99
BAB IV DESKRIPSI DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Hasil Penelitian 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian a. Sejarah Singkat Desa Nagreg Desa Nagreg merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Desa Nagreg terbentuk sebagai akibat dari pemekaran wilayah Desa Citaman pada tahun 1982. Sebelum berubah status menjadi desa, daerah Nagreg merupakan sebuah wilayah bagian dari Desa Citaman Kecamatan Cicalengka. Nama Nagreg sebetulnya bukan nama wilayah Desa Nagreg yang sekarang. Nama Nagreg diambil dari salah satu sungai yang ada di Jalan Cagak yang menuju Tasik dan Garut, disana ada sungai yang bernama Cinagreg. Namun, karena adanya Stasiun Nagreg yang menuju arah Jawa dan Bandung maka sebutan Nagreg begitu melekat dimasyarakat sampai sekarang. Sebelum pemekaran Desa Citaman yang dilaksanakan pada tahun 1982, ada tiga orang pejabat yang pernah menjadi kepala desa, yaitu: 1) Sebelum tahun 1920 dijabat oleh Lurah Suhanapi, 2) Tahun 1920 – 1950 dijabat oleh Lurah Ibnasik, 3) Tahun 1950 -1982 dijabat oleh Lurah Pakih. Selanjutnya karena ada pemekaran dari Desa Citaman pada tahun 1982, maka Kampung Nagreg yang asalnya merupakan bagian dari Desa Citaman
100
hingga sekarang menjadi Desa Nagreg. Adapun pejabat Kepala Desa setelah pemekaran adalah sebagai berikut: 1) Tahun 1982-1988 dijabat oleh Bapak Endang Suharya, 2) Tahun 1988-1991 dijabat oleh Bapak Husen sebagai pejabat sementara, 3) Tahun 1991-1996 dijabat oleh Bapak Oo Rosidi, 4) Tahun 1996-2002 dijabat oleh Bapak D. Edi Hernawan, 5) Tahun 2002-2007 dijabat oleh Bapak A.M. Suhartob, dan 6) Tahun 2007- sekarang dijabat oleh R. Ai Priatna Kusumah
b. Kondisi Sosiografis Desa Nagreg Desa Nagreg sebagai lokasi penelitian terletak di Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung dengan luas 523,450 ha yang terdiri dari: 1) Pemukiman seluas 262,248 ha; 2) Pesawahan seluas 73,093 ha; 3) Perkebunan seluas 30 ha; 4) Pemakaman seluas 3 ha; 4) Pekarangan seluas 0,8 ha; 5) Taman seluas 0,8 ha; 6) Perkantoran seluas 0,5 ha; dan 7) Prasarana umum lainnya seluas 153,009 ha. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 14 Tahun 2007, Desa Nagreg berbatasan langsung dengan empat desa di dua kecamatan, yaitu sebelah barat berbatasan dengan Desa Citaman Kecamatan Nagreg, sebelah timur berbatasan dengan Desa Ciherang Kecamatan Nagreg, sebelah utara berbatasan dengan Desa Tanjung Wangi Kecamatan Cicalengka, serta sebelah selatan berbatasan dengan Desa Bojong Kecamatan Nagreg. Desa Nagreg terdiri atas empat kedusunan atau perkampungan, 24 Rukun Warga (RW) dan 92 Rukun Tetangga (RT). Keempat dusun tersebut adalah:
101
1) Dusun 1 yang meliputi RW 1 sampai RW 6, Kepala Dusunnya bernama Bapak Enan. 2) Dusun 2 yang meliputi RW 7 sampai RW 13, Kepala Dusunnya bernama Bapak Adang. 3) Dusun 3 yang meliputi RW 14 sampai RW 20, Kepala Dusunnya bernama Bapak Ana Supri, dan 4) Dusun 4 yang meliputi RW 21 sampai RW 24, Kepala Dusunnya bernama Bapak Sa’ad Jaenudin. Desa Nagreg berada di ketinggian 848 meter dari permukaan laut di atas permukaan laut dengan jumlah bulan hujan 5 bulan per tahun. Desa Nagreg berjarak sejauh 1 km dari pusat pemerintahan kecamatan, 60 km dari ibu kota Kabupaten Bandung, 37 km dari ibukota Provinsi. Penduduk Desa Nagreg berjumlah 9.558 jiwa. Apabila dilihat dari jenis kelamin terdiri dari 4.849 orang laki-laki dan 4.709 perempuan. Menurut agama yang dianut, jumlah penduduk beragama Islam terdiri dari 9535 orang (99,76%) dan 23 orang (0,24%) beragama Kristen. Berdasarkan etnis, jumlah penduduk Desa Nagreg terdiri dari empat kelompok yaitu etnis Sunda terdiri dari 9.357 orang, etnis Jawa terdiri dari 198 orang, etnis Batak terdiri dari 3 orang dan etnis Cina 1 orang. Sedangkan apabila ditinjau dari angkatan kerja, jumlah penduduk Desa Nagreg yang termasuk kategori penduduk usia kerja (usia 18-56 tahun) sebanyak 4843 orang, yang terdiri dari 1989 orang penduduk usia kerja yang bekerja dan 2.854 orang penduduk usia kerja yang belum atau tidak bekerja.
102
Sementara itu jumlah penduduk dilihat dari tingkat pendidikan umum yang ditempuh terdiri dari 1314 orang lulusan Sekolah Dasar (SD), 1413 orang lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau yang sederajat, 1014 orang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau yang sedrajat dan 384 orang yang tamat Perguruan Tinggi yang terdiri dari 99 orang tamatan D-1, 51 orang tamatan D-2, 153 orang tamatan D-3, 65 orang tamatan S-1 dan 7 orang tamatan S-2 . Di samping itu masih ada penduduk yang buta aksara dan angka sebanyak 45 orang dan tidak tamat Sekolah Dasar sebanyak 148 orang. Dengan demikian kualitas pendidikan masyarakat Desa Nagreg jika ditinjau dari tingkat pendidikan umum masih tergolong memiliki pemahaman yang rendah. Hal ini dapat dilihat bahwa mayoritas penduduknya adalah lulusan Sekolah Dasar. Ditinjau dari mata pencaharian, mayoritas penduduk Desa Nagreg bermatapencaharian pokok sebagai buruh tani yaitu sebanyak 499 orang. Sedangkan yang lainnya 100 orang bekerja sebagai petani, 111 orang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), 18 orang bekerja sebagai buruh migran, 15 orang bekerja sebagai pengrajin industri rumah tangga, 80 orang bekerja sebagai pedagang keliling, 11 orang bekerja sebagai peternak, 51 orang bekerja sebagai montir, 2 orang bekerja sebagai bidan, 25 orang sebagai anggota TNI/Polri dan 124 pensiunan PNS/TNI/Polri, 5 orang bekerja sebagai pengusaha, 2 orang bekerja sebagai dukun kampung terlatih, 316 orang sebagai karyawan perusahaan swasta, 185 orang sebagai pedagang dan 420 orang bekerja sebagai buruh serabutan.
103
Adapun sarana prasarana peribadatan di Desa Nagreg yang penduduknya 99 % lebih beragama Islam terdiri dari 11 mesjid jami dan 30 buah surau. Selain itu, Desa Nagreg juga mempunyai 2 Pesantren. Sedangkan lembaga pendidikan umum yang dimiliki terdiri dari 3 buah sekolah TK (Tingkat Kanak-kanak), 8 buah Sekolah Dasar (SD), 2 buah Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 2 buah Sekolah Menengah Atas (SMA).
2. Gambaran Umum Subjek Penelitian Pengelola wakaf yang menjadi subjek penelitian sebanyak lima orang. Kelima pengelola berasal dari alamat yang berbeda, namun masih berada dalam lingkungan atau daerah lokasi penelitian yaitu Desa Nagreg Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Kelima pengelola wakaf yang menjadi subjek penelitian latar belakang pendidikannya beragam, mulai dari SD sampai D-3 (Diploma). Perbedaan latar belakang pendidikan yang menonjol menyebabkan subjek penelitian tersebut mempunyai daya dan tingkat pengetahuan serta pemikiran yang berbeda. Hal ini sangat berpengaruh pada jawaban mereka atas pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan terutama menyangkut pemahaman mereka terhadap hukum wakaf Islam. Kelima pengelola wakaf yang menjadi subjek penelitian beragama Islam, sehingga memudahkan penulis untuk menganalis tingkat pemahaman mereka terhadap permasalahan yang sangat relevan dan sering terjadi dalam kehidupan beragama mereka, terutama dalam konteks agama Islam. Tingkat pemahaman
104
mereka sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku yang mereka tampilkan ketika menyelesaikan setiap permasalahan termasuk dalam menyelesaikan masalahmasalah perwakafan. Adapun profil dari setiap responden penulis paparkan dalam uraian di bawah ini. a. Bapak MN Bapak MN lahir di Bandung 51 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir beliau adalah Sekolah Dasar (SD). Berwiraswasta dan menjadi kuli bangunan merupakan pekerjaan yang digelutinya sampai sekarang. Bapak MN tinggal di Kampung Babakan Timur RT 01 RW 08 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Beliau telah mengurus salah satu Masjid Jami yang ada di dalam wilayah tanah wakaf kurang lebih sekitar 10 tahun. Tanah wakaf tersebut sebelumnya dikelola oleh MY (almarhum) dari UD. b. Bapak MS Bapak MS lahir di Bandung 45 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir beliau adalah Sekolah Dasar (SD) dan selanjutnya diteruskan di Pesantren. Guru mengaji merupakan pekerjaan yang digelutinya sampai sekarang. Bapak MS tinggal di Kampung Cigorowong RT 02 RW 11 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Beliau telah mengurus Masjid Jami yang ada di dalam wilayah tanah wakaf kurang lebih sekitar 21 tahun. Tanah wakaf tersebut diwakafkan oleh DA (almarhum) yang merupakan salah satu tokoh di Kampung Cigorowong.
105
C. Bapak OS Bapak OS lahir di Bandung 37 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir beliau adalah Sekolah Menengah Pertama (SMP). Guru mengaji merupakan pekerjaan yang digelutinya walaupun beliau tidak ikut Pesantren hanya belajar dari masjid biasa saja. Bapak OS tinggal di Kampung Cibeuneur RT 02 RW 02 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Beliau telah mengurus masjid yang ada di wilayah tempat tinggalnya kurang lebih 14 tahun dan sekarang sedang direnovasi dan akan dibangun madrasah. Tanah wakaf tersebut berasal dari PI (almarhum) dengan luas tanah 50 m², ukuran 10 x 5 meter. D. Bapak DAH Bapak DAH lahir di Bandung 32 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir beliau adalah Diploma (D-2). Guru mengaji dan penghulu merupakan pekerjaan yang digelutinya hingga saat ini. Bapak DAH tinggal di Kampung Cigorowong RT 03 RW 09 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Beliau telah mengurus masjid yang ada di wilayah tempat tinggalnya kurang lebih 2 tahun semenjak OB, ayah kandung beliau yang dulunya sebagai pengurus tanah wakaf tersebut meninggal dunia. Tanah wakaf tersebut berasal dari SU yang diserahkan pada tahun 1991 kepada OB dengan luas tanah 385,5 m², ukuran 60 x 25,70 meter. E. Bapak MSN Bapak MSN lahir di Bandung 47 tahun yang lalu. Pendidikan terakhir beliau adalah Diploma (D-3). Guru mengaji, pembantu penghulu dan wiraswasta merupakan pekerjaan yang digelutinya sampai sekarang. Bapak MSN tinggal di
106
Kampung Gunung Leutik RT 01 RW 14 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg Kabupaten Bandung. Beliau telah mengurus masjid yang ada di wilayah tanah wakaf tempat tinggalnya kurang lebih 17 tahun. Tanah wakaf tersebut diberikan kepada MSN pada tahun 1991 oleh Bapak AC.
