BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Geografis Wilayah Penelitian 1.
Kondisi Fisik Wilayah a.
Letak dan Luas Kecamatan Bojong merupakan salah satu kecamatan yang ada di
Kabupaten Purwakarta, dan merupakan tempat penulis melakukan penelitian. Secara astronomis Kecamatan Bojong terletak pada 06º37’30” LS 06º47’30” LS dan 107º27’30” BT - 107º35’00” BT. Secara administrasi Kecamatan Bojong terdiri atas 14 desa dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara
: Kecamatan Pasawahan
Sebelah Timur
: Kecamatan Wanayasa
Sebelah Selatan
: Kecamatan Parongpong Kabupaten Bandung Barat
Sebelah Barat
: Kecamatan Darangdan
Wilayah Kecamatan Bojong memiliki luas 85,55 km2. Jarak dari Kecamatan Bojong ke ibu kota Kabupaten Purwakarta adalah sekitar 34 km dengan waktu tempuh sekitar 1 jam perjalanan. Untuk lebih jelasnya mengenai wilayah administratif Kecamatan Bojong dapat dilihat pada gambar 4.1.
41
42
43
b. Topografi Berdasarkan topografinya wilayah Kabupaten Purwakarta dapat dibagi ke dalam tiga zona, yaitu pegunungan, perbukitan dan daratan. Dimana zona perwilayahannya sebagai berikut: 1)
Daerah pegunungan Daerah ini memiliki ketinggian antara 1100 - 2000 mdpl yang meliputi
29,73% dari total luas wilayah. Daerah ini terletak di bagian tenggara Kabupaten Purwakarta. 2)
Daerah perbukitan Daerah dengan ketinggian antara 500-1000 mdpl ini meliputi 33,8%
dari total luas wilayah. Wilayahnya terletak di barat laut Kabupaten Purwakarta. 3)
Daerah daratan Wilayah ini terletak di bagian utara Kabupaten Purwakarta dengan
ketinggian 35 sd 499 mdpl, daerah ini meliputi 36,47% dari total luas wilayah. Berdasarkan Data Profil Kecamatan Bojong tahun 2009, Kecamatan Bojong memiliki ketinggian antara 500-900 mdpl, dengan demikian termasuk ke dalam zona daerah perbukitan dan pegunungan. Sebagian besar wilayahnya digunakan untuk perkebunan dan pertanian serta sebagian kecil untuk peternakan dan pariwisata alam. Berdasarkan syarat tumbuh aren, pohon aren dapat tumbuh secara baik di ketinggian 500-1200 mdpl dan dapat tumbuh hingga ketinggian 1400 mdpl.
44
Ketinggian yang dimiliki Kecamatan Bojong yaitu 500-900 mdpl, dengan demikian berdasarkan pada ketinggian tempat maka pohon aren dapat dikatakan cocok untuk tumbuh di Kecamatan Bojong. c.
Iklim Dalam kehidupan di muka bumi ini, baik itu berlaku bagi manusia,
hewan, dan tumbuhan semuanya itu sangat dipengaruhi oleh salah satu faktor fisis yaitu iklim, di mana iklim mempengaruhi segala aktifitas yang dilakukan manusia, hewan dan juga menentukan persebaran tumbuhan dan jenis apa saja yang sesuai pada daerah tertentu. Menurut Rafi’i (1995: 1) “iklim merupakan keadaan rata-rata kondisi suatu atmosfer suatu wilayah dalam jangkauan waktu yang relatif lama dan dalam cakupan wilayah yang luas”. Untuk mengetahui jenis iklim suatu daerah terdapat beberapa sistem klasifikasi iklim. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sistem iklim menurut Junghuhn dalam menentukan iklim daerah penelitian. Iklim Junghuhn mempertimbangkan faktor suhu dan ketinggian tempat di daerah tropika dalam penentuan zonefikasi iklimnya. Berdasarkan Data Profil Kecamatan Bojong Tahun 2009, Kecamatan Bojong mempunyai curah hujan rata-rata tahunan yaitu 3270 mm/tahun dengan suhu rata-rata 22ºC dan bila melihat zonefikasi iklim berdasarkan sistem Junghuhn di mana unsur utama yang diperhitungkan ialah pemurunan suhu berdasarkan ketinggian tempat yang dihubungkan dengan penyebaran tumbuhan, yaitu:
45
1) Zone iklim panas, antara ketinggian 0 – 700 mdpl dengan suhu rata-rata diatas 22º, daerah ini cocok untuk tanaman padi, jagung, tebu dan kelapa tumbuh dengan baik. 2) Zone iklim sedang, ketinggian 700 – 1.500 mdpl dengan suhu 15º - 22ºC, cocok untuk tumbuhnya teh, karet, kopi dan kina. 3) Zone iklim sejuk, antara ketinggian 1.500 – 2.500 mdpl dengan suhu 11º - 15ºC, cocok untuk tanaman hortikultura. 4) Zone iklim dingin, ketinggian 2.500 - 4.000 mdpl, suhu kurang dari 11ºC 5) Iklim salju tropik, di atas ketinggian 4000 mdpl. Kecamatan Bojong memiliki suhu rata-rata 22ºC, sedangkan pohon aren dapat tumbuh pada suhu 20-25ºC, dengan demikian berdasarkan kondisi suhu maka pohon aren dapat dikatakan cocok untuk tumbuh di Kecamatan Bojong. d. Tanah Tanah merupakan suatu benda alami yang terdapat di permukaan kulit bumi yang tersusun dari bahan-bahan mineral sebagai hasil dari pelapukan batuan dan bahan organik sebagai hasil pelapukan sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang merupakan medium pertumbuhan tanaman dengan sifat-sifat tertentu. Menurut klasifikasi tanah dari hasil penelitian Bappeda Kabupaten Purwakarta tahun 2009, jenis tanah di Kabupaten Purwakarta yaitu aluvial, latosol, andosol, grumosol, pedsolik dan regosol sedangkan untuk Kecamatan Bojong sendiri wilayahnya sebagian besar memiliki jenis tanah aluvial dan latosol dengan tekstur tanah berlempung dan berpasir.
46
Berdasarkan syarat tumbuh aren, pohon aren sesungguhnya tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus sehingga dapat tumbuh pada tanahtanah liat, berlumur dan berpasir. Kecamatan Bojong memiliki jenis tanah aluvial dan latosol dengan tekstur tanah berlempung dan berpasir, dengan kondisi tanah tersebut maka pohon aren dapat dikatakan cocok untuk tumbuh di Kecamatan Bojong. 2.
Kondisi Sosial Daerah Penelitian a.
