BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Keadaan Geografis Desa Bontomate’ne merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Mandai Kabupaten Maros. Jarak Desa Bontomate’ne ke ibukota Kecamatan Mandai sejauh 3 Km dengan waktu tempuh 10 menit, jarak ke ibukota Kabupaten Maros 5 Km dengan waktu tempuh 15 menit, sedangkan jarak ke ibukota Propinsi sejauh 26 Km, dengan waktu tempuh kurang lebih 1 jam. Secara administratif, Desa Bontomate’ne terbagi atas 4 Dusun, 19 Rukun Tetangga (RT), dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara
: Kelurahan Adatongeng Kecamatan Turikale
- Sebelah Timur
: Desa Allere Kecamatan Tanralili
- Sebelah Barat
: Kelurahan Taroada Kecamatan Turikale
- Sebelah Selatan
: Desa Tenrigangkae Kecamatan Mandai
Desa Bontomate’ne memiliki luas wilayah kurang lebih 1231 Ha. Keadaan topografi wilayah pada umumnya datar dengan ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Secara fisik wilayah Desa Bonto Mate’ne terbagi atas 4 bagian yaitu : (1) pemukiman (2) kolam ikan (3) persawahan (4) perkebunan. Khusus persawahan, keseluruhan berlahan sawah tadah hujan seluas 331,40 Ha.
Untuk lebih terperinci tentang luas lahan Desa Bonto Mate’ne dan penggunaannya dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Luas lahan dan Penggunaannya di Desa Bontomate’ne Kecamatan Mandai Kabupaten Maros Tahun 2005
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Penggunaan Lahan Sawah tadah hujan Tegalan Perkebunan Pekarangan Hutan Rakyat Tambak Kolam Pemukiman Penduduk Perkantoran Sekolah Perdagangan Tempat Ibadah Kuburan Jalan Fasilitas Olah Raga Lain-lain Jumlah
Luas (Ha)
Persentase (%)
331,40 366 14 51 31 2,80 0,75 420 1,53 2 7 0,36 2,5 1,25 0,5 0,34
26,92 29,73 1,13 4,14 2,51 0,22 0,06 34,12 0,12 0,16 0,57 0,03 0,20 0,10 0,04 0,03
1231
100
Sumber : Kantor Desa Bonto Mate’ne Tahun 2005 Berdasarkan data pada tabel 1, penggunaan lahan di Desa Bonto Mate’ne khususnya pada sawah tadah hujan seluas 331,40. Lahan pertanian dengan sistem sawah tadah hujan, artinya lahan tersebut hanya dapat diolah dan ditanami dengan mengharapkan datangnya air hujan. Dan pada musim kemarau sawah disekitar rumah saja yang ditanami sayur-sayuran, dengan alasan pemiliknya dapat menyirami tanaman tersebut bila dekat dari rumah. Pada sektor lahan kering yaitu tegalan seluas 366 Ha atau 29,73 %,
perkebunan 14 Ha atau 1,13 %, Pekarangan 51 Ha atau 4,14 %, dan hutan rakyat 31 Ha atau 2,51 %. Penggunaan lahan untuk tambak 2,80 Ha atau 0,22 %, Kolam 0,75 Ha atau 0,06 %, sedang bagi pemukiman penduduk seluas 420 Ha atau 34,12 % yang terdiri dari pemukiman penduduk umum dan pemukiman/perumahan KPR-BTN, perkantoran 1,53 Ha atau 0,12 %, sekolah 2 Ha atau 0,6 %, perdagangan 7 Ha atau 0,57 %, dan untuk fasilitas ibadah 0,36 Ha atau 0,03 % yang telah dibanguni Mesjid sebanyak 9 buah, kuburan 2,5 Ha atau 0,20 %, fasilitas umum antara lain jalan seluas 1,25 Ha atau 0,10 %, untuk fasilitas olah raga seluas 0,5 Ha atau 0,04 % yang dibuat untuk lapangan sepakbola, serta fasilitas lain seluas 0,34 Ha atau 0,03 %. 2. Keadaan Demografi a. Jumlah Penduduk Penduduk Desa Bonto Mate’ne berjumlah 4949 jiwa yang terdiri dari 1036 kepala keluarga (KK). Penduduk Desa Bonto Mate’ne lebih didominasi oleh perempuan. Dari 4949 jiwa penduduk 2459 jiwa merupakan penduduk yang berjenis kelamin laki-laki dan 2490 jiwa adalah penduduk yang berjenis kelamin perempuan, yang terdiri dari berbagai kelompok umur. Untuk lebih mengetahui komposisi penduduk Desa Bonto Mate’ne menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Jumlah Penduduk Menurut Usia dan Jenis Kelamin diDesa Bonto Mate’ne Kecamatan Mandai Kabupaten Maros Tahun 2005 Jenis Kelamin No.
Golongan Umur (Tahun)
Laki- laki
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Perempuan
0-4 301 283 5-14 557 554 15-24 510 534 25-34 443 464 34-44 301 275 45-54 199 223 55-64 83 84 65+ 65 73 Jumlah 2459 2490 Sumber : Kantor Desa Bonto Mate’ne Tahun 2005
Jumlah
Persentase (%)
584 1111 1044 907 576 422 167 138 4949
11,8 22,5 21,2 18,33 11,6 8,53 3,4 2,8 100
Berdasarkan data pada tabel 2, penduduk Desa Bonto Mate’ne lebih didominasi oleh penduduk usia produktif (15-54 tahun) sebanyak 2931 jiwa atau sebesar 59,22 %. Dari jumlah usia produktif tersebut 1474 jiwa adalah perempuan atau sebesar 50,29%. Data ini menunjukkan bahwa tenaga kerja perempuan di Desa Bonto Mate’ne cukup potensial dari segi kuantitas. b. Penduduk Menurut Mata Pencaharian Secara umum penduduk Desa Bonto Mate’ne bermata pencaharian disamping sektor pertanian juga bergerak disektor non pertanian. Untuk lebih mengetahui komposisi penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di DesaBonto Mate’ne Kecamatan Mandai Kabupaten Maros Tahun 2005 Persentase No. Jenis Pekerjaan Jumlah (%) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pertanian Industri Pengolahan Perdagangan Jasa Angkutan Lainnya Jumlah
558 62 209 328 124 87
40,79 4,53 15,28 23,98 9,06 6,36
1368
100
Sumber : Kantor Desa Bonto Mate’ne Tahun 2005 Berdasarkan pada tabel 3, mayoritas penduduk Desa Bonto Mate’ne bermata pencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 558 jiwa atau sebesar 40,79 %. Dari jumlah dimaksud merupakan pemilik lahan pertanian dan juga buruh tani penggarap lahan pertanian orang lain. Sedangkan untuk yang bermata pencaharian disektor non pertanian terdiri dari Industri pengolahan sebanyak 62 jiwa atau sebesar 4,53 %, perdagangan sebanyak 209 jiwa atau sebesar 15,28 %, Sedangkan untuk yang bermata pencaharian di sektor Jasa sebanyak 328 jiwa atau sebesar 23,98 %, Angkutan sebanyak 124 jiwa atau sebesar 9,06 %, dan bermata pencaharian pada lapangan usaha lainnya sebanyak 87 Jiwa atau sebesar 6,36 %. Bila data ini kita bandingkan dengan data jumlah penduduk usia produktif, maka masih ada sekitar 1563 jiwa yang belum atau tidak bekerja. Hal ini disebabkan karena kebanyakan dari mereka merupakan kelompok usia sekolah.
c. Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terutama dalam rangka persiapan ke dunia kerja, selain itu tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi pola pikir dari suatu masyarakat. Dari 4949 jiwa jumlah penduduk Desa Bonto Mate’ne, sebanyak 3394 jiwa atau sebesar 68,58 % dikategorikan sudah dan pernah mengenyam dunia pendidikan dari tingkatan pendidikan yang berbeda-beda. Untuk mengetahui komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan ini dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikandi Desa Bonto Mate’ne Kecamatan Mandai Kabupaten MarosTahun 2005
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Tingkat Pendidikan Tidak tamat SD SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi
Jumlah
Persentase (%)
1058 1104 496 618 118
31,17 32,53 14,61 18,21 3,48
Jumlah 3394 Sumber: Kantor Desa Bonto Mete’ne Tahun 2005
100
Berdasarkan pada tabel 4, penduduk dengan tingkat pendidikan SD lebih mendominasi dengan jumlah 1104 jiwa atau sebesar 32,53 %, diikuti dengan tidak tamat SD sebanyak 1058 jiwa atau sebesar 31,17 %, SLTA sebanyak 618 Jiwa atau sebesar 18,21 %, SLTP sebanyak 496 Jiwa atau sebesar 14,61%, dan Perguruan Tinggi sebanyak 118 atau sebesar 3,48 %. Dari data ini dapat dikatakan bahwa penduduk Desa Bonto Mate’ne memiliki tingkat pendidikan yang masih relatif rendah, sehingga membuat masyarakat
lebih banyak bergerak dalam sektor pertanian. Rendahnya tingkat pendidikan ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah membuat mereka lebih senang bekerja dari pada melanjutkan sekolah, dan masih ada yang beranggapan bahwa anak perempuan tidak perlu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi serta sarana dan prasara pendidikan masih kurang. Untuk mengetahui keadaan sarana pendidikan yang ada di Desa Bonto Mate’ne dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.
No.
Jumlah Prasarana Pendidikan di Desa Bonto Mate’ne Kecamatan Mandai Kabupaten Maros Tahun 2005 Jumlah
Jumlah Pengajar
1 2 1 -
3 19 12 -
Jumlah 4 Sumber : Kantor Desa Bonto Mate’ne Tahun 2005
34
1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Prasarana Pendidikan TK SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi
Berdasarkan data pada tabel 5, sarana pendidikan yang ada di Desa Bonto Mate’ne sangat minim sekali, yaitu 1 Taman Kanak-kanak (TK) dengan 3 orang guru, 2 Sekolah Dasar (SD) dengan 19 orang guru serta 1 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dengan 12 Orang guru. Prasarana pendidikan yang kurang mendukung ini secara langsung kurang mendukung peningkatan kualitas pendidikan masyarakat terutama dalam menunjang program wajib belajar 9 tahun.
3. Kondisi Sosial Budaya a. Agama Penduduk Desa Bonto Mate’ne mayoritas beragama Islam dan taat dalam menjalankan perintah agama. Hal ini tergambar dari kehidupan seharihari mereka yang Islami. Penduduk Desa ini
melaksanakan kegiatan
pengajian di Mesjid secara rutin sekali setiap bulan. Anak-anak remaja di Desa Bontomate’ne juga mengadakan kelompok Remaja Mesjid untuk pembinaan keagamaan para remaja yang ada di desa Bonto Mate’ne, serta adanya tempat pengajian anak-anak (TPA) untuk tempat belajar mengaji dasar anak-anak dengan menggunakan metode Iqro’ di tingkat Desa, sehingga anak-anak di desa bisa membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Selain itu dalam setiap kegiatan atau hajatan yang dilakukan oleh mereka selalu diawali dan diakhiri secara keagamaan, seperti acara syukuran dengan memanggil Imam Desa yang dianggap sebagai orang tua atau yang ditokohkan dalam masyarakat Desa Bonto Mate’ne untuk mendo’akan agar apa yang akan mereka kerjakan mendapat hasil yang baik dan membacakan do’a syukur dengan apa yang telah diperoleh mereka sebagai pemberian dan Rahmat dari Allah semata. Selain itu masyarakat Desa Bonto Mate’ne pada setiap tahun dalam setiap perayaan hari besar agama Islam seperti : Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi Muhammad Saw dan lain-lain kegiatan keagamaan , semangat nuansa keagamaan akan terasa sekali. Pelaksanaan kegiatan Agama Islam ini biasanya ditempatkan di Mesjid yang ada di Desa
Bonto Mate’ne. Jumlah Mesjid yang ada di Desa Bonto Mate’ne sebanyak 9 buah yang pembangunannya adalah dari swadaya murni masyarakat. Untuk mengetahui jumlah penduduk berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 6. Jumlah Penduduk berdasarkan Agama di Desa Bonto Mate’ne Kecamatan Mandai Kabupaten Maros Tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Agama Islam Kristen Katolik Budha Hindu
Jumlah 4899 44 6
Jumlah 4949 Sumber : Kantor Desa Bonto Mate’ne Tahun 2005
Persentase (%) 98,99 0,89 0,12 100
Berdasarkan Tabel 6, penduduk yang beragama Islam sebanyak 4899 jiwa atau sebesar 98,99 %, beragama Kristen 44 jiwa atau sebesar 0,89 %, beragama Katolik dan Budha tidak ada, dan yang beragama Hindu sebanyak 6 jiwa atau sebesar 0,12 %. Tabel ini menunjukkan bahwa Desa Bonto Mate’ne berpenduduk yang terbanyak beragama Islam, kemudian disusul penduduk beragama Kristen dan Hindu. c. Kesehatan Kondisi masyarakat Desa Bonto Mate’ne dalam bidang kesehatan sangat
dipengaruhi
oleh
tingkat
kesadaran
masyarakat
itu
sendiri.
Berdasarkan hasil observasi dan olah data menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Desa Bonto Mate’ne di bidang kesehatan sangat baik. Hal ini terlihat
dari jumlah keluarga yang secara keseluruhan memiliki jamban
keluarga. Desa Bonto Mate’ne mempunyai 2 Pos Pelayanan Terpadu (Pos Yandu) yang mengadakan kegiatan pelayanan kesehatan, penimbangan bayi dibawah lima tahun (Balita) dan pemeriksaan ibu hamil (Bumil) serta penyuluhan kesehatan secara rutin setiap tanggal
18 atau 19 setiap
bulannya.
B. Deskripsi Kasus Keluarga Petani Miskin 1. Karakteristik Perempuan Tani Untuk
menganalisis
peran
perempuan
dalam
pemberdayaan
ekonomi pada keluarga petani miskin, perlu diketahui lebih dahulu karakteristik perempuan tani yang mempunyai keterkaitan dengan masalah tersebut melalui antara lain, karakteristik berdasarkan umur, tingkat pendidikan, agama yang dianut, dan status perkawinan. Informasi mengenai komponen-komponen diatas diperoleh melalui dialog dan wawancara mendalam dengan
10 perempuan tani yang telah ditentukan sebagai
responden atau informan kunci dalam penelitian ini dengan pertimbangan dapat terwakilinya seluruh karakteristik golongan perempuan yang ada di Desa Bonto Mate’ne. a. Karakteristik berdasarkan umur Umur merupakan unsur penting yang mempengaruhi masalah peranan perempuan tani dalam pemberyaan ekonomi keluarga. Pada umumnya ketika berusia muda manusia lebih produktif untuk bekerja dan
pada usia produktif tersebut interaksi sosial perempuan pada tingkat yang tertinggi. Untuk melihat bagaimana komposisi responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 7. Karakteristik responden berdasarkan umur No.
Umur
Jumlah
1. 2. 3.
15-35 Tahun 36-55 Tahun 56 Tahun ke atas
2 6 2
Keterangan Pengelompokan berdasarkan umur lebih mengarah pada usia produktif responden.
