BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Sekilas Isi Buku yang Terlarang sebagai Objek Peneletian Dalam pembahasan BAB IV penulis akan memaparkan beberapa poin terkait dengan rumusan masalah penelitian ini. Namun demikian penulis perlu terlebih dahulu mengemukakan unsur-unsur penyusun buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 diantaranya waktu penerbitan, nama penerbit, penulis, desainer sampul, jumlah halaman, jenis buku, nomor ISBN, dan isi buku. Hal tersebut akan penting untuk memberikan gambaran isi buku terlarang yang menjadi objek penelitian. Buku tersebut dicetak pertama kali pada bulan September 2008 dan diterbitkan oleh Penerbit Merakesumba Lukamu Sakitku yang beralamatkan di Pugeran, Maguwoharjo, Yogyakarta. Buku ini disusun oleh dua orang penulis, yaitu Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Pada bagian desain sampul buku dibuat oleh Eddy Susanto dan desain isi oleh Kalam Jauhari. Buku yang bergenre esai dengan tebal 584 halaman ini berukuran 15 x 24 cm dan didaftarkan dengan nomor ISBN, yaitu 978-979-18475-0-6. Sedangkan untuk isi, buku dibagi menjadi sepuluh bagian dengan tambahan tulisan tentang catatan penulis, singkatan dan akronim, lampiran, indeks, dan tentang penulis. Pada bagian satu sebagai pembuka diberi judul bab Mukaddimah. Bagian Mukaddimah berisi tujuh tulisan yang masing-masing sebagai berikut:
54
55
(1) Politik Panglima Kebudayaan di halaman 15; (2) Lekra: Kelahiran dan Peran di halaman 21; (3) Asas, Metode, dan Kombinasi 1-5-1 di halaman 25; (4) Lekra: Organisasi dan Keanggotaan di halaman 33; (5) Dari Konfernasi ke Konferensi, dari Pleno ke Pleno di halaman 41; (6) Zaman Baru: Bulanan Seni-Sastra Lekra di halaman 47; (7) KSSR: Jalan Sungsang “Pemerahan Total” Lekra di halaman 52. Bagian satu yang berisi Mukaddimah yang dimulai dari halaman 15-52 menjelaskan diantaranya bahwa Kongres I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) mengesahkan Mukaddimah dan Peraturan Dasar pada 27 Januari 1959 pukul
Gambar 1. Sampul Belakang
20.00 WIB di Solo. Di sini arah dan sikap lembaga dirumuskan, distrukturisasikan dan kemudian diturunkan menjadi aksi-aksi nyata di lapangan kebudayaan di seluruh indonesia. Garis umum sikap kebudayaan diabdikan ditentukan, yaitu
56
“seni untuk rakyat” dan “politik adalah panglima” di seluruh bidang kehidupan bangsa. Selain itu dijelaskan juga bahwa Lekra dibentuk atas inisiatif antara lain D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta, dan Njoto pada 17 agustus 1950. Anggotaanggota awal adalah pengurusnya itu sendiri terdiri atas A.S. Dharta, M.S. Ashar, Njoto, Henk Ngantung, Sudharnoto, Herman Arjuno, dan Joebaar Ajoeb. Lekra muncul untuk mencegah kemerosotan garis revolusi. Tugas ini mereka yakini tidak hanya dibebankan kepada politisi tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi dan kebudayaan nasional. Di Bab satu buku ini juga dijelaskan mengenai gerakan 1-5-1. Ini adalah gerakan yang menempatkan politik sebagai panglima sebagai asas dan basis dari lima kombinasi kerja. Kombinasi itu adalah, (1) Meluas dan meninggi; (2) Tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik atau 2 tinggi; (3) Tradisi baik dan kekinian revolusioner; (4) Kreativitas individual dan kearifan massa; (5) Realisme sosial dan romantik revolusioner. Di dalam melakukan kelima hal itu metode yang dilakukan adalah turun ke bawah atau turba. Selanjutnya pada bagian dua diberi judul bab Riwayat Harian Rakyat. Bab ini dibagi menjadi empat buah tulisan, yaitu (1) 14 Tahun Mengawal Kebudayaan Rakyat di halaman 73; (2) Ideologi dan Jurnalisme Harian Rakyat; (3) Lekra dan Harian Rakjat di halaman 95; (4) Berkali-kali Dibreidel Akhirnya Mati juga di halaman 98.
Di dalam bab ini dijelaskan mengenai sejarah Harian Rakjat.
Pertama kali terbit pada tanggal 31 januari 1951 harian ini bernama Suara Rakjat.
57
Jargon yang diusung adalah Untuk Rakjat hanja Ada Satu Harian “Harian Rakjat”. Harian ini beralamatkan di Pintu Besar Selatan No. 93 dengan Dewan Redaksi oleh Njoto dan Direksi/Penangung Jawab/Redaksi oleh Mula Naibaho. Dijelaskan juga garis politik redaksi Harian Rakyat adalah konfrontasi, sehingga terjadi polemik dengan redaksi Harian Merdeka milik B.M. Diah. Hal yang diperdebatkan adalah persoalan politik dalam negeri, partai tunggal, watakwatak pendukung Sukarnoisme, politik agraria dan Manipol Usdek. Akibat polemik yang terus terjadi, Jaksa Agung meminta kedua surat kabar tersebut untuk berhenti karena dapat membahayakan persatuan tenaga revolusioner dan mengganggu keamanan politik. Pada bagian tiga diberi judul bab Sastra yang terdiri dari sepuluh tulisan. Tulisan-tulisan dalam bab Sastra ini diantaranya, yaitu (1) Realisme Sosialis dan Politik Manipol di halaman 107; (2) Sejarah Sastra Indonesia: Patriotik dan Revolusioner di halaman 109; (3) Pengajaran Sastra dan Politik Neokolonialisme di halaman 126; (4) Memecah Kolonialisme Bahasa di halaman 136; (5) Konferensi Sastrawan Asia Afrika: Merawat Semangat Perlawanan Bersama di halaman 139 (6) Lekra dan Warga Sastra Dunia di halaman 149; (7) Lumpuhkan Bibit Tenaga Reaksioner dalam Negeri! di halaman 151; (8) Sastra Daerah: Titik Bakar untuk Penciptaan di halaman 157; (9) Puisi dan Prosa: Diantara Keindahan dan Keadilan di halaman 174; (10) Sastra Anak: Minggir Nyingkir Pimpinan yang Curang di halaman 192. Bab ini khusus menjelaskan pandangan Lekra mengenai sastra
daerah
dan
mengembangkannya.
sastra
nasional
serta
bagaimana
metode
untuk
58
Kemudian dilanjutkan pada bagian empat yang diberi judul bab Film. Di bagian ini menjelaskan pandangan Lekra mengenai perfilman di Indonesia. bagaimana film nasional dapat melawan gempuran dari film-film asing. Hal tersebut tercermin dari beberapa tulisan yang terdapat dalam bab ini. pandangan mengenai perfilman ini dimulai dengan tulisan (1) Jalan Ideologi Film Indonesia di halaman 201; kemudian dilanjutkan berturut-turut oleh tulisan (2) Dewan Film: Pandangan Pemerintah di halaman 206; (3) Panitia Sensor dan Film Antiagama di halaman 209; (4) LFI dan Film Indonesia: Pandangan Lekra di halaman 214; (5) Film Berbasis Sosialis, Soal Apa? di halaman 225; (6) Menjadi Tamu Di Rumah Sendiri di halaman 237 (7) Festival Film Asia Afrika: Komunike Kesetiakawanan di halaman 241; (8) Ampai, Kaum Dagang, dan Imperialisme Budaya di halaman 248; (9) Boikot, Boikot, Boikot! di halaman 254; (10) Ayo, Keroyok Ampai dan Agen-Agenen Film Asing sampai Mampus di halaman 261; (11) Robohnya Gedung Ampai di halaman 271. Bagian lima mengenai bab Senirupa, dalam bab ini dipaparkan mengenai jalan Lekra dibidang senirupa yang dijelaskan dalam lima tulisan. Hal ini tentang ketegasan dibidang politik senirupa dan pembentukan galeri-galeri pameran. Beberapa tulisan tersebut, yaitu (1) Politik Senirupa Lekra di halaman 283; (2) Taman Seni Lekra: dari Galeri ke Galeri di halaman 298; (3) Turba dan Organisasi Senirupa Indonesia di halaman 312; (4) Garis Seni Lesrupa di halaman 319; (5) Lesrupa dan Merahnya Merah di halaman 322. Masuk di bagian enam mengenai bab Seni Pertunjukan yang di mulai dengan tulisan pertama yang berjudul Kebangkitan Kesenian Rakyat di halaman
59
283.