Jumlah dan kepadatan penduduk Penduduk merupakan salah satu sumber daya bagi wilayah yang
ditempatinya bila manusia itu sendiri mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Berbicara soal penduduk, tentunya berkaitan dengan jumlah dan kepadatan penduduk. Jumlah dan kepadatan penduduk ditiap daerah tentu akan berbeda, ada daerah yang berpenduduk padat ada juga daerah dengan penduduk yang jarang. Pertumbuhan jumlah penduduk di setiap daerah akan berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya kelahiran, kematian dan migrasi. Adapun jumlah penduduk yang ada di Kecamatan Bojong berdasarkan data monografi Kecamatan Bojong tahun 2010 berjumlah 46.556 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki berjumlah 22.774 jiwa dan penduduk perempuan mencapai 20,852 jiwa. Berdasarkan luas Kecamatan Bojong yaitu 85,55 km2 maka dapat diketahui kepadatan penduduk, dengan cara: Kepadatan penduduk =
47
= = 510 jiwa/km2 Berdasarkan perhitungan di atas maka dapat diketahui kepadatan penduduk di Kecamatan Bojong adalah 510 jiwa/km2. Jenis kepadatan penduduk ada 4 kategori, yaitu: 1) 0-50 jiwa/km2 dikatakan wilayah tidak padat 2) 51-250 jiwa/km2 dikatakan wilayah kurang padat 3) 251-400 jiwa/km2 dikatakan wilayah cukup padat 4) >400 jiwa/km2 dikatakan wilayah sangat padat Berdasarkan kategori tersebut, maka wilayah Kecamatan Bojong termasuk ke dalam wilayah sangat padat. Kemudian dapat diketahui juga nilai sex ratio penduduknya, yaitu: Sex ratio =
x 100
= =
x 100 109
Angka tersebut menjelaskan bahwa terdapat 109 laki-laki diantara 100 perempuan, sehingga diketahui bahwa perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang ada di Kecamatan Bojong dapat dikatakan seimbang. Berdasarkan pada jumlah dan kepadatan penduduk yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Bojong termasuk ke dalam wilayah yang sangat padat kerena memiliki kepadatan penduduk sebesar 510 jiwa/km², dengan kepadatan penduduk tersebut maka dibutuhkan mata
48
pencaharian tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup penduduk, salah satunya yaitu menjadi pengrajin gula merah. Selain diperlukannya mata pencaharian tambahan, kondisi penduduk yang padat tersebut juga membutuhkan areal permukiman yang lebih luas. Hal ini tentu akan mengurangi lahan tumbuh aren jika masyarakat setempat mengalih fungsikan lahan tumbuh aren menjadi areal permukiman. b. Komposisi penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin Komposisi penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, menurut Sagoyo (1983: 69) menemukan bahwa: ”....kriteria utama dalam pembagian kerja adalah jenis kelamin dan umur, pembagian kerja ini akan jelas nampak pada struktur kehidupan masyarakat desa.” Kegiatan yang sifatnya berat dibebankan kepada kelompok laki-laki dewasa, sedangkan yang sifatnya ringan diberikan kepada golongan wanita dan anak. Angka Ketergantungan Penduduk (AKP) di Kecamatan Bojong dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut: AKP =
=
x 100
x 100
= 63 Berdasarkan hasil perhitungan Angka Ketergantungan Penduduk (AKP) maka dapat diartikan bahwa setiap penduduk produktif di Kecamatan Bojong harus menanggung beban penduduk non produktif sebanyak 63 jiwa,
49
sehingga pekerjaan sebagai pengrajin gula merah ini cukup membantu dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup. Komposisi penduduk di Kecamatan Bojong berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di Kecamatan Bojong No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Usia (Tahun)
Laki-laki (Jiwa)
%
Perempuan (Jiwa)
0-4 1 727 7,58 5-9 2 619 11,50 10-14 2 710 11,90 15-19 2 535 11,13 20-24 2 444 10,73 25-29 1 801 7,91 30-34 1 727 7,58 35-39 1 919 8,43 40-44 1 020 4,48 45-49 791 3,47 50-54 505 2,22 55-59 579 2,54 60-64 845 3,71 +65 1 552 6,81 Jumlah 22 774 Sumber : Data Profil Kecamatan Bojong 2009
2 710 2 636 1 754 1 764 1 525 1 599 1 818 1 323 303 956 1 020 1 387 808 1 249 20 852
%
Jumlah
12,99 12,64 8,41 8,46 7,31 7,67 8,72 6,34 1,45 4,58 4,89 6,65 3,87 5,99
4 437 5 255 4 464 4 299 3 969 3 400 3 545 3 242 1 323 1 747 1 525 1 966 1 653 2 801 43 626
Kaitan antara komposisi penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin dengan industri gula merah yaitu dapat dilihat dari segi pembagian tugas, tugas berat seperti menyadap nira pohon aren tentu akan dibebankan pada laki-laki dengan usia yang masih produktif, sedangkan peran wanita dalam hal pemasakan nira. Semakin banyak penduduk laki-laki yang berusia produktif maka semakin memudahkan produksi gulla merah terutama dalam hal penyadapan air nira sebagai bahan baku gula merah.
50
c.
Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Menurut Idris (1984: 21) mengemukakan bahwa mata pencaharian
sebagai “usaha manusia sebagai usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan jalan bekerja untuk memperoleh suatu hasil sehingga diharapkan dapat terpenuhinya sebagian atau seluruh kebutuhan hidup secara layak”, adapun komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian di Kecamatan Bojong dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Bojong No
Mata Pencaharian
Jumlah (Jiwa) 1 Petani 786 2 Buruh tani 306 3 Karyawan swasta 287 4 Pedagang 298 5 Pengrajin 156 6 Montir 32 7 Supir 44 8 Penjahit 36 9 Pegawai Negeri 180 10 TNI/Polri 56 11 Lainya 43 Jumlah 2224 Sumber : Data Profil Kecamatan Bojong 2008
% 35,34 13,75 12,90 13,39 7,01 1,43 1.97 1,62 8,09 2,52 1,93 100
Semakin bertambahnya penduduk di Kecamatan Bojong maka akan merubah fungsi penggunaan lahan yang semula sebagai areal tumbuh pohon aren menjadi areal permukiman. Hal ini tentu saja mengurangi ketersediaan bahan baku gula merah yang berpengaruh pada berkurangnya mata pencaharian sebagai pengrajin gula sehingga perlu dialokasikan pada mata pencaharian lain guna mengurangi angka pengangguran.
51
d. Penggunaan lahan Lahan merupakan suatu elemen penting bagi berlangsungnya segala aktifitas yang ada di muka bumi terutama manusia. Berbagai aktifitas penduduk yang menjadi rutinitas penduduk semuanya berkaitan dengan sistem penguasaan tanah dan cara atau metode penggarapan terhadap tanah tersebut. Lahan dapat terbagi menjadi beberapa fungsi lahan. Lahan dapat berfungsi sebagai permukiman, perkantoran, industri, persawahan dan sebagainya. Fungsi lahan di Kecamatan Bojong terbagi menjadi beberapa fungsi, yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan, permukiman, ladang, kebun, semak belukar dan hutan. Untuk lebih jelas mengenai luas dan jumlah dari masing-masing jenis penggunaan lahan yang ada di Kecamatan Bojong dapat dilihat pada tabel 4.3 dan pada gambar 4.2 berikut ini : Tabel 4.3 Penggunaan Lahan Kecamatan Bojong Penggunaan Lahan Luas (Km2) Sawah irigasi 1,81 Sawah tadah hujan 14,87 Permukiman 6,59 Ladang 9,80 Kebun 17,92 Semak belukar 7,87 Hutan 26,67 Jumlah 85,55 Sumber : Data Profil Kecamatan Bojong Tahun 2009 No 1 2 3 4 5 6 7
% 2,12 17,38 6,87 11,46 20,95 9,21 31,17 100
52
53
Berdasarkan Tabel 4.3 jenis penggunaan lahan di Kecamatan Bojong sebagian besar merupakan hutan (31,17%) dan kebun (20.95%) , pada areal inilah tanaman aren tumbuh alami dengan bantuan musang. Masyarakat setempat menanfaatkan keberadaan aren yang tumbuh secara alami dengan mengolahnya menjadi beberapa jenis bahan makanan dan kerajinan di antaranya gula merah. Tabel 4.4 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Aren di Kabupaten Purwakarta Tahun 2006 Luas Areal (Ha) Kecamatan Tanaman Hasil Banyak Tanaman Tanaman Jumlah olahan Pemilik belum produktif tua/rusak (ton) (KK) produktif Jatiluhur 2,50 8,35 10,55 3,55 85 Sukasari 0,79 4,80 5,58 2,87 57 Maniis 4,00 4,00 8,00 1,58 59 Tegalwaru 6,00 6,00 1,57 35 Plered 3,40 0,25 3,65 0,86 34 Sukatani 1,50 2.50 3,85 7,85 0,85 87 Darangdan 3,27 22,23 3,00 28,50 5,86 125 Bojong 20,40 38,00 6,00 64,40 22,28 182 Wanayasa 18,00 5,00 23,00 5,28 97 Kiarapedes 9,00 19,00 7,00 35,00 7,58 153 Pasawahan 1,50 3,40 0,55 50,00 127 25 Pondok 3,65 1,75 0,90 6,30 0,47 56 salam Purwakarta Babakan Cikao Campaka 0,60 0,60 5 Cibatu 0,45 0,45 21 Bungursari Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Purwakarta 2006
54
Tabel 4.5 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Aren di Kabupaten Purwakarta Tahun 2009 Luas Areal (Ha) Tanaman Tanaman produktif tua/rusak
Kecamatan Tanaman belum produktif Jatiluhur 1,30 Sukasari 0,59 Maniis 3,10 Tegalwaru Plered Sukatani 1,00 Darangdan 2,27 Bojong 16,70 Wanayasa Kiarapedes 5,00 Pasawahan 0,50 Pondok 2,65 salam Purwakarta Babakan Cikao Campaka 0,30 Cibatu 0,25 Bungursari Sumber : Dinas Pertanian Purwakarta 2009
Jumlah
5,30 2,80 2,00 4,00 2,45 1,05 12,13 28,00 15,00 15,30 1,21 0,55
0,45 2,00 2,00 7,00 3,30 5,00 0,35 0,75
106,80 3,58 5,10 4,00 3,30 3,05 16,50 37,70 18,30 25,30 2,06 4,00
-
-
-
Hasil olahan (ton) 2,10 1,70 1,00 0,96 0,66 0,55 4,01 15,68 3,28 4,38 2,98 0,27
Banyak Pemilik (KK) 55 47 40 27 29 67 101 112 77 87 20 36
-
-
0,30 4 0,25 11 Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten
Berdasarkan tabel 4.4 dan 4.5 dapat dilihat bahwa jumlah pohon aren yang ada di Kecamatan Bojong saat ini mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena penebangan pohon yang dilakukan secara terus-menerus. Penduduk setempat tertarik menjual pohonnya di usia muda karena harga jual yang cukup tinggi per pohonnya. Keberadaan pohon aren yang berkurang tentu akan berpengaruh pada gula merah yang diproduksi karena pohon aren merupakan bahan baku utama.
