BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN BUNG HATTA TENTANG EKONOMI KERAKYATAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
A. Implementasi Pemikiran Ekonomi Kerakyatan Bung Hatta dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat Jalaludin Rahmat mengungkapkan, ada tiga hal yang berkenaan dengan proses perubahan sosial. Pertama, bagaimana idea mempengaruhi perubahan-perubahan sosial. Kedua, bagaimana tokoh-tokoh besar dalam sejarah menimbulkan perubahan besar di tengah-tengah masyarakat. Ketiga, sejauhmana peranan gerakan sruktur sosial dan norma-norma sosial.1 Bung Hatta kemudian mengutip ungkapan dari Charles Fourier, seorang sosialis Perancis “Neus Voucous batir un monde ou tout le monde soit heureux“. Untuk ini diperlukan kiranya suatu pembangunan yang digariskan tidak menurut ajaran ekonomika yang eksklusif, tertutup dalam pemikiran disiplinernya sendiri, hingga mengabaikan kaitan-kaitan yang dibutuhkan dengan konteks manusiawi serta sosial dan sementara mengintegrasikan faktor bumi dengan gamblang, tidak mengabstrakkannya sama sekali. Maka pembangunan ini seharusnya dirumuskan dan diterapkan in terms of social space.2
1
Jalaludin Rahmat, Rekayasa Sosial (Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar), Bandung : Rosda Karya, Cet. Ke-2, 2000, hlm. 103. 2
St. Sularto (eds), Op. Cit., hlm. 201.
68
Apabila menelaah karya-karya Bung Hatta, akan sering dijumpai bahkan sangat menonjol sekali bahwa salah satu pokok pemikiran ia adalah hubungan mendayung antara sosialisme dan religiusitas ekonomi. Harapan dan keinginan Bung Hatta agar ekonomi kerakyatan menjadi pondasi dasar dalam pembangunan perekonomian nasional rupanya bak panggang jauh dari api. Dasar pemikiran sosialismenya yang kentara dalam pledoinya dan kemudian dituangkan dalam pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi : 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.3 Dalam Marxisme, yang dikenal sebagai materialisme sejarah, ada anggapan bahwa yang mengubah sejarah, masyarakat, dan bangsa bukanlah ide atau gagasan, tetapi struktur ekonomi, teknologi, atau penggunaan alat-alat produksi.4 Dalam konteks ini, untuk menumbuhkan perekonomian yang kuat maka perekonomian rakyat harus kokoh dan merupakan bagian dari integraf dari perekonomian nasional. Dengan kata lain ekonomi nasional sebagai satu kesatuan akan kokoh apabila diwujudkan konsolidasi ekonomi antara yang 3
E. Fujiachirusanto, Loc. Cit.
4
Jalaludin Rahmat, Loc. Cit.
69
besar dan kecil, antara perkotaan dan pedesaan, dan antara sektor tradisional atau modern. Kalau penulis dapat artikan bahwa pembangunan ekonomi rakyat tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Maka ringkasnya adalah partisipasi rakyat meningkatkan emansipasi rakyat. Sebagaimana harapan dan pesan Bung Hatta, bahwa dasar-dasar semua dari pasal 33 UUD 1945 itu dapat dipegang terus bagi masa sekarang dan masa datang, dengan keinsyafan pada angkatan muda Indonesia bahwa masalah pembangunan ekonomi Indonesia masih merupakan kelanjutan perjuangan kemerdekaan Indonesia, yaitu perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, yang masih saja melekat pada masyarakat bangsa Indonesia. Juga perjuangan untuk menanamkan terus cita-cita kedaulatan rakyat, atau kerakyatan dan demokrasi dalam hati nurani rakyat.5 Demikian gagasan dan keyakinan Bung Hatta lebih dari sekian tahun yang lalu dan yang kini masih hidup tetapi hidup menyala-nyala dalam jiwanya. Apalagi gagasan-gagasan tersebut sudah tercantum dalam UUD 1945. Menyangkut kata pemberdayaan (Empowerment) secara praktis sangat sering mudah diucapkan oleh setiap orang khususnya para penguasa tanpa
5
Ruslan Abdulgani, “Pembahasan Mengenai Naskah Kerja / Ceramah Dr. Mohammad Hatta”, dalam Soerowo Abdoel Manap (ed), Op. Cit, hlm. 341.
70
keharusan pemahaman pengertiannya dan apa implikasinya dalam sikap dan tindakan nyata dalam pembangunan ekonomi rakyat. Ginanjar Kartasasmita memberi pengertian tentang pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya (masyarakat) dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.6 Dalam sistem ekonomi yang demikian bebas, dimana persaingan sangat kompetitif, ekonomi rakyat sulit diharapkan untuk keluar sebagai pemenang dalam persaingan tersebut, kecuali jika ekonomi kerakyatan yang dimiliki Indonesia mempunyai daya kreasi, inovasi, tingkat produktivitas tinggi, dan kemampuan membaca peluang yang lebih baik. Ini adalah diantara ciri dari ekonomi rakyat yang berbasiskan pada keunggulan kompetitif. Jika hipologi usaha kecil atau ekonomi kerakyatan sudah demikian, maka sangat mungkin bersaing dalam pasar bebas.7 Menciptakan sebuah sistem bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, termasuk sistem-sistem yang selama ini ada dan dikenal banyak. Melihat realitas ini, disisi lain sampai saat ini belum muncul secara signifikan ada konsep yang jelas bagaimana sistem ekonomi kerakyatan itu dapat diterapkan, dilaksanakan sebagaimana yang sesuai dengan amanah pasal 33 UUD 1945.8
6
Mubyarto, Op. Cit., hlm. 263.
7
Adi Sasono, “Perspektif Ekonomi Kerakyatan dalam Menghadapi Era Pasar Bebas”, dalam Adi Sasono (et,al’s) Solusi Islam atas Problematika Ummat, Jakarta : Gema lusam Press, 1998, hlm. 19. 8
Zulkarnain, Op. Cit., hlm. 15.
71
Namun, secara konseptual sistem-sistem yang ada dan dikenal selama ini perlu harus disederhanakan dalam bentuk pola-pola yang dikombinasikan agar mendapatkan sebuah model yang representatif sehingga dapat menjadi pedoman dalam melaksanakannya.9 Hemat penulis, dari berbagai kelemahan ekonomi rakyat selama ini sebenarnya dapat membuat berbagai acuan sederhana yang dapat dijadikan pedoman untuk dihindari dalam pelaksanaannya. Untuk itu pemahaman mengenai makna ekonomi rakyat, perlu ada upaya pengembangan ekonomi rakyat, yang mana dapat dilihat dari tiga sisi yakni : Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Kedua, memperkuat potensi ekonomi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu. Dalam rangka memperkuat potensi ekonomi rakyat ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan , dan derajat kesehatan, serta terbukanya kesempatan untuk memanfaatkan peluang-peluang ekonomi. Ketiga, mengembangkan ekonomi rakyat yang mengandung pula arti melindungi untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta mencegah eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Upaya melindungi tersebut tetap dalam rangka proses pemberdayaan dan bukan melemahkan daya kembang dan prakarsanya.10
9
Ibid.
