BAB IV PEMBAHASAN Pada bagian ini penulis akan membahas hasil percobaan serta beberapa parameter yang mempengaruhi hasil percobaan. Parameter-parameter yang berpengaruh pada penelitian ini antara lain komposisi, temperatur dan waktu pembakaran. Namun sebelumnya akan dibahas mengenai hasil analisa difraksi sinar-x untuk mengetahui kandungan mineral yang terdapat dalam lumpur.
4.1 Karakterisasi Lumpur Sidoarjo
Karakteristik Lumpur sangat penting untuk diketahui, hal ini akan sangat berguna dalam penjelasan dari sifat lumpur tersebut. Hasil dari pengamatan bahwa serbuk Lumpur yang telah dikeringkan berwarna hitam kehijauan, berbeda dengan lempung yang digunakan sebagai campuran yang berwarna cokelat putih kekuningan. Namun pada pembakaran sample uji dengan tanpa penambahan lempung, warna setelah pembakaran adalah berwarna merah bata dari warna awal adonan yaitu hitam kehijauan, dan dengan semakin banyaknya jumlah kandungan lempung yang ditambahkan warna hasil dari pembakarannya merah pudar dan agak keputihan Hal ini dapat dijelaskan bahwa kandungan oksida besi pada Lumpur cukup tinggi yaitu Fe2O3 sebesar 7.8 % sehingga pada pembakaran, oksida besi ini teroksidasi dan menimbulkan warna merah kecoklatan. Hasil dari pengujian komposisi kandungan Lumpur dapat berbeda-beda tergantung dari jenis pengujian serta karena memang pada sumber semburan Lumpur mengeluarkan hasil erupsi yang dapat berubah-ubah baik kandungan senyawa maupun jenis mineralnya mengingat kompleksnya mineral yang ada di dalam tanah. Hasil test analisa kimia fraksi solid dari lumpur yang didapat ini diketahui bahwa komposisi senyawa oksida yang terkandung di dalam lumpur adalah : •
MgO 1.2 %
•
CaO
2.3 %
28
•
MnO
1.8 %
•
K2O
2.3 %
•
Fe2O3 7.8 %
•
Na2O 5.8 %
•
Al2O3 18.7 %
•
SiO2
60.3 %
Pengujian XRD dari sample lumpur perlu dilakukan untuk menegaskan kandungan mineral yang ada pada Lumpur. Dari pengujian ini menunjukan adanya mineralmineral seperti : Albite (Sodium aluminum silicate / NaAlSi3O8), Quartz (Silicone Oxide/ SiO2), dan mineral Orthoclas (Potasium sodium aluminum silicate/(Na,K) (Al Si3 O8) ), Kaolinite (aluminum hydroxide silicate / Al2 Si2 O5 (OH)4, dan Halite ( Potassium calcium magnesium sufate hydrate / K2 Ca2 Mg (SO4)4. 2H2O ).
Gambar 4.1 : Grafik hasil XRD sample Lumpur asal Sidoarjo.
29
Dari hasil analisa XRD ini dapat terlihat bahwa lumpur juga mengandung mineral lempung tetapi memiliki ciri khusus karena adanya kandungan mineral albit. Hal ini terkait dengan proses pembentukan sedimen lumpur tersebut ynag berasal dari sediment laut dangkal di selat Madura purba pada lempeng oceanic yang masuk ke bawah lempeng continental Jawa timur. Mineral albit merupakan mineral silikat yang terbentuk dari proses altreasi pada lingkungan yang asam yang berasal dari batuan jenis feldspar dengan proses yang disebut albitisasi baik pada temperatur tinggi dan rendah. Adanya mineral ini menunjukan bahwa lumpur ini berasal dari proses sedimentasi pada lautan dangkal. Sedangkan pada lapisan lempung biasa terdapat kandungan Kaolonit, Montmorillonit, dan Illit.
4.2 Pengaruh Temperatur dan Campuran Lempung pada Susut Bakar
Dari hasil percobaan yang didapat secara umum, makin banyak jumlah campuran lempung yang ditambahkan pada benda uji ,susut bakar benda uji setelah dibakar pada beberapa suhu pembakaran memperlihatkan kecenderungan yang semakin menurun (Gambar 4.2). Hal tersebut dapat terjadi karena penyusutan atau berkurangnya dimensi benda uji tidak sebanding dengan penurunan berat benda uji. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kandungan air kristal yang ada pada mineral lempung. Mineral silikat dan aluminat yang terkandung di dalam lempung memiliki kecenderungan membentuk lapsan film tipis yang terdiri dari air. Semakin banyak kandungan lempung maka semakin banyak air pada lapisan silikat yang terdapat pada benda uji. Hal inilah yang membuat campuran dari berbentuk serbuk menjadi masa plastis yang mudah dibentuk. Seiring dengan proses pengeringan dan pembakaran, maka terjadi evaporasi air baik dari permukaan benda uji maupun pada bagian dalam badan. Adanya proses ini menyebabkan penurunan berat dan merapatnya jarak antar partikel sehingga terjadi pengurangan dimensi benda uji dan perubahan sifat plastis ke sifat yang lebih padat.
