BAB IV REKONSILIASI FISKAL UNTUK MENGHITUNG PAJAK TERUTANG PADA PERUSAHAAN KONTRAKTOR PT. MANDIRI CIPTA
IV. 1 Penerapan Akuntansi dalam Perhitungan Laba Kena Pajak dan Pajak yang Terutang Laba adalah selisih pendapatan atas biaya sehubungan dengan kegiatan usaha. Apabila biaya lebih besar daripada pendapatan, maka selisihnya disebut rugi. Laba atau rugi ini belum merupakan laba atau rugi yang sebenarnya. Laba atau rugi yang sebenarnya baru dapat diketahui apabila perusahaan telah menghentikan kegiatannya dan dilikuidasikan. Tetapi tentu saja pihak manajemen selalu ingin mengetahui kinerja perusahaan yang tercermin dalam laba atau rugi perusahaan setiap periode. Oleh karena itu, laba atau rugi dihitung secara berkala sehingga dapat diketahui tanda-tanda bahaya terhadap kelangsungan hidup perusahaan. Kunci kelayakan untuk menentukan laba atau rugi adalah dengan mengetahui jumlah pendapatan yang dihasilkan dan biaya yang terjadi dalam suatu periode. Dengan demikian akan dapat ditentukan jumlah laba kena pajaknya. Laba bersih komersial adalah besarnya laba yang dihitung oleh Wajib Pajak sesuai dengan sistem dan prosedur pembukuan yang wajar yang diakui dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Laba bersih komersial dihitung oleh Wajib Pajak tanpa atau dengan memperhatikan ketentuan perpajakan yang berhubungan dengan sistem atau prosedur terkait. Dalam laporan laba rugi PT. Mandiri Cipta yang berakhir tanggal 31 Desember 2005, terdapat data sebagai berikut: 47
Hasil Penjualan
Rp6.502.983.851,00
Harga Pokok Penjualan
(Rp5.592.320.250,00)
Laba Kotor
Rp 910.663.601,00
Total Biaya Administrasi
(Rp 242.548.266,00)
Total Pendapatan Lain
Rp
Laba Kena Pajak
2.299.265,00
Rp 670.414.600,00
Laba kena pajak yang diperoleh adalah sebesar Rp670.414.600,00. Sesuai dengan Pasal 17 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2000, maka jumlah laba kena pajak tersebut dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh sehingga menjadi Rp670.414.000,00. Perhitungan Pajak Penghasilan PT. Mandiri Cipta berdasarkan laporan laba rugi komersial tanpa melalui rekonsiliasi fiskal adalah sebesar:
10%
x
Rp 50.000.000,00
=
Rp
5.000.000,00
15%
x
Rp 50.000.000,00
=
Rp
7.500.000,00
30%
x
Rp570.414.000,00
=
Rp171.124.200,00 Rp183.624.200,00
Dari perhitungan di atas dapat diketahui besarnya Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang terutang untuk tahun 2005 berdasarkan laporan laba rugi komersial tanpa melalui rekonsiliasi fiskal adalah sebesar Rp183.624.200,00. Perhitungan PPh Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2005, yaitu sebesar:
48
PPh terutang
Rp 183.624.200,00
Kredit pajak PPh Pasal 23
Rp 130.059.677,00
PPh Pasal 25
Rp 52.550.000,00
Kekurangan Bayar
Rp
1.014.523,00
Kredit PPh Pasal 23 sebesar Rp130.059.677,00 merupakan hasil dari perhitungan 2% x penjualan perusahaan. Sedangkan kredit PPh Pasal 25 merupakan angsuran PPh Pasal 25 bulan Januari-Februari 2005 sebesar Rp3.956.448,75 setiap bulannya yang sama dengan Tahun Pajak 2004 ditambah dengan angsuran PPh Pasal 25 bulan MaretDesember 2005 sebesar Rp4.463.710,25 setiap bulannya. Dalam Tahun Pajak 2005 tidak ada kredit pajak PPh Pasal 22 karena Wajib Pajak tidak melakukan transaksi dengan bendaharawan pemerintah, impor, dan juga dengan industri-industri tertentu yang menyebabkan terjadinya pemungutan PPh Pasal 22. Begitu juga dengan kredit pajak PPh Pasal 24 tidak ada pada Tahun Pajak 2005 karena Wajib Pajak tidak memperoleh penghasilan di luar negeri yang telah dipotong pajaknya. Dari perhitungan laba kena pajak dan pajak terutang di atas, jika dilihat dari sisi perpajakan maka kemungkinan ada beberapa perkiraan yang harus dikoreksi untuk menentukan laba kena pajak dan pajak yang terutang yang sesuai dengan ketentuan perpajakan.
