EKONOMI KERAKYATAN DALAM DINAMIKA PERUBAHAN Adi Sasono Titik Balik Peradaban Manusia Dalam bukunya berjudul “The Turning Point”, Fritjof Capra menyampaikan bahwa dewasa ini sedang dipertanyakan tentang otoritas pada tingkat global mengapa negara dunia ketiga disebut sebagai “tertinggal” dari negara-negara industri. Apa kriteria ketertinggalan itu, dari mana mengukurnya, dan siapa yang menentukannya. Semakin banyak pemimpin negara ketiga yang memahami dengan jelas krisis multidimensi yang dialami negara-negara di belahan bumi utara, dan menolak dengan tegas usaha-usaha mereka untuk mengekspor masalah itu ke belahan bumi selatan. Bahkan beberapa pemimpin negara ketiga mendiskusikan bagaimana negara-negara di belahan bumi selatan mungkin mengurangi derajat ketergantungan dari belahan bumi utara untuk membangun sendiri berbagai pola ekonomi dan teknologi kontekstual yang cocok dengan masyarakat di belahan bumi selatan. Bahkan beberapa telah mengusulkan perubahan definisi dari kata pembangunan (“development”) yakni dari pembangunan produksi industri dan distribusi barang menjadi pembangunan sumberdaya insani. Aliansi dan Koalisi baru, yang telah menghubungkan ratusan kelompok dan jaringan seluruh dunia, tercipta untuk tujuan non hirarkis, non birokratis dan anti kekerasan. Beberapa dari jaringan ini berfungsi secara efektif di beberapa belahan dunia. Salah satu contoh koalisi dunia adalah Amnesti Internasional yang berkampanye tentang hak azasi manusia. Organisasi semacam ini adalah bentuk baru yang efektif, yang telah menunjukkan bagaimana implementasi dari fungsi vital dunia seperti proteksi lingkungan hidup, perjuangan untuk keadilan ekonomi dan perjuangan hak azasi manusia, dapat dicapai melalui kordinasi aksi lokal dan regional berdasar prinsip-prinsip global. Beberapa jaringan dan koalisi internasional ini belum mau memutuskan peranannya di arena politik, namun karena mereka terus-menerus memberikan substansi perubahan kepada jaman baru dan visi realitas masa depan, kesadaran sejumlah besar masyarakat akan terbentuk yang mau tidak mau akan berpengaruh dalam arena politik, dan bahkan mungkin mengkristal dalam suatu partai politik jaman baru. Gelombang ini tidak bisa dibendung lagi. Para penganut partai baru ini sudah mulai banyak tersebar di seluruh dunia, di berbagai negara, yang terdiri dari para pejuang lingkungan hidup, kelompok pembela konsumen, kaum feminis, pejuang minoritas sosial ekonomi, pejuang hak azasi manusia, dll. yang mana nilai-nilai dan paradigma ekonomi korporasi tidak berlaku lagi. Secara bersama, kekuatan ini semakin hari semakin besar dan tersebar di seluruh belahan bumi.
1
Teknologi dan Distribusi Kebudayaan Pernyataan Capra itu bukan tanpa dasar. Teknologi sekali lagi memiliki peran dalam mengubah peradaban manusia. Ketika dulu mesin-mesin produksi ditemukan di jaman awal revoulsi industri, peradaban manusia mengalami perubahan besarbesaran. Di jaman revolusi industri abad 16, kaum lelaki digiring untuk bekerja di pabrikpabrik dan dipaksa untuk mengikuti teknik tata-cara yang ditentukan dalam arus ban berjalan ala Taylorism. Terminologi efisiensi menjadi ukuran produktivitas setiap pekerja. Efiesiensi yang diukur berdasarkan kesuksesan arus ban berjalan yang mengorbankan harkat kreativitas kemanusiaan, karena gerak-gerik manusia dipaksa untuk mengikuti gerakan mesin demi azas efisiensi. Efisiensi diukur dari menekan serendah mungkin ongkos bahan baku, ongkos teknologi produksi, dan ongkos tenaga pekerja. Terminologi kelas pemilik yang menghendaki efisiensi setinggi mungkin atas dasar menekan serendah mungkin ongkos tenaga kerja menjadi pola interaksi antar manusia yang timpang dan menindas. Sementara kaum lelaki harus mengabdi kepada pemilik pabrik, kaum perempuan didomestikkan untuk bertanggung-jawab di sektor rumah tangga, tanpa digaji. Sumbangan kaum perempuan kepada keseluruhan efisiensi sistem tidak pernah diperhitungkan. Menyusul subordinasi kaum pekerja kepada pemilik pabrik, subordinasi kaum perempuan terhadap kaum lelaki secara ekonomis juga terjadi. Lebih jauh lagi, pemisahan antara “manual labor” versus “mental labor” juga mulai mewarnai jaman itu, yang sampai kini prakteknya masih jelas dapat kita lihat. Kreativitas, imajinasi, inovasi, ilmu pengetahuan dan kebijakan (wisdom) yang tidak mendapat tempat dalam proses produksi sistem ban berjalan di pabrik-pabrik karena yang diperlukan hanyalah ketrampilan dan keserasian gerak anggota badan untuk mengikuti arus ban berjalan, membentuk lapisan tersendiri, yang kemudian lazim disebut dengan kalangan intelektual, pemikir, filosof, dsb. Sementara itu, pekerja manual yang mengeksploitasi kekuatan otot dan mengandalkan kesabaran menghadapi rutinitas yang sangat membosankan, jelas tidak mempunyai kesempatan untuk mengartikulasikan beban keseharian kedalam rangkaian kata dan kalimat, apalagi dalam tulisan dan karya ilmiah. Proses ini yang kemudian menempatkan “mental labor” dalam posisi lebih tinggi daripada posisi “manual labor” dalam hirarki penindasan multilevel umat manusia. Kesinambungan dan keserasian siklus ilmiah dalam menjelaskan realitas menjadi terputus, karena ada “pelaku” dan ada “pengamat”, apalagi dalam kedudukan yang tidak setara dalam strata sosial, budaya dan ekonomis. Ilmu, pengetahuan, kebijakan yang seharusnya diproduksi dari realitas untuk menjabarkan realitas, menjadi dipersempit karena adanya dua kepentingan yang tidak jarang bertabrakan. Ilmu, pengetahuan dan kebijakan menjadi produk monopolistis kelompok “mental labor” karena disitulah eksistensi mereka dihargai, secara sosial, budaya dan ekonomis, dalam sistem yang sedang berjalan ini. Sementara itu, kelompok “manual labor” harus menghabiskan waktunya dalam rutinitas yang membosankan demi pemenuhan kebutuhan hidup yang paling dasar. Ketimpangan ini telah merugikan keseluruhan tatanan alam, sosial, budaya, politik yang seharunya harmonis, sinergis, dan saling mengasihi (rahmatil alamin).
