BAB IV Study Kasus dan Analisis 4.1 Pendahuluan Pada Bab ini dipilih beberapa kasus kecelakaan penerbangan yang terjadi di dalam dan luar negeri serta melibatkan faktor kelalaian manusia sebagai salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan. Pemilihan kecelakaan penerbangan yang akan dianalisis berdasarkan beberapa kriteria sebagai berikut : 1. Melibatkan pesawat komersial. 2. Terjadi dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun yang lalu (setelah 1997), sehingga relevan dengan kondisi saat ini. 3. Kasus yang dipilih memiliki ketersediaan data yang lengkap serta dapat ditarik banyak pembelajaran.
4.2 Gulf Air flight 072 ¾ Kronologi singkat : Pada tanggal 23 agustus 2000 sekitar pukul 19.30 waktu setempat, penerbangan berjadwal Gulf Air dengan nomor penerbangan GF 072 menggunakan pesawat Airbus A320-212 mengalami kecelakaan di Teluk Arab dekat Muharraq, Bahrain. Penerbangan GF 072 berangkat dari bandara internasional Cairo, Mesir dengan 2 pilot, 6 kru kabin dan 135 penumpang menuju bandara internasional Bahrain (BAH). Penerbangan GF 072 sedang melaksanakan penerbangan berjadwal untuk melayani penumpang internasional di bawah konvensi International Civil Aviation Organization dan menggunakan rencana penerbangan instrument flight rules (IFR). Pesawat akan mendarat pada landasan (runway) 12 bandara Bahrain namun setelah dua kali melakukan percobaan pendaratan dan gagal, pesawat kembali memutar hingga akhirnya mengalami kecelakaan dan jatuh di laut sekitar 3 miles timur laut bandara sesaat setelah memulai go-around. Pesawat hancur akibat benturan yang terjadi dan seluruh 143 orang yang berada dalam pesawat meninggal. ¾ Penyebab kecelakaan : Berdasarkan investigasi dan laporan yang didapat dari Aviation Safety Network dan Aviation Week, kemungkinan penyebab terjadinya kecelakaan sebagai berikut : 1. Faktor individu 30
•
Kapten pilot tidak mematuhi prosedur penerbangan seperti : melebihi kecepatan yang diizinkan saat terbang menurun mendekati landasan (approach), yaitu sekitar 180 kt, seharusnya 136 kt. Tidak mengikuti jalur approach sesuai standar, ketinggian terbang pada jarak sekitar 0.9 naut mi dari landasan sekitar 584 ft, hampir dua kali kondisi normal. Melakukan manuver orbit 360 derajat pada ketinggian rendah, sekitar 500ft.
•
First Officer tidak memiliki keberanian memperingati pilot akan adanya penyimpangan yang terjadi, seperti yang disebutkan di atas. Pada saat go-araound, kru mengalami hilang arah secara spasial sehingga gagal memperkirakan sikap terbang pesawat dengan benar. Kru mengira kondisi pesawat nose up sehingga untuk mengembalikan ke posisi normal, dilakukan nose down namun pesawat justru jatuh menghantam laut.
•
Tidak merespon sinyal peringatan bahaya tabrakan, Ground Proximity Warning System (GPWS).
2. Faktor sistemik : •
Faktor organisasi : Tidak melaksanakan training CRM (crew resources management) dengan baik; sehingga kru tidak mampu bekerjasama dan saling menutupi kekurangan masing-masing. Tidak melaksanakan prosedur latihan A320 dengan baik misalnya mengenai SOP saat pendaratan, CFIT (Controlled Flight Into Terrain), GPWS (Ground Proximity Warning System). Sistem data analisis penerbangan tidak berjalan dengan baik dan ada indikasi penurunan keselamatan penerbangan. Lambannya respon terhadap penjecagahan kejadian serupa yang pernah terjadi dalam tiga tahun terakhir.
•
Faktor keselamatan : DGCAM sebagai organisasi keselamatan penerbangan yang berwenang tidak mampu menjamin airline melaksanaakan operasi sesuai aturan yang berlaku.