3. Deskripsi Hasil Wawancara Setelah mendapatkan surat izin penelitian dari Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Bandung melalui Kasi Hubungan Antar Lembaga, penulis diperkenankan melakukan penelitian sampai batas waktu yang ditentukan. Penulis mengumpulkan data dengan cara mengamati langsung aktifitas sehari-hari dari responden, melakukan dokumentasi serta melakukan wawancara dengan responden yang berkedudukan sebagai pengelola wakaf. Wawancara dilakukan setelah penulis menghubungi langsung responden ke rumahnya untuk menanyakan kesediaannya diwawancara serta menentukan waktu untuk melakukan wawancara. Responden yang berhasil diwawancarai sebanyak lima orang pengelola wakaf. Kelima pengelola wakaf ini bertempat tinggal di tempat yang berbeda, akan tetapi masih termasuk ke dalam wilayah Desa Nagreg. Agar tersusun secara sistematis, deskripsi hasil wawancara penulis sajikan berdasarkan urutan pertanyaan penelitian dengan tanpa mengurangi substansi hasil wawancara. Deskripsi hasil wawancara dapat dilihat dari paparan berikut:
107
a. Pemahaman Masyarakat Terhadap Hukum Wakaf Islam. Pada masalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada responden difokuskan pada dua indikator kesadaran hukum, yaitu pengetahuan dan pemahaman hukum. Kedua indikator tersebut dikaji untuk mengungkap aspek kognitif responden terhadap hukum wakaf Islam. Hasil wawancara mengenai kedua indikator kesadaran hukum itu dapat dilihat dari pemaparan berikut. 1) Pemahaman terhadap konsep hukum wakaf Islam Kelima responden mengetahui bahwa salah satu bagian dari hukum Islam adalah hukum wakaf
Islam. Dalam hal pemahaman terhadap makna hukum
wakaf Islam, pada dasarnya mereka mempunyai pandangan yang sama. Menurut mereka hukum wakaf Islam adalah hukum yang mengatur bagaimana seseorang menahan suatu dzat yang kekal bentuknya dan hasilnya untuk dimanfaatkan. Bapak MSN mempunyai pemahaman yang lebih dibandingkan dengan responden lain, beliau menambahkan bahwa selain benda wakaf tersebut harus dipelihara dan dijaga oleh nadzir, sebaiknya benda wakaf tersebut dikembangkan agar dapat memberdayakan umat. Kelima responden merasa bahwa kebenaran hukum wakaf Islam ini tidak diragukan lagi karena sudah jelas diuraikan dalam Al-Quran walaupun tidak secara tegas menerangkan tentang wakaf dan Al-Hadits. Akan tetapi diantara mereka tidak semuanya mengetahui secara mendetail mengenai penjelasan dalam Al-Quran dan Al-Hadits ini yang berkaitan dengan pengelola wakaf. Bapak MN, Bapak MS dan Bapak OS hanya mengetahui bahwa masalah wakaf ini diatur dalam Al-Quran. Mereka tidak mengetahui secara detail ayat yang mengaturnya.
108
Bapak DAH dan Bapak MSN mengetahui secara detail ayat-ayat Al-Quran yang mengatur cara-cara perwakafan. Menurut mereka masalah wakaf ini diatur dalam Surah Al-Baqarah ayat 267, Surah Ali ‘Imran ayat 92, Surah Al-Hajj ayat 77 dan Surah Al-Hadid ayat 7. Kelima responden berpandangan bahwa sudah selayaknya umat Islam menggali kembali pengetahuan tentang hukum wakaf Islam ini. Akan tetapi mereka tidak memungkiri bahwa dalam kenyataannya sangat sulit untuk dilaksanakan karena fokus untuk sekarang ini adalah bagaimana memperbaiki moral umat. Bapak MSN misalnya, ia belum dapat melaksanakan hukum wakaf Islam secara keseluruhan apalagi untuk memberikan pengetahuan tentang wakaf yang disebabkan oleh menurunnya tingkat moral umat di lingkungannya, sehingga pengajian-pengajian yang dipimpinnya belum dapat melangkah lebih jauh ke arah yang berkaitan dengan masalah muammalah. 2) Pengetahuan tentang definisi wakaf Bapak MS mempunyai pandangan bahwa wakaf merupakan penahanan benda wakaf yang diperuntukkan bagi umum, dengan kata lain ia mempunyai pandangan bahwa wakaf tersebut hanya pengalihan harta wakaf dari wakif kepada nadzir. Pemahaman yang sama juga dikemukakan oleh Bapak MN, dan Bapak OS. Pandangan yang berbeda dikemukakan oleh Bapak DAH dan MSN. Menurut pemahaman mereka, selain adanya proses serah terima yang dilakukan oleh wakif terhadap nadzir, maka tugas nadzir selanjutnya harus mengupayakan agar benda wakaf tersebut
dapat
dipergunakan
untuk
kemaslahatan
umat.
Bentuk
kemaslahatan tersebut dapat berupa sarana pendidikan, sarana umum dan bahkan
109
sarana usaha. Bapak MSN lebih menekankan agar pengelola lebih aktif dalam pengelolaan wakaf agar benda wakaf tersebut lebih produktif. Hal ini dibuktikan dengan adanya Koperasi yang dibentuk di madrasah yang dipimpinnya. 3) Penjualan dan Pengelolaan Harta Wakaf Kelima responden tersebut berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, digadaikan dan diwariskan kepada siapa pun dan dalam bentuk apapun. Hal ini dikarenakan begitu kentalnya pemahaman mazhab Syafii yang mereka ketahui. Ada temuan menarik yang didapat dari salah satu responden. Bapak MN menjelaskan, sebelum beliau menjadi pengelola wakaf yang sebelumnya dipegang oleh MY (almarhum). MY mempunyai anak yang bernama masing-masing UC, EB dan IY. UC membeli tanah wakaf yang ditempati olehnya kepada adik kandung wakif yang bernama MA. Sekarang tanah wakaf tersebut sudah hampir ¾ (tiga perempat) lebih telah habis dijual oleh saudara kandung wakif tersebut tanpa sepengetahuan ahli waris wakif. Kemudian tanah yang ditempati oleh MY beserta masjid akan digadaikan oleh anaknya yang bernama EB dengan izin dari MY. Namun hal tersebut diketahui oleh Ketua RW setempat kemudian sertifikat tanah tersebut diberikan kepada adik kandung wakif yang bernama MA. MN menuturkan lebih jauh,sekarang tanah wakaf yang tersisa hanya tanah yang dipakai untuk masjid dan rumah dari MY saja. MN pernah meminta agar tanah masjid dan rumah tersebut didaftarkan ke KUA untuk dibuatkan sertifikat wakaf agar tidak terjadi penyalahgunaan tanah wakaf, namun MA menolak keras dan tidak memberikan persetujuan.
110
Kasus lain yang ditemukan berasal dari Bapak DAH yang ternyata mengelola tanah wakaf tersebut merupakan warisan kepengurusan dari ayahnya yang bernama OB. Setelah diselidiki ternyata hal tersebut disebabkan oleh tidak adanya orang-orang sekitar yang mengerti terhadap hukum wakaf Islam lebih umumnya pengetahuan agamanya masih kurang. Hal lain juga meluncur dari penuturan DAH yang mewarisi tanah wakaf di Kampung Babakan Timur RW 08 Desa Nagreg Kecamatan Nagreg. Tanah tersebut asalnya diwakafkan oleh neneknya kepada AC yang berasal dari Garut yang saat itu akan dibangun pondok pesantren. Namun karena adanya kejadian yang menimpa AC yang dituduh telah menodai santrinya pada tahun 2000, AC menghilang dan tidak ada konfirmasi sama sekali. Pada tahun 2007 tanah wakaf yang telah dibangun pondok pesantren tersebut diisi oleh Bapak AJ (37) yang berasal dari Kampung Pamujaan Desa Nagreg. Namun pada awal tahun 2008 Bapak AJ mendapatkan perintah untuk meninggalkan tanah tersebut dari AC karena tanah wakaf tersebut akan diisi oleh santri-santrinya yang dia utus dari Garut. Menurut DAH wakaf tersebut telah batal dan sampai sekarang surat-surat tanah tersebut ada di tangannya. 4) Hak Pengelola Wakaf Kelima responden tersebut tidak begitu paham akan haknya sebagai pengelola wakaf. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya harta wakaf yang mereka kelola berupa tanah yang tidak produktif, dan para pengelola wakaf yakni: Bapak MS, Bapak MN, Bapak OS, Bapak DAH dan Bapak MSN tidak mendapatkan bagian dari hasil tanah wakaf tersebut, sedangkan biaya untuk
111
mengelola harta wakaf tersebut bersumber dari hasil swadaya masyarakat berupa zakat, infak dan shodaqoh. 5) Kewajiban Pengelola Wakaf Mengenai
masalah ini responden masih terlihat belum begitu paham
terhadap kewajiban mereka sebagai pengelola wakaf. Menurut kelima responden kewajiban mereka hanya mengurus, menjaga dan melestarikan harta wakaf yang telah diamanahkan kepada mereka. Bahkan Bapak DAH dan Bapak MSN menyuruh penulis untuk mendatangi langsung pihak KUA Kecamatan Nagreg agar mendapatkan informasi yang lebih baik tentang masalah perwakafan. . b. Pemahaman Masyarakat Terhadap Hukum Wakaf Lainnya Pada masalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada responden masih difokuskan pada dua indikator kesadaran hukum, yaitu pengetahuan dan pemahaman hukum. Aspek yang ingin diungkap adalah ranah kognitif responden. Hasil wawancara yang berkaitan dengan dua indikator kesadaran hukum tersebut dapat dilihat dari pemaparan di bawah ini. 1) Pengetahuan terhadap keberadaan hukum wakaf selain hukum wakaf Islam Kelima responden tersebut mengetahui bahwa selain hukum wakaf Islam, ada hukum lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah perwakafan. Namun demikian, secara keseluruhan mereka tidak mengetahui isi dan bagaimana bentuk undang-undang yang mengatur wakaf tersebut meskipun dari responden tersebut ada yang berprofesi sebagai penghulu. Bapak MS mengatakan tidak adanya sosialisasi dari pemerintah tentang undang-undang yang mengatur
112
perwakafan mengakibatkan dirinya tidak mengetahui bahkan belum pernah melihat dan mendengar seperti apa undang-undang tersebut. Hal yang sama juga dilontarkan oleh Bapak MN dan Bapak OS. Sementara itu Bapak DAH dan MSN telah mengetahui keberadaan undang-undang wakaf tersebut namun tidak pernah mendalami hal tersebut karena menurutnya bukan bagian dari tugas kerjanya sebagai penghulu. Menurut mereka semua itu merupakan tugas KUA bagian perwakafan dan mereka hanya bertugas untuk mendalami tugas mereka saja sebagai pengulu. 2) Perbedaannya dengan hukum wakaf Islam Kelima responden tidak mengatahui secara rinci perbedaan antara hukum waris Islam dengan hukum lain yang mereka sebutkan. Akan tetapi dari pendapat mereka secara tersirat menyatakan bahwa aspek perbedaannya terdapat dalam ketegasan sanksi yang diberikan. Dalam hukum wakaf Islam sanksi yang diberikan hanya berupa sanksi moral saja. Sedangkan dalam hukum lain yang mereka sebutkan, sanksi yang diberikan begitu nyata dengan adanya hukuman penjara dan denda.
