2.
2.1
KAJIAN PUSTAKA
Ekonomi Politik
Pendekatan ekonomi politik (polifical ecoiioniy) adalah suatu cara pandang perubahan sosial dimana inti dinamika perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan dengan perubahan sosial dan politik, dan semua itu dikembalikan pengaruhnya pada proses ekonomi (Rahardjo, 1997). Menurut Rachbini (1996) ekonomi politik biasanya diartikan sebagai analisis terhadap proses-proses politik yang berkaitan dengan bidang ekonomi politik. Batasan lainnya mengatakan bahwa ekonomi merupakan telaah sistematis terhadap hubungan antara proses ekonomi dan proses politik. Pendekatan ekonomi politik dalam ha1 ini merupakan sebuah keniscayaan mengingat dalam masalah-masalah pembangunan atau perkembangan ekonomi akan selalu menyangkut peranan pemerintah, yaitu seberapa jauh dan dengan cara bagaimana pemerintah tersebut menjalankan model pembangunannya Clark (1998) mengemukakan bahwa untuk memahami ekonomi politik,
perlu dikemukakan perbedaan karakteristik politik dan ekonomi dengan mengacu pada hal-ha1 berikut : Secara faktual, praktik ekonomi senantiasa diasosiasikan sebagai upayaupaya
untuk
mencapai
standar
kehidupan
material
setinggi
mungkin
(kemakmuran), dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Untuk
mencapai kemakmuran, ekonomi mempunyai tiga dimensi tujuan utama, yaitu . efisiensi, pertumbuhan, dan stabilitas. Di sisi lain, politik senantiasa dikaitkan dengan upaya-upaya untuk menetapkan dan melindungi hak-hak warga negara, sehingga warga negara tersebut dapat menerima dan mempertahankan hak-haknya (keadilan). Seperti halnya ekonomi, maka untuk mencapai keadilan, politik mempunyai tiga dimensi tujuan, yaitu: kebebasan individu, keadilan dalam distribusi manfaat dan beban, dan ketertiban sosial Namun demikian, Clark (1998) rupanya menyadari bahwa membuat perbedaan antara ekonomi dan politik dengan semata-mata mengacu pada tujuantujuannya, adalah tidak memuaskan karena kemakmuran dan keadilan mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan sama sekali Hal tersebut diungkapkan dengan jelas oleh Clark sebagai berikut .
Holvever, distinguishing between econonrics and politics solely by referring to their respectise gods is ultinrately unsatisfactory because prosperity andjustice are inextricably linked Apa yang diungkapkan oleh Clark tersebut, tentu dapat diterima dengan mudah, apabila didasarkan atas suatu asumsi bahwa suatu masyarakat yang makmur sebenarnya secara otomatis merupakan masyarakat yang adil. Karena di dalam masyarakat yang makmur, tersedia cukup banyak alternatif pilihan-pilihan bagi masyarakat, sehingga dengan sendirinya tercipta ketertiban secara dinamis
Sebaliknya, suatu masyarakat yang adil dengan sendirinya akan memunculkan kemakmuran melalui penyediaan peluang-peluang, imbalan yang wajar, dan jaminan keamanan untuk mendorong produksi dan akumulasi kesejahteraan. Dengan demikian, secara faktual, kemakmuran dan keadilan adalah saling terkait dan saling menguatkan. Oleh karena itu, membedakan antara proses ekonomi dan politik dengan mengacu pada perbedaan-perbedaan tujuannya, tidaklah konklusif
Sebagaimana diketahui, baik ekonomi maupun politik
keduanya
dengan
terkait
upaya
memajukan
manusia
dengan
jalan
mempertahankan kemakmuran dan keadilan Dalam konteks pembangunan Indonesia, tujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, pada hakikatnya merupakan refleksi dari keterkaitan yang sangat erat antara ekonomi dan politik, yang sekaligus merupakan proses dari ekonomi politik. Dengan pemahaman sederhana, politik dapat diasosiasikan sebagai kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pemerintah. Sedangkan ekonomi senantiasa merujuk kepada kegiatan-kegiatan yang dilakukan di pasar. Pembedaan ini dapat didukung dengan fakta sederhana, misalnya kegiatan-kegiatan seperti kampanye, pemilihan umum, pembuatan peraturan, dikategorikan sebagai kegiatan politik (political activity), sedangkan kegiatan jual beli yang umumnya tejadi di p a w , merupakan kegiatan ekonomi (economrcactivity). Sebenarnya perbedaan antara politik dan ekonomi, pada dasarnya dianggap sebagai sesuatu yang tejadi dengan sendirinya (taken for granted). Namun, ketika perbedaan tersebut dilakukan, maka seringkali muncul ambiguitas.
Hal ini dapat dilihat misalnya pada konsep "transaksi" yang selalu berkonotasi ekonomik, namun kenyataannya kegiatan politik juga sering merupakan wujud dari transaksi atau saling tukar menukar manfaat dalam masyarakat. Misalnya, masyarakat sepakat mentaati peraturan-peraturan, sebagai konsekuensi dan prestasi atas perlindungan yang diberikan oleh pemerintah atas hak-hak masyarakat tersebut.
Politisi memberikan program-program
khusus atau
memperjuangkan peraturan-peraturan yang menguntungkan sebagai imbalan atas pemberian suara oleh masyarakat konstituennya. Bahkan, dalam tahap-tahap tertentu, kegiatan pemerintah dapat dipandang sebagai serangkaian "tukar menukar" di sebuah pasar politik. Selanjutnya, pemerintah juga befingsi sebagai lembaga yang melakukan ekonomisasi ketika berusaha untuk mencapai tujuantujuan publik dengan menggunakan biaya minimum dan mengarahkan sumber daya kepada penggunaan yang optimal. Sebaliknya, pasar mempunyai juga dimensi-dimensi politik Hadirnya perusahaan-perusahaan dalam bentuk korporasi menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi sudah menjadi tempat tujuan bagi sekelompok besar manusia yang mempunyai tujuan yang sama. Dalam sebuah korporasi, pekerja tunduk kepada kekuasaan pimpinan perusahaan yang kadang-kadang bersifat arbitrer. Jika dalam konteks politik pemerintah menghukum orang yang melanggar hukum, maka dalam korporasi, pimpinan perusahaan mengandalkan sanksi seperti pemecatan untuk mempertahankan pengendalian atau kekuasaannya terhadap pekerja. Pimpinan korporasi menetapkan tujuan-tujuan
dan aturan-aturan
dengan
mengabaikan atau dengan sedikit input dari pekerja, dan bahkan kekuasaan
korporasi seringkali diterapkan untuk mernpengamhi kebijakan pemerintah, misalnya dalam konsepsi rancangan peraturan-peraturan ketenagakerjaan. Selain itu, banyak kegiatan pasar mempunyai konsekuensi publik dan menjadi isu politis yang menarik perhatian selumh masyarakat. Akhirnya, ketika pendapatan dan kesejahteraan telah terkonsentrasikan, kekuasaan orang kaya untuk memerintah orang lain menyerupai kekuasaan seorang diktator politik. Berdasarkan yang tersebut sebelumnya, maka Clark menyimpulkan :
"sole reliatlce on disfiticfiinsiit~tfio~?al areas does not proi~ideat1 adequate basisfor drstitigliishitlg betweeti ecotiomics atidpolifics". Dalam perspektif pelaku-pelaku utama, kegiatan ekonomi melibatkan orang-orang yang bertindak selaku individu yang otonom, sementara kegiatan politik mencerminkan upaya-upaya dari suatu masyarakat seluruhnya untuk secara kolektif berusaha mencapai tujuan-tujuannya. Perbedaan ini dapat diamati pada asal usul kata "ekonomi" dan "politik". Ekonomi berasal dari bahasa Yunani
oikos. artinya, rumah tangga, dan tiomos, artinya asas atau hukum. Sebagai asas pengelolaan mmah tangga, ekonomi berkaitan dengan upaya-upaya untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dengan sumber daya yang tersedia. Perilaku ekonomisasi dapat diarahkan terhadap setiap tujuan dan dipraktikkan di setiap arena institusional. Merefleksikan pendekatan ini, ekonomi kadang-kadang didefinisikan sebagai ilmu pilihan yang rasional atau ilmu tentang penggunaan sarana yang kurang, untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Sebaliknya, kata "politik" berasal dari kata Yunani polis, artinya masyarakat. Menurut Aristoteles, kehidupan publik dari suatu masyarakat adalah arena di mana kebebasan yang benar dan pembangunan manusia dilakukan. Meskipun kegiatan ekonomi penting bagi kehidupan manusia, namun gaga1 untuk mengikat manusia untuk bekerjasama dan membuat keputusan kolektif yang didasarkan atas argumentasi, dialog, persuasi, dan kompromi. Membedakan antara ekonomi dan politik dengan mengacu pada pelaku utama adalah bersifat problematik karena cairnya batas yang memisahkan antara iklim publik dan privat. Dalam masyarakat demokratik, pilihan kolektif masyarakat hams mencerminkan akumulasi pilihan individu. Banyak di antara tujuan publik justm dipilih individu misalnya lewat voting atau pengambilan suara Selanjutnya pilihan publik seringkali mencerminkan pengaruh individuindividu secara pribadi dan kelompok yang digunakan melalui lobi, kontribusi kampanye, dan kontrol terhadap seleksi calon untuk jabatan publik Sebaliknya, kualitas kehidupan publik mempengamhi tujuan-tujuan yang dipilih atau dapat diraih oleh individu-individu. Lingkungan sosial dan material membentuk bahasa, citra, keinginan-keinginan, dan tujuan-tujuan orang yang hidup di dalamnya. Berdasarkan interaksi antara iklim privat dan publik, perbedaan antara individu dan masyarakat sebagai pelaku utama tidak sepenuhnya dapat dipertahankan. Apabila politik dan ekonomi tidak dapat dibedakan secara jelas, mungkin terminologi tersebut semata-mata merupakan dua nama untuk proses yang sama. Keduanya menyangkut pengorganisasian dan pengkoordinasian aktivitas manusia,
dan pengaturan sumberdaya, pengelola konflik, pengalokasian beban dan manfaat, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia. Namun demikian, meskipun terdapat tumpang tindih antara politik dan ekonomi, keduanya masih dapat dianalisis sebagai proses yang berbeda. Pendekatan ekonomi politik sangatlah dibutuhkan untuk mengetahui gambaran pembangunan yang akan diterapkan di sebuah kawasan. Hal ini dikarenakan masalah pembangunan pasti melibatkan pemerintah dan para pengusaha. Perbedaannya hanya terletak pada seberapa jauh dan dengan cara bagaimana. Untuk masalah tersebut, paling tidak terdapat dua aliran utama, yaitu yang ingin mempertahankan sejauh mungkin keterbatasan peranan pemerintah dan menyerahkan perkembangan pada masyarakat sendiri, terutama dunia bisnis, dan yang lain menghendaki peranan cukup aktif dari pemerintah dalam melakukan
intervensi yang efektif guna mengatur perekonomian
demi
kepentingan umum. Aliran pertama lebih menekankan kebijakan pemerintah dalam mengatur peredaran uang yang disesuaikan dengan kebutuhan pertumbuhan ekonomi serta membatasi peranannya sebagai 'polisi lalu lintas' dan penegak hukum yang melindungi kebebasan individu dan kemerdekaan ekonomi sesuai dengan prinsip
Lnissez faire laissez passer. Sedangkan aliran kedua lebih menekankan kebijakan pemerintah untuk melakukan intervensi yang aktif melalui pengaturan anggaran yang ditunjang oleh penyesuaian dalam pengaturan lalu iintas peredaran uang dengan tujuan utama
untuk menciptakan atau mempertahankan stabilitas ekonomi dan kesempatan kej a penuh. Kedua aliran ini, maupun aliran ketiga (campuran antara yang pertama dan kedua) menjadi pilihan bagi negara-negara berkembang dalam menjalankan roda pembangunan di negerinya masing-masing. Untuk itu, analisis pendekatan ekonomi politik sangat dibutuhkan untuk mengetahui gambaran pembangunan yang dipilih oleh sebuah negara Dalam pandangan Rachbini (1996) analisis ekonomi politik lebih ditandai oleh dua kubu pemikiran, yakni versi yang liberalis dengan penekanan terhadap bekerjanya mekanisme pasar karena alasan-alasan logika ekonomi yang rasional. Sementara itu, kelompok Marxis lebih menekankan pada telaah terhadap kekuasaan, yang banyak mempengaruhi hasil-hasil proses politik, yang berkaitan dengan ekonomi Menurut Staniland (1985), proses pembangunan di suatu negara mungkin bisa mengikuti salah satu di antara kelompok bawah ini
I . Orthodox liberalism, yang sangat mengagungkan individualisme, baik perilaku dan kepentingannya. Pandangan terhadap individu seperti ini bersifat sangat fundamental sehingga masyarakat hanya dipandang sebagai agregasr dan sintesis seluruh kepentingan individu masyarakatnya.