30
Grafik Pengaruh Komposisi Lempung Terhadap Susut Bakar
Susut Bakar (%)
17 16.5 16 15.5
600
15
700
14.5
800
14 13.5 13 0
10
20
30
40
50
Komposisi Lempung (% )
Gambar 4.2 : Grafik hasil pengukuran Susut Bakar terhadap Komposisi lempung pada berbagai Suhu Pembakaran.
Grafik Pengaruh Temperatur pada Susut Bakar
Susut Bakar (%)
17 16 15
0% 10%
14 13 12 11
25% 40%
10 500
600
700
800
900
Suhu (C)
Gambar 4.3 : Grafik hasil pengukuran Susut Bakar terhadap Suhu Pembakaran pada berbagai komposisi lempung.
31
Secara umum makin tinggi suhu pembakaran, susut bakar benda uji semakin naik (Gambar 4.3). Pengurangan berat dari benda uji setelah kering dikarenakan menguapnya air pembentuk selama proses pengeringan. Air yang tadinya mengisi pori-pori antar butir menjadi tidak ada lagi dan proses penyusutan tidak terlalu berati dibandingkan dengan banyaknya air yang menguap sehingga benda uji menjadi lebih ringan. Salmang (1961, hal 93) mengatakan bahwa air penyusun tidak dikeluarkan dari substansi lempung secara seragam dan teratur, tetapi pada temperatur diantara 450 – 600 oC. Sebagai contoh, kaolinit menunjukan reaksi endotermik pada suhu sekitar 600 oC sedangkan montmorilonit reaksi endotermiknya pada suhu 700 oC. dalam hal ini, reaksi endotermik merupakan reaksi penyerapan energi yang dipakai oleh mineral sewaktu mengalami dekomposisi dengan cara mengeluarkan air yang terikat secara struktural. Jadi perbedaan susut berat terjadi karena adanya perbedaan komposisi benda uji. Dari pembahasan pengaruh komposisi lempung terhadap susut bakar terlihat bahwa pembakaran pada suhu 600 0C memiliki susut bakar yang lebih tinggi dari pada pembakaran pada suhu 700 0C dan 800 0C. Sedangkan pada pembahasan pengaruh pembakaran pada penyusutan, suhu 800 0C memiliki kecenderungan sifat penyusutan yang lebih besar daripada 600 0C dan 700 0C. Hal ini sesuai dengan pernyataan makin tinggi suhu pembakaran, maka penyusutan pada benda uji makin tinggi. Dengan mempertimbangkan hal tersebut serta keekonomisan pada proses percobaan maka dicoba apakah variasi waktu pembakaran dan variasi komposisi lempung pada suhu 600 0C juga akan mempengaruhi penyusutan.
32
4.3 Analisis Penyusutan Linear.
Perilaku Penyusutan linear berkaitan dengan perubahan geometri benda uji yaitu pengurangan ukuran panjang diameter, serta berkaitan juga dengan proseas terlepasnya air dari ruang antar partikel, dari permukaan pertikel dan dari air yang terserap oleh partikel. Kekuatan keramik akan meningkat ketika penyusutan makin besar ( Salmang, 1961, hal 92 ). Dari grafik juga dapat terlihat bahwa pada komposisi lempung 10% dan 25% kecenderungan dengan bertambahnya suhu pembakaran maka penyusutannya makin kecil, sedangkan pada komposisi
lempung 40% dengan
bertambahnya suhu kecenderungannya semakin meningkat. Hal ini karena perbedaan sifat dari susut kering dan susut pembakaran pada berbagai komposisi lempung. Menurut manuskrip Standar Nasional Indonesia (No.0081 – 75) untuk pengujian penyusutan pada batu bata dan bahan mentah keramik, susut kering tidak boleh melebihi !0% sedangkan susut pembakarannya tidak lebih dari 2% karena jika melebihi angka tersebut maka dapat diperkirakan produk dari pembakaran bata akan terjadi retak. Namun demikian hasil pada percobaan yang dilakukan dengan menggunakan bahan dasar lumpur asal Sidoarjo ini masih bisa dianggap wajar karena jumlah dari susut kering dan susut bakar pada benda uji masih di dalam batas standard.