2
Karakteritik pola evolusi peradaban manusia ditandai dengan pada mulanya oleh kemunculan dan perkembangan, pencapaian kulminasi, lalu penurunan kualitas yang kemudian disusul dengan disintegrasi. Pola itu dewasa ini masih berlaku. Penurunan kualitas budaya ditandai oleh suatu rigiditas (kekakuan), apakah bentuk teknologinya, bentuk-bentuk gagasan yang berkembang, serta bentuk-bentuk organisasi sosial, yang semakin sulit untuk merespon perubahan jaman. Kehilangan fleksibilitas ini dibarengi dengan kehilangan dalam keharmonisan, yang mengarah kepada perpecahan sosial dengan berbagai alasan yang bisa muncul. Kelompok dominan yang masih berusaha memaksakan paradigma lama akan secara perlahan mengalami disintegrasi dibarengi dengan kemunculan berbagai pandangan kreatif beberapa kalangan yang mampu menghadapi jaman baru, tuntutan baru dengan originalitas dan kepercayaan diri yang semakin mengental. Telah diakui bahwa peranan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, yang banyak diantaranya diwujudkan dalam bentuk dan kemampuan teknologi, menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan dalam masyarakat sosialisme permulaan dengan masyarakat industrialis saat ini. Marx melalui Grundrisse-nya sebenarnya telah memberikan dasar-dasar pemikiran ke arah sana, tentu dengan suatu interpretasi yang imaginatif terhadap tulisan itu. Disitu dijelaskan bahwa kepentingan para buruh dalam bekerja, yang mengimplikasikan suatu keterlibatan kemampuan yang sangat bervariasi, seharusnya ikut menentukan rasionalisasi dan inovasi prosesproses sosial. Dari proses itu seharusnya lahir berbagai kreasi teknologi yang menyebabkan “bekerja” menjadi suatu kenikmatan hidup dan bukan sebuah keharusan yang membebani kehidupan itu sendiri. Tujuan semacam itu hanya bisa tercapai apabila para buruh tidak hanya ditempatkan sebagai bagian dari kekuatan alam yang diletakkan dalam suatu proses produksi, melainkan para buruh harus ikut aktif dalam mengatur berbagai kekuatan alam. Transisi menuju masyarakat industri yang semacam itu membutuhkan suatu perubahan mendasar dalam budaya ekonomi. Budaya dimana distribusi kekayaan yang selama ini hanya direpresentasikan dalam bentuk berbagai komoditi sedang digugat kembali, karena kekayaan sesungguhnya yang merupakan aktualisasi sumberdaya insani, yang dimediasikan melalui barang-barang material tentunya, namun bukan berarti keduanya identik. Perubahan teknologi terbukti amat vital berperan dalam pertumbuhan ekonomi (Kendrick, 1961, 1973), (Solow, 1957, 1970), (Harcourt, 1972). Namun, disamping berbagai usaha yang dilakukan Solow tersebut, para penganut aliran ekonomi neoklasik masih sangat menempatkan teknologi sebagai faktor marjinal. Itu sebabnya, Storper dan Walker sangat menyarankan untuk balajar dari tradisi teoritis aliran lainnya dimana terdapat cukup penjelasan tentang konsepsi kemajuan teknologi dalam kerangka ekonomi. Disini, teknologi diartikan sebagai kemampuan umum sumberdaya insani dan masyarakat dalam mentransformasi alam menjadi produk yang berguna untuk konsumsi manusia, yang dapat mewujud dalam empat bentuk, yaitu sebagai teori umum dan pengetahuan praktis tentang bagaimana melakukan sesuatu (social knowledge), sebagai obyek atau barang (goods), sebagai teknik produksi yang terpasang (processes), serta sebagai kemampuan dan ketrampilan personal para pekerja (know-how and skills). Dengan pemahaman ini, perubahan teknologi menghasilkan pertumbuhan ekonomi melaui perubahan dalam proses dan produk. Perubahan proses pada umumnya ditujukan untuk meningkatkan output untuk sejumlah tertentu input atau dikenal 3
dengan efisiensi, perubahan produk ditujukan untuk menambah variasi produk dan peningkatan kualitas barang dan jasa yang dikenal dengan efektivitas. Manakala antara perubahan produk dari suatu pabrik bisa berakibat pada perubahan proses dari pabrik lainnya, demikian seterusnya, maka sinergi keterkaitan itu pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas keseluruhan sistem, namun semuanya itu hanya bisa bereperan dengan baik apabila diimbangi oleh suatu tatanan sosial, budaya dan distribusi kekayaan yang harmonis. Penindasan multilevel terjadi sebagai akibat revolusi industri yang didorong oleh berbagai penemuan sains dan teknologi produksi mulai abad 16, hingga kini masih dominan akibatnya. Kekuatan Bahasa Bahasa mempunyai peran amat penting dalam ikut menyongsong perubahan paradigma ini. Bahasa kembali ditantang untuk menjembatani ketimpangan dalam realitas sosial masyarakatnya. Filsuf terkenal abad ini, Noam Chomsky, ketika ditanya oleh salah seorang peserta diskusi masal, mengapa dia sangat amat terkenal dan dikejar-kejar para pendengarnya dimanapun dia berada, dengan gampang dijawab: “Karena saya hanya menyampaikan apa yang dialami dan dirasakan oleh rekan-rekan sekalian di berbagai belahan bumi, dan saya tidak mengada-ada”. Pernyataan Chomsky ini amat mendasar. Ketika bahasa berhasil menembus jurang yang memisahkan realitas dengan dominasi pengetahuan oleh sejumlah kecil elite, maka sejumlah besar masyarakat yang selama ini hanya sebagai obyek dan “silence majority” akan dengan cepat meresapi ilmu, pengetahuan dan kebijakan (wisdom) yang memang sejalan dengan realitas yang dirasakan dan dijalani oleh “the silence majority” tersebut. Ben Anderson dengan jelas menjabarkan bagaimana revolusi industri percetakan telah mengubah jarak penyampain gagasan yang secara signifikan ikut menentukan ketenaran dan pengaruh sebuah gagasan, walau secara kualitas banyak produl ilmuwan sebelum era tersebut tidak kalah. Dominasi para “mental labor” (intelektual, ulama, filosof, pemegang otoritas, dll.) melalui komoditi karya tulis ilmiah, karya tulis jusnalitik, kebijaksanaankebijaksanaan, dll. yang terpisah dari realitas masyarakat, lantas bersinergi dengan kedahsyatan penyebaran barang cetak sebagai bacaan sela penghilang kebosanan para “manual labor”. Pola komunikasi satu arah, secara masal, ini pada gilirannya membentuk kesadaran semu yang oleh Chomsky dijelaskan secara gamblang dalam buku dan videonya berjudul “Manufacturing Consent”. Obyektivitas ilmu, pengetahuan, dan kebijakan (wisdom) menjadi suatu persoalan tersendiri yang perlu dipertanyakan kembali dalam paradigma baru yang berkembang ini. Strategi Usang: Sistem Produksi Massal Kesuksesan ekonomi Amerika di abad 20 adalah karena adanya dukungan sistem produksi masal untuk berbagai produk standar guna memenuhi pasar domestik yang begitu besar. Sistem ini menghasilkan barang dalam volume amat besar 4