Sumber : Hasil olahan data primer 2006 Jumlah responden yang berusia 15-35 tahun sebanyak 2 jiwa, yang berusia antara 36-55 tahun sebanyak 6 jiwa dan selebihnya terdiri dari perempuan tani yang berusia 56 tahun keatas yang tergolong dalam usia tidak produktif lagi. Hasil penelitian
apabila dilihat berdasarkan umur ,
umumnya responden adalah berusia muda dan termasuk usia produktif yaitu yaitu rata-rata berusia 36-55 tahun yang cukup memiliki potensi untuk dikembangkan agar setidaknya keluar dari ambang batas kemiskinan yang sampai saat ini masih membelenggunya. b. Karakteristik berdasarkan Agama Agama merupakan salah satu kebutuhan penting spiritual manusia yang mempengaruhi kehidupan lahir dan bathin. Dalam beraktifitas, seringkali manusia mencari landasan untuk berpijak agar kuat dan tenang hatinya. Selama ini masyarakat Desa Bonto Mate’ne menjadikan Agama sebagai landasan dan pegangan hidup mereka. Agama yang dianut oleh
kesepuluh responden atau informan utama adalah semuanya beragama Islam dan taat dalam menjalankan perintah Agama. Hal ini tergambar dalam kehidupan mereka sehari-hari dan secara rutin mereka mengikuti pengajian Majelis Taklim yang dibentuk oleh ibu-ibu rumah tangga penduduk desa Bonto Mate’ne yang dilaksanakan sekali dalam sebulan di Mesjid dengan mendengarkan ceramah agama. Pada musim hujan atau musim tanam sebelum memulai mengerjakan sawah mereka mengadakan upacara “ Mappalili” artinya turun kesawah untuk pertama kali semacam syukuran atau do’a – do’a kepada Allah agar nantinya diberikan hasil panen yang banyak. c. Karakteristik berdasarkan tingkat pendidikan Pendidikan responden menjadi pertimbangan karena pendidikan merupakan sarana utama bagi kemajuan pembangunan dan adanya kenyataan bahwa perempuan dengan pendidikan rendah akan mengalami banyak keterbatasan dalam mengakses dan mengontrol sumber daya dilingkungan keluarga maupun masyarakat. Hasil dialog mendalam terhadap 10 perempuan tani mengenai tingkat pendidikan diperoleh gambaran sebagai berikut :
Tabel 8. Tingkat Pendidikan Perempuan Tani Desa Bonto Mate’ne Kecamatan Mandai (10 kasus keluarga petani miskin)
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Tingkat Pendidikan
Tidak Memiliki Sawah/Buruh Tani
Memiliki Sawah + Buruh Tani
Tidak pernah sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Tidak tamat SLTP Tamat SLTP Tidak tamat SLA Tamat SLA
3 1 -
3 1 -
Memiliki Sawah di garap sendiri 2
Sumber : Hasil olahan data primer 2006 Dari tabel 9 menggambarkan bahwa perempuan tani Desa Bonto Mate’ne
yang mempunyai tingkat pendidikan rendah atau tidak pernah
sekolah dan tidak tamat SD rata-rata tidak memiliki sawah atau hanya sebagai buruh tani, perempuan tani yang berpendidikan Tamat SD dan SLTP memiliki sawah dan juga sebagai buruh tani, dan yang mempunyai tingkat pendidikan Tamat SMA rata-rata memiliki sawah yang digarap sendiri. Menurut para informan, pendidikan sekolah itu memang penting, apalagi bagi anak-anak meraka kelak, oleh kerena itu mereka mendorong anak-anak mereka baik laki-laki maupun perempuan untuk bersekolah setinggi
mungkin
dan
semampu
mereka
membiayai,
seperti
yang
dikemukakan oleh Thr/34 th, informan utama, bahwa : “Saya sangat menginginkan keempat anak saya sekolah yang tinggi, agar mereka nantinya mendapatkan pekerjaan yang baik selain bertani, karena dengan bersekolah yang tinggi sepertinya akan lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang banyak,
tidak seperti saya yang tidak pernah sekolah dan tidak mempunyai sawah sama sekali” Berdasarkan keterangan tersebut dapat diketahui bahwa dalam masalah pendidikan anak, peneliti mendapat kesan bahwa pada keluarga petani, mereka mengemukakan pentingnya pendidikan sekolah, tetapi pada penggunaannya mereka tidak memahami sampai seberapa jauh kegunaan pendidikan sekolah itu bagi kelangsungan hidup. Lebih penting untuk mereka dapat bertahan hidup menurut ukuran dan kebutuhan mereka antara lain memiliki tanah atau sawah.
d. Karakteristik berdasarkan status perkawinan Status perkawinan menjadi perhatian peneliti dalam mengkaji masalah peranan perempuan dalam pemberdayaan ekonomi keluarga, karena hal tersebut mempunyai keterkaitan dengan stereotipe masyarakat yang menjadi penyebab terjadinya kesenjangan gender terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Stereotip masyarakat itulah kadang menyebabkan kelompok perempuan secara khusus mempunyai tugas untuk merawat dan mengurus rumah tangga seperti tidak diakuinya perempuan sebagai kepala rumah tangga, walaupun kenyataannya mereka yang menopang kelangsungan kehidupan keluarga. Untuk melihat bagaimana karakteritik responden berdasarkan status perkawinan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 9. Karakteristik Responden berdasarkan Status Perkawinan No. 1. 2. 3.
Status Responden Nikah Belum Nikah Janda
Jumlah 8 1 1
Sumber : Hasil olahan data primer 2006 Data tersebut di atas menunjukkan bahwa dari sepuluh responden sembilan orang sudah menikah dan sisa satu orang yang belum menikah, akan tetapi dari sembilan orang yang sudah menikah tersebut, hanya delapan orang yang memiliki suami dan satu orang sudah menjanda. 2. Peranan Perempuan Tani Dalam Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Peran perempuan yang ditelusuri secara mendalam pada keluarga petani yang berlahan sawah tadah hujan di Desa Bonto Mate’ne yang menjadi kasus pada penelitian ini adalah peran perempuan tani dalam pemberdayaan ekonomi pada keluarga petani miskin. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya yaitu pada tabel 4.2 bahwa tenaga kerja perempuan Desa Bonto Mate’ne cukup potensial dari segi kuantitas yaitu sebesar 50,29 % atau sebanyak 1474 jiwa dari keseluruhan jumlah usia produktif yang ada di desa tersebut. Pekerjaan yang ditekuni
perempuan
sangat
mempengaruhi
peranannya
dalam
pemberdayaan ekonomi keluarga. Responden yang menekuni bidang pertanian, beban kerja lebih berat dan lebih panjang dialami oleh perempuan pada pekerjaan tersebut, baik sebagai petani pemilik sekaligus penggarap maupun buruh yang biasanya berlahan sempit atau bahkan tidak memiliki