IV.2
Perhitungan Laba Kena Pajak dan Pajak Terutang oleh Wajib Pajak Cara dan sistematika perhitungan laba rugi komersial yang disusun oleh Wajib
Pajak adalah berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan dan dimaksudkan untuk 49
keperluan berbagai pihak. Artinya bahwa laporan keuangan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi bersifat netral atau tidak memihak. Apabila laporan laba rugi disusun khusus untuk kepentingan perpajakan dengan mengindahkan semua peraturan perpajakan, maka laporan tersebut dinamakan laporan laba rugi fiskal, yaitu laporan keuangan yang menggambarkan hasil usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak selama satu Tahun Pajak. Seperti kita ketahui bahwa tidak ada pembukuan khusus yang diselenggarakan untuk memenuhi kewajiban perpajakan. Pembukuan yang digunakan untuk manajemen dan perpajakan adalah sama, yang berbeda hanya cara penyusunannya. Laba kena pajak berdasarkan laporan laba rugi komersial adalah sebesar Rp670.414.600,00. Jumlah tersebut tidak dapat langsung dijadikan sebagai dasar untuk menghitung besarnya pajak yang terutang untuk tahun 2005 tetapi harus dilakukan rekonsiliasi terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Berhubung kendala yang dialami, Penulis tidak dapat melampirkan rincian laporan keuangan fiskal dari Wajib Pajak. Penulis hanya dapat menampilkan penjabaran rekonsiliasi dan jumlah laba kena pajak berdasarkan laporan keuangan fiskal tersebut. Penjabaran dari rekonsiliasi yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak (yang dikerjakan oleh manajer akuntansi) adalah sebagai berikut: 1. Biaya penyusutan kendaraan dikoreksi negatif sebesar Rp225.000,00 2. Biaya iuran dan sumbangan dikoreksi positif sebesar Rp2.560.000,00 3. Biaya pengobatan karyawan dikoreksi positif sebesar Rp874.000,00 4. Biaya PPh 21 dikoreksi positif sebesar Rp1.220.740,00 5. Biaya telephone/handphone dikoreksi positif sebesar Rp2.185.200,00 6. Biaya entertainment dikoreksi positif sebesar Rp1.342.500,00 50
7. Biaya pajak dikoreksi positif sebesar Rp100.000,00 8. Pendapatan bunga dikoreksi negatif sebesar Rp2.299.265,00
Berdasarkan rekonsiliasi yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak, didapatkan laba fiskal sebesar Rp676.172.775,00. Sesuai dengan Pasal 17 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2000, maka jumlah laba fiskal tersebut dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh sehingga menjadi Rp676.172.000,00. Perhitungan Pajak Penghasilan berdasarkan laporan laba rugi komersial yang telah direkonsiliasi sendiri oleh Wajib Pajak sebesar:
10%
x
Rp 50.000.000,00
=
Rp
5.000.000,00
15%
x
Rp 50.000.000,00
=
Rp
7.500.000,00
30%
x
Rp576.172.000,00
=
Rp172.851.600,00 Rp185.351.600,00
Dari perhitungan di atas dapat diketahui besarnya Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang terutang untuk tahun 2005 berdasarkan laporan keuangan yang telah direkonsiliasi sendiri oleh Wajib Pajak adalah sebesar Rp185.351.600,00. Perhitungan PPh Pasal 29 untuk Tahun Pajak 2005, yaitu sebesar:
PPh terutang
Rp185.351.600,00
Kredit pajak PPh Pasal 23
Rp130.059.677,00
PPh Pasal 25
Rp 52.550.000,00
Kekurangan Bayar
Rp 2.741.923,00 51
Dari perhitungan laba kena pajak dan pajak terutang yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak, maka kemungkinan ada beberapa perkiraan yang salah dikoreksi terkait dengan sumber daya manusia yang mengerjakan laporan fiskal tersebut. Seperti sudah disinggung oleh Penulis dalam Bab III, manajer akuntansi PT. Mandiri Cipta kurang kompeten dalam bidang perpajakan.
IV.3
Koreksi Positf dan Negatif Akibat Perbedaan Tetap dan Perbedaan Waktu Dalam menyusun laporan laba rugi fiskal perlu diketahui terlebih dahulu
mengenai Undang-Undang Perpajakan yang mengatur prinsip-prinsip mengenai penyusunan laporan laba rugi fiskal. Dengan memahami prinsip-prinsip tersebut, laporan laba rugi komersial yang telah tersedia dapat disesuaikan sedemikian rupa sehingga menghasilkan laporan laba rugi fiskal yang benar. Perbedaan konsep, cara pengukuran, dan pengakuan penghasilan dan biaya antara ketentuan perpajakan dan Standar Akuntansi Keuangan menyebabkan perlunya koreksi fiskal. Koreksi fiskal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan laba komersial dengan ketentuan perpajakan sehingga dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan terutang. Koreksi fiskal terdiri dari koreksi positif dan negatif. Koreksi fiskal positif adalah koreksi-koreksi yang akan mengakibatkan penambahan Penghasilan Kena Pajak. Pada umumnya koreksi fiskal positif ini berkaitan dengan biaya-biaya yang tidak diperbolehkan untuk mengurangi penghasilan (negative list). Akibatnya, jumlah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mengurangi penghasilan akan semakin kecil dan di lain pihak jumlah Penghasilan Kena Pajaknya akan semakin besar.