dengan harga murah, disamping juga berhasil menyerap tenaga kerja yang dibayar dengan layak sehingga keadaan amat stabil. Kesuksesan yang paling spektakuler adalah di bidang industri otomotif. Dalam waktu yang cukup lama, pabrik-pabrik mobil di Amerika mampu bertahan karena keuntungan bisa diperolah dari menghasilkan produk-produk yang hampir sama dari waktu ke waktu, hanya kosmetiknya yang dirubah-ubah. Industri ini menekankan pada kompetisi harga ketimbang peningkatan kualitas dan desain. Dalam lingkungan kerja, manajemen menekankan pada pengontrolan melalui penyederhanaan dan penspesialisasian pekerjaan dalam suatu tangga piramid yang amat hirarkis. Contoh di bidang otomotif ini menggambarkan sistem produksi masal yang juga diterapkan di bidang-bidang lain. Kemenangan sistem sangat total, sehingga pola-pola lain dari sistem produksi hampir pasti punah. Terlalu sempit ruang gerak bagi ekonomi yang bertumpu pada tradisi kerajinan, dengan hirarki lingkungan kerja yang lebih horisontal dan tidak tajam, organisasi kerja yang partisipatif dimana pekerja memiliki tempat untuk ikut mengambil keputusan-keputusan desain dan produksi, ataupun untuk beberapa cara lain guna memenuhi segmen pasar tertentu yang lebih kecil. Kesusksesan tersebut ternyata tidak mampu bertahan lebih lama. Ketika industri di Jerman, Jepang dan Itali yang menerapkan bentuk baru dari suatu lingkungan kerja dengan teknologi yang lebih fleksibel, pola produksi yang efisien untuk memenuhi kebutuhan segmen pasar tertentu, mampu menggeser paradigma lama tersebut. Keberhasilan industri Jepang berlandaskan suatu sistem yang sama sekali berbeda dari sistem produksi masal ala Detroit. Industri Jepang berhasil memenuhi variasi segmen pasar dengan memuaskan. Untuk mencapai kesuksesan itu, teknologi, sistem produksi, metoda pengembangan produk, serta pola lingkungan kerja didukung sedemikian rupa sehingga mempercepat sampainya produk ke pasar (time to market). Ini semua mensyaratkan perlunya pekerja amat terampil disamping fleksibilitas otomasi. Penekanan pada kualitas dan pelayanan serta sampainya produk ke pasar (time to market) menjadi signifikan. Dimensi spasial berperan dalam sistem produksi yang diterapkan Jepang ini. Untuk memenuhi target segmen pasar tertentu, industri bergerak mendekati konsumen. Pada saat yang sama, dalam rangka meningkatkan kualitas dan menekan ongkos, mereka mendekati pihak suplier. Kolaborasi yang baik dengan para industri kecil penerima subkontrak ditingkatkan secara harmonis, amat berbeda dengan industri Amerika yang tidak jarang melecehkan para partner supliernya. Pelajaran dari Jepang ini memukul keras industri Amerika. Kelemahan teknologi pengembangan dan produksi seketika menyadarkan Amerika. Teknologi kembali menunjukkan bagaimana daya saing suatu bangsa ditentukan. Apa hubungannya dengan Indonesia? Kegagalan teknologi produksi masal ala Amerika itu lantas direlokasi di negara-negara dunia ketiga yang kepemimpinannya lemah. Indonesia adalah satu diantaranya. Model produksi masal yang gagal itu lantas diterapkan di tanah air atas nama pertumbuhan ekonomi dan stabilitas pembangunan. Belum ditambah lagi, kepemilikan dimonopoli oleh segelintir konglomerat yang memperoleh katabelece penguasa. 5
Relokasi industri yang ditangkap oleh para konglomerat itu mulai membangun pabrik-pabrik di pusat-pusat pertumbuhan dengan infrastruktur, listrik, jalan, air, penggusuran pemukiman ataupun lahan, dsb, yang disiapkan melalui program pemerintah. Dan untuk itu bahan baku dikumpulkan dari seluruh penjuru tanah air untuk diolah di pabrik secara terpusat dengan skala besar, yang lantas hasilnya dipasarkan ke seluruh penjuru tanah air dengan harga yang murah. Teknologi produksi masal usang ala Amerika diterapkan dan lingkungan kerja diperparah dengan ditekannya upah buruh serendah-rendahnya, karena ongkos teknologi dan bahan baku impor tidak bisa ditekan lagi. Pasar domestik dimonopoli oleh sistem ini. Lebih parah dari keadaan di negeri asalnya, sistem ini menyebabkan hilangnya kemampuan para local genius dalam memproduksi barang-barang kebutuhan skala kecil, karena pasarnya diambil alih oleh model produksi masal milik konglomerat. Lebih lanjut, hal ini juga menjadi penyebab dari keseragaman barang yang monopolisis. Merek bisa berbeda-beda namun sebenarnya diproduksi oleh pabrikpabrik milik konglomerat yang itu-itu juga. Ditambah lagi dengan gejolak kaum buruh yang ditangani melalui berbagai modus kekerasan yang kadang mengorbankan nyawa manusia Indonesia. Penerima akibat yang paling merasakan model pembangunan ekonomi yang sentralistis, monopolistis, dengan metoda produksi masal yang usang itu adalah sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat. Diantaranya adalah Usaha Kecil Menengah, Koperasi di berbagai sektor, koperasi-koperasi pesantren, sentra-sentra ekonomi berbasis adat di beberapa wilayah di luar Jawa. Maka ada istilah-istilah sektor informal, perambah hutan, atau di lingkungan pertambangan ada istilah penambang liar atau penambang tanpa ijin yang menyudutkan kegiatan ekonomi rakyat. Secara budaya, pendekatan penguasa yang sentralistis, feodalistis dan monopolistis telah mengakibatkan pergeseran dari masyarakat produktif, yang mampu memproduksi sendiri berbagai kebutuhan pokok sehari-hari, kini justru hanya menjadi masyarakat konsumtif. Revolusi Teknologi Informasi Sejarah, kini, kembali menawarkan pencerahan baru. Revolusi teknologi informasi menjanjikan struktur interaksi kemanusiaan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih efisien. Revolusi informasi global adalah keberhasilannya menyatukan kemampuan komputasi, televisi, radio dan telefoni menjadi terintegrasi. Hal ini merupakan hasil dari suatu kombinasi revolusi di bidang komputer personal, transmisi data dan kompresi, lebar pita (bandwitdh), teknologi penyimpan data (data storage) dan penyampai data (data access), integrasi multimedia dan jaringan komputer. Konvergensi dari revolusi teknologi tersebut telah menyatukan berbagai media, yaitu suara (voice, audio), video, citra (image), grafik, dan teks. Teknologi informasi telah, sedang dan akan merubah kehidupan umat manusia dengan menjanjikan cara kerja dan cara hidup yang lebih efektif , lebih 6