¾ Analisis : Dalam kejadian ini ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap kecelakaan penerbangan tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya pilot tidak melaksanakan prosedur, program latihan yang dijalankan airline tidak berjalan dengan baik serta kurangnya pengawasan pihak otoritas penerbangan. Seperti telah kita ketahui, fasa akhir penerbangan merupakan saat paling kritis dalam operasi penerbangan. Pada fasa akhir penerbangan seperti pendaratan diperlukan performansi tinggi dari kru penerbangan namun di lain sisi performansi kru sudah menurun drastis setelah melakukan perjalanan panjang. Menurunnya performansi ketika melakukan penerbangan malam
31
hari sering mengakibatkan spatial disorientation atau berkurangnya kepekaan akan kondisi yang dihadapi. Satu kesalahan kecil dapat berakibat fatal, seperti yang terjadi pada kasus di atas. Pilot mengira sikap pesawat dalam kondisi nose up sehingga untuk mengembalikan pada kondisi normal maka pesawat digerakkan untuk nose down atau menurunkan posisi hidung pesawat. Kondisi yang sebenarnya pesawat tidak dalam keadaan nose up. Pergerakan menurunkan hidung pesawat justru menyebabkan pesawat kehilangan ketinggian dan jatuh. Adanya First Officer yang bertugas membantu kapten pilot justru tidak berfungsi dengan baik. Kerjasama yang baik diperlukan untuk saling menutupi kelemahan dan kesalahan masingmasing. Tidak adanya kerjasama mengakibatkan kelalaian yang terjadi tidak dapat diperbaiki. Dalam penerbangan umumnya terdapat seorang kapten pilot dan first officer. Kapten pilot bertugas sebagai komandan operasi penerbangan sedangkan first officer bertugas membantu kapten dan memberi masukan. Umumnya kapten pilot lebih berpengalaman dan kemampuannya lebih baik. Perbedaan kualitas antara kapten pilot dengan first officer perlu diatur secara optimal agar tidak terjadi masalah1. Masalah yang sering timbul adalah sebagai berikut : o Kapten : high, First Officer : low Ketika kombinasi ini dipadukan dalam satu penerbangan yang sering terjadi adalah kapten pilot terlalu otoriter terhadap first officer. Ketika kapten pilot melakukan kesalahan, kemungkinan first officer tidak berani memberi masukan atau peringatan. Hal ini menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kinerja kapten pilot. Ketika first officer tidak mampu melaksanakan tugas dengan baik maka kapten pilot akan mendapat beban tambahan. Pada kecelakaan tersebut kemungkinan kombinasi inilah yang terjadi. o Kapten : high, First Officer : high Bila level antara kapten pilot dan first officer sama bagus, kemungkinan first officer tidak menghargai pilot meskipun punya pengalaman lebih. Ketika terjadi kasus masing-masing berargumen mengenai cara pemecahan masalah menurut keinginan masing-masing. Perbedaan pendekatan pemecahan masalah dapat berujung pada terjadinya kecelakaan. o Kapten : low, First Officer : low Pasangan yang sama-sama tidak memenuhi kualifikasi jelas memiliki peluang membuat kesalahan yang sangat besar. Ketika menhadapi kasus khusus, tidak ada yang mampu menanganinya dengan baik.
1
: Hawkins, F H, Human Factors in Flight, ashgate, USA, 1987
32
Ideal : o Kapten : high, First Officer : moderate Kombinasi ini adalah yang paling ideal. Kapten pilot memiliki kemampuan yang lebih dan first officer juga memiliki kemampuan yang cukup memadai. Kapten pilot akan dapat melaksanakan tugasnya sebagai komandan operasi penerbangan dengan baik dan dihargai oleh first officer. Sedangkan ketika terjadi kesalahan, first officer dapat member masukan dan peringatan serta membantu tugas kapten pilot dengan baik
