BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil Fermentasi Cuka Aren (A. pinnata) Cuka aren yang digunakan dalam kegiatan penelitian adalah air nira
(A. pinnata) yang difermentasikan secara alami selama 1 bulan tanpa penambahan agen fermentasi sehingga menjadi asam, proses ini disebut dengan fermentasi spontan. Kadar asetat yang diperoleh rata-rata adalah 0,8 % (Lampiran 1). Pembentukan asetat pada fermentasi nira aren diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya keberadaan mikroorganisme fermentasi dan kandungan alkohol. Cuka hasil fermentasi selama 1 bulan diduga masih mengandung banyak alkohol yang menghambat kerja mikroba fermentasi (Acetobacter sp.) yang membentuk asam asetat. Hardoyo dkk (2007) yang menguji kadar asam asetat pada nira dengan penambahan starter melaporkan
bahwa alkohol akan
menghambat aktivitas mikroba fermentasi untuk membentuk asam asetat. Sholikah (2010) dalam penelitian tentang uji kadar etanol dan asam asetat pada nira siwalan yang difermentasi secara spontan, menyatakan bahwa semakin lama proses pendiaman (fermentasi) nira, maka akan semakin meningkatkan kadar alkohol dalam cuka. Cuka yang difermentasikan dengan tambahan mikroorganisme fermentasi (Acetobacter sp.) menghasilkan kadar asetat yang lebih tinggi dengan waktu fermentasi yang lebih singkat. Dalam penelitian Hardoyo dkk (2007), kadar asam asetat tertinggi yang dihasilkan dengan bantuan bakteri Acetobacter adalah 6% dengan lama fermentasi 11 hari. Lebih lanjut dinyatakan pula bahwa kadar
33
alkohol dalam cuka berpengaruh terhadap kadar asetat. Jika konsentrasi alkohol di dalam media (cuka) tinggi (sekitar 11%) maka asetat yang terbentuk kurang dari 2% asetat. Pada penelitian Sholikah (2010), kadar alkohol sekitar 8,654%, asam asetat yang dihasilkan sekitar 0,556%. Pada penelitian Baharudin dkk (2012), melaporkan kadar etanol yang terbentuk pada proses fermentasi nira 4% menghasilkan kadar asam asetat 7,2%. 4.2
Karakteristik Fisik Gelatin Tulang Ikan Tuna
4.2.1 Rendemen gelatin Rendemen gelatin merupakan jumlah (g) gelatin yang terbentuk berbanding dengan jumlah bahan segar tulang ikan. Rendemen akan menentukan tingkat efisien dari perlakuan yang digunakan. Rendemen gelatin hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 8. Histogram Rendemen a
7
6.09
Rendemen (%)
6
a
4.75
5 4 3
a
2.81
2 1 0 G1
G2
G3
Perlakuan Gambar 1. Histogram rendemen gelatin tulang ikan tuna hasil perlakuan perbandingan volume cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3 : 1; G2 yaitu 5 : 1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang sama pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang sama) Gambar 8 menunjukan bahwa terjadi peningkatan nilai rendemen gelatin hasil perlakuan sejalan dengan bertambahnya volume cuka yang digunakan.