Kemudian dilanjutkan tulisan berikutnya, yaitu (2) Ketoprak: Politik,
Drama, Rakyat di halaman 339; (3) Wayang: dari Feodalisme ke Politik Revolusioner di halaman 354; (4) Drama: Produksi dan Pementasan di halaman 365; (5) Reog: Di Jalanan Meritul Musuh Rakyat di halaman 371; (6) Ludruk: Lelucon Satire Merebut Hati Rakyat di halaman 373; (7) Mari-Mari Nonton Pertunjukan! di halaman 377; (8) Dari Pangung ke Panggung di halaman 380. Bagian ini memaparkan jalan kebudayaan Lekra dalam seni pertunjukan. Bagaimana metode agar politik sebagai panglima dapat diterjemahkan melalui seni ketoprak, wayang, reog, dan ludruk untuk mendidik rakyat. Bagian tujuh mengenai bab Seni Tari yang berisi enam buah tulisan. Bab ini dimulai dengan tulisan berjudul Melestarikan Tarian Rakyat di halaman 391. Kemudian dilanjutkan dengan (2) Lestari, Tani, dan Tari Nasional di halaman 398; (3) Tari Revolusioner untuk Anak di halaman 401; (4) Tari Lenso, Tari Pergaulan di halaman 403; (5) Dari Panggung Tari Mari Kibarkan Bendera Revolusi di halaman 404. Dari keseluruhan bagian tujuh menjelaskan mengenai usaha Lekra untuk melestarikan dan membangun seni tari nasional agar mampu mendorong revolusi melalui lapangan kebudayaan. Hal tersebut dimulai dengan melestarikan tari daerah dan menciptakan tari yang mempunyai semangat revolusi untuk anak-anak. Bab Musik, bidang ini masuk ke dalam bagian delapan yang dijelaskan dalam lima buah tulisan. Tulisan dalam bab Musik ini, yaitu (1) Bersama Rakyat Lekra Menyanyi di halaman 413; (2) “Kambing ke Belet Kawin” dan Ngak Ngik Ngok di halaman 416; (3) Jalan Musik Manipolis Indonesia di halaman 422; (4)
60
Laporan dari Ruang Sidang LMI di halaman 430; (5) Musik Daerah dan Hak Cipta di halaman 434. Di dalam bab Musik, Lekra menyoroti permasalahan maraknya musik luar asing yang isinya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang mereka sebut dengan musik ngak ngik ngok. Selain itu, Lekra juga memandang bahwa musik daerah bukan saja identitas bangsa, tetapi labelnya harus jelas bahwa musik tersebut merupakan hasil kerja keras dan kreaktivitas lokal. Oleh karena itu, Lekra menekankan bahawa hak cipta itu harus diberi garis tegas agar musik daerah tidak dirampok oleh negara-negara imperialis. Persoalan mengenai perbukuan masuk ke dalam bagian sembilan. Bab yang diberi judul Buku ini menjelaskan mengenai politik perbukuan nasional. Hal tersebut mencakup politik buku pelajaran dan penerbitan. Di dalam bab ini juga terdapat tulisan mengenai pembelan Lekra bahwa mereka tidak ikut melakukan pembakaran buku yang notabene menjadi judul buku ini. Pembakaran buku ini dilakukan oleh Front Pemuda terhadap buku asing terbitan USIS dengan tujuan sebagai dukungan pemuda terhadap aksi anti anti pangkalan militer asing bersamaan dengan seruan Soekarno untuk keluar dari kenggotaan PBB pada tanggal 7 Januari 1965. Tulisan dalam bab buku ini diantaranya, yaitu (1) Lekra Tak Membakar Buku di halaman 441; (2) Politik sebagai Panglima Buku di halamn 448; (3) Politik Buku Pelajaran di halaman 457; (4) Penerbit Jajasan Pembaruan: Sayap Kiri Politik Perbukuan di halaman 464; (5) Lekra juga Punya Penerbitan di halaman 470; (6) Lekra Tak Membakar Buku di halaman 472. Pada bab penutup yaitu bagian sepuluh diberi judul bab Khotimah. Bagian ini berisi sebuah tulisan yang berjudul Selamat Jalan Lekra di halaman 485.
61
Tulisan penutup buku tersebut menjelaskan mengenai sepak terjang Lekra selama 15 tahun di dalam melestarikan, memajukan, dan menghalau kekuatan kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Di penutup buku juga disinggung mengenai peristiwa G 30 S yang berperan di dalam mengubur Lekra sebagai organisasi dan memacetkan tumbuhnya cendekiawan-cendekiawan revolusioner di Indonesia. Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 ditulis oleh dua orang peneliti yaitu Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Rhoma Dwi Aria Yulianti adalah perempuan kelahiran di Kulon Progo, D.I Yogyakarta pada tahun 1982. Dia merupakan lulusan dua program studi, yaitu Ilmu Sejarah pada tahun 2004 dan Pendidikan Sejarah pada tahun 2007 di Universitas Negeri Yogyakarta. Di dalam kegiatan penelitian bergabung dengan I: BOEKOE sebagi peneliti utama Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007), Seabad Pers Perempuan (1908-2008), dan Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008). Sedangkan Muhidin M. Dahlan lahir di Palu Sulawesi Tengah pada tahun 1978. Dia sempat menempuh pendidikan di prodi Teknik Sipil Universitas Negeri Yogyakarta dan Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, keduanya tidak selesai. Dia juga pernah menjadi aktivis organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMIMPO), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Dia terlibat sebagai tim editor buku-buku Pramodya Ananta Toer di penerbit Lentera Dipantara sejak tahun 2003. Saat ini menjadi kerani menengah di indonesia Boekoe (I: BOEKOE)
62
dan bertugas sebagai koordinator dalam penulisan riset, seperti Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007), Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008), dan 1001 Saksi Mata Sejarah Republik. Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 tersebut merupakan proyek pribadi kedua penulis ketika mendapatkan data yang melimpah saat menjadi peneliti pada Komunitas Indonesia Boekoe (I:BOEKOE) mengenai Seabad Pers Kebangsaan dan Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia. Buku ini terbit secara mandiri dengan dana yang mereka keluarkan pribadi terlepas dari proyek Indonesia Boekoe tersebut. Muhidin M. Dahlan selaku penulis buku menyatakan: “Awalnya itu kronik dan seabad pers pergerakan adalah proyek Indonesia Boekoe (I: Boekoe). Kemudian karena melimpah-ruah datanya diserahkan kepada penulisnya. Karena data melimpah, masing-masing penulis mempunyai hak sendiri untuk membuat proyek pribadi. Itu dibiayai sendiri secara pribadi. Tidak ada yang mensponsori bung (15/12/2013)”. Buku ini ada dua jenis terbitan yaitu, bersampul depan putih dengan gambar embos palu arit dan bersampul depan putih dengan embos palu arit yang ditutup (seolah-olah ditempel penutup). Menurut kedua penulis, designer sampul buku membuat embos palu arit tersebut terispirasi karena isi buku menerangkan bahwa Lekra sebagai sebuah lembaga yang seolah-olah sebagai organisasi taktis PKI dibidang kebudayaan mempunyai posisi yang tidak begitu jelas. Seperti yang dinyatakan oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri selaku penulis buku, yaitu: “Itu sesuai dengan isinya, karena embos itukan bayang-bayang. Karena sesuai tafsir perupa. Lekra itu dibilang underbow enggak tapi keluarga iya. Kalau diraba aja baru terasa palu aritnya desainer sampulnya temen saya, anak ISI Eddy Susanto (27/12/2013)”.
63
Gambar 2. Sampul Depan Palu Arit
Buku yang dilarang dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP141/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 dikerjakan selama 1,5 tahun. Data buku ini didapatkan dari sebuah kamar di perpustakaan yang berada di Yogyakarta yaitu Library center, jalan Malioboro. Saat itu ruangan tersebut digembok dan terdapat tulisan bacaan terlarang. Ketika mereka memilah data untuk riset tersebut kemudian menemukan koran Harian Rakjat yang mengulas tentang Lekra dan PKI . Hal itu memunculkan ide untuk membuat buku tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri, yaitu: “Pada saat itu saya sedang riset Seabad Pers Kebangsaan. Kebetulan saya dapat banyak surat kabar yang berhaluan kiri dalam artian komunis. Saya kan orang sejarah, saya sempat terkejut kok ada bagian sejarah yang saya tidak tahu. Selama belajar sejarah tidak ada yang menyinggung mengenai hal itu. Padahal itu bagian dari sejarah Indonesia. Saya jadi tertarik dan kayaknya menarik untuk ditulis terus mengajak Muhidin itu. Tempatnya di Library Center, Malioboro. Sekarang isinya sudah tidak ada tetapi kerangkengnya masih ada (27/12/2013)”.