Masalah kepemimpinan seorang kapten pilot juga penting diperhatikan. Kepemimpinan memiliki dua aspek penting yaitu kemampuan teknis yang baik dan kemampuan interpersonal. Kemampuan teknis meliputi menangani tugas-tugas di lapangan sedangkan kemampuan interpersonal meliputi kerjasama, komunikasi, saling pengertian, dll. Pihak operator dalam hal ini airline bertanggung jawab membuat kebijakan dan mengadakan latihan agar kru menjalankan prosedur penerbangan dengan baik. Dalam kejadian ini diduga budaya perusahaan mempengaruhi kebijakan pilot. Kapten pilot mungkin merasa takut mendapat teguran dari perusahaan bila melakukan miss-aproach. Saat mendekati landasan, kru penerbangan memutuskan untuk melakukan melakukan manuver orbit, memutar ke kiri dan mencoba pendaratan kembali. Seharusnya kru melakukan manuver go-around; terbang menanjak, memutar dan mencoba pendaratan kembali. Kejadian serupa terjadi beberapa kali dalam tiga tahun terakhir, namun upaya-upaya yang dilakukan otoritas penerbangan setempat (DGCAM) tidak membuahkan hasil. Pihak yang berwenang tidak mampu memberi jaminan agar semua operator melaksanakan prosedur penerbangan. Diagram alur terjadinya kecelakaan penerbangan GF072 adalah sebagai berikut :
33
E
= Error
V
= Violation
Kecelakaan
E
Kapten melakukan manuver nose down
Tidak memerhatikan peringatan GPWS
E
E V
Co-pilot tidak mem-backup tugas kapten
V E
Terlalu fokus mengatasi overspeed
Kehilangan situational awareness
Tidak melakukan prosedur go-around
Gagal melakukan pendaratan
V
Kecepatan pesawat melebihi kondisi normal
V
V
Jalur approach tidak normal
Tidak mematuhi prosedur pendaratan
Gambar 4 . 1 Alur kecelakaan GF072
Dalam kaitannya dengan model keju swiss, penyebab-penyebab yang memengaruhi terjadinya kecelakaan tersebut dapat dirangkum pada tabel di bawah ini :
34
Tabel 4.1 Penyebab kecelakaan GF 072 dalam model keju swiss. Unsafe Acts
o Tidak mematuhi prosedur penerbangan seperti kecepatan pesawat melebihi batas normal saat approach, tidak melakukan prosedur go-around. o Mengabaikan peringatan GPWS serta lebih fokus menangani masalah overspeed. o Tidak memerhatikan instrumen pitch attitude pesawat. o Melakukan manuver nose down.
Preconditions for
o Ketakutan melakukan miss approach.
Unsafe Acts
o Kehilangan situational awareness o Mengalami visual illusion o Buruknya koordinasi kru penerbangan o Kurangnya pelatihan mengenai prosedur pendaratan, CFIT,
Unsafe Supervision
dsb. o Pemilihan pasangan kru penerbangan tidak tepat. o Tidak menangani masalah serupa dengan segera. o Perusahaan tidak menekankan pentingnya pelaksanaan SOP. o Fasilitas flight data monitoring and analysis system yang dimiliki Gulf Air tidak dimanfaatkan secara optimal.
Organizational
o Struktur organisasi GF yang menangani safety tidak memadai.
Influences
o Kebijakan untuk tidak melawan kapten pilot saat melakukan manuver miss approach. o Kurangnya kesadaran perusahaan mengenai safety, misalnya tidak mengikuti pertemuan rutin yang diadakan IATA berkaitan dengan keselamatan penerbangan. o Pihak otorita tidak bekerja efektif dalam memastikan maskapai melaksanakan penerbangan yang aman.
¾ Rekomendasi : •
Program latihan yang dilaksanakan operator harus memenuhi standar yang ditetapkan pihak otorita penerbangan.
35
•
Pemilihan pasangan kru penerbangan harus memerhatikan kemampuan masing-masing dan dapat bekerjasama satu sama lain serta tidak terdapat rentang kemampuan yang terlalu jauh, seperti yang telah dijelaskan di atas.
•
Dalam simulasi terbang, sebaiknya dilakukan semirip mungkin dengan kondisi nyata, misalnya antara kapten (kursi kiri) dan first officer (kursi kanan), bukan sesama kapten atau sesama first officer. Selain itu diperlukan simulasi dalam menghadapi kondisi sulit misalnya cuaca buruk atau kegagalan mesin.
•
Untuk mencegah kelelahan yang dialami pilot saat penerbangan panjang perlu adanya prosedur tertentu serta pengaturan jadwal terbang pilot agar dapat beristirahat secukupnya.
