52
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang hasil pengolahan data penelitian dan pembahasannya berdasarkan temuan yang diperoleh selama penelitian. Analisis terhadap hasil tes siswa ditujukan untuk mengetahui bagaimana peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis siswa SMA kelas XI pada materi pokok larutan penyangga melalui pembelajaran kontekstual dengan metode praktikum. 4.1 Pemahaman Konsep Siswa Untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep siswa pada materi pokok larutan penyangga melalui pembelajaran kontekstual, maka dilakukan pretes dan postes terhadap subjek penelitian yaitu 34 orang siswa XI IPA di salah satu SMA di kota Bandung. Instrumen yang digunakan yaitu tes pilihan berganda sebanyak tujuh soal. Kemudian data yang diperoleh dari tes tertulis ini akan dianalisis sesuai dengan teknik analisis data yang telah diungkapkan pada bab sebelumnya. Dari hasil analisis data tersebut diperoleh informasi mengenai peningkatan nilai pretes terhadap postes siswa baik secara keseluruhan maupun untuk setiap indikator soal. Dengan demikian akan diperoleh gambaran mengenai indikator mana yang paling dikembangkan dengan pembelajaran ini.
53
4.1.1
Peningkatan Pemahaman Konsep Seluruh Siswa Peningkatan pemahaman konsep siswa diukur dengan membandingkan
data pretes dan postes siswa. Secara kuantitatif, peningkatan penguasaan konsep siswa ditunjukkan dengan nilai normalisasi gain. Tabel perolehan pretes, postes, normalisasi gain (%), dan kategori peningkatan pada soal pemahaman konsep secara lengkap disajikan pada lampiran C.1. Hasil pengolahan data nilai rata-rata pretes dan postes untuk keseluruhan siswa disajikan dalam tabel 4.1. Tabel 4.1 Rata-rata Pretes, Postes dan Normalisasi Gain (%) Siswa Secara Keseluruhan Parameter Nilai rata-rata(%) Simpangan baku (S) Variansi(S2) Nilai maksimum(%) Nilai minimum(%) N-gain keseluruhan
Perolehan Pretes 52,5 1,5 2,31 71,4 14,3
Postes 81,1 1,02 1,52 100 42,9 60,2%
Dari tabel di atas, diperoleh nilai rata-rata pretes sebesar 52,5% dari nilai rata-rata maksimal 100% dan nilai rata-rata postes sebesar 81,1% dari nilai ratarata maksimal 100%. Perbandingan nilai rata-rata pretes dan postes, menunjukkan terjadinya peningkatan pemahaman konsep yang selanjutnya diukur dengan normalisasi gain (N-Gain) sebesar 60,2%. Grafik perbandingan nilai rata-rata pretes, postes dan normalisasi gain disajikan dalam gambar 4.1.
54
Nilai Rata-rata(%)
100 80
Keterangan : 1 = pretes 2 = postes 3 = N-gain N
60 40 20 0 1
2
3
Gambar 4.1 Nilai Rata-rata R Pretes, Postes, dan N-gain untuk Keseluruhan eseluruhan Siswa pada Soal Pemahaman Konsep Dari grafik di atas dapat terlihat bahwa secara keseluruhan siswa mengalami peningkatan pemahaman konsep. Rata-rata Rata rata nilai pretes siswa yang berada di atas angka 50 menunjukkan bahwa siswa telah mempunyai pengetahuan awal mengenai konsep larutan penyangga sebelum pembelajaran pembelajaran dilaksanakan. Hal ini dikarenakan siswa sebelum mempelajari materi pokok larutan penyangga mereka terlebih dahulu telah mempelajari materi larutan asam basa, juga reaksireaksi reaksi dalam larutan elektrolit, dimana materi-materi materi materi tersebut berhubungan dengan ngan materi larutan penyangga, sehingga berpengaruh pada pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa. Berdasarkan data keseluruhan nilai pretes, postes, dan N-gain N (lampiran C.1), terlihat adanya perbedaan antara nilai pretes dan postes. Pada pretes, nilai tertinggi yang diperoleh siswa yaitu 7,1 dan nilai terendah rendah yaitu 1,4 dari nilai maksimal al 10. Adapun rata-rata rata nilai pretes hanya 5,3.. Nilai postes siswa yang diperoleh setelah mengikuti engikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan
55
metode praktikum, rata-ratanya adalah 8,1, dengan nilai terendah 4,3 dan nilai tertinggi 10 dari nilai maksimal 10. Secara umum, hal ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman konsep siswa. Peningkatan pemahaman konsep siswa secara lebih bermakna dapat dilihat dalam bentuk normalisasi gain (lampiran C.2). Jumlah siswa yang memperoleh normalisasi gain pada kategori tinggi adalah 7 orang (21%), kategori sedang adalah 24 orang (70%), dan kategori rendah adalah 3 orang (9%). Normalisasi gain tertinggi diperoleh siswa sebesar 100% dan terendah sebesar 0%. Rata-rata siswa mengalami peningkatan sebesar 57% yang termasuk kategori sedang. Peningkatan
pemahaman
konsep
ini
diperkirakan
karena
siswa