10
Dipo Alam, “Keterpaduan Perencanaan dan Pelaksanaan Program Pembangunan dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan“, dalam SINTESIS (Jurnal Dua Bulanan CIDES), Op. Cit., hlm.17.
72
Menurut Lemhanas ada delapan faktor yang mempengaruhi sistem ekonomi suatu bangsa, yakni :11 a. Falsafah dan Idiologinya, termasuk cara berteori rakyatnya pada masa lalu dan sekarang untuk mewujudkan cita-cita serta tujuan nasionalnya. b. Akumulasi Ilmu Pengetahuan yang dimilikinya. c. Nilai-nilai moral dan adat kebiasaannya. d. Karakteristik demografinya. e. Nilai estetik, norma-norma serta kebudayaannya. f. Sistem hukum nasionalnya g. Sistem politiknya, dan h. Sub-sub sistem sosial termasuk pengalaman sejarah pada masa lalu serta eksperimen dalam mewujudkan tujuan ekonominya. Konsekuensi dari pandangan itu dalam konteks pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemberdayaan ekonomi, acapkali memunculkan suatu fenomena dimana kelompok lemah atau masyarakat bawah pada umumnya (yang tidak memiliki asset dan akses apapun dalam gerak pembangunan), sering dijadikan sebagai kelompok tertindas dalam dan untuk pembangunan ekonomi itu sendiri. Suatu kenyataan, kapitalisme sebagaimana di difinisikan oleh Louis Blanc, adalah gejala ; “Pencaplokan modal oleh sekelompok orang, dengan menyisihkan yang lain“. Sementara Karl Marx, merumuskan pengertian kapitalisme sebagai ; “Rezim ekonomi dan sosial, dalam mana kapital, 11
Bachrawi Sanusi, Sistem Ekonomi (Suatu Pengantar), Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2000, hlm.11.
73
sebagai sumber pendapatan, pada umumnya bukan dimiliki oleh mereka (kaum buruh/proletar) yang menjadikannya berfungsi, melalui kerja jasmaninya”. Dari dua pengertian ini, kapitalisme menyimpan dua unsur pokok yaitu ; Pemusatan modal , dan Eksploitasi.12 Persoalan tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru karena kapitalisme muncul sejak abad 18 lalu dimana unsur-unsur yang membantu pertumbuhan kapitalisme antara lain karena adanya Revolusi Perancis dan asas-asas pikiran Adam Smith yang dianggap sebagai Bapak Ilmu Ekonomi dengan dikenal sebagai pemimpin serta tokoh madzhab klasik.13 Slogan Adam Smith, diilhami dari asas pikiran pokok pikiran kaum Fisiokrat
14
yakni
Laissez Faire, Laissez Passer. Pemberdayaan ekonomi rakyat, yang sebagian besar terdiri dari usaha kecil dan menengah, industri kecil dan industri rumah tangga (pengrajin), koperasi, petani, nelayan, penambang, serta usaha informal dan tradisional memang perlu mendapat prioritas, sebagai perwujudan azas kebersamaan dan azas kekeluargaan ; perekonomian rakyat mempunyai kontribusi yang besar dalam perekonomian Indonesia, seperti ; dalam hal penyediaan lapangan kerja
12
Agus Purwadi, “Problem Nilai dan Motivasi dalam Modernisasi Pembangunan Ekonomi“, dalam AFKAR (Jurnal Tiga Bulanan CIDES), dalam Liberasisasi, Pekerja dan Demokratisasi, Vol. I, No. 2, April-Juni, 1996, hlm. 148-149. 13 14
Bachrawi Sanusi, Op. Cit., hlm. 37.
Kaum ini merupakan sekelompok ahli ekonomi dan filsafat Perancis pada abad 18. pendirinya yakni Francois Quesnay Seorang ahli ekonomi dan Dokter Perancis yang lahir di Meve pada tanggal 4 Juni 1694. buku Perancis Quenay berjudul :Tableau Economique (Economic Table) merupakan bukunya yang pertama kali mengemukakan mengenai Model Ekonomi yang cukup rinci. Slogan itu sendiri diambil dari bahasa Perancis yang artinya Kebebasan Terbuka, Kebebasan Pasar.
74
dan penghidupan murah bagi rakyat, penghasil devisa melalui eksport, dan dalam mendukung usaha besar sehingga mengurangi high cost economy.15 Hemat penulis, disamping tersebut yang tidak kalah penting adalah bahwa membangun perekonomian rakyat merupakan upaya nyata untuk mengurangi kesenjangan antar golongan ekonomi, yang pada gilirannya akan memperkukuh ketahanan dan stabilitas nasional. Perekonomian yang berazas kekeluargaan tidak menganut sistem demokrasi liberal tetapi kerakyatan atau sosio demokrasi dengan negara menguasai pokok-pokok kemakmuran rakyat sebagaimana terkandung dalam bumi Indonesia. Negara menguasai seluruh cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, sebab kalau tidak dikuasai oleh negara, tampuk produksi akan jatuh ketangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak akan di tindasinya.16 Sebelumnya Bung Hatta pernah menyampaikan pada peringatan hari koperasi ke satu pada tanggal 12 Juli 1951 di Bandung dalam kutipan pidatonya beliau menyampaikan bahwa tidak dapat disangkal pada masa ini banyak sekali diantara perusahaan-perusahaan partikuler itu yang memenuhi tuntutan ekonomi, yaitu mengurangkan kekurangan kemakmuran.16 Pemerintah daripada suatu negara yang merdeka berkuasa, mempunyai kekuasaan, untuk merubah dasar pembagian pendapatan, tetapi luasnya
15 16
Dipo Alam, Op. Cit., hlm.18.
Beliau menyampaikan juga bahwa tugas pemerintah dalam keadaan seperti itu ialah melindungi ekonomi rakyat yang lemah daripada tindasan ekonomi asing dan memperbaiki dasar pembagian hasil, produk sosial, dengan memperbanyak bagian yang jatuh kepada tani dan buruh. Mohammad Hatta, Op. Cit., hlm. 3.
75
kekuasaan itu ditentukan oleh hukum ekonomi. Selama kekuasaan sosial itu dilakukan dengan melalui hukum ekonomi yang menentukan pembagian hasil, tindakan itu dapat dilakukan dengan menguntungkan kaum buruh. Akan tetapi, apabila kekuasaan sosial itu dilakukan keluar dari jalan yang ditentukan oleh hukum ekonomi, maka akibatnya merugikan kepada negara dan kaum buruh kedua-duanya.17 Seiring dengan itu, Bung Karno dalam berbagai tulisannya pada sekitar tahun 1932. Baik selama di penjara maupun setelah bergabung lagi dalam partai
politik
yaitu
partai
Indonesia-menegaskan
pengertian
sosio-
nasionalisme dan sosio-demokrasi yang telah disebutkan sebelumnya.18 Sosio-nasionalisme adalah nasionalisme masyarakat dan sosiodemokrasi adalah masyarakat inilah cara Bung Karno “mendidik“ rakyat Indonesia agar “membenci“ kapitalisme termasuk kapitalisme bangsa sendiri, karena kapitalisme “menyebarkan kesengsaraan“. Pikiran-pikiran antikapitalisme Bung Karno 13 tahun sebelum Indonesia merdeka ini kemudian “bertemu“ dengan pemikiran-pemikiran Bung Hatta yang kemudian terumuskan secara baik dalam pasal-pasal UUD 1945 terutama pasal 33, pasal 27 ayat 2, dan pasal 34. “Sistem atau Stelsel kapitalisme itulah yang diperangi bukan orangnya.19 Memang
maksudnya
sosio-nasionalisme
lebih
spesifik
ialah
memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu sehingga keadaan
17
Ibid.
