BAB IX PENUTUP A. Kesimpulan Desa Pecuk, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah dengan lingkungan rentan giz, karena pendapatan masyarakatnya yang relatif rendah, pendidikan kebanyakan sampai dengan SD dan rawan ketersediaan pangan. Penelitian ini menemukan bahwa: 1. Pada lingkungan rentan gizi di Desa Pecuk, maka status gizi balita menjadi baik oleh karena dukungan sosiokultural yang ada. 2. Unsur sosiokultural yang berupa sistem sosial dan sistem budaya yang mendukung status gizi balita yang baik berfokus pada nilai anak yang tinggi dan konsumsi jajanan yang dominan. Nilai anak atau dalam penelitian ini adalah nilai balita akan mempengaruhi bentuk pola asuh gizi, yang berupa penyediaan makanan dan pelayanan kesehatan/pengobatan pada balita. Nilai anak ini juga menjadi dasar peranan dari unsur-unsur sosiokultural lainnya dalam menjalankan pola asuh gizi di masyarakat, atau dapat dikatakan nilai anak mengarahkan perilaku dan pertimbangan keluarga (orang tua) terhadap pola asuh gizi balita. Unsur-unsur tersebut adalah: 1) kebiasaan, yang berupa pemberian ASI sampai dengan ASI tak keluar lagi, mengutamakan makanan untuk balita, menyimpan gabah untuk penyediaan makan balita, 2) norma, berupa saling memberi di masyarakat, saling merawat dan mengawasi balita dilingkungannya, balita seolah-olah menjadi tanggung jawab bersama, 3) keakraban sosial (kohesi sosial), yang berupa ikatan keluarga, gotong royong, rasa kekeluargaan, tolong menolong dalam merawat dan mengasuh balita, terutama pada ibu yang
199
bekerja, 4) kelembagaan, yang bersifat tradisional yang memungkinkan kegiatan posyandu dapat berjalan dengan baik dan dapat dimanfaatkan sebagai tempat fasilitas kesehatan bagi balita. Nilai balita yang tinggi di Desa Pecuk berfungsi sebagai pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan keluarga bahkan masyarakat di Desa Pecuk. Nilai balita yang tinggi kemudian menyebabkan orangtua berusaha membentuk balita yang sehat, yang salah satu indikatornya adalah balita yang mempunyai status gizi baik. Hal ini sesuai dengan teori nilai anak secara sosial, yang menyatakan bahwa nilai anak yang tinggi akan diperkuat dengan adanya respon positif terhadap balitanya yang berasal dari lingkungannya. Respon positif tersebut muncul apabila balita dalam kondisi kesehatan yang baik secara maksimal. Pemenuhan makan balita dari makanan jajanan merupakan hal yang diutamakan dari segi penyediaan dana dan sering menggantikan porsi makan untuk siang atau sore hari bagi balitanya. Makanan jajanan merupakan penyumbang yang sangat dominan untuk memenuhi kebutuhan protein dan terutama untuk memenuhi kebutuhan kalori balita yang ada di Desa Pecuk. Perilaku jajan merupakan salah satu bentuk pilihan asupan makan yang kemudian merupakan pola kebiasaan makan pada balita di Desa Pecuk. Perilaku jajan ini berkaitan dengan food ideology yang berdasarkan sudut pandang spesifik dari penentu pemilihan makanan dalam rumahtangga di masyarakat Desa Pecuk (biasanya adalah ibu). Food ideology tersebut berupa balita harus mencapai kesehatan yang maksimum. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka orang tua memfasilitasi semua kebutuhan balita termasuk keinginan jajan. Harapan orang tua dengan memenuhi kemauan makan balita, maka asupan makan balita juga terpenuhi, yang
200
kemudian dapat menjadikan balita dengan status gizi yang baik dan sehat. Pilihan makan berupa jajan bagi balita di Desa Pecuk dipengaruhi oleh: (1) Faktor karakteristik lingkungan, dalam hal ini lingkungan budaya, yang berupa hampir semua balita setiap hari jajan dan banyaknya penjaja jajan yang menawarkan dagangannya di depan rumah, sehingga memacu balita untuk selalu jajan. (2) Psikologi perilaku makan, dimana perilaku jajan selalu difasilitasi oleh orangtuanya, oleh karena jika tidak maka balita akan menangis menyebabkan orang tua merasa bersalah tak dapat memenuhi kebutuhan anaknya, atau orang tua merasa malu kepada tetangganya. (3) Faktor komersial, oleh karena banyaknya penawaran berbagai jenis makanan dari media televise, radio dan lain-lain yang memicu keinginan balita untuk jajan. Pemilihan asupan makanan dari makanan jajanan ini lebih mempertimbangkan keinginan makan dibandingkan kebutuhan makan yang memenuhi syarat-syarat sehat bagi balita. Berdasarkan keseluruhan data dan hasil analisa, maka kerangka kontribusi sosiokultural dalam mendukung status gizi balita yang lebih baik pada lingkungan rentan gizi di Desa Pecuk, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak secara skematis digambarkan dalam Gambar 9.1.