64
Gambar 5. Kerangkeng Buku Terlarang(Library Center, Malioboro)
Buku yang di tulis dengan jenis tulisan esai oleh dua orang ini mereka akui tidak ada pembagian yang rigid di dalam penyusunan tulisan. Ide untuk judul pun mereka ambil dari tulisan di bab sembilan tentang buku yang berjudul Lekra tak Membakar Buku (halaman 441). Menurut Mudidin M. Dahlan, buku ini juga menjadi tandingan dari sebuah buku yang berjudul Prahara Budaya karya Taufik Ismail. Muhidin M. Dahlan mengatakan sebagai berikut: “Tulisan pertama yang jadi dari buku itu bab 9 yang judulnya lekra tak membakar buku kemudian jadi judul. Buku itu juga mengkonter buku Taufik Ismail berjudul Prahara Budaya. Di dalam pembagian penulisan buku tidak terlalu rigid, yang saya tulis dibaca satunya demikian sebaliknya (15/12/2013)”. Berdasarkan latar belakang penulisan buku, penulis buku tidak mempunyai kepentingan secara langsung untuk menyebarkan ajaran komunisme. Penulis buku sebagai peneliti menyajikan data seperti yang mereka temukan dengan memberikan alur didalam penyusunan data yang diperolehnya dari koran Harian Rakjat tersebut. Akan tetapi isi buku tersebut yang menerangkan tentang
65
dasar pembentukan organisasi, program kerja dan para tokoh-tokohnya sangat dekat dengan PKI. Hal tersebut tidak bisa dihindari karena anggota Lekra sebagian adalah anggota PKI. Disamping itu adanya sampul buku yang bergambar palu arit memberikan kesan bahwa buku tersebut identik dengan organisasi terlarang yaitu PKI. Dengan demikian buku ini akhirnya diduga mengandung motif ideologi politik yang melanggar ketentuan dalam TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966
mengenai
pelarangan
penyebaran
ajaran/paham
Marxisme/Leninisme-Komunisme. B. Praktik Kebijakan Pelarangan Buku 1. Landasan Yuridis Pelarangan Buku Di masa Orde Lama, Presiden Soekarno mengeluarkan kebijakan negara berupa Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum pada tanggal 23 April 1963. Di masa Orde Baru melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1965 Tentang Berbagai Penetapan Presiden sebagai Undang-Undang yang menyatakan tetap berlakunya 28 Penetapan Presiden dan 10 Peraturan Presiden menjadikan Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum masih berlaku dan berubah menjadi produk hukum UU No.4/PNPS/1963. Di dalam UU No.4/PNPS/1963 termaktub klausul kewenangan pelarangan barang cetakan oleh Kejaksaan Agung. Klausul tersebut terdapat pada Pasal 1 UU No.4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban yang bunyinya adalah sebagai berikut:
66
Pasal 1 (1) Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. (2) Keputusan Menteri Jaksa Agung untuk melarang beredarnya barang cetakan seperti tercantum dalam ayat (1) tersebut dicantumkan dalam Berita Negara. (3)
Barangsiapa
menyimpan,
memiliki,
mengumumkan,
menyampaikan,
menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali barang cetakan yang terlarang, setelah diumumkannya larangan itu dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya lima belas ribu rupiah. Landasan yuridis pelarangan barang cetakan berikutnya adalah UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Produk hukum ini memberikan kewenangan kepada Kejaksaan di dalam pengawasan terhadap barang cetakan yang beredar dimasyarakat. Klausul tersebut termaktub dalam Bab III Tugas dan Wewenang Pasal 30 ayat (3) huruf c yang bunyinya sebagai berikut: Pasal 30 (3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan: a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
67
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal. Hal tersebut berdasarkan keterangan Arif Raharjo, S.H selaku staf Asisten Intelejen Kejaksaan Tinggi D.I Yogyakarta bagian Sosial-Politik (Kasi II) yang mengurusi pengawasan barang cetakan. Dia menjelaskan bahwa pengawasan buku oleh kejaksaan menggunakan landasan hukum UU No.4/PNPS/1963 dan UU Kejaksaan. Peraturan perundangan tersebut juga diperkuat dengan produk hukum berupa Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Jaksa Agung JUKLAK-001/A/J.A.3.2003, tanggal 25 Maret 2003 tentang Pengertian Ketertiban Umum dan Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-190/A/J.A/3/2003, tanggal 25 Maret 2003 tentang Clearing House Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Seperti yang dikatakan Arif Raharjo mengenai kewenangan Kejaksaan dalam pengawasan barang cetakan sebagai berikut: Awalnya pengawasan barang cetakan yang beredar dimasyarakat dalam hal ini buku berlandaskan UU No.4/PNPS/1963 dan UU Kejaksaan. Kedua produk hukum itu menjadi landasan kerja kejaksaan. Kedua produk hukum tersebut masih dilengkapi dengan JUKLAK Jaksa Agung dan Clearing House (30/12/2013). Dasar hukum itu yang kemudian melandasi kewenangan Kejaksaan dalam mengawasi boleh dan tidaknya suatu barang cetakan dimasyarakat. Ketika ada barang cetakan yang diduga isinya dapat mengganggu ketertiban umum maka akan segera ditindaklanjuti oleh Kejaksaan melalui kajian dalam Clearing House kemudian jiga terbukti maka akan dilakukan penyitaan dan pemusnahan dengan bantuan aparat kepolisian.
68
2. Alur Kerja Pelarangan Buku Proses penelitian buku melalui Clearing House menurutnya melalui beberapa langkah sampai akhirnya ke tahap pelarangan. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: a) Pengumpulan Informasi tentang barang Cetakan yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Informasi ini didapatkan melalui inisiatif
Kejaksaan Agung, laporan
Institusi Pemerintah, dan/ laporan masyarakat. Informasi yang didapatkan dari berbagai pihak tersebut kemudian diolah atau dikaji oleh Subdit Pengawasan Media Massa dan Barang Cetakan yang disertai dengan pendapat dan saran. Hasil olah data dan pengkajian tersebut kemudian dilaporkan oleh Direktur Sosial dan Politik kepada Jaksa Agung Muda Intelejen (JAM Intel). Apabila JAM Intel berpendapat bahwa barang cetakan yang dilaporkan tersebut isinya dapat mengganggu ketertiban umum, maka selanjutnya barang cetakan diteruskan untuk dibahas dalam rapat Clearing House. Proses awal pengumpulan informasi untuk menentukan buku-buku yang dianggap bermasalah di bawah tanggung jawab Jaksa Agung Muda Intelejen (JAM Intel). b) Rapat Clearing House Proses ini dilakukan oleh sebuah kelompok kerja yang bertugas mengkaji buku-buku yang dianggap bermasalah. Jika dibutuhkan JAM Intel dapat mengundang para ahli untuk dimintai pendapatnya mengenai isi dari barang cetakan tersebut. Mereka diundang dalam rapat Clearing House sebagai
69
anggota tidak tetap, contohnya sejarawan untuk buku-buku sejarah atau Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk buku agama. Hasil dari kajian tersebut berupa rekomendasi kepada Jaksa Agung untuk menerbitkan larangan atau tidak. Clearing House dipimpin oleh JAM Intel sebagai ketua, Direktur Sosial dan Politik Kejaksaan Agung sebagai ketua pelaksana serta K.a Subdit Pengawasan Media Massa dan Barang Cetakan sebagai sekretaris. Anggota dari kelompok kerja ini adalah tim antardepartemen yang terdiri dari Kejaksaan Agung sendiri, Polri, Bais, BIN, Departemen Agama, Depdiknas, Lembaga Informasi Nasional, dan Depkominfo. c) Penerbitan Surat Keputusan (SK) Jaksa Agung Rekomendasi dari Clearing House diberikan kepada Jaksa Agung melalui JAM Intel untuk menjadi landasan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Apabila Jaksa Agung berpendapat bahwa barang cetakan tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum sesuai UU No.4/PNPS/1963, maka Jaksa Agung berwenang untuk melarang peredaran barang cetakan tersebut. Proses ini berupa penerbitan Keputusan Jaksa agung RI tentang pelarangan beredarnya suatu barang cetakan dimasyarakat yang didaftarakan dalam Berita Negara RI dan diteruskan dengan Instruksi Jaksa Agung RI kepada Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri seluruh wilayah Indonesia sebagai pedoman pelaksanaan pelarangan barang cetakan tersebut. Kejaksaan Agung
sesuai
pemberitahuan
ketentuan kepada
hukum penulis
tidak ataupun
mempublikasikannya melalui Berita Negara.