bermanfaat, dan lebih kreatif. Sebagaimana dua sisi, baik dan buruk, dari suatu teknologi, teknologi informasi juga memiliki hal yang demikian. Beberapa pertanyaan dan pernyataan berikut bisa memberikan pertimbangan kemana seharusnya teknologi ini diarahkan dan ditempatkan dengan sebenar-benarnya, dan apabila keliru, suatu bangsa akan mengalami akibatnya secara fatal: Sifat ambivalen teknologi informasi oleh Andrew Feenberg dinyatakan dalam dua prinsip yang menjelaskan implikasi sosial dari pengembangan teknologi ini, yakni “principle of the conservation of hierarchy” sekaligus juga “principle of subversive rationalism”. Prinsip yang pertama bermakna bahwa hirarki sosial yang ada dipertahankan oleh teknologi tersebut, dan bahkan diperkuat lagi. Suatu contoh disini adalah komputerisasi manajerial yang memperkuat kontrol terhadap bawahan oleh para pemilik modal untuk lebih mengefisienkan para pekerjanya. Sementara prinsip kedua meyakini bahwa teknologi baru sering membuka peluang bagi perubahan hirarki sosial yang ada di masyarakat sehingga mendorong terjadinya demokratisasi. Tempat dimana komputer akan berperan dalam kehidupan sosial sangat tergantung secara erat dengan rancangan sistemnya. Sistem dapat dirancang untuk alat control hirarkis. Sebaliknya sistem yang dirancang secara demokratis akan merespon dimensi komunikatif dari komputer sehingga bisa memfasilitasi kemandirian organisasi-organisasi masyarakat. Demikian pandangan Winograd dan Flores yang menyebutnya dengan "ontological designing". Hirschhorn menjelaskan potensi komputer dengan mengontraskannya dengan pandangan para Taylorist. Kalau Taylorism membatasi dan bahkan menindas gerak anggota badan manusia pekerja untuk mengikuti sistem ban berjalan demi efisiensi, komputer memiliki prinsip fleksibelitas yang menciptakan konsepsi pekerjaan dimana kapasitas pekerja untuk belajar, untuk beradaptasi, untuk meregulasi kontrol yang berkembang menjadi sentral dari pengembangan potensi sistem mesin itu sendiri. Zuboff berargumentasi, dalam arah yang sejalan dengan argumentasi Marx yang mengkongkritkan evaluasinya tentang biaya tinggi dari sistem manajemen otoriter. Ia menunjukkan bahwa komputer dengan sifat ambivalennya dapat berperan dalam pembangunan masyarakat alternatif. Otomatisasi meningkatkan otonomi manajemen hanya dengan sedikit ongkos melalui terciptanya ruang-gerak para pekerja, dimana ruang gerak tersebut justru membuka peluang untuk meningkatkan kualitas kerja individu secara terarah. Pandangan ini dinyatakan Zuboff dengan : "Design teknologi sekaligus menyangkut asumsi-asumsi yang dapat mengundang atau meniadakan kontribusi insani". Ia selanjutnya menyatakan bahwa komputer memungkinkan dua proses transformasi komplementer sekaligus. Pertama, komputer dapat digunakan untuk mengotomatisasi produksi sehingga membebaskan manusia dari upaya-upaya fisik proses produksi yang membosankan. Disisi lain, komputer juga dapat digunakan untuk mengintegrasikan mesin dan pekerja pada tingkat keterlibatan intelektual dan produktivitas yang lebih tinggi, yang dia sebut dengan istlah “to informate”. Istilah ini bukan sekedar suatu alternatif bagi otomatisasi dalam makna yang umum, namun lebih merupakan suatu cara yang lebih baik dalam otomatisasi yang mempertimbangkan potensi sumberdaya insani dalam lingkungan kerja bersama-sama dengan mempertimbangkan potensi teknikal komputer secara sinergis. 7
Andrew Fernberg mengingatkan kembali sejarah pemisahan lapisan tenaga kerja menjadi “manual workers” (manual labors) versus “sacred readers” (mental labors) yang kini digugat kembali. Strategi otomatisasi yang memanfaatkan kemampuan komputer dalam komunikasi akan menurunkan perbedaan yang menyolok antara pekerja mental (intelektual, politisi, pemuka agama, dll.) dengan pekerja manual (buruh, logi baru karyawan, dll.). Bentukbentuk norma sosial yang baru akan bertumbuhan di seputar penerapan teknologi baru, yang akan menjadi medium bagi proses demokratisasi kemandirian organisasi. Teknologi informasi mengaburkan batas-batas tradisional yang membedakan bisnis, media dan pendidikan. Teknologi informasi juga mendorong pemaknaan ulang perdaganagn dan investasi. Revolusi ini secara pasti merasuki semua aspek kehidupan., pendidikan, segala sudut usaha, kesehatan, entertainment, pemerintahan, pola kerja, perdagangan, pola produksi, bahkan pola relasi antar masyarakat dan antar individu. Dewasa ini sedang diributkan seputar politik dan kontrol terhadap teknologi yang terus tumbuh ini. Suatu hal yang merupakan tantangan bagi semua bangsa, masyarakat dan individu. Pada dasarnya, teknologi yang memungkinkan dan memudahkan manusia saling berhubungan dengan cepat, mudah, dan terjangkau memiliki potensi untuk mendorong pembangunan masyarakat yang demokratis. Teknologi semacam ini harus dimiliki oleh rakyat untuk membantu rakyat mengorganisir diri secara modern, efisien, sehingga pada gilirannya rakyat yang mendapat manfaat tersebar dari proses berekonomi dan bermasyarakat. Pertumbuhan Ekonomi dan Demokrasi Teknologi informasi dapat menjadi alat pendorong ke arah demokratisasi. Hal yang merupakan jembatan menuju perkuatan masyarakat madani dimana masyarakat dapat memiliki alat-alat yang membantu mereka mengembangkan usaha dan menikmati hasilnya. Sesuatu yang merupakan kerangka akses untuk semua orang menuju bad 21. Dengan arahan yang tepat dan sedikit intervensi, teknologi informasi dapat membantu mentransformasikan populasi marjinal di banyak negara dari posisi pengamat menjadi partisipan aktif. Perubahan ekonomi dan demokratisasi sedang berjalan pesat secara luas dimanapun. Elemen-elemen baru ini sedang bergabung dengan nilai-nilai tradisional secara sinergis. Menurut pandangan Francis Fukuyama, yang banyak menulis dengan tepat seputar kesuksesan ekonomi Jepang dan Asia Tenggara, penggabungan nilai-nilai baru dengan yang tradisional itu memiliki potensi yang luar biasa, seperti dikatakannya: “….demokrasi dan kapitalisme bekerja paling prima ketika hal tersebut bersinergi dengan tradisi budaya yang muncul dari sumber-sumber nonliberal….. Institusi sosial dan politik liberal modern tidak saja dapat berdampingan dengan agama dan elemen-elemen tradisional lainnya, bahkan banyak hal menunjukkan bahwa keduanya bekerja sama secara baik…”.