55
B. Pembahasan Hasil Penelitian 1.
Gambaran Responden Mengenai Industri Gula Merah Masyarakat lokal di Kecamatan Bojong sudah lama mengetahui cara
pemanfaatan dan pengolahan berbagai jenis tumbuhan secara tradisional. Dimana pengetahuan lokal dari masyarakat setempat ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aren merupakan salah satu tumbuhan yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Kecamatan Bojong, bahkan mata pencaharian sebagai pengrajin gula merah yang berbahan dasar nira aren ini merupakan mata pencaharian sekunder yang sudah dari dahulu dilakukan oleh masyarakat Kecamatan Bojong. Saat ini populasi aren di Kecamatan Bojong semakin berkurang. Hal ini disebabkan banyaknya pohon yang sudah tua, sehingga tidak produktif lagi sedangkan upaya peremajaan populasi aren belum dilakukan secara maksimal. Banyaknya masyarakat yang memanfaatkan aren untuk kegiatan industri rumah tangga, tanpa adanya upaya peremajaan dikhawatirkan akan menyebabkan populasi aren tersebut semakin terancam. Berdasarkan hasil wawancara dalam penyebaran aren, masyarakat di Kecamatan Bojong sangat mengandalkan jasa dari alam (regenerasi alam) yaitu melalui peranan musang (Paradoxurus hermaphroditus) di mana musang memakan buah aren yang sudah matang. Buah aren yang dimakan oleh musang bijinya tidak hancur, tetapi terbawa keluar bersama kotorannya. Biji inilah yang sering mudah berkecambah dan tumbuh secara liar menjadi aren. Meskipun
56
dengan beberapa kondisi tersebut industri dula merah yang ada di Kecamatan Bojong masih dapat bertahan hingga sekarang. 2.
Faktor yang Melatar Belakangi Keberadaan Industri Gula Merah a. Kondisi fisik wilayah yang mendukung Berdasarkan data yang diperoleh, Kecamatan Bojong berada di ketinggian 500–900 mdpl dengan suhu rata-rata 22ºC. Kondisi wilayah tersebut mendukung untuk pertumbuhan aren. Hal ini sesuai dengan pernyataan Akuba (2004) “tanaman aren dapat tumbuh di dekat pantai sampai pada ketinggian 1400 m diatas permukaan laut, pertumbuhan yang baik adalah pada sekitar 500-1200 m karena pada kisaran tersebut tidak kekurangan air tanah dan tidak tergenang oleh banjir permukaan”. Lebih jelas Bernhard (2007: 69) mengemukakan bahwa “dalam pertumbuhan tanaman aren yang optimal membutuhkan suhu 20-25ºC, karena pada kisaran suhu tersebut dapat membantu tanaman aren untuk berbuah”. Suhu rata-rata di Kecamatan Bojong yaitu 22ºC, hal ini berarti sesui dengan syarat tumbuh aren yang telah disebutkan sebelumnya. Selain ketinggian dan suhu, jenis tanah juga mempengaruhi tanaman aren untuk tumbuh. Kecamatan Bojong sebagian besar wilayahnya memiliki jenis tanah aluvial dan latosol, sedangkan tanaman aren sendiri sebenarnya tidak memilki kriteria khusus dalam penanamannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Susanto
(1992)
mengemukakan
bahwa
“Tanaman
aren
sesungguhnya tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus sehingga dapat
57
tumbuh pada tanah-tanah liat, berlumur dan berpasir, tetapi aren tidak tahan pada tanah yang kadar asamnya tinggi (pH tanah terlalu asam)”. Kondisi fisik yang mempengaruhi syarat tumbuh tanaman aren dimanfaatkan masyarakat setempat untuk menggunakan bahan baku yang ada secara alami. Pohon aren yang sudah ada ini dimanfaatkan oleh masyarakat salah satunya dalam membuat usaha gula merah. b.
Motif pengrajin Ada beberapa motif para pengrajin dalam menekuni usaha gula merah
yang ada di Kecamatan Bojong. Motif ini menjadi salah satu faktor mengapa sampai saat ini industri gula merah yang ada masih tetap bertahan hingga saat ini. Lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.6. Tabel 4.6 Motif/alasan Menjadi Pengrajin Gula Merah No
Motif Pengrajin
F
%
1
Banyak tersedia bahan baku
7
7,30
2
Melanjutkan usia orang tua
23
23,95
3
Menambah penghasilan
66
68,75
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Lebih dari setengahnya (68,75%) responden menyatakan alasan atau motif menekuni usaha ini adalah untuk menambah penghasilan. Hal ini sangat dirasakan manfaatnya bagi responden karena hasil dari penjualan gula merah dapat digunakan untuk penenuhan kebutuhan sehari-hari hingga biaya pendidikan. Berdasarkan hasil wawancara, alasan masyarakat setempat
58
memilih menjadi pengrajin gula merah sebagai penghasilan tambahan adalah karena memanfaatkan bahan baku yang ada. Usaha ini dinilai relatif lebih mudah dibandingkan dengan usaha lain, karena keterampilan yang mereka miliki dalam membuat gula sudah diwarisi secara turun menurun. Sebagian kecil responden (23,95%) menjawab melanjutkan usaha orang tua dan banyak tersedia bahan baku (7,30%). c.
Permintaan Pasar Selain dari beberapa motif yang menjadikan usaha gula merah ini
tetap berjalan adalah adanya permintaan pasar akan produksi gula merah. Berikut tabel pernyataan responden mengenai permintaan pasar saat ini. Tabel 4.7 Permintaan Pasar Terhadap Produksi Gula Merah No
Permintaan Pasar
F
%
60
62,5
1
Meningkat
2
Menurun
-
-
3
Sama saja
36
37,5
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Lebih dari setengah responden (62,5%) menyatakan permintaan akan gula saat ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, hanya saja para pengrajin belum mampu memenuhi permintaan tersebut dikarenakan kurangnya bahan baku. Menurut responden permintaan akan gula yang meningkat disebabkan karena dalam penngolahannya gula yang dihasilkan tidak dicampur bahan lain selain nira pohon aren sehingga gula terasa bersih dan umumnya berbeda dari gula kelapa.
59
Sedangkan kurang dari setengahnya (37,5%) menyatakan permintaan akan gula dirasakan sama saja karena banyak konsumen yang lebih memilih membeli gula kelapa yang harganya relatif lebih murah dan mudah didapat di pasaran jika dibutuhkan dalam jumlah banyak. 3.
Faktor Geografis Yang Mempengaruhi Eksistensi Industri Gula Merah a.
Lokasi Lokasi dalam kegiatan industri memiliki peranan dalam memajukan
usaha industri tersebut. Keberadaan lokasi tersebut karena menimbulkan alasan bagi pengrajin melakukan kegiatan industri gula merah di lokasi tersebut. Berdasarkan data di lapangan diperoleh alasan para pengrajin gula merah melakukan usaha tersebut. Tabel 4.8 Alasan Kecamatan Bojong Dijadikan Lokasi Produksi Gula Merah No
Alasan
F
%
1
Dekat dengan bahan baku
71
73,95
2
Dekat dengan tempat pemasaran
7
7,30
3
Usaha turun temurun
18
18,75
4
Ditetapkannya Kecamatan Bojong sebagai sentra industri gula merah oleh pemerintah Jumlah
-
-
96
100
Sumber : Hasil Penelitian 2011 Berdasarkan tabel 4.6 dapat ditarik kesimpulan bahwa lebih dari setengahnya (73,95%) menyatakan alasan responden melakukan usaha menjadi pengrajin gula merah di Kecamatan Bojong karena dekat dengan bahan baku. Industri gula merah yang dekat dengan bahan baku memberikan kemudahan dari segi produksi. Hal ini dikarenakan air nira yang tidak
60
bertahan lama harus segera diproses. Sebagian kecil responden (18,75%) menyatakan alasan mereka menjalakan usaha yang dilakukan sekarang adalah usaha turun temurun dan sebagian kecil lainnya (7,30%) menyatakan dekat dengan tempat pemasaran. b. Bahan baku Bahan baku dalam kegiatan produksi merupakan bagian yang sangat vital atau bagian yang sangat penting, karena bahan baku merupakan bahan utama dalam pengerjaan proses produksi. Pemenuhan kebutuhan bahan baku untuk kegiatan produksi gula merah di Kecamatan Bojong seluruhnya berasal dari desa setempat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.9. Tabel 4.9 Asal Bahan Baku No
Asal Bahan Baku
F
%
96
100
1
Desa setempat
2
Desa lain dalam satu kecamatan
-
-
3
Luar kecamatan satu kabupaten
-
-
Jumlah
96
100
Sumber : Hasil Penelitian 2011 Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa seluruh responden sebesar 100 % mengatakan bahwa bahan baku diperoleh dari desa setempat. Pada umumnya para pengrajin di lokasi penelitian mendapatkan bahan baku dari pohon aren milik pribadi, tetapi ada pula yng membelinya dari orang lain. Adapun mengenai cara para pengrajin memperoleh bahan baku dapat dilihat pada tabel 4.10.
