BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
A. Perkembangan Kereta Api 1.
NISM Sebagai Pelopor Pengusahaan Kereta Api Sehubungan dengan kesulitan prasarana dan sarana transportasi di Pulau Jawa ditinjau dari sudut pertahanan dan keamanan, serta sudut ekonomi sejak awal abad ke-19 muncul usul yang diajukan oleh Kolonel Jhr. Van Der Wijk seorang ahli militer, agar di Pulau Jawa dibangun alat transportasi baru, yaitu kereta api yang akan mendatangkan keuntungan tidak ternilai harganya bagi kepentingan pertahanan meliputi jalan rel yang terbentang dari Semarang ke Kedu dan Yogyakarta ke Surakarta. Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan surat keputusan (Koninklijk Besluit) nomor 270 tertanggal 28 Mei 1842 yang menetapkan bahwa pemerintah akan membangun jalan rel yang terbentang dari Semarang ke Kedu dan Yogyakarta ke Surakarta, untuk meningkatkan sarana transportasi tradisional berupa kereta yang ditarik sapi dan kerbau serta untuk meningkatkan daya angkut bagi barang-barang ekspor (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 52-53). Timbulnya permintaan konsesi dari pengusaha swasta yang disertai permohonan jaminan bunga 5% dari modal yang dipinjam, telah menimbulkan berbagai macam pendapat di kalangan pejabat pemerintah 27
Hindia Belanda. Gubernur Jendral L.A.J.W Baron Sloet van den Beele tahun 1861-1866 akhirnya bersedia mengabulkan permintaan konsesi itu dengan beberapa syarat tertentu. Persyaratan dimaksudkan supaya pembuatan jalan rel itu disesuaikan dengan pengarahan Menteri Urusan Jajahan Hindia Belanda Fransen van De Putte, yang menginginkan agar jalur rel Semarang-Surakarta-Yogyakarta diperluas dengan lintas cabang dari Kedungjati menuju Ambarawa yang terdapat benteng Willem I yang penting bagi kemiliteran. Semarang selatan, Surakarta, Yogyakarta merupakan daerah penghasil barang ekspor yang kaya, seperti tembakau, kayu, gula yang diekspor dan diangkut ke pelabuhan Semarang. Akhirnya dengan adanya kebutuhan yang saling berhubungan, maka pada tahun 1862 untuk pertama kalinya pemerintah memberikan konsesi kepada beberapa pengusaha swasta yang kemudian mendirikan perusahaan kereta api swasta Nederlandssch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P. de Bordes. Para pengusaha yang mengontrak tanah-tanah perkebunan sangat memerlukan jasa angkutan kereta api, dengan serta bersedia membayar uang muka untuk muatan yang akan diangkutnya (Subarkah, 1987: 3). Tanggal 7 Juni 1864 adalah saat yang sangat bersejarah bagi dunia perkeretaapian di Indonesia. Gubernur Jenderal L.A.J.W Baron Sloet van den Beele secara resmi melakukan pencangkulan tanah pertama, sebagai tanda dimulainya pembangunan rel kereta api di desa Kemijen Semarang. 28
Ternyata pembangunan rel kereta api di desa Kemijen terbilang cukup lancar. Terbukti tahun 1867 rel kereta api yang sudah terpasang sepanjang 25 km, membentang dari Semarang hingga ke Tanggung. Jalur tersebut melalui halte Alas Tuwa dan Brumbung. Sebagaimana harapan pihak ketiga, di luar militer dan para pengelola perkebunan jalur kereta api ini dioperasikan untuk umum. Tahun 1867, jalur kereta api tersebut berfungsi dengan baik dan berhasil diluncurkan dari Semarang menuju Tanggung. Setelah jalur kereta api dari Semarang-Tanggung selesai, pembangunan terus dilanjutkan meski terkendala oleh masalah pendanaan tetapi tanggal 10 Februari 1870, jalur kereta api ke Surakarta sudah diselesaikan. Dua tahun kemudian tanggal 10 Juni 1872 bentangan rel kereta api tersebut sudah mencapai Yogyakarta. Hal tersebut juga telah memungkinkan seluruh pekerjaan pembangunan jalan rel dari Semarang-Yogyakarta dapat diselesaikan pada tanggal 21 Mei 1873. Tanggal 21 Mei 1873 kereta api Semarang-Yogyakarta dioperasikan dan dibuka untuk umum, disamping itu NISM membangun lintas jalan rel cabang ke Ambarawa dari Kedungjati dan dibuka untuk umum tanggal 21 Mei 1873 (Eddy Supangkat, 2008: 11-13). 2.