34
Rendemen terendah (2,81%) merupakan hasil perlakuan G1 (3:1) sedangkan rendemen tertinggi (6,09%) merupakan hasil perlakuan G3 (7:1). Namun berdasarkan hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 2g) menunjukan bahwa perlakuan volume cuka aren tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0,05) terhadap nilai rendemen gelatin. Nilai rendemen dalam penelitian ini tidak berbeda nyata kemungkinan disebabkan oleh nilai pH dari larutan cuka hasil fermentasi yang digunakan sama yaitu 3,6 dan perbandingan volume cuka dan tulang yang sama. Peningkatan nilai rendemen gelatin penelitian ini diduga disebabkan oleh bertambahnya jumlah asam-asam organik selain asam asetat seperti asam laktat, asam format dan asam propoinat. Asam-asam organik diduga membantu menyediakan jumlah ion asam (H+), ion asam berperan dalam memutuskan ikatan hidrogan antara kolagen pada saat perendaman. Tingginya volume cuka maka cadangan jumlah ion asam menjadi lebih banyak sehingga ikatan hidrogen dalam tropokolagen untuk saling lepas menjadi lebih banyak. Menurut Courts (1977) diacu dalam Wiratmaja (2006), rendemen gelatin dipengaruhi oleh pH, suhu ekstraksi dan konsentrasi asam. Pada saat perendaman, asam akan memecahkan ikatan heliks kolagen yang terdapat di dalam matriks tulang melalui ion asam yang ada di dalamnya, semakin asam suatu pelarut (semakin menurun nilai pH) maka jumlah heliks kolagen yang terurai akan semakin banyak. Jika dibandingkan dengan menggunakan asam-asam lainnya, nilai rendemen gelatin tulang ikan tuna hasil penelitian rata-rata lebih rendah (2,816,09%) jika dibandingkan dengan rendemen gelatin tulang ikan tuna yang menggunakan asam klorida 5% yaitu 5,33% hasil penelitian Wiratmaja (2006) dan
35
hasil penelitian Fatimah (2008) dengan menggunakan asam sitrat 5% dari tulang ikan bandeng yang menghasilkan 5,14% rendemen. Namun, nilai rendemen gelatin tulang ikan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitiian Karlina dan Atmaja (2010) menggunakan asam asetat 5% yang menghasilkan 1,91% rendemen gelatin dari tulang ikan pari. 4.2.2 Titik gel gelatin Titik gel (gelation point) akan menentukan suhu pengaplikasian gelatin hasil perlakuan pada produk pangan maupun non pangan. Nilai titik gel dari gelatin hasil perlakuan dapat dilihat pada Gambar 9.
Titik gel (ºC)
Histogram Nilai Titik Gel 10,7 10,6 10,5 10,4 10,3 10,2 10,1 10 9,9 9,8 9,7
a 10.6
a
10.4
a
10
G1
G2
G3
Perlakuan Gambar 2. Histogram titik gel gelatin hasil perlakuan perbandingan volume cuka (ml) dengan berat tulang (g) (keterangan: G1 yaitu 3 : 1; G2 yaitu 5 : 1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang sama pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang sama) Gambar 9 menunjukan bahwa terjadi peningkatan titik gel dari gelatin tuna seiring dengan bertambahnya volume cuka yang digunakan dalam penelitian. Titik gel terendah adalah hasil perlakuan G1 (3:1) yaitu 10ºC sedangkan titik gel tertinggi adalah hasil perlakuan G3 (7:1) yaitu 10,6ºC. Menurut Fahrul (2005),
36
titik gel dari gelatin ikan komersial berkisar 10ºC maka titik gel dari gelatin hasil perlakuan hampir sama dengan gelatin komersil. Analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 3g) menunjukan bahwa perlakuan volume cuka aren tidak berpengaruh nyata ( P > 0,05). Gelatin memilki ciri khas dapat larut dalam air dan membentuk gel yang reversible seiring dengan naik atau turunnya suhu. Nilai titik gel gelatin hasil perlakuan dianggap tidak berbeda nyata, sebab titik gel dipengaruhi oleh jumlah gelatin yang dilarutkan dalam air. Jumlah gelatin yang dilarutkan dalam air pada penelitian ini sama yaitu sebesar 6,67% sehingga menghasilkan titik gel gelatin yang sama. Hal ini sesuai dengan Stainsby (1997) diacu dalam Wiratmaja (2006) yang menyatakan bahwa titik gel dipengaruhi oleh konsentrasi gelatin dalam larutan, pH dan besarnya molekul gelatin. Titik gel gelatin hasil penelitian meningkat diduga disebabkan oleh meningkatnya kadar protein (Gambar 12) seiring dengan bertambahnya volume cuka sebagai perlakuan. Kadar protein pada gelatin menentukan jumlah kandungan asam amino hidroksiprolin dalam gelatin. Berdasarkan Amiruldin (2007) yang melakukan penelitian pada asam amino gelatin tulang ikan tuna bahwa titik gel dipengaruhi oleh jumlah asam amino hidroksiprolin, titik gel akan lebih rendah jika jumlah asam amino hidroksiprolin sedikit dan rendahnya hidroksiprolin membuat ikatan hidrogen dalam gelatin sedikit. Berdasarkan Fatimah
(2008),
bahwa
konsentrasi
protein
yang
tinggi
mengandung
hidroksiprolin yang tinggi. Jumlah hidroksiprolin yang terdapat dalam gelatin serta berbanding lurus dengan banyaknya ikatan hidrogen yang kemungkinan bisa terbentuk ketika gelatin terdispersi dalam air.
