BAB IV PENUTUP Pada bagian Bab IV ini, penulis menguraikan dua hal yakni, pertama mengenai kesimpulan dari analisis mengenai bagaimana konsep penyalahgunaan posisi dominan
dalam
hukum
persaingan
usaha
di
Indonesia. Kedua penulis memberikan saran bagi pihak-pihak yang terkait dengan hukum persaingan usaha di Indonesia. Saran-saran ini muncul dari permasalahan penyalahgunaan posisi dominan.
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa dari analisa 10 (sepuluh) putusan KPPU tersebut, maka dapat digolongkan dalam 3 (tiga) varian yakni: pertama yang terbukti melanggar Pasal 25 ayat (1) dan memenuhi Pasal 25 ayat (2) yaitu Perkara Nomor : 04/KPPU-I/2003, Perkara Nomor: 06/KPPU-L/2004, Perkara Nomor: 09/KPPU-L/2009 dan Perkara Nomor: 17/KPPU-I/2010.
Kedua
yang
tidak
terbukti
melanggar Pasal 25 ayat (1) tapi terbukti memenuhi Pasal 25 ayat (2) yaitu Perkara Nomor: 05/KPPU207
I/2005, Perkara Nomor: 21/KPPU-L/2005, Perkara Nomor:
15/KPPU-L/2006
07/KPPU-L/2007.
Ketiga
dan
Perkara
Nomor:
tidak
terbukti
yang
melanggar Pasal 25 ayat (1) dan tidak memenuhi Pasal 25 ayat (2) yaitu Perkara Nomor: 03/KPPU-L-I/2000 dan Perkara Nomor: 02/KPPU-I/2004. Putusan-putusan Majelis Komisi KPPU tentang penyalahgunaan posisi dominan yang telah dibahas dibagian analisis di atas, menunjukkan bahwa UU persaingan usaha Indonesia ini berusaha menjaga kepentingan umum dan mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Hal ini sesuai dengan teori Pound yang salah satunya menekankan pada aspek hukum sebagai alat kontrol sosial. Selain itu, UU persaingan usaha Indonesia ini juga berusaha untuk
meningkatkan
mewujudkan pengaturan
iklim
efisiensi
usaha
persaingan
yang
usaha
ekonomi kondusif yang
nasional, melalui
sehat,
dan
berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha, yang mana hal ini menurut Pound hukum disebut sebagai alat rekayasa sosial. Pendekatan yang digunakan oleh Majelis Komisi KPPU dalam menyelesaikan kasus penyalahgunaan posisi dominan yakni menggunakan pendekatan rule of reason khususnya perkara No.07/KPPU-L/2007, 208
dimana dalam perkara tersebut Majelis Komisi KPPU secara tegas menyatakan bahwa pembuktian perkara ini
menggunakan
rule
of
reason.
Sementara
kesembilan perkaran yang lain, menurut penulis Majelis Komisi juga tetap menggunakan pendekatan rule of reason meskipun tidak dinyatakan secara tegas. Putusan
berkaitan
dengan
pendekatan
tersebut
berbeda
dengan
digunakan pembuktian dalam
tentang
Pasal
25
pendekatan ayat
(1)
ketentuan
yang
yang
yang
dgunakan seharusnya
menggunakan pendekatatan per se. Hal ini disatu sisi menimbulkan Radbruch.
ketidakpastian
Akan
tetapi,
jika
menurut
Gustav
seandainya
tetap
bersikukuh menggunakan pendekatan ini maka dirasa tidak memiliki manfaat bagi pengembangan suatu pelaku usaha. Kemudian dari sisi keadilan juga menjadi polemik karena tidak adil bagi pelaku usaha yang memiliki posisi dominan. Apalagi kalau misalnya dalam
memperoleh
pangsa
pasar
yang
dominan
tersebut diperoleh secara fair atau persaingan secara sehat. Setelah itu pelaku usaha langsung dinyatakan melakukan penyalahgunaan posisi dominan, padahal belum melakukan pembuktian terhadap semua unsur dalam
Pasal
25.