c. Cara Masyarakat dalam Menyelesaikan Proses Pengelolaan Wakaf Pada masalah ini, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis kepada responden difokuskan pada dua indikator kesadaran hukum yang lainnya, yaitu sikap terhadap hukum (dalam hal ini terhadap hal-hal yang mendasar dari ketentuan hukum wakaf Islam seperti tentang besarnya bagian pengelola wakaf) dan pola perilaku hukum (ketaatan terhadap hukum). Aspek yang diteliti oleh
113
penulis adalah ranah afektif dan psikomotor dari responden. Berikut ini penulis paparkan hasil wawancara dengan responden yang berkaitan dengan kedua indikator kesadaran hukum yang diteliti. 1) Sikap terhadap hukum Bapak MS pada dasarnya setuju dengan aturan yang terkandung dalam hukum wakaf Islam, akan tetapi dalam pelaksanaannya sangat tergantung dari kesadaran setiap pengelola wakaf. Beliau juga setuju dengan keluarnya Undangundang yang mengatur tentang wakaf, agar tanah wakaf yang beliau kelola tidak dapat diganggu gugat oleh ahli warisnya dikemudian hari karena bukti-buktinya telah nyata/otentik. Sama halnya dengan Bapak MS, Bapak MN pun setuju dengan ketentuan perwakafan yang terdapat dalam syariat Islam. Dengan adanya undang-undang perwakafan yang dikeluarkan oleh pemerintah, beliau berharap semua umat muslim lebih terjaga dalam melaksanakan hukum-hukum Islam. Bapak OS mengatakan dia sangat setuju dengan ketentuan yang ada dalam hukum wakaf Islam, meskipun menurut beliau pada saat ini ketentuan tersebut sudah mulai ditinggalkan oleh umat Islam karena sumber pengetahuan tentang hal tersebut tidak pernah disosialisasikan bahkan oleh para ulama, ustad dan tokoh masyarakat yang ada. Kurangnya informasi dan sosisalisasi dari pemerintah setempat dan badan-badan yang terkait tentang undang-undang perwakafan mengakibatkan beliau tidak mengetahui sama sekali tentang adanya undangundang perwakafan.
114
Bapak DAH mengatakan hukum wakaf Islam dan undang-undang perwakafan merupakan satu kesatuan karena isi dari undang-undang tersebut bersumber dari konsepsi-konsepsi pemahaman Islam. Beliau sangat setuju dengan adanya undang-undang tersebut, namun ada hal yang harus segera diperbaiki oleh aparatur pemerintah yang berwenang untuk memberikan sosialisasi dan penyuluhan yang baik terhadap para pengelola wakaf agar dapat menjadi pengelola yang taat terhadap hukum dan mempunyai pengetahuan yang luas terhadap perwakafan. Hal yang sama diutarakan oleh Bapak MSN, Beliau berependapat dengan adanya undang-undang tersebut jangan sampai umat dibuat menjadi bingung tapi harus menjadikan umat menjadi mengerti dan paham terhadap proses hukum yang berlaku dalam undang-undang perwakafan tersebut. 2) Pola perilaku hukum Kelima responden memahami betul hal-hal apa yang akan timbul akibat kecurangan yang dilakukan seorang pengelola wakaf. Hal yang harus diperhatikan sebelum memutuskan untuk memberikan wakaf adalah, lihat dan perhatikan perilaku dari calon penerima wakaf tersebut apakah jujur atau tidak, karena hal tersebut merupakan faktor pertama agar harta wakaf yang diamanahkan dapat terjaga dengan baik. Pelaksanaan proses perwakafan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: pertama proses tradisional atau sesuai dengan hukum wakaf Islam. Hal ini sesuai dengan proses wakaf yang dilakukan oleh Bapak MS, Bapak MN dan Bapak OS. Dimana proses wakaf ini hanya dilakukan secara pribadi saja atau lisan kepada
115
penerima wakaf. Kategori yang kedua yaitu proses modern atau yang telah mengikuti prosedur perundang-undangan. Hal ini seperti proses perwakafan yang dilakukan oleh Bapak DAH dan MSN dimana proses penyerahan wakaf diberikan kepada lima orang yang salah satunya berperan sebagai ketua nadzir dan empat orang lainnnya sebagai anggota pengelola wakaf. Pada umunya masyarakat tidak mengetahui hukum wakaf baik itu hukum wakaf Islam maupun hukum wakaf yang ada dalam undang-undang. Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk dapat mengamati dan mengetahui pelanggaran atau kecurang yang dilakukan oleh para pengelola wakaf. Misalnya seperti yang dilakukan oleh keluarga MA dan MY yang telah melakukan jual-beli harta wakaf berupa tanah wakaf. Meskipun demikian karena keduanya merupakan tokoh masyarakat yang cukup disegani dan berpengaruh, masyarakat tidak berani untuk mengajukan mereka kepada pihak aparatur desa agar penyalahgunaan tersebut tidak terus terjadi di wilayah yang lainnya. Oleh sebab itu, masyarakaat menjadi seolah acuh tak acuh terhadap permasalah yang sebetulnya dapat terlihat dengan jelas dan terjadi dihadapan mata mereka sendiri. Selama ini cara-cara penyelesaian yang dilakukan untuk menghentikan masalah-masalah yang timbul akibat pengelolaan wakaf dilakukan secara musyawarah. Jika hasil musyawarah tidak dapat menghentikan masalah tersebut, maka akan diajukan kepada aparatur desa. Jika hal tersebut masih belum dapat meredakan masalah tersebut maka diajukan kepada KUA untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.
116
d. Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Tingkat
Kesadaran
Hukum
Masyarakat untuk Melaksanakan Hukum Wakaf Islam Bapak DAH berpendapat bahwa selain karena kewajibannya sebagai seorang muslim, adat istiadat yang berlaku di daerahnya dan keadaan ekonomi merupakan faktor yang sangat mempengaruhi dirinya untuk menjadikan hukum wakaf Islam untuk dapat berperan aktif mengawasi pelaksanaan wakaf dan pengelolaan wakaf. Walaupun demikian, diungkapkan bahwa pertimbangan adat istiadat dan keadaan ekonomi dan ketidaktahuan terhadap undang-undang perwakafan merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap pemilihan hukum wakaf Islam sebagai dasar dalam proses pelaksanaan wakaf. Lain halnya dengan Bapak MSN yang secara tegas menyatakan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat di daerahnya untuk melaksanakan hukum wakaf Islam masih tergolong rendah, termasuk dirinya
juga yang sampai
sekarang belum menyampaikan pengetahuan terhadap umat tentang perwakafan. Hal ini menurut Bapak MSN lebih dikarenakan pemahaman masyarakat terhadap hukum wakaf Islam masih tergolong rendah sebagai akibat dari minimnya peran ulama untuk memberikan pencerahan kepada warga mengenai masalah wakaf ini. Selain itu juga faktor ekonomi sering dijadikan pertimbangan utama
dalam
melakukan proses perwakafan. Sehingga tidak jarang proses pelaksanaan wakaf dilaksanakan dengan cara lisan saja yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, yang mengakibatkan penerima wakaf menganggap tanah wakaf atau harta wakaf tersebut adalah mutlak miliknya.
117
Sedangkan menurut Bapak MS, faktor pendidikanlah yang amat menentukan tingkat kesadaran hukum seseorang terhadap hukum wakaf Islam. beliau berpendapat jika tingkat pendidikan masyarakat tinggi baik dalam lingkup pendidikan umum maupun agama maka tingkat kesadaran hukumnya pun akan tinggi, sebaliknya jika tingkat pendidikannya rendah atau tidak seimbang antara pendidikan umum dan agamanya, maka tingkat kesadaran hukumnya pun rendah dan cenderung akan melanggar dengan berbagai cara. Bapak MN dan Bapak OS mempunyai pendapat yang sama. Menurut mereka tingkat keserakahanlah yang menentukan tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum wakaf Islam. Ketika seseorang mempunyai sifat serakah maka ia akan berusaha dengan menghalalkan segala cara untuk menguasai seluruh harta yang diberikan oleh pemberi wakaf meskipun harus melanggar syariat Islam. Sebaliknya apabila seseorang tidak mempunyai sifat serakah, maka kecenderungannya ia akan selalu mematuhi syariat Islam termasuk terhadap ketentuan hukum wakaf Islam.
4. Pandangan Para Tokoh Agama terhadap Pendapat Responden Setelah mengadakan pengolahan data wawancara, maka hasilnya dijadikan rujukan oleh penulis untuk mendapatkan pandangan dari ulama sekaligus tokoh yang sering dijadikan tempat bertanya masyarakat serta pejabat di lingkungan Kecamatan Nagreg. Pandangan tersebut diharapkan dapat memberikan arahan terhadap penulis dalam menganalisis setiap pendapat responden. Adapun ulama dan tokoh yang berhasil penulis wawancara adalah Drs. Asep Muchtar, S. Sos.
118
(Penghulu KUA Kecamatan Nagreg) dan Ustadz Asep Saepudin, S.Ag (salah seorang penghulu Kecamatan Nagreg). Sedangkan salah seorang pejabat desa yang bertugas dalam bidang pertanahan yang berhasil diwawancara adalah Bapak Kondi dan Bapak Adang yang merupakan salah seorang Kepala Dusun di Desa tersebut. Drs. Asep Muchtar, S. Sos. berpandangan bahwa dalam setiap proses pembagian wakaf yang terjadi di masyarakat Desa Nagreg pada prinsipnya menggunakan hukum wakaf Islam. Akan tetapi dalam 15 tahun kebelakang penggunaan hukum wakaf modern atau sesuai undang-undang sudah mulai berjalan meskipun pada kenyataannya tidak semua pengurus wakaf mengetahui hal ini. Agar dapat meminimalisir segala bentuk kecurangan atau penyelahgunaan yang dilakukan pengelola maka diharuskan adanya pemahaman yang benar dan baik tentang wakaf, mulai dari proses sampai kepada pengelolaan harta wakaf. Selain hal tersebut, pengelola wakaf sebaiknya tidak ditentukan oleh pemberi wakaf melainkan dengan musyawarah yang dilihat berdasakan tingkat kekuatan Islamnya, kedewasaan, pintar, paham akan wakaf, jujur dan ikhlas sebagai pengelola wakaf. Beliau juga memberitahukan harta-harta wakaf berupa tanah wakaf yang sudah disertifikasi di Desa Nagreg seperti tabel di bawah ini:
119
Tabel 1.1 Daftar Tanah Wakaf yang Telah Disertifikasi No.