52
Koreksi fiskal negatif adalah koreksi-koreksi yang dilakukan untuk mengurangi Penghasilan Kena Pajak yang dilakukan dengan cara mengurangi laba komersial sebesar koreksi negatif tersebut. Hal-hal yang mengakibatkan timbulnya koreksi fiskal negatif adalah: 1. Biaya Koreksi negatif terhadap biaya mengakibatkan jumlah biaya yang diperkenankan untuk mengurangi Penghasilan Kena Pajak lebih besar dibandingkan dengan pembebanan biaya secara komersial.
2. Penghasilan Ada perbedaan pengakuan menurut akuntansi dan menurut ketentuan perpajakan. Menurut akuntansi dianggap sebagai penghasilan tetapi menurut ketentuan perpajakan tidak dianggap sebagai penghasilan. Oleh karena itu, penghasilan yang dikoreksi negatif harus dikeluarkan dari Penghasilan Kena Pajak atau dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak tersebut.
Koreksi fiskal negatif yang berkaitan dengan PT. Mandiri Cipta adalah biaya penyusutan dan penghasilan bunga bank karena penghasilan bunga bank itu telah dikenakan PPh 23 yang bersifat final. Berikut ini Penulis akan membahas mengenai laporan laba rugi PT. Mandiri Cipta untuk tahun buku yang berakhir 31 Desember 2005. Dari rekonsiliasi terhadap laporan laba rugi tersebut, yang termasuk perbedaan tetap dan dikoreksi positif adalah:
53
1. Biaya Iuran dan Sumbangan Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk iuran dan sumbangan selama tahun 2005 sebesar Rp2.560.000,00. Dari segi akuntansi, biaya tersebut merupakan salah satu pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai biaya, tetapi ketentuan pajak menghendaki agar biaya iuran dan sumbangan mempunyai tempat yang setara dengan pemakaian penghasilan. Oleh karena itu, berbeda dengan perlakuan komersial, biaya iuran dan sumbangan bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan perusahaan. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf (g) UU No. 17 Tahun 2000, maka dilakukan koreksi fiskal atas biaya iuran dan sumbangan tersebut.
2. Biaya Pengobatan Karyawan Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pengobatan karyawan yang sakit selama tahun 2005 sebesar Rp874.000,00. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf (e) UU No. 17 Tahun 2000 dinyatakan bahwa penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan tidak boleh dikurangkan untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak. Oleh karena itu, dilakukan koreksi fiskal atas biaya pengobatan karyawan tersebut.
3. Biaya PPh 21 Berbeda dengan konsep ekonomi perusahaan yang menganggap Pajak Penghasilan sebagai biaya, Pajak Penghasilan untuk penghitungan Penghasilan Kena Pajak bukan merupakan pengurang penghasilan perusahaan. Oleh karena itu, dilakukan koreksi fiskal terhadap biaya PPh 21 sebesar Rp1.220.740,00 karena Pajak Penghasilan 54
merupakan kewajiban yang memang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak (Pasal 9 ayat (1) huruf (h) UU No. 17 Tahun 2000).
4. Biaya Maintenance Kendaraan Biaya maintenance kendaraan yang dikeluarkan oleh perusahaan selama tahun 2005 adalah sebesar Rp16.993.500,00. Dalam keseluruhan biaya tersebut terdiri dari biaya pembelian spare part sebesar Rp14.310.000,00 dan jasa maintenance kendaraan sebesar Rp2.683.500,00 yang dipotong PPh Pasal 23. Dari segi akuntansi, seluruh biaya maintenance kendaraan tersebut dibebankan sebagai biaya yang mengurangi penghasilan perusahaan, tetapi dari segi perpajakan jumlah sebesar Rp2.683.500,00 dikoreksi karena merupakan Pajak Penghasilan yang tidak boleh mengurangi penghasilan perusahaan (Pasal 9 ayat (1) huruf (h) UU No. 17 Tahun 2000).
5. Biaya Entertainment Wajib Pajak mengeluarkan biaya entertainment sebesar Rp6.842.500,00 selama tahun 2005. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) UU No. 17 Tahun 2000 dinyatakan bahwa biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah semua biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Biaya entertainment, representasi, jamuan tamu dan sejenisnya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek PPh dan tidak terkena PPh Final, sesuai SE-27/PJ.22/1986 dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat dibuatkan daftar nominatif dan dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh. Daftar nominatif adalah suatu daftar yang menjelaskan mengenai pengeluaran biaya entertainment tersebut secara terperinci. Oleh karena Wajib Pajak hanya dapat 55
melampiri daftar nominatif sebesar Rp5.500.000,00, maka dilakukan koreksi fiskal atas selisih biaya entertainment sebesar Rp1.342.500,00.