berkewajiban penerbit
memberikan dan
cukup
70
1. Pengumpulan Informasi Inisiatif Kejaksaan, Intitusi Pemerintah, atau Masyarakat
2. Rapat Clearing House Tim Kerja antardepartemen berfungsi mengkaji barang cetakan dan menghasilkan rekomendasi kepada Jaksa Agung
3. Penerbitan SK Pelarangan oleh Jaksa Agung Penerbitan Keputusan Jaksa Agung tentang pelarangan beredar barang cetakan tertentu
4. Penyitaan dan Pemusnahan Buku Tindakan pengamanan/penyitaan barang cetakan kemudian di musnahkan Gambar 3. Alur Pelarangan Buku
d) Penyitaan dan Pemusnahan Buku Aparat Kejaksaan berlandaskan Surat Keputusan Kejaksaan Agung yang diikuti Instruksi kepada Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri kemudian melakukan tindakan pengamanan alias penyitaan buku. Aparat kejaksaan dengan dibantu kepolisian mendatangi alamat penerbit dan percetakan kemudian menyita buku serta mendatangi agen dan toko buku untuk memastikan buku yang dilarang tidak dijual. Buku yang sudah disita kemudian dimusnahkan dengan dua cara yaitu dengan membuat buku-buku tersebut menjadi bubur kertas atau dengan cara pembakaran. 3. Kriteria Barang Cetakan yang Dilarang Di dalam alur kerja pelarangan buku menurut Arif Raharjo, S.H pada tahap penelitian dan penyelidikan terhadap barang cetakan yang beredar dimasyarakat yang dilakukan dalam forum Clearing House digunakan landasan
71
mengenai kriteria penilaian. Penelitian dilakukan atas isi atau materi yang terkandung dalam barang cetakan dengan kriteria penilaian pada beberapa hal sebagai berikut: a) Bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. b) Bertentangan dengan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). c) Mengandung Komunisme
dan
menyebarkan
yang
dilarang
ajaran/paham berdasarkan
Marxisme/Leninisme-
TAP
MPRS
Nomor
XXV/MPRS/1966. d) Merusak kesatuan dan persatuan bangsa, dan negara kesatuan republik Indonesia. e) Merusak kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan nasional. f) Merusak akhlak dan memajukan pencabulan/pornografi. g) Memberikan kesan anti Tuhan, anti agama, dan penghinaan terhadap salah satu agama yang diakui di Indonesia sehingga merupakan penodaan serta merusak kerukunan hidup beragama. h) Merugikan dan merusak pelaksanaan program pembangunan nasional yang tengah dilaksanakan dan hasil-hasil yang telah dicapai. i) Mempertentangkan Suku, Agama, Ras, dan Adat-istiadat (SARA). j) Lain-lain yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum sebagaimana contoh tersebut diatas. Menurut Arif
Raharja di dalam kasus pelarangan buku Lekra Tak
Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, buku tersebut masuk
72
dalam kriteria barang cetakan yang harus dilarang peredarannya oleh kejaksaan. Arif menyatakan bahwa salah satu yang menjadi kriteria pelarangan
adalah
gambar palu arit di sampul depan buku yang identik dengan organisasi terlarang di Indonesia yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal tersebut sesuai dengan keterangan Pemerintah dan DPR RI berdasarkan hasil kajian Clearing House Kejaksaan yang terdapat di dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010. Menurut kajian Clearing House, hal-hal yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut: a) Sampul buku bagian depan memuat gambar Palu Arit yang cukup besar berwarna putih (sama dengan warna sampul buku); b) Sub judul Lekra "Bukan" PKI (halaman 59); c) Tak hanya bubar, semua anggota partai yang mengusungnya tinggi-tinggi diburu, ditangkap, dipenjarakan, dan ditombak, disembelih, dan ditembak. (halaman 101); d) Di masa gelap ini, Berita Yudha dan Angkatan Bersendjata bahu-membahu meniup terompet ke seluruh penjuru negeri untuk melakukan pengganyangan kepada semua orang yang terdaftar sebagai PKI atau simpatisannya. (halaman 101); Dari analisa pernyataan-pernyataan di atas, buku tersebut dikategorikan meresahkan pembaca karena: a) Sampul buku bagian depannya memuat gambar Palu Arit yang cukup besar berwama putih (sama dengan warna sampul buku);
73
b) Mencantumkan istilah "G 30 S" atau "Gerakan 30 September" atau "Gerakan 30 September 1965" tanpa diikuti sebutan "PKI"; c) Mendiskreditkan Pemerintah, khususnya Angkatan Bersenjata dengan tuduhan telah
melakukan
penghukuman
penjara
puluhan
tahun,
pengejaran,
penggorokan leher, dan penembakan-penembakan sistematik, serta mengatur aksi massa yang sangat brutal terhadap para budayawan. Berdasarkan hasil uraian perihal yang mendapatkan perhatian dan alasan dikategorikan meresahkan masyarakat oleh Clearing House terungkap fakta bahwa buku tersebut memaparakan peristiwa yang dianggap identik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), memaparkan sejarah yang tidak sesuai dengan versi pemerintah dan berpotensi mendiskreditkan pemerintah dalam peristiwa G 30 S. Sehingga dikeluarkan Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-141/A/JA/12/2009 pada tanggal 22 Desember 2009 tentang pelarangan peredaran buku tersebut. Menurut Arief Budiman bahwa dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara kita dapat melihat jenis negara tersebut, bentuk rejimnya, dan sifat dari alat birokrasinya. Kebijakan ini tentunya merupakan sebuah proses politik yang kompleks. Negara sendiri merupakan sebuah pakta dominasi dari satu atau beberapa kelompok masyarakat untuk suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, ini merupakan sebuah pakta dominasi dari orang-orang atau kelompok yang diuntungkan yang disebut sebagai rejim. Dalam pengertian polulernya, rejim seringkali diartikan sebagai orang atau sekelompok orang yang menguasai negara, seperti misalnya, rejim Marcos, rejim Soeharto atau rejim Soekarno. Sedangkan dalam pengertian ilmiahnya yang dirumuskan oleh Stephen D. Krashner, rejim
74
lebih dikaitkan dengan prinsip-prisnsip, norma-norma, aturan-aturan, dan prosedur pengambilan keputusan yang dianut oleh penguasa sebuah negara. Sedangkan menurut teori birokrasi Max Weber dijelaskan bahwa negara memiliki dua unsur, yaitu tenaga administrasi dan politisi yang ada di pucuk pimpinan tertinggi sebuah organisasi atau departemen. Tenaga administrasi adalah posisi teknis, sedangkan orang-orang yang berada di pucuk pimpinan tertinggi sebuah departemen merupakan jabatan politis, karena menyangkut kebijakan. Dua unsur itu kemudian disebut sebagai pemerintah ((1996: 88-89). Dari penjelasan mengenai teori negara tersebut, maka penulis dapat mengetahui jenis negara, bentuk rejim, dan sifat dari alat birokrasinya melalui penelusuran dan analisis produk kebijakan tentang pelarangan buku. Produk hukum pelarangan buku pertama kali dikeluarkan pada tanggal 23 April 1963 di masa Orde Lama berupa Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Penetapan presiden tersebut dilatarbelakangi oleh penolakan terhadap barang-barang cetakan yang berasal dari luar negeri. Ada kesepakatan secara umum dari berbagai kekuatan politik yang dominan di Era Orde Lama bahwa buku-buku dari negara barat merupakan gangguan bagi tujuan revolusi Indonesia (Jaringan Kerja Budaya, 1999: 24). Klausul tersebut juga termaktub di dalam Penetapan Presiden No.4 Tahun 1963 yang berbunyi sebagai berikut: Menimbang
: 1.