Gambar 4 . 2 Perkiraan jalur penerbangan GF072 sesaat sebelum kecelakaan. Sumber : www.iasa.com.au, akses jujni 2007
36
4.3 American Airline flight 1420 ¾ Kronologi singkat Pada tanggal 1 juni 1999 pesawat McDonnell Douglas (MD-82) milik American Airlines dijadwalkan melakukan penerbangan dari Dallas/Fort Worth (DFW) menuju Little Rock (LIT). Pesawat tersebut mengangkut 145 orang yang terdiri dari 6 orang awak pesawat dan 139 orang penumpang. Penerbangan tersebut sempat mengalami penundaan karena masalah cuaca. Saat mendekati Bandara Litle Rock (LIT), kondisi cuaca dilaporkan cukup buruk, dengan kondisi badai dan petir. Kru penerbangan meminta untuk mendarat di landasan 4R (biasanya menggunakan landasan 22L) dengan alasan keselamatan. Kapten pilot tidak dapat melihat landasan dengan baik namun first officer bisa melihatnya. Approach dilakukan secara visual. Karena terbatasnya jarak pandang, pendaratan tidak dapat dilakukan dengan mulus, bahkan sempat ada peringatan ”sink rate” dari Ground Proximity Warning System (GPWS). Pada saat mendarat, kedua reversers thrust diaktifkan, setting engine pressure ratio mesin kiri dan kanan sebesar 1.89 dan 1.67. Pesawat overshoot dan menabrak bebatuan dan approach lighting system. Dalam kejadian ini terdapat korban jiwa sebanyak sebelas orang yang terdiri dari seorang awak pesawat dan sepuluh orang penumpang. ¾ Penyebab : Berdasarkan hasil investigasi, penyebab terjadinya kecelakaan adalah sebagai berikut: 1. Kru penerbangan gagal untuk tidak meneruskan approach ketika terjadi badai dan menghadapi bahaya dan kru penerbangan juga gagal meyakinkan spoiler bekerja dengan baik. 2. Kinerja kru penerbangan tidak optimal karena kelelahan dan stress karena pendaratan dalam kondisi cuaca yang tidak baik. 3. Meneruskan approach dan landing padahal kondisi angin samping melebihi batas yang diizinkan perusahaan. 4. Menggunakan reverse thrust lebih dari 1.3. pressure ratio. ¾ Analisis : Pesawat mengalami keterlambatan pemberangkatan dari Bandara Internasional Dallas/Fort Worth selama lebih dari dua jam karena cuaca buruk dan keterlambatan penerbangan sebelumnya. Seperti yang dikutip dari casa.gov.au first officer menyatakan bahwa pesawat harus berangkat menuju Little Rock sebelum pukul 23.16 karena batas waktu tugas yang ditetapkan perusahaan. 37
Penundaan penerbangan mengakibatkan kru penerbangan dalam kondisi kelelahan. Adanya batas waktu tugas juga membuat kru mendapat tekanan untuk membuat keputusan melanjutkan penerbangan. Dalam kondisi seperti ini terkadang kru tidak mampu melakukan pertimbangan yang matang untuk membuat keputusan. Ketika ada penundaan satu jadwal penerbangan maka jadwal berikutnya kemungkinan besar akan tertunda sehingga pelayanan pada pengguna jasa transportasi udara berkurang. Penerbangan harus dilakukan tepat waktu untuk memberi pelayanan optimal pada penumpang namun keselamatan penerbangan harus tetap menjadi prioritas utama. Kru penerbangan sebagai salah satu pihak yang paling tahu kondisi di lapangan berhak menentukan apakah penerbangan tetap dilanjutkan atau tidak. Pada kasus ini kru memutuskan untuk tetap melanjutkan penerbangan menuju Little Rock dalam kondisi cuaca buruk. Sebaiknya penerbangan ditunda hingga hari berikutnya mengingat cuaca buruk dan kondisi fisik kru yang mengalami kelelahan karena mengalami penundaan pada penerbangan sebelumnya. Kondisi cuaca saat itu hujan sangat lebat disertai angin kencang dan diselingi butiran salju sebesar bola golf. Beberapa saat setelah tinggal landas, kru mendapat informasi bahwa di sekitar bandara Little Rock terdapat badai dan petir. Saat hampir tiba di tujuan, pemandu lalu lintas udara memberi informasi adanya wind shear di sekitar bandara yang dapat menyebabkan pesawat kehilangan kecepatan. Keputusan kru meminta mendarat di landasan 4R dengan harapan mendapat angin belakang (tail wind) sudah tepat namun karena terbatasnya pandangan visual maka jalur approach yang diambil tidak normal, sedikit berputar-putar, seperti yang terlihat pada gambar 4.3.