61
Tabel 4.10 Cara Pengrajin Memperoleh Bahan Baku No
Cara Mendapatkan Bahan Baku
F
%
1
Milik pribadi
83
86,46
2
Membeli dari orang lain
13
13,54
3
Melalui cara lain
-
-
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Tabel di atas menunjukkan bahwa lebih dari setengahnya yaitu sebesar 86,46 % responden menjawab cara mendapatkan bahan baku melalui pohon aren pribadi yang mereka miliki. Sedangkan sisanya sebanyak 13,54 % menyatakan cara mereka mendapatkan bahan baku yaitu dengan membeli dari orang lain. Harga yang mereka bayarkan tidak dihitung per tahang tapi menggunakan sistem bagi hasil. Gula merah yang mereka hasilkan nantinya harus dibagi dua dengan pemilik nira. c.
Lahan Lahan dalam industri gula merah dapat diartikan sebagai tempat
tumbuhnya bahan baku. Lahan yang luas tidak menjadi jaminan bahwa kehidupan pengrajin gula merah akan semakin makmur, sebab keberadaan lahan yang luas tidak berarti meiliki pohon aren yang banyak pula mengingat pohon aren tersebut tidak ditanam secara sengaja oleh para pengrajin gula. Berdasarkan tabel 4.11 dapat diketahui bahwa lebih dari setengah responden (64,58%) memiliki areal aren antara 1000 – 3000 m. Sedangkan kurang dari setengahnya (35,42%) memiliki areal kurang dari 1000 m.
62
Tabel 4.11 Luas Areal Pohon Aren Yang Dimiliki Pengrajin No
Luas areal pohon aren
F
%
1
< 1000 m
34
35,42
2
1000 – 3000 m
62
64,58
3
3100 – 6000 m
-
-
4
>6000
-
-
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Jumlah pohon aren yang dimilki pengrajin gula merah cukup bervariasi mulai dari 1 pohon hingga lebih dari 20 pohon. Jumlah pohon yang dimiliki tidak tergantung pada luas lahan yang dimiliki karena pohon aren tersebut tumbuh secara alami bukan karena hasil budidaya masyarakat setempat. Adapun mengenai jumlah pohon aren yang dimiliki pengrajin gula merah dapat dilihat pada tabel 4.12 dan gambar 4.3 Tabel 4.12 Jumlah Pohon Aren Yang Dimiliki Pengrajin No
Jumlah Pohon Aren
F
%
1
1-5
27
28,12
2
6-10
33
34,37
3
11-15
6
6,25
4
16-20
21
21,87
5
>20
9
9,37
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
63
Gambar 4.3 Grafik Jumlah Pohon Aren yang Dimiliki Pengrajin Gula Merah
Jumlah Pohon Aren 9,37% 21,87%
28,12%
1-5 pohon 6-10 pohon
34,37% 6,25%
11-15 pohon 16-20 pohon
>20 pohon
Sumber : Hasil Penelitian 2011 Berdasarkan keterangan pada tabel 4.12 dan gambar 4.3 kurang dari setengahnya (34,37%) menyatakan bahwa pohon aren yang dimiliki berjumlah antara 6-10 pohon dan kurang dari setengah lainnya menyatakan 15 pohon aren (28,12%). Sedangkan sebagian kecil sisanya menyatakan 16-20 pohon (21,87%), lebih dari 20 pohon (9,37%) dan 11-15 pohon aren (6,25%). Keadaan pohon aren yang semakin berkurang saat ini disebabkan karena tidak adanya proses peremajaan pohon aren. d. Produksi Industri merupakan proses yang mengubah bahan baku atau barang setengah jadi menjadi barang yang siap pakai dengan tujuan barang tersebut memiliki nilai jual atau nilai guna yang lebih tinggi. Dalam suatu proses produksi sudah tentu harus ada bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan barang yang sesuai dengan jenis industri tersebut.
64
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan gula merah di Kecamatan Bojong yaitu air nira dari pohon aren. Banyaknya air nira yang diambil setiap harinya dapat dilihat pada tabel 4.13 Tabel 4.13 Jumlah Bahan Baku Yang Diperoleh Setiap Hari No
Jumlah Nira (tahang)
F
%
1
1-2
51
53,13
2
3-4
32
30,33
3
5-6
10
10,42
4
>6
4
6,12
96
100
Jumlah
Sumber : Hasil Penelitian 2011 Berdasarkan tabel 4.13 dapat dilihat bahwa lebih dari setengah responden (53,13%) menyatakan bahwa nira yang dipeoleh setiap harinya berjumlah 1-2 tahang, kurang dari setengahnya (30,33%) menjawab 3-4 tahang, sebagian kecil (10,42%) sebanyak 5-6 tahang dan sebagian kecil lainnya (6,12%) menjawab hingga lebih dari 6 tahang. Tahang yang digunakan memiliki panjang 1 meter. Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan baku yang dihasilkan setiap harinya relatif sedikit. Hal ini disebabkan karena keterbatasan pohon aren yang dimilki juga keadaan pohon aren yang tidak selalu mengasilkan nira setiap harinya. Maskipun nira yang dihasilkan relatif sedikit tapi produksi gula merah tetap berjalan setiap harinya.
65
Adapun pernyataan responden mengenai jumlah hasil produksi
setiap
harinya dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4.14 Jumlah Gula Merah Yang Diproduksi Setiap hari No
Jumlah Produksi (Kg)
F
%
1
<1
-
-
2
1-2
33
34,37
3
3-4
44
45,83
4
>4
19
19,80
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel 4.14 dapat dilihat bahwa kurang dari setengah responden (45,83%) menyatakan bahwa gula merah yang diproduksi setiap harinya mencapai 3-4 Kg dan sebayak 34,37% menjawab 1-2 Kg, sebagian kecil lainnya (19,80%) menjawab lebih dari 4 Kg. e.
Teknologi Dalam proses suatu industri teknologi mempunyai peranan yang
berarti. Teknologi dapat menjadi kunci keberhasilan bagi suatu industri yang sedang atau akan dikembangkan. Dalam hal pembuatan gula merah di Kecamatan Bojong, teknologi yang digunakan masih sangat sederhana. Alat yang digunakan pengrajin gula merah adalah peralatan dapur yang tentu sudah umum dimilki oleh setiap masyarakat seperti kuali, sendok pengaduk, pisau dan cetakan. Cetakan yang digunakan terbuat dari bambu yang dapat diperoleh dengan mudah tanpa perlu mengeluarkan biaya yang mahal.
66
Berdasarkan teknologi yang digunakan, dapat disimpulkan bahwa industri gula merah di Kecamatan Bojong dapat digolongkan ke dalam industri yang masih menggunakan tangan atau belum menggunakan mesin yang modern sehingga peran tenaga kerja sangat diperlukan dalam proses produksinya. f.
Modal Modal diperlukan untuk suatu usaha industri. Besar kecilnya modal
ditentukan oleh besar kecilnya industri itu sendiri. Untuk industri kecil seperti industri gula merah umumnya hanya memerlukan modal yang relatif kecil. Besarnya modal yang dikeluarkan pengrajin per harinya dapat dilihat pada tabel 4.15 dan gambar 4.4. Berdasarkan keterangan pada tabel 4.15 dan gambar 4.4 modal yang dikeluarkan per harinya yaitu sebagian besar (77,08%) Rp. 20.000 – Rp. 30.000, kurang dari setengahnya (14,59%) menyatakan lebih dari
Rp.