Perusahaan Kereta Api dan Trem di Jawa Tengah Nederlandssch Indische Spoorweg (NIS) memulai kiprahnya sebagai pionir perkeretaapian di Semarang, diikuti dengan lahirnya perusahaan kereta api dan trem lainnya di Indonesia. Operasinya buka hanya di Jawa Tengah, melainkan juga ke wilayah Jawa bagian timur dan barat. 29
a.
Nederlandssch Indische Spoorweg (NIS) Pembukaan jalur Semarang-Surakarta-Yogyakarta oleh NIS dilakukan selama periode 1864-1873. Selain berkonsentrasi di Semarang, NIS juga merambah ke wilayah Solo. Pengoperasian jalur Semarang-Surakarta-Yogyakarta mempunyai tujuan untuk mengangkut hasil bumi dari vorstenlanden (wilayah-wilayah Kerajaan) yang akan di ekspor melalui pelabuhan Semarang.
b.
Semarangsche Stoomtram (SS) Perusahaan ini berbasis di Semarang, namun Semarangsche Stoomtram (SS) justru membuka jalur Yogyakarta-Cilacap pada tahun 1887. Sebelumnya Semarangsche Stoomtram (SS) bahkan sudah membuka jalur di Jawa Timur, seperti jalur Surabaya-Pasuruan-Malang periode 1878-1879 serta jalur Surabaya-Surakarta lewat WonokromoSidoarjo tahun 1884.
c.
Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) Sesuai namanya, perusahaan kereta api ini berkonsentrasi di Semarang, Juana dan sekitarnya. Antara tahun 1883-1884 perusahaan ini membuka jalur Semarang Genuk-Demak-Kudus-Pati-Juana. Disusul dengan pembukaan jalur Demak-Purwodadi-Blora antara tahun 18881894. Tanggal 5 Mei 1895 perusahaan ini membuka jalur Mayong Pancangan, daerah tersebut merupakan tambang emas bagi usaha SJS karena di wilayah itu memiliki hasil bumi yang melimpah seperti : gula, 30
kapuk, minyak bumi, kapur, dan kayu jati. Sekitar tiga tahun kemudian, tepatnya tanggal 1 November 1898 Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) membuka jalur Wirosari-Kradenan. Jalur JuanaLasem dibuka tanggal 1 Mei 1900. Setengah tahun kemudian Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS) membuka jalur Mayong-Welahan. d.
Semarang Cheribon Stoomtram Mij (SCS) Perusahaan ini membuka jalur Semarang Cheribon Stoomtram Mij (SCS) yang dilakukannya tahun 1897. Pada waktu bersamaan Semarang Cheribon Stoomtram Mij (SCS) membuka jalur LosariCileduk-Mundu.
e.
Solosche Tramweg Mij (SoTM) Perusahaan ini berbasis di Solo. Perusahaan Solosche Tramweg Mij (SoTM) ini membangun trem yang ditarik kuda untuk melayani penumpang di dalam kota Solo dan sekitarnya.
f.
Poerwodadi Goendih Stoomtram Mij (PGSM) Tahun 1884 perusahaan kereta api Poerwodadi Goendih Stoomtram Mij
(PGSM) membangun
jalur
Purwodadi-Gundih,
pembangunan jalur ini untuk kepentingan pengangkutan hasil hutan dan perkebunan di daerah tersebut. Tanggal 1 Januari 1892 jalur milik Poerwodadi Goendih Stoomtram Mij (PGSM) ini dibeli oleh Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). Sejak saat itu jalur 31
kereta api Purwodadi-Gundi dilayani oleh Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). 3.