2. Socral critique of liberalrsn~,yang menyerang pandangan sangat liberal karena, di dalam pandangan liberalisme, individu seolah-olah hidup dalam isolasi dan ruang kosong Dalam pandangan ini, sebenarnya masyarakat
juga sangat membentuk individu-individu di dalamnya, baik dari sifat, kepentingan, dan perilakunya 3. Economisnt, yang pandangannya lebih mirip pada liberalisme, yang
melihat bahwa proses politik mempakan hasil dari proses-proses non politik. Jika kelompok liberal memandang proses politik sebagai h a i l dari sintesis proses interaksi individu, maka economism melihat proses politik tersebut mempakan muara dari kekuatan-kekuatan yang ada (socral
forces). Kekuatan-kekuatan tersebut mungkin adalah kelompok kelas-kelas (classes), seperti dalam pandangan Marxisme atau kepentingan kelompok (interest ofgrotip) dalam pandangan teorisi pluralis. 4. Polrticrsnt yang melihat bahwa stmktur politik lebih menjadi penentu yang
membangun
kepentingan-kepentingan
tertentu
dan
dapat
memanfaatkannya untuk kepentingan ekonomi tertentu. Untuk kasus Indonesia, wajah Indonesia
masa Orde Baru sangat
ditentukan oleh Soeharto dan gaya pemerintahannya sebagai kepala negara Mengingat
pengamhnya
yang
demikian
besar
menjadikan
para
pengagumnya menempatkan Soeharto di luar proporsinya, yaitu pada posisi kerangka teori tertentu. Sehingga ekonomi politik yang melingkupi era pembangunan di kawasan manapun di negeri ini, termasuk wilayah pesisir dan lautan Kota Batam, tidak bisa lepas dari pengamh ekonomi politik yang diterapkan selama masa Orde Bam tersebut. Orde Baru memulai langkah ekonominya dengan memobilisasi intelektual yang berasal dari kalangan ekonom yang terkenal sebagai teknokrat (Damanhuri,
2000). Hal ini terutama dalam periode Rehabilitasi Ekonomi (1966-1969). Dalam berjibaku memperbaiki ekonomi Indonesia pasca Pemerintahan Soekamo, Orde Baru menetapkan Industrialisasi Substitusi Impor (ISI) untuk menggerakan pembangunan di Indonesia. Misi ini nampaknya membuahkan hasif optimal dengan berdatangannya negara-negara maju untuk mengalirkan utang luar negeri berbunga lunak dengan jangka pengembalian yang panjang. Semua itu untuk keperluan pembangunan ekonomi secara berkesinambungan. Dalam catatan Dawam Rahardjo, selama Pelita I, rata-rata bantuan luar negeri yang dipakai mencakup 70.7% dari anggaran pembangunan (Mubyarto, ed. 1981). Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia yang selalu ditandai dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan harapan terhadap 'tetesan rejeki' ternyata
tidak
mampu
mensejahterakan
rakyat
kebanyakan.
Aktivitas
pembangunan ekonomi yang dipilih oleh Orde Baru, yakni liberalisasi ekonomi terbukti menghasilkan tingkat kesenjangan yang tinggi Selain itu, aktivitas pembangunan ekonomi yang dipilih Orde Baru cenderung menciptakan praktikpraktik penyimpangan ekonomi, seperti KKN, "kompradorisasi", kalangan penguasa parasit, dan sejenisnya. Aktivitas pembangunan ekonomi seperti ini terkategorikan sebagai model pembangunan konvensional, lawan dari model pembangunan hngsional. Dalam pandangan Mas'oed (1989) rezim Orde Baru telah memilih strategi ekonomi konvensional dengan strategi stabilisasi dan pembangunan ekonomi yang "berorientasi ke luar". Memang, dengan strategi ini Orde Baru berhasil menstabilkan perekonomian bahkan mampu menarik cukup banyak bantuan asing
sehingga memungkinkan pemerintah untuk mengurangi defisit APBN secara drastis. Kemudian pemerintah mengendalikan tingkat inflasi dari 600% lebih pada akhir tahun 1966 menjadi 15% dua tahun kemudian. Namun, strategi ekonomi yang "berorientasi ke luar" ini mengharuskan berbagai penyesuaian yang tidak menguntungkan bagi rakyat. Program stabilisasi yang drastis (yakni APBN berimbang, kredit ketat, penyesuaian harga, dan lain-lain) mengakibatkan kenaikan harga yang luar biasa hampir pada setiap jenis barang dan jasa serta kemacetan sektor-sektor produktif selama periode 196711968, Penggunaan barang-barang impor dalam program stabilisasi telah menyingkirkan barang-barang produksi dalam negeri dari pasar, dan pada gilirannya menyebabkan banyak kebangkrutan dalam masyarakat bisnis pribumi. Kesemuanya ini akhirnya menjadi awal krisis-krisis berkepanjangan di rezim Orde Baru yang mencapai klimaks pada krisis moneter di tahun 1997 dan akhirnya pada tahun 1998 mengakibatkan tumbangnya rezim Orde Baru tersebut. Masih dalam studi Mas'oed, rezim Orde Baru dikatakannya dipimpin oleh militer sebagai suatu lembaga bekerjasama dengan para "teknokrat" sipil. Selama periode 1966-1971, rezim Orde Barn dipimpin oleh Angkatan Darat, sebagai inti lembaga militer. Sampai pertengahan 1970-an, Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) mempunyai peranan yang dominan dan menentukan dalam proses politik. Dalam perkembangan berikutnya, berbagai kebijakan ekonomi yang pernah diambil ikut menentukan aktivitas pembangunan ekonomi di negeri ini, mulai dari "Politik Benteng", "Politik Integrasi", hingga "Ekonomi Kerakyatan"
belum sepenuhnya dapat mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat. "Politik Benteng" di zaman kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muhammad Nasir
dengan
Menteri
Perdagangan
Sumitro
Djojohadikusumo
menimbulkan praktik perkoncoaan yang disebut "Pengusaha
malah
Ali-Baba",
"Pengusaha Konco" yang malah menguntungkan segelintir orang saja, yakni pengusaha keturunan Cina (Damanhuri, 2000). "Politik Integrasi" Orde Baru yang berkelimpahan dana hutang luar negeri, PMA (penanaman modal asing) dan rezeki Migas (minyak bumi dan gas) hanya bisa dimanfaatkan pengusaha keturunan Cina akibat praktik birokrasi yang tidak sehat. Kebijakan ekonomi Orde Baru secara sadar atau tidak sadar telah memberikan peluang dan menyuburkan konglomerasi dan kompradorisasi. Pemerintah Orde Baru juga mengizinkan beberapa pengusaha (tipe birokrat, klien maupun Cina) mendominasi perekonomian Indonesia selama Orde Baru. Didukung oleh hak-hak khusus yang diberikan oleh pemerintah, para wiraswastawan tersebut mengendalikan setiap sektor utama perekonomian Indonesia. Lebih dari itu, hubungan khusus mereka dengan negara mernbuat menarik para investor asing yang menjalankan usaha di Indonesia dan mudah menciptakan kerja sama dengan kapitalis internasional dalam bentuk proyek patungan. Secara bertahap, terbentuklah hubungan segitiga "negara-kapital internasional-usahawan domestik" di Indonesia (Mas'oed, 1989). Ekonomi rakyat akhirnya terpinggirkan secara terus menerus. Hal ini akhirnya berkonsekuensi menimbulkan berbagai masalah sosial, politik, dan juga kerusakan lingkungan. Gambaran aktivitas pembangunan ekonomi semacam
inilah yang hams direvisi demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik, yakni dengan mewujudkan aktivitas pembangunan ekonomi yang fungsional Vitrzctional acti~~ityde~~elopmenl)yakni
dengan
menerapkan
pelaksanaan
konsep
pembangunan berkelanjutan. Dalam konsep pembangunan fungsional, seluruh ekosistem dianggap sebagai faktor penentu dalam pembangunan. Konsep pembangunan fingsional dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan menggunakan empat macam barang modal yang kesemuanya menentukan pembangunan ekonomi (kemajuan dan kemakmuran) suatu bangsa, yaitu: (a) barang modal buatan, (b) sumberdaya alam, (c) sumberdaya manusia, dan (d) modal sosial (social capilaf). Barang modal buatan (mais~ac/r~red capital) mencakup benda-benda (barang) hasil rakitan (buatan manusia), seperti kapal penangkap ikan, pabrik, irigasi tambak, dan lainnya (Dahuri, 2003). Konsep pembangunan fungsional menganggap sumberdaya alam bukan hanya lahan (larld), tetapi sebagai suatu kesatuan ekosistem yang terdiri atas sumberdaya alam (seperti lahan, air bersih, hutan, sumberdaya ikan, dan mineral) beserta segenap fingsi-fingsi lingkungan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian. konsep pembangunan hngsional yang menggunakan pendekatan berkelanjutan mensyaratkan agar keempat barang modal tersebut dimanfaatkan secara sinergis agar mampu dimanfaatkan secara maksimal tanpa mengurangi kelestarian ekosistem kawasan tersebut. Dalam pembangunan modern, paling tidak terdapat dua pelaku utama, yaitu masyarakat industri dan masyarakat sekitar industri tersebut (hinlerlai~d).
Dalam sebuah masyarakat jelas kegiatan dari suatu pelaku ekonomi tidak mungkin dapat tedepas dari pelaku ekonomi yang lain Dalam sebuah aktivitas pembangunan ekonomi akan selalu ada dampak baik positif maupun negatif, yang timbul dan diterima oleh pihak lain sebagai konsekuensi logis dari adanya kegiatan suatu pihak atau suatu pelaku ekonomi. Hal inilah yang dalam perbendaharaan ilmu ekonomi dikenal dengan istilah "eksternalitas" (Irawan & Suparmoko, 1999) Dalam perkembangan aktivitas pembangunan ekonomi yang begitu pesat, dampak yang disebut eksternalitas ini menjadi perhatian yang serius yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh perorangan swasta-pun, eksternalitas ini sudah mulai diperhitungkan, apalagi aktivitas pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar, khususnya yang bergerak dalam bidang industri. Hal itu dikarenakan telah munculnya
kecenderungan
masyarakat
untuk
ikut
mengawasi
aktivitas
pembangunan ekonomi, di samping pemerintah Sementara itu, industrialisasi didefinisikan sebagai pembangunan kegiatan pengolahan bahan baku dan bahan penolong untuk dijadikan barang jadi (produk) (Irawan & Suparmoko, 1999) Industrialisasi sering dianggap sebagai salah satu jalan yang terbaik untuk mengatasi berbagai masalah yang ada di negara-negara sedang berkembang Fungsi yang menonjol dari kegiatan industri pengolahan adalah menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia guna meningkatkan kesejahteraan manusia. Padahal, bersamaan dengan dihasilkannya barang dan
jasa, dihasilkan pula limbah produksi yang berupa sisa-sisa bahan yang tidak dapat diolah dan juga limbah lain yang berupa produk sampingan seperti air limbah, bau busuk dan zat-zat kimia yang mencemari tanah, udara, dan air. Selain limbah produksi yang membahayakan kehidupan manusia tersebut, industrialisasi yang tidak terkendali juga akan menimbulkan keresahan-keresahan sosial sebagai dampak atau apa yang dikenal dengan eksternalitas. Sifat pokok dari perekonomian di negara sedang berkembang adalah "ekonomi dualistis", yaitu industri ekspor yang terpadu dengan perekonomian dunia, yang sudah menggunakan sistem modern, dan di samping itu ada kegiatankegiatan yang masih mempunyai tingkat subsisten (pertanian tradisional dan kerajinan). Kedua sektor kegiatan ini memprodusir barang-barang untuk pasar lokal dan terpisah dari perekonomian pasar modem. Adapun. asal mula ekonomi dualistis ini tidak terlepas dari adanya perluasan pasar yang dilakukan oleh negara-negara industri pada akhir abad ke19. Kecuali Jepang yang sekarang ini telah menjadi negara industri, seluruh Asia,
Afiika, dan Amerika Latin pada saat lalu merupakan daerah koloni dari negaranegara Barat dan USA yang mula-mula mereka peruntukkan untuk berdagang tetapi kemudian semakin memperluas daerah kekuasaan ekonominya. Kondisi ini diperparah dengan penguasaan modal dan teknologi di tangan negara-negara maju. Seluruh aktivitas pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negaranegara maju terhadap negara-negara sedang berkembang tersebut tidak terlepas
dari pengaruh paham ekonomi konvensional yang saat itu begitu dominan diterapkan. Sementara itu, menurut Sasono & Arif (1984), dalam pandangan kaum Neo-Mamis, proses modernisasi yang terjadi biasanya berlangsung karena adanya jaringan kerjasama antara elite lokal dan elite luar, baik yang memiliki modal maupun kekuasaan. Dalam kerjasama inilah muncul suatu kelas yang disebut dengan "kelas komprador", yakni sebuah jalinan kejasama antara elite luar dengan elite lokal yang memiliki kekuasaan demi menjaga kelangsungan investasi para pemilik modal. Kompradorisasi atau upaya pelancaran dan perlindungan terhadap modal dari luar oleh elite yang berkuasa merupakan salah satu gejala yang muncul akibat terjadinya aktivitas pembangunan ekonomi yang tidak hngsional (disfinlctior~al actMfy deitelopnten~t)akibat pengamh pembangunan ekonomi konvensional. Gejala lain yang juga muncul adalah konglomerasi, dan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme Dalam proses modernisasi yang menggunakan pendekatan ekonomi konvensional kelas komprador seringkali hadir akibat budaya politik dan kultur birokrasi yang melindungi para pemilik modal demi sebuah pembangunan yang seringkali memgikan masyarakat domestik dan lingkungan hidup Kehadiran kaum komprador ini tidak jauh berbeda dengan kehadiran konglomerat, "pengusaha Ali-Baba" di masa Orde Baru dan sejenisnya. Damanhuri (1996) menjelaskan bahwa ihwal konglomerasi dalam
struktur ekonomi nasional tak terlepas dari unsur yang disengaja (by platr)
maupun unsur yang tak sengaja (by chance) selama pejalanan dari pola PJP (Pembangunan Jangka Panjang) I (1964-1994). Disebut secara sengaja, karena alasan hampir satu-satunya pada masa awal Orde Barn - karena keterbatasan pemerintah kala itu - maka tesisnya adalah 'siapa yang paling siap' maka kepada merekalah diberikan pelbagai fasilitas, yakni berupa kemudahan kredit, lisensi impor, perlindungan tarif dan non tarif, subsidi, monopoli, dan seterusnya. Dalam kondisi demikian, maka akhirnya kita menyaksikan lahirnya 200-300 konglomerat yang sama sekali tidak ditopang oleh lapisan pelaku menengah yang memadai di bawahnya. Kebijakan ekonomi Orde Baru dengan pendekatan ekonomi konvensional secara sadar maupun tidak sadar telah memberikan peluang kepada hanya 200 orang pelaku konglomerat yang sebelum krisis menguasai sekitar 76% aset atau sekitar 62% omzet ekonomi nasional. Kondisi ini bisa terjadi karena proses /rade
08yakni terjadinya alokasi sebagian besar sumber-sumber daya nasional baik sumber finansial (anggaran pusat dan daerah, kredit perbankan, proyek-proyek PMA, dan dana yang berasal dari utang luar negeri) maupun lainnya (manajemen, teknologi, informasi, lahan, SDM) terhadap para pelaku big brrsirress dan bersifat mega-proyek. Sementara itu para pelaku yang lain, yakni sekitar 99,8% mengalami misalokasi dan dislokasi sumberdaya nasional (Damanhuri, 2000). Penguasaan segelintir kalangan usaha terhadap aset perekonomian nasional bisa terjadi di mana salah satunya melalui proses kompradorisasi, yakni upaya pelancaran dan perlindungan terhadap modal dari luar oleh elite yang berkuasa, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Jadi, dalam ha1 ini terdapat praktik "kongkalikong" atau kolusi di antara para pejabat benvenang dengan para pengusaha "nakal" untuk mengeksploitasi sumberdaya alam secara ilegal atau seolah-olah legal dengan memanfaatkan potensi lokal atau rakyat kecil. Praktik perekonomian semacam ini termasuk pada kategori aktivitas pembangunan yang disfungsional Sebagaimana diungkapkan Robinson (1997) bahwa kelas kapitalis (baca : klien) sangat tergantung kepada penguasa (patron) karena penguasa itulah yang memberikan berbagai fasilitas seperti proteksi, subsidi, serta terciptanya ~ t ~ k t u r pasar yang monopolistik dan oligopolistik yang sangat menguntungkan pengusaha atau kelas kapitalis tersebut. Sementara itu, keuntungan yang dinikmati penguasa adalah berupa imbalan atau rente dari kelas kapitalis. Inilah yang oleh Budiman (1995) disebut dengan negara otoriter birokratik rente Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa kapasitas negara untuk mengelola urusan bersama dan untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat banyak, sesungguhnya telah dilucuti oleh kepentingan privat kelompok-kelompok bisnis kuat tertentu, akibat iklim yang mendukungnya Secara umum gejala kompradorisasi bisa diistilahkan dengan politik "kaki tangan". Dalam ha1 ini, para "pengusaha nakal" yang biasanya adalah pengusaha lokal bekerjasama atau menjadi "kaki tangan" para pemilik modal yang biasanya pengusaha luar. Kerjasama antara pemilik modal dari luar dengan "kaki tangannya" yakni pengusaha lokal lalu dilindungi oleh para aparat dari berbagai instansi dan tingkatan yang memudahkan setiap kegiatan ekonomi mereka meskipun sering melanggar aturan dan hukum yang berlaku, namun kaum
komprador ini tetap lancar dan mendapat perlindungan. Gejala kompradorisasi pembangunan tersebut dapat ditunjukkan oleh G a m b a r 2.