30.000. sedangkan sebagian kecil lainnya menyatakan kurang dari Rp. 10. 000 (1,04%) dan Rp. 10.000 – Rp. 19.000 (7,29%). Tabel 4.15 Modal Yang Digunakan Untuk Satu Kali Produksi (Satu Hari) No
Besar Modal
F
%
1
1
1,04
2
Rp. 10.000 – Rp. 19.000
7
7,29
3
Rp. 20.000 – Rp. 30.000
74
77,08
4
>Rp. 30.000
14
14,59
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
67
Gambar 4.4 Grafik Besarnya Modal yang Digunakan Untuk Satu Kali Produksi
Besar Modal 1,04%
< Rp. 10.000 7,29%
Rp. 10.000 - Rp. 19.000
14,59%
Rp. 20.000 - Rp. 30.000 77,08%
>Rp. 30.000
Sumber : Hasil Penelitian 2011 Berdasarkan hasil wawancara penggunaan modal yang relatif kecil ini tentunya berhubungan dengan industri gula merah yang dikategorikan sebagai industri kecil atau lebih tepatnya industri rumah tangga, dimana tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja karena ditangani oleh keluarga sendiri. Selain itu dalam proses produksi alat yang digunakan hanya kayu bakar yang dibeli oleh pengrajin seharga Rp 50.000 yang dapat digunakan selama beberapa hari tergantung banyaknya gula merah yang diproduksi. Perolehan modal yang digunakan untuk kegiatan industri gula merah seluruhnya (100%) didapat dari modal sendiri. Alasan penggunaan modal sendiri dinilai aman karena jika produksi gula menurun maka para pengrajin tidak terbebani utang, selain itu modal yang dikeluarkan per harinya masih dapat dijangkau oleh para pengrajin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.16 tentang asal modal yang diperoleh pengrajin gula merah.
68
Tabel 4.16 Sumber Modal Pengrajin Gula Merah No
Sumber Modal Pengrajin
F
%
96
100
1
Sendiri
2
Pinjaman
-
-
3
Patungan/modal bersama
-
-
Jumlah
96
100
Sumber : Hasil Penelitian 2011 g.
Aksesibiltas Aksesibilitas dalam penelitian ini berkaitan dengan sarana dan
prasaranna yang mendukung kelancaran produksi seperti kondisi jalan, jarak antara tempat produksi dan bahan baku. Kondisi sarana jalan dalam mendukung kelancaran produksi baik dalam pengangkutan bahan mentah atau hasil produksi gula merah akan berpengaruh terhadap lancar tidaknya arus barang tersebut. Tabel 4.17 menjelaskan kondisi sarana jalan dalam mendukung kelancaran produksi gula merah di Kecamatan Bojong. Tabel 4.17 menjelaskan tentang kondisi jalan yang seluruh responden (100%) meyatakan kondisi jalan mudah dilalui/tidak rusak. Kondisi jalan saat ini sudah terlihat baik akibat adanya perhatian dari pemerintah setempat. Meskipun Kecamatan Bojong terletak cukup jauh dari Ibu Kota Kabupaten tapi pembangunan sarana dan prasarana sudah dapat dikatakan baik. Hal ini tentunya akan mempermudah pengrajin dalam membawa bahan baku ke tempat produksi dan memperlancar arus pemasaran produk tersebut.
69
Tabel 4.17 Kondisi Sarana Jalan Dalam Mendukung Produksi Gula Merah No
Kondisi Jalan
F
%
-
-
1
Sulit dilalui/rusak
2
Mudah dilalui/tidak rusak
96
100
Jumlah
96
100
Sumber : Hasil Penelitian 2011 h. Tenaga Kerja Selain faktor lokasi, bahan baku, modal dan aksesibilitas suatu industri juga harus ditunjang oleh tenaga kerja yang memadai. Industri gula merah yang ada di Kecamatan Bojong termasuk dalam industri rumah tangga dimana tenaga kerjanya merupakan kerabat atau keluarganya sendiri. Lebih dari setengah pengrajin menyatakan jumlah tenaga kerja dalam satu keluarga mencakup suami dan istri yang dinyatakan sebanyak 75%. Sedangkan yang menyatakan hanya suami saja yang menjadi pengrajin sebanyak 25%. Kegiatan industri akan berjalan lancar bila tenaga kerja yang tersedia ditunjang oleh keterampilan yang memadai sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan. Sumber keterampilan yang diperoleh oleh para pengrajin diperoleh dengan berbagai cara. Dari hasil wawancara diperoleh data yang ditampilkan pada tabel 4.18.
70
Tabel 4.18 Sumber Keterampilan Tenaga Kerja No
Sumber Keterampilan Tenaga Kerja
F
%
1
Belajar sendiri
9
9,37
2
Belajar dari orang tua
84
87,5
3
Bertanya kepada orang lain
3
3,13
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa lebih dari setengah pengrajin (87,5%) menjawab bahwa keterampilan yang mereka miliki dalam membuat gula merah berasal dari orang tua, karena pekerjaan sebagai pengrajin gula merah ini dilakukan secara turun temurun. Sebanyak (9,37%) menjawab belajar sendiri dan (3,13%) bertanya kepada orang lain, para pengrajin menjelaskan alasan mereka mencoba belajar sendiri dan bertanya kepada orang lain adalah untuk memenfaatkan bahan baku yang mereka miliki sehingga bisa menambah penghasilan. i.
Pemasaran Abdurachmat (1997: 42) mengemukakan bahwa “dalam konsep
perkembangan ekonomi khususnya industri lebih baik ditekankan pada pasaran karena usaha industri peda hakekatnya usaha untuk mencari keuntungan dan ini akan diperoleh hanya jika ada pasaran”. Potensi pasaran sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya belinya (buy power). Daya beli berkaitan pula dengan besarnya ongkos hidup dan pada umumnya makin tinggi.
71
Pemasaran merupakan tahap akhir dari suatu kegiatan industri karena tujuan dari industri tersebut adalah untuk menghasilkan barang tertentu dan untuk dipasarkan kepada konsumen guna mendapat laba atau keuntungan dari hasil penjualan tersebut. Adapun cara pemasaran yang dipilih pengrajin dalam menyalurkan hasil produksinya dapat dilihat pada tabel 4.19. Tabel 4.19 Cara Pemasaran Gula Merah No
Cara Pemasaran
F
%
1
Langsung ke konsumen
46
47,93
2
Melalui perantara
40
41,65
3
Keduanya
10
10,42
96
100
Jumlah
Sumber : Hasil Penelitian 2011 Berdasarkan tabel 4.19 dapat dilihat kurang dari setengah responden (47,93%) memasarkan hasil produksinya langsung ke konsumen, hal ini disebabkan karena pengrajin gula merah umumnya sudah memiliki konsumen tetap. Kurang dari setengahnya (41,65%) memasarkan melalui perantara karena dinilai lebih efektif dan cepat dalam memperoleh pembayaran dan sebagian kecil lainnya memasarkan produknya melalui kedua cara tersebut. Untuk tujuan tempat pemasaran lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4.20. Tabel 4.20 menjelaskan bahwa hasil produksi industri gula merah di Kecamatan Bojong tidak hanya dipasarkan di dalam wilayah desa tempat produksi saja, namun juga dipasarkan ke Kecamatan lain selain Kecamatan Bojong.
72
Lebih dari setengah responden (58,33%) menyatakan memasarkan produknya di desa tetangga dalam satu Kecamatan Bojong dan kurang dari setengahnya (41,67%) memasarkan produknya ke desa lain di luar Kecamatan Bojong. Lebih jelas mengenai jangkauan pemasaran gula merah di Kecamatan Bojong dapat dilihat pada gambar 4.5. Tabel 4.20 Tempat Pemasaran Gula Merah No
Tempat pemasaran
F
%
1
Desa tetangga dalam satu Kecamatan
56
58,33
2
Desa lain di luar Kecamatan
40
41,67
3
Kabupaten lain dalam satu Provinsi
-
-
96
100
Jumlah
Sumber : Hasil Penelitian 2011 j.
Peran Pemerintah Peran
pemerintah
dalam
membantu
pengrajin
gula
merah
mengembangkan produknya dirasakan kurang maksimal oleh para pengrajin terutama dalam mengatasi kendala yang dihadapi dalam industri gula merah. Lebih dari setengah responden (68,75%) menyatakan bahwa bantuan yang diberikan pemerintah dirasakan tidak optimal, kurang dari setengahnya (31,25%) menyatakan bahwa bantuan pemerintah cukup dirasakan seperti adanya penyuluhan dan pembinaan dalam mengembangkan industri gula merah. Untuk lebih jelas mengenai pernyataan responden terhadap peran pemerintah dapat dilihat pada tabel 4.21
73
74
Tabel 4.21 Bantuan Pemerintah Dalam Mengatasi Kendala Produksi Gula Merah No
Bantuan dari Pemerintah
F
%
1
Ada
30
31,25
2
Tidak
66
68,75
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011 4.