sebelumnya sudah mendapatkan pembelajaran kontekstual dengan metode praktikum. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Depdiknas (2006), bahwa salah satu ciri pembelajaran kontekstual adalah pengajaran otentik, yaitu pendekatan pembelajaran yang mengarahkan siswa untuk mempelajari konteks bermakna terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Dalam pembelajaran siswa dikenalkan pada konteks darah, yang di dalam darah tersebut terdapat sistem larutan penyangga. Dengan diperkenalkan pada konteks yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari, siswa menjadi lebih tertarik untuk mempelajari larutan penyangga, dan hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan pemahaman konsep siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Nur’aeni (2008), bahwa peningkatan pemahaman konsep siswa dapat meningkat dengan pembelajaran kontekstual dikarenakan pada pembelajaran ini siswa disuguhkan permasalahan yang kontekstual, mereka
56
dituntut untuk berdiskusi secara kelompok guna menyelesaikan permasalahan tersebut. Pembelajaran seperti itu dapat meningkatkan minat siswa. Sehingga siswa lebih antusias untuk mempelajari dan memahami materi yang sedang diajarkan oleh guru. Selain itu, kegiatan praktikum yang dilakukan pada saat pembelajaran juga berkontribusi besar dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa. Praktikum dalam tahap pembelajaran kontekstual berada pada tahap elaborasi, dimana pada tahap ini dilakukan eksplorasi, pembentukan dan pemantapan konsep sampai pertanyaan pada tahap kuriositi dapat terjawab. Sebagian besar siswa juga lebih tertarik jika pembelajaran dilakukan dengan metode praktikum, karena mereka seringkali merasa bosan ketika pembelajaran hanya dilakukan di kelas dengan ceramah. Rasa ketertarikan siswa dengan metode praktikum ini juga tentu berkontribusi cukup besar pada peningkatan pemahaman konsep siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Usman (dalam Noviantika, 2005) salah satu faktor yang dapat meningkatkan pemahaman siswa adalah faktor yang berasal dari diri pelajar itu sendiri (internal) yang meliputi faktor fisiologis dan psikologis. Salah satu faktor psikologis yang cukup berperan penting dalam belajar adalah motivasi. Motivasi dapat mendorong siswa untuk lebih memahami suatu materi. Praktikum dapat membantu meningkatkan motivasi siswa tersebut. Seperti juga yang diungkapkan oleh Rustaman (dalam Noviantika, 2005) mengenai empat alasan mengapa praktikum penting untuk dilakukan, salah satunya adalah praktikum membangkitkan motivasi dalam mempelajari IPA. Motivasi merupakan suatu hal yang penting dalam belajar yang dapat mendorong
57
siswa untuk belajar lebih mendalam. Peningkatan pemahaman konsep ini juga bisa terlihat dari jawaban siswa pada lembar kerja siswa (LKS) praktikum. Pada LKS terdapat empat pertanyaan yang mengacu pada indikator pemahaman konsep. Hampir seluruh siswa menjawab dengan benar ke empat soal tersebut. Walaupun
secara
umum
seluruh
siswa
mengalami
peningkatan
pemahaman konsep, terdapat beberapa fenomena yang penulis temukan, diantaranya terdapat tiga orang siswa (S25, S33, dan S34) yang normalisasi gainnya 0%. Nilai N-gain sebesar 0% menunjukkan bahwa tidak ada peningkatan pemahaman konsep setelah mengikuti pembelajaran. Sebelum mengikuti pembelajaran, nilai pretes kedua siswa, yaitu S25 dan S34 tergolong baik dibandingkan dengan siswa yang lain yaitu nilai 8,6 (untuk S25) , dan 5,7 (untuk S34), sedangkan untuk S33 nilainya hampir sama dengan siswa lain yaitu 4,3. Berdasarkan nilai rata-rata sehari-hari, S25 termasuk kategori tinggi, sedangkan S33 dan S34 termasuk kategori rendah. Pada S33 dan S34 tidak terjadi peningkatan pemahaman konsep, dimungkinkan karena kedua siswa tersebut hanya menerka-nerka jawaban pada saat pretes. Tetapi terdapat juga kemungkinan kedua siswa tersebut mempunyai pengetahuan awal. Sedangkan pada S25, siswa ini pada saat pretes dan postes mengalami kesalahan pada soal yang sama, yaitu pada soal nomor tujuh. Hal ini dimungkinkan karena siswa tersebut kurang teliti membaca soal
58
4.1.2 Peningkatan Pemahaman Konsep Siswa Berdasarkan Indikator Soal Soal pemahaman konsep yang berjumlah tujuh, masing-masing memiliki indikator yang diharapkan dapat dicapai ketika siswa mampu menjawab soal tersebut dengan benar. Pengelompokkan butir soal ke dalam indikator disajikan pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Pengelompokkan Butir Soal Pemahaman Konsep ke dalam Indikator No
Indikator
Nomor Soal
1.
Membedakan larutan penyangga dan bukan larutan penyangga dalam beberapa konteks.
6
2.
Membedakan jenis larutan penyangga
1
3.