38
Gambar 4 . 3 Jalur Approach penerbangan 1420 dan proses terjadinya kecelakaan Sumber : www.casa.gov.au
39
Saat mendarat, kedua reverse thrust aktif. Setting engine pressure ratio mesin kiri dan kanan sebesar 1.89 dan 1.67, seharusnya tidak lebih dari 1.3. Spoiler juga tidak diaktifkan. Pesawat mengalami sliding dan berputar. Kondisi angin samping juga melebihi batas yang diizinkan perusahaan untuk dapat melakukan pendaratan. Karena sikap pesawat yang sulit dikendalikan tersebut maka pengereman tidak dapat dilakukan dengan optimal dan pesawat mengalami overrun lalu menabrak tiang lampu di ujung landasan. Meskipun menghadapi tekanan karena kondisi cuaca buruk seharusnya kru bisa lebih tenang dalam melakukan proses pendaratan. Mungkin akan lebih baik bila kru memutuskan untuk memutar dahulu, mencari saat yang tepat untuk mendarat sehingga sikap pesawat dapat dikendalikan dengan baik.
Gambar 4 . 4 Reruntuhan pesawat American Airline flight 1420 Sumber : www.airdisaster.com, akses September 2007
40
Diagram alur terjadinya kecelakaan penerbangan AA 1420 adalah sebagai berikut : E
= Error
V
= Violation
Kecelakaan
Pesawat overrun
V
Reverse thrust melebihi 1.3 EPR
E
V
Spoiler tidak diaktifkan
Sikap pesawat sulit dikendalikan
V
Memaksakan pendaratan saat angin samping melebihi batas
E
Kru mengalami fatigue
V
Tidak mencari bandara alternatif
Penundaan jadwal penerbangan
Kondisi cuaca buruk
Gambar 4 . 5 Alur kecelakaan AA 1420
41
Dalam kaitannya dengan model keju swiss, penyebab-penyebab yang memengaruhi terjadinya kecelakaan tersebut dapat dirangkum pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.2 Penyebab kecelakaan AA 1420 dalam model keju swiss. Unsafe Acts
o Memaksakan proses pendaratan padahal kondisi cuaca tidak memungkinkan serta angin samping melebihi 20 knots, batas yang ditetapkan perusahaan. o Reverse thrust melebihi 1.3 EPR. o Spoiler tidak diaktifkan saat pendaratan.
Preconditions for Unsafe Acts
o Kru penerbangan mengalami fatigue dan stress karena kurang beristirahat serta keterlambatan penerbangan. o Terjadi distraction dan kurangnya koordinasi akibat tekanan yang dihadapi. o Kekhawatiran adanya duty time limitation o Keterbatasan jarak pandang saat akan mendarat. o Kurang komunikasi untuk menunggu badai lewat atau mencari bandara alternatif. o Prosedur pengaktifan spoiler tidak menegaskan siapa yang
Unsafe Supervision
bertanggung jawab serta tidak ada afirmasi bahwa tugas sudah dilaksanakan. o Informasi mengenai kondisi cuaca kurang lengkap. o Prosedur stabilized approach criteria tidak jelas
Organizational
o Duty time limitation.
Influences ¾ Rekomendasi :
Kru penerbangan semestinya diberi kewenangan penuh dapat melakukan operasi penerbangan tanpa ada tekanan dari pihak airline.
Pelatihan dalam menghadapi kondisi kritis, misalnya cuaca buruk perlu dilakukan lebih intensif sehingga kru dapat lebih tenang dan percaya diri bila menghadapi masalah serupa.
Informasi mengenai kondisi cuaca harus diberikan secara lengkap sehingga memudahkan kru dalam mengambil keputusan.
Fasilitas bandara harus memenuhi standar misalnya mengenai panjang runway safety area 42
4.4 Garuda Indonesia flight 200 ¾ Kronologi singkat Pada tanggal 7 maret 2007 pesawat Boeing 737-400 milik maskapai penerbangan Garuda Indonesia melakukan penerbangan dari Jakarta menuju Yogyakarta. Pesawat tersebut mengangkut 140 orang yang terdiri dari 7 orang awak pesawat dan 133 orang penumpang. Kondisi cuaca dilaporkan sangat baik. Pada saat melakukan pendaratan, kecepatan pesawat diatas batas normal sehingga tidak bisa mendarat dengan sempurna. Pesawat overran dan terperosok ke persawahan dan terbakar beberapa saat kemudian. Peristiwa ini memakan korban jiwa sebanyak 22 orang yang terdiri dari seorang awak pesawat dan 21 orang penumpang. ¾ Penyebab kecelakaan Berdasarkan informasi dan hasil investigasi yang dikutip dari Aviation Safety Network dan Wikipedia, penyebab terjadinya kecelakaan sebagai berikut : •
Kecepatan pesawat sesaat sebelum pendaratan melebihi batas normal, bahkan hampir dua kali lipat yaitu sekitar 410 km/jam.