Kondisi Sosial Ekonomi Pengrajin Gula Merah a.
Identitas pengrajin gula merah Pada umumnya pengrajin gula merah yang menjadi responden dalam
penelitian ini seluruhnya berasal dari daerah tersebut. Apabila dilihat dari usianya para responden yang ada di kecamatan Bojong sebagian besar termasuk ke dalam usia produktif yaitu 96,88% dan pengrajin yang termasuk usia non produktif sebesar 3,12 % yaitu mereka berusia di atas 65 tahun. Lebih jelas mengenai usia responden yang berprofesi menjadi pengrajin dula merah dapat dilihat dari tabel 4.22. Berdasarkan tabel 4.22 diketahui bahwa sebagian besar petani aren ini sudah berusia cukup tua. Hal ini disebabkan oleh kuatnya tradisi dalam proses penyadapan aren yang sifatnya turun temurun, sehingga tidak semua orang dapat melakukan pekerjaan sebagai petani aren karena diperlukan pengetahuan dan pengalaman yang matang.
75
Tabel 4.22 Komposisi Pengrajin Gula Merah Berdasarkan Usia No
Usia (tahun)
F
%
1
30 – 34
5
5,21
2
35 – 39
8
8,33
3
40 – 44
15
16,63
4
45 – 49
12
12,5
5
50 – 54
24
25
6
55 – 59
16
16,66
7
60 – 64
13
13,54
8
65 +
3
3,12
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011 b. Tanggungan keluarga pengrajin
Keluarga yang lengkap adalah keluarga yang terdiri atas ibu, bapak dan anak-anaknya. Jumlah tanggungan dalam keluarga tentunya akan mempengaruhi perhitungan pendapatan perkapita, semakin banyak anggota keluarga yang menjadi tanggungan maka akan mempengaruhi pembagian pendapatan yaitu cenderung kecil dan hidup serba kekurangan, sedangkan semakin
sedikit
jumlah
tanggungan
keluarga
maka
pembagian
pendapatannyapun semakin besar, sehingga beban yang harus ditanggung tidak begitu berat. Adapun jumlah anggota responden ditampilkan pada tabel 4.23. Mata pencarahian tambahan sebagai pengrajin gula merah dinilai cukup membantu oleh masyarakat setempat terutama yang memiliki tanggungan keluarga yang banyak
76
Tabel 4.23 Jumlah Anggota Keluarga Pengrajin No
Jumlah Anggota Keluarga
F
%
1
<3 orang
20
20,83
2
3–4
45
46,87
3
5–6
28
29,16
4
<6
3
3,12
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011 c. Mata Pencaharian
Mata pencaharian merupakan sumber yang paling utama untuk proses pencukupan kebutuhan keluarga karena dengan adanya mata pencaharian manusia akan memperoleh pendapatan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi sebagian besar responden menjadi pengrajin gula merah adalah sebagai pekerjaan tambahan walaupun ada yang menekuninya sebagai pekerjaan pokok. Berdasarkan hasil wawancara lebih dari setengah responden (88,55%) menyatakan bahwa menjadi pengrajin gula merah merupakan pekerjaan tambahan, sedangkan sisanya (11,45%) menyatakan sebagai pekerjaan pokok. Adapun tabel pernyataan responden mengenai pekerjaan selain menjadi pengrajin gula merah ditunjukan dengan tabel 4.22. Tabel 4.22 mnjelaskan bahwa lebih dari setengah responden (76,04%) bermata pancaharian sebagai petani, kurang dari setengahnya (12,5%) sebagai pedagang, sedangkan sisanya (11,46%) menjawab tidak memilki mata pencaharian lain karena pekerjaannya sebagai pengrajin gula merah merupakan pekerjaan pokok.
77
Tabel 4.24 Mata Pencaharian Selain Pengrajin Gula Merah No
Mata Pencaharian lain
F
%
1
Petani
73
76,04
2
Pedagang
12
12,5
3
PNS
-
4
Karyawan/Wiraswasta
-
5
Tidak memiliki pekerjaan lain Jumlah
11
11,46
96
100
Sumber : Hasil Penelitian 2011 Alasan dari pengrajin yang tidak memilki mata pencaharian lain adalah karena tanggungan keluarganya saat ini tidak banyak lagi, sebagian besar anak dari pengrajin sudah memilki keluarga sendiri sehingga penghasilan yang diterima dinilai cukup. Pengrajin yang menyatakan memilki pekerjaan lain selain membuat gula merah mengungkapkan bahwa hasil dari membuat gula tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup karena sebagian besar dari pengrajin sudah berkeluarga dan mereka harus menanggung kebutuhan hidup baik bagi dirinya sendiri maupun keluarga. d. Pendapatan pengrajin Mata pencaharian akan menentukan tingkat pendapatan masyarakat itu sendiri, dan tingkat pendapatan yang dihasilkan akan berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi dan berpengaruh juga terhadap taraf hidup serta kesejahteraan keluarga yang ditanggung.
78
Tabel 4.25 Tingkat Pendapatan Pengrajin Gula Merah Kecamatan Bojong (Per bulan) No
Tingkat Pendapatan
F
%
1
< Rp. 499.000
20
20,83
2
Rp. 500.000 – Rp. 999.000
51
53, 13
3
Rp. 1.000.000 – Rp. 2.000.000
25
26,04
4
>Rp. 2.000.000
-
-
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Dari data di atas dapat diketahui bahwa tingkat pendapatan yang diperoleh responden dari mata pencaharian lain selain membuat gula merah lebih dari setengahnya (53,13 %) menyatakan Rp. 500.000 – Rp. 1.000.0000 dan selebihnya menyatakan pendapatan yang dihasilkan adalah sebesar
79
Tabel 4.26 Pendapatan Sebagai Pengrajin Gula Merah (Per Bulan) No
Tingkat Pendapatan
F
%
1
< Rp. 500.000
1
1,04
2
Rp. 500.000 – Rp. 999.000
55
57, 29
3
Rp. 1.000.000 – Rp. 1.499.000
26
27,08
4
Rp. 1.500.000 – Rp. 1.999.000
10
10,42
5
>Rp. 2.000.000
4
4,16
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Gambar 4.6 Grafik Pendapatan yang Diperoleh Sebagai Pengrajin Gula Merah (Per Bulan) Tingkat Pendapatan < Rp 500.000
Rp. 500.000 - Rp. 999.000
Rp. 1.000.000 - Rp. 1.499.000
Rp. 1.500.000 - Rp. 1.999.000
> Rp. 2.000.000 10,42%
4,16% 1,04%
27%
57%
Sumber : Hasil Penelitian 2011 Berdasarkan data pada tabel 4.26 dan gambar 4.6 lebih dari setengah responden (57,29%) menyatakan bahwa pendapatan yang dihasilkan dari usaha membuat gula mencapai Rp. 500.000 – Rp. 999.000 per bulannya. Kurang dari setengahnya (27,08%) menyatakan Rp 1.000.000 – Rp 1.499.000, sedangkan sebagian kecil lainnya menyatakan kurang dari Rp.
80
500.000 (1,04%), Rp. 1.500.000 – Rp. 1.999.000 (10,42%) bahkan ada yang mencapai lebih dari Rp. 2.000.000 (4,16%). Biaya yang dikeluarkan pengrajin setiap bulannya bervariasi, biaya tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhab sehari-hari, biaya pendidikan anak, kesehatan dan lainlain. Dibawah ini merupakan tingkat pengeluaran pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tabel 4.27 Tingkat Pengeluaran Pengrajin Gula Merah Kecamatan Bojong (Per bulan) No
Besarnya Pengeluaran
F
%
1
23
23,96
2
Rp. 500.00 – Rp 999.000
60
62,5
3
Rp. 1.000.000 – Rp. 2.000.000
13
13,54
4
>Rp. 2.000.000
-
-
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel di atas lebih dari setengah responden (62,5%) menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan per bulannya yaitu Rp. 500.000 – Rp 1.000.000. kurang dari setengahnya (23,96%) menjawab biaya yang dikeluarkan kurang dari Rp. 500.000 per bulannya dan sisanya 13,54% menjawab Rp. 1.100.000 – Rp. 2.000.000. e. Pendidikan Pendidikan pada hakekatnya adalah membentuk sumber daya manusia menjadi lebih maju dan pendidikan merupakan suatu pendorong untuk lebih dapat meningkatkan sumber daya manusia.