Grafik Penyusutan VS Komposisi Lempung pada berbagai Suhu Penyusutan (%)
13 12 600 C
11
700 C 10
800 C
9 8 0
10
20
30
40
50
Komposisi Clay (%)
Gambar 4.4 : Grafik hasil pengukuran penyusutan terhadap komposisi lempung pada berbagai suhu pembakaran.
33
Pada pembuatan campuran untuk adonan keramik, penambahan air akan membuat adonan menjadi mengembang karena sifat swelling dari lempung. Sebaliknya pengeluaran air karena pengeringan maupun pembakaran akan menyusutkan benda uji.
Grafik Penyusutan Linear terhadap Waktu
dL/Lo
1.8 1.6 1.4 1.2
y = 0.7424x + 0.0381 R2 = 0.9706
10% 25%
1 0.8
Linear (10%)
0.6
Linear (25%)
y = 0.7341x + 0.036 R2 = 0.9732
0.4 0.2 0 0
0.5
1
1.5
2
2.5
Log t (jam)
Gambar 4.5 : Grafik hasil pengukuran penyusutan terhadap komposisi lempung pada suhu pembakaran 600 oC.
Dari grafik hasil percobaan didapat bahwa pada suhu 600 0C pada kandungan lumpur 10% memiliki penyusutan yang lebih tinggi dan terlihat kecenderungan bahwa semakin lama waktu pembakaran maka akan didapat hasil produk yang memiliki susut bakar dan penyusutan yang semakin tinggi, sehingga kepadatannya makin tinggi tinggi. Jika diterapkan pada industri pembuatan batu bata, maka faktor waktu pembakaran menjadi hal yang harus diperhitungkan karena biaya untuk pemanasan pada waktu pembakaran yang lebih lama pasti akan lebih tinggi. Dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pembakaran terhadap sifat penyusutan dan densifikasi dengan komposisi bahan dasar dari campuran lumpur Sidoarjo, artinya komposisi kandungan lumpur yang digunakan harus lebih tinggi daripada campuran lempung. Jadi percobaan pengaruh waktu pembakaran dilakukan dengan komposisi lempung hanya 10% dan 25%. Jika dilihat dari grafik susut bakar dan penyusutan pada waktu
34
pembakaran 1, 2, dan 3 jam, terlihat pada komposisi 10% lempung benda uji memiliki penyusutan yang lebih tinggi dan perbedaan waktu pembakaran tidak memberikan peningkatan penyusutan yang signifikan. Oleh karena itu dapat dikatakan waktu pembakaran yang optimal adalah selama 2 jam. Jadi pada pengujian sifat kuat lentur batubata, akan dilihat apakah pada komposisi 10% lempung dan waktu pembakaran selama 2 jam memiliki kuat lentur yang cukup untuk menghasilkan batubata yang sesuai dengan standard untuk bahan konstruksi. Dari grafik penyusutan linear terhadap waktu juga didapat persamaan linear yang dapat menunjukan mekanisme perpindahan massa yang dominan pada proses terjadinya penyusutan. Mengingat penyusutan hanya berlangsung untuk mekanisme difusi batas butiran dan difusi kisi pada batas butiran, maka dengan mensubstitusikan harga slope yang didapat pada grafik dL/Lo terhadap t dalam skala logaritmik maka pada slope 0.76 menunjukan bahwa mekanisme perpindahan massa yang dominan adalah difusi kisi pada batas butiran.
4.4 Analisis Kuat Lentur
Dari data pengujian kuat lentur dengan komposisi lempung sebanyak 10% dan pada suhu pembakaran 600 0C serta waktu pembakaran selama 2 jam, didapat harga ratarata kuat lentur sebesar 139.1 (kg/cm3) dan pada komposisi lempung 25% rata-rata sebesar 128.2 (kg/cm3). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin banyak kandungan lempung maka kuat lenturnya kecenderungannya semakin kecil. Hal ini dapat dijelaskan pada proses pembakaran yaitu nilai penyusustan, makin besar nilai susut jumlah benda uji berarti makin mengecilnya ruang antar butir yang menyebabkan daya dukung antar kristal semakin kuat, sehingga kekuatannya atau kuat lenturnya meningkat. Dari hasil tersebut jika di cocokkan kedalam harga Pengklasifikasian Nilai Kuat Lentur untuk produk batubata (menurut SNI 15 – 0294 – 1991) maka batubata yang dihasilkan dari bahan lumpur asal sidoarjo ini tergolong kedalam Kelas III dan memadai untuk dijadikan sebagai bahan konstruksi.
35
Grafik Pengaruh Komposisi Lempung pada Kuat Lentur
Nilai Kuat Lentur (kg/cm2)
140 138 136 134 132 130 128 126 0
5
10
15
20
25
30
Komposisi Lempung (%)
Gambar 4.6 : Grafik Pengaruh Komposisi Lempung pada Kuat Lentur
36