37
Gelatin yang padat (sol) akan mengembang ketika didispersikan ke dalam air. Pada saat didispersikan dalam air, maka daya tarik menarik antara molekul gelatin lemah sehingga bentuk sol tersebut menjadi cairan (larutan gelatin) dan membentuk sistem koloid. Jika suhu diturunkan (didinginkan) molekul-molekul gelatin hasil hidrolisis akan menggulung satu sama lain
dan terjadi ikatan
sambung-silang satu sama lain sehingga akan membentuk struktur yang kompak (semi-padat) dan merupakan saat dimana gel mulai terbentuk (Wiratmaja, 2006). 4.2.3 Titik leleh gelatin Titik leleh (melting point) merupakan suhu dimana gelatin mulai mencair, parameter ini akan menentukan suhu pengaplikasian gelatin baik pada produk pangan maupun non pangan. Nilai titik leleh dapat dilihat pada Gambar 10.
Histogram Nilai Titik Leleh a
37,4
a
37.3
37.2
Titik leleh (ºC)
37,2 37 36,8 36,6
a
36.5
36,4 36,2 36 G1
G2
G3
Perlakuan Gambar 3. Histogram titik leleh gelatin hasil perlakuan perbandingan volume cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang sama pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang sama) Gambar 10 menunjukan kenaikan nilai titik leleh gelatin ikan tuna hasil perlakuan. Titik leleh terendah merupakan hasil perlakuan G1 (3:1) yaitu 36,5ºC 38
dan titik gel tertinggi G3 (7:1) yaitu 37,3ºC. Menurut Poppe (1997) dalam Fahrul (2005), titik leleh gelatin komersial adalah berkisar 37ºC atau dapat meleleh di dalam mulut, sedangkan Astawan dan Aviana (2003) menyatakan bahwa titik leleh gelatin ikan berkisar antara 24 - 33ºC. Titik leleh gelatin hasil perlakuan dianggap masih memiliki sifat menyerupai gelatin komersial Analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 4g) menunjukan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P > 0,05) terhadap titik leleh gelatin. Hal ini diduga disebabkan karena titik leleh berhubungan dengan naiknya titik gel dari gelatin hasil perlakuan. Sama halnya dengan titik gel, titik leleh gelatin dipengaruhi oleh konsentrasi gelatin dalam larutan, pH dan besarnya molekul gelatin (Stanbsy, 1977 diacu dalam Wiratmaja 2006). Kenaikan titik leleh gelatin hasil perlakuan berhubungan dengan titik gel gelatin. Pembentukan gel dipengaruhi oleh jumlah ikatan hidrogen yang terbentuk, demikian pula saat gelatin mulai meleleh. Gelatin dengan jumlah ikatan hidrogen yang sedikit akan membentuk gel pada suhu yang lebih rendah namun ikatan antar molekul gelatin lemah sehingga ketika mudah terlepas menjadi gulungan acak dan membuat gelatin cepat meleleh. Sebaliknya, jumlah ikatan hidrogen yang banyak akan membuat gelatin lebih cepat membentuk gel dengan ikatan antar molekul gelatin lebih kuat sehingga ketika terjadi kenaikan suhu lingkungan ikatan sambung-silang akan lepas dengan perlahan dan meleleh pada suhu lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fatimah (2008), bahwa naiknya titik leleh disebabkan oleh banyaknya jumlah ikatan Hidrogen yang terbentuk antar molekul gelatin.