18
Mubyarto, Op. Cit., hlm. 282.
19
Ibid., hlm. 283.
76
yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum yang tertindas, tidak ada kaum yang cilaka, tidak ada kaum yang papa sengsara. Jadi ; sosio-nasionalisme adalah nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik dan keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki.20 Demikian baik Bung Hatta maupun Bung Karno, keduanya menentang sistem ekonomi
kapitalisme,
dan cara melawannya adalah dengan
memberdayakan rakyat dan memberdayakan ekonomi rakyat, dengan mempersatukan ekonomi rakyat dalam wadah organisasi koperasi, serta dengan menyusun (sistem) ekonomi usaha bersama yang berasa kekeluargaan. Yang sangat menarik dalam gagasan Bung Hatta pada tahun 1926 itu adalah pengkaitannya koperasi dengan Orde ekonomi dunia pada waktu itu dengan segala pertentangan antara ekonomi yang digerakkan oleh nafsu kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme kontra ekonominya rakyat-rakyat yang terjajah. Juga pertentangan intern dalam dunia ekonominya Stelsel kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme sendiri. Malahan dalam pidato mangurasinya itu Bung Hatta meramalkan akan pecahnya Perang Pasifik sebagai akibat pertentangan-pertentangan ini.21 Hemat penulis, hal ini menandakan bahwa baginya masalah pembangunan ekonomi rakyat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari situasi dan kondisi internasional yang mengelilinginya. Tetapi mengakui kaitannya demikian itu bagi Bung Hatta tidak berarti bahwa kita harus pasif menyerah 20
Sritua Arief, Op. Cit., hlm. 200.
21
Roeslan Abdulgani, Op. Cit., hlm. 336.
77
saja kepada desakan-desakan dari luar negeri, dan melepaskan cita-cita pembangunan sektor koperasi bagi perekonomian rakyat Indonesia. Jelaslah bahwa upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dengan adanya pemerintahan yang terbuka dan efektif, dibutuhkan sistem pemerintahan yang anti KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Keterbukaan ini berarti pemerintah dituntut selalu transparan dan membuka ruang yang seluas-luasnya bagi kritik dan masukan publik. Sementara itu, efektif artinya pemerintahan tersebut mampu dengan efisien dan optimal menjalankan amanat dan tugastugas yang dibebankan di pundaknya.22 Keterbukaan itu hanya terjadi dan bermakna positif jika ada arus informasi dua arah yang obyektif dan mendidik. Hal itu karena bentuk informasi yang terbuka dan obyektif merupakan pokok instrumen transparansi suatu pemerintahan yang berujung pada pertanggungjawaban publik dari setiap kebijakan yang diambilnya. Disini persoalan informasi menjadi tolak ukur pemerintahan yang terbuka dan efektif. Oleh karena itu, hak dan kewajiban rakyat perlu diberdayakan terhadap semua informasi yang diserapnya.23 Jelasnya, untuk melihat kenyataan ekonomi kerakyatan sebagai sebuah konsep pemikiran dapat diketahui dalam batasan waktu, pelaksanaan, realisasi dan tokoh-tokohnya, sebagaimana berikut :
22
Julius Bobo, Op. Cit., hlm. 124.
23
Ibid., hlm. 125.
78
a. Batasan Waktu Hemat penulis, dalam konsep ekonomi ekonomi kerakyatan, batasan waktu relevansinya pada
pemikiran Bung Hatta khususnya dan
perjuangan tokoh-tokoh lain umumnya, dalam berbagai aspek dan kesempatan
kehidupan
sosial
masyarakat
Indonesia,
patut
terus
diperjuangkan dan dipertahankan tanpa harus ada batas waktu yang menentukan. Berdasarkan prinsip, bahwa pertumbuhan dan kemajuan ekonomi kerakyatan merupakan dasar pengembangan ekonomi nasional, maka ekonomi kerakyatan harus terus dapat diwujudkan, dikembangkan dan diberdayakan, sebagaimana cita-cita perjuangan sebelumnya. b. Pelaksanaan (Implementasi) Berdasarkan empirik, wujud usaha ekonomi kerakyatan dapat dilihat dalam kegiatan usaha kecil dan koperasi, kedua usaha ini sangat besar kontribusinya dalam perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari aspek-aspek seperti peningkatan kesempatan kerja, sumber pendapatan, pembangunan ekonomi pedesaan dan peningkatan ekspor non migas. Hal ini bisa diperhatikan beberapa data berikut ; Data BPS tahun 2000 menunjukan bahwa terdapat 39,04 juta unit atau 99,6% dari total unit usaha dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 74,4 juta orang atau 99,6% dari total angkatan kerja yang bekerja. 24 Bukankah suatu hal yang 24
Dari jumlah 39,04 juta diatas, komposisi sektoral adalah pertanian 62,7%, perdagangan, perhotelan dan restauran 22,67%, industri 5,7% dan jasa sebesar 3,9%. Dari komposisi volume Usaha sejumlah 99,85% volume usahanya dibawah Rp. 1 milliar, 0,14% diantara 1-50 milliar, dan 0,01% yang diatas Rp 50 milliar. Dari komposisi penyerapan tenaga kerja kelompok pertama tersebut menyerap 88,66% kelompok kedua menyerap 10,78% dan yang ketiga menyerap 0,05%. Adi Sasono, ”Membangun Ekonomi Jaringan Sebagai Dasar Penguatan Ekonomi Rakyat”, dalam Makalah pada Diskusi Mahasiswa Se-Jateng di (LPM PABELAN, KOPMA dan BEM FE Universitas Muhammadiyah Surakarta, Tema : Menciptakan Kewirausahaan Melalui Kemitraan Jaringan Usaha. Surakarta 31 Juli 2004.
79
nisbi kalau kebijaksanaan tidak menempatkan mayoritas pelaku usaha (ekonomi rakyat) di Indonesia dalam perioritas utama. c. Realisasi Walaupun secara konstitusi realisasi sudah jelas, sebagaimana yang termaktub dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 dan Undang-undang No. 25 Tahun 1992 pasal 2 tentang koperasi.25 tetapi pada kenyataan hanya sebagai jargon alat politik oleh pemerintahan yang berkuasa. Padahal realitas sejarah hingga sekarang sudah menunjukan bahwa ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat merupakan kegiatan ekonomi yang menghidupi bangsa Indonesia. Setiap hari yang dihidangkan di meja makan adalah bahan-bahan hasil produksi rakyat. Dari beras sampai sayur mayur, garam hingga bumbu merupakan produksi perekonomian rakyat, bukan produksi ekonomi konglomerat. Jadi perekonomian rakyat menghidupi dan menjadi pendukung kehidupan bangsa selama ini. Jika sekiranya perekonomian nasional terus menerus menghadapi krisis, ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat akan masih bisa hidup, betapapun subsistemnya. Sejak zaman perjuangan fisik melawan kolonial, ekonomi rakyatlah yang memberi makan pejuang. Ekonomi rakyat yang membuat bangsa Indonesia mampu survive sampai bangsa ini memperoleh pengakuan kedaulatan.26
hlm. 45.