8
“Suatu ekonomi kapitalistik yang sehat adalah yang memungkinkan tersedianya cukup kapital sosial untuk masyarakat sehingga memungkinkan bisnis, korporasi, jaringan, dan institusi sosial kemasyarakatan lainnya untuk dapat berorganisasi secara mandiri (self-organizing)”. Seperti halnya ekonomi pasar bebas, termasuk prasarana yang menyertainya, merupakan mesin penggerak demokrasi. Maka teknologi informasi merupakan alat bagi kesetaraan akses informasi (dan kemudian akses kekuasaan) bagi manusia di belahan bumi manapun. Hampir semua negara-negara di Asia telah meletakkan dasar-dasar visi menyongsong era baru ini. Maka, negara-negara lain perlu dan harus mulai bergerak ke paradigma abad 21 ini. Suatu visi dimana dunia dengan sejumlah besar manusia yang tinggal jauh dari satu sama lain akan menikmati akses instan kepada ilmu pengetahuan dimanapun berada (dalam bahasa yang merke pahami) dan mereka akan berkomunikasi satu sama lain (dalam bahasa mereka sendiri-sendiri). Juga amat penting, medium ini juga akan memungkinkan penyediaan akses kepada alat-alat produksi yang akan bisa membangkitkan kalangan miskin untuk mendongkrak diri mereka (dengan sedikit bantuan dan intervensi) dari kemiskinan selama ini. Dalam pemahaman ini, pentingnya sensitivitas budaya perlu ditekankan. Keterlibatan aktif sumberdaya insani dalam proses transfer teknologi sama pentingnya dengan teknologi itu sendiri. Keberhasilan penetrasi teknologi informasi akan sangat tergantung dari faktor ini. Sosialisasi dan pelatihan perlu dilakukan oleh para genius lokal yang paham masyarakatnya, berbahasa setempat, memiliki sensitivitas budaya setempat yang tinggi, serta memahami kebutuhan lokal untuk bisa menterjemahkan kemampuan teknologi tersebut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat itu. Komponen ini yang akan mendorong keberhasilan teknologi informasi sebagai alat pendongkrak kemiskinan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berbasis kemampuan rakyat dan sekaligus menjadi alat demokratisisai menuju masyarakat madani yang dicita-citakan. Dari sisi dukungan kepada pemerintahan yang modern, teknologi informasi dapat mendorong pengembangan beberapa pendekatan baru guna pembaharuan di sektor publik yang dewasa ini merupakan suatu permasalahan tersendiri. Dewasa ini, desakan domestik dari masyarakat negara-negara donor tentang bantuan asing ke negara-negara berkembang, mau tidak mau, menyebabkan banyak negara ketiga membuat prioritas baru dalam agenda sosial mereka. Penurunan jumlah bantuan dan hutang perlu diimbangi dengan suatu mekanisme kontrol penggunaan dana yang setepat-tepatnya. Teknologi informasi adalah alat yang tepat untuk membantu pengontrolan penggunaan dana mulai dari pemerintah lokal hingga nasional, disamping juga bisa menajdi alat yangbaik untuk memfasilitasi diskusidiskusi publik yang mengarah kepada suatu konsensus masyarakat. Dorongan Pasar Bebas dan Globalisasi (Global Market Driven Forces): Revolusi teknologi informasi telah memberikan kekuatan yang sangat besar dalam merubah paradigma kemanusiaan. Diantaranya yang paling cepat mengadopsi perubahan paradigma itu adalah dunia usaha dan perekonomian global.Gelombang reformasi dan demokrasi yang kita hadapi sesungguhnya hanyalah konsekuensi 9
dari perubahan di dalam fundamen yang menyokong ekonomi dunia. Perubahan itu terjadi akibat dari berlangsungnya 3 faktor yang membentuk kembali dunia perdagangan internasional. Ketiga faktor tersebut adalah internasionalisasi komoditi, transnasionalisasi modal dan globalisasi informasi . (Lihat Gambar A). Suatu komoditi saat ini diciptakan berdasarkan sumbangan dari seluruh penjuru dunia. Perluasan produksi komoditi itu berarti perluasan produksi dunia. Inilah yang dimaksud dengan internasionalisasi komoditi yang membawa akibat kepada meluasnya penggunaan mata uang dunia (US dollar). Dari Gambar A, proses internasionalisasi komoditi sejak tahun 1950 – 1990 telah tumbuh sekitar 20%. Manakala suatu komoditi dihasilkan dengan cara menggabungkan berbagai produk dari seluruh dunia, penggabungan itu akan terjadi juga kepada salah satu faktor produksinya, yaitu modal. Produksi tidak lagi melibatkan tenaga kerja diseluruh dunia, pada akhirnya ia juga melibatkan modal dari berbagai bangsa. Transnasionalisasi modal ini menyebabkan modal amat likuid, dengan cepat bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Pada suatu saat modal menjadi anonim, siapa pemiliknya tidak jelas diketahui dan pemanfaatannya pun lepas dari preferensi individual. Dibanding tahun 1950an, modal transnasional telah naik menjadi lebih 160% pada tahun 1990-an. Modal jenis inilah yang yang telah merontokkan mata uang negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Modal ini datang dan pergi hanya untuk satu alasan: keuntungan.
200 180 160 140
Information Capital
120 100 1950s
Goods 1960s Goods
1970s Capital
1980s
1990s Information
Gambar A. Internasionalisasi Komoditi, Transnasionalisasi Modal, Globalisasi Informasi
Faktor penentu ketiga adalah globalisasi informasi, yaitu penyebaran akses dan produksi informasi keseluruh dunia. Informasi bisa diakses dan dimiliki oleh siapa saja dan dimana saja di dunia ini. Perkembangan lintas batas informasi adalah yang tercepat. Sampai ketika Internet ditemukan, sekitar tahun 1990 globalisasi informasi telah naik 200% dibanding tahun 1950an. Dengan semakin luasnya pemakaian Internet globalisasi informasi naik entah berapa kali lipat, only sky is the limit. 10
Ketiga kecenderungan inilah yang membentuk ulang dunia tempat hidup kita sekarang. Dan salah satu faktor penentu, modal transnasional, telah membuktikan kekuatannya tatkala memicu runtuhnya perekonomian Indonesia. Maka proses reformasi, dimana demokratisasi menjadi pegangan utamanya, yang sedang kita lakukan sekarang ini, tidak lain hanyalah langkah awal dari perubahan yang perlu dan harus kita lakukan demi menyiasati perubahan bukan saja di lingkungan internal, bahkan juga di lingkungan global. Peranan Lembaga Dana Internasional Pada tahun 1944 Konferensi Bretton Woods di New Hampshire membentuk Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund). Tujuan nya adalah untuk melaksanakan restrukturisasi masyarakat industri kapitalis yang hancur akibat perang dunia II. Pada saat itulah istilah pembangunan (“development”) dipopulerkan. Yang artinya adalah membantu dunia ketiga untuk mendesain dan mendukung program-program tertentu. Pada titik ini terdapat kontroversi, tanpa harus memperdebatkan apa maksud dan tujuan sebenarnya, namun dampak yang jelas adalah adanya upaya untuk mengintegrasikan negaranegara Selatan, bekas