39
4.3 Karakteristik Kimia Gelatin Ikan Tuna 4.3.1 Kadar air gelatin Kadar air dalam bahan pangan sangat penting untuk diketahui sebab air akan menentukan sifat bahan seperti ketahanan umur simpan suatu produk pangan. Kadar air pada gelatin hasil perlakuan dapat dilihat pada Gambar 11. Histogram Kadar Air
Kadar air (%)
a
6,9 6,8 6,7 6,6 6,5 6,4 6,3 6,2 6,1 6 5,9 5,8
6.83
a
6.77
a
6.20
G1
G2
G3
Perlakuan Gambar 4. Histogram kadar air gelatin hasil perlakuan perbandingan volume cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang sama pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang sama) Gambar 11 menunjukan bahwa terjadi penurunan kadar air seiring dengan bertambahnya volume cuka aren yang digunakan. Kadar air terendah adalah hasil perlakuan G3 (7:1) yaitu 6,22% sedangkan kadar air tertinggi adalah hasil perlakuan G1 (3:1) yaitu 6,83 %. Kadar air gelatin hasil perlakuan memenuhi syarat SNI mutu gelatin (01-3735-1995) yaitu maksimum 18%, syarat FAO (2003) yaitu maksimum 16% dan syarat Global Agri System yaitu maksimum 12%. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 5g) menunjukan bahwa perlakuan volume cuka aren tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0,05)
40
pada kadar air gelatin. Kadar air gelatin dianggap sama diduga karena suhu pengeringan larutan gelatin (50-60º) dan lama pengeringan 24 jam. Berdasarkan Amiruldin (2007) yang melakukan ektraksi gelatin dari tulang ikan tuna dengan metode basa, bahwa kadar air gelatin yang rendah dipengaruhi oleh suhu pengeringan larutan gelatin dan lama pengeringan. Lebih lanjut dilaporkan bahwa larutan gelatin tulang ikan tuna yang dikeringkan dengan menggunakan oven (suhu 60ºC) menghasilkan gelatin dengan kadar air berkisar 6,08%. Penurunan kadar air gelatin hasil perlakuan seiring dengan bertambahnya volume cuka aren diduga karena banyaknya ikatan hidrogen antar kolagen yang terputus akibat ion asam yang ada pada cuka pada saat perendaman sehingga pada proses pemanasan (perebusan) ossein, ikatan hidrogen akan terbentuk dengan molekul air (H2O). Makin banyak ikatan hidrogen yang terputus antar kolagen, kemungkinan besar akan mengikat jumlah air yang makin besar pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wijaya (2001) bahwa hidrogen bersifat polar (suka air), sifat tersebut yang akan menyebabkan banyaknya air yang menguap saat pengeringan dalam oven sehingga kadar air akan semakin menurun. 4.3.2 Kadar abu gelatin Kadar abu sangat penting dalam analisis bahan pangan sebab kadar abu menunjukan tingkat kemurnian bahan dan kebersihan dari zat-zat anorganik. Abu menggambarkan sejumlah komponen mineral kasar yang mengabu jika dipanaskan pada suhu tinggi (500ºC). Kadar abu gelatin tulang tuna dapat dilihat pada Gambar 12.
41
Kadar abu (%)
Histogram Kadar Abu Gelatin 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
a
a
8.54
8.81 b
5.63
G1
G2
G3
Perlakuan
Gambar 5. Histogram kadar abu gelatin hasil perlakuan perbandingan volume cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang berbeda pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang berbeda) Gambar 12 menunjukan bahwa kadar abu gelatin yang terendah pada perlakuan G3 (7:1) yaitu 5,63% dan kadar abu tertinggi pada perlakuan G2 (5:1) yaitu 8,54%. Kadar abu gelatin hasil perlakuan masih lebih tinggi dari jumlah kadar abu yang disyaratkan oleh SNI (3735.1995) yaitu 3,25 %. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 6g) menunjukan terdapat perlakuan yang memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar abu gelatin. Uji lanjut BNT (Lampiran 6h) menunjukan bahwa perlakuan G1 dan G2 berbeda sangat nyata ( P>0,01) dengan G3 sedangkan perlakuan G1 dan G2 tidak berbeda nyata (P<0.05). Pengaruh banyaknya volume cuka aren yang dipakai diduga terjadi pada saat perendaman (demineralisasi) dengan tulang ikan tuna. Cuka aren hasil fermentasi mengandung berbagai macam asam organik (golongan asam karboksilat) dan salah satunya adalah asam asetat dengan konsentrasi 0,8%. Sifat senyawa asam organik bereaksi dengan beberapa komponen mineral yang terdapat dalam tulang ikan tuna dengan reaksi subtitusi (penggantian). Gugus karboksil yang berperan sebagai anion dan gugus asam (H+) sebagai kation.