I
Masyarakat Sekitar (Stakeholder)
I
- Kerunkan lingkungan - T u m ~ y aPcnglwsilan - KeSenjangan sosial Elite Pe~nodal
Investasi
Hasil Pernbangunan
Proses Pembangunan Batam
Profit (Keuangan)
* Pejabat Pernerintah
Surplus
(Birokrasi)
Ko~nisi
* Aparat Penegak Hukuln * Elite Pengusalla Lokal
G a m b a r 2. Gejala Kompradorisasi Pembangunan d i Kota Batam
Tata pemerintahan yang buruk (bad goi~ernar~ce)serta mental para pengambil keputusan @olicy maker) yang buruk ikut memperlancar tejadinya proses kompradorisasi
dan
sejenisnya.
Kondisi
ini
sudah pasti tidak
memungkinkan terselenggaranya proses perumusan kebijakan lingkungan yang akomodatif dan partisipatif,
sehingga berkonsekuensi
pada
peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak. Iklim birokrasi yang dicemari budaya sungkan, KKN, dan by
[M.FS,
makin mempersulit terciptanya struktur hubungan egaliter
penguasa dan masyarakat Hal ini ditandai dengan tingginya tingkat kompsi di hampir seluruh jajaran birokrasi. Akhirnya, budaya korupsi dan suap ini menumbuhsuburkan
praktik-parktik
kompradorisasi
yang
hanya
akan
menghasilkan kaum komprador yang mengemk kekayaan sumberdaya alam dan menyisakan kemsakan lingkungan dan kemiskinan pada masyarakat sekitar
(stakeholders) Kompradorisasi juga dipersubur dengan kultur ekonomi politik yang diwarnai oleh Polrlrsasr Brrokrnsr yang berwujud pengkaplingan departemendepartemen oleh partai-partai berkuasa. Tentu saja politisasi birokrasi semacam ini berakibat langsung pada kinerja birokrasi Profesionalisme birokrasi tidak dapat berjalan kerena keseluruhan organnya sendiri sudah menjadi lembaga politik. Lebih kacau lagi, karena setiap departemen dikuasai partai politik tertentu dan mempunyai orientasi politik berbeda-beda, Akhirnya perekonomian akan berjalan sesuai dengan kepentingan-kepentingan para pemilik modal dengan dukungan dan perlindungan para elite politik lokal yang berkuasa Mental para pejabat birokrasi semacam ini akan mengakibatkan tidak berhngsinya kelembagaan hukum dan institusi lainnya dalam menghadapi supremasi bisnis yang bercorak konvensional. Konsekuensinya, pembangunan suatu kawasan hanya menjadi ajang eksplorasi dan eksploitasi para pemilik modal, konglomerat, komprador, dan pejabat-pejabat bermental korup. Sementara eksistensi lingkungan hidup menjadi faktor kesekian untuk diperhitungkan. Apalagi untuk memikirkan pemerataan pendapatan kepada rakyat banyak. Akhirnya, sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan yang
seharusnya menjadi potensi luar biasa untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan bangsa Indonesia hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang saja. Rakyat kebanyakan hanya disisakan dampak akibat kerusakan lingkungan yang tejadi. Buruknya kultur birokrasi dalam mengelola sumberdaya wilayah pesisir dan lautan juga ditandai dengan tidak adanya keterpaduan antar pelaku pembangunan sekaligus pengelola di kawasan tersebut, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tidak adanya keterpaduan antar pelaku pengelola terlihat dalam berbagai kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan lautan yang dilakukan secara sektoral oleh masing-masing pihak, bahkan sering tejadi tumpang tindih antar pelaku pengelola. Lemahnya keterpaduan ini, diakibatkan belum adanya sistem atau lembaga yang mampu mengkoordinasikan setiap kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan dalam satu kewenangan. Akibatnya, potensi wilayah pesisir dan lautan tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu, akibat kebijakan sektor perekonomian tidak berjalan secara sinergis dengan sektor kelautan, maka sektor perekonomian lain yang terkait juga tidak mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara optimal dan berkelanjutan. Sementara itu. Kamarsyah (2003) dalam pandangan yang lebih komprehensif, mengemukakan 6 (enam) ha1 kondisi aktual birokrasi nasional yang selama ini berada pada proporsi yang tidak menggembirakan, yaitu (1). Birokrasi pemerintah sangat sentralistis dan cenderung melakukan praktik KKN; (2) segala urusan yang berhadapan dengan birokrasi selalu berbuntut uang, sehingga sering disebut 'Predefor hrrreamracy"; (3) bentuk kelembagaannya sangat besar (hrg gover~rmetrt))dan serba pemerintah; (4) setiap instansi selalu
mempejuangkan kenaikan anggaran setiap tahun (acapkali mengesampingkan target hngsional) karena kenaikan anggaran tersebut berkorelasi positif dengan keberhasilan pimpinan instansi; (5) lembaga birokrasi kurang efektif dan kurang melayani kepentingan publik; (6) selama 32 tahun berada di bawah bayangbayang "single majority," dimana birokrasi pemerintahan tidak berkesempatan membangun dirinya, sehingga tidak peka terhadap lingkungannya dan gaga1 dalam merespon perubahan. Berkaitan dengan kondisi aktual birokrasi nasional tersebut, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara telah menetapkan paradigma baru dalam penataan birokrasi pemerintahan yaitu " c i ~ i lseriice reform" dimana reformasi birokrasi tersebut diarahkan pada strategi (1) Penataan peranan dan kelembagaan pemerintah, (2) Penataan Ketatalaksanaan; (3) Penataan sistem dan mekanisme pengawasan,
dan
(4)
Penataan
pelayanan
pemerintah
kepada
publik
(Kamarsyah, 2003) Reformasi kultur birokrasi memang dibutuhkan untuk mengoptimalkan kinerja birokrasi agar efisien dan efektif serta bersih dari praktik-praktik KKN Reformasi kultur birokrasi menuju tata pemerintahan yang baik (good go~~ertmmrce) meliputi tiga elemen penting, yakni ( I ) sistem pemerintahan, (2) sifat pemerintahan, serta (3) mental birokrasi. Ketiga titik tersebut menjadi sasaran utama perbaikan kultur birokrasi, dengan penjelasan sebagai berikut . (1)
Sistem Pemerintahan Pengelolaan potensi wilayah pesisir dan lautan sebuah kawasan pada hakikatnya merupakan pohtical ivrll (kemauan politik) yang mesti
direalisasikan lewat tindakan politik (political actiotr). Untuk itu, sistem pemerintahan sebuah negara sangat menentukan paradigma pembangunan beserta kultur birokrasi di dalam mengelola akses-akses pembangunan. Dalam prinsip ke-10 Deklarasi Rio disebutkan : Erivirotrmerit issires are best haridled with the prticiptiorr of all corrserrred citizerrs, at the relevant level. At the rratiorral level, each irrdil~idnalshall have appropriate access to inforn~atiotrcotrcertrirrg the eriviror~meritthat is held by public mrthorities, inchrdirig information on harardorrs materials arid activities in their commtrrrities. arid the opporttitri/y to par/icipate ilt decisiot+n~aki)rgprocesses. Sla/es shall facili/ate atrd etrcorrrage prrblic awareness atid prticipafiotr by makitrg itforn~atiot~widely ai~ailable. Effective access to j~rdicial atid adn~irris/ratii~e proceedirrgs, irrcl~rditrg redress atrd remedy. shall be provided.
Kesimpulannya, ada tiga pilar akses dalam pengelolaan lingkungan hidup, yaitu akses informasi, partisipasi, dan keadilan, yang diamanatkan dalam Deklarasi Rio tersebut. Menurut
Seymour (2002).
ketiga akses tersebut
apabila
terintegrasi baik pada semua stakeholder lingkungan akan menghasilkan tata pemerintahan yang baik (goodgoivrrrarce).Faktanya, akses terhadap tiga pilar lingkungan tersebut, yaitu: informasi, partisipasi, dan keadilan hanya akan didapat dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang menerapkan mekanisme pemeriksaan dan pengawasan setara. Pemerintahan yang
demokratis ini mempakan syarat utama pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan. (2)
Sifat Pemerintahan Tidak adanya platform bersama, pendekatan pembangunan yang tersentralisasi dan terfragmentasi, kurangnya kemauan dan partisipasi politik, tidak adanya keterbukaan dan respon aparat pemerintah yang rendah telah menjadi kendala dalam menuju tata pemerintahan yang baik (good go~~errrmce). lIrri/ed Nations De~~elopnzeratProgram (UNDP) mendefinisikan
governance
sebagai pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi, dan
administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa (rmliorr affairs). Gol~ertratrcedikatakan baik (sor~tzdatau good) apabila sumberdaya dan
masalah-masalah publik @~rblicresoirrces & ptrblic qffairs) dikelola secara efektif dan efisien yang didasarkan pada kebutuhan masyarakat. Menurut
Santosa (2003). tentu saja pengelolaan yang efektif, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat menuntut adanya iklim yang demokratis dalam pengelolaan sumberdaya dan masalah-masalah publik tersebut. Oleh karenanya, pengelolaan yang efektif, efisien, dan responsif hams didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Dengan kata lain, dibutuhkan sifat-sifat keterbukaan, responsif, dan partisipatif
untuk menumbuhkan sifat-sifat pemerintahan yang dapat
mewujudkan tata pemerintahan yang baik.