bahwa barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum akan membawa pengaruh buruk terhadap usaha-usaha mencapai tujuan revolusi, karena itu perlu diadakan pengamanan terhadapnya;
75
2. bahwa dianggap perlu Pemerintah dapat mengendalikan pengaruh asing yang disalurkan lewat barang-barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar negeri, dalam rangka menyelamatkan jalannya Revolusi Indonesia; Menimbang pula: bahwa pengaturan ini adalah dalam rangka pengamanan jalannya revolusi dalam mencapai tujuannya, sehingga dilakukan dengan Penetapan Presiden; Memutuskan : Menetapkan : Penetapan Presiden Tentang Pengamanan Terhadap BarangBarang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Ada dua konsekuensi penting mengenai wewenang kejaksaan agung dalam pelarangan buku melalui Penetapan Presiden tersebut. Menurut Jaringan Kerja Budaya,
pertama,
seluruh
mekanisme
untuk
melarang
diserahkan
pembentukannya kepada Kejaksaan Agung. Kedua, melalui Jaksa Agung sebagai pihak yang berwenang, maka pelarangan buku dikendalikan langsung melalui tingkatan nasional. Kedudukan penulis, penerbit, dan percetakan lemah dihadapan produk hukum ini karena tidak adanya mekanisme membela diri ketika sebuah buku dilarang. Jaksa Agung umumnya mengeluarkan keputusan pelarangan lebih dahulu baru memanggil penulis atau penerbit untuk diinterogasi. Bagi penulis buku kondisinya berbeda, karena masih berlakunya Hatzaai artikelen dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mencantumkan klausul mengenai penyiaran kebencian melalui tulisan sebagai tindakan pidana (1999: 26). Klausul yang terdapat dalam Pasal 1 dan Pasal 6 Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 mengenai kewenangan di dalam mekanisme pelarangan barang
76
cetakan yang diserahkan pembentukannya kepada Kejaksaan Agung berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 (1) Menteri Jaksa Agung berwenang untuk melarang beredarnya barang cetakan yang dianggap dapat mengganggu ketertiban umum. (2) Keputusan Menteri Jaksa Agung untuk melarang beredarnya barang cetakan seperti tercantum dalam ayat (1) tersebut dicantumkan dalam Berita Negara. (3) Barangsiapa menyimpan, memiliki, mengumumkan, menyampaikan, menyebarkan, menempelkan, memperdagangkan, mencetak kembali barang cetakan yang terlarang, setelah diumumkannya larangan itu dihukum dengan hukuman kurungan setinggi-tingginya 1 tahun atau denda setinggi-tingginya lima belas ribu rupiah. Pasal 4 Menteri Jaksa Agung berwenang untuk menunjuk barang cetakan dari luar negeri yang tertentu untuk diperiksa terlebih dahulu sebelum diedarkan di Indonesia. Pasal 5 (1) Dengan suatu keputusan, Menteri Jaksa Agung dapat membatasi jenisjenis barang cetakan yang dimasukkan ke Indonesia dari luar negeri. (2) Yang dimaksudkan dengan jenis barang cetakan dalam pasal ini ialah jenis yang didasarkan atas jenis bahasa, huruf atau asal dari barang cetakan.
Pada masa Orde Baru, Penetapan Presiden No. 4 tahun 1963 ini ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 4 tahun 1963 melalui UU No.5/1969. Undangundang tersebut oleh pemerintah Orde Baru dijadikan landasan hukum untuk menyatakan tetap berlakunya 28 Penpres dan 10 Perpres dari pemerintah sebelumnya. Disamping Undang-Undang tentang pengamanan barang cetakan yang beredar dimasyarakat ada pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum
77
Pidana (KUHP) yang dapat menjerat warga negara yang berbeda pandangan politik dengan penguasa. Regulasi tersebut adalah pasal-pasal penyebar kebencian (haatzai artikelen) dalam KUHP. Menurut Fauzan Terdapat tujuh pasal yang berkaitan dengan penyebaran kebencian, yaitu pasal 106, 107, 108, 154, 155, 207, dan 208. Ketujuh pasal tersebut berhubungan dengan masalah pidana politik, yaitu hukum pidana yang menjadi pembenaran langkah represif negara untuk menangkap, mengadili, dan menghukum musuh-musuh politiknya (Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 81). Menurut jaringan Kerja Budaya, Adnan Buyung Nasution memiliki pengertian yang berbeda mengenai pasal-pasal yang menjerat para aktifis politik yang mengkritik pmerintah. Dia menunjuk pasal 154, 155, 156, 157 KUHP. Sedangkan Divisi Pendidikan dan Kajian Strategis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menunjuk pasal 106, 107, 108, 134, 154, dan 510 KUHP (Fauzan, 2002 : 127). Selain produk kebijakan yang dilanjutkan dari masa pemerintahan pendahulunya, Orde Baru juga melakukan kontrol politik melalui produk kebijakan berupa Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 yang ditandatangani oleh Pembantu Menteri Bidang Teknis Pendidikan, Kol. (Inf) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo yang dikeluarkan pada tanggal 30 November 1965. Di dalam bagian konsiderans disebutkan bahwa untuk mengadakan tindak lanjut di dalam usaha menumpas gerakan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” khususnya dibidang mental ideologi, dipandang perlu melarang buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan yang
78
dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota Ormas/Orpol yang dibekukan untuk sementara waktu kegiatannya (Jaringan Kerja Budaya, 1999: 27). Hal tersebut menjadi penegas bahwa peristiwa Gerakan 30 September berpengaruh besar terhadap Pemerintahan Orde Baru. Menurut Jaringan Kerja Budaya, setelah berhasil menyingkirkan berbagai elemen yang diduga berhaluan komunis, Angkatan Darat dan berbagai elemen pendukung Orde Baru mengambil beberapa kebijakan politik
penting mengenai pelarangan buku. Diantaranya
adalah TAP MPR Nomor XXV/MPRS/1966 yang membubarkan PKI dan melarang ajaran-ajaran Marxisme/Komunisme-Leninisme. Produk hukum ini tidak dilengkapi dengan definisi Marxisme/Komunisme-Leninisme sehingga memungkinkan terjadinya tafsir sesuai kepentingan politik pihak yang menggunakan ketetapan tersebut sebagai senjata. Ketetapan ini juga menjadi alat penting untuk mengontrol masyarakat secara keseluruhan (Fauzan, 2010: 129). Kemudian pada tanggal 28 Desember 1978, Menteri Perdagangan dan Koperasi Radius Prawiro mengeluarkan keputusan yang melarang impor, perdagangan dan peredaran segala barang cetakan dengan aksara Cina. Alasan dari pemerintah adalah untuk kepentingan pembinaan dan pengembangan kebudayaan Indonesia demi kesatuan dan persatuan bangsa serta peningkatan pembinaan kesatuan bahasa nasional, dipandang perlu mengeluarkan larangan mengimpor, memperdagangkan dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf/aksara Cina yang berasal dari impor (Jarinngan Kerja Budaya, 1999: 29).
79
Buku dipandang sebagai sebuah alat yang berbahaya dan dapat memicu terjadinya gerakan yang dapat menggoncang status quo. Hal tersebut merupakan indikator dari rezim militer, dimana memperlakukan buku bukan sebagai gagasan. Eko Prasetyo selaku pengamat perbukuan dan direktur Penerbit Resistbook mengungkapkan sebagai berikut: Ketika buka dipandang sebagi alat taktis untuk melakukan aksi revolusioner. Maka rezim membuat ancaman teknis kebijakan pelarangan buku. Hal itu menandakan buku diperlakukan sebagai alat yang berbahaya bukan lagi sebagai gagasan. Mereka selalu terancam atas ide untuk menggoncang status quo. Hari ini misalnya semua penangkapan teroris dan BOM selalu ada buku. Seolah-olah ingin menampakkan bahwa buku mempengaruhi tindakan seseorang. Rezim militer sangat percaya bahwa buku itu mirip senjata. Ciri kedua, rezim militer juga kuatir bahwa sebuah gagasan itu selalu mempertanyakan eksistensi dia. Mereka terkadang bukan hanya takut sama isinya tetapi tokoh yang menulisnya (7/1/2014).