Sisi
ketidakpastian
jika
tidak
menggunakan ini lebih kepada faktor Perundang209
undangan,
artinya
ketidakpastian
konsistensi
mengikuti
ketentuan
yang
terhadap telah
ada
selama ini. Pandangan ini bukan hendak mengatakan bahwa rule of reason tidak memiliki kepastian hukum malahan pendekatan ini menurut penulis sangat layak untuk digunakan dalam pembuktian penyalahgunaan posisi dominan, akan tetapi ini masalah konsistensi dimana dalam beberapa literatur dikatakan bahwa pembuktian Pasal 25 ayat 1 UU No.5 tahun 1999 menggunakan pendekatan Per Se. Jadi sekali lagi penulis
tegaskan
bahwa
ketidakpastian
yang
dimaksud adalah masalah substansi ketidakpastian mengikuti
pendekatan
sesuai
dengan Perundang-
Undangan. Ketidakpastian hukum ini juga berkaitan dengan perkara
No.15/KPPU-L/2006
yakni
jangka
waktu
pencabutan syarat-syarat perdagangan. Pencabutan syarat-syarat perdagangan yang menjadikan terlapor tidak dinyatakan melakukan penyalahgunaan posisi dominan
terkesan
tidak
adil
menurut
Gustav
Radbruch karena yang dirugikan adalah korban atas surat GM No. 058/E22000/2006-S3. Yang mana PT Pertamina (persero) sudah menetapkan syarat-syarat perdagangan akan tetapi karena telah mencabut surat tersebut
disela-sela
pemeriksaan 210
Lanjutan
maka
dinyatakan tidak terbukti melanggar. Putusan ini bisa menjadi bumerang bagi kelangsungan persaingan usaha sehat di Indonesia, bisa saja pelaku usaha lain meniru
tindakan
membuat
PT
Pertamina
syarat-syarat
(persero)
perdagangan
yang dengan
pertimbangan kalaupun nanti ketahuan dan diperiksa oleh KPPU maka langkah selanjutnya Pelaku usaha yang
bersangkutan
segera
mencabutnya
sebelum
dibacakan putusan. Perubahan perilaku pelaku usaha (pencabutan syarat-syarat perdagangan) ini sudah melampaui 60 (enam puluh) hari menurut Pasal 37 Peraturan KPPU No.1 tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU. Putusan ini juga terkesan tidak adil karena yang dirugikan adalah korban atas surat GM No. 058/E22000/2006-S3. Dari
uraian
melahirkan
3
analisis
putusan
KPPU
(tiga)
pendekatan
dalam
tersebut proses
pembuktian penyalahgunaan posisi dominan yakni pendefenisian adanya
posisi
(bagaimana
pasar
bersangkutan,
dominan pelaku
di
usaha
pasar
pembuktian bersangkutan
mencapai
posisi
dominannya tersebut) dan pembuktian apakah pelaku usaha yang yang memiliki posisi dominan tersebut telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Artinya
penangganan
pelanggaran 211
pasal
25
ini
melahirkan dua konsep dalam proses pembuktian yakni penentuan posisi dominan dan pembuktian terhadap tindakan yang bersifat anti persaingan. Pembuktian posisi dominan ini, tetap memfokuskan syarat kuantitatif sebagai acauan apakah suatu kasus dilanjutkan
pembuktian
penyalahgunaannya
atau
tidak, sehingga pemenuhan Pasal 25 ayat (2) ini sebagai
syarat
awal
penyalahgunaan
untuk
posisi
dapat
membuktian
dominan.
Sementara
pembuktian penyalahgunaan posisi dominan masih tetap mengacu pada pemenuhan semua unsur dalam Pasal 25 ayat (1). Jadi, konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam
hukum
persaingan
usaha
adalah
bentuk
tindakan yang bersifat anti persaingan dari pelaku usaha yang memiliki posisi dominan yang bertujuan untuk
menyingkirkan/mengeluarkan
pesaing
yang
telah ada, membatasi/menghambat/mencegah pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan, mengeksploitasi pemasok
barang
dan/atau
jasa
dan
mencegah/
menghalangi konsumen memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing.
212
B. Saran Adapun yang menjadi saran penulis berkaitan dengan konsep penyalahgunaan posisi dominan di Indonesia, yaitu: 1. Bagi pembentuk atau pembuat UU (eksekutif dan
legislatif), harus segera melakukan perubahan terhadap
pendekatan
yang
digunakan
dalam
Pasal 25 UU No.5 tahun 1999. Agar pendekatan rule
of
reason
pembuktian
bisa
diakomodasi
penyalahgunaan
posisi
dalam dominan
pada bagian ‘tujuan’ dengan mencatumkan kata ‘mengakibatkan’. 2. Saran untuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), agar dalam mengawasi secara ketat pelaku usaha yang memiliki posisi dominan dan memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan penyalahgunaan
posisi
dominan
tidak
saja
melindungi pelaku usaha yang dirugikan oleh tindakan pelaku usaha dominan akan tetapi juga untuk melindugi konsumen. 3. Saran untuk pelaku usaha yang memegang posisi
dominan, agar mematuhi ketentuan Pasal 25 UU No.5 tahun 1999 sehingga bersaing secara sehat
213
dan tidak melakukan tindakan atau strategi usaha yang dikategorikan curang. 4. Saran untuk masyarakat, hendaknya perlu ada
kesadaran persaingan
dan
kepekaan
usaha
di
terhadap
Indonesia
masalah
khususnya
penyalahgunaan posisi dominan dalam Pasal 25 ayat 1 huruf a, karena ketentuan ini bertujuan untuk
melindungi
konsumen
dari
tindakan
pelaku usaha yang memiliki posisi dominan untuk membuat syarat-syarat perdagangan. Agar konsumen dapat memperoleh barang dan/atau jasa yang bersaing baik dari segi harga mapun kualitas, salah satu caranya adalah dengan melaporkan kepada KPPU jika mengetahui atau mengalami tindakan atau perilaku pelaku usaha khususnya
yang
menetapkan
syarat-syarat
perdagangan yang pada akhirnya berimplikasi pada tujuan untuk merugikan konsumen.
214