25
Revrisond Baswir, “ Koperasi Indonesia “, Yogyakrata : BPFE Yogyakarta, 1997,
26
Adi Sasono, Loc. Cit.
80
d. Tokoh-tokohnya Konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat yang kini dikenal luas telah menapaki jalan panjang berliku-liku. Selain Bung Hatta, beberapa pemikir yang belakangan gencar memperkenalkan dan memperjuangkan dilaksanakannya konsep ekonomi kerakyatan atau rakyat nyaris dapat dijumpai dibanyak tempat dan setiap waktu, diantara tokoh-tokoh populernya adalah ; Adi Sasono, Mubyarto, Sarbini Sumawinata, dan Kwik Kian Gie.27 Sedangkan tokoh-tokoh populer sebelumnya adalah Raden Aria Wiraatmaja (seorang patih di Purwokerto), Dr. J.H. Boeke, Bung Hatta dan Syahrir.28 Meski demikian, eksistensi konsep ekonomi kerakyatan atau ekonomi rakyat sebagai suatu kebijakan resmi pemerintah hingga kini timbul tenggelam karena ketidakpastian komitmen rezim yang berkuasa. Walhasil, pemerintahan yang terbuka akan mewujudkan masyarakat yang terbuka dan toleran pula. Sebab melalui sikap terbuka itu, pemerintah dituntut mampu bersikap damai, toleran dengan pluralitas dan berbagai wujud kemajemukan lainnya. Sikap yang sama juga harus sebaliknya dimiliki rakyat dan lembaga sosial kemasyarakatan yang ada, karena keterbukaan pasti menuntut konsekuensi logis seperti meningkatkan daya kritis dan kemauan masyarakat dalam menuntut berbagai hak-hak ekonomi, politik dan sosial budaya mereka yang sebelumnya banyak terpasung sistem lama, sebagaimana
27
Julius Bobo, Op. Cit., hlm. 41.
28
Revrisond Baswir, “ Koperasi Indonesia “, Op. Cit., hlm. 31-32.
81
sistem yang ada dalam sejarah kolonialisme dan kapitalisme VOC-Belanda ketika itu dan kekuasaan oleh Orde Pemerintahan transisi yang otoriter.
B. Ekonomi Kerakyatan Implikasi dari Nilai-Nilai Ajaran Kultur Islam Pakar Islam baik dari Barat maupun dari Timur semuanya sependapat bahwa sesungguhnya Islam adalah sistem kehidupan yang tepat dan berakhlak luhur, keduanya adalah kesatuan yang berjalan bersama-sama. Kedua tuntutan ini saling berkaitan, tidak pernah berpisah selama-lamanya. Selanjutnya mereka berkata lagi : “Sesungguhnya ajaran Islam itu lengkap, termasuk didalamnya terdapat ajaran tentang ekonomi.29 Kaum muslimin yang faham tentang keunggulan ekonomi yang mengandung nilai-nilai sosial ajaran Islam tidak akan menerima ekonomi sekuler. Ekonomi yang bersandarkan pada AlQur’an dan As-Sunnah akan menjadi ekonomi bermoral yang penting. Tujuan utama tulisan ini adalah untuk menjelaskan hakikat dan ruang lingkup ekonomi kerakyatan dalam dimensi sosial ekonomi Islam dan memberikan analisis perbandingan dengan ekonomi kapitalisme yang sekuler. Jika ingin sering menelaah ekonomi kerakyatan dan mempelajari secara seksama serta jujur, dalam ekonomi kerakyatan tampak mengandung nilai-nilai ajaran kultur Islam. Setelah membaca dengan seksama, dari sana ada penampakan sisi-sisi keadilan dan kesamaan dalam memperjuangkan hak dan kewajiban bagi manusia, ekonomi kerakyatan telah menyuguhkan kepada semua manusia 29
Nur Habibah, “ Keunggulan Ekonomi Islam Dimensi Moral “, dalam Sintesis (Jurnal Tiga Bulanan Cides), Op. Cit., hlm. 70.
82
suatu prinsip ekonomi yang mampu menjamin kehidupan manusia, dan menjauhkan manusia dari kesengsaraan, serta lebih suka mencari keridhaan Illahi, agar manusia senantiasa dalam kebahagiaan, dalam kesentausaan, keadilan, gotong-royong, kejujuran, dapat menikmati semua rezeki yang baik dan halal, memanfaatkan segala kekayaan alam, baik yang di langit maupun di bumi yang telah Allah sediakan buat hamba-Nya yang rela beriman. Berkembangnya ilmu ekonomi di Barat seiring berkembangnya metode positifis pada masa Renaissance. Sehingga sasaran kajian ilmu ekonomi adalah perilaku empirik manusia di lapangan. Dengan kata lain ilmu ekonomi adalah ilmu sosial murni yang bebas nilai.30 Berbeda dari para Sarjana Barat, Sarjana Muslim akhir-akhir ini mengajukan sebuah ilmu ekonomi yang tidak bebas nilai yaitu Ilmu ekonomi yang berorientasi pada ajaran Islam (Ilmu Ekonomi Islam). Apabila kajian ilmu ekonomi murni adalah berupa kajian positif, maka kajian ilmu ekonomi Islam adalah kajian yang meliputi aspek positif dan normatif.31 Sebagaimana diketahui ilmu ekonomi Islam merupakan pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi kerakyatan yang di ilhami oleh nilai-nilai dasar Islam kendati demikian, tidak berarti kaum muslim di cegah atau di larang untuk mempelajari masalah-masalah ekonomi yang
30
Agus Fakhrina, “Pemikiran Ibu Khaldum Tentang Ekonomi Pasar Bebas”, dalam JUSTISIA, Edisi 19. Th ke IX, 2001, hlm. 48. 31
Ibid.