Produk-produk hukum tersebut adalah kebijakan politik yang diambil rezim Orde Baru untuk melegitimasi ideologi anti komunisme dan alat kontrol bagi warga negara. Jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998 melalui gerakan reformasi tidak serta-merta diikuti dengan menghilangnya ideologi anti komunis. Sebaliknya, ideologi anti komunis tetap terpelihara dalam masyarakat Indonesia. Wijaya Herlambang menyatakan bahwa terpeliharanya ideologi anti komunis tidak saja merupakan hasil dari kampanye politik (berbagai kebijakan politik) pemerintahan Orde Baru, tetapi juga yang lebih penting lagi hasil dari agresi budaya untuk melawan komunisme, terutama melalui pembenaran atau legitimasi terhadap kekerasan yang dialami oleh kaum yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan pada 1965-1966. Pembenaran atas kekerasan yang terjadi
80
pada 1965-1966 yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru dan agen-agen kebudayaannya melalui produk-produk budaya, merupakan bentuk dukungan yang sangat mendasar dalam menciptakan sudut pandang bahwa komunisme merupakan musuh negara yang paling utama (2013: v). Ideologi
anti
komunisme ini
kemudian
digunakan
sebagai
alat
pelanggengan sejarah versi penguasa. Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaya menyatakan bahwa sejak tahun 2007 pelarangn buku merupakan kombinasi pemikiran sisa kolonial, penggunaan mantra militer bahwa negara selalu dalam keadaan bahaya dan mentalitas warisan Orde Baru terutama mereka yang masih berada di elit kekuasaan. Disisi lain militer juga belum menerima sejarah versi lain karena sangat mungkin keterlibatan mereka dalam peristiwa tersebut terungkap. Oleh karena itu, ketika rezim politik berubah dari otoritarianisme ke demokrasi, militer menggunakan alat lain untuk melakukan pemberangusan sejarah yang merugikan mereka (Iwan awaludin yusuf, 2010: 100-101). Di dalam membedah politik kebijakan suatu rezim tidak cukup dengan memahami produk kebijakan yang dihasilkan. Bagaimanapun juga penulis pandang perlu memahami budaya politik yang dominan di Indonesia. Menurut Afan Ghafar, budaya Jawa adalah budaya yang sangat mewarnai kehidupan sosial dan politik Indonesia sehingga dengan demikian ikut membentuk tatanan nilai dan norma-norma politik di dalam kehidupan politik sehari-hari di Indonesia (1995: 4).
81
Budaya politik Indonesia, terutama budaya Jawa dibangun dari struktur sosial yang sangat hierarkis, dimana adanya pemilahan yang sangat tegas antara strata satu terhadap strata lainnya. Konsekuensi dari pemilahan strata sosial yang sangat hierarkis menimbulkan suatu citra diri atau self image dari kalangan penguasa bahwa penguasa itu benevolence dalam artian bahwa penguasa pada hakekatnya adalah baik hati, pemurah, pelindung, pengayom dari rakyatnya. Penguasa mempunyai persepsi bahwa merekalah yang paling tahu apa yang terjadi, apa yang merupakan aspirasi, dan kebutuhan masyarakat. Sementara itu masyarakat adalah kawula yang tidak tahu persoalan kenegaraan sehingga mereka masih perlu dididik dan ditatar. Mereka harus tunduk, patuh, dan setia pada pemerintah, dalam artian rakyat haruslah obodience (Affan Ghafar, 1995: 5) Apa yang dilakukan oleh pemerintah, misalnya dalam kebijakan pengawasan dan pelarangan terhadap barang cetakan yang beredar dimasyarakat dan sejumlah kebijakan lainnya merupakan perwujudan dari benevolensi pemerintah. Hal tersebut bukan karena kewajiban melindungi hak warga negara setelah pemerintah dipilih oleh rakyat dan mendapatkan imbalan gaji dari pajak rakyat. Sebaliknya pemerintah juga tidak habis mengerti mengapa rakyat harus protes, harus kritis apalagi mengadakan tindakan yang memperlihatkan kelemahan kalangan pemerintah. Rakyat yang seperti itu menurut Afan Ghaffar (1995: 6) adalah rakyat yang tidak setia kepada negara, tidak setia pada Pancasila, tidak setia pada persatuan dan kesatuan. Itulah cara berfikir kalangan pemerintah kita yang masih
82
sangat dominan dan hal ini pula yang selalu ditanamkan kepada seluruh lapisan masyarakat, satu tatanan berfikir dominan untuk harus diikuti masyarakat. Sehingga cara berfikir seperti itu akan mengakibatkan rendahnya budaya toleransi terhadap berbagai perbedaan cara pandang dan perbedaan sikap. Cara berfikir yang demikian tidak mengenal apa yang disebut oposisi. Hal tersebut dianggap akan mengakibatkan konflik yang kan mengganggu stabilitas nasional dan menghambat usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dalam rangka menuju masyarakat yang adil dan makmur, tentram dan sejahtera berdasarkan Pancasila. Masyarakat yang melakukan usaha koreksi terhadap pemerintah adalah mereka dianggap sangat liberalistik. Oleh karena itu, mereka harus dicekal supaya tidak menggangu dan meracuni cara berfikir yang sangat mapan tersebut (Afan Ghafar, 1995: 6). Hal inilah yang terjadi pada kasus pelarangan buku, dimana isi dari buku tersebut menurut versi pemerintah dapat menimbulkan konflik yang menggangu stabilitas nasional dan berseberangan dengan cara pandang atau mengoreksi cara pandang pemerintah terhadap suatu peristiwa. Menurut pendapat Fernando Baez (2013: x-xi) bahwa dari segi konteks, pembakaran, penghancuran, dan pelarangan buku bisa dijumpai di zaman pergolakan seperti dalam situasi perang dan revolusi, sebagaimana juga bisa dijumpai di zaman normal. Pertama perang, merupakan kejadian pertama yang secara brutal bisa menjadikan buku sebagai korban. Sebagaimana berlangsung semenjak penghancuran Roma yang diikuti pembakaran buku oleh kaum vandal pada 455 SM hingga penghancuran perpustakaan Bagdad di abad ini. Kedua pembakaran buku yang menandai gerak kemunculan rezim baru. Pembakaran
83
buku di era Pol Pot di Kamboja serta pelarangan dan pembakaran buku yang berisi adat dan paham tua di masa Revolusi Kebudayaan Cina. Ketiga adalah penghancuran dan kebencian terhadap buku selama masa Revolusi. Salah satunya adalah sensor selama dan sesudah Revolusi Prancis seperti contohnya karya Voltaire dan Rousseau dihujat dan diminta untuk dibakar. Keempat adalah kebencian atau penghancuran buku yang secara resmi disponsori oleh negara/pemerintah dalam situasi normal. Penghancuran dan pelarangan buku didasarkan pada argumen bahwa suatu buku memuat ide-ide “murtad” merupakan praktek yang sering dilakukan. Hal tersebut merujuk pada apa yang disebut oleh Rebecca Knuth sebagai biblioclasm, yaitu sebuah praktik penghancuran dan pelarangan buku yang didasarkan atas argumen atau penilaian moral dari suatu otoritas moral tertentu. Argumen dan penilaian moral ini di Indonesia mewujud dalam sebuah kebijakan negara atau kebijakan publik yaitu produk hukum. C. Proses Perlawanan/Advokasi 1.
Perlawanan/Advokasi Non Litigasi Kasus Pelarangan terhadap buku berjudul Lekra Tak Membakar Buku:
Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan direspon pertama kali oleh penulisnya melalui pengubahan design sampul buku agar buku tersebut tetap dapat beredar. Bagian sampul buku ini yang diduga oleh mereka bermasalah, sehingga berakibat toko buku mengembalikan (retur) kepada penerbit. Keduanya melakukan pengubahan design sampul buku dengan menutup embos gambar palu arit pada design sampul buku sebelumnya. Berikut pernyataan Muhidin M. Dahlan:
84
Kita mengupayakan gimana beredar kan. Salah satunya dengan membuat cover ini. Tetapi masih dilarang, dulu kita kira masalah cover thok. Cover itu memakai embos palu arit. Makanya kita tempel kayak gini.. Masalahnya di toko buku Gramedia ketika heboh-hebohnya itu dikembalikan. Akhirnya karena embos itu design maka dijawab dengan kita tempel (15/12/2013).