Pembangunan Jalan Rel di Pulau Jawa Pada bulan November 1871 Menteri Urusan Jajahan Belanda Jawa Mr. P. P. van Bosse mengajukan rencana undang-undang yang bertujuan untuk membangun lintas jalan rel di Pulau Jawa, yang bersambungan dari lintas NISM Semarang-Surakarta-Yogyakarta melalui daerah penghasil gula di Jawa Tengah bagian selatan (Subarkah, 1987: 3). Keuntungan yang diperoleh NISM dari pengoperasian kereta api jalur Semarang-SurakartaYogyakarta sejak tahun 1875, memberi gambaran dan harapan baru kepada para pengusaha swasta yang telah berminat untuk menanamkan modal mereka dalam kegiatan jasa angkutan kereta api. Dengan disahkannya undang-undang yang mengatur perkeretaapian tanggal 6 Juni 1878, maka asas pengusahaan kereta api mulai diakui pemerintah dan hal tersebut berpengaruh terhadap struktur organisasi perkeretaapian. Perusahaan kereta api milik pemerintah, yaitu bernama Staats Spoorwegen (SS) merupakan bagian dari Burgelijke Openbare Werken (BOW) berarti Departemen Pekerjaan Umum yang menangani pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak-kontrak dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pembangunan jalan rel oleh pemerintah. SS mengadakan perluasan jaringan jalan rel, pelaksanaannya selalu didasarkan pada sistem
32
pembangunan yang berlaku di lingkungan perusahaan pemerintah, yang berpedoman pada semboyan berbunyi: “Siap dengan masukan yang tangguh, sehingga segala pekerjaan sesuai dengan rencana” (Subarkah, 1987: 6).
Perluasan jaringan jalan rel didasarkan bukan hanya pada kepentingan ekonomi, melainkan juga menyangkut masalah pasifikasi atau pengamanan daerah yang banyak mengalami pergolakan dan pembukaan daerah-daerah baru serta pengembangan administrasi pemerintahan dan pengembangan kota (Sartono Kartodirdjo, 1987: 364). Pada tanggal 14 Januari 1895 dibuatlah perjanjian antara pemerintah dengan pihak NISM yang menetapkan bahwa sejak tahun 1899 lintas Jawa bagian timur dan selatan menjadi milik SS. Jalur YogyakartaSolo ukuran lebar kereta apinya 1.435 mm ditambah dengan rel baja ketiga diantaranya, sehingga ada satu pasang lagi jalan rel dengan lebar kereta api 1.067 mm. Antara dua kota tersebut dapat dilalui oleh kereta api yang berbeda ukuran lebar kereta apinya, yakni milik NIS dan milik SS. NIS menyelesaikan hubungan jalan rel pada lintas dari Yogyakarta ke Magelang dengan lebar kereta api 1.607 mm sampai Ambarawa. Jalur tersebut merupakan titik akhir dari lintas cabang yang telah ada pada jalur utama Semarang-Yogyakarta dengan lebar kereta api 1.435 mm. Lintas Magelang ini kemudian diperluas lagi dengan dibangunnya kereta api cabang dari Secang ke Temanggung (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 71-72). 33
4.
Dampak Pembangunan Kereta Api Terhadap Kehidupan Pribumi Pembangunan perkeretaapian oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda selain bertujuan untuk memenuhi keperluan kaum kolonial, juga dimaksudkan untuk memajukan pertumbuhan perekonomian penduduk di Negara jajahan yaitu Indonesia. Semenjak dioperasikannya jaringan kereta api abad ke-19, alat angkut ini menjadi pilihan utama penduduk. Hal ini dimungkinkan karena pendapatan pribumi yang lebih baik, biaya perjalanan dengan menggunakan transportasi kereta api lebih murah dan lebih cepat dibanding menggunakan alat transportasi lain yang sudah ada. Di sepanjang rel, khalayak ramai menjadi terbiasa menjadikannya sebagai sarana angkutan sehari-hari. Anak-anak sekolah,
pegawai
pemerintah dan swasta menjadikan kereta api jarak dekat sebagai alat transportasi pulang pergi setiap harinya. Selanjutnya di berbagai stasiun kecil yang terpencil letaknya, dikenal adanya hari-hari pasar yang tertentu waktunya. Pada hari-hari pasar ini para pedagang kecil berbondongbondong mendatangi stasiun-stasiun terpencil, dengan barang dagangan yang didatangkan dari kota-kota. Biasanya para pedagang pria membawa barang-barang pikulan, sedangkan para pedagang wanita dengan barangbarang gendongannya maupun dipikul di atas kepala. Kalangan pribumi banyak mendapat kesempatan atau peluang kerja dengan beroperasinya kereta api. Perusahaan kereta api milik pemerintah Staats Spoorwegen (SS) tercatat orang yang bekerja sebanyak 30.100 34
pegawai. Dari jumlah tersebut sebanyak 100 orang insinyur golongan atas, dan 2.500 orang golongan menengah terdiri dari bangsa Belanda, sisanya sebanyak 27.500 orang pegawai berasal dari kalangan pribumi yang menjadi tenaga inti untuk mengoperasikan kereta api (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 84-85). 5.