Alamat
Nomor Sertifikat
Wakif
Nadzir
1.
Gunung Leutik
01/1868/1991
Umar
Rohman
2.
Paslon RT 01 RW 08
02/2868/1991
Sumardi Eno
Madjid
3.
Pamucatan RT 03 RW 09
03/1868/1991
Upi dan KAdi
Enjang
4.
Cigorowong RT 03 RW 05 04/1868/1991
Sudarna
Burhanudin
5.
Cigorowong RT 02 RW 05 06/1868/1991
Marhamah
A. Muhyi
6.
Babakan Barat RT 01/03
05/1868/1991
Endi
Suryadi
7.
Gunung Leutik
09/1868/1991
Ace
Maman S
8.
Babakan RT 05 RW 04
07/1868/1991
Eni Aliyah
Acun Fauzi
9.
Pamucatan RT 01 RW 08
54/1868/1993
Cioh
Burhanudin
10.
Gunung Batu
20/1868/1993
Iwan Nugraha
Ahman Sahid
11.
Gamblung RT 03 RW 13
10/1868/2007
Kedi Djunaedi Deni Kurniadi
Menurut Beliau pengelolaan harta wakaf yang baik yaitu pengelola harus mengembangkan nilai non finansial atau ketidakserakahan terhadap harta dan tidak berani merubah status harta wakaf, karena tanah wakaf tersebut sudah milik Allah. Selain itu agar dapat mengelola harta wakaf dengan baik nadzir atau pengelola wakaf harus mengikuti manajemen wakaf yang benar pula. Bagi mereka para ustad dan siapa saja yang dapat memberikan penerangan terhadap masyarakat hendaknya pengembangan dakwah tidak dilakukan secara konservatif tetapi harus moderat agar tidak menimbulkan disintegrasi umat. Pernyataan
lebih tegas dikemukan oleh Ustadz Asep Saepudin S.Ag,
beliau berpandangan bahwa di masyarakat Desa Nagreg terjadi pergeseran pemahaman masyarakat terhadap hukum wakaf Islam bahkan menurun yang
120
berakibat ditinggalkan ketentuan hukum ini dalam pelaksanaan proses pelaksanaan wakaf dan pengelolaan wakaf. Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan hasil wakaf yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum, namun pada kenyataannya digunakan untuk kepentingan pribadi. Agar tidak terjadi penyalahgunaan harta wakaf sebaiknya nadzir ditunjuk orang yang betul-betul paham akan wakaf atau bahkan diamanahkan kepada pemerintah sekaligus jika dipandang memungkinkan, karena di masyarakat masih ada anggapan bahwa harta wakaf merupakan pelimpahan/pemberian dari wakif kepada nadzir untuk selamanya. Selain itu, pada umunya harta wakaf yang ada di Desa Nagreg adalah harta wakaf konsumtif atau tidak menghasilkan sama sekali. Beliau menuturkan lebih jauh untuk mengetahui harta wakaf tersebut konsumtif atau produktif dapat dilihat dari adanya rekrutmen tenaga kerja. Bapak Kondi membenarkan rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum wakaf Islam, hal ini diindikasikan dengan tidak adanya penerangan dan penyuluhan terhadap masyarakat tentang wakaf. Sehingga proses pelaksanakan wakaf akan terjadi ketika dirasakan ada kebutuhan yang mendesak tanpa didasari oleh perencanaan yang matang. Adapun yang terjadi di Desa Nagreg pada umumnya adalah persengketaan dengan ahli waris/keluarga nadzir yang mendesak akan menjual tanah yang diwakafkan dan akan membawanya ke tingkat Pengadilan dan adanya keengganan pihak keluarga wakif memberikan surut-surat keterangan tentang tanah untuk dijadikan sertifikat wakaf. Agar penelitian lebih lancar, Bapak Kondi memberikan lokasi-lokasi harta wakaf berupa tanah wakaf yang ada di Desa Nagreg dalam tabel berikut ini:
121
Tabel 1.2 Daftar tanah wakaf yang ada di Desa Nagreg No.
Penerima
Bentuk Harta Wakaf
Wakaf/Nadzir
Alamat
1.
Masjid (Al-Islam)
Wawan Hernawan
Cibeuneur RT 02 RW 01
2.
Masjid (Al-Ihksan)
Ondi
Cibeuneur RT 02 RW 02
3.
Sekolah Impres
-
Cibeuneur RW 02
4.
Masjid (Darussalam)
Fajar Mubarok
Darussalam RT 01 RW 03
5.
Masjid (Baitul Muslimin) Oleh dan Mahmudin
Bakakan RT 02 RW 07
6.
Masjid (Darul Mutakin)
Acun
Babakan RT 02 RW 08
7.
Masjid (At-Taqwa)
Supanji
Babakan RT 02 RW 06
8.
Masjid (Al-M’ariz)
Deni Abdulah
Cigorowong RT 03 RW 09
9.
Pondok Pesantren (Rida)
Sarif Hidayat
Cigorowong RT 01 RW 10
10.
Masjid (At-Taqwa)
Maman Suherman
Cigorowong RT 02 RW 11
11.
Masjid (Al-Muklis)
Wawan Mulyawan
Cigorowong RT 03 RW 12
12.
Masjid (Al-Inayah)
Unang
Gamblung RT 04 RW 13
13.
Masjid (Al-Furqon)
Abeng
Cigorowong RT 02 RW 12
14.
Masjid (Nurul Hidayah)
Rohman
Gunung Leutik RT 03 RW 14
15
Masjid (Nurul Hidayah)
Maman Suherman
Pintu Wetan Rt 01 RW 13
16.
Masjid (Al-Akobah)
Agus Saman
Pamucatan RT 01 RW 20
17.
Masjid (Al-Ikhlas)
H.Enjang Yusuf
Pamucatan RT 02 RW 20
18.
Masjid (Al-Amin)
Idin
Pamucatan RT 01 RW 20
19.
Masjid (Al-Hikmah)
Pipin Suhendar
Pamucatan RT 02 RW 20
20.
Masjid (Al-Anwar)
Asep Saripudin
Cilarangan RT 01 RW 22
21.
Masjid (Al-Ikhlas II)
Sa’ad Jaenudin
Pasangrahan RT 01 RW 22
22.
Pondok Pesantern (Al-
H. Cecep S.Ag
Pamucatan RT 03 W 17
Falah) 23.
Masjid (Miftahul Palah)
Ika
Babakan RT 03 RW 04
24.
Masjid
Adin Badri
Cilarangan RT 04 RW 21
122
25.
Masjid
Holil
Gunung Leutik RT 03 RW 16
26.
Masjid (Nurul Huda)
Yuyun
Pamucatan RT 03 RW 19
27.
Masjid (Tanjakan)
Iyos
Pamucatan RT 03 RW 19
Sedangkan menurut Bapak Adang yang bertugas sebagai penarik pajak PBB (pajak Bumi dan Bangunan), seharusnya untuk masyarakat Nagreg pemberian harta wakaf berupa tanah tidak ditujukan untuk peribadi melainkan untuk kelompok dan suatu lembaga agar terhindar dari adanya persengketaan dan penyalahgunaan harta wakaf. Pada umunya di Desa Nagreg proses pelaksanaan wakaf terjadi secara lisan saja dengan dasar kepercayaan dan sering meninggalkan prosedur wakaf.
Oleh karena hal tersebut, nadzir menganggap harta wakaf
tersebut merupakan pemberian dari wakif untuk dirinya secara pribadi.
B. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Pemahaman Masyarakat terhadap Hukum Wakaf Islam Pemahaman terhadap isi peraturan hukum merupakan salah satu indikator untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat pada hukum wakaf Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Salman (1989:57) yang menyatakan bahwa: ... pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh pemahaman tersebut. Berdasarkan penjelasan di atas, adanya pemahaman masyarakat terhadap hukum wakaf Islam mengandung pengertian bahwa masyarakat memahami isi dan tujuan dari hukum wakaf Islam tersebut. Penulis beranggapan bahwa faktor
123
pemahaman terhadap ketentuan hukum wakaf merupakan dasar yang sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan sikap dan perilaku masyarakat ketika melakukan pengelolaan wakaf. Pemahaman terhadap hukum wakaf Islam harus dimiliki secara kaffah (menyeluruh). Artinya pemahaman tidak bisa secara parsial atau hanya pada bagian tertentu saja, akan tetapi untuk memunculkan suatu sikap dan perilaku yang sadar hukum tentu saja hukum wakaf Islam harus dipahami secara komprehensif. Terkait dengan hal tersebut, berdasarkan hasil penelitian, penulis melihat bahwa sebagian besar pengelola wakaf di Desa Nagreg belum memahami secara menyeluruh ketentuan-ketentuan dalam hukum wakaf Islam. Pada umumnya mereka memahami hukum wakaf Islam sebagai bagian dari hukum Islam yang mengatur cara-cara memanfaatkan harta di Jalan Allah menurut ketentuan AlQuran dan Hadits. Akan tetapi mengenai ketentuan lain mereka tidak memahaminya. Hal ini berakibat munculnya pemahaman yang keliru di masyarakat mengenai hal tertentu dari ketentuan hukum wakaf Islam ini. Menurut jumhur Ulama, wakaf ialah kegiatan penahanan harta yang berkemungkinan bermanfaat oleh pemiliknya dengan membiarkan ainnya tetap kekal dan tidak dipindahmilikan kepada kaum kerabatnya atau kepada pihak lain. (Helmi Karim, 2002: 102). Sedangkan Sayyid Sabiq mendefinisikan wakaf sebagai penahanan harta dan mengambil manfaat dari harta yang ditahan itu untuk jalan Allah, atau menahan harta yang mungkin bisa diambil manfaatnya tanpa merusak atau menghabiskan ain kebajikan. (Helmi Karim, 2002: 103).