6. Biaya Telephone/Handphone Wajib Pajak mengeluarkan biaya telephone/handphone sebesar Rp14.027.600 dengan perincian biaya telephone sebesar Rp9.657.200,00 dan biaya handphone sebesar Rp4.370.400,00. Berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak KEP-220/PJ/2002 tanggal 18 April 2002 disebutkan bahwa pembebanan biaya handphone yang dimiliki dan dipergunakan untuk pegawai tertentu karena jabatannya dapat melalui penyusutan atau biaya langganan (pengisian ulang pulsa). Perusahaan membebankan biaya handphone berdasarkan biaya langganan (pengisian ulang pulsa) dan yang diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah 50% dari biaya tersebut, yaitu sebesar 50% x Rp4.370.400 = Rp2.185.200,00. Oleh karena itu, atas sisa 50% biaya yang tidak boleh dikurangkan atau sebesar Rp2.185.200,00 dilakukan koreksi fiskal.
7. Biaya Pajak Biaya pajak yang dimaksud adalah sanksi administrasi karena Wajib Pajak tidak tertib administrasi dalam menyampaikan SPT Tahunan. Dalam Pasal 9 ayat (1) huruf (k) Undang-Undang No.17 Tahun 2000 dengan jelas dinyatakan bahwa sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak. Jadi, atas biaya pajak sebesar Rp100.000,00 dilakukan koreksi fiskal. 56
Dari rekonsiliasi terhadap laporan laba rugi PT. Mandiri Cipta, yang termasuk perbedaan tetap dan dikoreksi negatif adalah pendapatan bunga bank dari deposito karena sudah dikenakan PPh 23 Final. Sedangkan dalam laporan laba rugi yang termasuk dalam kategori perbedaan waktu adalah biaya penyusutan aktiva tetap. Perbedaan pengakuan biaya ini terjadi karena adanya perbedaan metode penyusutan yang dipakai oleh komersial dan fiskal. Menurut perhitungan komersial, penyusutan aktiva tetap dihitung dengan menggunakan metode garis lurus (Straight Line Method) ataupun metode lainnya berdasarkan masa manfaat ekonomis aktiva tetap tersebut yang ditetapkan melalui kebijakan perusahaan. Untuk mengetahui besarnya penyusutan menurut fiskal yang perlu disesuaikan, maka perlu diperhitungkan besarnya penyusutan menurut fiskal. Dan untuk lebih jelasnya berikut ini akan diperlihatkan perhitungan penyusutan aktiva tetap untuk kepentingan fiskal: a. Nilai buku kendaraan (lama) pada awal tahun 2005 adalah sebesar Rp19.920.000,00. Berdasarkan kebijakan perusahaan ditentukan umur ekonomis kendaraan adalah selama 10 tahun. Menurut fiskal, kendaraan tersebut termasuk ke dalam golongan II dengan tarif sebesar 12,5% dan disusutkan selama 8 tahun dengan menggunakan metode garis lurus (Straight Line Method). Nilai perolehan kendaraan (lama) adalah Rp26.775.120,00. Selama tahun 2005, yaitu pada bulan Januari terjadi penambahan kendaraan (baru) sebesar Rp9.000.000,00 dengan umur ekonomis selama 10 tahun. Besarnya penyusutan tahun 2005 untuk golongan II menurut perhitungan komersial adalah Rp26.775.120,00 dibagi dengan masa manfaat ekonomis kendaraan selama 10 tahun, yaitu didapatkan nilai sebesar Rp2.677.512,00.
57
Perhitungan penyusutan untuk penambahan kendaraan selama 12 bulan, yaitu Rp9.000.000,00/10 tahun x 12/12 = Rp900.000,00. Jadi, total penyusutan kendaraan untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp2.667.512,00 + Rp900.000,00 = Rp3.577.512,00. Menurut fiskal, besarnya penyusutan untuk penambahan kendaraan (baru) pada bulan Januari 2005 adalah 12,5% x Rp9.000.000,00 = Rp1.125.000,00 Oleh karena itu, koreksi fiskal yang perlu dilakukan adalah menambah besarnya penyusutan kendaraan sebesar Rp1.125.000,00 – Rp900.000,00 = Rp225.000,00.
b. Nilai
buku
untuk
golongan
II,
yaitu
inventaris
kantor
adalah
sebesar
Rp12.799.000,00 dan berdasarkan kebijakan perusahaan ditentukan umur ekonomis selama 8 tahun. Menurut fiskal, tarif untuk golongan II adalah sebesar 12,5% disusutkan selama 8 tahun dengan menggunakan metode garis lurus (Straight Line Method). Nilai perolehan inventaris kantor adalah Rp25.597.920,00. Selama tahun 2005 tidak ada penambahan inventaris kantor. Perhitungan penyusutan inventaris kantor untuk tahun 2005 menurut perhitungan komersial maupun fiskal adalah sama, yaitu sebesar: Rp25.597.920,00/8 tahun atau 12,5% x Rp25.597.920,00 = Rp3.199.740,00.
