (iv) Peningkatan kualitas pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan daerah berkarakter khusus, yaitu DI Yogyakarta dan DKI Jakarta. c. Peningkatan Kerja Sama Daerah (i) Meningkatkan kualitas pelayanan publik yang potensial dikerjasamakan antarpemerintah daerah dan antara pemerintah daerah dengan dunia usaha. (ii) Mendiseminasikan pembelajaran atau keberhasilan berbagai bentuk kerja sama daerah yang telah ada ke daerah lain. d. Pengawasan dan Evaluasi Kinerja Pemerintah Daerah Meningkatkan kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah secara umum yang meliputi: a) pengawasan dan koordinasi kebijakan, antara lain, dengan memperkuat peran Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD); b) pengawasan terhadap regulasi daerah, yaitu pengawasan dan evaluasi pada perda-perda bermasalah dan juga pengawasan regulasi di daerah-daerah yang termasuk dalam Otonomi Khusus; c) pengawasan keuangan daerah, yaitu pengawasan terhadap penggunaan dana yang berasal dari anggaran publik agar mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan umum.
Tata Kelola dan Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah Arah kebijakan peningkatan kapasitas pemerintahan daerah adalah membentuk pemerintah daerah yang mampu memberikan pelayanan publik yang berkualitas, mendorong terbentuknya organisasi perangkat daerah yang efisien dan efektif, serta memiliki kemampuan keuangan yang tinggi dan akuntabel sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik. a. Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah dan DPRD (i) Membentuk organisasi perangkat daerah yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, serta potensi daerah agar dapat melaksanakan pelayanan publik berdasarkan SPM dan mendorong peningkatan daya saing daerah secara efektif (pemenuhan lingkup, jangkauan dan luas wilayah pelayanan) dan efisien (tidak membebani APBD dan APBN serta menambah birokrasi). (ii) Meningkatkan kapasitas DPRD sebagai bagian dari pemerintahan daerah sehingga tercipta pengawasan penyelenggaraan pemerintah daerah secara tepat, dan terjadi keseimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di samping itu, DPRD dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah secara baik dalam menyusun APBD sehingga penetapan APBD dapat tepat waktu dan dapat menyusun regulasi daerah secara tepat.
II.9 - 60
b. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah Daerah dan Anggota DPRD (i) Mendorong aparatur pemerintah daerah agar berfungsi menjadi fasilitator dalam rangka peningkatan pelayanan publik berdasarkan SPM, penyelenggaraan pemerintahan daerah, serta pembangunan. (ii) Meningkatkan kapasitas pemimpin daerah untuk dapat melakukan berbagai inovasi peningkatan pelayanan publik dengan berdasarkan kemampuan keuangan pemerintah daerah yang ada. (iii) Meningkatkan kapasitas anggota legislatif daerah. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anggota DPRD dalam penyusunan regulasi yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah. Peningkatan kapasitas anggota DPRD juga akan dilakukan agar harmonisasi peraturan perundang-undangan daerah dengan peraturan perundangundangan di atasnya tetap terjaga. c. Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah (i) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana perimbangan dan meningkatkan kapasitas keuangan pemerintah daerah baik dari aspek sumbersumber penerimaan daerah maupun dari aspek pemanfaatan dan pengelolaan keuangan daerah. (ii) Meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan pemerintah daerah secara profesional dan akuntabel, termasuk dalam penggunaan sistem akuntansi berbasis teknologi informasi.
II.9 - 61