Menjelaskan fungsi larutan penyangga
2
4.
Menjelaskan cara kerja larutan penyangga
4
5.
Meramalkan pengaruh penambahan asam terhadap perubahan pH larutan penyangga
7
6.
Meramalkan pengaruh penambahan basa terhadap perubahan pH larutan penyangga.
3
7.
Meramalkan pengaruh pengenceran terhadap perubahan pH larutan penyangga.
5
Selanjutnya ketercapaian indikator-indikator tersebut dilihat berdasarkan rata-rata nilai pretes, postes siswa dan peningkatannya melalui rata-rata N-gain. Rata-rata nilai pretes, postes, dan N-gain siswa berdasarkan indikator dapat dilihat pada gambar 4.2 :
Nilai Rata-rata(%)
59
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
pretes postes N-gain
1
2
3
4
5
6
7
Indikator
Gambar 4.2 Nilai Rata-rata Pretes, Postes, dan N-gain gain Berdasarkan Indikator Soal Pemahaman Konsep Dari grafik di atas, diperoleh data bahwa secara umum terjadi peningkatan pemahaman konsep siswa pada setiap indikator. Peningkatan kemampuan ratarata rata siswa tertinggi terjadi pada indikator nomor dua yaitu membedakan jenis larutan penyangga, yang diwakili oleh soal nomor dua.. Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata rata siswa pada konsep ini sebesar 85,3% % dan tergolong baik. Setelah pembelajaran, pemahaman konsep rata-rata rata rata siswa pada indikator ini yaitu 100% % dan tergolong sangat baik, baik dengan N-gain 100%. Peningkatan pemahaman konsep pada indikator ini juga didukung oleh data yang ada pada lembar kerja siswa, terdapat satu pertanyaan pada lembar kerja siswa yang indikatornya juga membedakan jenis larutan penyangga dan semua siswa menjawab benar. Peningkatan pemahaman konsep yang tinggi pada indikator ini juga dimungkinkan karena sub materi jenis larutan penyangga paling mudah dipahami dan dimengerti oleh siswa dibandingkan sub materi yang lain.
60
Pada sub materi ini, siswa diperkenalkan pada kedua jenis larutan penyangga yaitu larutan penyangga asam dan larutan penyangga basa. Dikarenakan sebelumnya siswa sudah mempelajari materi larutan asam dan basa, maka dengan pengetahuan awal yang dimiliki siswa tersebut, tidak terlalu sulit untuk membuat siswa paham pada konsep ini. Peningkatan pemahaman konsep rata-rata siswa yang paling rendah terdapat pada indikator nomor lima yaitu menentukan pengaruh penambahan asam terhadap perubahan pH larutan penyangga, yang diwakili oleh soal nomor tujuh. Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada konsep ini yaitu 26,5% dan tergolong kurang baik. Setelah pembelajaran, terjadi peningkatan kemampuan rata-rata siswa sebesar 34% menjadi 60,5% dan tergolong baik, dengan N-gain 46%. Peningkatan yang rendah pada indikator ini kemungkinan disebabkan oleh kebanyakan siswa banyak yang masih bingung mengenai konsep cara kerja larutan penyangga. Pada konsep ini, terjadi penggabungan beberapa konsep sebelumnya seperti konsep reaksi asam basa, kesetimbangan dalam larutan, sehingga untuk benar-benar paham pada konsep ini, siswa harus paham mengenai materi-materi tersebut, dan siswa harus mengingat kembali konsep-konsep tersebut serta menggabungkannya untuk dapat mengerti mengenai konsep cara kerja larutan penyangga.