42
Dalam proses pengikatan dengan mineral, gugus karboksil (COO-) dimungkinkan berikatan dengan komponen mineral tulang seperti kalsium (Ca2+) dengan cara pergantian (subtitusi). Hal ini sangat mungkin terjadi sebab tulang ikan mengandung sejumlah besar kalsium. Kemungkinan yang terjadi jika volume cuka semakin besar maka ion karboksil yang berasal komponen asam organik lebih banyak untuk berikatan dengan mineral kalsium sehingga jumlah mineral yang terikat semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat pada kadar abu perlakuan G3 menjadi lebih rendah dibandingkan dengan G1 dan G2. Namun konsentrasi asam organik yang rendah belum dapat mengoptimalkan proses pengikatan mineral. Hal ini didasari atas pernyataan Ismangil dan Hanudin (2005), bahwa sifat asam-asam organik ditentukan oleh gugus karboksil (COO-) yang akan membentuk ikatan kompleks dengan logam dan mineral seperti Fe, Al, Ca dan Mg serta kereaktifan asam organik dengan mineral dipengaruhi oleh konsentrasi asam organik. Tingginya kadar abu pada perlakuan diduga disebabkan oleh masih terdapatnya sisa-sisa daging dan tulang yang ikut terbawa sampai proses ekstraksi gelatin. Menurut Astawan dan Aviana (2003) bahwa tingginya kadar abu disebabkan oleh masih terikutnya komponen non-kolagen pada saat ekstraksi gelatin. 4.3.3 Kadar protein gelatin Gelatin merupakan hasil hidrolisis kolagen, salah satu jenis protein yang menyusun tulang ikan tuna yang digunakan sebagai bahan baku. Kadar protein gelatin hasil perlakuan dapat dilihat pada Gambar 13.
43
Kadar protein (%)
Histogram Kadar Protein 76,00 75,00 74,00 73,00 72,00 71,00 70,00 69,00 68,00 67,00 66,00
b
74.46
b
75.20
a
69.50
G1
G2
G3
Perlakuan Gambar 6. Histogram kadar protein gelatin hasil perlakuan perbandingan volume cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang berbeda pada puncak histogram menunjukan pengaruh yang berbeda) Gambar 13 menunjukan bahwa semakin tinggi volume cuka aren maka semakin tinggi kadar protein gelatin. Kadar protein terendah berasal dari perlakuan G1 (3:1) yaitu 69,50% (kadar N=11,12%) sedangkan kadar protein tertinggi berasal dari perlakuan G3 (7:1) yaitu 75,20% (kadar N=12,03%). Kenaikan kadar protein akan mempengaruhi parameter titik gel dari gelatin hasil perlakuan. Berdasarkan Global Agri System (2009), gelatin standar disyaratkan mengandung N minimal 15% (jika dikonversi ke kadar protein menjadi 98%). Jika dilihat dari standar tersebut maka gelatin hasil perlakuan belum memenuhi syarat kandungan protein gelatin komersial. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 7g) menunjukan bahwa perlakuan memberikan pengaruh sangat nyata tehadap kadar protein gelatin. Uji BNT (Lampiran 7h) menunjukan perlakuan G1 berbeda sangat nyata ( P > 0,01) dengan G2 dan G3, sedangkan perlakuan G2 dan G3 tidak berbeda nyata. Kadar protein gelatin hasil dipengaruhi oleh semakin meningkatnya volume cuka pada
44
saat perendaman diduga disebabkan oleh ketersediaan ion asam dari komponen asam-asam organik yang terdapat dalam cuka. Pada saat perendaman dengan asam, molekul tropokolagen akan terpecah menjadi 3 untaian sebab putusnya ikatan hidrogen antara heliksnya oleh ion H+. Ion asam lebih efesien dalam memutuskan ikatan Hidrogen antar kolagen jika dibandingkan dengan ion hidroksil dalam senyawa basa. Semakin bertambahnya volume asam cuka yang digunakan pada saat perendaman, diduga akan menyediakan jumlah ion H+ yang lebih besar untuk membantu memutuskan ikatan hidrogen antara komponen kolagen sehingga jumlah kolagen yang terekstrak lebih banyak. Namun rendahnya kandungan protein dari gelatin tuna hasil perlakuan disebabkan karena golongan asam yang digunakan merupakan golongan asam organik yang tergolong sebagai asam lemah sehingga dalam proses pemutusan ikatan antar molekul kolagen dianggap belum optimal.