benda itu sendiri serta digunakan untuk
124
Menurut Farid Wadjdy (2007: 30) dalam perspektif ekonomi, wakaf dapat didefinisikan sebagai: Pengalihan dana (atau aset lainnya) dari keperluan konsumsi dan menginvestasikannya ke dalam aset produktif yang menghasilkan pendapatan untuk konsumsi di masa yang akan datang baik oleh individual maupun kelompok. Menurut Helmi Karim (2002: 108) jika dilihat dari segi sasarannya, pada dasarnya wakaf dibagi dalam dua bentuk, yaitu: a. wakaf yang diberikan kepada keluarga dan karib kerabat atau orang-orang tertentu, yang disebut wakaf al-ahliy atau wakaf al-dzurry. Sasarannya adalah pribadi tertentu atau masyarkat yang motivasinya bukan untuk memajukan Islam, b. wakaf untuk kebajikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah yang disebut dengan wakaf al-khairy. Pada umumnya masyarakat Desa Nagreg
memahami wakaf
hanya
sebatas penginfakkan harta wakaf kepada seseorang yang akan memelihara atau mengurusnya. Mereka hanya memahami bahwa wakif menyerahkan harta wakaf untuk dipelihara dan dimanfaatkan sedangkan nadzir bertugas untuk memelihara dan memberdayakan harta wakaf tersebut. Hal ini menurut penulis disebabkan tidak adanya majelis-majelis taklim yang menjelaskan tentang hakikat wakaf, karena selama ini materi yang terdapat dalam majelis-majelis taklim lebih terfokus kepada masalah fikih dan ibadah yang sifatnya keseharian saja atau ibadah ritual. Pengurus wakaf dalam literatur fikih disebut dengan nadzir atau mutawalli yaitu orang atau badan yang memegang amanah untuk memelihara dan mengurus harta wakaf sebaik-baiknya sesuai dengan wujud dan tujuannya (Farid Wadjdy,
125
2007: 155). Mencermati pengertian nazhir di atas, baik secara etimologi maupun secara terminologi, maka profesi nadzir haruslah profesional. Lebih lanjut Syafi’i Antonio (Farid Wadjdy, 2007: 64) menggaris bawahi bahwa untuk dapat mengelola wakaf secara profesional minimal ada 3 (tiga) filosofi dasar yang harus ditekankan, terutama ketika kita hendak memberdayakan wakaf secara produktif: a. pola manajemennya harus dalam bingkai “Proyek Terintergrasi” bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah-pisah, dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pemberdayaan dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya, b. asas kesejahteraan nadzir. Sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi nadzir bukan profesi profesional bahkan nadzir bekerja asal-asalan atau bahkan pekerjaan Lillahi ta’ala yang tidak menuntut adanya waktu kerja, profesionalisme, penggajian yang layak, dan lain-lain. Akibatnya hasil kerja dari nadzir pun amburadul seperti sekarang ini, c. asas transparansi dan acountability dimana nadzir harus melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya. Kehadiran nadzir sebagai pihak yang diberikan kepercayaan dalam mengelola harta wakaf sangatlah penting. Walaupun dalam fikih-fikih klasik atau kontemporer tidak ditemukan adanya nadzir sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nadzir wakaf, baik perseorangan maupun kelembagaan.
126
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengelola wakaf yang tidak profesional dan mampu atau nadzir yang tidak memiliki kemampuan memadai berakibat kepada harta wakaf tidak berfungsi secara maksimal, bahkan menjadi beban pengelolaan bagi nadzir dan menjadikan harta benda wakaf sebagai rongsokan tidak terurus yang tidak memberi manfaat sama sekali. Oleh sebab itu nadzir harus memiliki kualifikasi seperti yang disyaratkan oleh fikih (Farid Wadjdy, 2007: 161) seperti: a. beragama Islam, b. mukallaf (memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum), c. baligh (sudah dewasa) d. berakal sehat, dan e. memiliki kemampuan dalam mengelola wakaf dan mempunyai sifat amanah, jujur serta adil. Menurut Setiawan Budi Utomo (1999) orang yang melakukan perawatan, pengurusan dan pengelolaan aset wakaf yang dalam istilah fikih dikenal dengan nadzir wakaf, atau mutawalli wakaf termasuk hal yang sangat krusial. Hal itu karena aset wakaf adalah amanah Allah yang terletak di tangan nadzir. Oleh sebab itu, nadzir adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap harta wakaf yang dipegangnya, baik terhadap harta wakaf itu sendiri maupun terhadap hasil dan upaya-upaya pengembangannya. Setiap kegiatan nadzir terhadap harta wakaf harus dalam pertimbangan kesinambungan harta wakaf untuk mengalirkan manfaatnya untuk kepentingan mawquf ‘alaih. Manfaat yang akan dinikmati oleh wakif sangat tergantung kepada nadzir, karena di tangan nadzirlah harta wakaf
127
dapat terjamin kesinambungannya. Oleh karena begitu pentingnya kedudukan nadzir dalam perwakafan, maka pada diri nadzir perlu terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yaitu : telah baligh/berakal, mempunyai kepribadian yang dapat dipercaya (amanah), serta mempunyai keahlian dan kemampuan untuk memelihara dan mengelola harta wakaf. Dalam kitab Mughnil Muhtaj, oleh Syams al-Dien Muhammad bin Ahmad al-Syarbaini (Setiawan Budi Utomo, 1999) dijelaskan tugas nadzir sebagai berikut: kewajiban dan tugas nadzir wakaf adalah: membangun, mempersewakan, mengembangkannya agar berhasil dan mendistribusikan hasilnya itu kepada pihak-pihak yang berhak, serta kewajiban memelihara modal wakaf dan hasilnya. Dalam kitab Syarh Muntaha al-Adaab oleh Manshur bin Yunus al-Bahuty (504-505) dijelaskan: tugas nadzir wakaf adalah memelihara harta wakaf, membangunnya, mempersewakannya, menanami lahannya dan mengembangkannya agar mengeluarkan hasil yang maksimal seperti hasil sewa, hasil pertanian dan hasil perkebunan Idris Khalifah, Ketua Forum Ilmiyah di Tethwan Magribi, dalam hasil penelitiannya yang berjudul ‘Istitsmar Mawarid al-Awqaf’ membeberkan sepuluh tugas nadzir wakafsebagai berikut: a. memelihara harta wakaf, b. mengembangkan wakaf, dan tidak membiarkan terlantar sehingga tidak mendatangkan manfaat, c. melaksanakan syarat dari wakif yang tidak menyalahi hukum syara, d. membagi hasilnya kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya tepat waktu,
128
a. membayarkan kewajiban yang timbul dari pengelolaan wakaf dari hasil wakaf itu sendiri, b. memperbaiki aset wakaf yang rusak sehingga kembali bermanfaat, c. mempersewakan harta-harta wakaf tidak bergerak, seperti bangunan dan tanah, dengan sewa pasaran, d. menginvestasikan harta wakaf untuk tambahan penghasilannya, e. nadzir bertanggungjawab atas kerusakan harta wakaf yang disebabkan kelalaiannya dan dengan itu ia boleh diberhentikan dari jabatannya itu.
Berkenaan dengan hal tersebut, dengan kurangnya pemahaman yang dimiliki oleh nadzir, menimbulkan berbagai pandangan yang berbeda tentang boleh atau tidaknya nadzir mengambil bagian dari hasil wakaf. Dalam hukum wakaf Islam, seorang nadzir dapat mengambil bagian dari hasil harta wakaf tersebut berdasarkan hadits Ibnu Umar (Sayyid Sabiq, 2006: 431) yang menyatakan bahwa “tidak berdosa bagi orang yang mengurusi wakaf untuk memakan sebagian-nya dengan cara yang makruf”. Al-Qurtubi mengatakan bahwa menurut tradisi yang berlaku, nadzir (pengelola) wakaf boleh memakan sebagian dari hasil buah wakaf, meskipun pemberi wakaf, mensyaratkan kepadanya tidak boleh memakan hasilnya. Maksud cara yang makruf disini ialah menurut kadar yang pantas dinilai oleh kebiasaan. Pendapat lain menyebutkan sekadar untuk memuaskan keinginan. Pendapat yang lainnya menyebutkan mengambil sebagian dari hasilnya sesuai dengan kerjanya. Namun pendapat yang utama adalah pendapat yang pertama. (Abd Rasyid Salim, 2007: 192). Namun ada
129
pengecualian dalam teks hadits yang menyebutkan “tidak untuk memperkaya diri” maksudnya tidak boleh memperjualbelikan hasilnya seakan-akan bagaikan miliknya sendiri, padahal tugasnya hanyalah menyedekahkan hasilnya. (Abd Rasyid Salim, 2007: 192). Dipertegas dalam Hadits Muttafaq Alaih (sahih menurut Bukhari dan Muslim) yang terdapat dalam Ensiklopedi Islam (1994: 169) dikatakan ‘Tidak ada dosa bagi orang yang mengurusnya (nadzir = pengelola wakaf) memakan sebagian harta itu secara patut untuk memberi makan keluarganya, asal tidak untuk mencari kekayaan”. Selain itu, untuk memberdayakan agar harta wakaf
tersebut lebih
produktif, maka dalam hukum wakaf Islam harta wakaf tersebut dapat diperjualbelikan oleh nadzir walaupun ada mazhab lain yang melarangnya. Helmi Karim (2002: 113-116) menanyakan bolehkah harta wakaf dijual atau diganti? a. Ulama Hanafiah membolehkan penjualan atau penukaran harta wakaf berupa masjid karena keadaan darurat dan mengizinkan untuk bangunan masjid secara lebih longgar. Bagi golongan Hanafiah, wakaf berupa masjid tidak boleh dijual atau diganti dengan materi lain. Kendatipun orang tidak lagi memanfaatkan masjid wakaf tersebut untuk tempat shalat karena sudah tua. Dalam keadaan begini, harta wakaf itu kembali kepada pemiliknya atau ahli warisnya, kata muhammad. Benda wakaf yang non masjid boleh dijual atau diganti atas dasar amanat wakif atau hakim, dengan syarat harta tersebut tidak bisa dimanfaatkan lagi, sulit memeliharanya, tidak merugikan, atas keputusan hakim, ditukar dengan benda-benda untuk melestarikan maukuf, bukan kepada orang yang tidak diterima kesaksiannya, b. Ulama Malikiah mengatakan wakaf berupa masjid tidak boleh dijual berdasarkan jimak, wakaf berupa bangunan itu boleh ditukar asalkan bahan penukaran itu berupa jenis yang sama dengan benda wakaf yang ditukar, c. Ulama Syafiiyah bila sebuah bangunan masjid wakaf runtuh sehingga orang tidak mungkin lagi shalat didalamnya, maka hal itu tidak diserahkan pada seseorang, termasuk wakif atau ahli warisnya, dan tidak pula dijual atau diganti oleh orang lain karena bangunan itu sepenuhnya merupakan hak Allah. Keadaan lain seperti bangunan
130
masjid sudah terlalu sempit maka bangunan tersebut boleh dijual atau ditukar yang uang penjualannya atau harta penukarannya itu dijadikan untuk dana pembangunan masjid yang lebih besar, d. Mazhab Hambali membolehkan menjual harta wakaf berupa bangunan masjid sekalipun, baik itu utuh atau sudah runtuh. Penjualan atau penukaran itu dimaksudkan untuk melestarikan dan memaksimalkan nilai-nilai wakaf. Harta wakaf apa saja boleh dijual atau diganti dengan yang lebih bermanfaat.
Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1997: 1909) Ulama mazhab Maliki membedakan jenis harta wakaf dalam kaitannya dengan penjualan harta tersebut: a. apabila harta wakaf berwujud masjid tidak boleh dijual, b. apabila harta wakaf itu berbentuk harta tidak bergerak, maka tidak boleh dijual sekalipun telah hancur dan tidak boleh diganti dengan jenis yang sama kecuali dengan syarat dibelikan lagi sesuai kebutuhan untuk memperluas masjid atau jalan umum, c. dalam bentuk benda lain dan hewan, apabila manfaatnya tidakada lagi boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan barang atau hewan sejenis. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1997: 1910) Pendapat ulama mazhab Hambali tentang penjualan harta wakaf: a. apabila manfaat harta telah hilang, b. apabila harta wakaf telah dijual, hasilnya dibelikan benda wakaf sejenis atau tidak, asalkan bermanfaat untuk kepentingan umum, c. apabila manfaat harta wakaf sebagian masih bisa dimanfaatkan sekalipun sedikit, maka tidak boleh dijual, d. apabila harta wakaf berupa hewan, tetapi sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi,
131
e. tidak boleh memindahkan masjid atau menukarnya dengan yang lain, dan tidak boleh juga mnjual pekarangan massjid, kecuali apabila masjid dan pekarangan masjid tidak bermnfaat lagi. Menurut Ibnu Taimiyah (Farid Wadjdy, 2007: 17) bahwa harta wakaf bisa diganti dengan yang lain bila memberikan mafaat yang lebih besar. Menurut Setiawan Budi Utomo (1999) terdapat dua macam praktek wakaf yaitu Wakaf Mutlaq dan Wakaf Muqayyad. Wakaf mutlaq adalah praktek wakaf di mana wakif menyerahkan sepenuhnya kepada si wakif untuk mengelolanya tanpa batas. Adapun wakaf muqayyad adalah wakaf di mana wakif mensyaratkan agar harta yang diwakafkan itu hanya boleh dikelola dengan cara tertentu dan diberikan kepada pihak tertentu. Dalam praktek wakaf mutlaq, nadzir lebih leluasa melakukan upaya-upaya produktif sehingga harta wakaf bisa berhasil lebih maksimal. Secara historis, cara yang banyak ditempuh, sesuai dengan informasi dalam buku-buku fikih, adalah dengan jalan mempersewakan harta wakaf. Hal ini sejalan dengan kenyataannya bahwa kebanyakan harta wakaf adalah dalam bentuk al-‘iqar (harta tak bergerak, seperti lahan pertanian dan bangunan). Menurut Setiawan Budi Utomo (1999) ada beberapa bentuk penyewaan yang terdapat dalam konsep fikih: a. Sewa biasa (ijarah). Dengan pertimbangan kemaslahatan harta wakaf, para ulama mazhab yang empat sepakat membolehkan mempersewakan harta wakaf, meskipun mereka berbeda dalam beberapa hal.
132
b. Akad sewa menyewa ganda (‘aqd al-ijaratain). Akad sewa ganda ini dilakukan untuk mengatasi kekurangan modal untuk membangun bangunan di atas sebidang tanah wakaf. Untuk memperoleh modal, diadakan kontrak sewa dengan seorang penyewa untuk jangka waktu lama, dengan dua tingkat sewa menyewa. Sewa pertama dibayar lebih dulu sejumlah yang memungkinkan untuk membangun bangunan dimaksud. Sedangkan sewa kedua merupakan sewa bulanan dengan harga yang lebih murah yang harus dibayar selama menghuni rumah. Sewa kedua ini masih diperlukan untuk menghindarkan kemungkinan ada klaim dari penyewa bahwa rumah itu telah dibelinya. c. Al-Hikru, yaitu sebuah akad sewa menyewa tanah wakaf untuk masa waktu yang lama, serta memberi hak kepada penyewa untuk mendiami tanah itu, untuk membangun atau bercocok tanam di atas lahan pertanian dan memberinya hak untuk memperpanjang masa sewa setelah kontrak pertama habis, selama ia masih mampu membayar sewa pasaran. d. Al-Marshid, yaitu sebuah kesepakatan dengan calon penyewa yang bersedia meminjami nadzir sejumlah dana untuk memperbaiki bangunan wakaf sebagai hutang yang kemudian akan dibayar dengan sewa harta wakaf itu sendiri. e. Pengembangan hasil sewa wakaf dengan membelikannya kepada benda yang bias menghasilkan, misalnya dengan memodali pembangunan gedung yang kemudian dapat disewakan lagi. f. Dengan melakukan kerja sama dalam pengelolaan lahan pertanian wakaf di samping dengan mempersewakannya kepada pihak yang punya modal, juga mungkin dengan kerjasama muzara’ah.
133
Selain hal di atas, agar seorang nadzir tidak berkuasa mutlak terhadap harta wakaf yang menjadi amanahnya, terlepas dari persoalan kepemilikan harta, maka perlu dicatat juga bahwa persoalan kepemilikan harta, manusia hanyalah mempunyai hak guna pakai, bukan hak milik mutlak, seperti dijelaskan Al-Quran bahwa kepemilikan mutlak hanya layak bagi Allah sendiri, karena semua yang ada di langit dan bumi adalah ciptaan-Nya dan milik-Nya. Oleh sebab itu, maka nadzir juga dapat dibehentikan. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1997: 1911), Pemberhentian Nazhir: a. mengundurkan diri, b. berkhianat dan tidak memegang amanah wakaf, c. melakukan hal-hal yang membuatnya menjadi orang fasik, seperti berjuadi dan peminum minuman keras, d. kehilangan kecakapan bertindak hukum, seperti gila, e. mengelola harta wakaf itu menjadi sesuatu yang tidak bermanfaat, f. wakif atau hakim mencabut wewenang nazhir yang bersangkutan. Selain hal di atas, adanya pemahaman bahwa harta wakaf dapat ditarik kembali oleh pihak wakif, menjadi salah satu alasan nadzir di Desa Nagreg tidak begitu produktif dalam memberdayakan harta wakaf yang dikelolanya.
Seperti
yang terjadi pada Bapak MN yang sebagian tanah wakaf yang dikelolanya telah habis diperjual belikan oleh saudara kandung dari wakif. Padahal menurut Abu Hanifah dalam buku Helmi Karim (2002: 111), ada harta wakaf yang tidak boleh ditarik kembali dengan alasan: a. apabila berdasarkan keputusan hakim bahwa harta wakaf itu tidak boleh dan tidak dapat ditarik kembali, b. apabila wakaf itu dilakukan dengan jalan wasiat,
134
c. apabila benda yang diwakafkan itu ditujukan untuk kepentingan ibadat ataupun kepentingan umum, seperti berwakaf untuk masjid. Penulis melihat pemahaman masyarakat terhadap pengelolaan wakaf khususnya, umumnya terhadap ketentuan hukum wakaf Islam yang masih terbatas ini, disebabkan oleh proses belajar dan pengalaman yang diterima oleh masyarakat terutama yang akan melaksanakan wakaf belum memadai. Dengan kata lain, masyarakat sangat kurang menerima informasi mengenai masalah perwakafan. Para ulama, ustad dan para tokoh masyarakat di wilayah Nagreg pada umumnya belum pernah memberikan informasi mengenai hukum wakaf Islam ini kepada masyarakat dalam setiap kegiatan pengajian. Hal ini baru akan disampaikan ketika ada salah satu warga yang akan mewakafkan hartanya untuk kepentingan umat seperti membangun masjid dan fasilitas umum lainnya. Para ulama, ustad dan tokoh masyarakat lebih terfokus untuk mencerahkan masyarakat dalam hal kaifiyat (tata cara) ibadah shalat, shaum, zakat dan sebagainya. Begitupun dengan para santri yang belajar agama di pesantren-pesantren yang ada di Nagreg, mereka cenderung pasif dan bersikap tertutup terhadap masyarakat di luar pesantren. Sehingga timbul kesenjangan pemahaman antara masyarakat di dalam pesantren dengan yang di luar pesantren. Selain itu juga, para ulama, ustad dan tokoh masyarakat masih beranggapan bahwa masalah wakaf adalah masalah KUA, sehingga mereka tidak proaktif memberikan pencerahan kepada masyarakat. Mereka baru bertindak kalau ada masyarakat yang meminta bantuan untuk menyelesaian dan mengurus administrasi perwakafan. Oleh karena itu, penulis menganggap bahwa pengertian dan pemahaman yang mendalam terhadap
135
hukum wakaf Islam sangat diperlukan dan merupakan suatu kebutuhan yang sifatnya
mendesak
untuk
segera
dipenuhi,
sehingga
masyarakat
dapat
mengimplementasikan ketentuan hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari terutama kepada mereka yang sedang diberikan amanah untuk mengelola harta wakaf. Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sementara sebagai berikut: Pemahaman masyarakat Desa Nagreg terhadap hukum wakaf Islam sangat kurang. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya pemberitahuan informasi tentang wakaf baik dari para ulama, ustad maupun tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu, adanya kecenderungan untuk membebankan permasalahan perwakafan kepada KUA (Kantor Urusan Agama) masih begitu tinggi.
2. Pemahaman Masyarakat Terhadap Hukum Wakaf Lainnya Saat ini pengaturan masalah wakaf telah diatur dalam Undang-undang nomor 41 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang perwakafan. Hal ini dapat memungkinkan terwujudnya pemberdayaan harta wakaf umat dan pemerataan ekonomi. Dengan kata lain, di Indonesia sangat mungkin sekali untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran jika saja harta wakaf yang ada lebih produktif. Suatu hipotesis yang tidak berlebihan jika penulis menyebutkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap hukum wakaf Islam cukup tinggi apalagi hukum wakaf nasional. Fakta dilapangan memperlihatkan pengelola wakaf tidak pernah tersentuh oleh sosialisasi undang-undang nasional tersebut yang notabene sebagai penentu keberhasilan dan kegagalan dari harta wakaf yang diwakafkan. Sebagai akibat dari keadaan yang dikemukakan di atas, maka hukum wakaf yang berlaku di Indonesia dewasa ini masih
136
tergantung pada proses wakaf mana yang berlaku bagi mereka yang akan melaksanakan wakaf dan bagi mereka yang akan bertugas untuk meberdayakan wakaf. Oleh karena, apabila yang akan mewakafkan hartanya tersebut orang-orang pemerintahan, mereka akan mengetahui prosedur wakaf mana yang lebih baik digunakan agar tidak terjadi penyalahgunaan harta yang diwakafkannya. Tetapi bagi mereka yang awam, mereka akan terus melaksanakan proses dan pengelolaan wakaf secara konvensional dan wakaf di Nagreg tidak akan berkembang khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Dalam bab III undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Pendaftaran dan Pengumuman Harta Benda Wakaf dijelaskan bagaimana tata cara perwakafan yang sesuai prosedur hukum, yaitu: a.
PPAIW atas nama Nadzir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.
b.
Dalam pendaftaran harta benda wakaf, PPAIW menyerahkan: 1) salinan akta ikrar wakaf; 2) surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.
c.
Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.
d.
Bukti pendaftaran harta benda wakaf disampaikan oleh PPAIW kepada Nadzir.
e.
Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya Nadzir melalui PPAIW mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.
137
f.
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta benda wakaf.
g.