Gambar 4. Sampul Depan Palu Arit Ditutup
Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan menyatakan mengetahui secara jelas perihal pelarangan buku karya mereka melalui berita di media massa. Mereka sebagai penulis buku tidak mendapatkan pemberitahuan resmi dari Kejaksaan mengenai pelarangan buku tersebut. Demikian pernyataan Muhidin M Dahlan: Pas dikirim lagi ke toko buku mereka tidak mau menerima karena kejaksaan melarang. Ternyata bukan cover. Bukan apa tapi surat resminya kita tidak dapat (15/12/2013). Selain melalui pengubahan design sampul buku, kedua penulis melakukan beberapa tindakan untuk memperjuangkan agar buku yang mereka tulis tetap dapat beredar di masyarakat. Beberapa di antara usaha perlawanan tersebut adalah
85
dengan mengadakan diskusi bedah buku dan pameran buku-buku terlarang di berbagai kota besar di Indonesia. Mereka juga menggunakan jejaring sosial untuk mengkampanyekan dan meminta dukungan masyarakat dalam menolak kebijakan pelarangan buku. Tindakan perlawanan secara kultural ini membuahkan hasil dengan
munculnya
dukungan
dari
berbagai
elemen
masyarakat
yang
prodemokrasi. Mereka mendorong agar kasus pelarangan buku tersebut di bawa ke tingkat nasional. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Muhidin M. Dahlan selaku Penulis sebagai berikut: Pertama penulisnya diem aja karena tidak punya kemampuan. Kemudian ada dorongan dari masyarakat untuk dibawa secara nasional. Barulah muncul beragam diskusi, saya pernah hadir menjadi pembicara diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dan diskusi bedah buku di Surabaya. Di internet melalui facebook gencar di share berbagai informasi tentang pelarangan buku kalo Twiiter belum. Kemudian setelah berbagai diskusi intensif memunculkan gagasan gerakan litigasi itu (15/12/2013). Perlawanan secara kultural di dunia maya dilakukan oleh komunitas Blogger Indonesia dengan menggalang dukungan dari masyarakat melalui jejaring sosial, yaitu facebook. Akun yang mereka buat menurut penulis buku adalah Lawan Pelarangan Buku. Di dunia maya ada dua website yang terkenal aktif melakukan
perlawanan
terhadap
pelarangan
buku
di
Indonesia
yaitu,
www.lawanpelaranganbuku.blogspot.com dan www.indonesiaboekoe.com. Awalnya perlawanan terhadap kebijakan pelarangan buku ditekankan pada upaya pembentukan opini publik melalui serangkaian acara diskusi dan seminar diberbagai kota. Diantara dokumentasi acara yang penulis ungkapkan terjadi di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya. Pada bulan Agustus 2007 di Jakarta, beberapa elemen masyarakat dari berbagai latar belakang profesi yang menamakan dirinya
86
“Masyarakat Pecinta Buku dan Demokrasi” mengeluarkan sebuah pernyataan sikap. Isi dari pernyataan sikap tersebut diantaranya, pertama menuntut permintaan maaf dari pelaku pembakaran buku sejarah di Depok dan kota-kota lain. Kedua, menuntut pemerintah khususnya pihak Kejaksaan untuk tidak menyikapi perbedaan pendapat dengan pembakaran buku melainkan membuka dialog demi melindungi demokrasi. Ketiga, dihentikannya pelarangan buku atas alasan apa pun. Kemudian pada bulan Maret 2010, para perupa dan aktivis di Jakarta membuat pameran bertema Pelarangan Buku: Menutup Jendela Dunia bertempat di Taman Ismail Marzuki. Pesan yang ingin mereka sampaikan adalah pelarangan buku yang semena-mena oleh aparat negara merupakan sebuah kemunduran peradaban di Era Reformasi. Pada waktu itu, mereka juga merencanakan melanjutklan acara tersebut ke Yogyakarta dan Surabaya. Selain itu, sebuah pagelaran bertema Melawan Dengan Karya: Sebuah Pagelaran Buku-Buku Terlarang bertempat di Balai Pemuda dibuat di Surabaya. Acara tersebut berlangsung dari tanggal 19-21 Mei 2010. Muhidin M Dahlan menjelaskan bahwa salah satu rangkaian acara tersebut menampilkan performance art dari Taufik Monyong berupa seorang pria yang tubuhnya tertutup kertas bertuliskan ratusan judul buku yang pernah dibredel sejak era kolonial hingga reformasi. Buku-buku yang dilekatkan pada tubuh pria tersebut antara lain Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 19501965, dan Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Disamping itu distribusi
87
buku melalui jalur alternatif (bawah tanah) kepada masyarakat yang berminat juga terus dilakukan oleh penerbit dan penulis dalam berbagai acara. 2.
Perlawanan/Advokasi Litigasi Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan selaku penulis buku
Lekra Tak Membakar Buku: Suara senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 selain menempuh jalur perlawan kultural juga melakukan perlawanan melalui jalur hukum. Hal ini dilakukan bersama-sama dengan penulis dan penerbit juga elemen masyarakat yang dirugikan haknya dengan pelarangan buku tersebut. Dua penulis buku ini menggunakan jasa kuasa hukum yang berbeda untuk mengurus permohonan uji materi terhadap UU No.4/PNPS/1963 dan UU Kejaksaan RI. Rhoma Dwi Aria Yuliantri dengan I Gusti Agung Ayu Ratih dari Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) selaku penerbit buku Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Roosa memberikan kuasa kepada Tim Advokasi Tolak Pelarangan Buku yang berdomisili hukum di Jalan Diponegoro Nomor 74, Jakarta Pusat. Tim Advokasi Pelarangan Buku mendaftarkan permohonan uji materi Perkara Nomor 20/PUUVIII/2010 dan berkedudukan sebagai pemohon III. Sedangkan Muhidin M Dahlan (pemohon V) bersama dengan Muhammad Chozin Amirullah selaku Ketua Umum Pengurus Besar HMI MPO (pemohon I); Adhel Setiawan selaku Mahasiswa dan Pengurus PB HMI MPO (pemohon II); Eva Irma Muzdalifah selaku Mahasiswa dan Ketua Umum HMI MPO Cabang Jakarta (pemohon III); dan Syafrimal Akbar Dalimunthe selaku Mahasiswa dan Ketua Umum HMI MPO Cabang Bogor (pemohon IV), melakukan permohonan
88
uji materi Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010 memberikan kuasa kepada Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat HMI-MPO (TAKBIR HMIMPO). TAKBIR HMI-MPO berdomisili hukum di Pohan & Goei Law Office, Gedung Arthaloka Lantai 16, Suite 1610, Jalan Jenderal Sudirman Kav 2, Jakarta Pusat. TAKBIR HMI-MPO oleh Mahkamah Kostitusi sebagai kuasa para pemohon disebut berkedudukan sebagai pemohon II. Langkah-langkah yang dia ambil bersama dengan penentang kebijakan pelarangan buku, menurut Muhidin M Dahlan merupakan perlawanan secara formal dan non formal sebagai seorang warga negara. Pernyataan tersebut seperti yang diungkapkannya: Ini adalah cara warga negara melawan secara formal dan non formal. Karena 6 buku yang dilarang. Masing-masing punya bekingan. Kalau beking saya HMI MPO ada juga ISSI dan Rhoma dengan LBH Jakarta. berbagai elemen masyarakat juga media semuanya bersatu padu melawan. LBH jakarta dan media massa yang paling kenceng dan juga lewat Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (15/12/2013). Permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi itu dilakukan sejak bulan Februari 2010. Mahkamah Konstitusi menerima surat permohonan uji materi tersebut pada bulan Maret 2010, setelah mengalami beberapa perbaikan. Para Pemohon II telah mengajukan permohonan dengan surat permohonannya bertanggal 15 Februari 2010 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Kamis tanggal 18 Februari 2010 dan diregistrasi pada hari Selasa tanggal 2 Maret 2010 dengan Nomor 13/PUUVIII/2010. Surat tersebut kemudian diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Rabu tanggal 31 Maret 2010. Kemudian untuk Pemohon III telah mengajukan permohonan dengan surat permohonan bertanggal 23 Februari 2010 yang diterima di Kepaniteraan
89
Mahkamah pada hari Kamis tanggal 25 Februari 2010 dan diregistrasi pada hari Selasa tanggal 30 Maret 2010 dengan Nomor 20/PUUVIII/2010. Surat tersebut juga mengalami perbaikan dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada hari Rabu tanggal 29 April 2010. Para pemohon mempermasalahkan pelarangan buku dengan landasan UU No.4/PNPS/1963 dan UU No.16/2004. Kedua produk hukum tersebut menurut para pemohon mencederai hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Oleh karena itu, para pemohon meminta mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materi terhadap dua produk hukum yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan dalam hal pelarangan barang cetakan (buku). Hal tersebut mereka nyatakan dalam klausul kepentingan hukum (legal standing) bahwa hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informas dalam rangka pengembangan diri sebagai warga negara telah dilanggar. Hal tersebut sesuai dengan legal standing pemohon yang berbunyi: a) Bahwa hak konstitusional para Pemohon berupa hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dalam rangka pengembangan diri dan lingkungan masyarakat, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan dan mengolah informasi dari buku-buku atau barang cetakan lainnya jelas telah dilanggar. b) Bahwa Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan V adalah perorangan dan warga negara Indonesia berstatus sebagai mahasiswa/mahasiswi dan penulis yang dirugikan hak konstitusionalnya karena tidak dapat memperoleh informasi untuk mengembangkan diri dan lingkungan
90
masyarakatnya oleh karena adanya pelarangan dan pengawasan barang cetakan dalam UU 4/PNPS/1963 dan UU 16/2004. Padahal hak untuk memperoleh berkomunikasi dan memperoleh informasi telah dijamin dalam Pasal 28F UUD 1945. Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan Pemohon V tidak dapat secara bebas mendapatkan informasi, dimana informasi melalui barang cetakan tersebut dilarang untuk beredar. c) Bahwa selain itu para Pemohon juga dirugikan oleh karena ketentuan pelarangan dan pengawasan barang cetakan dalam UU 4/PNPS/1963 dan UU 16/2004 tidak melalui sebuah proses hukum (due proccess of law) yang benar. Ketentuan konstitusional dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah menetapkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena adanya pemberian hak konstitusional diatas maka pelarangan dan pengawasan barang cetakan sebagaimana diatur dalam UU 4/PNPS/1963 dan UU 16/2004 bertentangan dengan UUD 1945. d) Bahwa Pemohon V adalah Penulis Buku Lekra Tak Membakar Buku, Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 dan bukubuku lainnya. Sebagai penulis, Pemohon V dirugikan dengan adanya ketentuan pelarangan dan pengawasan terhadap barang cetakan dalam UU 4/PNPS/1963 dan UU 16/2004 oleh karena pikiran dalam buku Pemohon V dianggap
terlarang.