Alat Transportasi Yang Tergeser Oleh Kereta Api a. Tergesernya Angkutan Penumpang Pada awal abad ke-19 Gubernur Jenderal Daendels berhasil membangun jalan raya yang terbentang dari barat ke timur, sejak dari Anyer di ujung barat Jawa Barat hingga ke Panarukan di bagian ujung timur Jawa Timur. Alat angkutan yang meluncur diatasnya adalah kereta yang terbuat dari kayu dan ditarik oleh kuda. Pada jarak-jarak tertentu disediakan garasi tempat kuda yang dipakai, sebelumnya dapat diganti dengan kuda yang masih segar sehingga perjalanan dapat diteruskan kembali. Kereta kuda paling disukai pada masa itu adalah kereta beroda dua yang disebut sado atau dokar. Alat angkutan ini sangat disukai, sehingga kalangan orang berada menjadikannya sebagai lambang atau ukuran status sosial, yang empunya kereta memiliki kebanggaan tersendiri. Setelah munculnya kereta api, secara berangsur-angsur sado beralih peranannya menjadi alat angkut jarak dekat saja. Kebanyakan sado beserta saisnya menanti muatan di sekitar stasiun kereta api. Kini 35
sado berperan sebagai pengantar dan penjemput penumpang kereta api yang berasal dari sekitar stasiun kereta api yang bersangkutan. Dengan hadirnya kereta api, maka sejarah kereta kuda yang menjalani trayek jarak jauh dengan kuda penarik berganti-ganti berakhir. Sejak itu trayek jarak jauh ditempuh oleh kereta api melalui jalan rel, dengan daya tempuh lebih cepat dan ongkos lebih murah serta daya angkut jauh lebih banyak. b. Tergesernya Angkutan Barang Menumpuknya hasil bumi dan hasil perkebunan, maka digunakan kereta beroda dua yang ditarik oleh hewan-hewan untuk mengatasi penumpukan hasil perkebunan tersebut. Dengan adanya penambahan transportasi darat, pengangkutan hasil bumi dan hasil perkebunan beralih ke alat transportasi baru, yaitu kereta api. Jumlah barang yang dapat diangkut oleh alat transportasi ini jauh lebih banyak sehingga
lebih
banyak
mengatasi
masalah
angkutan,
namun
perkembangan tersebut berakibat pada kereta beroda dua sebagai pengangkut barang yang biasa disebut gerobak atau pedati berubah peranannya menjadi alat angkut untuk jarak pendek saja (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 86-87).