61
Peningkatan pemahaman konsep pada indikator lainnya dipaparkan sebagai berikut : 1. Membedakan larutan penyangga dan bukan penyangga dalam beberapa konteks. Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada konsep ini yaitu 67,6% dan tergolong cukup. Setelah pembelajaran, terjadi peningkatan kemampuan rata-rata siswa menjadi 97% yang tergolong sangat baik, dengan N-gain 91%. Kemampuan rata-rata keseluruhan siswa sebelum pembelajaran pada konsep ini sudah tergolong cukup baik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh konteks yang disajikan dalam soal yang erat dengan kehidupan siswa sehari-hari, sehingga siswa tertarik untuk membaca soal tersebut walaupun untuk soal tersebut diperlukan waktu yang agak lama untuk membacanya karena terdapat wacana. 3. Menjelaskan fungsi larutan penyangga Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada indikator ini yaitu 76% dan tergolong baik. Setelah pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa naik menjadi 94% dan tergolong sangat baik, dengan N-gain 75%. Kemampuan rata-rata siswa pada konsep ini sebelum pembelajaran sudah tergolong baik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsep fungsi larutan penyangga ini merupakan konsep yang tergolong mudah dibandingkan konsep larutan penyanga yang lainnya. Fungsi larutan penyangga yang paling utama dan yang ditanyakan di dalam soal adalah larutan penyangga dapat mempertahankan pH, kemampuan larutan penyangga
62
untuk mempertahankan pH ini dari awal sudah sering ditekankan karena merupakan bagian dari pengertian larutan penyangga. Hal ini menyebabkan siswa menjadi lebih paham dan ingat akan konsep fungsi larutan penyangga ini. Untuk indikator empat yaitu menjelaskan cara kerja larutan penyangga, indikator enam yaitu meramalkan pengaruh penambahan basa terhadap perubahan pH larutan penyangga, dan indikator tujuh yaitu meramalkan pengaruh pengenceran terhadap perubahan pH larutan penyangga, karena berada pada cakupan konsep yang sama, maka pembahasan akan dilakukan bersamaan. Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada ketiga indikator ini berturut-turut yaitu 65% yang tergolong cukup untuk indikator empat, 14% yang tergolong kurang untuk indikator enam, dan 32% yang tergolong cukup untuk indikator tujuh. Setelah pembelajaran, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa pada indikator empat naik menjadi 91% dan tergolong sangat baik, dengan N-gain 75%, pada indikator enam naik menjadi menjadi 85% dan tergolong sangat baik, dengan N-gain 82%, pada indikator tujuh naik menjadi 79% dan tergolong baik, dengan N-gain 69%. Jika dibandingkan dengan indikator 1, 2 dan 3, kemampuan rata-rata keseluruhan siswa sebelum pembelajaran pada ketiga indikator ini lebih rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh konsep cara kerja larutan penyangga yang tergolong agak sulit jika dibandingkan konsep larutan
63
penyangga yang lainnya. Sehingga kebanyakan siswa baru benar-benar mengerti mengenai konsep ini setelah pembelajaran dilakukan. Dengan pembelajaran yang dilakukan, yaitu pembelajaran kontekstual dengan metode praktikum, konsep yang agak sulit pun pada akhirnya dapat dimengerti oleh siswa. Hal ini dikarenakan selama pembelajaran siswa banyak diberikan contoh yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Untuk konsep cara kerja larutan penyangga ini, siswa diberikan contoh diantaranya cara kerja larutan penyangga dalam darah. Setelah diberikan contoh melalui guru menerangkan di kelas, kemudian siswa selanjutnya melaksanakan praktikum dan konsep mengenai cara kerja larutan penyangga ini diperkuat kembali pada saat pratikum, dimana pada praktikum ini menggunakan konteks darah. Metode praktikum, yang lebih memotivasi siswa dibandingkan dengan pembelajaran dengan metode ceramah di kelas tentu akan memberikan hasil yang lebih optimal. Selain motivasi, dengan praktikum siswa dapat belajar dengan aktif. Seperti yang diungkapkan Ngabekti dan Aertha (dalam Noviantika, 2005) : ” Ada beberapa kegiatan pembelajaran yang cenderung mendorong siswa aktif. Salah satu kegiatan tersebut adalah praktikum”. Keaktifan siswa dalam pembelajaran akan memberikan hasil yang optimal (Ngabekti dan Aertha dalam Noviantika, 2005). Sedangkan jika hanya membaca bagi sebagian orang membosankan sehingga tidak timbul motivasi untuk lebih memahami bacaannya
64
4.1.3
Peningkatan Pemahaman
Pemahaman
Konsep
Siswa
Berdasarkan
Aspek
Pemahaman menurut Bloom meliputi tiga aspek, yaitu aspek translasi, aspek interpretasi, dan aspek ekstrapolasi. Pengelompokkan butir soal ke dalam ketiga iga aspek tersebut disajikan pada tabel 4.3. Tabel 4.3 Pengelompokkan Butir Soal Pemahaman Konsep onsep Berdasarkan Aspek Pemahaman Aspek Pemahaman Aspek Translasi Aspek Interpretasi Aspek Ekstrapolasi
Butir Soal 2,4 1,6 3,5,7
Selanjutnya ketercapaian aspek-aspek pemahaman tersebut dilihat berdasarkan rata-rata rata nilai pretes, postes siswa dan peningkatannya melalui ratarata rata N-gain. Rata-rata rata nilai pretes, postes, dan N-gain N gain siswa berdasarkan indikator dapat dilihat pada gambar 4.3 4. :
Nilai rata-rata(%)
100 80 60
pretes
40
postes
20
N-gain
0 1
2
3
Aspek Pemahaman
Gambar 4.3 Nilai Rata-rata Pretes, Postes, dan N-gain gain Berdasarkan Aspek Pemahaman Dari grafik di atas, dapat terlihat bahwa secara keseluruhan siswa mengalami peningkatan pada ketiga ketig aspek pemahaman. Pada aspek yang pertama
65
yaitu aspek translasi, terjadi peningkatan yang cukup tinggi. Rata-rata nilai pretes untuk aspek ini 71% yang tergolong baik. Rata-rata postes naik menjadi 93% yang tergolong sangat baik, dengan N-gain 75%. Aspek translasi meliputi a) Kemampuan menterjemahkan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang lebih konkrit. b) Kemampuan untuk menterjemahkan suatu simbol ke dalam bentuk lain seperti menterjemahkan tabel, grafik, dan sebagainya, dan c) Kemampuan menterjemahkan bahasa ke dalam bahasa lain. Aspek ini diwakili oleh soal nomor dua dan nomor empat. Dalam kedua soal ini, aspek translasi yang lebih ditekankan yaitu kemampuan menterjemahkan sesuatu dari bentuk abstrak ke bentuk yang lebih konkrit untuk soal nomor empat, dan kemampuan menterjemahkan bahasa ke dalam bahasa lain untuk soal nomor dua. Aspek translasi ini merupakan aspek pemahaman tingkat terendah. Rata-rata nilai pretes keseluruhan siswa pada aspek ini sudah cukup baik. Peningkatan yang cukup tinggi pada aspek ini menunjukkan bahwa siswa mampu mengingat (menghafal) dengan baik. Aspek pemahaman yang kedua yaitu aspek interpretasi yang meliputi: a) Kemampuan membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan atau bertentangan dari kelompok data, b) Kemampuan untuk memahami rangkaian suatu pekerjaan secara keseluruhan, dan c) Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan dengan kedalaman dan kejelasan berbagai
macam
bacaan.