lahan. Hal ini terjadi pada responden di daerah penelitian ini. Responden yang menekuni sektor pertanian sebagai mata pencaharian pokok ini ternyata sebagian besar diantaranya adalah petani berlahan sempit yang umumnya menggarap lahan pertanian sendiri atau dibantu oleh anggota keluarga serta buruh tani yang tidak memiliki lahan pertanian yang cukup untuk memenuhi kehidupannya. Oleh karena sempitnya pemilikan lahan pertanian, menjadikan tidak tercukupinya kebutuhan pangan bagi anggota keluarga petani ini. Keadaan tersebut menjadi lebih buruk, mengingat pertanian di desa ini seluruhnya merupakan pertanian sawah tadah hujan yang praktis dapat ditanami pada saat musim hujan saja. Hasil wawancara mendalam perihal peran perempuan tani dalam pengelolaan pertanian dengan beberapa orang informan utama atau informan kunci, seperti yang diungkapkan oleh Hjrt/43 thn, sebagai berikut : “Di Desa Bonto Mate’ne ini umumnya perempuan yang sudah bisa dan masih kuat kerja, turun kesawah bertani pada musim hujan. Seperti saya, segala sesuatu mengenai pekerjaan di sawah saya yang utama dalam pengolahannya, karena suami saya tidak mampu untuk itu dan suami saya memang tidak tahu bertani, kerjanya hanya sebagai penjual emas di pasar ( Informan I) Demikian pula mengenai musim tanam yang dikemukakan oleh Kmw/27 thn, sebagai berikut : “Rata-rata penanaman padi hanya sekali setahun, kadang dua kali pada tahun-tahun tertentu dengan mengikuti musim, tergantung musim hujan seperti pada tahun ini, kami insya Allah panen dua kali. Pada musim tanam pertama yaitu bulan September tahun 2005 turun disawah pembibitan, bulan Oktober penanaman dan panen awal bulan April tahun 2006. Untuk penanaman kedua, kami mengadakan
pembibitan tanggal 27 April 2006, menanam pada tanggal 21 Mei 2006 dan Insya Allah panen pada bulan Juli 2006 ( Informan II) Selanjutnya informan utama lain
Dgk/63 thn, mengungkapkan
bahwa : “Semua sawah di desa ini adalah lahan pertanian dengan sistem sawah tadah hujan. Jadi kami hanya bisa mengolah atau sawah kami bisa ditanami dengan mengharapkan datangnya air hujan. Kami akan sangat berbahagia bila musim hujan tiba, termasuk anakanak kami juga sangat bergembira membantu di sawah sepulang dari sekolah”. ( Informan III) Demikian juga yang dikemukakan oleh Dgs/60 thn, mengenai hal-hal yang dilakukan sebelum kegiatan pengelolaan sawah sebagai berikut : “Dalam kegiatan pertanian yang umumnya kami lakukan di desa ini, sebelum kami memulai, terlebih dahulu kami setiap keluarga di undang “Tudang Sipulung” atau mengikuti rapat di kantor desa yang di adakan oleh penyuluh pertanian (PPL) dalam rangka penyampaian informasi pertanian kepada petani tentang proses persiapan musim tanam dan disepakati perencanaan jenis padi apa yang akan ditanam apakah Cisadane, R42, 66 atau lainnya “ ( Informan IV). Hal serupa juga dikemukakan pada wawancara mendalam dengan Ndk/39 thn, sebagai berikut : “Dalam pertemuan “Tudang Sipulung” adalah untuk menyatukan persepsi para petani dalam menghadapi musim tanam, kemudian masing-masing mencari “Wettu mallise” hari bagus yang berisi “dialai sennung-sennungeng” untuk “Mappammula mabbingkung” sesuai adat istiadat dari turun temurun kami supaya hasilnya melimpah” ( Informan V). Hal lain yang dikemukan oleh Dgm/44 thn, tentang waktu penanaman yang diberikan oleh orang yang dituakan di desa Bonto Mate’ne dan PPL Pertanian, sebagai berikut :
“Waktu yang diberikan oleh PPL dan sanro tempat makkutana esso apa’, alena riala to matoa biasanya bersamaan hari dan waktunya karena bertepatan dan penduduk disini keyakinannya sama yaitu setelah salat subuh sekitar jam 05.30 pagi agar “yaro makkanrekanre de’ naitai, jaji mapettang to no’ rigalungnge tau e de “ maksudnya agar hama tidak melihat karena gelap. Setelah itu persemaian bibit padi selama 1 bulan, setelah seluruh sawah ditraktor dan diberi pupuk (Urea, SP36, ZA), baru pembibitan ini di cabut untuk dipindahkan kesawah. Setelah 3 bulan lamanya sudah bisa panen dan setelah diproses, hasilnya sebagian untuk konsumsi sendiri dan sisanya dijual untuk keperluan lain “( Invorman VI) Demikian pula yang dikemukakan oleh Md/75 thn, tentang kegiatan rutin mereka setiap hari, sebagai berikut : “Setiap hari kami sudah bangun sekitar jam 04.00 subuh, mengurus keluarga seperti memasak, mencuci, urus anak, urus suami, setelah itu Jam 07.00 pagi apabila musim tanam, kami sudah kesawah, jam setengah sepuluh kami pulang untuk masak makan siang, dan bila untuk sore hari kadang kesawah lagi. Pulang jam 17.00 sore untuk masak makan malam. Dan bila musim kemarau atau bukan musim tanam, secara umum perempuan di desa ini juga mempunyai pekerjaan lain seperti terima jahitan, memelihara ternak, jual-jualan barang campuran, dan kerja di pabrik “( informan VII). Hal
yang sama
dikemukakan
oleh
Dgsb/70
thn, mengenai
bagaimana pemberdayaan ekonomi dalam keluarganya sebagai berikut : “Saya yang utama mencari uang untuk keluarga, karena suami saya sudah lama sakit beri-beri, sama sekali tidak bisa lagi membantu disawah, anak-anak sayalah yang membantu di sawah bila musim tanam, selain saya urus keluarga dan bertani, saya mencari tambahan penghasilan dengan bekerja sebagai Perias Pengantin, tukang jahit, cicil-cicilan pakaian, dan cicilan barang sampai keluar pulau karena anak saya banyak dan walaupun sudah besar tapi semuanya masih saya biayai juga masih hidup serumah dengan saya “( Informan VIII). Demikian pula yang dikemukakan oleh Tm/31 thn, sebagai berikut : “Saya kalau musim tanam selalu bangun bertepatan Adzan Subuh, setelah shalat langsung masak, makan bersama suami, kemudian sama-sama kesawah” ( Informan IX)
Hal serupa juga dikemukakan oleh informan utama yang lain yaitu Dgj/44 thn, sebagai berikut : "Kalau dirumah, saya semua yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tidak pernah dibantu oleh suami. Cuma kalau kesawah menanam padi saya sepenuhnya dibantu suami” ( Informan X). Dari hasil wawancara mendalam tersebut serta pengamatan dilapangan menurut kenyataan, maka dapat dikemukakan bahwa keterlibatan atau peranan perempuan sangat besar dalam pemberdayaan ekonomi keluarga yaitu: 1) Isteri bersama anak-anaknya mengolah lahan sawah pertanian pada musim hujan mulai dari pembibitan, pemupukan, penanaman, dan panen sampai pada proses penjualan hasil panen; 2) Perempuan tani ikut serta dalam proses persiapan musim tanam melalui acara “Tudang Sipulung” dalam rangka perencanaan menentukan jenis padi yang akan ditanam, kemudian menentukan hari baik untuk mulai mengolah sawah; 3) melakukan tugas sehari-hari selain mengurus rumah tangga dan mengolah sawah pertanian juga bekerja diluar pertanian. Keterlibatan mereka dalam membantu ekonomi keluarga sudah biasa dilakukan dan secara turun temurun telah dilakukan oleh perempuan. Mereka harus berperan ganda, disamping memikirkan rumah tangga, melakukan pekerjaan sebagai petani, mereka juga melakukan pekerjaan lain diluar pertanian. Mereka seakan tidak pernah mempersoalkan peran ganda yang dilakukan karena telah terbiasa mencari nafkah sebagai pendapatan tambahan. Langkah ini dilakukan oleh perempuan tani oleh karena hasil
produksi lahan pertanian tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan juga untuk membiayai keperluan anak-anak mereka.