36
B. Fungsi Kereta Api 1. Barang Kereta api di Pulau Jawa bertalian erat dengan kebutuhan akan sarana pengangkut barang-barang atau hasil produksi. Peningkatan hasil perkebunan
dan
pertanian, mendorong pemerintah Hindia Belanda
menambah transportasi darat yang dapat menembus ke wilayah-wilayah pedalaman Jawa Tengah dengan biaya yang lebih murah, lebih cepat untuk mengangkut hasil perkebunan dan pertanian dalam kapasitas yang besar sehingga pemerintah membangun jalan kereta api. Pembangunan lintas rel kereta api ini bertujuan untuk mengangkut hasil bumi dari wilayah pedalaman yang akan diekspor melalui pelabuhan Semarang, dan memajukan pertumbuhan perekonomian penduduk pribumi di Karesidenan Semarang. Dalam hal ini kegiatan penyaluran hasil-hasil perkebunan ke pelabuhanpelabuhan untuk selanjutnya diekspor ke luar negeri melalui pelabuhanpelabuhan yang terletak di pantai utara Pulau Jawa, seperti Tanjung Mas di Semarang, dan Tanjung Priok di Jakarta. Barang-barang ekspor yang penting diantaranya gula, kopi, tembakau, kulit pohon kina, lada, minyak kelapa sawit, karet, dan batu bara. Angkutan gula dan batu bara dilakukan secara massal dengan kereta api. Kapasitas produksi pabrik gula yang terbesar berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari jumlah tersebut sebagian besar diangkut dengan kereta api dan 90% dari hasil produksi diangkut ke
37
pelabuhan dengan menggunakan kereta api untuk diekspor ke luar negeri (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 120). Jalan rel digunakan untuk keperluan ekspor, dan menunjang kelancaran perekonomian di dalam negeri. Pabrik-pabrik yang mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi menggunakan kereta api sebagai pilihan utama dalam transportasi yang diandalkan. Angkutan barang banyak diangkut oleh kereta api pada masa itu, antara lain barang bangunan, kayu olahan, kayu bakar, arang kayu, dan bahan makanan sebagai kebutuhan pokok masyarakat. Perkeretaapian di zaman Hindia Belanda sudah mengenal door to door services dengan adanya A-B Diens Afhaal en Brengdiens (Dinas ambil-bawa) dengan kendaraan truk di beberapa stasiun tertentu, yaitu untuk memberikan pelayanan kepada para pemakai jasa kereta api dengan mengambil barang tertentu yang akan dikirim menggunakan kereta api dari alamat si pengirim ke stasiun, dan atau mengantarkan kiriman yang datang di stasiun dengan kereta api ke alamat si penerima (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 121).
38
Pengangkutan barang-barang jalur Kerajaan-Semarang dalam volume, 1870-1879 (angkutan barang-barang total dikali 100) Stasiun
1870
1871
1872
1873
1874
1875
1876
1877
1878
1879
Semarang Alas Tuwa Brumbung Tanggung Kedungjati Padas Gedangan Telawa Serang Gundi Tempuran Gogodalem Bringin Tuntang Ambarawa Total
45.2
55.2
53.1
66.0
79.0
93.2
113.0
114.3
119.0
113.9
0.0
0.0
0.0
0
0
0
0
0
0
0
1.8
13.6
2.4
1.8
1.2
1.0
0.6
0.3
0.4
1.5
12.4
0.2
0.0
0.2
0.1
0.3
0.2
11.6
23.6
19.2
13.8
11.7
11.5
8.2
10.1
6.7
9.7
10.5
12.3
11.6
0.0
0.0
0.1
0.8
0.9
1.3
2.7
2.7
1.3
1.4
2.2
1.8
1.3
2.7
5.2
10.1
9.8
9.3
9.7
12.6
0.2
0.9
0.5
1.8
3.0
1.6
0.9
0.8
2.5
5.4
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
2.1
4.9
2.6
4.1
6.8
6.7
11.3
15.5
21.7
18.9
0.3
3.2
9.3
9.1
10.2
8.2
9.7
2.5
1.0
0.0
0.0
0.1
0.1
0.1
0.2
0.1
0.0
0.0
2.2
2.7
78.6
109.8
98.6
1.7
0.9
1.8
0,9
0.8
0.7
1.1
1.2
2.0
2.3
4.0
3.9
4.2
4.9
2.5
6.0
5.4
9.6
6.9
3.5
5.7
133.2
170.2
190.8
39.9
237
258.5
277
(Sumber Djoko Suryo, 1989: 158)
Tabel di atas menunjuk pada jumlah wilayah dan barang yang diangkut kereta api, serta menggambarkan perubahan jumlah pengiriman barang tahun 1870-1879 dari wilayah-wilayah Semarang, Alas Tuwa, Brumbung, Tanggung, Kedungjati, Padas, Gedangan, Telawa, Serang, Gundi, Tempuran, Gogodalem, Bringin, Tuntang, dan Ambarawa. Volume perdagangan di setiap stasiun tersebut berkaitan dengan besar kecilnya stasiun, dan jaringan pasar-pasar pedesaan yang berhubungan dengan stasiun bersangkutan. Stasiun yang memasarkan barang-barang dalam jumlah besar itu merupakan titik-titik penting lalu lintas perdagangan 39