201
Gambar 9.1: Kerangka Pemikiran Tentang Kontribusi Sosiokultural dalam Mendukung Status Gizi Balita yang Lebih Baik pada Lingkungan Rentan Gizi di Desa Pecuk Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak
Politik
Ekonomi
Sistem Budaya
Sistem Sosial
1.
2. 3.
Kebiasaan ‐ Pemberian ASI ‐ Makan Diutamakan ‐ Menyimpan Gabah Norma Saling Memberi. Keakraban Sosial (kohesi social) ‐ Ikatan Keluarga ‐ Gotong Royong ‐ Rasa Kekeluargaan ‐ Tolong Menolong
4. Kelembagaan (organisasi kemasyarakatan) bersifat
Sifat Tradisional : • Sosialisasi • Informasi (Getok Tular) • Kebersamaan
Nilai Anak
Tidak Diteliti
Disusui Jajan Makan
• • •
Berobat Imunisasi Vitamin
Jajanan
Pola Asuh Gizi 1. Penyediaan Makanan 2. Pelayanan Kesehatan/Pengobatan
ASUPAN MAKANAN
PENYAKIT / STATUS INFEKSI
Status Gizi
202
Anak dimanjakan dengan berbagai fasilitas
• • •
202
Sosiokultural
B. Implikasi Kebijakan Kebijakan program perbaikan gizi masyarakat yang telah dilakukan selama ini mengacu pada kebijakan di tingkat nasional, dimana Kementrian Kesehatan menentukan tujuan pembangunan kesehatan nasional, termasuk didalamnya perbaikan gizi masyarakat, sedangkan strategi dan teknis operasional dilapangan bergantung pada daerah masing-masing. Fokus yang selalu menjadi perhatian dan merupakan permasalahan yang dianggap mendasar ada pada aspek ekonomi, aspek pendidikan dan aspek politik. Sedangkan aspek sosiokultural belum menjadi perhatian. Sehingga implementasi di tingkat masing-masing daerah kurang memperhatikan sosiokultural yang ada di masyarakat sebagai potensi untuk dapat mempermudah tercapainya tujuan yang diinginkan. Hal ini memungkinkan kegagalan program atau tujuan yang hendak dicapai membutuhkan waktu panjang. Berdasarkan hasil penelitian ini maka aspek sosiokultural berupa nilai anak yang tinggi dan perilaku jajan merupakan potensi yang dipunyai masyarakat Desa Pecuk dalam perbaikan status gizi yang harus mendapat perhatian besar dari pembuat kebijakan dan penentu program bidang gizi. Potensi tersebut dikembangkan kearah asupan makan yang sehat untuk perbaikan status gizi di masyarakat Desa Pecuk atau masyarakat dengan kondisi dan situasi sejenis. Walaupun perilaku jajan tersebut jika ditinjau dari segi ekonomi dan psikologi kurang menguntungkan, tetapi hal tersebut merupakan potensi masyarakat yang dapat dimanfaatkan dalam jangka pendek untuk memperbaiki status gizi dengan tidak merubah kebiasaan yang sering kali membutuhkan waktu lama. Disamping itu pertimbangan dari segi yang merugikan dibandingkan yang menguntungkan lebih cenderung
203
didapatkan kearah keuntungannya, misalnya ditinjau dari segi ekonomi, maka perilaku jajan menyebabkan pemborosan atau pengeluaran rumah tangga untuk keperluan makan keluarga menjadi lebih tinggi, tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah oleh karena dapat diatasi oleh keluarga , walaupun dengan cara ibu harus bekerja dan upah yang dihasilkan habis untuk keperluan jajan balita. Di Propinsi Jawa Tengah telah disusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2008 – 2013, serta kebijakan tata laksana anak gizi buruk yang telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2010, dengan pokok-pokok kegiatan program perbaikan gizi masyarakat yang terdiri dari: 1. Pendidikan gizi bagi masyarakat, kader dan tenaga kesehatan. 2. Penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk, anemi gizi besi, gangguan akibat kekurangan yodium, kurang vitamin A dan gizi lebih. 3. Pemberdayaan masyarakat dalam rangka Kadarzi 4. Peningkatan surveilans gizi Secara garis besar rekomendasi implementasi kebijakan yang dapat diterapkan berkaitan dengan program perbaikan gizi masyarakat di daerah penelitian atau di daerah dengan sosiokultural sejenis adalah sebagai berikut: 1) Program yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan gizi masyarakat. Dinas Kesehatan sebagai institusi pemerintah dibawah Kementrian Kesehatan yang bertanggung jawab terhadap kesehatan masyarakat diharapkan dapat memimpin, mengkoordinir dan menggerakan institusi-institusi terkait, seperti Balai POM, Dinas Koperasi dan UKM, Dinas
204
Pendidikan, Pemerintah Daerah Setempat. Koordinasi yang dilakukan dengan institusi lain merupakan hal yang penting supaya program yang dijalankan merupakan satu kesatuan yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Walaupun masing-masing institusi terkait mempunyai tanggung jawab sesuai bidang masing-masing, tetapi saat dilapangan Dinas Kesehatan berfungsi pula sebagai penggerak atau bersifat lebih aktif dibandingkan lainnya. Kegiatan pendidikan masyarakat terdiri dari: (1) Dinas Kesehatan, memberikan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan lapangan sampai dengan kader kesehatan. Materi yang diberikan menekankan pada pemanfaatan nilai anak yang tinggi di masyarakat terutama berkaitan dengan pemenuhan keinginan jajan anak. Kebiasaan jajan anak ini diarahkan pada pemenuhan kebutuhan zat gizi yang sehat. (2) Tenaga kesehatan lapangan dan kader posyandu, merupakan kaki tangan dari Dinas Kesehatan dan Puskesmas yang berada paling dekat dengan masyarakat atau keluarga balita, sehingga merupakan tenaga yang dapat diberikan tugas untuk memberi pendidikan kepada masyarakat untuk memilih makanan jajanan yang sehat bagi balitanya, sebagai bentuk asupan makanan yang mendukung status gizi. (3) Balai POM, sebagai institusi yang berkaitan dengan pengawasan obat dan makanan, termasuk juga mengawasi keamanan makanan jajanan balita. Pemeriksaan laboratorium terhadap kandungan zat gizi maupun zat tambahan lainnya pada jajanan harus dilakukan terlebih dahulu. Termasuk juga pencemaranpencemaran yang terjadi pada saat proses pemasakan,
205
pengemasan maupun pada saat menjajakan perlu dilakukan. Hasil pemeriksaan kemudian dipakai sebagai masukan untuk menentukan materi pelatihan kepada tenaga kesehatan, kader, pedagang jajanan dan masyarakat. (4) Dinas Koperasi dan UKM, oleh karena pedagang jajanan merupakan industry rumah tangga maka Dinas Koperasi dan UKM mempunyai kewenangan dan bertugas memberi pelatihan kepada pedagang jajanan untuk memproduksi jajanan yang sehat dan bergizi terutama bagi balita, yang sesuai dengan standar dari Dinas Kesehatan. Dinas Koperasi dan UKM ini juga menetapkan sangsi-sangsi yang dapat dijatuhkan kepada pedagang makanan jajanan jika terbukti melanggar ketentuan (5) Dinas Pendidikan, bertugas memberi pendidikan berkaitan dengan jajanan yang sehat kepada masyarakat sekolah, khususnya yang berkaitan dengan balita, yaitu pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). (6) Pemerintah Daerah setempat, yang merupakan institusi yang bertanggung jawab terhadap masyarakat di wilayah kerjanya dapat memfasilitasi semua kegiatan yang dilakukan. 