83
sekuler dan masalah-masalah berkenaan dengan seluk beluk kemanusiaan pada umumnya.32 Bung Hatta yang dalam kurun waktu sekian abad telah mempelajarinya di dalam dan luar negeri tentang ekonomi, berbeda dengan para ahli ekonomi Islam baik klasik maupun modern, beliau membangun ilmu dan sistem ekonominya berdasarkan pada perilaku empirik orang Barat dalam menjajah Indonesia saat itu. Lalu dengan seiring perkembangan pemikirannya Bung Hatta berangkat ke Belanda di negeri penjajahnya untuk mempelajari ekonomi yang semestinya. Kemudian berkunjung ke beberapa negara Eropa lainnya untuk studi banding tentang konsep koperasi. Dari hasil studi dan kunjungan itulah, ia mengajukan sebuah gagasan bagaimana sebaiknya sebuah kegiatan ekonomi itu berjalan, khususnya di Indonesia, yang saat itu dalam kondisi penjajahan Belanda untuk memperjuangkan ekonomi pribumi. Namun, meskipun pendekatan yang ia gunakan adalah pendekatan empiris historis, beliau juga merujuknya kepada sistem nilai Islam yang berkaitan dengan ekonomi, hal ini bisa diketahui dari latar belakang garis keturunan dari Ibu yang seorang saudagar kaya pada masanya dan didukung dengan pengalaman ilmunya ketika mengaji kepada beberapa gurunya di Batu Hampar, Padang, Sumatera Barat. Hal itu artinya, Bung Hatta di dalam mencari suatu sistem ekonomi berusaha untuk dapat memberikan kemaslahatan bagi manusia dengan lebih
32
Nur Habibah, Op. Cit., hlm. 71
84
menekankan pada aspek kajian empiris sosio-historis atas dasar nilai-nilai ajaran Islam yang beliau pelajari sebelumnya. Dengan begitu, diharapkan kemaslahatan akan lebih dapat dirasakan oleh rakyat Indonesia pada khususnya dan manusia pada umumnya. Gagasan pemikiran ekonomi kerakyatan Bung Hatta dengan demikian sejalan sesuai yang termaktub dalam hakekat ilmu ekonomi Islam. Sebab definisi ilmu ekonomi Islam secara mencolok bertentangan dengan definisi ilmu ekonomi sekuler yang merupakan “Suatu Ilmu tentang umat manusia dalam usaha kehidupan yang biasa“. Tujuan utama dalam bagian sub bab ini adalah untuk menjelaskan, mengemukakan elaborasi hakikat dan ruang lingkup mengenai eksistensi sejarah
ekonomi
kerakyatan
dan
pemikiran
mengenai
upaya-upaya
pengembangannya dalam sistem ekonomi Indonesia guna untuk menuju kepada ekonomi yang demokratis. 1. Multi Sistem Ekonomi Indonesia Selama perjalanan sejarah Indonesia, para sejarawan ekonom banyak memberikan kontribusi konsep tentang sistem ekonomi yang sesuai dengan kultur budaya dan adat istiadat masyarakat Indonesia ketika dalam situasi dan kondisi kolonialisme terjadi. Latar belakang historis yang ada, kiranya dapat memberi penjelasan terhadap posisi dan sikap yang telah muncul sebelumnya. Sebagaimana diketahui mengikuti periodesasi Emil salim, perekonomian
85
Indonesia selama 65 tahun lebih (1931-1995) memang bergejolak terus menerus dari ekonomi liberal ke ekonomi komando meskipun periodenya tidak selalu sama.33 Kemudian Radius Prawiro, membagi periode ekonomi Orde Baru menjadi tiga bagian sebagai berikut : Tahun 1966-1970 (14 th) mencari stabilitas pada titik balik. Tahun 1970-1983 (13 th) pertumbuhan di tengah kemelut global. Tahun 1983-1993 (10 th) Dekade Deregulasi : mengarah kepada konsensus. Dengan pembagian dalam tiga periode ini terkesan bahwa sistem pembangunan ekonomi Indonesia sekedar mengikuti atau tunduk pada apa yang terjadi dan berkembang dalam perekonomian global.34 Hemat penulis, barang kali Indonesia saat itu memang terlalu lemah untuk ikut menentukan kancah percaturan ekonomi dunia, juga untuk menetapkan “Model Pembangunan“ yang sesuai dengan kepribadian Indonesia sendiri. Dalam versi yang berbeda dari Emil Salim maupun Radius Prawiro, dengan secara empirik menganalisis ekonomi-politik sejak Indonesia merdeka. Mengumpulkan terjadinya siklus ekonomi tujuh tahunan sebagai berikut : 35
33
Mubyarto, Op. Cit., hlm. 221.
34
Ibid. Mubyarto, Op. Cit., hlm. 222.
35
86
a. Tahun 1945 – 1952 Ekonomi Perang b. Tahun 1952 – 1959 Awal Penyusunan Ekonomi Nasional c. Tahun 1959 – 1966 Ekonomi Komando d. Tahun 1966 – 1973 Awal Demokrasi Ekonomi e. Tahun 1973 – 1980 Ekonomi Bonansa Minyak f. Tahun 1980 – 1987 Ekonomi Keprihatinan g. Tahun 1987 - 1994 Ekonomi Konglomerasi h. Tahun 1994 – 2001 Menuju Ekonomi Kerakyatan Ilustrasi perekonomian yang mengikuti siklus ekonomi tujuh tahunan tidak dimaksudkan untuk meramal masa depan, tetapi sekedar untuk lebih memahami masa lalu dan masa kini. Namun sejalan dengan itu harus ada rasa percaya diri (self help) seperti halnya pada saat bangsa Indonesia bertekad merdeka tahun 1945 dengan cara-cara penegasan ciri-ciri nasional dari “sistem ekonomi“ yang dipilih yaitu “usaha bersama“ yang berasas kekeluargaan sebagaimana termuat jelas dalam pasal 33 UUD 1945. Bagi Bung Hatta asas kekeluargaan menyangkut pengertian pemilikan kolektif faktor-faktor produksi yang diusahakan bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama. Inilah pandangan Bung Hatta yang kebetulan ahli ekonomi, sehingga pasal UUD yang menyangkut kesejahteraan sosial ( dan ekonomi ) juga di isi dengan asas kekeluargaan.
87
2. Ekonomi Kerakyatan Ideologi Yang Islami Pada kurun waktu mulai tahun 1870 hingga 1914, oleh Ash Worth dan Davies dilukiskan sebagai tahap perkembangan organisasi kapitalisme Internasional, sebagai sistem perdagangan, financial dan penanaman modal global yang bersifat imperial-internasional. Sejak awal abad ke-20 pun, kapitalisme kolonial mengalami perkembangan yang amat pesat.36 Melihat kondisi sejarah tersebut, selama perjalanan peradaban Islam, sejak era Rasulullah saw, para Khulafa Ar-Rasyidin, kemudian dilanjutkan oleh para khalifah hingga runtuhnya daulah khalifah Islamiyah Ustmaniah di Turki pada awal abad XX ini, tidak pernah umat Islam mempunyai hutang kepada umat atau negara lain, apalagi kepada negara sekuler.37 Semua itu karena, para khalifah dimasa itu menerapkan sistem ekonomi Islam, bukan menerapkan Islam sekedar aspek ritual saja sebagaimana yang umum disaksikan sekarang, tetapi mereka telah menerapkan Islam sebagai sebuah sistem, sebuah ideologi, yang mencakup seluruh aspek kehidupan baik ekonomi, politik, sosial, pendidikan, budaya, militer, dan sebagainya. 38Hemat penulis, gagasan-gagasan yang berasal dari pemikiran trasformatif tersebut memang perlu disebarluaskan dan yang lebih penting, dicoba dalam praktis secara kecil-kecilan terlebih dahulu. Namun, berbagai kegiatan yang dilakukan dalam skala kecil itu 36
Dawam Raharjo, Intelektual, Intelegensia, dan Perilaku Politik Bangsa : Risalah Cendekiawan Muslim, Bandung : Mizan, cet. Ke-3, 1996, hlm. 242. 37 Nur Habibah, Op. Cit., hlm. 74. 38 Ibid.