81
Tingkat pendidikan responden cukup beragam, yaitu mulai dari tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP hingga tamatan SMA. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.28. Berdasarkan tabel 4.26 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan responden sebagian besar (70.83%) lulusan SMA, kurang dari setengahnya (20,82%) lulusan SMP dan sebagian kecil lainnya (2,10%) lulusan SMU dan tidak tamat SD (6,25%). Tabel 4.28 Tingkat Pendidikan Pengrajin No
Tingkat Pendidikan
F
%
1
Tidak tamat SD
6
6,25
2
Tamat SD
68
70,83
3
Tamat SMP
20
20,82
4
Tamat SMA
2
2,10
5
Perguruan Tinggi
-
-
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Sebagian besar responden berpendapat bahwa pendidikan masih dianggap terlalu mahal sehingga responden tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Pernyataan responden mengenai tingkat pendidikan yang sedang ditempuh oleh anak-anak responden dapat dilihat pada tabel 4.29.
82
Tabel 4.29 Tingkat Pendidikan Anak Pengrajin No
Tingkat Pendidikan
F
%
1
Tidak tamat SD
-
-
2
Tamat SD
-
-
3
Tamat SMP
32
33,33
4
Tamat SMA
60
62,50
5
Perguruan Tinggi
4
4,17
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Gambar 4.7 Grafik Tingkat Pendidikan Pengrajin Gula Merah dan Anaknya
Tingkat Pendidikan 80 60 40 20 0 Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP Tamat SMA Perguruan Tinggi
Pendidikan Pengrajin
Pendidikan Anak Pengrajin
Sumber : Hasil Penelitian 2011 Meskipun pendidikan yang diperoleh sebagian besar responden tidak tinggi mereka memilki harapan dan keinginan yang tinggi dalam menyekolahkan anaknya. Berdasarkan tabel 4.29 dan gambar 4.7 dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan yang ditempuh oleh anak-anak responden lebih dari setengahnya (62,50%) telah menyelesaikan sekolah di jenjang SMA, kurang dari setengahnya (33,33%) telah menyelesaikan sekolah
83
di jenjang SMP dan sebagian kecil dari anak responden (4,17%) menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Berdasarkan kondisi tersebut dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan anak-anak telah mengalami peningkatan dari pendidikan orang tuanya. Seluruh anak responden menamatkan pendidikannya pada tingkat SD kemudian melanjutkan ke SMP, sebagian besar dari anak responden melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu SMA bahkan terdapat 4 responden yang menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. f. Fasilitas Rumah Rumah merupakan sarana yang digunakan manusia untuk melindungi dirinya dari gangguan-gangguan lingkungan, oleh karena itu setiap manusia akan berusaha untuk mendapatkan tempat tinggal agar dapat bertahan hidup. Adapun status kepemilikan rumah yang ditempati pengrajin dapat dilihat pada tabel 4.30. Tabel 4.30 Status Rumah Pengrajin No
Status rumah
F
%
-
-
1
Sewa/kontrak
2
Milik orang tua
22
22,92
3
Milik pribadi
74
77,08
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel 4.30, dapat dijeleskan bahwa lebih deri setengah responden (77,08%) menyatakan rumah yang ditempatinya saai ini merupakan milik pribadi sedangkan kurang dari setengahnya (22,92%)
84
menempati rumah milik orang tuanya baik itu hasil peninggalan maupun masi menumpang. Keadaan status kepemilikan rumah pengrajin tersebut dapat meringankan biaya yang harus dikeluarkan karena mereka tidak nenyewanya dari orang lain. Jenis rumah di daerah penelitian dibedakan menjadi tiga kategori yaitu rumah nonpermanen, semi permanen dan permanen. Perbedaan yang mendasari ketiganya adalah dalam hal dinding dan lantai. Rumah nonpermanen berlantaikan semen/tanah/papan dengan dinding bilik/papan. Rumah semi permanen memilki lantai dari semen/tehel dengan dinding setengah tembok sedangkan rumah permanen memilki lantai porselen/tehel dengan dinding yang terbuat dari tembok. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data mengenai jenis rumah yang ditempati responden, sebagaimana tabel 4.29 berikut : Tabel 4.31 Kondisi Bangunan Rumah Pengrajin No
Jenis Rumah
F
%
1
Nonpermanen
20
20,83
2
Semi permanen
12
12,50
3
Permanen
64
56,67
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel 4.31, diketahui bahwa kondisi bangunan rumah pengrajin lebih dari setengahnya (56,67%) ialah permanen,
85
kurang dari setengah responden (20,83%) memiliki kondisi bangunan rumah yang nonpermanen dan sebagian kecil lainnya (12,50%) menyatakan semi permanen. Luas rumah yang dimiliki pengrajin gula merah bervariasi yaitu dari kurang 100 m2 hingga 400-500 m2. Pengrajin dalam membangun rumahnya menyesuaikan dengan keadaan luas lahan yang dimilikinya. Sebagian besar rumah pengrajin tidak memilki halaman yang luas. Adapaun luas bangunan yang dimiliki responden dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.32 Luas Bangunan Rumah Pengrajin No 1
Luas >100 m2 2
F
%
50
52,08
44
45,83
2
100 - 299 m
3
300 – 500 m2
2
2,09
4
>500 m2
-
-
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Berdasarkan tabel 4.32, dapat dilihat bahwa luas rumah yang dimiliki pengrajin gula merah lebih dari setengahnya (52,08%) berukuran kurang dari 100 m2, kurang dari setengahnya (45,83%) berukuran antara 100 – 299 m2 dan sebagian kecil (2,09%) menyatakan luas bangunan rumah yang dimiliki berukuran antara 300 – 500 m2.
86
g. Kesehatan Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan manusia yang paling penting. Adapun sarana kesehatan yang sering dimanfaatkan oleh para pengrajin dapat dilihat pada tabel 4.33. Tabel 4.33 Sarana Kesehatan Yang Dimanfaatkan Pengrajin No
Sarana Kesehatan
F
%
1
Puskesmas
52
54,17
2
Poliklinik
17
17,71
3
Dokter praktek
-
-
4
Mantri kesehatan
27
28,12
96
100
Jumlah Sumber : Hasil Penelitian 2011
Tabel 4.33 menunjukkan bahwa lebih dari setengah pengrajin gula merah di Kecamatan Bojong (54,17%) memilih puskesmas sebagai sarana mereka berobat, hal ini disebabkan karena biaya kesehatan yang dikeluarkan relatif lebih murah. Kurang dari setengahnya memilih mantri kesehatan sebagai sarana berobat (28,12%) dan sebagian kecil lainnya (17,71%) memilih poliklinik. Selain tujuan berobat, asupan gizi dalam makanan yang dikonsumsi setiap harinya juga penting bagi kesehatan. Berdasarkan hasil wawancara dengan para pengrajin asupan gizi dalam makanan yang setiap hari dihidangkan pada saat ini sudah lebih baik. Untuk lebih jelasnya mengenai pernyataan pengrajin tersebut dapat dilihat pada tabel 4.34.
87
Tabel 4.34 Asupan Gizi Yang Dikonsumsi Setelah Menjadi Pengrajin Gula Merah No
Asupan gizi yang dihidangkan
F
%
1
Lebih baik
71
73,95
2
Sama saja
25
26,05
3
Lebih buruk Jumlah
96
100
Sumber : Hasil Penelitian 2011 Tabel 4.34 menjelaskan bahwa lebih dari setengah responden (73,95%) menyatakan asupan gizi yang dikonsumsi setelah menjadi pengrajin gula merah dirasakan lebih baik dari sebelumnya. Pendapatan tambahan yang diperoleh setiap harinya dari gula merah cukup membantu dalam membli bahan konsumsi yang lebih beragam. Sedangkan kurang dari setengahnya (26,05%) menyatakan perubahan asupan gizi yang dirasakan tidak terlalu berarti sehingga dinilai sama saja dengan sebelum menjadi pengrajin gula merah. 5.
Analisis hubungan eksistensi industri gula merah dengan kondisi sosial ekonomi pengrajin gula merah a.
Penilaian hubungan jumlah pohon aren yang dimiliki dengan pendapatan pengrajin gula merah (Koefisien korelasi Pearson) Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan analisis
korelasi Pearson (r) diperoleh hasil sebesar 0,71 yang memiliki arti bahwa hubungan antara jumlah pohon dengan pendapatan adalah tinggi atau kuat.