•
Flaps tidak didefleksikan secara normal sesuai prosedur pendaratan.
¾ Analisis Dari informasi yang didapat, kondisi cuaca dilaporkan cerah. Penyebab terjadinya kecelakaan lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia. Kecepatan pesawat sesaat sebelum mendarat melebihi kondisi normal yaitu sekitar 410 km/jam dan flaps tidak didefleksikan dengan benar. Pada kondisi normal kecepatan saat akan mendarat sekitar 135 knot dengan setting flaps 40. Akibatnya saat touchdown pesawat tidak berada pada titik normal yaitu 200 meter dari ujung landasan melainkan sekitar 660 meter. Panjang landasan Bandara Adisutjipto (WIIJ-ICAO atau JOG-IATA) adalah 2200 meter. Berdasarkan berat pesawat 55 ton, landasan dalam kondisi kering, flaps 30, spoiler aktif, maximum reversers tersedia, auto-brakes aktif (dengan Vref+5 146 knots), panjang landasan maksimum yang dibutuhkan untuk pendaratan adalah 1.503 meter. Ini berarti masih ada sisa landasan minimal sepanjang 697 meter. Namun karena kecepatan pesawat yang melebihi kondisi normal dan sikap pesawat yang tidak sempurna maka pendaratan tidak berjalan mulus. Pesawat sempat mengalami sentakan beberapa kali saat mendarat karena posisi landing gear tidak menyentuh landasan secara bersamaan. Landing gear kiri menyentuh landasan terlebih dahulu kemudian pesawat sempat 43
memantul dan mendarat kembali dengan posisi landing gear kanan sebagai tumpuan. Sentakan ke tiga terjadi beberapa saat kemudian ketika nose wheel menyentuh landasan. Pendaratan yang tidak sempurna ini menyebabkan pesawat tidak dapat direm dengan baik dan mengalami overrun. Pesawat menabrak pembatas di ujung landasan dan terperosok dalam persawahan sekitar 300 meter dari ujung landasan. Dalam kondisi seperti ini seharusnya pilot memutuskan untuk melakukan go-around, terbang menanjak, memutar dan melakukan mengulangi pendaratan kembali. Sebenarnya prosedur go-around ini mudah dilakukan namun pilot umumnya enggan melakukannya karena beberapa faktor. Padatnya jadwal penerbangan menyebabkan go-around seolah menghabiskan waktu sehingga dapat memengaruhi ontime performance. Pilot yang melakukan go-around mendapat kesan kurang mahir dalam mengemudikan pesawat sehingga memengaruhi personal image pilot tersebut. Adanya kebijakan dari Garuda yang menyatakan akan memberi bonus bila mampu melaksanakan operasi secara efisien diduga menjadi salah satu faktor terjadinya kecelakaan ini2. Pada dasarnya maskapai boleh membuat kebijakan untuk mengurangi biaya operasional dengan membuat kebijakan mengenai fuel conservation selama masih memperhatikan keselamatan penerbangan. Meskipun kru terpacu untuk menjalankan penerbangan yang efisien agar mendapat bonus namun tugas utamanya wajib dipenuhi. Tugas tambahan tersebut memang menambah beban kerja kru penerbangan namun keselamatan penerbangan harus tetap menjadi prioritas utama. Kondisi landasan Bandara Adisutjipto juga dikeluhkan kru penerbangan lain. Profil landasan yang menanjak lalu menurun di bagian tengahnya mengganggu konsentrasi kru penerbangan saat melakukan pendaratan maupun tinggal landas. Selain itu contour landasan yang bergelombang menyebabkan sulitnya membaca instrumen pesawat karena getaran yang ditimbulkan. Adanya kemiringan permukaan daratan di sekitar landasan juga dapat menimbulkan kesalahan penilaian terhadap ketinggian terbang pesawat yang sesungguhnya. Hal ini biasanya terjadi bila kru penerbangan dalam kondisi lelah. Sebagai contoh seperti yang dapat dilihat pada gambar 4.4, Saat approach kru akan membuat jalur pendaratan dengan sudut 3o dengan landasan. Bila terdapat kemiringan menurun, misalnya 1o maka kru akan merasa seolah-olah terbang terlalu rendah dan membentuk jalur pendaratan dengan sudut 2o. Hal ini akan mengakibatkan kru memperlambat pendaratan dan mengalami overshoot atau mendarat melampaui titik touchdown normal. 2