88
perlu diorientasikan kepada teori-teori makro, dalam skala nasional atau global dan secara sadar dikaitkan dengan upaya pembentukan kekuatan demokratis. Di Indonesia, Bung Hatta sendiri dan organisasi pergerakan nasional lainnya dapat dipahami jika menyatakan perang terhadap kapitalisme dan melihat sosialisme sebagai alternatif. Beliau juga menengok ke sosialisme dalam konteks yang mudah dipahami supaya bagi kultur masyarakat Indonesia mudah diikuti tanpa rasa dijajah dan terpaksa. Kapitalisme dan sosialisme memang sering muncul dalam bahasan teologi para ulama dan pemimpin muslim di Timur Tengah dan Pakistan dalam ucapan yang berulang-ulang dalam nada politis. Kapitalisme biasanya dihubungkan dengan sikap keserakahan manusia kepada harta dan uang, sedangkan sosialisme diasosiasikan dengan praktik anti agama yang dijalankan di negara-negara sosialis seperti Rusia, Eropa Timur dan RRC yang menjalankan sistem politik otoriter dan totaliter. 39 Tradisi kritik terhadap kapitalisme sudah dimulai antara lain oleh Cokro dan Salim, bahkan akibat-akibat buruk di sektor pedesaan, khususnya diperkebunan kolonial dan dikalangan buruh, merupakan agenda rutin dari kongres ke kongres SI. Bung Hatta, di rumah penjara Glodok Tahun 1934, menjelang pengasingan ke Boven Digul, pernah menulis buku tentang krisis ekonomi dan kapitalisme yang membahas sifat
39
Dawam Rahardjo, Op. Cit., hlm. 250.
89
konjungtural dan krisis yang melekat pada kapitalisme dan menghasilkan Depresi besar tahun 1929.40 Bung Hatta yang mempunyai konsep sosialisme Islami yang dituangkan dalam pasal-pasal UUD 1945 memahami konsep sosialisme sebagai konsep yang pluralitas. Hal ini dalam pemikirannya yang kemudian di implementasikan melalui koperasi sebagai wadah organisasi ekonomi kerakyatan, beliau menganjurkan sebagaimana yang disampaikan oleh tokoh sebelumnya Cokro dan Salim, untuk selalu berjuang mengayuh biduk diantara dua karang, yakni krisis kapitalisme maupun sosialisme. Seperti yang diungkapkan oleh James Petras, timbul dan makin nyata gejalanya, karena keduanya bukan saja secara historis lahir dari kondisi yang sama, yaitu Eropa menuju ke abad 18, tetapi juga karena keduanya dikuasai oleh obsesi yang sama, yaitu pemenuhan kebutuhan material sebagai cara utama untuk mencari kebebasan manusia, dengan modal sebagai andalan. Walaupun akumulasinya di negara-negara kapitalis dilakukan melalui mekanisme pasar bebas dan dinegara-negara sosialis melalui perencanaan pemerintah yang memusat.41 Kedua cara tersebut mengharuskan berlangsungnya eksploitasi terhadap sumber-sumber alam dan manusia, lain demikian dengan ekonomi kerakyatan, hanya tinggal bagaimana untuk membuktikan mana ketiganya yang paling efektif dan efisien.
40 41
Ibid. Dawam Rahardjo, Loc. Cit.
90
Dalam konteks Al-Qur’an, kedua mode operasi itu merupakan perwujudan dan sikap hidup yang menyembah sesuatu selain Allah. Sebagai tandingan, yaitu yang diwujudkan sebagai tirani (taghuth) yang menguasai
cara
berpikir
manusia
melalui
perumusan
ideologi,
sebagaimana diungkapkan dalam Surat al-Baqarah ayat 165 :42
...ﺤﺐﱢ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ُ ﺤﺒﱡﻮَﻧ ُﻬ ْﻢ ﹶﻛ ِ ﺨﺬﹸ ِﻣ ْﻦ ﺩُﻭ ِﻥ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ ﹶﺃْﻧﺪَﺍﺩًﺍ ُﻳ ِ ﺱ َﻣ ْﻦ َﻳﱠﺘ ِ َﻭ ِﻣ َﻦ ﺍﻟﻨﱠﺎ .(١٦٥ : ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ Artinya : “Namun sebagian manusia ada yang mengambil tandingan untuk disembah selain Allah yang mereka cintai seperti seharusnya mencintai Allah“. Melakukan kritik terhadap kapitalisme dewasa ini tentu tidak mudah, baik secara intelektual, politis maupun psikologis semata, karena kenyataan bahwa manusia dan seluruh dunia dewasa ini hidup dalam tahapan sejarah, bekerja dan bergerak serta berpikir dalam kerangka sistem kapitalisme. Pengalaman dunia Islam dan masyarakat Islam di tingkat nasional dan kapitalisme yang destruktif, telah menimbulkan tradisi penolakan mereka
secara
ideologis
terhadap
kapitalisme.
Namun,
dalam
kenyataannya kemampuan kreatif dari kapitalisme telah melahirkan formasi sosial dan hubungan produksi kapitalis. Melalui kerjasama dengan organisasi kapitalis industrial dalam penggalian sumber-sumber alam, proses akumulasi kapital telah terjadi, baik dalam skala kecil pada sektor
42
Departemen Agama Republik Indonesia, Op. Cit., hlm. 250.
91
sektor usaha marginal, maupun skala besar pada sektor-sektor industri ekstratif yang melahirkan lapisan borju-borjuasi yang sudah terikat dan bergantung kepada hubungan produksi kapitalis.43 Lain kapitalis, lain pula sosialis-jiwa peraturan sosialisme bertolak belak44ang dengan kapitalisme, jiwa peraturan sosialisme bersikap buruk sangka terhadap individu kaum sosialis merampas segala hak pribadi demi mencapai kemaslahatan bersama, dalam hal negara. Visi meraka adalah kemaslahatan bersama di atas kemaslahatan individu. Mengakui hak milik pribadi bagi kaum sosialis merupakan kezaliman dan penyimpangan sehingga harus dihapus segala usaha yang mengarah kepada pengakuan hak milik pribadi harus dimusnahkan, walaupun dengan jalan kekerasan dan membangkitkan dengki. Satu prinsip penting yang harus diwujudkan adalah “Sama rata dan sama rasa“. Tuntutan perubahan struktur itu bermakna pembangunan adalah suatu proses yang sifatnya struktural dan harus dilaksanakan bersamasama antar unsur yang terlibat di dalamnya, seperti pemerintah dan masyarakat. Masyarakat sebagai obyek dan subyek pembangunan harus ikut serta dalam pembangunan, menikmati hasil pembangunan dan melestarikan proses pembangunan itu sendiri secara berkesinambungan. Oleh karena itu, proses pembangunan itu secara ilmiah harus muncul dari masyarakat, dilaksanakan masyarakat, dan hasilnya dapat dinikmati
43 44
Dawam Rahardjo, Op. Cit., hlm. 253. Yusuf Qardhawi, Op. Cit., hlm. 70
92
masyarakat. Sementara pemerintah berperan sebagai katalisator dan pengendali pembangunan.45 Kerjasama (cooperation) merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi yang Islami versus kompetisi bebas dari masyarakat kapitalis dan kediktatoran ekonomi marxisme. Kerjasama (ta’awun) ekonomi harus dilaksanakan dalam semua tingkat kegiatan ekonomi, produksi, distribusi barang maupun jasa. Implikasi dari kerjasama ekonomi ialah aspek sosial politik dalam pengambilan keputusan yang dilakukan secara musyawarah untuk memperjuangkan kepentingan bersama di bidang ekonomi kepentingan negara, dan kesejahteraan rakyat. Implikasi konsep ekonomi bergantung kepada kerangka kerja yang diturunkan
dari
perangkat
nilai
instrumental
yang
menjamin
fungsionalisasi sistem. Demikian baik Bung Hatta maupun tokoh-tokoh sebelum dan seperjuangannya, mereka menentang sistem ekonomi kapitalisme dan cara melawannya adalah dengan memberdayakan rakyat dan memberdayakan ekonomi rakyat, dengan mempersatukan ekonomi rakyat dalam wadah organisasi koperasi, serta dengan menyusun (sistem) ekonomi usaha bersama yang berasas kekeluargaan
45
Julius Bobo, Op. Cit., hlm. 177.