88
Seorang pengrajin gula merah yang memilki banyak pohon aren memiliki kesempatan menghasilkan gula merah yang lebih besar jumlahnya karena bahan baku yang dimiliki lebih banyak dibandingkan dengan pengrajin yang memiliki sedikit pohon aren. Semakin banyak gula merah yang diproduksi semakin tinggi pula pendapatan yang diperoleh, begitupun sebaliknya pengrajin gula merah yang memilki sedikit pohon aren mempunyai kemungkinan menghasilkan pendapatan yang kecil akibat dari terbatasnya bahan baku yang dimiliki. b. Penilaian hubungan pengalaman bekerja dengan pendapatan yang diperoleh pengrajin gula merah (Koefisien korelasi Pearson) Berdasarkan hasil perhitungan dengan mengunakan analisis korelasi Pearson (r) diperoleh hasil sebesar 0,31 yang artinya hubungan antara pengalaman dan pendapatan rendah atau lemah tapi pasti. Pengalaman cukup yang dimiliki pengrajin pada dasarnya akan mempengaruhi hasil produksi yang mendatangkan pendapatan. Dengan pengalaman yang cukup atau bahkan lebih para pengrajin dapat mengetahui cara yang lebih efisien dalam proses produksi, dengan pengalaman bekerja pula mereka dapat mengetahui hal-hal apa yang akan menghambat produksi sehingga dapat menghindarinya sekecil mungkin hingga pendapatan yang mereka peroleh bisa lebih besar, akan tetapi keterampilan dan teknologi yang memadai juga memegang peranan penting pada proses produksi gula merah.
89
c. Penilaian hubungan jumlah pohon aren yang dimiliki dengan pendidikan anak (Koefisien korelasi Jaspen’s) Penilaian hubungan jumlah pohon aren yang dimiliki dengan pendidikan anak menggunakan analisis koefisien korelasi Jaspen’s yang menghasilkan nilai 0,56. Nilai tersebut memiliki kekuatan cukup berarti atau sedang. Jumlah pohon aren yang dimiliki akan mempengaruhi jumlah produksi, jika produksi rendah maka tingkat pendapatan juga akan rendah begitu pula sebaliknya. Pendapatan yang diperoleh akan mempengaruhi kemampuan pengrajin dalam menyekolahkan anaknya. Sebagian besar anak pengrajin gula merah di Kecamatan Bojong mendapat pendidikan yang cukup, keseluruhan dari mereka telah menamatkan pendidikan pada jenjang Sekolah Dasar. d. Penilaian hubungan jumlah pohon aren yang dimiliki dengan tujuan berobat (Koefisien korelasi eta) Berdasarkan
hasil
perhitungan
dengan
menggunakan
analisis
koefisien korelasi eta diperoleh nilai 0,22 yang berarti memiliki kekuatan rendah atau lemah tapi pasti. Banyak atau sedikitnya jumlah pohon aren yang dimiliki oleh pengrajin gula merah tidak selalu berpengaruh kepada tujuan mereka berobat, karena meskipun pendapatan yang dihasilkan cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari atau dapat dikatakan lebih hal itu tidak terlalu berpengaruh pada tujuan mereka berobat. Sebagian besar pengrajin lebih memilih tempat berobat dengan jangkauan harga yang murah meskipun fasilitas kesehatan kurang memadai.
90
e.
Penilaian hubungan jumlah pohon aren yang dimiliki dengan kondisi rumah (Koefisien korelasi eta) Hasil analisis data dengan perhitungan koefisisen korelasi eta
menghasilkan nilai 0,47 yang memberikan arti memiliki kekuatan cukup berarti atau sedang. Banyak atau sedikitnya jumlah pohon aren yang dimiliki oleh pengrajin gula merah telah mempengaruhi pendapatan secara langsung maupun tidak langsung. Pendapatan tambahan yang diperoleh dari hasil menjual gula merah cukup membantu dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan pokok yang sebagian besar pengrajin berprofesi sebagai petani dapat digunakan untuk memperbaiki kondisi rumah yang pengrajin tempati saat ini. f.
Penilaian hubungan jumlah pohon aren yang dimiliki dengan luas rumah (Koefisien korelasi Pearson) Berdasarkan
hasil
perhitungan
dengan
menggunakan
analisis
koefisien korelasi Pearson diperoleh nilai sebesar 0,31. Nilai yang dihasilkan tersebut memiliki arti bahwa hubungan antara jumlah pohon dengan luas rumah adalah rendah atau lemah tapi pasti. Seorang pengrajin gula merah yang memilki banyak pohon aren memiliki kesempatan lebih banyak dalam menghasilkan pendapatan yang lebih pula, sehingga mereka dapat memperbaiki kondisi rumah tetabi belum tentu dapat memperluas rumah yang mereka tempati.
91
Pengrajin dalam membangun rumahnya menyesuaikan dengan keadaan luas lahan yang dimilikinya. Sebagian besar rumah pengrajin tidak memilki halaman yang luas sehingga para pengrajin lebih memilih memperbaiki atau memperindah kondisi rumahnya dibandingkan dengan memperluasnya akibat dari keterbatasan lahan yang dimilikinya. g.
Penilaian hubungan jumlah pohon aren yang dimiliki dengan kepemilikan kendaraan (Koefisien korelasi eta) Mengacu pada hasil analisis koefisien korelasi eta yang menghasilkan
nilai 0,49, maka hubungan antara jumlah pohon aren yang dimiliki dengan kepemilikan kendaraan memiliki arti kekuatan cukup berarti atau sedang. Banyak atau sedikitnya jumlah pohon aren cukup berpengaruh kepada kepemilikan kendaraan yang dimiliki. Semakin baik kendaraan yang pengrajin miliki semakin lancar pula produksi dan proses pemasaran yang dilakukan, sehingga dalam hal ini pengrajin gula merah tidak perlu menjual hasil produksi gulanya kepada tengkulak dikarenakan harga yang dibayarkan lebih rendah daripada langsung menjualnya kepada konsumen. Pendapatan yang dihasilkan pengrajin juga diperrgunakan untuk memperoleh kendaraan yang lebih baik dengan tujuan tersebut, dan pendapatan yang dihasilkan tergantung jumlahk pohon aren yang dimiliki.
92
h. Penilaian hubungan jumlah pohon aren yang dimiliki dengan kepemilikan elektronik (Koefisien korelasi eta) Berdasarkan
hasil
perhitungan
dengan
menggunakan
analisis
koefisien korelasi eta diperoleh hasil senilai 0,43 yang artinya memiliki kekuatan cukup berarti atau sedang. Senada dengan hubungan antara jumlah pohon yang dimilki dengan kepemilikan kendaraan, kepemilikian elektronik juga didasari oleh pendapatan yang diperoleh dari banyaknya pohon aren yang dimiliki akibat dari peubahan pendapatan yang para pengrajin gula merah peroleh. Kebutuhan akan barang elektronik saat ini sudah dinilai sangat penting, mengingat banyaknya informasi dan hiburan yang dapat diperoleh melalui media elekronik. Ketertarikan pengrajin atas kepemilikan barang elektronik terlihat cukup besar.
C. Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pengajaran Geografi Pendidikan dalam kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting. Pendidikan akan memberikan peluang yang lebih besar krena keahlian dan keterampilan yang diperoleh dari jenjang pendidikan sangat diperlukan di era sekarang ini. Pada hakeketnya pengajaran geografi menurut Sumaatmadja (1997: 12) adalah pengajaran tentang aspek-aspek keruangan permukaan bumi termasuk di dalamnya semua gejala alam/lingkungan dan umat manusia. Oleh karena itu semua aspek lingkungan dan kegiatan manusia merupakan sumber pengajaran geografi.
93
Dalam proses pembelajaran geografi di sekolah-sekolah baik di SMP maupun di SMA, pengajaran geografi selalu menyajikan kajian-kajian aktual berbagai aspek kegiatan. Salah satu aspek tersebut adalah kajian industri. Kajian ini dipelajari karena kegiatan perindustrian memiliki peranan penting bagi manusia dalam memajukan dan meningkatkan taraf kehidupan yang lebih baik. Berkaitan dengan pengajaran geografi hasil penelitian ini yaitu mengenai industri gula merah dapat dikategorikan sebagai aktifitas suatu gejala, yaitu antara aktifitas industri dengan manusia, karena dalam suatu industri membutuhkan tenaga manusia untuk menjalankan segala aktifitasnya. Sehingga dengan demikian penulis berharap hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembendaharaan materi pelajaran geografi pada jenjang sekolah lanjutan pertama yaitu jenjang SMP kelas VIII semester 2 dengan pokok bahasan pemanfaatan sumberdaya alam di Indonesia, sub pokok bahasan perindustrian dan pada jenjang sekolah lanjutan tingkat atas yaitu jenjang SMA kelas XII semester 1 dengan pokok bahasan menganalisis lokasi industri dan pertanian dengan pemanfaatan peta.