C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Petani Miskin 1. Luas Lahan Keluarga petani miskin yang dalam penelitian ini diartikan sebagai buruh tani dengan penguasaan dan pemilikan lahan sempit serta yang tidak memiliki lahan ini setidaknya telah menunjukkan eksistensinya sebagai penduduk pedesaan yang mampu menepis kemiskinan. Berbagai cara untuk menghindarkan diri dari masa krisis yang manyertai kehidupan keseharian masyarakat petani. Mengenai pemberdayaan ekonomi rumah tangga petani miskin telah dibahas pada bagian-bagian sebelumnya. Namun dari pembahasan, pemberdayaan
muncul
pertanyaan
ekonomi
sehingga
baru
yaitu
mengapa
memunculkan
terdapat
pilihan-pilihan
pemberdayaan yang berbeda diantara keluarga petani miskin meski dalam beberapa aspek sosial ekonomi memiliki ciri-ciri yang relatif sama. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian besar rumah tangga miskin mengawali pemberdayaan ekonominya di bidang pertanian dan non pertanian, merupakan suatu kenyataan yang dijumpai pada hampir semua jenis rumah tangga petani miskin ini. Demikian halnya di Desa Bontomatene penduduk yang dikategorikan dibawah garis kemiskinan adalah buruh tani
yang tidak memiliki tanah cukup memadai atau petani yang berlahan sempit dan petani yang tidak memiliki lahan pertanian sama sekali. Untuk mengetahui komposisi kepemilikan lahan responden berdasarkan luas dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 10. Kepemilikan Lahan Responden Berdasarkan Luas No. Nama Luas Lahan (Ha) Keterangan 1. Hj. Ratnah 1,00 Digarap sendiri 2. Kasmawati 2,00 Digarap sendiri 3. Dg. Kanang 0,25 + buruh tani 4. Dg. Sibo 0,45 + buruh tani 5. Norma Dg. Kebo 0,50 + buruh Tani 6. Dg. Maming Buruh tani Mida Buruh tani 7. Tahira 0,35 + Buruh Tani 8. 9. Tima Buruh Tani Buruh tani 10. Dg. Jia Sumber : Hasil olahan data primer 2006 Dari
data
lapangan
mengenai
kepemilikan
lahan
responden
berdasarkan luas di daerah penelitian cukup bervariasi. Data menunjukkan bahwa yang memiliki
lahan luas umumnya menggarap sendiri lahannya,
yang memiliki lahan sempit menggarap sendiri lahannya tetapi juga bekerja sebagai buruh tani pada lahan sawah orang lain dan yang tidak mempunyai lahan sawah hanya bekerja sebagai buruh tani, hal ini mencerminkan kondisi sosial ekonomi rumah tangga responden. Responden yang memiliki lahan yang luas status sosial ekonominya tidak lebih tinggi dari responden yang memiliki luas lahan yang sempit demikian juga seterusnya. Dari luas lahan yang ada, dapat dikatakan bahwa hasil produksi lahan pertaniannya sangat
kecil, untuk kebutuhan konsumsi keseharianpun tidak mencukupi jika tidak dilakukan pemberdayaan ekonomi keluarga. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hjrt/43 thn, informan utama sebagai berikut : “Saya mempunyai sawah seluas 1,00 Ha, yang saya garap sendiri, tidak pernah dibantu oleh suami atau buruh, hanya anak saya yang kadang menemani” ( Informan I) Hal yang sama dikemukakan oleh Kmw/27 th, sebagai berikut : “Tanah sawah yang saya miliki adalah tanah warisan seluas 2,00 Ha. Kalau musim tanam biasanya saya hanya sebentar kekantor kemudian pulang, baru kesawah karena saya bersama ibu yang manggarap sawah tidak ada buruh tani yang dipanggil” ( Informan II) Demikian pula yang dikemukakan oleh Dgk/63 thn, sebagai berikut : “Saya punya sawah yang sangat sempit cuma 0,25 Ha, jadi disamping saya kerja sendiri saya punya sawah, saya juga bekerja disawah orang lain sebagai buruh tani” ( Informan III) Selanjutnya
informan
utama
yang
lain,
Dgs/60
thn
juga
mengungkapkan tentang luas tanah yang dimiliki sebagai berikut : “Saya hanya mempunyai sawah pertanian seluas 0,45 Ha. Kalau dalam setahun hanya satu kali panen, biasanya saya memperoleh hasil panen paling banyak 300 kg beras, ini jelas tidak mencukupi untuk dimakan sekeluarga dalam setahun. Jadi untuk menambah penghasilan, saya bekerja sebagai buruh tani, perias pengantin, tukang jahit, mappacicil baju dan barang elektronik sampai keluar pulau “( Informan IV) Informan utama yang lain, Ndk/39 thn mengungkapkan hal yang sama sebagai berikut : “Pada musim hujan, saya dan suami menggarap sendiri sawah kami yang tidak seberapa luasnya hanya 0,50 Ha, tetapi kami juga menggarap sawah orang lain. Disamping itu saya dan suami juga
kerja yang lain. Suami saya dari pagi sampai sore menarik becak sedang saya jual-jualan barang campuran dirumah” (Informan V) Selanjutnya Dgm/44 thn, informan utama atau informan kunci yang lain mengungkapkan sebagai berikut : “Saya sama sekali tidak punya apa-apa, tidak punya sawah. Saya hanya sebagai buruh tani” ( Informan VI) Demikian pula yang diungkapkan oleh Md/75 thn sebagai berikut : “Saya sebagai penggarap sawah milik orang lain yang banyak sawahnya, dan hasilnya dibagi 2 dengan pemilik” ( Informan VII) Hal serupa juga diungkapkan oleh Thr/36 thn, informan utama yang hanya mempunyai sawah yang tidak luas tetapi juga bekerja diluar pertanian sebagai berikut : “Saya kalau tidak bersawah, Apa saja saya kerjakan asalkan mendapatkan hasil yang halal. Karena Cuma sedikit sawahku Cuma 0,35 Ha (Informan VIII) Selanjutnya informan utama yang lain, Tm/31 thn yang bekerja sebagai penggarap sawah orang lain, mengungkapkan sebagai berikut : “Kerjaku cuma garap sawah orang lain yang hasilnya dibagi 2, karena saya tidak punya sawah” ( Informan IX) Demikian pula yang dikemukakan pada wawancara mendalam dengan Dgj/44 thn, tentang gaji sebagai buruh tani sawah orang lain, sebagai berikut : “ Suami saya kalau musim hujan, membantu saya turun kesawah sebagai buruh tani sawah orang lain, karena kami tidak mempunyai sawah. Kalau jadi buruh tani, biasanya kami digaji secara pembagian hasil panen misalnya gabah kita dapatkan 10 ember dalam bentuk gabah, kami akan diberi gaji 2 ember gabah” ( Informan X)
Berdasarkan hasil wawancara ini,
jika dikaitkan dengan ada
tidaknya mata pencaharian sampingan, dapat disimpulkan bahwa semakin sempit luas tanah pertanian yang digarap semakin banyak ragam usaha lain yang dilakukan. 2. Tingkat Pendidikan Keadaan miskin yang diderita oleh rumah tangga petani berlahan sawah tadah hujan ini selain disebabkan oleh keadaan tempat tinggalnya yang tidak menguntungkan juga sebagai akibat rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki yang selanjutnya menimbulkan ketertinggalan dalam setiap akses pembangunan yang sedang berlangsung. Setidaknya faktor pendidikan yang sangat rendah mempunyai pengaruh
terhadap
terjadinya
kemiskinan.
Dengan
memiliki
tingakt
pendidikan yang sangat rendah atau bahkan tidak pernah menikmati sama sekali kemungkinan terbatasnya peluang berusaha lain menjadi lebih besar (Soedjito, 1987). Pekerjaan luar pertanian yang menjadi sumber penghasilan lain
disamping pekerjaan
utamanya
seringkali
memerlukan
sedikit
keterampilan tidak mampu diraihnya oleh rendahnya tingkat pendidikan atau kualitas sumber daya manusia yang memadai. Apabila dunia kerja dapat memperoleh tenaga kerja dengan kualitas yang tinggi berarti terjadi proses produksi secara efisien. Dengan demikian produktifitas yang tinggi pada akhirnya dapat membawa tingginya pendapatan bagi tenaga kerja tersebut. Untuk memperoleh pekerjaan seringkali diawali dengan kemampuan menyerap informasi, namun kerena rendahnya tingkat pendidikan peluang
memperoleh pekerjaan menjadi terhambat. Namun kenyataan yang terjadi di daerah
penelitian
tidak
menggambarkan bahwa
demikian
halnya.