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf yang telah terdaftar. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang wakaf, tata
cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf diuraikan dalam pasal 38 sampai dengan pasal 39 sebagai berikut: a. Pendaftaran harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan berdasarkan AIW atau APAIW. b. Selain persyaratan tersebut dilampirkan persyaratan sebagai berikut: 1) sertifikat hak atas tanah atau sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya; 2) surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara, sitaan dan tidak dijaminkan yang diketahui oleh kepala desa atau lurah atau sebutan lain yang setingkat, yang diperkuat oleh camat setempat; 3) izin dari pejabat yang berwenang sesuai ketentuan Peraturan Perundangundangan dalam hal tanahnya diperoleh dari instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan pemerintahan desa atau sebutan lain yang setingkat dengan itu; 4) izin dari pejabat bidang pertanahan apabila dalam sertifikat dan keputusan pemberian haknya diperlukan izin pelepasan/peralihan.
138
5) izin dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik dalam hal hak guna bangunan atau hak pakai yang diwakafkan di atas hak pengelolaan atau hak milik. c. Pendaftaran sertifikat tanah wakaf dilakukan berdasarkan AIW atau APAIW dengan tata cara sebagai berikut: 1) terhadap tanah yang sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nadzir; 2) terhadap tanah hak milik yang diwakafkan hanya sebagian dari luas keseluruhan harus dilakukan pemecahan sertifikat hak milik terlebih dahulu, kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nadzir; 3) terhadap tanah yang belum berstatus hak milik yang berasal dari tanah milik adat langsung didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nadzir; 4) terhadap hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas tanah negara yang telah mendapatkan persetujuan pelepasan hak dari pejabat yang berwenang di bidang pertanahan didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nadzir; 5) terhadap tanah negara yang diatasnya berdiri bangunan masjid, mushola, makam, didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama Nadzir; 6) Pejabat yang benwenang di bidang pertanahan kabupaten/kota setempat mencatat perwakafan tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya. Masyarakat Desa Nagreg pada dasarnya mengetahui adanya cara lain yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan masalah perwakafan selain hukum
139
wakaf Islam, akan tetapi diantara mereka tidak ada keseragaman dalam menyebutkan mana dari cara tersebut. Mereka hanya mengetahui bahwa cara tersebut biasa dilakukan oleh anggota masyarakat pada saat ini karena dianggap lebih adil dan lebih aman untuk mewakafkan hartanya. Dalam pasal 9 dan pasal 10 Undang-undang nomor 41 tahun 2004, pemerintah telah menentukan 3 (tiga) kategori nadzir sebagai berikut: a. Perseorangan hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan: 1) warga negara Indonesia; 2) beragama Islam; 3) dewasa; 4) amanah; 5) mampu secara jasmani dan rohani; dan 6) tidak terhalang melakukan perbuatan hukum. b. Organisasi hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan: 1) pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nadzir perseorangan dan 2) organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. c. Badan hukum hanya dapat menjadi Nadzir apabila memenuhi persyaratan: 1) pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan, 2) badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang.undangan yang berlaku; dan
140
3) badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam. Pemerintah juga telah mendeskripsikan hak dan kewajiban dari nadzir yang akan bertugas mengelola harta wakaf dalam pasal 11 sampai dengan pasal 14 Undang-undang nomor 41 tahun 2004, yaitu: a. Nadzir mempunyai tugas: 1) rnelakukan pengadministrasian harta benda wakaf; 2) mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukannya; 3) mengawasi dan melindungi harta benda wakaf; 4) melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia. b. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana.dimaksud dalam Pasal 11, Nadzir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen). c. Dalam melaksanakan tugas, Nadzir memperoleh pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. d. Dalam rangka pembinaan, Nadzir harus terdaftar pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia. Agar tidak terjadi penafsiran yang salah, dalam bab II Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006, pemerintah telah menjelaskan lebih detail tentang tugas dan masa jabatan nadzir sebagaimana dijelaskan dalam paparan berikut:
141
a.
Nadzir wajib mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf.
b.
Nadzir wajib membuat laporan secara berkala kepada Menteri dan BWI mengenai kegiatan perwakafan. Masa bakti Nadzir adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali.
Pengangkatan kembali Nadzir dilakukan oleh BWI, apabila yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan baik dalam periode sebelumnya sesuai ketentuan prinsip syariah dan Peraturan Perundang-undangan. Pada umumnya pengelola harta wakaf yang ada di Desa Nagreg belum mengetahui tata cara, tugas serta hak dan kewajiban sebagai seorang nadzir. Yang mereka ketahui adalah bagaimana mereka menjaga harta wakaf tersebut agar tetap utuh sesuai yang dimanatkan oleh wakif kepadanya. Dari uraian di atas sangat jelas kesenjangan pemahaman masyarakat antara hukum wakaf Islam dengan hukum wakaf nasional. Padahal pemahaman terhadap kedua hukum ini sangat diperlukan untuk memberikan pertimbanganpertimbangan yang rasional kepada manusia dalam memutuskan proses wakaf mana yang akan digunakan untuk menghindari penyelahgunaan harta wakaf. Pada akhirnya pemahaman tersebut akan mempengaruhi kesadaran masyarakat dalam melaksanakan ketentuan hukum tertentu. Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan sementara sebagai berikut: Masyarakat Desa Nagreg mengetahui ada hukum lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah perwakafan selain hukum wakaf Islam, yaitu hukum wakaf yang diatur oleh undang-undang. Namun
142
demikian, kurangnya sosialisasi dari instansi-instasnsi terkait membuat mereka tidak mengetahui prosedur wakaf yang aman dan dijamin oleh undang-undang.
3. Cara Masyarakat dalam Menyelesaikan Masalah Wakaf a. Sikap Masyarakat terhadap Hukum Wakaf Islam Sikap hukum diartikan sebagai suatu kecenderungan hukum karena adanya penghargaan terhadap
untuk menerima
hukum sebagai sesuatu yang
bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati (Salman, 1993:42). Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan masyarakat terhadap hukum yang sesuai nilai-nilai
yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya masyarakat menerima
hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Padgorecki (Salman, 1993:42) mengartikan sikap hukum (legal attitude) sebagai: 1) ...a disposition to accept some legal norm or precept because it deserve respect as valid piece of law.... 2) ...a tendency to accept the legal norm or precept because it as appreciated as adventageous or useful.... Berkaitan dengan hal tersebut, sikap hukum masyarakat terhadap hukum wakaf Islam sangat dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap hukum wakaf Islam. Artinya sikap yang diperlihatkan mereka mencerminkan tingkat pemahaman mereka terhadap hukum wakaf Islam. Dalam penelitian ini ditemukan fakta bahwa tidak semua masyarakat mengetahui hukum wakaf Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain mereka hanya mengetahui nama wakaf sedangkan proses dan tata cara serta pengelolaan wakaf itu sendiri mereka tidak mengetahuinya. Dari pandangan tersebut penulis melihat bahwa pandangan tersebut muncul karena adanya kondisi-kondisi tertentu
143
sebut saja kondisi lingkungan masyarakat yang lebih menuntut para ulama, ustad dan para tokoh mendahulukan aspek ibadah keseharian dan peningkatan moral daripada memberikan wawasan tentang tata cara peribadahan yang lain. Dalam masyarakat yang penulis teliti, pada umumnya ingin mengetahui ketentuan-ketentuan dalam hukum wakaf Islam yang sesuai dengan undangundang yang berlaku. Akan tetapi mendapat ganjalan, ketika pihak atau instansi yang berwenang atau orang yang berwenang dan lebih tahu tentang hukum wakaf ini menemui ganjalan biaya yang tidak kunjung cair dari pemerintah untuk mengadakan penyuluhan terhadap masyarakat khususnya pengelola wakaf. Munculnya keengganan untuk melaksanakan aturan-aturan ini lebih disebabkan oleh rendahnya pemahaman pengelola wakaf terhadap hukum wakaf Islam serta tidak digunakannya logika berfikir dalam menyikapi ketentuan ini selain itu, cara berpikir masyarakat yang berpandangan bahwa melaksanakan wakaf sesuai peraturan undang-undang akan banyak menghabiskan biaya. Akibatnya selain munculnya keengganan, muncul juga sifat keserakahan yang mengabaikan peraturan-peraturan yang menjaga keberlangsungan harta wakaf tersebut agar pengelola tidak terjerat hukum ketika melakukan penyalahgunaan harta wakaf dan wakif dapat mengambil harta wakaf tersebut dengan mudah tanpa adanya proses hukum yang berbelat-belit. Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sementara sebagai berikut : Masyarakat Desa Nagreg mempunyai sikap tidak peduli dalam melaksanakan hukum wakaf Islam. Selain itu, menghindarnya para pengelola wakaf dan wakif terhadap pelaksanaan wakaf sesuai dengan undang-
144
undang lebih didasarkan kepada pemenuhan kebutuhannya secara pribadi. Mereka hanya akan mengambil keuntungan dari harta wakaf yang mereka kelola tanpa memperdulikan akibat yang akan ditanggungnya.
b. Pola Perilaku Hukum Masyarakat Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dengan demikian sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum (Salman, 1993:42). Atau dengan kata lain pola perilaku hukum yang ditampilkan oleh individu atau suatu komunitas masyarakat mencerminkan derajat kepatuhannya terhadap suatu hukum yang berlaku. Sama halnya dengan pembentukan sikap hukum, pola perilaku hukum yang ditampilkan oleh setiap individu atau suatu komunitas masyarakat sangat tergantung pada pemahaman dia terhadap hukum yang bersangkutan. Dalam konsteks penelitian yang dilakukan penulis, tentu saja pola perilaku hukum yang ditampilkan masyarakat sangat tergantung pada pemahamannya terhadap sistem hukum wakaf Islam. Masyarakat
Desa
Nagreg
pada
umumnya
melaksanakan
proses
perwakafan melalui proses secara lisan seperti yang dilakukan oleh Bapak MS, Bapak MN dan Bapak OS. Hal pertama yang mereka lakukan yaitu melihat terlebih dahulu apakah wakif memiliki tanah yang lebih untuk diwakafkan, kemudian muncul adanya suatu tuntutan dari masyarakat agar dibangunnya suatu bangunan untuk kepentingan umum, maka proses wakafpun terjadi dengan
145
pengelola wkaf yang ditunjuk langsung oleh wakif atas dasar kepercayaan. Kondisi seperti ini sebagai akibat dari pengaruh kurangnya sosialisasi undangundang yang mengatur tentang wakaf. Namun Hal hal lain dilakukan melewati prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah guna menghindari adanya penyalahgunaan sebagaimana yang dilakukan oleh Bapak DAH dan Bapak MSN yang telah melakukan wakaf sesuai dengan hukum berdasarkan undang-undang wakaf. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan atau wawasan tentang wakaf yang cukup dan bidang pekerjaan yang mereka geluti sebagai penghulu di Desa Nagreg. Penulis melihat alasan yang dikemukan oleh ketiga pengelola harta wakaf seperti Bapak MS, Bapak MN dan Bapak OS untuk menggunakan hukum wakaf Islam dalam tata cara pengelolaan wakaf yang mereka laksanakan merupakan suatu hal yang lumrah dan mencerminkan rendahnya pemahaman terhadap ketentuan hukum waris Islam. Oleh karena itu, setelah melihat realita tersebut penulis beranggapan bahwa merupakan hal yang sangat penting adanya upaya untuk mengarahkan pola perilaku masyarakat terutama masyarakat muslim dalam pelaksanaan dan pengelolaan wakaf agar lebih mencerminkan perilaku yang mengimplementasikan ketentuan-ketentuan dalam hukum wakaf Islam. Maka tidak salah lagi perlunya peran dari pihak sekolah, pesantren, media massa dan ulama bahkan lembaga atau instansi terkait untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat akan pentingnya mengimplementasikan hukum wakaf Islam.