Aspek
ini
mengalami
peningkatan
tertinggi
dibandingkan kedua aspek lainnya. Rata-rata nilai pretes keseluruhan siswa 76% yang tergolong baik, rata-rata nilai postes meningkat menjadi 98% yang tergolong
66
sangat baik, dengan N-gain 94%. Peningkatan yang cukup tinggi pada aspek ini menunjukkan bahwa siswa mampu megerti (memmahami), menerima, dan menganalisis dengan baik. Aspek interpretasi ini diwakili oleh dua soal, yaitu soal nomor satu dan nomor enam. Aspek interpretasi yang lebih ditekankan pada kedua soal ini yaitu kemampuan membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan dengan yang tidak diperlukan atau bertentangan dari kelompok data untuk soal nomor satu, dan kemampuan untuk memahami dan menafsirkan dengan kedalaman dan kejelasan berbagai macam bahan untuk soal nomor enam. Peningkatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan aspek translasi, padahal aspek pemahaman ini berada pada tingakatan yang lebih tinggi daripada aspek translasi, kemungkinan disebabkan pada soal nomor enam disajikan data dalam bentuk tabel. Dari data yang disajikan pada soal tersebut, kemungkinan siswa akan lebih mudah menafsirkan kecenderungan manakah jawaban yang benar dari jawaban-jawaban yang ada. Aspek pemahaman yang ketiga yaitu aspek ekstrapolasi yang meliputi: a) Kemampuan untuk menyimpulkan dan menyatukan lebih eksplisit, b) Kemampuan untuk memprediksikan konsekuensi dari tindakan yang digambarkan dari sebuah komunikasi, dan c) Kemampuan bisa sensitif terhadap faktor yang mungkin membuat prediksi menjadi tidak akurat. Aspek ini mengalami peningkatan paling rendah. Rata-rata nilai pretes secara keseluruhan 24% yang tergolong rendah , rata-rata nilai postes naik menjadi 62% yang tergolong cukup, dengan N-gain 49%.
67
Aspek ekstrapolasi ini diwakili oleh tiga soal yaitu soal nomor tiga, lima, dan tujuh. Ketiga aspek ekstrapolasi yang telah dipaparkan sebelumnya ditekankan pada ketiga soal tersebut. Peningkatan yang rendah dimungkinkan pada aspek ini membutuhkan tingkat pemahaman yang lebih tinggi dibandingkan kedua aspek sebelumnya. Jika pada soal-soal pada kedua aspek sebelumnya tanpa membaca soal berkali-kali, siswa yang tingkat pemahamannya masih rendah pun bisa menjawab soal dengan benar. Soal-soal pada aspek ekstrapolasi ini dibutuhkan ketelitian untuk bisa menjawab dengan benar. Peningkatan yang rendah pada aspek ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa untuk mengevaluasi dan mensiptakan pengetahuan baru dari apa yang telah dipahaminya masih cukup rendah.
4.2 Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Untuk mengetahui peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa, maka dilakukan pretes dan postes terhadap subjek penelitian. Instrumen yang digunakan yaitu tes essay sebanyak empat soal. Kemudian data yang diperoleh dari tes tertulis ini
akan dianalisis sesuai dengan teknik analisis data yang telah
diungkapkan pada bab sebelumnya. Dari hasil analisis data tersebut akan diperoleh informasi mengenai peningkatan nilai pretes terhadap postes siswa baik secara keseluruhan maupun untuk setiap indikator soal. 4.2.1 Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Seluruh Siswa Peningkatan
keterampilan
berpikir
kritis
siswa
diukur
dengan
membandingkan data pretes dan postes siswa. Secara kuantitatif, peningkatan
68
keterampilan berpikir kritis siswa ditunjukkan dengan nilai normalisasi gain. Berikut ini merupakan tabel hasil pengolahan data nilai rata-rata rata rata pretes dan postes untuk keseluruhan siswa. Tabel 4.4 Rata-rata rata Pretes, Postes dan Normalisasi Normalisasi Gain (%) Siswa Secara Keseluruhan Parameter
Perolehan Pretes Postes 9,2 76,4 1,9 1,8 3,5 3,3 60 100 0 40 73,63%
Nilai rata-rata(%) rata Simpangan baku (S) Variansi(S2) Nilai maksimum(%) Nilai minimum(%) N-Gain Gain keseluruhan
Dari tabel di atas, diperoleh nilai rata-rata rata pretes sebesar 9,2% dari nilai rata-rata maksimal 100% dan nilai rata-rata rata postes sebesar 76,4% % dari nilai ratarata rata maksimal 100%. Dengan perbandingan nilai rata-rata rata rata pretes dan postes di atas, terjadi peningkatan keterampilan berpikir kritis yang diukur dengan normalisasi gain, yaitu sebesar 73,63%. %. Berikut disajikan grafik perbandingan
Nilai rata-rata(%)
nilai rata-rata rata pretes, postes dan normalisasi gain.