Sementara itu transparansi.or.id (2004) mengemukakan prinsipprinsip yang dapat mendukung good goi~ertrat~cedan terkait dengan sifat pemerintahan, yaitu : 1. Partisipasi masyarakat 2. Tegaknya supremasi hukum
3. Transparansi '4. Peduli pada slakeholder
5. Berorientasi pada konsensus 6. Kesetaraan
7. Efektivitas dan efisiensi 8. Akuntabilitas 9. Visi Strategis
(3)
Mental Birokrasi Peningkatan sumberdaya manusia tidak hanya terbatas pada penguasaan ilmu, teknologi, dan informasi tetapi yang lebih penting adalah "moral". Untuk ini perlu diciptakan sistem nilai dan institusi (misalnya reward, danprt~rishnteri/) yang mendorong mengembangkan sistem ir~ser~/r;f, self respot~sihilityyang tinggi pada kalangan aparat dan seluruh lapisan masyarakat. Tidak dimasukkannya aspek moral (akhlak) dalam kerangka teori maupun pelaksanaan paradigma pembangunan dan tata pemerintahan yang ada mengakibatkan kinerja yang buruk pada kultur birokrasi, di samping telah mengakibatkan berlakunya hukum rimba di dalam hubungan antar individu, antar kelompok masyarakat dalam suatu negara, maupun antar bangsa. Bahkan kerusakan lingkungan yang tejadi adalah akibat aspek
moral (akhlak) yang rendah dari para pelakunya, yakni nafsu serakah dan mementingkan
diri
sendiri. Al-Quran
telah
mensinyalir
lingkungan yang diakibatkan oleh para pelaku dengan
kerusakan
akhlaknya yang
rendah,
"1L.lahrrampk kertrsakarr di d m / dm? di larit disebabka~rkarerra perbtratarr /ar1garr ntar~risia, siipaya Allah nterasakarr keyada n~ereka sebagiatt dnri (akibat) perbn~afairmerekn. agar nlereka kenlbali ke jalar~ yarrg herlor." (QS Ar-Ruum : 4) Telaah terhadap makna ayat Al-Quran tersebut dapat dilihat dari sudut pandang mental birokrat yaitu kerusakan di darat dan lautan akibat dari manusiamanusia yang memegang posisi dalam struktur birokrasi bermentalkan aparat birokrasi yang tidak profesional. Kondisional seperti ini lebih jauh dapat dilihat dalam birokrasi nasional. Penanganan sangat sentralistik masa Orde Baru selama 32 tahun dalam birokrasi nasional memang hanya menciptakan ketidakadilan. Sumberdaya nasional hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang dan kelompok tertentu. Akibatnya tumbuh kecemburuan sosial antar daerah yang mengancam kesatuan dan persatuan bangsa. Untuk itu, meskipun konsep otonomi daerah sudah diberlakukan namun perlu disempurnakan dengan meningkatkan kewenangan pemerintah daerah melalui pemberian otonomi yang lebih luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Konsekuensi dari pemberian hak dan kewenangan,
penyelenggara pemerintahan dituntut melaksanakan tugas dan kewajiban secara profesional agar tujuan otonomi daerah dapat tenvujud penuh. Dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya, penyelenggara pemerintahan hams sadar untuk tidak hanya berorientasi pada hasil tetapi juga pada kebenaran dan kewajaran dalam proses pencapaiannya, serta transparan dalam penggunaan sumberdaya masyarakat. Salah satu wujud dari sikap profesional adalah adanya kepekaan (daya tanggap) dan sikap melayani public (public serljrce) dari para aparat pemerintahan di daerah dan para politisi di lembaga legislatif dalam mengkaji berbagai kebutuhan masyarakat Sebaliknya masyarakat juga dituntut mempunyai daya tanggap dan partisipasinya yang tinggi dalam memantau berbagai tindakan kepemerintahan di daerah, sehingga informasi balik yang diberikannya mempunyai ketepatan yang tinggi dan dapat efektif Tata pemerintahan sebagai suatu mekanisme interaksi para pihak terkait yang berada di lembaga pemerintah, lembaga legislatif, dan masyarakat, untuk bersama-sama
merumuskan berbagai kesepakatan yang berkaitan dengan
manajemen pembangunan dalam suatu wilayah hukum atau administratif tertentu, tentunya memerlukan prinsip-prinsip yang menjadi acuan bagi tercapainya tujuan otonomi. Sebagaimana dimuat dalam situs Good Governance.or.id (2003). prinsip-prinsip tata pemerintahan daerah yang baik tersebut meliputi: [a] peningkatan pelayanan aparatur pemerintah di daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, [b] pengembangan kehidupan demokrasi, peningkatan rasa kebangsaan, keadilan, pemerataan. dan kemandirian daerah, serta [c] pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
Lebih lanjut, dalam situs yang sama juga dikemukakan beberapa
instrumen untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik, yaitu : Instrumen yang menjamin tata pemerintahan yang baik, entah itu melalui peraturan-peraturan yang bersifat umum. berlaku untuk semua, pada setiap situasi dan setiap saat, maupun peraturan-peraturan khusus untuk situasi tertentu; Instrumen yang mendorong pelaksanaan tata pemerintahan yang baik secara simultan dan korektif, misalnya melalui pedoman dan petunjuk, prosedur peizinan, pedoman tingkah laku, sistem subsidi, dan pengahrgaan; dan +Instrumen yang memantau pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, baik melalui evaluasi kinerja oleh aparat pemerintah sendiri maupun melalui pengawasan oleh lembaga independent (yang tidak berpihak), oleh media massa dan oleh masyarakat sendiri. Sementara itu. dalam dokumen kebijakannya yang dikeluarkan pada Januari 1997. United Nations Development Program (UNDP)mendefinisikan satu konsep "Good Governance", yaitu suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani, dan sektor swasta. Untuk mewujudkan tata pemeritahan yang baik itu perlu dibangun dialog antar pelaku penting dalam negara, agar semua pihak merasa memiliki tata pengaturan tersebut, kesejahteraan tidak akan tercapai karena aspirasi politik maupun ekonomi rakyat tersumbat.
Adapun ciri-ciri good goverttattce, yaitu ( 1 ) mengikutsertakan semua (partisipasi); (2) transparan dan bertanggung jawab; (3) efektif dan adil; (4) menjamin adanya supremasi hukum; (5) menjamin bahwa prioritas politik, sosial, dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat; (6) memperhatikan kepentingan mereka yang paling miskin dan lemah dalam proses pengambilan keputusan menyangkut alokasi sumberdaya pembangunan; (7) visi strategis pemimpin serta masyarakat yang mampu melihat jauh ke depan atas pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia. (cides.or.id). Osborne dan Goebler (1990) telah memberikan beberapa prinsip tata pemerintahan yang baik (goo(1gol~ernance). yakni :
a. Catallrc Gor~errtmrrtl Pemerintah yang katalis berarti pemerintah yang berinisiatif untuk "mengarahkan" melepaskan
bukannya pekerjaan
masyarakatlswasta
"mendayung yang
Pemerintah
sendiri"
sekiranya cukup
dapat
Pemerintah
akan
dikerjakan
oleh
pengaturan
dan
melakukan
pengendalian
h. Contmttnrty Owned Go~errmlertt Pemerintah adalah milik masyarakat, memberdayakan masyarakat dan tidak hanya melayani masyarakat saja. c. Ant~crpaloryGo~~errmlertl
Pemerintah yang antisipatif berarti memiliki prinsip "mencegah lebih baik daripada
mengobati"
Pemerintahan
semacam
ini
berarti
lebih
mengutamakan perencanaan dan prakiraan sebelum mengambil tindakan tertentu. d. Decettiralired Gowrtimettt
Pemerintahan yang desentralisasi dan menjauhkan diri dari hirarki yang berlebihan Pemerintahan seperti ini selalu mengembangkan manajemen partisipatif dan tim kerja.
r. CttsfonterDriven Go~lertrnret~i Pemerintah lebih mengutamakan kebutuhan masyarakat dan bukan hanya kebutuhan pemerintah. Sementara itu, dalam situs Good Governance - suatu situs yang didukung oleh Departemen Dalam Negeri, UNDP, dan UN-Habitat -, dikemukakan mengenai prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik di Indonesia, yaitu : ( 1 ) Penjelasan Prinsip
Perlunya meningkatkan kewenangan pemerintah daerah melalui pemberian otonomi yang luas. nyata, dan bertanggung jawab. Penanganan sangat sentralistik hanya menciptakan ketidakadilan. Sumberdaya nasional hanya dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Akibatnya tumbuh kecembuman sosial antar daerah yang mengancam kesatuan dan persatuan nasional. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, pihak-pihak yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah memerlukan dasar atau prinsipprinsip tata pemerintahan daerah yang baik, yang dapat menjadi acuan bagi tercapainya tujuan pemberian otonomi, yaitu : [a] peningkatan pelayanan
aparatur pemerintah di daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. [b] pengembangan kehidupan demokrasi, peningkatan rasa kebangsaan, keadilan, pemerataan, dan kemandirian daerah, serta [c] pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah. (2) Partisipasi
Mendorong setiap warga negara yang mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung (3) Penegakan hukum
Mewujudkan adanya penegakan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM, dan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. (4) Transparansi
Menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui
penyediaan
informasi dan menjamin kemudahan di dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
(5) Kesetaraan, Memberi peluang yang sama bagi setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya
( 6 ) Daya tanggap
Meningkatkan kepekaan para penyelenggara pemerintahan terhadap aspirasi masyarakat, tanpa kecuali. (7) Wawasan ke depan
Membangun daerah berdasarkan visi dan strategi yang jelas
dan
mengikutsertakan warga dalam seluruh proses pembangunan, sehingga warga merasa memiliki dan ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan daerahnya. (8) Akuntabilitas
Meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. (9) Pengawasan
Meningkatkan upaya pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengusahakan keterlibatan swasta dan masyarakat luas. (10) Efisiensi dan efektivitas
Menjamin
terselenggaranya
pelayanan
kepada
masyarakat
dengan
menggunakan sumberdaya yang tersedia secara optimal dan bertanggung jawab. (1 1) Profesionalitas
Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat, dengan biaya yang terjangkau (Good Governance.or.id. 2003).
Dengan menyimpulkan seluruh uraian tersebut, maka didapat beberapa nilai yang dapat mewujudkan mental birokrasi yang baik, yang mampu yaitu : objektif, mewujudkan tata pemerintahan yang baik kood goi~ert~at~ce), sistematis, dan konsisten. Objektif artinya tidak memihak sehingga selalu bertindak benar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sistematis artinya selalu memiliki perencanaan dan perkiraan serta menjalani tahapan-tahapan secara teratur dan terukur dalam mengambil keputusan dan dalam melakukan tindakan apapun. Konsisten berarti keberpihakan yang terus menerus kepada kebenaran dan keadilan yang telah ditetapkan pada hukum yang berlaku. Seluruh komponen dan sifat-sifat kultur birokrasi yang telah diuraikan inilah yang mampu mewujudkan untuk kemudian melaksanakan tata pemerintahan yang baik (goodgo~~ert~at~ce) konsep pembangunan berkelanjutan di wilayah pesisir dan lautan Kota Batam khususnya dan Indonesia pada umumnya
2.2
Hukum Lingkungan
2.2.1
Penegakan Hukum Lingkungan Pelaksanaan
konsep
pembangunan
berkelanjutan
membutuhkan
pemahaman terhadap hukum lingkungan beserta penerapannya dalam bentuk penegakan Hukum Lingkungan. Kenyataannya. prinsip-prinsip pelaksanaan
konsep pembangunan berkelanjutan belum dipahami dan dituangkan secara optimal dalam perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan nasional. Saat ini, acuan untuk pengelolaan lingkungan adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengeiolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang mulai berlaku tanggal 19 September 1997. Sebagai dasar hukum kebijaksanaan lingkungan UUPLH ini menjadi ujian terhadap keberhasilan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Untuk itu diperlukan pemahaman mendalam terhadap hukum lingkungan beserta upaya penegakan hukumnya serta melalui kelembagaan wewenang pengelolaan lingkunsan hidup. Dalam
sejarah
peraturan
perundang-undangan
Indonesia
dikenal
Ordonansi G a n ~ u a n(Hinder Ordonr~atr/ie)Stb. 1926 No 226, yakni Ordonansi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan tempat tinggal dari gangguan kegiatan industri atau kegiatan perusahaan, sehingga memerlukan izin gangguan sebatas 200m. Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan lingkungan, menurut Danusaputro (1982) disebut sebagai hukum yang berwawasan penggunaan (1l.se Oriellied L ~ I I , ) sebab , yang diatur adalah penggunaan unsurunsur lingkungan, seperti tanah. air.hutan, atau perikanan. Pengaturan hukum lingkungan dalam arti ini memuat ketentuan-ketentuan mengenai; hak milik. hak guna usaha. hak guna bangunan. Ketentuan hukum yang diberlakukan antara lain mengatur pembatasan-pembatasan sebagai berikut : I . Dalam menggunakan hak tersebut tidak boleh mengganggu hak orang lain;
2. Dalam menggunakan hak tersebut hams selalu mengindahkan peraturan
pemerintah, terutama ketentuan, bahwa : dicabut oleh negara dengan pemberian ganti rugi yang layak. Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan sangat berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan dan undang-undang yang berlaku. yang meliputi tiga bidang hukum, yaitu administratif. pidana. dan perdata. Biezeveld (1995) dalam Rangkuti (2000) memberikan pengertian penegakan hukum lingkungan sebagai berikut : E~~~~ironterrtal law er!forcenteill can be defiled as the applica~rotrof legal go~~er~~merrlal jmwers to erlsrrre cornj>ha~~ce wilh envrrot~rnentalreg~rlalrot~ by mearrs o f : of the conrl~lia~~ce with en~~iro~~ntertial a. adnlltrr.slrafive .s~rj)ern~r.s~or~ reg~rlatic>~~.s (insj~eciion)(= mainly prevenliw aclivity); h. adntr~~i.strati~~e nnlt.asr~resor sar~cfiot~s 111 case of nor, contpliance (= corrrr/i~~e ~~clivilyl; c. crimirral itn~e.stipliorr111 case of pre.rr~med qfet~ces(= repressive aclil~ify; d. crinlitml ntea.sr~reor .sa~~clions in case of offences (= repressive aclivily); e. Civil aclior~ (law srril)
III
case of (lhreate~li~rg) no11 complia~~ce
(=prer~enliwor correclive acli~ily).
Untuk pembahasan disertasi ini, pengertian penegakan hukum lingkungan dibatasi pada haruf c dan d, yaitu penegakan hukum lingkungan kepidanaan. Akan tetapi, penegakan hukum lingkungan administratif juga disinggung, meskipun tidak secara rinci. sedangkan penyelesaian sengketa lingkungan belum diteliti. Selain itu. sarana penegakan hukum lingkungan juga bisa berupa keperdataan. Mengenai ha1 ini, perlu dibedakan antara penerapan hukum perdata oleh instansi yang benuenang melaksanakan kebijaksanaan lingkungan dan penerapan hukum perdata untuk memaksakan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
lingkungan.