jajahan, kedalam sistem global yang didominasi oleh konsentrasi kekayaan negara-negara Utara. Pertanyaan kritis yang muncul adalah “Where have all the billions gone?” begitu menurut David Barsamian dalam wawancaranya dengan Noam Chomsky. Pertanyaan itu dilanjutkannya dengan: “The World Bank has lent tens of billions of dollars. Who lent what to whom exactly? What did it do there?” Jawabannya memang tidak sederhana. Di negara maju, dana itu digunakan untuk merekonstruksi kerusakan akibat perang dunia II. Sementara di negara ketiga penggunaan dana itu memiliki bermacam aspek, misalnya dampak dalam sistem pertanian, pembangunan prasarana, mengendalikan proyek-proyek untuk dilaksanakan di daerah tertentu dan menghindari daerah-daerah yang tidak diinginkan, mendorong pertanian berorientasi expor dengan cara memotong substitusi impor, disamping itu juga dukungan pada pembuatan kebijaksanaan untuk mendukung semua proses yang dikehendaki. Mereka juga sangat mempengaruhi sektor finansial karena kekuatan yang dimiliki. Dewasa ini, selain Indonesia, juga negara-negara Amerika Latin menghadapi hutang luar negeri yang amat besar. Sistem Bretton Woods pada dasarnya mencakup regulasi mata uang disertai beberapa aturan yang menempatkan Amerika Serikat sebagai bankir internasional. Cara ini amat sukses di tahun 50an dan 60an melalui kemudahan investasi perusahaan-perushaan AS di luar negeri. Namun pada tahun 1970, AS tidak mampu mempertahankan peranan tersebut. Presiden Nixon mencopot sistem tersebut pada tahun 1971. Akibatnya adalah terdapat sejumlah besar dana, bebas regulasi, mengambang di jalur-jalur internasional . Para bankir kemudian meminjamkan dana tersebut ke para elit negara dunia ketiga, diantaranya adalah para diktator di negara Amerika Latin, disamping Indonesia. Lantas, mereka menyebutnya dengan “keajaiban ekonomi” di negara-negara dunia ketiga. Pada tahun 80an, sukubunga di AS meningkat, maka mulailah mengalir dana dari negara ketiga ke AS disertai dengan peningkatan pembayaran bunga pinjaman. Disinilah mulainya kehancuran ekonomi Amerika 11
Latin. Kapital mengalir keluar dengan cepat. Pemerintahnya tidak mampu mengontrol para elit yang melarikan kapital tersebut. Disitulah terjadi aliran ratusan miliar dolar dari Selatan ke Utara yang dikenal dengan “pelarian kapital” (capital flight). Fenomena ini terulang di negara-negara ketiga lain, termasuk Indonesia baru-baru ini. Hingga kini, dikatakan bahwa negara-negara Afrika yang miskin pun m,engekspor kapital ke lembaga pemberi hutang internasional. Hasil bersih dari proses tersebut sering dikatakan sebagai “suatu program dimana orang-orang miskin di negara kaya membiayai orang-orang kaya di negera miskin”. Hal tersebut amat berbeda dibandingkan negara-negara Asia Timur. Korea Selatan misalnya, tidak mengalami “capital flight” karena kekuatan negara tidak hanya digunakan untuk mengontrol buruh tetapi juga mengontrol kapital. Cerita selanjutnya adalah peran IMF, yang dikelola oleh negara-negara kaya, untuk meletakkan aturan bagi negara-negara lemah yang sedang dilanda duka. Keadaan dengan tingkat inflasi yang tinggi, mata uang yang tidak stabil, dan berbagai indikator ekonomi tidak memuaskan, maka resep yang disodorkan biasanya adalah mengatur keseimbangan budget, kurangi layanan masyarakat, mengontrol mata uang, serta teknik-teknik lain yang sejalan dengan prinsip ekonomi pasar bebas ala neoliberalism. Resep-resep tersebut tidak diterima oleh negara manapun kecuali dalam keadaan terpaksa. Amerika Serikat sebagai contoh, negara penghutang paling besar ini, tidak menerima resep-resep IMF tersebut. Hanya negara-negara dunia ketiga yang dikontrol melalui kepentingan para elitenya, yang sering diuntungkan oleh sistem IMF tersebut, yang menerima resep-resep IMF tanpa berpikir panjang, yang pada akhirnya berakibat kurang menguntungkan kepada masyarakat luas. Indonesia Menghadapi Tantangan Rekolonisasi Ketiga aspek proses globalisasi akan mendapatkan kekuatan yang sangat dahsyat dari revolusi teknologi informasi dan komunikasi, seperti telah disampaikan sebelumnya, yang mewujud dalam teknologi Internet. Dalam masa 10 tahun ke depan kemajuan Internet, dengan tingkat perkembangan yang ada, akan merubah hampir semua aspek kehidupan -- pendidikan, perawatan kesehatan, kegiatan kerja dan pengisian waktu luang. Internet menawarkan peluang yang sangat luar-biasa, yang tidak seluruhnya positif. Dari sisi positif, Internet dapat menjadi alat demokratisasi yang ampuh. Internet mampu memberikan sekaligus dua hal yang menjadi inti demokrasi: kemampuan memilih dan kemampuan mewujudkan pilihan. Penduduk kita yang terpencar, oleh jarak atau waktu, akan menghadapi perubahan ini sebagai warga masyarakat global. Internet, yang ketika pertama kali diciptakan untuk keperluan ilmiah, sekarang menjelma menjadi perlengkapan untuk kehidupan sehari-hari, bisa diakses dari seluruh penjuru bumi. Mahasiswa di seluruh dunia seperti menemukan harta karun semasa menelusuri World Wide Web. Para dokter memanfaatkan tele-medicine untuk diagnosa pasiennya di tempat yang jauh. Warga negara suatu bangsa menemukan cara untuk menyampaikan pandangan-pandangan politiknya. Internet telah dipergunakan untuk membangun kembali pemerintahan, hidup dan masyarakat. Ketika Internet memberdayakan warga negara dan mendekratisasikan 12
masyarakat, Internet juga mengubah paradigma bisnis dan ekonomi yang klasik. Berbagai model baru interaksi komersial berkembang sementara bisnis dan konsumen bertemu di Internet ini. Para wiraswastawan mampu memulai usaha barunya dengan lebih mudah, dengan kebutuhan investasi jauh lebih kecil untuk mendapatkan jaringan konsumen mendunia. Perdagangan teknologi Internet tumbuh pesat seperti roket. Sekarang perdagangan dunia untuk produk perangkat lunak, hiburan, jasa informasi, lisensi, jasa keuangan dan profesional melonjak sampai US$ 40 milyar. Dan, bagian dari transaksi yang diselenggarakan secara online meningkat terus. Internet memiliki potensi untuk mengubah secara cepat perdagangan dunia dengan secara dramatis menurunkan biaya transaksi dan memudahkan berkembangnya jenis-jenis baru transaksi komersial. Internet juga telah merevolusi pemasaran eceran dan penjualan langsung. Konsumen bisa berbelanja dari rumah untuk pilihan produk yang amat luas dari seluruh dunia. Mereka dapat melihat barang-barang itu langsung dari pesawat TV atau komputer, mendapatkan informasi tentang produk itu, menempatkan pembelian, semuanya dari ruang keluarga di rumahnya. Perdagangan melalui Internet akan mencapai puluhan milyar dollar menjelang akhir abad ini. Forrester Research, Inc