80 60
Keteranga n: 1 = pretes 2 = postes 3 = N-gain gain
40 20 0 1
2
3
Gambar 4.4 Nilai Rata-rata R Pretes, Postes, dan N-gain untuk Keseluruhan eseluruhan Siswa pada Soal Keterampilan Berpikir Kritis
69
Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa secara keseluruhan siswa mengalami peningkatan keterampilan berpikir kritis. Berbeda dengan soal pemahaman konsep, nilai rata-rata pretes keseluruhan siswa pada soal keterampilan berpikir kritis jauh lebih rendah, yaitu 9,2% dari nilai rata-rata maksimal 100%. Tetapi setelah pembelajaran, keterampilan berpikir kritis siswa meningkat cukup tajam, yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata pretes sebesar 76,4% dari nilai rata-rata maksimal 100%. Hal ini mengindikasikan bahwa kebanyakan siswa tidak mempunyai dasar keterampilan berpikir kritis sebelumnya, dalam artian untuk mampu berpikir kritis, harus melalui proses pembelajaran terlebih dahulu. Proses pembelajaran yang dilakukan yaitu pembelajaran kontekstual dengan metode praktikum, terbukti dapat melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa. Pemberian masalah pada awal pembelajaran mendorong siswa untuk berpikir kritis. Selain itu, dengan praktikum, dimana siswa benar-benar belajar aktif dengan melakukan sendiri, juga mendorong seluruh siswa untuk berpikir kritis, bukan hanya siswa yang pintar, tetapi juga siswa yang prestasinya kurang bagus. Hasil penelitian Wern Burgh (dalam Noviantika, 2005) mengemukakan bahwa siswa yang mempunyai nilai rata-rata rendah memberikan respon yang positif terhadap kegiatan praktikum dibanding siswa yang memiliki nilai rata-rata tinggi (pintar). Berdasarkan penelitiannya, hal tersebut dikarenakan siswa yang memiliki prestasi bagus tidak memerlukan praktikum untuk membantu memahami konsep, tetapi membantu untuk berpikir kritis. Sedangkan bagi yang memiliki prestasi cenderung rendah, kegiatan praktikum sangat dibutuhkan untu menambah
70
pemahaman terhadap suatu konsep, juga sangat membantu untuk melatih dan mengembangkan keterampilan berpikir kritis. Berdasarkan data keseluruhan nilai pretes, postes, dan N-gain (Lampiran C.1), terlihat adanya perbedaan antara nilai pretes dan postes. Pada pretes, nilai tertinggi yang diperoleh siswa yaitu 6 dan nilai terendah yaitu
0 dari nilai
maksimal 10. Adapun rata-rata nilai pretes hanya 0,92. Nilai postes siswa yang diperoleh setelah mengikuti pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan metode praktikum, rata-ratanya adalah 7,64, dengan nilai terendah 4 dan nilai tertinggi 10 dari nilai maksimal 10. Secara umum, hal ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman konsep siswa. Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa secara lebih bermakna dapat dilihat dalam bentuk normalisasi gain. Normalisasi gain tertinggi diperoleh siswa sebesar 100%, dan normalisasi gain terendah sebesar 37,5%. Secara umum siswa mengalami peningkatan sebesar 73,63% yang termasuk kategori cukup. Jumlah siswa yang memperoleh normalisasi gain pada kategori tinggi adalah 18 orang (53%), kategori sedang adalah 16 orang (47%). Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa diperkirakan karena siswa sudah mendapatkan pembelajaran kontekstual dengan metode praktikum. Seperti yang telah dipaparkan oleh Depdiknas (2006) bahwa salah satu komponen pembelajaran kontekstual adalah inquiry, dimana siswa belajar menggunakan keterampilan berpikir kritis. Pada proses pembelajaran, guru selalu menghadirkan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari. Materi yang disampaikan berkaitan dengan pengalaman sehari-hari siswa. Dimulai dari tahap kuriositi, siswa
71