Misalnya,
penguasa
dapat
menetapkan
persyaratan perlindungan lingkungan terhadap penjualan atau pemberian hak membuka tanah atas sebidang tanah. Juga terdapat kemungkinan "beracara singkat" bagi pihak ketiga yang berkepentingan untuk menggugat kepatuhan terhadap undang-undang dan permohonan agar terhadap larangan atau keharusan dikaitkan uang paksa (Rangkuti, 2000). Sengketa lingkungan bisa diselesaikan dengan gugatan ganti kerugian oleh korban pencemaran. baik melalui cara berperkara di Pengadilan maupun di luar Pengadilan. Menurut Pasal 30 UUPLH penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan (Pasal 34) atau di luar pengadilan (Pasal 31) Singkatnya, sarana penegakan hukum lingkungan secara formal cukup memadai dan bisa diterapkan kepada para pelanggar hukum lingkungan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan Penegakan hukum lingkungan yang optimal akan menciptakan kenyamanan ekologis dan meminimalisasi pencemaran / kerusakan lingkungan.
a. Hukum Bencana (Ran~ptrrechl). b. Hukum Kesehatan Lingkungan (Milienhygierrerechr). c. Hukum tentang Sumberdaya Alam (Rechl belreffetrde t~attrrrrlijke r!jkdonm~et~) atau Hukum Konsewasi (Nnlrtral Resorrrces Law).
d. Hukum tentang Pembagian Pemakaian Ruang (Rechl belrefferrde dr ~~erdelittg 11atlrher rrrin11egehnrrk)atau Hukum Tata Ruang.
e. Hukum Perlindungan Lingkungan (Milie~rbeschermingsrecht).
Dengan demikian, substansi hukum lingkungan sangatlah beragam. sehingga menimbulkan pembidangan dalam Hukum Lingkungan Administratif, Hukum Lingkungan Kepidanaan, Hukum Lingkungan Keperdataan, Hukum Lingkungan Internasional yang sudah berkembang menjadi disiplin ilmu hukum tersendiri, dan Hukum Tata Ruang. Salah satu pertimbangan diubahnya U U No.4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah karena kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa, sehingga pokok materi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 321 5) perlu disempurnakan untuk mencapai tujuan pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan.
Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) peranan hukum lingkungan dianggap belum mengedepan, bahkan terdapat rumusan pasal yang keliru. Kondisi ini mengakibatkan implementasi dan penegakan hukum U W L H tidak efektif dan berada pada posisi lemah, mengandung kerancuan serta multi interpretasi, sehingga dirasa perlu direvisi (Rangkuti, 1999). Dalam keseluruhan materi muatannya, tampaknya U W L H memberikan perhatian yang sangat besar kepada masalah sengketa lingkungan, sehingga U W L H cenderung dinilai sebagai undang-undang yang mengedepankan aspek represif (Widjojo, 1999) Padahal, upaya pengelolaan lingkungan yang terpenting dan terutama adalah mendayagunakan instrumen preventif untuk mencegah tetjadinya sengketa Hukum
lingkungan
semula
hanya
merupakan
h~~kirnlganggmn
(hrr~derrecht)dan bersifat sederhana, dan hanya mengandung aspek keperdataan Namun, dalam perkembangan berikutnya, hukum lingkungan bergeser ke arah bidang hukum administrasi, sesuai dengan peningkatan peranan penguasa dalam bentuk campur tangan terhadap berbagai segi kehidupan dalam masyarakat yang semakin kompleks. Hukum lingkungan administratif akan muncul ketika penguasa membuat kebijaksanaan yang dituangkan dalam bentuk penetapan (beschikkirig) penguasa, misalnya dalam prosedur perizinan, penentuan baku mutu lingkungan, prosedur analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan sebagainya (Rangkuti. 2000).
Oleh karena itu, hukum lingkungan berhubungan erat dengan kebijakar~ lin~gkrir~garr yang ditetapkan oleh penguasa yang berwenang di bidang pengelolaan
lingkungan. Kesalahan dalam menetapkan kebijakan lingkungan oleh penguasa yang berwenang di bidang pengelolaan lingkungan akan berdampak serius terhadap kelestarian lingkungan. Dalam
pengkajian
yang
lebih
teliti
dapat
dibuktikan
bahwa
ketidakberdayaan penegakan hukum lingkungan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh faktor yang bersifat struktural dibandingkan dengan persoalan yang bersifat teknis, semisal pembuktian dan kurang trampilnya penegak hukum Artinya, masih sering tejadi duplikasi wewenang atau tumpang tindih kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Misalnya saja tentang pengelolaan wilayah-wilayah perikananllaut yang ditangani lebih dari satu departemen dan kewenangannya terpisah satu sama lain alias tidak terpadu (inlegra/ed) Padahal hubungan ekologis-biologis dan ekonomi daerah pesisir dan
lautan saling terkait satu dengan lainnya. Sebagai contoh, menurut perundangundangan kewenangan pengelolaan terumbu karang berada pada Departemen Kehutanan dengan kebijakan pengelolaan menurut kepentingannya, sedangkan kedudukan temmbu karang bagi Departemen Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu bentuk ekosistem yang memiliki nilai konsewasi dan ekonomi, terutama sebagai tempat pemijahan alami ikan . Namun, Kementerian Lingkungan Hidup juga terkait dengan pelestarian temmbu karang dengan memberlakukan KEPMEN-LH No 0412001 tentang Kriteria Baku Kemsakan Terumbu Karang.
Selain itu, persoalan penegakan hukum dan peraturan di laut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar sektor pembangunan, institusi dan aparat pemerintah, serta konflik horizontal antar masyarakat. Hal ini disebabkan esensi kebijakan lingkungan memiliki aspek tujuan yang ingin dicapai, bagaimana dan dengan jalan apa serta sarana apa yang dipergunakan dalam pengelolaan lingkungan. Kebijakan lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah akan tercermin melalui berbagai peraturan perundangundangan lingkungan. Keberadaan hukum lingkungan dalam sebuah negara belumlah menjamin terselenggaranya pelaksanaan konsep pembangunan berkeianjutan. Aspek penting yang menjamin pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan adalah penegakan hukum lingkungan yang konsisten. Untuk itu dibutuhkan pemahaman terhadap penegakan hukum lingkungan serta perangkat peraturan perundangundangan bagi penegakan hukum lingkungan tersebut. Penegakan hukum lingkungan yang konsisten sangat dipengaruhi oleh kemampuan aparatur atau para pengambil kebijakan (policynlaker) dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku. meliputi tiga bidang hukum, yaitu administratif. pidana, dan perdata. Dengan kata lain, penegakan hukum lingkungan adalah sebuah upaya untuk mencapai ketaafati terhadap peraturan dan persyaratan dalam ketentuan hukum yang berlaku secara umum dan individual. melalui pengawasan dan penerapan sanksi administrasi (Rangkuti, 2000). Oleh karenanya, dibutuhkan perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin interaksi antar sektor yang saling menguntungkan dan menciptakan
hasil yang maksimal. Perangkat hukum membutuhkan aparatur penegak hukum yang memiliki komitmen dan konsistensi untuk menegakkan peraturan. Tanpa itu semua, upaya penegakan hukum lingkungan hanya akan berjalan sia-sia. Selain itu. kemampuan jaksa, hakim, dan polisi yang sering dikategorikan sebagai Aparat Penegak Hukum untuk menangani kasus-kasus lingkungan masih diragukan. Hal ini diakibatkan pengetahuan mereka tentang hukum lingkungan kurang
memadai.
Kurangnya pemahaman
aparat
penegak
hukum
ini
menyebabkan alat-alat bukti pencemaran lingkungan tidak diakui. Aparat Penegak Hukum Lingkungan dikategorisasikan secara lazim sebagai berikut (Rnngkuti, 2000) : 1. Polisi.
2. Jaksa
3. Hakim.
4. Pejabattlnstansi yang benvenang memberi izin.
5. Penasihat hukum l advokat
Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Penegakan hukum lingkungan yang bersifat preventif menandakan pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut peristiwa konkret yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar. Instrumen bagi penegakan hukum preventif bisa melalui penyuluhan, pemantauan. dan penggunaan kewenangan yang sifatnya pengawasan (pengambilan sample,
penghentian mesin-mesin, dan sebagainya). Pada sisi ini, penegak hukum yang utama adalah pejabatlaparat pemerintah yang bemenang memberi izin dan mampu mencegah tejadinya pencemaran lingkungan. Penegakan hukum lingkungan secara represif dilakukan terhadap segala perbuatan yang melanggar peraturan. Pelanggaran peraturan bisa ditindaklanjuti dengan penindakan secara pidana dan biasanya tidak dapat meniadakan akibat pelanggaran tersebut. Gugatan perdata juga bisa dilakukan dalam penegakan hukum lingkungan, terutama yang dilakukan oleh penguasa, apabila sarana penegakan Hukum Lingkungan Administratif kurang memadai (Rangkuti, 2000). Dalam
terminologi
pembangunan
berkelanjutan
dei~elopme~rf).pembangunan diukur dengan ukuran-ukuran
(slrslairrable keseimbangan,
kemanfaatan bersama dan berdimensi kemanfaatan bagi masa depan @trrrisfic). Dengan demikian, idealisme yang akan dicapai melalui program pembangunan adalah semata-mata maksimalisasi kenyamanan ekologis sekaligus minimalisasi kemsakan lingkungan. Sejalan dengan pemikiran hukum lingkungan, kenyamanan ekologis berarti suatu kondisi yang diinginkan dengan berbagai komponen ekologi yang ada merasa nyaman dan aman dari segala bentuk perusakan. Dengan demikian, pembangunan tetap berjalan dengan berbagai kemanfaatan yang ditimbulkan tanpa menghilangkan aspek-aspek kenyamanan ekologis. Secara normatif, kenyamanan ekologis akan tenvujud apabila ketertiban hukum dan bisnis terlebih dulu terbentuk, yaitu ketertiban hukum di sini mempakan akumulasi yang dihasilkan oleh tindakan-tindakan pro aktif segenap
aparat penegak hukum lingkungan yaitu hakim, jaksa. polisi, pejabatlinstansi yang benvenang memberi izin, memproses dan menindaklanjuti pelanaaran hukum lingkungan, dan advokat terhadap kepentingan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup. Paling tidak, terdapat kesamaan persepsi di antara aparat penegak hukum dalam menghadapi dan menangani persoalan lingkungan hidup. Ketertiban hukum dan berbisnis juga tidak bisa berdiri sendiri tanpa dukungan atau pengaruh dari variabel terkait lainnya, yaitu prosedur awal pengurusan persoalan lingkungan, upaya penjagaan hukum dan kesadaran aparat mengenai
lingkungan hidup.
Sejalan
dengan
intensitas dan
frekuensi
pembangunan sekarang ini. ketertiban hukum dan berbisnis merupakan kebutuhan yang sangat mendesak mengingat adanya ancaman yang menghantui masyarakat luas dan makhluk lingkungannya, yaitu berbentuk keresahan karena terjadi kerusakan lingkungan. Pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan iautan dengan segenap sumberdaya alamnya merupakan kewenangan pemerintah yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga di pusat dan di daerah berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Hanya saja saat ini pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan di Indonesia masih belum terpadu dan diwarnai dengan tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan. Di samping itu, hukum dan kelembagaan yang ada, belum mencerminkan kajian ekologi yang komprehensif dan proporsional untuk dijadikan sebagai dasar kebijakan. Konsep tata ruangpun belum cukup diperhatikan dengan mengacu kepada Undang-undang No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, sehingga membuat kehannonisan
ekologi terancam. mengingat pesatnya eksplorasi dan pemukiman penduduk wilayah pesisir dan lautan. Selain itu, penegakan hukum lingkungan oleh perangkat penegak hukum masih sangat lemah dan terkesan tidak terkoordinir dengan baik. Belum lagi lemahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan dan menjaga ekosistem lingkungannya. Sebelumnya. wewenang Otorita Batam untuk mengelola wilayah pesisir dan lautan Kota Batam menunjukkan intensitas industrialisasi tinggi. yang pada dasarnya sudah memenuhi kategori penciptaan kompleksitas yang mendukung timbulnya kemsakan lingkungan yang kemudian berujung pada keresahan. Keberadaan industrialisasi tanpa kontrol perangkat hukum lingkungan yang ketat sudah mendekati absurditas ekologi, dengan kecendemngan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan lebih menonjol dari pada pemeliharaan keseimbangan. Sebaliknya, absurditas tersebut akan berbalik menjadi kemanfaatan produktif apabila secara nyata dan riil berlaku upaya-upaya penegakan hukum (law etforcemeti/) di tengah masyarakat.
Secara mekanis, upaya penegakan hukum (law etforcemetit) akan berjalan apabila pengelolaan wilayah pesisir dan lautan didukung oleh perangkat hukum yang kuat. Di samping UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. seyogyanya juga dilakukan penegakan hukum terhadap PP No. 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dantatau Perusakan Laut, LN.RI th. 1999 No. 32 dan TLN.RI No. 3816, karena pada dasarnya pelaksanaan pembangunan industrialisasi hams dipandang dan diartikan sebagai upaya sinergi antara sektor-
sektor riil ekonomi dan segenap komponen kelembagaan hukum lingkungan. Hasil dari semua ini adalah tercapainya pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan lautan yang efektif bagi tenvujudnya pembangunan berkelanjutan di Kota Batam.