: Darmawan, A, Majalah Angkasa No 7 April 2007, Jakarta,2007 44
. Gambar 4 . 6 Kesalahan penilaian ketinggian pesawat akibat kemiringan daratan sekitar landasan Sumber : Hawkins, Frank H, “Human Error in Flight”
Begitu pula sebaliknya, bila terdapat kemiringan menanjak, misalnya 1o maka kru akan merasa seolah-olah terbang terlalu tinggi dan membentuk jalur pendaratan dengan sudut 4o. Hal ini akan mengakibatkan kru mempercepat pendaratan dan mengalami undershoot atau mendarat sebelum mencapai titik touchdown normal.
Gambar 4 . 7 Kesalahan penilaian ketinggian pesawat akibat kemiringan landasan. Sumber : Hawkins, Frank H, “Human Error in Flight”
Sedangkan untuk kondisi landasan yang memiliki kemiringan dan daratan sekitarnya rata, masalah yang serupa juga bisa ditimbulkan seperti pada gambar 4.5 Bila landasan memiliki kemiringan menanjak 1o maka dengan sudut pendaratan 3o, kru akan merasa seolah terbang terlalu tinggi dan kemungkinan mengalami undershoot. Sebaliknya bila landasan memiliki kemiringan menurun 1o maka kemungkinan akan terjadi overshoot.
45
Gambar 4 . 8 Reruntuhan pesawat GA 200 yang sedang terbakar
46
Diagram alur terjadinya kecelakaan penerbangan GA 200 E
= Error
V
= Violation
Kecelakaan
E
E
Pesawat mengalami overrun
E
Main gear tidak menyentuh landasan bersamaan
V
V
Kecepatan pesawat melebihi kondisi normal
V
Pesawat memantul beberapa kali saat mendarat (hard landing)
Tidak melakukan go-around namun memaksakan pendaratan
V
Flaps tidak didefleksikan dengan benar
Tidak mematuhi prosedur pendaratan
Gambar 4 . 9 Alur kecelakaan GA 200
47
Dalam kaitannya dengan model keju swiss, penyebab-penyebab yang memengaruhi terjadinya kecelakaan tersebut dapat dirangkum pada tabel di bawah ini : Tabel 4.3 Penyebab kecelakaan GA 200 dalam model keju swiss. Unsafe Acts
o Kecepatan pesawat saat approach melebihi batas normal, mencapai 410 km/jam o Flaps tidak didefleksikan dengan normal o Tidak melakukan prosedur go around namun memaksakan pendaratan.
Preconditions for Unsafe Acts
o Koordinasi yang kurang baik, kapten mengabaikan peringatan co-pilot.
Unsafe
o Profil landasan yang tidak rata
Supervision
o Pelaksanaan pelatihan pendaratan kurang intensif, khususnya mengenai prosedur go-around
Organizational Influences
o Budaya bahwa pilot yang melakukan miss approach atau goaround dianggap kurang ahli. o Bonus bila mampu menghemat bahan bakar
¾ Rekomendasi
Faktor keselamatan penerbangan harus jadi prioritas utama. Meskipun ada upaya untuk menekan biaya dengan kebijakan fuel conservation, keselamatan penerbangan harus tetap diperhatikan
Perlu upaya pembenahan fasilitas bandara Adisucipto dengan mengadakan levelling untuk meratakan permukaan landasan serta menyediakan Runway End Safety Area di ujung landasan.
Perlu pelatihan yang lebih intensif dalam menghadapi masalah kritis bagi kru penerbangan, misalnya mengenai prosedur go-around. Kru harus dilatih agar memiliki keberanian melakukan prosedur go-around pada kondisi darurat.
48