Meskipun
dari
tabel
perempuan tani Desa Bonto Mate’ne
9
yang
mempunyai tingkat pendidikan rendah atau tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD rata-rata tidak memiliki sawah atau hanya sebagai buruh tani, perempuan tani yang berpendidikan Tamat SD dan SLTP memiliki sawah dan juga sebagai buruh tani, dan yang mempunyai tingkat pendidikan Tamat SMA rata-rata
memiliki sawah yang digarap sendiri, namun sebenarnya
kaitan kemiskinan dan keadaan pendidikan menjadi tidak jelas apabila hal tersebut
dikaitkan
dengan
peluang
kerja
diluar
pertanian
sebagai
mempengaruhi keadaan yang lebih baik. Hal tersebut terbukti bahwa para informan tersebut pada dasarnya mampu melakukan pekerjaan–pekerjan lain luar pertanian. 3. Jumlah Anggota Keluarga dan umur Dalam
upaya pemberdayaan ekonomi seperti juga yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa kelompok petani miskin memanfaatkan jaringan-jaringan sosial atas dasar kekerabatan, ketetanggaan (termasuk dalam jaringan sosial horisontal) serta jaringan sosial yang bersifat vertikal atau yang dalam beberapa teori disebut sebagai hubungan patron-klien pada dasarnya merupakan alternatif lasin dalam upaya mengeliminasi atau menghindarkan diri dari situasi-situasi sulit. Menurut Safri (1991) dalam Pudjo Suharso (1993), pilihan strategi kelangsungan hidup masyarakat pedesaan berkaitan erat dengan sistem nilai yang diyakini masyarakat setempat
sebagai pedoman dalam setiap aspek kehidupan, apakah itu kekuatan lokal (kekerabatan) ataupun solidaritas sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa ikatan kekerabatan atau kekeluargaan cenderung ikut mendorong terjadinya berbagai macam variasi atau bentuk strategi kelangsungan hidup, termasuk didalam pemberdayaan ekonomi keluarga. Untuk melihat komposisi Keluarga Responden dengan melihat tabel berikut : Tabel 11. Komposisi Anggota Keluarga Responden Umur Anggota keluarga (tahun)
No.
Nama
1-15
1. Hj. Ratnah 2 2. Kasmawati 3. Dg. Kanang 4. Dg. Sibo 1 5. Norma Dg. Kebo 6. Dg. Maming 2 7. Mida 8. Tahira 4 9. Tima 1 10. Dg. Jia Sumber: Hasil olahan data primer 2006
16-30
31-55
56 +
Jumlah
3 3 1 1 3
2 2 1 2 1 2 2 2
1 1 2 2 -
4 5 2 5 2 6 3 6 3 5
Berdasarkan komposisi anggota keluarga responden dari data lapangan diketahui bahwa, keluarga yang memiliki anggota keluarga yang sudah menjadi tenaga produktif melakukan pemberdayaan ekonomi keluarga dengan mengerahkan tenaga kerja anggota rumah tangganya untuk ikut dalam proses kegiatan perekonomian keluarga petani miskin. Berapapun hasil yang diperoleh dan apapun jenis pekerjaan anggota rumah tangga tersebut, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rumah tangga dengan
kondisi tersebut memiliki posisi yang lebih baik. Sebaliknya jumlah anggota bagi keluarga petani miskin yang memiliki anggota rumah tangga yang tidak produktif justru menjadi beban tersendiri karena sebagian anggota rumah tangga masih memerlukan biaya pendidikan karena rata-rata adalah anakanak usia sekolah dan sebagian lagi yang berumur lanjut yang tidak lagi produktif untuk bekerja baik disektor pertanian maupun non pertanian.
4. Jumlah Pendapatan Dari
hasil
penelitian
dalam
kaitannya
dengan
karakteristik
perempuan tani dalam keluarga petani miskin berlahan sawah tadah hujan antara lain meliputi umur, tingkat pendidikan,agama, daan status perkawinan, faktor yang juga mempengaruhi pemberdayaan ekonomi keluarga adalah jumlah pendapatan dari mata pencaharian pokok dan sampingan. Pola pemilikan atau penguasaan lahan pertanian yang menjadi tumpuan sumber penghidupan, kondisi sosial ekonomi lain seperti kondisi atau pola tempat tinggal, keadaan-keadaan atau situasi yang menyebabkan keluarga atau rumah tangga menjadi rentan, sumber pendapatan, keadaan pendidikan dan kesehatan serta cara-cara yang dipakai keluarga petani miskin mengatasi masalah sulit dan keadaan mendesak lain. Salah satu ukuran atau kriteria
yang dapat digunakan untuk
menyeleksi apakah suatu rumah tangga miskin atau tidak di Desa Bonto Mate’ne adalah ukuran atau kriteria Sajogya (1977), karena sesuai dengan keadaan desa tersebut, yang mengukur garis kemiskinan dengan nilai hasil
beras pertahun, disamping melihat data kemiskinan yang ada di Kantor Desa Bonto Mate’ne dan karena data yang dibutuhkan untuk pengukuran tidak kompleks. Tingkat pendapatan perkapita rumah tangga diartikan sebagai pendapatan total rumah tangga petani dalam setahun dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Pendapatan ini kemudian dikonversikan kedalam ukuran pendapatan setara beras. Berdasarkan hal tersebut,. Terdapat 4 kriteria mengenai ketentuan garis kemiskinan (dipedesaan ) yakni : 1.
Sangat miskin, apabila pendapatan per anggota rumah tangga kurang dari 240 kg. Setara beras pertahun.
2.
Miskin, apabila pendapatannya antara 240-320 kilogram setera beras per tahun.
3.
Hampir berkecukupan, apabila pendapatannya antara 320-480 kg, setera beras per tahun.
4.
Kecukupan, apabila pendapatannya lebih dari 480 kg setera beras per tahun. Jika melihat dari kriteria tersebut, maka jumlah penduduk miskin di
Desa Bontomatene persentasenya sangat kecil sekali apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk keseluruhan. Untuk mengetahui jumlah keluarga miskin di Desa Bonto Mete’ne berdasarkan jumlah KK dan jumlah penduduk miskin dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 12. Data Kemiskinan Desa Bonto Mate’ne Kecamatan Mandai Kabupaten Maros Tahun 2005 No.
Nama Dusun
Jumlah KK Miskin
1.
Barambang
42
Jumlah Penduduk miskin 89
2.
Bentenge
34
76
3.
Bontoramba
39
87
4.