2) Program yang berkaitan dengan kegiatan pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk. Untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan balita, oleh karena kemampuan membeli bahan pangan yang rendah, dalam rangka pencegahan dan penanggulangan terjadinya gizi kurang dan gizi buruk, maka strategi program berorientasi pada kebiasaan model ketahanan pangan dalam keluarga yang sudah ada berupa
206
simpanan dalam bentuk gabah. Bentuk ini kemudian dapat dikembangkan di tingkat desa sebagai bentuk ketahanan pangan masyarakat. 3) Program yang berkaitan dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Pada pemberdayaan masyarakat perlu strategi program yang berorientasi pada sistem sosial yang berupa keakraban sosial dan sistem kelembagaan yang merupakan potensi di daerah tersebut. Sistem sosial dimanfaatkan dalam rangka mengaktifkan posyandu, PPG (Pos Pemulihan Gizi) dan kelompok gizi masyarakat yang semuanya akan mendukung tercapainya perbaikan status gizi di masyarakat. 4) Program yang berkaitan dengan kegiatan peningkatan surveilans gizi. Selain kader yang merupakan bentuk pemberdayaan masyarakat untuk membantu peningkatan surveilans gizi, maka strategi program juga berorientasi pada norma yang merefleksikan kebiasaan saling memberi di masyarakat, berupa saling merawat dan mengawasi anak di lingkungannya. Masyarakat di lingkungan balita dapat disertakan dalam penemuan data-data gizi yang diperlukan, misalnya data balita dengan gizi kurang yang tak terpantau oleh tenaga kesehatan atau posyandu. Kebijakan yang berdasarkan potensi aspek sosiokultural yang dimiliki masyarakat ini merupakan strategi yang diperlukan untuk program jangka pendek. Implementasi kebijakan juga akan berbeda didaerah lain, oleh karena masingmasing daerah mempunyai bentuk sosiokultural yang berbeda pula.
207
C. Keterbatasan Penelitian Hasil penelitian ini mempunyai keterbatasan yang perlu mendapat perhatian, walaupun peneliti telah berusaha meminimalkannya. Adapun keterbatasan penelitian tersebut berupa: 1. Data tentang makanan jajanan, yang dinilai sebatas penilaian kuantitatif saja, yaitu menyangkut jumlah kandungan energi dan protein yang menggunakan penilaian kasar menggunakan tabel standar dari DKBM (Daftar Komponen Bahan Makan), DKGJ (Daftar Kandungan Makanan Jajanan) dan pedoman komposisi ASI. Hal tersebut sesuai dengan fungsi dari data makanan jajanan sebagai data kuantitatif pelengkap saja. 2. Penelitian terfokus pada status gizi baik dan mengabaikan adanya balita dengan status gizi lebih yang juga merupakan akibat dari asupan makanan yang salah. Berdasarkan keterbatasan dari penelitian ini, maka perlu dipikirkan adanya penelitian lanjutan yang dapat lebih memperluas pandangan terhadap perspektif teori yang sudah dihasilkan pada penelitian ini. Misalnya dengan pengembangan penelitian ke arah yang lebih komplek dengan memfokuskan juga pada kualitas makanan jajanan berdasarkan pemeriksaan laboratorium secara cermat dari masing-masing kandungan zat gizi yang terdapat pada makanan jajanan, yang sering dikonsumsi oleh balita, serta kaitannya dengan kecenderungan kea rah gizi lebih.
208