Jaminan
hak
konstitusional
Pemohon
V
sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945
91
terkait dengan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya dan mengeluarkan pendapat jelas telah dirugikan. Tim Advokasi Pelarangan Buku yang menjadi kuasa dari Rhoma Dwi Aria Yuliantri mengajukan 1 orang saksi dan 3 orang ahli untuk memperkuat permohonan uji materinya. Hal tersebut seperti yang tertuang dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010. Pemohon III mengajukan satu orang saksi yaitu Prof. Dr. Iur Adnan Buyung Nasution dan 3 (tiga) orang Ahli yaitu (1) Prof. Dr. Magnis Suseno, Atmakusumah Astraatmadja, dan Yudi Latif, Ph.D. Mereka kemudian memberikan keterangan di bawah sumpah pada persidangan tanggal 15 Juni 2010. Sedangkan TAKBIR HMI-MPO selaku kuasa dari Muhidin M Dahlan menghadirkan 2 orang saksi dan 1 orang ahli. Mereka mengajukan dua orang saksi, yaitu Ahmad Muzzaki (Mahasiswa), dan Syafinuddin Almandari (Aktivis/Mantan Aktivis HMI), serta satu orang Ahli yaitu Dr. Donny Gahral Adian (Dosen Filsafat Politik), yang memberikan keterangan di bawah sumpah pada persidangan tanggal 15 Juni 2010. Kehadiran saksi dan ahli ini pentinng menurutnya untuk memperkuat tuntutan mereka di dalam beracara di Mahkamah Kostitusi. Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan berbagai pertimbangan, maka permohonan Para Pemohon Nomor 13/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUUVIII/ 2010 dikabulkan untuk sebagian. Isi dari amar putusan Mahkamah Kostitusi terhadap perkara tersebut menyatakan bahwa UU No.4/PNPS/1963 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan UU No.16/2004 tetap berlaku. Amar
92
putusan mahkamah kostitusi terhadap uji materi tersebut secara lengkap berbunyi sebagai berikut: a) Permohonan pengujian formil oleh para Pemohon tidak dapat diterima; b) Permohonan pengujian materiil oleh para Pemohon dikabulkan untuk sebagian; c) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barangbarang; Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 23 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533) juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2900) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut: a) Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Barangbarang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 23 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2533) juncto UndangUndang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden Sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2900) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; b) Pengujian Pasal 30 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401) ditolak; c) Menolak permohonan para Pemohon pengujian materiil untuk selain dan selebihnya; d) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya; Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin tanggal sebelas bulan Oktober tahun dua ribu
93
sepuluh dan di ucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal tiga belas bulan Oktober tahun dua ribu sepuluh, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu, Moh. Mahfud MD., sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Hamdan Zoelva, Harjono, M. Akil Mochtar, dan Ahmad Fadlil Sumadi, masing-masing sebagai anggota, dengan didampingi oleh Alfius Ngatrin sebagai Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Pemerintah atau yang mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili (Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010). Keputusan hasil uji materi tersebut dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Oktober 2010. Waktu pengajuan uji materi sampai mendapatkan keputusan dari Mahkamah Konstitusi menurut kedua penulis memakan waktu sampai 1 tahun. Di dalam Amar Putusan Mahkamah Kostitusi dalam perkara uji materi tersebut terdapat 1 hakim yang dissenting opinion (berbeda pendapat) yaitu Hamdan Zoelva. Selaku pemohon, Muhidin M. Dahlan mengungkapkan sebagai berikut: Judicial Review itu sekira 1 tahun, bulan Maret sudah masuk Mahkamah Konstitusi, diputuskan 13 Oktober 2010. Kami menang Bung. Ada salah satu hakim Mahkamah Konstitusi yang disenting opinion yaitu Hakim Mahkamah Konstitusi sekarang, Hamdan Zoelva (15/12/2013). Dinamika perlawanan atau advokasi oleh kelompok masyarakat penentang kebijakan pelarangan buku baik secara non litigasi atau litigasi untuk menuntut hak terhadap negara dalam pemaparan tersebut merupakan ciri dari proses demokratisasi melalui penguatan civil society. Menurut Arief Budiman, seringkali diasumsikan bahwa format demokrasi sangat ditentukan oleh interaksi antara
94
negara dan civil society. Apabila civil society kuat vis a vis negara, maka kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang lebih demokratis dapat diwujudkan. Dengan demikian proses demokratisasi pada hakekatnya dapat dipandang sebagai proses penguatan civil society (Pradjarta Dirdjosantoso dan Kutut Suwondo, 1999: 51) Menurut Nico L. Kana, civil society adalah suatu corak masyarakat yang berorientasi
kepada pengutamaan
terealisasinya hak-hak
dan
kewajiban
anggotanya sebagai warga negara lebih dari kepentingan negara atau penguasanya. Salah satu bentuk dari hak dan kewajiban warga negara dalam civil society adalah adanya kebebasan bagi warganya untuk mewujudkan hak dan kewajibannya atas prakarsa sendiri. Dalam suatu civil society maka peranan menentukan dari negara makin surut ke belakang, sehingga yang lebih menonjol peranan mendukung prakarsa masyarakat agar hak dan keawajibannya terealisasikan (1996: 110). Civil society dalam pengertian yang digunakan di sini adalah suatu entitas yang keberadaannya menerobos batas-batas kelas serta memiliki kapasitas politik yang cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan pengimbang dari kecenderungan-kecenderungan intervensionis negara, dan pada saat yang sama mampu melahirkan daya kritis reflekstif (reflektif forces) di dalam masyarakat untuk mencegah derajat konflik internal. Civil society yang reflekstif ini pun menurut Muhammad A.S. Hikam (1993: 62-63) mengisyaratkan pentingnya wacana publik dan oleh sebab itu keberadaan sebuah ruang publik yang bebas (a free publik sphere). Menggunakan pandangan filosofis Hannah Arendt dan
95
Juergen Habermas, maka kedua elemen tersebut merupakan esensi dari civil society, karena disanalah tindakan politik yang sebenarnya dan bermakna bisa benar-benar terwujud. Pada ruang publik yang bebaslah, secara normatif, individu-individu dalam posisinya yang setara (equal) dapat melakukan transaksi wacana (discursive transactions) dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Secara teoretis, ia dapat diartikan sebagai ruang dimana naggota masyarakat sebagai warga negara (citizens) mempunyai akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan publik. Mereka berhak melakukan kegiatan-kegiatan secara merdeka di dalamnya, termasuk menyampaikan pendapat secara lisan atau tertulis. D. Keterbatasan Penelitian Pada penelitian skripsi dengan judul Politik Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia studi atas Pelarangan Buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, penulis berpendapat bahwa masih terdapat keterbatasan dan kekurangan di dalam penelitian ini, antara lain sebagai berikut: 1. Rumusan masalah atau pertanyaan penelitian yang telah diajukan dalam penelitian ini belum dapat mewakili keseluruhan aspek permasalahan dalam kebijakan pelarangan buku. 2. Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan pada kasus pelarangan buku yang lain. Akan tetapi hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dan informasi untuk melakukan studi lebih lanjut tentang kebijakan pelarangan buku.
96
3. Penelitian ini hanya dilakukan pada satu kasus pelarangan buku, sehingga hasilnya tidak dapat dibandingkan dengan kasus pelarangan buku yang lain. 4. Subjek penelitian yang sedikit sehingga kurang mengungkap secara mendalam permasalahan kebijakan pelarangan buku. 5. Objek penelitian yaitu kasus kebijakan pelarangan buku yang berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Oleh sebab itu, hasil yang diperoleh hanya sebatas kebijakan pelarangan buku yang berhubungan dengan buku tersebut. Aspek-aspek kebijakan pelarangan buku yang lain tetapi penting belum dapat terekam dalam penelitian ini.