Borongloe
21
57
Jumlah 136 Sumber : Data Kemiskinan Desa Bonto Mate’ne, 2005
309
Tabel diatas menunjukkan bahwa Dusun Barambang mempunyai keluarga miskin sebanyak 42 KK atau jumlah penduduk miskin sebanyak 89 jiwa, Dusun Bentenge mempunyai 34 KK miskin atau 76 jiwa penduduk miskin, Dusun Bontoramba mempunyai 39 KK Miskin atau 87 jiwa penduduk miskin, dan Dusun Borongloe mempunyai 21 KK miskin atau 57 jiwa penduduk miskin. Keadaan itu bukan saja disebabkan oleh besarnya jumlah penduduk di dusun tersebut tetapi lebih berkait oleh banyaknya penduduk yang berpenghasilan sedikit dan tidak menentu, sementara kemampuan dan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan diluar sektor pertanian sangat terbatas. Dari
penjelasan
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
kebanyakan
diantaranya adalah para petani berlahan sempit, buruh tani yang tidak memiliki tanah pertanian sama sekali selain pekarangan disekitar rumah
tinggalnya yang tak seberapa luas serta para pekerja kasar (serabutan) yang berpenghasilan tak menentu. Kenyataan itu menjadi lebih parah lagi dengan kondisi tanah pertanian atau areal persawahan dengan mengandalkan sistem tadah hujan mengalami kesulitan pada saat musim kemarau. Jadi meskipun pengolahan lahan pertanian dilakukan seintensif mungkin, tanah ini tidak memberikan hasil yang maksimal. Hasil panen (khususnya padi) yang dihasilkan oleh responden umumnya cukup untuk dikonsumsi sendiri, dan hanya sebagian kecil saja yang dapat dijual ke pabrik penggilingan padi dengan harga tidak beda jauh dari harga pasar. Di lokasi penelitian, para perempuan tani lebih senang menjual hasil panennya ke pabrik penggilingan padi karena pemilik pabriklah menjemput hasil panen mereka dalam bentuk gabah, mereka tidak perlu lagi memikirkan mengenai angkutan, mereka tinggal menunggu di rumah jumlah bersih yang akan mereka terima apakah dalam bentuk beras ataukah dalam bentuk uang. Seperti yang dikemukakan oleh Kmw/27th, informan utama bahwa : “Kami di sini lebih senang menjual ketempat pabrik penggilingan padi, tidak kepasar karena kita tidak perlu lagi memikirkan bagaimana pengangkutannya, mobil pemilik pabriklah yang jemput langsung gabah dari rumah, nanti diperhitungkan, apakah petani ingin menerima dalam bentuk beras atau dalam bentuk uang dan akan dicatat dalam nota dari pabrik. Umpamanya beras 15 Kg akan dikeluarkan 2 Kg untuk ongkos pabrik, tapi kalau dalam bentuk uang ongkosnya Rp 6.000,-. Jadi kami disini memakai sistim kepercayaan saja antara petani dan pemilik pabrik. Dan penggilingan harus hatihati agar petani tidak pindah tempat kepenggilingan lain. Karena di desa ini ada 8 tempat penggilingan padi “
Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa hasil panen mereka, secara umum mereka tidak jual ke pasar tetapi langsung ketempat penggilingan padi dengan maksud untuk mempermudah penjualan disamping itu mereka bisa menerima hasil baik dalam bentuk beras untuk dikonsumsi sendiri, maupun dalam bentuk uang yang dipergunakan untuk kebutuhan lain. Hal lain yang dikemukakan oleh salah seorang perempuan tani di lokasi penelitian yaitu: Ndk’/39 thn, informan utama bahwa : “Semua hasil yang di peroleh baik dari isteri maupun suami, lebih banyak digunakan untuk keperluan rumah tangga, dan yang lebih tahu urusan rumah tangga adalah perempuan, jadi untuk urusan uang dan penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada isteri. Suami tau’nya cuma memberikan uang dan isteri yang atur mau di pakai untuk apa, terserah “ Dari hasil wawancara mendalam tersebut, diperoleh kesan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, tentang hasil yang diperoleh atau pendapatan dan penggunaannya,
isteri
atau perempuan tani tersebut
menentukan
dirinya sendiri atau ada kebebasan dalam penggunaan uang, para suami percaya sepenuhnya kepada isteri untuk penggunaannya. Seperti yang dikemukakan oleh informan penunjang, seorang anggota BPD sebagai berikut : Kalau mengenai urusan uang dan penggunaannya, saya percaya dan serahkan sepenuhnya kepada isteri saya, karena perempuan lebih tahu bagaimana mengaturnya. Urusan keperluan rumah tangga atau dapur itu urusan perempuan, saya cuma tahu beres saja. Setor penghasilan keisteri, syukur-syukur kalau isteri bisa dapat penghasilan tambahan, itu saya tidak mau tahu, yang penting setelah kerja, pulang, makan dan saya bisa istirahat dengan tenang, oke (Hasil bincang-bincang dengan informan penunjang).
Dari pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kondisi keuangan rumah tangga keluarga petani tersebut pada umumnya dikelolah oleh perempuan dalam hal ini isteri, sehingga seorang isteri (perempuan) dituntut untuk mempunyai kemampuan dalam memanage sumber pendapatan baik yang dihasilkan oleh suami maupun pendapatan yang diperolehnya sendiri agar dapat memenuhi seluruh kebutuhan keluarganya. Pendapatan keluarga petani yang berlahan sawah tadah hujan hanya sekali panen yang hasilnya dipergunakan untuk setahun atau selama dua belas bulan. Tapi jika cuaca atau curah hujan tinggi dapat dimaksimalkan menjadi dua kali panen setahun, demikian juga dengan pendapatan anggota keluarga lainnya yang bekerja di luar sektor pertanian karena pekerjaan yang dilakukannya adalah pekerjaan serabutan, seperti yang dikemukakan oleh Dgj/49 tahun, informan utama yang tidak mempunyai lahan sawah pertanian tetapi sebagai buruh tani sawah orang lain sebagai berikut : “Saya kalau musim hujan, menggarap sawah orang lain seluas 1,45 Ha dan anak saya tidak ada yang mau membantu karena mereka mempunyai kesibukan sendiri. Kalau jadi buruh tani mendapat gaji dari pemilik lahan sawah Rp 30.000,- /hari. Bisa juga digaji dengan sistim pembagian gabah, misalnya 10 ember gabah yang dihasilkan, gaji buruh 2 ember gabah. Untuk menambah penghasilan keluarga, saya mengambil pinjaman kredit melalui P4K sebanyak Rp 400.000,- dengan bunga 1% yang saya gunakan untuk usaha jual baju secara cicil misalnya harga baju saya beli dengan harga Rp 20.000,-/lembar maka saya akan jual dengan harga Rp 40.000,- dengan mencicil 4X (4 bulan). Sedangkan suami saya bila musim hujan menarik becak dari pagi jam 06.00 sampai dengan jam 18.00 sore. Biasanya hasil menarik becak Rp 7.000/hari yang dipakai untuk beli ikan. Saya masih menghidupi anak, menantu dan cucu karena masih ikut dengan saya tinggal dirumah”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat dikemukakan bahwa pendapatan informan utama tersebut disektor pertanian dengan tanah seluas 1,45 Ha dapat menghasilkan beras sebanyak kurang lebih 1200 Kg yang berarti responden ini mendapatkan gaji sebagai buruh 240 kg
dan
disesuaikan dengan harga beras pada saat penelitian berlangsung yaitu Rp 3000/kg, maka penghasilan bersihnya dalam setahun bila diuangkan adalah 240 kg X Rp 3000 = Rp 720.000,-/tahun
untuk sekali panen. Untuk
pendapatan diluar sektor pertanian yaitu dari usaha menjual baju secara menyicil, dalam setahun bisa memperoleh Rp 18.000 X 3 = Rp 54.000 X 20 lembar = Rp 1.080.000/tahun. Jadi total penghasilan informan utama tersebut adalah Rp 720.000 + Rp 1.080.000 = Rp 1.800.000,-. Sedangkan penghasilan suami informan utama sebagai penarik becak yaitu Rp 7.000 X 30 = Rp 210.000 X 12 bulan = Rp 2.520.000,Untuk melihat jumlah pendapatan responden di sektor pertanian dan pendapatan keluarga lainnya, serta usaha lain responden diluar pertanian, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 13. Jumlah Pendapatan Responden dan Keluarga serta usaha lain Pendapatan/tahun (Rp)
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Nama
Responden (Ptn+UL) Hj. Ratnah 2.145.000,Kasmawati 4.100.000,Dg. Kanang 300.000,Dg. Sibo 2.900.000,NormaDg.Kebo 1.550.000,Dg. Maming 1.200.000,Mida 450.000,Tahira 750.000,Tima 450.000,Dg. Jia 1.800.000,-
Keluarga lainnya 5.400.000,2.520.000,1.050.000,2.520.000,3.600.000,2.520.000,2.520.000,-
Jumlah
Usaha lain Responden
7.545.000,- Jualan ccl 4.100.000,- Peg. kntrk 2.520.000,2.900.000,- Rias pgtn+ 2.600.000,- Btnk ayam 1.200.000,2.970.000,4.350.000,2.970.000,4.320.000,- Jualan ccl
Sumber: Hasil olahan data primer 2006 Berdasarkan data tersebut, jumlah pendapatan responden dilihat dari hasil pertanian ditambah hasil usaha lain, yang kemudian ditambah pendapatan keluarga lainnya, sehingga dapat diketahui bahwa peranan perempuan sangat besar dalam pemberdayaan ekonomi keluarga, terutama dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. D. Implementasi Program Pemerintah Terhadap Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Beberapa instansi pemerintah yang telah melakukan pemberdayaan ekonomi keluarga antara lain : Departemen Sosial, BKKBN, dan Departemen Dalam Negeri. Masing-masing instansi memiliki program yang berbeda. Departemen Sosial memiliki program pemberdayaan keluarga seperti: Bimbingan Kesejahteraan Sosial Keluarga (BKSK) program
pemberdayaan
sosial
keluarga
harus
dan lain-lain. Setiap mengacu
pada
visi
pemberdayaan
sosial
yaitu:
“Masyarakat
pembangunan
kesejahteraan sosial”.