untuk daerah-daerah pedesaan disekitarnya. Stasiun-stasiun Tanggung, Kedungjati, Gedangan, dan Gundi dihubungkan dengan daerah-daerah pedesaan yang mengekspor beras dan hasil pertanian yang lain seperti Ambarawa dan beberapa stasiun lainnya berasal dari distrik Salatiga, Tengaran, Ambarawa, Ungaran, dan Kedu. Sebaliknya beberapa stasiun yang lainnya Alas Tuwa, Brumbung, Padas, Telawa, Serang, Tempuran, Gogodalem, Bringin, dan Tuntang hanya memasarkan sejumlah kecil barang, disebabkan karena kecilnya daerah pedesaan disekitarnya atau karena ada stasiun yang lebih besar didekatnya. Pada umumnya jarak antar stasiun kirakira 7 km, sehingga sebuah stasiun yang terletak antara stasiun-stasiun yang lebih besar memasarkan barang-barang dalam jumlah yang lebih kecil seperti Alas Tuwa dan Brumbung yang terletak di antara Semarang dan Tanggung, serta Padas antara Kedungjati dan Gedangan. Volume barang-barang yang diangkut oleh kereta api di Karesidenan Semarang sebagaimana yang tercantum dalam tabel meningkat empat kali lipat selama periode 1870-1879. Peningkatan sangat menonjol di stasiunstasiun kereta api yang utama, seperti Semarang dan stasiun-stasiun lokal yang besar seperti Tanggung, Gedangan, Telawa, Gundi, serta Ambarawa. Pertumbuhan
pengangkutan
barang-barang
melalui
stasiun
lokal
mencerminkan lalu lintas barang-barang antara daerah pedesaan dengan stasiun lokal, tempat dimana hasil-hasil pertanian dan para produsen serta konsumen saling berhubungan. Dampak adanya jalan kereta api terhadap 40
pertumbuhan perdagangan timbul dari kenyataan bahwa kereta api mampu mengangkut lebih banyak barang dengan cepat dan lebih murah daripada alat-alat angkutan lokal. Biaya pengangkutan barang dengan kereta api ialah 5 sampai 10 sen per km. Kereta api memiliki kapasitas yang besar dan kecepatan yang tinggi. Kereta api swasta Semarang-Surakarta menggunakan ukuran yang terbesar di Jawa, dan daya jelajahnya 30 km per jam. Sebagai perbandingan, sebuah gerobak lokal yang ditarik dua ekor sapi atau kerbau memiliki kapasitas 5 sampai 7 pikul barang (kira-kira 300 sampai 420 kilogram), dan kemampuan jelajahnya hanya sekitar 15 sampai 18 km per 24 jam. Kuli rata-rata hanya mampu membawa ½ sampai 1 pikul barang (kira-kira 31 sampai 62 kilogram) dan hanya mampu menempuh 18 sampai 24 km per 24 jam. Pengangkutan barang-barang dari Semarang-Surakarta (berjarak 110 km) karenanya ditempuh sekitar 3,5 jam dengan kereta api, akan tetapi sampai sekitar 6 hari dengan gerobak lokal atau 4 hari dengan kuli. Sama halnya pengangkutan antara Semarang dan Kedungjati (berjarak 35 km) ditempuh dalam waktu 1 jam dengan kereta api, akan tetapi dengan gerobak lokal atau kuli memerlukan 1 sampai 1½ hari (Djoko Suryo, 1989: 157-159). Maka angkutan barang kereta api memerlukan banyak gerbong kereta, karena barang-barang yang diangkutnya beraneka ragam. Oleh karena itu, bentuk gerbong barang harus disesuaikan dengan muatan yang diangkutnya. Ada
41
beberapa tipe gerbong dalam kereta api, tipe-tipe gerbong dimaksud diantaranya yaitu: a. Gerbong “G” untuk memuat barang-barang dan pintunya dapat ditutup. b. Gerbong “P” untuk memuat barang-barang yang berupa batangan atau yang bentuknya panjang. c. Gerbong “V” untuk memuat ternak. d. Gerbong “Z” untuk memuat pasir. e. Gerbong “K” untuk memuat benda-benda cair seperti minyak, bensin dan lain sebagainya. Tipe gerbong-gerbong tersebut di atas kebanyakan milik pemerintah (SS), namun ada juga gerbong-gerbong barang yang pemilikannya bersifat lokal (swasta), seperti gerbong ketel (K) milik perusahaan minyak (BPM), gerbong arang batu milik tambang batu bara Sawahlunto atau Ombilin (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 110). 