58
Perkiraan-perkiraan dalam laporan laba rugi PT. Mandiri Cipta yang tidak perlu dilakukan rekonsiliasi dan koreksi fiskal adalah: 1. Hasil Penjualan Neto Wajib Pajak memenangkan tender untuk mengerjakan proyek dari PT. Cenas Rayaland pada tahun 2005 dan mendapatkan penghasilan dari pekerjaan tersebut sebesar Rp2.394.403.072,00. Pendapatan ini termasuk objek Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2000. Oleh karena itu, atas pendapatan ini tidak dilakukan koreksi fiskal. Pada
tahun
2005,
Wajib
Pajak
juga
mendapatkan
penghasilan
sebesar
Rp4.108.580.779,00 dari proyek PT. Centranusa P. Atas pendapatan tersebut juga tidak dilakukan koreksi fiskal karena termasuk objek Pajak Penghasilan sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2000.
2. Harga Pokok Penjualan, yang terdiri dari: a) Biaya Bahan Baku b) Biaya Gaji Buruh Harian c) Biaya Operator d) Biaya Makan Proyek e) Biaya Kontrakan f) Biaya Turun Material g) Biaya Wales (Mesin Giling) h) Biaya Borongan i) Biaya Angkut Tanah j) Biaya Operasional Proyek 59
Biaya-biaya di atas yang merupakan harga pokok penjualan berkaitan dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 17 Tahun 2000). Oleh karena itu, atas biaya-biaya tersebut tidak perlu dikoreksi fiskal.
3. Biaya-Biaya Administrasi, yang terdiri dari: a) Biaya Keamanan b) Biaya Gaji Karyawan c) Biaya THR, Bonus, dan Hadiah d) Biaya Makan Staf e) Biaya Transportasi f) Biaya Tol/Parkir g) Biaya Listrik h) Biaya PDAM i) Biaya Komisi j) Biaya Administrasi Bank k) Biaya Alat Tulis dan Cetak l) Biaya Meterai dan Perangko
Biaya-biaya di atas yang merupakan biaya administrasi berkaitan dengan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 17 Tahun 2000. Oleh karena itu, atas biaya-biaya tersebut tidak perlu dilakukan koreksi fiskal.
60
Wajib Pajak juga perlu memperhatikan biaya-biaya yang dapat menimbulkan resiko menjadi grey area yang memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan fiskus, apakah biaya tersebut dapat dibiayakan atau harus dikoreksi fiskal. Contoh dari biaya tersebut adalah biaya administrasi bank sebesar Rp4.313.318,00. Dari sisi fiskus kemungkinan besar akan melakukan koreksi positif terhadap biaya ini karena dianggap sebagai biaya yang terjadi untuk mendapatkan penghasilan bunga bank dari deposito yang telah dikenakan PPh final. Wajib Pajak harus memiliki argumen dan bukti yang kuat untuk dapat meyakinkan fiskus bahwa biaya tersebut bukan merupakan biaya yang terkait dengan penghasilan bunga bank sehingga tidak dilakukan koreksi positif yang akan menambah jumlah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak.
IV.4
Perhitungan Laba Kena Pajak dan Pajak Terutang oleh Penulis Dari data laporan keuangan yang telah ada dan setelah melihat laporan laba rugi
komersial serta mengadakan koreksi fiskal, baik koreksi fiskal positif maupun koreksi fiskal negatif, maka selanjutnya adalah menghitung laba kena pajak. Hasil koreksi fiskal dari laporan keuangan komersial hingga menjadi laporan keuangan fiskal dijadikan dasar untuk menghitung laba kena pajak. Sampai saat ini belum ada ketentuan fiskal yang mengharuskan Wajib Pajak untuk menyampaikan laporan laba rugi fiskal dengan format tertentu. Rekonsiliasi laporan keuangan fiskal dan komersial dapat disusun setelah melakukan analisis terhadap transaksi-transaksi usaha. Hasil analisa tersebut akan menghasilkan dua kelompok, yaitu transaksi yang sama dan transaksi yang berbeda dengan ketentuan fiskal. Selanjutnya transaksi yang berbeda dengan ketentuan fiskal ini 61
digolongkan ke dalam beda tetap dan beda waktu. Rincian perbedaan tetap dan perbedaan waktu PT. Mandiri Cipta diungkapkan dalam rekonsiliasi laporan laba rugi sebagai berikut:
62
TABEL IV.1 PT. MANDIRI CIPTA REKONSILIASI PERHITUNGAN LABA/RUGI FISKAL UNTUK PERIODE YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2005 (RUPIAH) URAIAN
Koreksi Fiskal Positif (Negatif) Beda Waktu Beda Tetap
Perhitungan Laba/Rugi Komersial
Perhitungan Laba/Rugi Fiskal
Penjualan Harga Pokok Penjualan :
6,502,983,851.00
6,502,983,851.00
B. Bahan Baku B. Gaji Buruh Harian B. Operator B. Makan Proyek B. Kontrakan B. Turun Material B. Wales (Mesin Giling) B. Borongan B. Penyusutan Kendaraan B. Penyusutan Inventaris Kantor B. Angkut Tanah B. Operasional proyek
5,157,444,798.00 3,051,800.00 25,010,000.00 3,868,500.00 2,230,000.00 689,700.00 30,000,000.00 354,165,300.00 3,577,512.00
5,157,444,798.00 3,051,800.00 25,010,000.00 3,868,500.00 2,230,000.00 689,700.00 30,000,000.00 354,165,300.00 3,802,512.00