Berdasarkan Mulyani dkk (2012) yang melakukan
ekstraksi gelatin dari tulang ikan kakap dengan menggunakan berbagai jenis asam,bahwa kadar protein dipengaruhi oleh konsentrasi asam dan kemampuan jenis asam itu sendiri. 4.3.4 Kadar lemak gelatin Kadar lemak merupakan salah satu karakteristik pada zat penambah makanan (food additive) seperti gelatin sebab menentukan tingkat kemurnian gelatin yang dihasilkan dan juga menentukan ketahanan produk selama penyimpanan. Kadar lemak gelatin dapat dilihat pada Gambar 14.
45
Histogram Kadar Lemak
Kadar Lemak (%)
a
14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
13.33
c b
11.75
9.23
G1
G2
G3
Perlakuan Gambar 7. Histogram kadar lemak gelatin hasil perlakuan perbandingan volume cuka (ml) dengan berat tulang (g) (keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang berbeda pada puncak Histogram menunjukan pengaruh yang berbeda) Gambar 14 menunjukan kadar lemak gelatin tulang ikan tuna pada ketiga perlakuan. Kadar lemak tertinggi adalah hasil perlakuan G1 (3:1) yaitu 13,33 % dan kadar lemak terendah hasil perlakuan G2 (5:1) yaitu 9,23%. Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 8g) menunjukan bahwa perlakuan volume cuka memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar lemak gelatin. Uji lanjut BNT (Lampiran 8h) menunjukan pula bahwa perlakuan G1 dan G3 berbeda sangat nyata (P > 0.01) dengan perlakuan G2 dan perlakuan G1 berbeda nyata (P > 0.05) dengan perlakuan G3. Kadar lemak gelatin yang diperoleh masih di luar standar gelatin komersial. Menurut Global Agri System (2009), standar kadar lemak gelatin komersial diharapkan mendekati 0%. Besarnya volume cuka yang digunakan berpengaruh pada kadar lemak. Hal ini diduga karena cuka aren yang mengandung asam asetat bersifat mengikat lemak. Besarnya volume cuka akan menentukan ketersediaan jumlah asam asetat sehingga menentukan jumlah lemak yang dapat diikat. Namun dengan konsentrasi
46
asam asetat 0,8% diduga belum dapat mengoptimalkan proses pengikatan asam dengan lemak sehingga masih terdapat lemak yang ikut terbawa pada proses pemanasan. Pengikatan oleh senyawa asam organik umumnya masih bersifat lemah. Hal ini dapat dilihat dari penurunan kadar lemak hasil perlakuan G2 dan G3 yang tidak sama. Hal ini diduga disebabkan oleh komponen-komponen asamasam organik lainnya seperti asam laktat, asam format dan asam propoinat yang ikut mempengaruhi ketidakstabilan proses pengikatan lemak. Menurut teori Kusnandar (2011), lemak dapat diikat oleh kelompok asam lemah atau asam encer yang salah satunya adalah asam asetat dan proses ini disebut dengan proses degumming. Tingginya kadar lemak gelatin hasil penelitian kemungkinan juga disebabkan oleh kondisi bahan baku ikan yang digunakan. Bahan baku tulang yang dipakai diduga berasal dari jenis tuna yang memiliki kadar lemak tinggi sehingga kadar lemak gelatin masih tinggi. Berdasarkan penelitian Amiruldin (2007) yang melaporkan bahwa terdapat salah satu jenis tuna yaitu