2.2.2
Kelembagaan Wewenang Pengelolaan Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan
secara terpadu atau yang lebih sering disingkat dengan ICM (Integrated Coa~tal Managenrent) adalah sebuah proses yang dinamis. Artinya ia bisa menjadi contoh
bagaimana Master Plarr sebuah wilayah pesisir dan lautan dibuat dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, ICM pun berhngsi : 1. Memajukan atau meningkatkan pemahaman terhadap sistem sumberdaya alam
khususnya wilayah pesisir dan lautan serta keterkaitannya dengan aktivitas manusia yang dinamis. 2. Optimalisasi dari pilihan-pilihan penggunaan pengelolaan sumberdaya alam dengan mengikutsertakan bidang-bidang seperti ekologi, sosial, dan investasi ekonomi. 3. Memperkenalkan pendekatan interdisiplin ilmu dan kerjasama a n t a r sektor
dan koordinasi di dalam memilih strategi untuk ekspansi dan diversifikasi aktivitas-aktivitas ekonomi. 4. Asistensi (membantu) pemerintah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
dari investasi modal juga sumberdaya alam dan SDM dalam pengendalian
ekonomi, sosial, dan lingkungan objektif. sehingga manajemen mutu dan hasilnya diakui di dunia internasional. Sisi lain. Boer (1995) menekankan perubahan secara hndamental terhadap proses dari setiap strata pemerintahan atau birokrasi dalam pembangunan lingkungan hidup yang terkait dengan pendekatan ekonomi politik agar dalam pengambilan keputusannya memperhatikan hal-ha1 sebagai berikut Integrate environment and development at the policy, planning and management levels; Provide an effective legal and regulatory framework; Promote the effective use of economic instruments and the market and other incentives; Establish system for integrated environmental and economic accounting. Dengan demikian, harapan yang terkandung di dalam pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan terletak pada nilai dari pembangunan itu sendiri. Pengertian mengenai nilai di sini berarti menyangkut keyakinan kepada upaya dinamik pada pembangunan yang dilakukan. Sebagaimana dalam pembangunan selama Orde Bam, perubahan empirik didasarkan pada tolok ukur pertumbuhan ekonomi semata. sehingga bentuk kerja apapun apabila dianggap memberikan sumbangan positif kepada pertumbuhan ekonomi, maka kerja tersebut dikatakan sebagai mempunyai nilai. Paradigma pembangunan seperti ini hams di reformasi ke arah paradigma baru yang lebih baik, yaitu pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Kebutuhan akan kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu saat ini hams disesuaikan dengan pembahan yang tejadi
dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan. Saat ini. pembangunan yang bersifat
sentralistik
dikoreksi
dan
akhirnya
menghadirkan
pendekatan
pembangunan yang bersifat desentralistik. Berlakunya Undang-undang Nomor 2211999 tentang Pemerintahan Daerah (Pasal 10) telah menggeser kewenangan
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dari pemerintah pusat ke daerah Pergeseran ini tentu saja membawa berbagai konsekuensi dalam kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang efisien, adil, dan berkelanjutan Selanjutnya, menurut UU No. 53 tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam tejadi perubahan wewenang Kota Batam dari Badan Otorita Batam ke Pemerintah Kota (Pemkot) Batam. Di masa pemerintahan pembangunan
konvensional,
O r d e Baru yang menggunakan konsep eksploitasi
sumberdaya
alam
(termasuk
sumberdaya wilayah pesisir dan lautan) lebih banyak memberikan manfaat kepada pemerintah pusat dan segelintir kalangan pengusaha dibandingkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat yang merupakan pemilik sumberdaya. Dengan dalih untuk kepentingan nasional, maka sumberdaya alam dieksploitasi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan. bahkan menimbulkan kesenjangan sosial dan kesengsaraan pada masyarakat sekitar. Dengan demikian, sangat diperlukan perubahan pendekatan pembangunan, dari konvensional menuju fungsional yang salah satu caranya dengan melakukan desentralisasi dan keterpaduan pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan. Hanya saja, permasalahan yang dihadapi adalah seberapa siap dan besarnya keinginan serta komitmen Pemerintah Daerah untuk mengelola sumberdaya alam wilayah
pesisir
dan
lautan
secara
berkelanjutan
yang
berada
dalam
wewenanglkekuasaannya. Terlebih lagi untuk wilayah pesisir dan lautan Kota Batam masih terjadi duplikasi wewenang antara Pemerintah Kota Batam sebagai pengemban amanat Otonomi Daerah dengan Badan Otorita Batam sebagai institusi perpanjangan tangan Pemerintah Pusat yang terlebih dulu ada dan lebih profesional dalam mengelola Kota Batam. Untuk itu. dibutuhkan keputusan yang bijaksana dan tepat dalam menentukan institusi atau kelembagaan mana yang benvenang untuk mengelola sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan Kota Batam. Penentuan ini untuk menghindari duplikasi dan menciptakan keterpaduan dalam pengelolaan berikutnya serta untuk menghindari konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan.
2.3
Wilayah Pesisir dan Lautan Pengeloiaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu
(I~ltegrafed
Coaslal Mm~agernen~~) merupakan pendekatan baru bukan saja di Indonesia, tetapi juga global. Terminologi secara umumnya merupakan kegiatan manusia di dalam mengelola man& sumberdaya, atau penggunaan yang terdapat pada suatu wilayah pesisir,
dengan
cara melakukan
penelitian
menyeluruh
(comprehensive
asvessmerrt) tentang wilayah pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan. dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan
pemanfaatannya. guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilaksanakan secara kontinu dan dinamis dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial ekonomi budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir dan lautan (stakeholders) serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen. 1990) Perencanaan
terpadu
dimaksudkan untuk
mengkoordinasikan dan
mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu biasanya dimaksudkan sebagai upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan
untuk
memelihara
lingkungan,
ketertiban
masyarakat,
dan
pembangunan ekonomi Seringkali, keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi : pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi. dan kegiatan konstruksi. Perencanaan sumberdaya secara terpadu merupakan suatu upaya secara bertahap dan terprogram untuk mencapai tingkat pemanfaatan sistem sumberdaya alam secara optimal dengan memperhatikan semua dampak lintas sektoral yang mungkin timbul. Dalam ha1 ini yang dimaksud dengan pemanfaatan optimal adalah suatu cara pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang dapat menghasilkan
keuntungan
kemakmuran masyarakat.
ekonomis
secara
berkesinambungan
untuk
Sementara itu, Lang (1986) menyarankan bahwa keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti pesisir dan lautan, hendaknya dilakukan pada tiga tataran (level): teknis, konsultatif, dan koordinasi. Pada tataran teknis, segenap pertimbangan teknis. ekonomis. sosial, dan lingkungan hendaknya secara seimbang atau proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada tataran konsultatif. segenap aspirasi dan kebutuhan para pihak yang terlibat (s/akehoIder.s) akan terkena dampak pembangunan sumberdaya alam pesisir dan lautan hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaan. Pada tataran koordinasi mensyaratkan kerjasama yang harmonis antar semua pihak yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, baik itu pemerintah, swasta. maupun masyarakat umum. Masalah krusial dalam kelembagaan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan adalah kerancuan dan tumpang tindihnya kelembagaan yang ada serta lemahnya penegakan hukum lingkungan. Dengan demikian, hams ada keberanian untuk menerapkan konsep "terpadu" (ititegraled approach) pada pengelolaan lingkungan dan meninggalkan pola lama, yakni "koordinasi". Karena pengertian terpadu berarti kewenangan berada pada satu tangan tanpa diembel-embeli kata
"koordinasi" (ccx>rJitia/ioti) yang artinya semua tetap berwenang. namun ada koordinasi (Rangkuti, 2000). Akibatnya. pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang memiliki keterkaitan ke depan w a r d l i t i k a ~ )dan ke belakang (backward linkage)
dengan sektor-sektor perekonomian lainnya tidak tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu, akibat kebijakan sektor-sektor perekonomian tersebut tidak berorientasi dan sinergi dengan sektor kelautan. maka geliat perekonomian lain yang terkait juga tidak tumbuh dan berkembang secara optimal dan berkelanjutan. Bila dikaji secara cermat, guna memenuhi fungsionalisasi pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan lautan secara berkelanjutan dan sesuai dengan arahan dalam Agenda 2l.maka kata yang tepat untuk digunakan adalah terpadu atau keterpaduan (ittltgra/iort).Yakni kewenangan yang berada di satu tangan dan diserasikan dengan kerjasama melalui kewenangan tunggal tersebut Hal ini karena pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya. dan kegiatan pemanfaatan guna mencapai pembangunan wilayah (pembangunan) secara terpadu (~ttlegrated) pesisir dan lautan secara berkelanjutan
Dalam konteks ini, keterpaduan
(ittlegraliot~)mengandung tiga dimensi, yaitu
sektoral. bidang ilmu, dan
keterkaitan ekologis (Dahuri. 1996) Keterpaduan secara sektoral berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal ittlepatiott); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa. kecamatan, kabupaten, propinsi, sampai tingkat pusat (vertical ittttgratiott).
Keterpaduan sudut pandang keilmuan masyarakat bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan hendaknya dilaksanakan atas dasar pendekatan
interdisiplin ilmu (inferdisciplir~aryapproaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini wajar, karena wilayah pesisir dan lautan pada dasamya terdiri atas sistem sosial dan sistem alam yang tejalin secara kompleks dan dinamis. Seperti diketahui, wilayah pesisir dan lautan pada dasarnya tersusun dari berbagai macam ekosistem [ hutan bakau (mangroves), terumbu karang, estuaria, pantai pesisir, dan lainnya] yang satu sama lain saling terkait, tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa satu ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu, wilayah pesisir dan lautan juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans). Kondisi empiris semacam ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu hams memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological linkages) tersebut, yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir.
2.4
Pembangunan Berkelanjutan Istilah pembangunan mulai dikenal luas di Indonesia sekitar tahun 1970-an
dengan maksud terutama adalah pembangunan ekonomi di atas suatu sistem politik yang setapak demi setapak berdasarkan konstitusi yang berlaku (Mnbyarto, ed., 1981). Istilah pembangunan dalam kepustakaan ilmu ekonomi sering dinisbatkan dengan istilah "development" atau lebih khusus lagi "economic development". Istilah itu sering dipakai silih berganti tanpa terkandung maksud untuk
membedakannya. Pada pokoknya, istilah pembangunan dalam bahasa Indonesia menunjuk pada gejala atau proses yang terjadi pada perkembangan ekonomi suatu bangsa atau yang terjadi pada suatu negeri. Kindleberger dan Herric mendefinisikan pembangunan sebagai sebuah proses yang menunjuk pada gejala terjadinya kenaikan hasil atau peningkatan efesiensi hasil diukur dengan satuan masukan yang disertai dengan perubahanperubahan yang terjadi pada bidang pengaturan teknis dan kelembagaan produksi maupun distribusi, dalam komposisi hasil produksi nasional maupun alokasi faktor-faktor masukan pada setiap sektor serta perubahan-pembahan dalam kemampuan fbngsional pada suatu masyarakat (Rachbini, 1996). Sementara itu, Todam (1997) mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup perubahan ~ t ~ k t usikap r, hidup dan kelembagaan, selain mencakup peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan
ketidakmerataan
distribusi
pendapatan
dan
pemberantasan
kemiskinan (Rachbini, 1996). Dalam konteks yang lebih luas, ahli-ahli ekonomi sendiri berbeda pendapat dalam mendefinisikan arti kata pembangunan. Sebagian kelompok intelektual memandang pembangunan secara iebih luas yang meliputi bidang lain yang non-ekonomi. Kalangan awam memandang pembangunan hanya sebagai atau identik dengan pembangunan fisik. Sebagian lainnya
menyamakan
pembangunan dengan modernisasi, walaupun tidak secara terang-terangan disebut demikian. Oleh karenanya, secara sepintas dapat dikatakan bahwa pengertian masyarakat luas mengenai istilah pembangunan mengandung perbedaan persepsi.
Secara garis besar, teori-teori pembangunan ekonomi dapat digolongkan menjadi lima golongan besar yaitu aliran-aliran Klasik, Karl Marx, Schumpeter,
Neo Klasik, dan Post Keynesian. Kelima aliran besar ini mencoba menemukan sebab-sebab pertumbuhan pendapatan nasional dan proses pertumbuhannya (Irawan & Suparmoko, 1999). Dalam perjalanannya, teori-teori pembangunan ekonomi selalu terkait dengan sistem ekonomi politik yang dipilih oleh sebuah negara. Menurut Rachbini (1996) secara garis besar terdapat empat bentuk sistem ekonomi politik, yang cukup dominan saat ini, yakni: Kapitalisme, Sosialisme, Komunisme, dan sistem ekonomi campuran (mixed economy system). Dalam perjalanan pembangunan di Indonesia, berbagai teori pembangunan dan berbagai aliran pernah digunakan dan diterapkan. Secara umum, aliran klasik atau yang berikutnya akan disebut dengan konsep pembangunan konvensional paling mendominasi wajah pembangunan di Indonesia Aliran klasik hadir pada akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-19, yaitu di masa Revolusi Industri. Suasana saat itu merupakan awal bagi adanya perkembangan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menurut aliran ini disebabkan adanya pacuan antara kemajuan teknologi dan perkembangan jumlah penduduk. Mula-mula kemajuan teknologi lebih cepat dari pertambahan jumlah penduduk, tetapi akhirnya tejadi sebaliknya dan perekonomian akan mengalami kemacetan (Irawan & Suparmoko, 1999). Menurut aliran ini, kemajuan teknologi disebabkan oleh adanya akumulasi kapital (modal). Akumulasi kapital memungkinkan dilaksanakannya spesialisasi
atau pembagian kerja melalui mekanisasi yang lebih baik, sehingga produktivitas tenaga kerja bertambah. Kecepatan pembentukan kapital tergantung pada tinggi rendahnya tingkat keuntungan. Lalu tingkat keuntungan yang tinggi akan mendorong investasi. Investasi kemudian akan menambah volume persediaan kapital, dimana keadaan ini akan memajukan tingkat teknologi dan memperbesar jumlah
uang yang beredar hingga tingkat upah dapat naik dan selanjutnya
kenaikan upah ini berarti meningkatnya kemakmuran penduduk. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa aliran klasik ini sangat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (ecorron~icgrowth) sebagai dasar dari aktivitas perekonomiannya. Untuk aspek pemerataan, maka aliran klasik atau liberal ini sangat mengandalkan "efek rembesan rejeki" (trickle down eflect) yang dikatakan sebagai konsekuensi logis dari sebuah pertumbuhan. Padahal. dalam kenyataannya, model pembangunan konvensional (klasik) ini akhirnya cenderung lebih mengutamakan pertumbuhan (eco~ronlicgrowth) tetapi mengabaikan aspek pemerataan dan keseimbangan lingkungan. Berbagai teori yang dikeluarkan oleh ekonom aliran klasik ini, seperti Adam Smith, David Ricardo, dan Thomas Robert Maltus berkecenderungan untuk memicu pertumbuhan ekonomi, dengan mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumberdaya alam (yang dikatakan terbatas) tanpa memperhatikan aspek-aspek lingkungan hidup. Model pembangunan konvensional selalu menciptakan modernisasi dan industrialisasi secara besar-besaran demi memenuhi kebutuhan manusia yang menurut mereka tidak terbatas. Kegagalan model pembangunan konvensional
(klasik) ini menimbulkan kritik dari ekonom-ekonom lain dan upaya untuk mencari sistem atau model yang lebih baik. Dalam teori ekonomi konvensional, barang modal buatan dianggap sebagai satu-satunya unsur paling utama bagi sebuah pembangunan ekonomi atau kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa. Setelah itu barulah sumberdaya manusia atau modal manusia sebagai unsur berikutnya. Sementara itu, sumberdaya alam atau barang modal alamiah meskipun diakui sebagai salah satu faktor produksi dalam proses produksi, tetapi tidak dianggap sebagai faktor penentu dalam pembangunan ekonomi. Hal ini yang mengakibatkan pengabaian terhadap kelestarian lingkungan hidup apabila menggunakan pendekatan pembangunan konvensional. Selain itu, konsep ekonomi konvensional lazimnya hanya mengenal lahan sebagai
sumberdaya
alam.