146
Berdasarkan uraian di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan sementara sebagai berikut: Pola perilaku hukum masyarakat Desa Nagreg dalam hal pengelolaan wakaf, belum sepenuhnya bersandarkan pada ketentuan hukum wakaf Islam. Sebagian besar pelaksanaan wakaf di Desa Nagreg dilakukan secara lisan dan pemilihan pengelola wakaf hanya atas dasar kepercayaan saja.
4. Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Tingkat
Kesadaran
Hukum
Masyarakat untuk Melaksanakan Hukum Wakaf Islam Kesadaran hukum merupakan suatu hal abstrak yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin timbul ataupun tidak timbul. Hal ini sejalan dengan pendapat Heidar (1997) bahwa: Kesadaran hukum merupakan suatu proses yang terdapat dalam diri manusia yang mungkin timbul dan mungkin tidak timbul. Akan tetapi tentang asas kesadaran hukum itu terdapat pada setiap manusia. Oleh karena itu setiap manusia mempunyai rasa keadilan. Kesadaran hukum merupakan perasaan dan keyakinan hukum seseorang dalam masyarakat (Soekanto, 1999:147). Efektifitas hukum terlihat bila hukum berlaku di dalam masyarakat, artinya masyarakat mentaatinya. Hal ini terwujud dalam perilaku hukumnya, yaitu perilaku yang sesuai dengan hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Menurut Friedman (Taneko, 1993:50), seseorang mentaati suatu kaidah hukum karena mempunyai kepentingan pribadi yang akan menimbulkan kerugian pada dirinya jika tidak diikuti atau dipenuhi. Akan tetapi, bisa juga karena sensitif terhadap sanksi, dimana seseorang mantaati aturan disebabkan karena takut akan sanksinya yang tegas dan nyata. Selain itu, adakalanya orang berprilaku hukum
147
tertentu disebabkan adanya pengaruh sosial atau lingkungannya. Dalam hal ini seseorang mentaati suatu kaidah hukum didasarkan pada alasan-alasan yang ada hubungannya dengan pihak luar, misalnya: 1) adanya keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan lingkungan, dan 2) adanya keinginan kuat untuk memelihara hubungan baik dengan penguasa. Selanjutnya orang mentaati hukum bisa juga disebabkan karena mereka berfikir bahwa apabila
hukum
dilanggar, maka perbuatannya itu dikatakan bersifat ilegal atau amoral. Dalam hasil penelitian terungkap, bahwa faktor rasionalitas agama turut mempengaruhi tingkat kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum wakaf Islam meskipun dengan tingkat keberpengaruhan yang relatif rendah. Faktor lain yang mempengaruhi juga adalah lingkungan sekitar, adat istiadat, kemapanan ekonomi dan yang paling tinggi tingkat keberpengaruhannya adalah latar belakang pendidikan masyarakat. Atas dasar faktor-faktor tersebut, dapat diadakan suatu analisa sebagai berikut: a. Lingkungan sekitar mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum wakaf Islam. Kondisi lingkungan baik lingkungan fisik maupun psikis secara langsung akan dijadikan suatu pertimbangan oleh masyarakat dalam mematuhi suatu aturan hukum. Lingkungan bisa menentukan klasifikasi dari kesadaran hukum seseorang terdahadap hukum wakaf Islam, apakah termasuk ke dalam kesadaran yang bersifat anomous, heteronomous, sosionomous atau autonomous.
148
b. Adat istiadat bersumber dari kebiasaan yang sudah dilembagakan. Kebiasaan suatu masyarakat akan berpengaruh langsung terhadap pembentukan paradigma berpikir sesorang yang tercermin dalam sikap dan perilakunya. Dalam hal ini keputusan sebagian masyarakat untuk memilih hukum wakaf yang tradisonal atau hukum wakaf Islam yang sesuai undang-undang secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh kebiasaan yang selalu dilakukan oleh pendahulunya. c. Kemapanan ekonomi mempunyai tingkat keberpengaruhan yang cukup besar. Hal dikarenakan setiap manusia tidak bisa terlepas dari kepentingan ekonominya. Ketika kondisi ekonominya mapan, maka pihak manapun tidak akan menyalahgunakan harta wakaf yang telah jelas merupakan milik seluruh umat. d. Latar belakang pendidikan sangat menetukan tingkat pemahaman masyarakat terhadap isi dan tujuan dari hukum wakaf Islam. Seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup tinggi cenderung memiliki pemahaman yang menyeluruh terhadap ketentuan hukum ini. Dalam hal ini adanya keseimbangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan umum dengan ilmu pengetahuan agama. Mereka yang hanya mengenyam pendidikan umum tanpa disertai pendidikan agama, cenderung memiliki pemahaman yang kurang terhadap konsep-konsep perwakafan Islam. Secara umum terbentuknya kesadaran hukum masyarakat terhadap hukum wakaf Islam dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, pemahaman tentang isi peraturan, sikap dan perilaku hukum yang ditampilkan sebagai penghargaan dan
149
ketaatan masyarakat terhadap peraturan tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Soekanto (1983:122) yang mengemukakan bahwa: Masalah kesadaran hukum masyarakat, sebenarnya menyangkut faktorfaktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Apabila warga masyarakat hanya mengetahui suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya masih rendah daripada apabila memahaminya dan seterusnya. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sementara sebagai berikut: Kesadaran hukum masyarakat Desa Nagreg terhadap hukum wakaf Islam dipengaruhi oleh faktor lingkungan, adat istiadat dan kebiasaan, kemapanan ekonomi, latar belakang pendidikan, dan rasionalitas agama. Keempat faktor yang disebutkan di awal merupakan faktor yang tingkat pengaruhnya paling besar, sedangkan faktor rasionalitas agama merupakan faktor yang tingkat pengaruhnya kecil.
C. Temuan Penelitian Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa tulisan ini diharapkan akan memberikan manfaat untuk semua pihak yang berkepentingan khususnya dan bagi seluruh umat muslim pada umumnya. Masalah yang dioperasionalkan dalam pertanyaan penelitian diungkap dengan tujuan agar masalah tersebut dapat diungkap secara objektif, jelas dan dapat dipahami secara sederhana. Pada bagaian temuan hasil penelitian ini akan diuraikan beberapa hal yang ditemukan penulis pada waktu melakukan penelitian. Penulis mengambil pendapat dari Soekanto untuk mengetahui sejauhmana tingkat kesadaran hukum masyarakat dalam melaksanakan hukum Islam pada
150
pengelolaan wakaf. Soekanto (1982:140) mengemukakan bahwa “untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum masyarakat terdapat empat indikator yang dijadikan tolak ukur, yaitu pengetahuan hukum, pemahaman hukum, sikap hukum dan pola perilaku hukum”. Setiap indikator tersebut menunjukkan tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Setelah penulis melakukan proses identifikasi terhadap objek penelitian, maka dapat diketahui beberapa inti temuan penelitian sebagai seperti yang terdapat dalam tabel berikut:
Gambar 2.1 Indikator kesadaran hukum masyarakat dalam melaksanakan hukum wakaf Islam pada pengelolaan wakaf sesuai dengan temuan penelitian.
Pengetahuan Hukum
Nilai Kognitif
Indikator Kesadaran
Pemahaman Hukum
Hukum (Soerjono Soekanto,
Sikap Hukum
1983)
Pola Perilaku Hukum
Nilai Afektif
Nilai Psikomotor
151
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa indikator yang satu mempengaruhi indikator lainnya. Pola perilaku hukum yang ditampilkan oleh suatu individu atau komunitas masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan, pemahaman dan sikap hukum yang mereka tonjolkan. Kesadaran hukum masyarakat juga sangat berkaitan dengan nilai-nilai kognitif, afektif dan psikomotor yang dimiliki oleh setiap individu. Nilai kognitif, afektif dan psikotor tersebut masing-masing akan dibuktikan oleh hasil penelitian seperti berikut: 1. Pemahaman masyarakat Desa Nagreg terhadap hukum wakaf Islam sangat kurang. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya pemberitahuan informasi tentang wakaf baik dari para ulama, ustad maupun tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu, adanya kecenderungan untuk membebankan permasalahan perwakafan kepada KUA (Kantor Urusan Agama) masih begitu tinggi. 2. Masyarakat Desa Nagreg mengetahui ada hukum lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah perwakafan selain hukum wakaf Islam, yaitu hukum wakaf yang diatur oleh undang-undang. Namun demikian, kurangnya sosialisasi dari instansi-instasnsi terkait membuat mereka tidak mengetahui prosedur wakaf yang aman dan dijamin oleh undang-undang. 3. Masyarakat Desa Nagreg mempunyai sikap tidak peduli dalam melaksanakan hukum wakaf Islam. Selain itu, menghindarnya para pengelola wakaf dan wakif terhadap pelaksanaan wakaf sesuai dengan undang-undang lebih didasarkan kepada pemenuhan kebutuhannya secara pribadi. Mereka hanya akan mengambil keuntungan dari harta wakaf yang mereka kelola tanpa memperdulikan akibat yang akan ditanggungnya.
152
4. Kesadaran hukum masyarakat Desa Nagreg terhadap hukum wakaf Islam dipengaruhi oleh faktor lingkungan, adat istiadat dan kebiasaan, kemapanan ekonomi, latar belakang pendidikan, dan rasionalitas agama. Keempat faktor yang disebutkan di awal merupakan faktor yang tingkat keberpengaruhannya paling besar, sedangkan faktor rasionalitas agama merupakan faktor yang tingkat keberpengaruhannya kecil. Pada akhirnya keseluruhan hasil penelitian ini akan bermuara pada suatu kesimpulan yang penulis ambil, bahwa Kesadaran hukum masyarakat Desa Nagreg dalam mengaplikasikan hukum Islam khususnya pada proses pengelolaan wakaf dapat dikatakan masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari adanya pemahaman yang parsial terhadap sistem hukum Islam dan kurangnya minat pengelola wakaf untuk medalami hukum wakaf serta tidak adanya pihak yang memberikan penerangan lebih lanjut terhadap pengelola wakaf yang berkaitan dengan pemberian wawasan tentang hukum wakaf Islam baik itu ulama, ustad, tokoh masyarakat bahkan isntansi terkait seperti KUA (Kantor Urusan Agama) karena selalu terganjal dengan urusan biaya.