adalah
sumber
dan
mitra
Beberapa jenis pelayanan yang
diberikan oleh pekerja sosial keluarga antara lain pendidikan keluarga dan bantuan keuangan. Setidaknya upaya membantu kelompok masyarakat miskin di daerah-daerah pedesaan telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah dengan tahapan-tahapan pembangunan pedesaan maupun oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan untuk keluar dari belenggu kemiskinan. Berbagai program pembangunan pedesaan baik disektor pertanian dan diluar sektor pertanian diterapkan dengan pendekatan-pendekatan struktural maupun kultural., individu maupun kelompok-kelompok sosial ekonomi masyarakat tersebut. Meski secara prosentase upaya-upaya pembangunan telah menunjukkan penurunan angka atau jumlah penduduk miskin pedesaan secara nasional, namun pembangunan itu sendiri seringkali menimbulkan kesenjangan, ketidakmerataan bahkan ketiadakadilan diantara kelompokkelompok sosial tertentu. Sebagaimana diketahui bahwa Desa Bonto Mate’ne merupakan areal dengan ekosistem sawah tadah hujan, maka untuk menunjang pembangunan pertanian serta kegiatan lain, pemerintah dalam hal ini pihak pengairan telah mengupayakan agar desa ini memiliki pengairan, tetapi hal ini
hanya
sebatas
pembebasan
lokasi
pengairan
pengerjaannya belum terlaksana sampai sekarang.
dan
kelanjutan
Sebagaimana dikemukakan oleh Kepala Desa Bonto Mate’ne Hbdn/67 th, informan penunjang bahwa : Memang pernah ada bantuan pemerintah melalui pihak pengairan, tapi saya tidak tahu masalahnya apa sehingga proyek pengadaan pengairan untuk Desa Bonto Mate’ne belum dilanjutkan, hanya sampai pada pembebasan lokasi saja (Wawancara, 19-06-2006) Hal senada diungkapkan oleh seorang anggota BPD Bonto Mate’ne yang juga Ketua pengurus Pos Penyuluh Pertanian sekaligus tokoh masyarakat Desa Bonto Mate’ne Hsdr /65 th, informan penunjang bahwa : Kami memang sangat membutuhkan pengairan karena sawah didesa ini seluruhnya hanya sawah tadah hujan, sehingga kami hanya bisa menanam pada musim hujan saja. Pernah ada proyek pemerintah untuk buat pengairan di desa ini, dan dari pihak pengairan sudah membebaskan lokasi pengairan yaitu di dusun Barambang, dusun Barangloe dan dusun Bentenge tetapi hanya dalam bentuk pembebasan lokasi seluas lebar 15 meter X 4 kilometer, pengerjaan selanjutnya tidak ada lagi sampai sekarang (Wawancara, 22-06-2006) Hal lain yang dikemukakan oleh Dgj/49 th, informan utama tentang pelaksanaan kegiatan Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) pertanian di desa Bonto Mate’ne bahwa : “Kami diberikan penyuluhan oleh PPL pada saat kami di undang ke desa untuk acara ”Tudang Sipulung” bila mendekati musim tanam, selebihnya saya lupa “. Hal yang sama dikemukakan oleh Hsdr /65 th, informan penunjang bahwa : “PPL Pertanian yang ada di desa ini biasanya kita ketemu pada saat ada undangan acara yang dilaksanakan oleh PPL atau kita yang mengundang beliau, jadi dua itu saja, dia yang undang kita, atau kita yang undang dia, baru ketemu”.
Sedangkan yang dikemukakan
oleh Hjr /43 th, informan utama
bahwa : “Proyek pemerintah yang telah dilaksanakan disini yaitu Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani (P4K) yang dibina oleh Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) pertanian dan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K) melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Kelurga (PKK) Desa Bonto Mete’ne, kredit yang diberikan pada petani kecil atau pinjaman yang diberikan kepada anggota PKK bisa dikembalikan dengan baik dan tepat dengan usaha yang dikelolanya “ Selanjutnya informan utama ini mengemukakan bahwa : “Bidang usaha koperasi yang ada di desa Bonto Mate’ne ada 2 yaitu Koperasi Unit Desa (KUD) “Rahmat” dan Koperasi “Bina Bahagia” yang anggotanya perempuan tani, tetapi sepertinya koperasi disini kurang mendapat perhatian dari pemerintah , koperasi disini hanya dibentuk saja, namanya saja yang ada. Tidak ada pembinaan dan bantuan dari pemerintah, kami pernah mengajukan permohonan bantuan ke koperasi tapi sampai sekarang tidak ada realisasi sehingga koperasi disini tidak hidup “ Demikian juga yang dikemukakan oleh Ksw/27 th, informan utama tentang proyek bantuan pemerintah P4K bahwa : “Waktu akan dibentuk kelompok P4K yaitu tahun 2000, kami berkumpul di Kantor desa Bonto Mate’ne sebanyak 30 orang, kemudian membentuk kelompok sekaligus memilih ketua, sekertaris, bendahara dan anggota. Dalam 1 Kelompok terdiri dari 10 orang anggota yang secara kebetulan semuanya perempuan. Persyaratan untuk memperoleh bantuan P4K , PPL Pertanian bersama dengan ketua kelompok melakukan survei kerumah-rumah anggota untuk melihat apakah yang bersangkutan betul-betul tidak mampu, dengan melihat keadaan rumah dan isinya. Kemudian anggota membuat proposal sesuai jenis usaha yang dilakukan. Tahap pertama, tahun 2000 diberi bantuan dana kredit sebesar Rp 300.000,- dengan bunga 1 % setahun, tahap kedua tahun 2001 sebesar Rp 500.000,- karena pengembalian lancar dan sesuai dengan jadwal, kami diberi lagi pada tahap ke tiga sebesar Rp 1.000.000,- di tahun 2003, tetapi setelah itu karena ada kelompok yang tidak lancar lagi pengembalian kreditnya bantuan P4K-nya, sehingga untuk tahap berikutnya tidak lagi diberikan padahal tidak keseluruhan kelompok P4K yang tersendat pembayarannya, hanya ada 3 kelompok diantara 13
jumlah kelompok P4K yang ada di desa Bonto Mate’ne yang tersendat pengembalian kreditnya, tetapi ternyata kelompok lain juga terkena getahnya juga ikut tidak diberikan dana bantuan P4K “ Dari hasil wawancara tersebut dan berdasarkan temuan dilapangan dapat dikemukakan bahwa implementasi atau pelaksanaan program pemerintah dalam rangka pemberdayaan ekonomi keluarga petani miskin di Desa Bonto Mate’ne, yang sangat berarti atau bermanfaat adalah pembebasan tanah lokasi pengairan, penyuluhan pertanian, yang dilakukan oleh PPL Pertanian, pemberian kredit pinjaman melalui Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani (P4K) dan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K) melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), sedang yang tidak bermanfaat adalah proyek pengairan.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Karakteristik Perempuan tani yaitu : a. Berdasarkan umur , umumnya responden adalah berusia muda dan termasuk usia produktif yaitu yaitu rata-rata berusia 36-55 tahun yang cukup memiliki potensi untuk dikembangkan. b. Tingkat
pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana utama
bagi kemajuan pembangunan dan adanya kenyataan bahwa perempuan dengan pendidikan rendah akan mengalami banyak keterbatasan dalam mengakses dan mengontrol sumber daya dilingkungannya. c. Agama, selama ini masyarakat Desa Bonto Mate’ne menjadikan Agama sebagai landasan dan pegangan hidup mereka. Agama yang dianut oleh kesepuluh responden atau informan utama adalah semuanya beragama Islam dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama. d. Status perkawinan mempunyai pengaruh dalam mengkaji masalah peranan perempuan dalam pemberdayaan ekonomi keluarga,