memperkirakan pada tahun 2003 nilai perdagangan melalui Internet akan melonjak menjadi US$ 3,1 trilyun. Dari jumlah itu transaksi business to business akan mencapai US$ 1,4 trilyun. Sisanya dalah untuk transaksi business to consumers. Pertumbuhan Ekonomi di Asia sama menakjubkan sekalipun secara absolut jauh lebih kecil dibanding AS dan Eropa. Pertumbuhan rata-rata, menurut Dataquest, Inc., diperkirakan tidak kurang dari 100% per tahun. Sehingga pada tahun 2003, penjualan melalui e-com akan bernilai US$ 40 milyar. Internet dengan cepat berkembang menjadi standar bisnis baru di di dunia. Pada saat yang sama Internet membuka peluang menakjubkan dari terbukanya informasi. Apakah peran Internet bagi UKM? Peran paling penting dari Internet adalah membuka pintu gerbang informasi seluas-luasnya bagi siapa saja. Bersama Internet semua informasi bebas diakses siapa saja. UKM bisa mencari penjual bahan baku dan menawarkan produk langsung kepada pembeli. Dengan kata lain Internet yelah meruntuhkan pemusatan dan monopoli informasi. Ini berarti teknologi telah membantu menghancurkan salah satu tiang penyangga kekuatan non-demokratik: penguasaan informasi secara sepihak. Dengan kata lain penemuan Internet telah turut ambil peran bagi penegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Internet telah melakukan tugas yang dalam sejarah biasanya diemban oleh sebuah revolusi sosial. Tugas kita sekarang adalah memelihara warisan Internet ini dengan seksama demi kemajuan ekonomi rakyat. Dengan kata lain, UKM dan rakyat pada umumnya mesti secepatnya menguasai teknologi, pengetahuan dan akses Internet agar momentum yang telah tercipta tidak buyar dengan sendirinya. Di sisi lain, Internet juga membuka peluang luarbiasa bagi lahirnya bentuk penjajahan baru. Suatu penjajahan yang bertujuan penguasaan ekonomi melalui pengendalian dan penguasaan informasi. 13
Kroker dan Weinstein dalam bukunya “Data Trash” menjelaskan tentang
tumbuhnya suatu era yang disebutnya dengan “Virtual Capitalism”, dimana jaringan telematika yang memungkinkan “hyper liquidity of free circulation” akan bergerak berdasar norma-norma keuntungan yang dimungkinkan secara teknologis tanpa menghiraukan norma-norma sosial, politik maupun teritorial. Dikatakannya lebih lanjut, bahwa secara inheren, proses itu sendiri mengarah kepada suatu virtual politics yang penetrasinya pelahan tapi pasti mellau berbagai produk dan layanan yang menjanjikan berbagai nilai tambah dan kemudahan baru. Kenyataan yang kita hadapi memang luar biasa pahit. Lewat perjuangan keras pada Agustus 1945 kita berhasil melepaskan diri dari kolonialisme Belanda. Sekarang, setelah lebih dari 50 tahun merdeka ternyata kita masih harus menyembah untuk belas kasihan pemodal asing. Sekarang, tatkala kita ingin bangkit, kita seakan kembali terperangkap ke dalam koridor sempit yang mengerdilkan kemartabatan dan kemandirian kita. Kita tidak bisa tinggal diam dan menyerah pada keadaan dan kecenderungan global yang tidak bisa dibendung. Dengan segala keterbatasan yang ada, disertai dengan peluang yang memberi pengharapan, kita, sebagai bangsa, harus melakukan sesuatu yang strategis, mendasar, secara sistematis, terbuka, kompetitif dalam koperatif. Pokok-pokok Pikiran Ekonomi Kerakyatan Landasan bagi kebijakan ekonomi di masa depan harus disusun menurut perspektif menyeluruh atas kekuatan-kekuatan yang membentuk kondisi kita sekarang ini. Kondisi objektif itu dapat diringkaskan dalam pokok-pokok pikiran berikut ini: 1. Segala bentuk korupsi yang menyebabkan biaya transaksi tinggi terjadi sebagai akibat dari sistem yang tertutup dan protektif. Tanpa kelembagaan yang memiliki derajat accountability dan predictability yang tinggi, perekonomian akan tumbuh sebagaimana disinyalir oleh Schumpeter “Kapitalisme dalam tenda oksigen”. Apa yang terjadi dibalik tenda tidak sungguh-sungguh nyata. Pertumbuhan ekonomi tidak lebih dari ilusi belaka. Apabila kelembagaan demokratis gagal mengendalikan keserakahan penguasa, semua mimpi pada waktunya akan sirna. 2. Pengusaha-pengusaha yang tangguh tidak dilahirkan dari rekayasa atau sistem preferensi. Hanya pergulatan dalam pasar yang akan memberikan kita industrialis dan pengusaha yang dapat kita banggakan. Sistem preferensi hanya akan mengukuhkan eksistensi elit dan mengekalkan sistem proteksi, yang dalam jangka panjang justru merusak sendi-sendi ekonomi dan demokrasi masyarakat kita. 3. Kenaikan standar hidup rakyat harus dilihat sebagai bagian pembentukan modal nasional (capital accumulation). Ini berarti tujuan pokok dan terus-menerus dari kebijaksanaan ekonomi kita adalah peningkatan daya beli (purchasing power) dari rakyat. Pelajaran ini sangat penting, bahwa di masa depan kekukuhan ekonomi nasional harus ditemukan di dalam potensi besar yang dimiliki masyarakat luas, yaitu usaha kecil dan menengah. 14
4. Krisis Ekonomi 1997-1998 menunjuk kepada pentingnya memperhitungkan kekuatan eksternal yang semata bekerja menurut hukum ekonomi pasar, dan indifferent terhadap dampak kepada kemanusiaan. Kekuatan modal yang menyerbu pasar uang Asia amatlah besar dan tidak pernah ada preseden sebelumnya menyangkut pengerahan dana sebanyak itu. Para fund managers yang berada dibalik pengerahan dana besar-besaran itu berhasil mengeruk keuntungan amat besar dengan meninggalkan ribuan industri bangkrut dan jutaan pengangguran baru. 5. Fokus kebijaksanaan ekonomi adalah usaha kecil/menengah. Kalau kita menuntut pemerintah menaruh fokus kepada usaha kecil/menengah bukanlah karena kita ingin menciptakan sistem preferensi baru. Dengan menaruh perhatian kepada UKM tidak berarti pemerintah bertindak unfair, sehingga dikhawatirkan nantinya bakal mendistorsi pasar. Substansi pokok ilmu ekonomi adalah memperbesar manfaat (utility). Manfaat adalah value, yang dalam ilmu ekonomi adalah subjektif. Bagi seorang petani desa, pendapatan Rp.1 juta sudah cukup untuk mencetak 5 anaknya menjadi sarjana. Tetapi uang sebesar ini bagi seorang konglomerat, barangkali hanya cukup untuk sekali makan siang. 6. Persoalan yang juga akut menyangkut pengembangan usaha kecil dan menengah adalah terjebaknya usaha kecil dan menengah di dalam kelumpuhan sumberdaya Keadaan mereka yang miskin, ketakpastian dan resiko yang tinggi praktis telah mengasingkan mereka dari sumber-sumber modal, keahlian, informasi dan peluang bisnis. Tidak seluruh kelemahan usaha kecil/menengah berasal dari kelemahan internal mereka. Kesalahan kebijakan yang melahirkan konsentrasi kekuasaan dan ekonomi mempunyai andil yang tidak kecil atas keterpurukan UKM. Modal, keahlian, informasi dan pasar adalah komoditi ekonomi yang senantiasa bergerak menuju lokasi dengan potensi keuntungan tertinggi. Selama kebijakan tidak memberi advantage kepada UKM, semua sumberdaya itu hanya akan bergerak ke arah usaha besar. Hanya dengan memberi advantage kepada UKM maka kesenjangan dapat dijembatani. 