Thunnus albacores yang mengandung lemak tinggi. Hasil analisis lemak yang telah dilakukannya pada tulang tuna yang telah bersih yaitu berkisar antara 15,38 – 15,66 %. Penyebab lain yang membuat tingginya kadar lemak gelatin hasil penelitian adalah tidak dilakukannya proses pemisahan antara larutan dengan lemak pada saat setelah perebusan sehingga lemak gelatin masih tinggi. Lemak dipisahkan dengan menggunakan alat rotary evaporator vacuum. Lemak yang tinggi dapat menyebabkan warna dari gelatin menjadi lebih gelap, hal ini dapat dilihat pada gelatin hasil perlakuan. Larutan gelatin yang dipekatkan dengan alat
47
rotary evaporator vacuum membuat gelatin yang dihasilkan menjadi lebih cerah. Perbedaan warna gelatin ini dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 8. Perbandingan antara warna gelatin tulang tuna (a) hasil penelitian dengan gelatin tulang ikan bandeng (b) (keterangan: a.tanpa menggunakan alat rotary evaporator vacuum; b. menggunakan alat rotary evaporator vacuum, *Fatimah, 2008) 4.3.5 Nilai pH gelatin Nilai pH gelatin merupakan parameter yang akan menentukan aplikasi gelatin. Nilai pH gelatin yang diharapkan mendekati pH netral (7) agar dapat diaplikasikan secara luas. Nilai pH gelatin tulang ikan tuna hasil perlakuan dapat dilihat pada Gambar 16.
6,80
a
Histogram Nilai pH
6.60
Nilai pH
6,60 6,40 a
6,20
6.1
6,00
a
6.0
5,80 5,60 G1
G2 Perlakuan
G3
Gambar 9. Histogram nilai pH gelatin hasil perlakuan perbandingan volume cuka (ml) dengan berat tulang (g) (Keterangan: G1 yaitu 3:1; G2 yaitu 5:1; G3 yaitu 7:1 dan huruf-huruf yang sama pada puncak Histogram menunjukan pengaruh yang sama) 48
Gambar 16 menunjukan bahwa nilai pH gelatin menurun seiring dengan bertambahnya volume cuka aren yang digunakan sebagai perlakuan. Analisis sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 9g) menunjukan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P > 0.05) terhadap nilai pH gelatin. Nilai pH terendah merupakan hasil dari perlakuan G3 (7:1) yaitu 6.0 dan tertinggi merupakan hasil dari perlakuan G1 (3:1) yaitu 6.6. Hal ini diduga karena cuka yang digunakan memiliki pH yang sama. Nilai pH yang diperoleh dari hasil perlakuan umumnya telah mendekati netral, hal ini disebabkan oleh asam cuka aren yang dipakai yang merupakan asam organik (asam lemah) sehingga pengaruh asam akan menurun jika mengalami pencucian. Gelatin hasil perlakuan G1 memiliki nilai pH 6.6 (mendekati netral) sebab jumlah volume cuka yang digunakan hanya sedikit sehingga ketika dicuci asam akan ikut terbawa dengan air mengalir sedangkan gelatin hasil perlakuan G3 memiliki pH yang rendah sebab jumlah cuka yang digunakan lebih banyak sehingga pada saat pencucian masih terdapat sedikit sisa cuka. Sesuai dengan pendapat Astawan dan Aviana (2003), nilai pH gelatin dipengaruhi oleh jenis asam yang digunakan pada saat perendaman. Jika asam yang digunakan adalah jenis asam kuat maka nilai pH dari gelatin yang dihasilkan rendah begitu pula sebaliknya.
49