Selanjutnya,
konsep
ekonomi
konvensional
memperlakukan barang modal buatan dan sumberdaya alam sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat saling menggantikan Viilly siibs~itti~nble) (Costanza a n d Daly, 1992). Pemahaman semacam inilah yang membuat pelaku-pelaku pembangunan kurang atau tidak memiliki semangat untuk melestarikan lingkungan dan hanya memiliki semangat eksploitasi. Dalam pandangan Marx, hubungan produksi dalam sistem konvensional (klasik) didasarkan pada pemilikan individu brivate owtiership) masing-masing kapitalis terhadap alat-alat produksi. Klas kapitalis mempekerjakan klas buruh yang mau tidak mau menjual tenaganya karena mereka tidak memiliki alat
produksi. Karena terdapat perbedaan kepentingan antara klas kapital (pemilik modal) dengan klas buruh, maka akhirnya timbul perjuangan kelas. Dengan demikian, pembangunan sering dikatakan sebagai
"pedang
bermata dua". Di satu sisi dia bisa mensejahterakan namun di sisi yang lain dia juga bisa mencelakakan manusia. Pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan sering bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, sehingga sering terjadi pilihan-pilihan yang sulit diantara aktivitas pembangunan dengan pelestarian lingkungan Padahat, di antara dua kepentingan tersebut, yakni antara pembangunan dan pelestarian lingkungan bisa saling interaksi atau diintegrasikan sehingga kepentingan ekonomi dan lingkungan bisa sama-sama tercapai Kuatnya interaksi dan ketergantungan antara dua faktor tersebut yang menimbulkan adanya pendekatan baru dalam pembangunan demi memenuhi kesejahteraan manusia. Pembangunan. khususnya industrialisasi pada dasarnya menggunakan pembangunan yang bermental manusia pembuka dan pendobrak lahan baru Vrot~tirr).Padahal. perlu diketahui bahwa manusia dengan mental frot~trer ini, menurut Chiras adalah manusia yang pandangan hidupnya berpusat pada diri manusia sendiri (at~thropocetttrrs);sehingga model dan sistam kehidupan apa pun diciptakan, termasuk juga ekonomi dan bisnis. selalu merupakan kebenaran walaupun hams merugikan pihak lain (Sudjana & Riyanto. 1999) Cikal bakal sistem ekonomi yang mementingkan diri sendiri demi mencapai kenikmatan pribadi telah ada sejak masa Yunani Kuno. Paham hedotlisn~e. yang dapat dikatakan sebagai cikal bakal paham materialistik yang
dikembangkan di Eropa pada abad ke-17 dan ke-18, menganggap kenikmatan egoistis sebagai tujuan akhir dari kehidupan manusia. Paham yang pertama kali digagas oleh Aristippus ini menganggap bahwa kenikmatan adalah tujuan hidup yang paling mulia dari setiap manusia Dengan demikian. semua tindakan atau aktivitas manusia akan dianggap baik kalau seandainya tindakan tersebut mendatangkan kenikmatan, meskipun merugikan orang lain (Deliarnov, 1995). Politik pembangunan ekonomi Indonesia yang paling menentukan adalah dalam rentang waktu 1966-1971, yakni sejak lahirnya rezim Orde Baru sampai pemilihan umum 1971 dengan strategi stabilisasi dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis. Pilihan Orde Baru terhadap strategi stabilisasi dan pembangunan ekonomi yang berorientasi ke luar ini memasukkan ekonomi Indonesia ke dalam jaringan kapitalis dunia (Mas'oed. 1989). Periode paling menentukan dalam pengelolaan perekonomian bangsa adalah ketika lahirnya Orde Baru yang kemudian menempatkan pembangunan ekonomi pada urutan prioritas teninggi. Pilihan ini tentu saja mengandung kekuatan dan kelemahan yang kemudian berakibat langsung bagi kehidupan bangsa ini selanjutnya Pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru bisa dipastikan telah memilih konsep ekonomi konvensional dengan indikasi pertumbuhan yang tinggi (akumulasi kapital melalui investasi) dan iklim bisnis yang cenderung bebas uree fight Irheralrratiot~) Kebebasan bisnis yang dimaksud disini tentu saja semu, karena Orde Baru telah melahirkan praktik-praktik hegemoni dan monopoli bisnis dengan alasan menstabilkan pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan dengan pendekatan konvensional selama era Orde Baru telah menimbulkan berbagai permasalahan pembangunan. Puncak dari kegagalan pembangunan Orde Baru adalah krisis ekonomi yang terbesar sepanjang sejarah perekonomian nasional sejak tujuh tahun lalu. Salah satu akar penyebab krisis ekonomi terkait dengan sandaran utama proses pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tidak demokratis. Proses pembangunan Orde Baru sangat menggantungkan diri kepada bisnis besar (konglomerat) yang pangsa omzet dan asetnya terhadap kekayaan nasional (PDB) masing-masing mencapai sekitar 62% dan 76% pada saat sebelum krisis 1997. Konsekuensi logis dari pilihan ini adalah terpuruknya ekonomi rakyat baik yang telah masuk ke dalam kelompok produktif, yakni Usaha Kecil dan Menengah
(UKM). maupun yang relatif masih subsisten, yakni sektor informal di perkotaan dan pedesaan yang jumlah dan prosentasenya besar yakni sekitar 70% dari angkatan kerja atau sekitar 70 juta orang (Damanhuri, 2000) lndikasi pembangunan konvensional yang diterapkan pemerintahan Orde Baru adalah pertumbuhan yang tinggi (sekitar 8,07% pada tahun 1996). dengan mengharapkan terjadinya "efek perembesan ke bawah" (trickle down rffecl). Untuk itu seluruh kebijakan pembangunan di arahkan pada penyiapan pelaku usaha besar untuk menghadapi isu globalisasi. Pada saat bersamaan, iklim ekonomi-politik
dibiarkan
bersifat
laisw-faire
(persaingan
bebas)
dan
memfasilitasi segelintir orang untuk melakukan konglomerasi serta praktikpraktik korupsi, kolusi. dan nepotisme. Berbagai pabrik besar dan kecil berlomba memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh seluruh penduduk Indonesia.
Namun, dibalik derap pertumbuhan pembangunan Orde Baru tersebut tercipta akibat yang sangat mencemaskan, yaitu perusakan lingkungan dan berbagai sumberdaya alam yang terus memuncak. Upaya pemenuhan kuantitas dan kualitas barang serta jasa terus meningkat tanpa disertai upaya efisiensi. mengharuskan Indonesia meningkatkan intensitas dan ekstensifikasi produksi pangan, barang. dan jasa secara lebih besar yang kemudian berimplikasi pada penggunaan air, pupuk, insektisida, bahan kimia lain, dan bahan kimia beracun yany lebih besar Penebangan hutan dan penyedotan minyak untuk pemenuhan kebutuhan industri semakin meningkat yang pada akhirnya melahirkan keuntungan-keuntungan jangka pendek yang besar membuat silau masyarakat. Penggunaan mobil, kapal laut, kapal udara, dan perluasan industri besar-besaran tanpa perhitungan keseimbangan lingkungan menambah pencemaran tanah, sungai, laut. dan udara. Kerugian akibat kerusakan yang hams diderita oleh sumberdaya alam kurang diperhitungkan Pelaksanaan program pembangunan konvensional semacam ini, yakni yang
hanya
mempertimbangkan
aspek
pertumbuhan
ekonomi
tanpa
memperhatikan dampak lingkungan. menunjukkan bahwa pembangunan tersebut semata-mata didasarkan pada nilai-nilai keserakahan. eksploitatif tanpa mengenal aspek keseimbangan atau berkelanjutan. Kalau ha1 ini terus dilanjutkan, maka "ramalan suram" kerusakan ekonomi sebagaimana digambarkan oleh Meadows (1974) akan menemui kenyataannya .
Dari fenomena inilah kemudian lahir semangat mengintegrasikan secara harmonis antara kepentingan ekonomi dan lingkungan yang kemudian dikenal dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan (srcstaittable de~~elopmertt). Kebutuhan kerangka kerja untuk memprornosikan pembangunan global dan melindungi lingkungan global ditekankan dalam pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan. Pelaksanaan Konsep pembangunan berkelanjutan diprioritaskan sebagai sebuah tujuan global yang paling utama untuk diamankan. Hossain (1995) mengernukakan elemen kunci dari konsep tersebut adalah : a The concept of sustainable development does imply limits - not absolute limits but limitations imposed by the present state of technology and social organization and environmental resources and by the ability ofthe biosphere to absorb theeffect of human activities. b. Sustainable development requires meeting the basic needs of all and extending to all the opportunity t o fulfil their aspirations for a better life (...) a world in which poverty is endemic will always be prone to ecological and other catastrophes. c. Meeting essential needs requires not only a new era economic growth for nations in which the majority are poor, but an assurance that those poor get their fill share of the resources required t o attain that growth. d. Such equity would be aided by political system that secure effective citizen participation in decision-making and by greater democracy in international decision-making e. Sustainable development requires that those who are more amuent adopt lifestyles within the planet's ecological means in their use of energy, for example, rapidly growing populations can increase the pressure on resources Melalui deskriptif yang telah dikemukakan sebelumnya, perlu juga ditambahkan
2 (dua) agenda besar pasca berakhirnya the Cold War
dan the emergettce
of
Nherere
yang
(1995)
a tctripolar world sebagaimana
menjadi
fokus
dalam
yang dikemukakan
hubungan internasional
untuk mendukung suasana terciptanya s ~ ~ s t a i r m hde~~elopmettt k , yaitu Hirman Rights dan I>entcxrati.wtiott, Di dalamnya yang terpenting adalah cottdiliotmlity.
Adapun dalam pengertian corrdiliortalily berkaitan dengan bantuan ekonomi atau keuntungan atau manfaat dengan ketentuan standar internasional yang layak mendapat bantuan
Coridi/iotraIiyyang utama adalah satu situasi dimana keadaan penerapan Hrtntatr Rights dan lIrmocralisaliort ( g d go~~errrartcr) terimplementasi dengan baik menurut standar internasional. Akan tetapi, Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan The
Summit Jakarta [The tenth summit o f the Non-Aligned
Movement (NAM), 1" to 6Ih September 19921. mengatakan bahwa sebaiknya pemeliharaan dan pelaksanaan dari hak-hak yang dimiliki disesuaikan dengan batasan kebudayaan, sistem ekonomi. dan hukum atau peraturan-peraturan yang dimiliki oleh suatu bangsa. Selanjutnya, Nherere (1995) mengemukakan, lebih jauh perlu dicari bahan dari bangunan dialog untuk penghormatan terhadap hak asasi manusia. kelangsungan demokrasi. dan pemerintahan yang baik dengan mempertanyakan 3 (tiga) ha1 penting (1) Whether the current practice of conditionality is, a s contended. incompatible with the sovereignty of the recipient states and therefore an unlawful interference in their internal affairs; (2) Whether, the legal niceties of international law apart, conditionality can be justified (or impugned) on some other grounds. and; (3) As to the efficacy of conditionality in bringing about the desired result.
Dengan demikian, dapatlah diupayakan langkah-langkah strategis dan taktis dengan didasari pada jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang telah dikemukakan tiga ha1 tersebut. Pada tingkat dunia, isu lingkungan menjadi kata yang menuemparkan dunia ( a global hrrzz-word) ketika Rachel Carson dalam Silettf Sl~rittg(1962) memperingatkan tentang bahaya penggunaan insektisida ( A d tto birdv stttg) yang merupakan pemikiran yang pertama kali menyadarkan manusia mengenai lingkungan (Rangkuti. 2000). Setelah itu, aktivitas dunia untuk mengkaji lingkungan dan pembangunan berjalan simultan dan sinergis. Dimulai dengan Deklarasi Stockholm (1972). Deklarasi Nairobi (1982). serta Deklarasi Manila (1981) yang jelas-jelas menggariskan hubungan antara lingkungan dan pembangunan. Selanjutnya. ha1 itu juga disepakati dalam Deklarasi Tokyo (1987). dan Deklarasi Rio de Janeiro (1992) dan diteguhkan lagi dengan Deklarasi Johannesburg (2002). Pemikiran ke arah pembangunan berkelanjutan diadakannya
mengkristal
dengan
KTT Bumi (IGrth Stlmnzit) tanggal 3-14 Juni 1992 di Rio de
Janeiro, Brasil. Konperensi antara lain menghasilkan Deklarasi Rio sebagai penegasan kembali isi Deklarasi Stockholm : Reaflrntittg the Declaration of the (lttited Natiotts Cotferettce or1 the Hzmzatr Etti~irontnzettt.adoplednt Stockholm ott 16.ltrtte 1972. nttdseekittg to build tryon it. With the goo1 of e.stnbli.sihittg a rtew nttd eqtritable global lxlrttter.ship throtrgh the creali~wtof t t e ~ level.s ~ ~ of con/wrntiott anlottg S/a/e.s. key .sector.s s~~cicties attdjwcy~le.