3,199,740.00 1,631,900.00 7,451,000.00
3,199,740.00 1,631,900.00 7,451,000.00
Harga Pokok Penjualan Laba kotor Operasi Biaya Administrasi : B. Keamanan
5,592,320,250.00 910,663,601.00
5,592,545,250.00 910,438,601.00
6,000,000.00
6,000,000.00
B. Iuran dan Sumbangan B. Gaji Karyawan B. THR, Bonus, dan Hadiah B. Pengobatan Karyawan
(225,000.00)
2,560,000.00 138,000,000.00 11,500,000.00 874,000.00
2,560,000.00
1,220,740.00 4,195,000.00 3,735,000.00 5,387,000.00
1,220,740.00
4,195,000.00 3,735,000.00 5,387,000.00
B. Maintenance Kendaraan
16,993,500.00
2,683,500.00
14,310,000.00
B. Telp/HP B. Listrik B. PDAM B. Entertainment
14,027,600.00 8,147,400.00 1,350,200.00 6,842,500.00
2,185,200.00
11,842,400.00 8,147,400.00 1,350,200.00 5,500,000.00
B. PPh 21 B. Makan Staf B. Transportasi B. Tol/Parkir
874,000.00
63
138,000,000.00 11,500,000.00 -
1,342,500.00 B. Komisi B. Administrasi Bank B. Alat Tulis dan Cetak B. Meterai dan Perangko B. Pajak Total Biaya Administrasi
1,605,000.00 4,313,318.00 14,064,508.00 1,632,500.00 100,000.00 242,548,266.00
Laba Operasi Pendapatan Lain-Lain :
668,115,335.00
Pendapatan Bunga
100,000.00
(225,000.00)
2,299,265.00
10,965,940.00
(2,299,265.00)
Laba Kena Pajak 670,414,600.00 Sumber: Perhitungan Penulis
(225,000.00)
64
8,666,675.00
1,605,000.00 4,313,318.00 14,064,508.00 1,632,500.00 231,582,326.00 678,856,275.00
678,856,275.00
Penjabaran rekonsiliasi antara laba sebelum pajak menurut akuntansi dengan Penghasilan Kena Pajak adalah sebagai berikut:
Laba (Rugi) Komersial
Rp670.414.600,00
Koreksi Fiskal Positif: 1. Biaya Iuran dan Sumbangan
Rp2.560.000,00
2. Biaya Pengobatan Karyawan
Rp 874.000,00
3. Biaya PPh 21
Rp1.220.740,00
4. Biaya Maintenance Kendaraan
Rp2.683.500,00
5. Biaya Telephone/Handphone
Rp2.185.200,00
6. Biaya Entertainment
Rp1.342.500,00
7. Biaya Pajak
Rp 100.000,00 Rp 10.965.940,00
Koreksi Fiskal Negatif: 1. Biaya Penyusutan Kendaraan
(Rp 225.000,00)
2. Pendapatan Bunga
(Rp2.299.265,00) (Rp
Laba (Rugi) Fiskal
2.524.265,00)
Rp678.856.275,00
Dari koreksi-koreksi yang dilakukan baik positif maupun negatif, maka diperoleh laba sebelum pajak sebesar Rp678.856.275,00 (sesuai Pasal 17 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2000, maka dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh menjadi Rp678.856.000,00). Pajak yang terutang yang dihitung berdasarkan tarif umum perpajakan adalah sebesar: 65
10%
x
Rp 50.000.000,00
=
Rp
5.000.000,00
15%
x
Rp 50.000.000,00
=
Rp
7.500.000,00
30%
x
Rp578.856.000,00
=
Rp173.656.800,00 Rp186.156.800,00
Berdasarkan perhitungan tersebut, diketahui bahwa besarnya Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang terutang untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp186.156.800,00. Dengan demikian dapat pula dihitung kekurangan pembayaran pajak untuk tahun 2005, yaitu sebesar:
PPh Terutang
Rp186.156.800,00
Kredit Pajak PPh Pasal 23
Rp130.059.677,00
PPh Pasal 25
Rp 52.550.000,00
Kekurangan Bayar
Rp 3.547.123,00
Pada tanggal 22 Maret 2006, PT. Mandiri Cipta telah membayar kekurangan pajaknya (PPh Pasal 29 Tahun Pajak 2005) menurut laporan keuangan fiskal yang dibuat sendiri, yaitu sebesar Rp2.741.923,00. Setelah Penulis melakukan rekonsiliasi/koreksi fiskal, ternyata kekurangan pembayaran pajak PT. Mandiri Cipta adalah sebesar Rp3.547.123,00. Selisih ini terjadi karena adanya perbedaan laba fiskal menurut Wajib Pajak sebesar Rp676.172.775,00 dengan laba fiskal menurut Penulis sebesar Rp678.856.275,00. Perbedaan laba fiskal tersebut disebabkan karena Wajib Pajak tidak melakukan koreksi positif sebesar Rp2.683.500,00 atas jasa maintenance kendaraan 66
yang diterima oleh Wajib Pajak yang terkandung dalam akun biaya maintenance kendaraan. Padahal seharusnya berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, Wajib Pajak melakukan pemotongan PPh 23 atas jasa maintenance kendaraan yang diterima oleh Wajib Pajak dan hal tersebut harus dikoreksi (Pasal 9 ayat (1) huruf (h) UU No. 17 Tahun 2000). Menurut Penulis, Wajib Pajak mengalami kekurangan pembayaran lagi sebesar: = Rp3.547.123 – Rp2.741.923,00 = Rp805.200,00