93
3. Visi dan Misi Ekonomi Kerakyatan dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat Pemberdayaan ekonomi rakyat adalah kebijaksanaan dan program yang telah lama dikembangkan pemerintah dalam bentuk membantu ekonomi rakyat sebagai kegiatan produksi bukan kegiatan konsumsi. Tujuannya jelas untuk memenuhi kebutuhan akan permodalan kecil yang mudah dan murah tanpa jaminan fisik. Program IDT adalah contoh konkrit upaya pemberdayaan ekonomi rakyat berupa bantuan modal pada kelompok masyarakat (pokmas) disertai pendampingan.46 Menurut Bung Hatta, dalam perjuangan menuju masyarakat adil makmur, harus disadari secara realitis bahwa di awal kemerdekaan daerahdaerah (terutama yang di luar Jawa) hampir tidak tersentuh secara konkrit oleh kebijakan perekonomian dari pusat. Maka bagi beliau pembangunan, pemberdayaan masyarakat (rakyat) dan negara merupakan bagian terbesar dari seluruh revolusi.47 Lain pembahasan sementara dari sini, agar ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada tingkat perdebatan ilmuan ekonomi dan akademis, sejumlah agenda ekonomi kerakyatan perlu segera dirumuskan dan diangkat ke permukaan. Sehubungan dengan itu, setidak-tidaknya terdapat
46 47
lima
agenda
pokok
ekonomi
kerakyatan
atau
agenda
Mubyarto, Op. Cit., hlm. 291.
Nugroho Budisantoso, “Hatta Mundur Karena Kecewa“, dalam Rikard Bangun, (ed), Bung Hatta, Op. Cit., hlm. 377.
94
demokratisasi penguasaan faktor-faktor produksi yang perlu mendapat perhatian. Kelima agenda demokratisasi modal atau penguasaan faktor-faktor produksi berikut adalah inti dari politik ekonomi kerakyatan dalam arti luas dan merupakan titik masuk untuk menyenggarakan sistem ekonomi kerakyatan, diantaranya sebagai berikut :48 a.
Desentralisasi hak atas pengelolaan sumber-sumber penerimaan negara kepada daerah.
b.
Pembatasan penguasaan dan redistribusi pimilikan lahan pertanian kepada para petani penggarap (Land Reform).
c.
Reformasi koperasi dan pendirian koperasi-koperasi sejati49 dalam berbagai bidang kegiatan.
d.
Pengembangan
mekanisme
persaingan
yang
menjamin
berlangsungnya persaingan usaha secara sehat.50 e.
Penerapan pajak penghasilan dan kekayaan progersif sebagai upaya untuk mempertahankan demokrasi penguasaan modal atau faktorfaktor produksi di tengah-tengah masyarakat.
48
Revrisord Baswir, “Sistem Ekonomi Kerakyatan“, dalam St.Sularto (ed), Masyarakat Warga, dan Pergulatan Demokratisasi (Menyambut 70 tahun Yakob Oetama), Op. Cit., hlm.190-192. 49
Koperasi-Koperasi sejati adalah Perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang kegiatan yang modalnya dimiliki secara bersama-sama oleh seluruh konsumen dan karyawan koperasi yang ada. Dengan kata lain, koperasi sejati adalah perusahaan yang tidak mengenal diskriminasi sosial, agama, ras, dan antar golongan dalam menentukan kriteria keanggotaannya. 50
Mekanisme persaingan yang kompetitif dan transparan merupakan satu-satunya mekanisme yang dapat diandalkan untuk menghindari konsentrasi ekonomi dan monopoli usaha di tangan segelintir pegusaha besar.
95
Apapun agendanya, sejujurnya banyak orang cukup khawatir bahwa SU-MPR tahun 1999 tidak akan secara eksplisit menyebutkan pengembangan sistem ekonomi yang khas Indonesia, karena menurut “pakar ekonomi arus utama“ sistem ekonomi kapitalis pasar bebas sudah menglobal dan diterima dimana-mana. Kekhawatiran tersebut hilang ketika akhirnya GBHN. 1999-2004 dalam TAP No. IV / 1999 menyebutkan sebagai berikut :51 a. Visi dan Misi : Pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri, maju berdaya saing, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan. b. Arah kebijakan ekonomi : Mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai-nilai keadilan, kepentingan sosial, kualitas hidup, pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sehingga terjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja, perlindungan hak-hak konsumen, serta perlakuan yang adil bagi selutuh masyarakat.
51
Mubyarto, Op. Cit., hlm. 296.
96
Sistem ekonomi kerakyatan merupakan upaya mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Setiap kegiatan produksi harus dilakukan oleh semua, untuk semua (tidak semata-mata menggantungkan pada segelintir pengusahapengusaha
konglomerat)
dengan
pengawasan
(pemilikan)
warga
masyarakat baik dalam DPR / DPRD, LSM, maupun masyarakat luas. Konsep ekonomi kerakyatan adalah bermuara dari rakyat, untuk rakyat, dan mengedepankan demokrasi ekonomi tanpa memberikan fasilitas dan prioritas untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Konsep pertumbuhan ekonomi yang tidak diiringi dengan pemerataan dan stabilitas juga tidak ada artinya (seperti Trilogi Pembangunan Orde Baru) karena berjalan tidak seimbang hingga akhirnya melahirkan konglomerasi yang justru menjadi bumerang dalam jangka panjang.52 Dalam perjalanan sejarah hidupnya Bung Hatta cenderung di pandang orang sebagai negarawan dan koproklamator RI daripada seorang ekonom kerakyatan. Gagasan ekonomi kerakyatan bagai tenggelam dalam gegap gempita gerakan politik. Pada masa Orde Baru dengan konsepnya yang diberi istilah Trilogi Pembangunan, gagasan ekonomi kerakyatan itu dipandang sebagai telah kuno oleh banyak pakar.53 Hemat penulis, seharusnya bangsa ini menyadari dengan pengalaman masa lalu yang penuh di warnai dengan penderitaan rakyat. 52
Zulkarnain, Op. Cit., hlm. 110.
53
A. A. Navis, “ Bung Hatta Kita “, dalam Rikard Bangun (ed), Bung Hatta, Op. Cit.,
hlm. 115.