diberikan permasalahan yang erat kaitannya dengan keseharian mereka. Dengan memunculkan masalah sebelum pembelajaran, siswa ditantang untuk berpikir kritis untuk memecahkannya, sehingga masalah tersebut membawa makna bagi siswa. Dengan memunculkan permasalahan tersebut juga dapat menarik minat siswa untuk belajar dan membangkitkan rasa ingin tahu siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Nur’aeni (2008), bahwa penyajian masalah yang kontekstual mendorong siswa untuk memunculkan potensi berpikir dan mampu menjembatani konsep kimia dengan kehidupan sehari-hari. Metode praktikum yang digunakan juga berkontribusi besar dalam meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa. Karena salah satu keuntungan metode praktikum dalam pembelajaran adalah membantu mengembangkan keterampilan inkuiri dan membantu dalam mengembangkan sikap ilmiah. Berdasarkan hal tersebut, sangatlah jelas bahwa metode praktikum sebagai metode berbasis eksperimen dalam pembelajaran kimia merupakan satu dari banyak metode yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Jawaban siswa pada LKS juga menunjukkan peningkatan dalam keterampilan berpikir kritis siswa, terbukti pada pertanyaan-pertanyaan yang indikatornya merupakan indikator keterampilan berpikir kritis, seluruh siswa mampu menjawab dengan benar. Ditemukan fenomena bahwa S25, yang nilai pretes pada soal pemahaman konsepnya bagus, ternyata nilai pretes pada soal keterampilan berpikir kritis juga bagus. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tersebut memang telah memiliki
72
pengetahuan sebelumnya dan siswa tersebut memiliki keseimbangan antara pemahaman konsep dan keterampilan berpikir kritis. 4.2.1
Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa Berdasarkan Indikator Soal Soal keterampilan berpikir kritis yang berjumlah empat, masing-masing
memiliki indikator yang diharapkan dapat dicapai ketika siswa mampu menjawab soal tersebut dengan benar. Pengelompokkan butir soal ke dalam indikator disajikan pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Pengelompokkan Butir Soal Keterampilan Berpikir Kritis ke dalam Indikator No. 1. 2. 3. 4.
Indikator Memprediksi cara kerja larutan ditambahkan asam Memprediksi cara kerja larutan ditambahkan basa Memprediksi cara kerja larutan dilakukan pengenceran Menyimpulkan cara kerja larutan ditambahkan asam, basa dan air
penyangga bila
Nomor Soal 8
penyangga bila
9
penyangga bila
10
penyangga bila
11
Selanjutnya ketercapaian indikator-indikator tersebut dilihat berdasarkan rata-rata nilai pretes, postes dan peningkatannya melalui rata-rata N-gain. Ratarata nilai pretes, postes, dan N-gain siswa berdasarkan indikator dapat dilihat pada gambar 4.5 :
73
80 nilai rata-rata(%)
70 60 50 40
pretes
30
postes
20
N-gain
10 0 1
2
3
4
indikator
Gambar 4.5 Nilai Rata-rata Pretes, Postes, dan N-gain gain Berdasarkan Indikator Soal Keterampilan Berpikir Kritis Dari grafik di atas, diperoleh data bahwa secara umum terjadi peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa pada setiap indikator. Peningkatan kemampuan rata-rata rata siswa tertinggi terjadi pada indikator nomor tiga yaitu memprediksi cara c kerja larutan penyangga ngga bila dilakukan pengenceran
yang ng diwakili oleh soal
nomor 10.. Sebelum pembelajaran, keterampilan berpikir kritis siswa dalam konsep ini sebesar 7% dan tergolong kurang baik.. Setelah pembelajaran, pemahaman konsep rata-rata rata siswa pada indikator ini yaitu 79% % dan tergolong baik, dengan N-gain gain 77,2%. Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa yang paling rendah terdapat pada indikator nomor empat yaitu menyimpulkan cara kerja larutan penyangga bila ditambahkan asam, basa dan air, air yang diwakili oleh soal nomor 11. Sebelum pembelajaran, kemampuan rata-rata rata rata keseluruhan siswa pada konsep ini yaitu 7,65% % dan tergolong kurang baik. Setelah pembelajaran, keterampilan berpikir
74
kritis rata-rata siswa pada indikator ini yaitu 74,11% dan tergolong baik, dengan N-gain 71,96%. Peningkatan keterampilan berpikir kritis yang lebih rendah dibandingkan indikator yang lain kemungkinan disebabkan karena siswa kesulitan untuk
menyimpulkan
secara
keseluruhan.