2. Penumpang Di Pulau Jawa kereta api banyak berperan sebagai alat angkutan umum, dan mengemban fungsi sebagai sarana angkutan cepat jarak jauh. Kalangan pribumi di Jawa sangat menggemari kereta api pasar untuk perjalanan jarak dekat dan kereta api campuran. Kalangan pribumi mengangkut hasil pertanian dan memasarkannya ke tempat-tempat ramai di sekitar jalan kereta api. Selain itu terdapat murid-murid atau pelajar sebagai pelanggan tetap yang bepergian ke sekolah lanjutan di kota-kota besar. 42
Mereka bersama pegawai-pegawai kantor dan penumpang-penumpang lain naik kereta api penumpang biasa (Boemel) yang perjalanannya sudah diatur sehingga dapat memenuhi kebutuhan para pemakai. Kereta api ekspres dan kereta api cepat disediakan khusus untuk melayani masyarakat kelas menengah ke atas dan pedagang-pedagang menengah ke atas. Fasilitas kereta penumpang diperbaiki, waktu tempuh diperpendek, kecepatan ditambah, dan saat berhenti di stasiun antara dipersingkat. Dengan cara-cara tersebut mutu pelayanan dapat ditingkatkan dan masyarakat pemakai semakin menyenanginya (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 121-122). Kereta penumpang berupa kereta atau gerbong yang digunakan untuk mengangkut manusia. Kereta penumpang diperlukan dalam jumlah banyak, di dalam kereta penumpang diberi gang sebagai ruang untuk berjalan di tengah-tengahnya. Di bagian kiri dan kanan gang ditempatkan kursi-kursi bagi para penumpang. Khususnya bagi rakyat kecil atau penduduk bumi putera dipasang tiga baris bangku yang membujur sejajar kereta. Kereta penumpang di bagi ke dalam kelas-kelas, ada tiga macam kelas yaitu: a. Kereta kelas I atau seri A b. Kereta kelas II atau seri B, dan c. Kereta kelas III atau seri C.
43
Di luar ketiga seri tersebut di atas, terdapat kereta tipe lain seperti: a. Seri D untuk barang-barang bagasi atau hantaran. b. Seri F sebagai kereta makan. c. Seri M sebagai kereta khusus untuk para pedagang kecil yang akan ke pasar dan lain-lain. Pada kereta api penumpang ada tiga kelas, kelas terakhir lazimnya diperuntukkan bagi kaum pribumi dengan papan bertuliskan Inlanders (Sartono Kartodirdjo, 1990: 367). Perbedaan kelas juga didasarkan atas perbedaan tarif, yang terperinci di bawah ini : kelas 1
5½ sen per km
kelas 2
3 sen per km
kelas 3
1 sen per km
Pada masa kolonial masyarakat bumi putera tidak dibenarkan menggunakan kereta kelas I, sekalipun mereka mampu membayar mereka tidak diperbolehkan untuk menaikinya (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997: 111112). C. Tinjauan Edukatif Penerapan nilai-nilai perkembangan transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang merupakan pencerminan penambahan transportasi darat yang memberikan motivasi terhadap generasi muda untuk dapat memajukan perekonomian di Indonesia.
44
Pelajaran atau nilai-nilai yang dapat dipetik dari Sejarah Transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang Tahun 1870-1900 adalah : 1. Alat transportasi darat kereta api sampai saat ini masih terus berkembang dengan teknologi yang sangat maju, dan membuka wilayah-wilayah baru di pedalaman Jawa Tengah yang disebabkan oleh berkembangnya pusat-pusat perkebunan dan pabrik-pabrik. 2. Dengan adanya transportasi kereta api mengakibatkan terjadinya komunikasi langsung dan masuknya pendidikan dari kota melalui wilayah pantai (pelabuhan), dan wilayah pedalaman yang saling berhubungan dengan kota. 3. Jalur kereta api menghubungkan semua wilayah-wilayah di Jawa Tengah, dan berkembangnya kawasan-kawasan pemukiman baru di sepanjang jalur lintas kereta api serta sarana transportasi kereta api mempertemukan budaya pantai dengan budaya pedalaman yang tradisional.
45