7. Fokus kebijaksanaan ekonomi kepada Usaha Kecil Menengah merupakan suatu keharusan apabila kita memperhatikan mereka adalah mayoritas pelaku usaha di Indonesia seperti tercermin dalam data berikut. Data BPS tahun 2009 menunjukkan bahwa terdapat 51 juta unit ekonomi di Indonesia, dimana 99,8% adalah pengusaha kecil dan hanya 0,2% pengusaha besar dan menengah. Dari jumlah 51 juta diatas, komposisi sektoral adalah pertanian 62,7%, perdagangan, perhotelan dan restauran 22,67%, Industri 5,7% dan Jasa sebesar 3,9%. Dari komposisi volume usaha sejumlah 99,90% volumeusahanya dibawah 2,5 miliar 0,8 % diantara 2,5 - 50 miliar, dan 0,01% yang diatas 50 miliar. Dari komposisi penyerapan tenaga kerja, kelompok pertama tersebut menyerap 88,66%, kelompok kedua menyerap 10,78% dan yang ketiga menyerap 0,56% 8. Apakah kebijaksanaan serupa itu akan mendistorsi pasar? Distorsi adalah keadaan ketika pelaku ekonomi keliru menafsirkan sinyal pasar. Ketika seharusnya ia membeli, malah menjual. Sebaliknya, saat seharusnya ia menjual malah membeli. Distorsi tidak disebabkan oleh policy, betapa pun buruknya policy itu. Distorsi ditimbulkan oleh ketidak-terbukaan. Kebijakan apapun kalau 15
dibuat dan dijalankan secara tertutup akan menyebabkan distorsi. Keadaan ini terjadi akibat ada informasi yang asymmetric, sebagian orang tahu sementara yang lain tidak tahu. Akibatnya sebagian pelaku akan bertindak optimal sementara yang lain tidak. Jadi, masalahnya bukankah kebijaksanaan apa, tetapi apakah semua orang punya informasi yang sama? Ekonomi Jaringan sebagai dasar Ekonomi Rakyat Ekonomi Jaringan adalah antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi berbasis produksi masal ala Taylorism, dan sekaligus sintesa dari ketiga faktor yang telah dijelaskan diatas, yaitu realitas bangsa yang mayoritas pelaku usahanya adalah usaha kecil menengah, faktor pendorong global dan pasar bebas, serta dorongan revolusi teknologi informasi. Memperhatikan berbagai faktor internal dan eksternal seperti dijelaskan sebelumnya, maka ekonomi kerakyatan perlu dipahami secara komprehensif, tidak sepotong-sepotong, dalam sebuah kerangka “close-circuit economy” yang sesuai dengan perkembangan paradigma baru masyarakat yang holistik. Secara singkat, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan sebagai:
ekonomi jaringan yang menghubung-hubungkan sentra-sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jaringan pasar domestik diantara sentra dan pelaku usaha masyarakat,
suatu jaringan yang diusahakan untuk siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga-lembaga bisnis internasional, dengan sistem kepemilikan koperasi dan publik.
Jaringan tersebut menerapkan sistem open consumer society cooperatives (koperasi masyarakat konsumen terbuka), dimana para konsumen adalah sekaligus pemilik dari berbagai usaha dan layanan yang dinikmatinya, sehingga terjadi suatu siklus kinerja usaha yang paling efisien karena pembeli adalah juga pemilik sebagaimana iklan di banyak negara yang menganut sistem kesejahteraan sosial masyarakat (welfare state) dengan motto: “belanja kebutuhan sehari-hari di toko milik sendiri”.
Ekonomi jaringan ini harus didukung oleh jaringan telekomunikasi, jaringan pembiayaan, jaringan usaha dan perdagangan, jaringan advokasi usaha, jaringan saling-ajar, serta jaringan sumberdaya lainnya seperti hasil riset dan teknologi, berbagai inovasi baru, informasi pasar, kebijaksanaan dan intelejen usaha, yang adil dan merata bagi setiap warga-negara, agar tidak terjadi diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu yang disudutkan sebagai beban pembangunan seperti yang terjadi selama Orde Baru.
Pada akhirnya, Ekonomi jaringan adalah suatu perekonomian yang menghimpun para pelaku ekonomi, baik itu produsen, konsumen, services provider, equipment provider, cargo, dsb di dalam jaringan yang terhubung baik secara elektronik maupun melalui berbagai forum usaha yang aktif dan dinamis. 16
Paradigma Networked Economy (Ekonomi Jaringan) dalam era globalisasi tidak bisa dihindari. Sukses Ekonomi Rakyat adalah Indonesia harus memiliki Ekonomi Jaringan sebelum tahun 2003. Semoga. Penutup
Solow, Dertouzos dan Lester dari MIT , ketika memimpin Komisi Produktivitas Industri Amerika, yang salah satu laporannya dimuat dalam buku berjudul “ Made in America”, kembali mengingatkan kita bahwa apabila suatu banga ingin hidup secara baik, maka bangsa itu harus berproduksi secara baik. Karena kalau tidak demikian, maka bangsa itu harus menanggung defisit akibat ketidak-setaraan dalam perdagangan antar bangsa.
Komisi Produktivitas Industri Amerika ini dibentuk karena desakan berbagai produk Jepang yang membanjiri Amerika dengan kualitas dan harga bersaing. Pabrikpabrik Amerika dianggap tidak efisien, kelompok pekerja yang diperlakukan kurang baik dan kurang terperbaharui pengetahuan dan ketrampilannya, manajer dianggap sangat oportunistik karena mengejar hasil jangka pendek ketimbang memperjuangkan tujuan fundamental jangka panjang. Amerika telah memberi contoh bagaimana strategi ekonomi yang diterapkan dalam melindungi pasar domestik untuk kepentingan produksi dalam negeri dengan cara meningkatkan produktivitas dan kualitas produk-produk untuk bersaing secara kompetitif dengan produk negara lain, bukan dengan cara proteksi yang mematikan. Untuk menuju kesana, langkah awal yang harus dilakukan adalah perhatian kepada mayoritas pelaku usaha, yakni usaha kecil menengah dan koperasi. Perhatian ini pada kenyataannya harus menyangkut pembenahan dalam banyak hal, mulai dari infrastruktur telekomunikasi, infrastruktur pembiayaan, dan infrastruktur usaha lainnya, ketersediaan sumberdaya manusia yang kreatif, ketersediaan riset dan teknologi yang bervariasi sesuai tuntutan usaha kecil menengah, ketersediaan dukungan untuk membentuk jaringan pasar domestik yang menjadi incaran pelakupelaku usaha internasional, dll. merupakan isu sentral dari usaha demokrasi ekonomi saat ini. Ekonomi kerakyatan berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala ekonomi dan efisiensi yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering disebut dengan “pembeli adalah juga pemilik”. Dengan keyakinan ini, Masyarakat Indonesia baru akan memasuki era globalisasi dengan cara-cara yang elegan dan kompetitif sebagaimana suatu korporasi “New Indonesia Incorporated”.
17