IV. 5 Penyampaian dan Pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan PT. Mandiri Cipta Setiap akhir tahun, Wajib Pajak Dalam Negeri harus melaporkan pajaknya yang terutang untuk tahun yang bersangkutan. Sistem pemungutan dan pemotongan pajak atas penghasilan menurut ketentuan perpajakan yang baru adalah memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, memotong, membayar, serta melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang (Self Assessment). Untuk melaporkan pajaknya, Wajib Pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Di dalam penyampaian SPT ini, Wajib Pajak harus melampirkan antara lain neraca dan laporan laba rugi serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (Pasal 4 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2000). Fungsi Surat Pemberitahuan berdasarkan Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 16 Tahun
2000
adalah
sebagai
sarana
Wajib 67
Pajak
untuk
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: 1. Pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak 2. Penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak 3. Harta dan kewajiban 4. Penyetoran dari pemotong atau pemungut pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak
Setiap Wajib Pajak diwajibkan untuk mengisi SPT Tahunan dengan benar, jelas, dan lengkap kemudian menandatangani dan menyampaikannya ke Direktorat Jendral Pajak. SPT tahunan yang telah diisi secara benar, lengkap, dan jelas dan ditandatangani harus disampaikan selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya Tahun Pajak (Pasal 3 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2000). Apabila dalam pengisian SPT ternyata terdapat kesalahan, maka berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2000 Wajib Pajak atas kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dengan syarat: 1. Direktorat Jendral Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Pembetulan SPT tersebut berakibat utang pajak menjadi lebih besar, maka dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang
68
dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPT.
2. Telah dilakukan tindakan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan. Selanjutnya Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang dibayar.
Bagi Wajib Pajak yang telah menghitung, membayar, dan melaporkan pajaknya dengan benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku apabila dalam waktu 10 (sepuluh) tahun Direktorat Jendral Pajak tidak mengeluarkan ketetapan pajak (SKPKB, SKPLB, SKPN), maka jumlah pembayaran-pembayaran pajak yang dilaporkan menjadi pasti (Pasal 13 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2000). SPT dibuat rangkap dua, satu berkas disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat terdaftarnya Wajib Pajak dan satu berkas lainnya untuk arsip Wajib Pajak. Menurut penelitian Penulis, ternyata PT. Mandiri Cipta tidak dapat menyampaikan SPT Tahunan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu tiga bulan setelah berakhirnya Tahun Pajak dikarenakan masalah-masalah teknis yang terjadi dalam penyusunan laporan keuangan PT. Mandiri Cipta. Oleh karena itu, mengacu kepada Pasal 3 ayat (4) UU No. 16 Tahun 2000 PT. Mandiri Cipta mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan selama 6 bulan kepada Direktorat Jendral Pajak dengan disertai: 69
1. Alasan-alasan penundaan penyampaian SPT Tahunan 2. Surat pernyataan perhitungan sementara pajak yang terutang dalam satu Tahun Pajak 3. Bukti pelunasan kekurangan pajak yang terutang menurut perhitungan sementara tersebut.
Penundaan penyampaian SPT Tahunan tersebut tidak dimaksudkan untuk membebaskan Wajib Pajak dari kewajiban pelunasan pajak yang terutang. PT. Mandiri Cipta melaporkan SPT Tahunan pada tanggal 10 Oktober 2006. Oleh karena PT. Mandiri Cipta tetap tidak dapat menyampaikan SPT Tahunan dalam batas waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, maka PT. Mandiri Cipta dikenakan sanksi administrasi sebesar Rp100.000,00 (Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2000). Jika pada saat SPT Tahunan disampaikan ternyata perhitungan sementara pajak selama 1 (satu) tahun yang terutang kurang dari jumlah yang seharusnya terutang, maka atas kekurangan pembayaran tersebut dikenakan bunga 2% sebulan dihitung sejak saat penyampaian SPT Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran (Pasal 19 ayat (3) UU No. 16 tahun 2000). Perhitungan pajak PT. Mandiri Cipta adalah sama dengan perhitungan pajak sementara yang telah disampaikan sebelumnya sehingga PT. Mandiri Cipta tidak dikenakan bunga 2%. Resiko-resiko lainnya terkait dengan penyampaian Surat Pemberitahuan antara lain sebagai berikut: 1. Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang dibayar sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan (Pasal 8 ayat (5) UU No. 16 Tahun 2000).