Untuk
menyimpulkan
secara
keseluruhan, terlebih dahulu siswa harus bisa memberikan penjelasan pada soalsoal sebelumnya. Pada soal nomor empat ini, banyak siswa hampir menjawab dengan benar tetapi kurang lengkap sehingga nilai jawaban siswa pada soal ini banyak yang kurang sempurna. Hal ini kemungkinan disebabkan siswa kurang menyimak secara keseluruhan pada saat guru menjelaskan di depan kelas. Peningkatan keterampilan berpikir kritis siswa pada indikator lainnya dipaparkan sebagai berikut. Pada indikator nomor satu dan dua yaitu memprediksi cara kerja larutan penyangga bila ditambahkan asam dan memprediksi cara kerja larutan penyangga bila ditambahkan basa, sebelum pembelajaran kemampuan rata-rata siswa berturut-turut pada masing-masing indikator yaitu 13% dan 9 % yang tergolong kurang. Setelah pembelajaran, keterampilan berpikir kritis ratarata siswa berurut-turut pada masing-masing indikator yaitu 75% dan 79 % yang tergolong baik, dengan N-gain masing-masing yaitu 73% dan 77%. Kelemahan siswa menjawab soal pada kedua indikator ini yaitu pada tahap penulisan persamaan reaksi. Hampir semua siswa menjawab tidak tepat di tahap ini pada saat postes. Hal ini dikarenakan untuk mampu menuliskan persamaan reaksi dengan tepat, diperlukan proses yang sistematis, sehingga siswa baru akan mengerti dan mampu menjawab dengan tepat pada tahap penulisan persamaan reaksi setelah pembelajaran dilaksanakan. Pada tahap penulisan persamaan reaksi,
75
kebanyakan siswa mengesampingkan hal-hal kecil yang sebenarnya penting dan mempengaruhi nilai, seperti penulisan tanda panah yang bolak-balik untuk reaksi kesetimbangan, dan penulisan muatan pada senyawa hasil ionisasi. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada saat menjelaskan, guru kurang menekankan pada hal-hal kecil tersebut. Guru berasumsi bahwa siswa sudah mempunyai pengetahuan awal karena sebelumnya siswa sudah mempelajari materi mengenai reaksi-reaksi.
4.2.2
Peningkatan Keterampilan Berpikir Kritis Berdasarkan Kelompok Keterampilan Berpikir Pengelompokkan butir soal keterampilan berpikir kritis ke dalam
kelompok keterampilan berpikir disajikan pada tabel 4.5. Tabel 4.5 Pengelompokkan Butir Soal Keterampilan Berpikir Kritis ke dalam Kelompok Keterampilan Berpikir No. Kelompok keterampilan berpikir 1 Memberikan penjelasan sederhana 2 Menyimpulkan
Butir soal 8, 9, 10 11
Selanjutnya ketercapaian kelompok keterampilan berpikir tersebut dilihat berdasarkan rata-rata nilai pretes, postes siswa dan peningkatannya melalui ratarata N-gain. Rata-rata nilai pretes, postes, dan N-gain siswa berdasarkan indikator dapat dilihat pada gambar 4.6 :
76
80 70 Nilai rata-rata
60 50 pretes
40
postes
30
N-gain
20 10 0
1
2
Kelompok Keterampilan Berpikir
Gambar 4.6 Nilai Rata-rata Rata Pretes, Postes, dan N-gain gain Berdasarkan Kelompok Keterampilan Berpikir
Dari grafik di atas, atas, dapat terlihat bahwa pada kelompok keterampilan berpikir yang pertama yaitu memberikan memberikan penjelasan sederhana terjadi peningkatan yang cukup signifikan. Rata-rata Rata rata nilai pretes pada kelompok keterampilan berpikir ini yaitu 9,8% yang tergolong kurang dari nilai maksimal 100%. Setelah pembelajaran, rata-rata rata nilai postes naik menjadi 77% yang tergolong t baik, dengan N-gain 74%.. Kelompok keterampilan berpikir ini diwakili oleh tiga ti soal yaitu nomor 8, 9,, dan 10. Rata-rata rata nilai pretes yang rendah mengindikasikan bahwa untuk mampu berpikir kritis diperlukan proses. Setelah pembelajaran dilaksanakan,, terlihat bahwa siswa dapat memberikan penjelasan sederhana dengan baik. Kelompok keterampilan berpikir yang kedua yaitu menyimpulkan. . Ratarata nilai pretes pada kelompok keterampilan berpikir ini yaitu 7,65% yang tergolong kurang dari nilai maksimal 100%. Setelah pembelajaran, rata-rata rata nilai
77
postes naik menjadi 76,4% yang tergolong baik, dengan N-gain 71,96%. Kelompok keterampilan berpikir ini mengalami peningkatan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kelompok keterampilan berpikir yang sebelumnya. Hal ini dikarenakan menyimpulkan ada pada tingkatan keterampilan berpikir yang lebih tinggi dibandingkan memberikan penjelasan sederhana. Kelompok keterampilan berpikir ini diwakili oleh satu soal yaitu soal nomor 11. Pada soal ini siswa diminta untuk menyimpulkan secara keseluruhan, dan kebanyakan siswa bingung menjawabnya sehingga banyak yang menjawab kurang lengkap. Padahal sebenarnya jika siswa teliti membaca soal, untuk menjawab dengan tepat pada soal ini siswa hanya perlu merangkum secara keseluruhan apa yang mereka jawab pada ketiga soal sebelumnya. Tetapi kebanyakan siswa kurang teliti membaca soal sehingga jawaban siswa pada soal ini banyak yang kurang lengkap. Rusidi (2007) mengungkapkan bahwa kurangnya keterampilan berpikir kritis siswa dalam menarik kesimpulan ini disebabkan siswa kurang dapat menghubungkan pengetahuan yang satu dengan yang lainnya dan siswa kurang dapat mengutarakan sesuatu melalui bahasa yang jelas, teratur dan terarah.