97
Konsep tersebut sebenarnya sangat ideal karena sesuai dengan warna kultur budaya bangsa Indonesia yang majemuk, hanya praktiknya saja yang banyak kurang memahami bahkan keliru. Sebab mengabaikannya, sebagai wadah ekonomi rakyat yang berupaya mengangkat harkat dan martabat bangsa ini. Hal seperti ini tentu harus dijauhkan dari konsep ekonomi nasional. Namun demikian penyamaran politik ekonomi prokonglomerasi, pemerintah menggunakan kebijaksanaan mendirikan lembaga sosial ekonomi kerakyatan yang diberi nama dengan label Departemen Koperasi.54 Menyinggung
perjalanan
panjang
koperasi
sebagai
wadah
organisasi ekonomi kerakyatan sekaligus wadah soko guru pemberdayaan ekonomi rakyat menuju titik akhir, yakni berfungsi sebagai pelaku utama perekonomian nasional tampaknya belum dapat dikatakan baik. Perbaikan kearah itupun terus dilakukan melalui perombakan berbagai perundang-undangan, peraturan pemerintah, serta berbagai kebijakan yang mendukungnya. Adapun permasalahan pembangunan koperasi adalah meliputi dua hal pokok, yakni masalah internal55 dan eksternal.56 Masalah internal koperasi belum ada argumentasi yang di
54
Ibid.
55
Persoalan manajemen organisasi, permodalan, bidang usaha, pemasaran hasil uasaha, dan segala bentuk kendala lainnya masih saja melilitnya dan sulit terpecahkan. 56
Masalah Eksternal adalah berkaitan dengan iklim pendukung pertumbuhan koperasi, seperti sistem prasarana, pelayanan, pendidikan, penyuluhan, perundang-undangan dan peraturan yang belum konduktif.
98
mengerti secara umum sampai saat ini mengapa koperasi harus dibangun.57 Demikian diterapkannya sebuah ekonomi kerakyatan yaitu yang demokratis dan benar-benar sesuai sistem nilai bangsa Indonesia (sistem ekonomi atau aturan main yang kita buat sendiri) tentunya memberikan peluang bahwa aturan main itu lebih sesuai dan lebih tepat bagi bangsa Indonesia dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Sepertinya banyak di antara mereka merasa pesimis atau miris menghadapi kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa dari luar, sehingga untuk berpikir beda saja sudah dinggap tidak wajar. Akibatnya mereka sudah menyerah kalau sebelum melakukan perlawanan. Misalnya, ada pendapat sinis tentang upaya pemberdayaan ekonomi rakyat yang selalu dikonotasikan tidak efisien. “Mengapa dalam suasana globalisasi mereka justru harus bertumpu pada ekonomi rakyat yang sudah jelas tertinggal dan rendah efisiensinya ?”. Adalah amat keliru untuk menjadikan persaingan bebas secara global sebagai tujuan yang lebih penting dalam pembangunan nasional adalah mewujudkan ketahanan nasional yang kuat dan tangguh yang sudah terbukti tidak dapat diandalkan pada sejumlah kecil pengusaha konglomerat, tetapi justru harus mengandalkan kekuatan dan ketahanan ekonomi rakyat. Juga dalam krisis ekonomi yang kini masih berlangsung ekonomi rakyat terbukti tahan banting dan banyak yang justru dapat lebih
57
Zulkarnain, Op. Cit., hlm. 124.
99
berkembang, maka jika mereka berhasil memberdayakannya, ketahanan ekonomi nasional akan lebih kuat dan lebih tangguh lagi dimasa depan. Sesungguhnya
identitas
utama
yang
membuat
umat
ini
memperoleh derajat yang tinggi adalah persatuan mereka didalam berpegang teguh kepada Allah Swt. Ini adalah merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan didalam al Qur’an surat Ali Imran ayat 103 :58
(١٠٣: )ﺍﻟﻌﻤﺮﻥ...ﺤْﺒ ِﻞ ﺍﻟﻠﱠ ِﻪ َﺟﻤِﻴﻌًﺎ َﻭ ﹶﻻ َﺗ ﹶﻔ ﱠﺮﻗﹸﻮﺍ َ ﺼﻤُﻮﺍ ِﺑ ِ َﻭﺍ ْﻋَﺘ Artinya : “ Dan berpegang teguhlah kepada tali (Agama) Allah, dan janganlah bercerai berai” Sebab itu, menurut ajaran agama Islam, ekonomi dengan sosial tidaklah dapat dipisahkan terlalu jauh. Satu sama lain sangkut bersangkut, kuat menguatkan. Didalam UUD 1945, soal perekonomian ini ditegaskan dalam bab Kesejahteraan Sosial yang meliputi pasal 33 dan 34. Namun demikian, pemerintah dalam orde transisi, tidak terlepas sedikitpun dari rencana sosial. Baik dalam sifatnya yang umum disebutkan ataupun dalam sifatnya yang khusus dengan tegas disebutkan.59 4. Perbedaan Ekonomi Kerakyatan dengan Ekonomi Islam. Hemat penulis, perbedaan ekonomi kerakyatan dengan ekonomi Islam terletak pada sumber dasarnya secara obyektif, yakni ekonomi kerakyatan bersumber pada konstitusi manusia disamping tidak menutup 58 59
Departemen Agama Republik Indonesia, Op. Cit. hlm. 60.
Umum disebutkan “dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan khusus disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Zainal Abidin Ahmad, “Dasar-Dasar Ekonomi Islam”, Jakarta : Bulan Bintang, Cet. Ke-1, 1979, hlm. 19.
100
kemungkinan
bersumber
pada
prinsip-prinsip
konstitusi
lainnya,
sedangkan dengan ekonomi Islam sebagaimana diungkapkan Muhammad Abdul Manan dalam bukunya yang berjudul “Islamic Economic, Theory and Practice” disana disebutkan pertama, Al Qur’an, Kedua, Hadits dan Sunnah, Ketiga, Ijma’, Keempat, Ijtihad atau Qiyas dan Kelima, Prinsipprinsip Hukum Lainnya.60 Sebagai pemungkas analisis ini hemat penulis perlu dikemukakan bahwa pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia dalam konteks ekonomi kerakyatan memang tidak didasarkan pada paradigma lokomotif, melainkan pada paradigma fondasi. Artinya, pelaksanaan (implementasi) pembangunan serta pemberdayaan ekonomi di Indonesia tidak lagi bertumpu pada dominasi pemerintah pusat dan perusahaan-perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, usaha pertanian rakyat, koperasi sejati, mekanisme persaingan sehat, dan pajak progresif yang berfungsi sebagai fondasi penguatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat dengan tetap berlandaskan pada syari’at agamanya. Karena itu adalah penting sekali ketegasan Bung Hatta, bahwa dasar-dasar semua dari pasal 33 UUD 1945 patut dapat dipegang terus bagi masa sekarang dan masa mendatang, dengan keinsyafan pada angkatan
muda
pemberdayaan
Indonesia
ekonomi
bahwa
Indonesia
masalah masih
pembangunan
merupakan
dan
kelanjutan
perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, yaitu perjuangan untuk 60
Muhammad Abdul Manan, “ Islamic Economic, Theory and Practice “ Baca terj. Oleh M. Nastangin “ Teori dan Praktek Ekonomi Islam “ Yogyakarta : Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, hlm. 28-39.
101
membebaskan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, yang masih saja melekat pada masyarakat Indonesia juga perjuangan untuk menanamkan terus cita-cita kedaulatan rakyat, atau kerakyatan dan demokrasi dalam hati rakyat.