70
2. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan yang dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran apabila pembayaran/penyetoran pajak dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran/penyetoran pajak (Pasal 9 ayat (2a) UU No. 16 Tahun 2000).
3. Jika diterbitkan SKPKB (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar), maka jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan maksimal 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB (Pasal 13 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000).
4. Jika diterbitkan STP (Surat Tagihan Pajak), maka jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STP ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan maksimal 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya STP (Pasal 14 ayat (3) UU No. 16 Tahun 2000).
5. Jika diterbitkan SKPKBT (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan), maka jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut (Pasal 15 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000).
6. Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak, juga dikenakan bunga sebesar 2% sebulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 bulan (Pasal 19 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000). 71
7. Setiap Wajib Pajak karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, maka dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun dan atau denda paling tinggi 2 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar (Pasal 38 huruf (b) UU No. 16 Tahun 2000).
8. Setiap Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar sehingga menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, maka dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 tahun dan atau denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar (Pasal 39 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2000).
IV. 6 Penanganan dan Pengelolaan Pajak PT. Mandiri Cipta Di dalam struktur organisasi PT. Mandiri Cipta tidak terdapat bagian khusus yang menangani pajak. Tanggung jawab penanganan pajak diberikan kepada manajer akuntansi yang sebenarnya tidak terlalu kompeten dan tidak memiliki keahlian yang cukup baik dalam bidang perpajakan. Manajer akuntansi PT. Mandiri Cipta tidak pernah mengikuti sekolah khusus atau pelatihan tentang perpajakan dan tidak memiliki latar belakang pengalaman yang relatif cukup dalam menangani masalah perpajakan. Selain itu juga, manajer akuntansi di PT. Mandiri Cipta sudah dibebani dengan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di bidang akuntansi sehingga tanggung jawab penanganan pajak seorang diri yang dibebankan kepada manajer akuntansi tersebut akan membuat pekerjaan menjadi overload.
72
Memang manajer akuntansi dapat dibantu oleh staf dalam mengerjakan pekerjaan di bidang akuntansi perusahaan dan manajer akuntansi lebih banyak menangani pajak perusahaan. Tetapi hasilnya pun akan menjadi tidak maksimal karena kompetensi manajer akuntansi di PT. Mandiri Cipta bukanlah di bidang perpajakan dan pengetahuan perpajakan yang dimiliki terbatas. Manajer akuntansi juga tetap harus bertanggung jawab terhadap laporan keuangan komersial perusahaan dan tidak bisa meninggalkan tanggung jawabnya tersebut. Selain itu, hal tersebut menjadi tidak sesuai dengan job description dari manajer akuntansi dan akan timbul kerancuan karena lebih baik jabatan manajer akuntansi diganti namanya menjadi manajer pajak. Bukti yang dapat dijadikan sebagai acuan bahwa pekerjaan manajer akuntansi PT. Mandiri Cipta overload sehingga tidak maksimal dalam menangani pekerjaannya baik di bidang akuntansi maupun di bidang pajak adalah permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan PT. Mandiri Cipta. Hal ini mungkin terjadi karena masalah-masalah teknis yang terjadi di dalam penyusunan laporan keuangan PT. Mandiri Cipta yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh manajer akuntansi. PT. Mandiri Cipta harus peka dan segera mencari solusi agar masalah penanganan pajak seperti di atas tidak terulang lagi pada tahun-tahun yang akan datang. Sebaiknya PT. Mandiri Cipta membentuk divisi/bagian yang khusus menangani masalah pajak. Tetapi apabila PT. Mandiri Cipta tidak ingin membentuk divisi/bagian pajak, masalah penanganan pajak tersebut bisa juga diselesaikan oleh sumber daya manusia yang telah ada di PT. Mandiri Cipta, hanya saja penanganan masalah pajak tersebut tidak boleh dibebani kepada satu orang tetapi harus dibentuk sebuah tim (lebih dari satu orang).
73
Kerugian-kerugian dalam hal perpajakan sangat mungkin diderita oleh PT. Mandiri Cipta dengan struktur organisasi yang ada sekarang ini. Kemungkinan yang terjadi di tahun-tahun yang akan datang adalah pengulangan penundaan penyampaian SPT Tahunan seperti yang terjadi di tahun 2005 bahkan keterlambatan dalam penyampaian SPT Tahunan. Hal-hal seperti itu akan menyita waktu dan menimbulkan masalah-masalah baru. Selain itu juga mengganggu cash flow perusahaan karena akan timbul sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan bahkan sanksi pidana yang mengakibatkan penurunan kas perusahaan. Oleh karena itu, sebaiknya PT. Mandiri Cipta tidak menganggap enteng masalah dalam struktur organisasi seperti ini.
74