(g
Dalam Deklarasi Rio inilah keterkaitan antara pembangunan berkelanjutan dan pembinaan hukum lingkungan serta tugas negara dalam melindungi lingkungan mengemuka. sebagaimana pasal-pasal dalam Deklarasi tersebut :
Irr Order /o achieve .srr.stairrable dew/cy~nterr/,er~~~iror~ntental protectiotr shall corrsti/rt/e atr rrrtegral yarl of the derrlo~~nte~r~ process atrd carrtrot be cor~.siderrdin i.sc>la/iorrfront it (Principle 4). S/a/rs .shall erracl effective e~~virorrmerr/al legislatio~r. Ettvirome~~tal sIa~ldards,nrat~gentetrlobjt.c/ive.s mrd prioritirs .shortld rejlecl /he err~~irc~r~nterrtal atrd developnterrtal corrtext to which /hey apply. Starrdards applied by some corttrtries may be irraplrolriafeatrd of rnrwarrartted ecorron~icand scxial cost to olher corrrr/ries. irr pur/icnlar develo~~ir~g cortntries (Principle 1I).
Irr order /o pro/ec/ the ern~irotrmetrt./he precarr~iorraryal~proachshall be widely apllied by States accorditrg lo their capabililies. Where there are threats of seriotrs or irre~~mible danrage. lack offi(I1scie~t/ificcer~ai~rly shall 1101 be t~.seJa.r a rea.sotr for /~c>.s~m~rirrg cosl-eflective nrea.slrres lo pre~rrrl ern~iro~rrrnerrlal degadafiwr (Principle 15).
Namun. di Indonesia implementasi hasil-hasil Konferensi tersebut masih kurang
memuaskan.
Prinsip-prinsip
pelaksanaan
konsep
pembangunan
berkelanjutan belum dipahami dan dituangkan secara optimal dalam perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan nasional. Mengacu kepada Deklarasi Rio,
Ben
Boer mengungkapkan
asas-asas
("Sustainable Development Principles") berikut:
pembangunan
berkelanjutan
a.
Inter Generational Equity
b.
Intra Generational Equity
c.
The Precautionary Principle
d.
Conservation of Biological Diversity
e.
Internalization of Enviromental Costs.
Peranan hukum lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan ternyata juga belum mengedepan dengan bukti masih banyaknya pencemaran lingkungan. Padahal, pembangunan berkelanjutan adalah "penyelamat"
bagi kerusakan
lingkungan, sekaligus diharapkan lebih mensejahterakan rakyat banyak. Untuk itu dibutuhkan pemahaman sekaligus implementasi pembangunan berkelanjutan Definisi
pembangunan
berkelanjutan
seperti
dikemukakan
pada
Brundtland Report, O u r Common Future (WCED, 1987) menyebutkan : Pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan
masa
sekarang tanpa
mengurangi
kemampuan generasi
mendatang untnk memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses perubahan dimana eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi pengembangan teknologi, dan perubahan institusi berada dalam suatu keselarasan dan meningkatkan potensi masa kini dan yang akan datang dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan manusia (Yakin, 1997). Perkembangan
istilah
pembangunan
berkelanjutan
(srrsfairtahlr
dertelopnren~)dan pengunaannya sangat pesat. Dalam literatur, banyak istilah yang diberikan untuk pengertian serupa dengan pembangunan berkelanjutan.
misalnya arstaitrable dei~elopmetif. ecologically srrstaitrable development, ecodevelopmerr/. srrsfaitiable ecotromic dei~elopment. dan lain-lain yang pada
akhirnya bermuara pada kehawsan keharmonisan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sebagian pernyataan-peryataan yang dipaparkan tentang pembangunan berkelanjutan mewpakan ungkapan ringkas dan padat yang menginsyaratkan betapa luasnya cakupan persoalan yang dihadapi program pembangunan berkelanjutan.
Artinya,
untuk
mengawali
setiap program
pembangunan
berkelanjutan dibutuhkan analisis dan perhitungan yang akurat sehingga dihasilkan perencanaan yang matang dan tepat. Dalam analisis dan perhitungan yang akuratpun dibutuhkan kemampuan mengidentifikasi dan melibatkan faktor-faktor yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Dengan kata lain. pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan
ekosistem
alamiah
sedemikian
rupa,
sehingga
kapasitas
fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak (Dahuri, el a/.. 1996) Dengan demikian. pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mewpakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas
ini tidaklah bersifat mutlak (absolrr/e), melainkan
mempakan batas yang luwes (fi'exible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam. serta kemampuan biosfir untuk menerima dampak kegiatan manusia.
Menurut Emil Salim ada 5 (lima) ha1 mendasar mengapa konsep pembangunan berkelanjutan sangat perlu diterapkan di Indonesia (Rachbini, 1996). yakni : a. Mengindentifikasi dan membedakan mana sumberdaya yang dapat dan tidak dapat dieksploitasi, baik sumberdaya yang dapat diperbaharui maupun yang tidak. lndentifikasi ini sangat diperlukan agar keseimbangan ekosistem alam tetap terjaga secara seimbang. b. Menetapkan standar polusi maksimal yang dapat ditoleransi pada batas di bawah threshold level. Penetapan batas ini dilakukan agar atmosfir alam secara umum dan lapisan ozon secara khusus tidak msak akibat polusi yang berlebihan. c. Menjaga setiap kegiatan pembangunan selalu konsisten dengan batas kapasitas (carryiirg capaciry) sumberdaya alam yang mendukung kehidupan di atasnya. d. Mengidentifikasikan wilayah yang kritis dan memperbaiki setiap wilayah yang lingkungan hidupnya rusak akibat negatif dari proses pembangunan yang berlangsung. e. Menganjurkan dunia internasional agar tanggap terhadap masalah lingkungan hidup sehingga memungkinkan terciptanya suasana yang kondusif bagi pelaksanaan model pembangunan berkelanjutan oleh setiap negara, khususnya di negara sedang berkembang. Langkah lanjutan dari upaya ini adalah menciptakan kerjasama internasional dalam bidang lingkungan hidup.
Secara garis besar konsep pembangunan berkelanjutan memiliki empat
.
dimensi : (1) ekologis. (2) sosial ekonomi (3) sosial politik. dan (4) hukum dan kelembagaan (Dahuri el a/.,1996).
(1)
Dimensi Ekologis Secara ekologis terdapat 3 (tiga) persyaratan agar pembangunan suatu
wilayahlekosistem dapat berlangsung secara berkelanjutan.
Pertama, adalah perlu adanya keharmonisan ruang ( s p l i a l harmorry) antara ruang untuk kehidupan manusia dan kegiatan pembangunan dengan ruang untuk pelestarian lingkungan. yang dituangkan dalam peta tata ruang. Idealnya, suatu kawasan wilayah pesisir dan lautan, baik dalam lingkup kabupatenlkota. propinsi atau nasional hendaknya tidak semuanya dimanfaatkan untuk kegiatan pembangunan (dewlopnrerrl/~rtiI~za/~~~~~ zorre), tetapi sebagian hams dialokasikan untuk zona preservasi dan zona konservasi. Menurut Odum (1976) proporsi luasan zona presewasi disbanding zona konservasi disbanding zona pemanfaatan dalam suatu wilayah pesisir dan lautan idealnya adalah 20 : 20 : 60 persen Berdasarkan karateristik biofisik serta pertimbangan sosial-ekonomi dan budaya, zona pemanfaatan (pembangunan). yang sekitar 60% dari total wilayah pesisir dan lautan yang dikelola dibagi-bagi (qazelled) menjadi berbagai lokasi kegiatan pembangunan (seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, pertambangan dan energi, kepelabuhan dan transportasi, dan industri) sesuai dengan daya dukung lingkungan yang tersedia
Kedua, adalah bahwa tingkat laju (rate) pemanfaatan untuk sumberdaya yang dapat pulih (retrewahle resorrrces) adalah bahwa laju ekstrasinya tidak boleh melebihi kemampuannya untuk memulihkan daripada suatu periode tertentu
(Clark R.B., 1986) Sementara pemanfaatan sumberdaya pesisir yang tak dapat pulih
(riorr rerrewahle resocrrce.~) hams dilakukan dengan cermat. sehingga
efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya.
Ketiga, pada saat mengeksploitasi
bahan
tambang dan mineral
(sumberdaya tak dapat pulih) hams digunakan cara-cara yang tidak merusak
lingkungan, sehingga tidak mematikan kelayakan usaha (~jiabilily) sektor pembangunan (ekonomi) lainnya. Idealnya laju pemanfaatan sumberdaya tidak dapat pulih diatur sedemikian rupa, sehingga sebelum sumberdaya tersebut habis, sudah ditemukan bahan subtitusinya. Setiap ekosistem alamiah. termasuk wilayah pesisir, memiliki 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia : ( I ) jam-jam pendukung kehidupan, (2) jasa-jasa kenyamanan, (3) penyedia sumberdaya alam, dan (4) penerima limbah (Ortolano, 1984).
Selain itu. pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan dapat berlangsung jika kegiatan pembangunan tidak melebihi kapasitas fungsional ekosistem alam, yaitu: 1. Menempatkan kegiatan pembangunan pada lokasi yang secara ekologis
sesuai tata ruang. 2. Tingkat (laju) pemanfaatan SDA (Sumberdaya alam) dapat pulih tidak
melebihi potensi lestarilkemampuan pulihnya. 3. Laju pembuangan limbah ke lingkungan alam tidak melebihi "kapasitas asimilasinya". 4. Desain pembangunan hams disesuaikan dengan kondisi alamnya (design
with tiafitre).
Dimensi ekologis pembangunan berkelanjutan akan sangat mempengaruhi dimensi sosial ekonomi. Dimensi ekologis pada dasarnya menyajikan informasi tentang daya dukung (kemampuan suplai) sistem alam dalam menopang segenap kegiatan pembangunan dan kehidupan manusia. Dengan demikian, pembangunan
harus dikelola sedemikian rupa, sehingga total permintaan (deniartd) terhadap sumberdaya alam dan jam-jasa lingkungan tidak melampui suplai tersebut.
(2)
Dimensi Sosial Ekonomi Dimensi ekonomi dan dimensi sosial dari pembangunan berkelanjutan
adalah
mempresentasikan
permintaan
(denimid s ~ d e ) manusia
terhadap
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah dimaksud. Kualitas dan jumlah permintaan tersebut ditentukan oleh jumlah penduduk dan standar (kualitas) kehidupannya Selain mengendalikan jumlah penduduk, kebijakan yang mendesak untuk dilakukan adalah mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin Dimensi sosial ekonomi budaya, konsep pembangunan berkelanjutan mensyaratkan, bahwa manfaat (keuntungan) yang diperoleh dari kegiatan penggunaan suatu wilayah pesisir serta sumberdaya alamnya harus diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan (proyek) tersebut. terutama mereka yang ekonominya lemah. guna menjamin kelangsungan pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut
Dalam beberapa kasus, perusakan
lingkungan pantai misalnya penambangan batu karang, penebangan mangrove, penambangan pasir pantai dan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, berakar pada kemiskinan dan tingkat pengetahuan yang rendah dari para pelakunya Selain itu, pembangunan berkelanjutan dari perspektif sosial ekonomi adalah bagaimana mengelola agar permintaan agregat (/c>/uldemurid) terhadap
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan wilayah pesisir dan lautan untuk menyediakannya. Menurut Djajadiningrat T.S. (1992) secara mendasar upaya-upaya untuk menerapkan prinsip ekonomi dalam kerangka pembangunan berkelanjutan diperlukan beberapa syarat, yaitu : 1. Sumberdaya alam dan lingkungan dinilai atau diberi harga secara tepat 2. Prinsip pasar diterapkan pada pengelolaan penawaran dan permintaan 3. Pencemar membayar untuk pengendalian pencemaran
4. Kegagalan pemerintah pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
diperbaiki
5. Kegagalan institusi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan penyusunan kebijakan lingkungan dikoreksi 6. Regulasi hams dilandaskan efisien 7. Kebijakan lingkungan dan pembangunan diterapkan secara terpadu.
(3)
Dimensi Sosial Politik Dimensi sosial politik terkait erat dengan sistem politik atau tata
pemerintahan yang ada. Pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik atau tata pemerintahan yang baik (good governance). lndikasi tata pemerintahan yang baik,
adalah sifatnya yang
Tanpa tata pemerintahan yang baik demokratis, transparan, dan nccu~~~r~able. seperti ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya.
Ukuran keberhasilan pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan dari dimensi sosial politik adalah tenvujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha; seluruh anggota masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan); adanya kesetaraan gender; dan tejadinya partisipasi dan akuntabilitas publik. Dengan demikian dimensi sosial politik dari pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pentingnya pengembangan kebijakan dan program-program yang berorientasi langsung kepada kebutuhan dasar manusia; pemenuhan dan perlindungan kepada masyarakat miskin; kesetaraan gender; pengembangan hak dan kepemilikan masyarakat terhadap sumberdaya; dan terjadinya partisipasi dan akuntabilitas politik. Tanpa adanya kebijakan dan program tersebut maka pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan tidak akan terwujud.
(4)
Dimensi Hukum Lingkuugan Pelaksanaan
konsep
pembangunan
berkelanjutan
membutuhkan
instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Instrumen hukum disini bukan hanya keberadaannya saja, melainkan implementasi dan penegakan f). penegakan hukum lingkungan. Dengan hukum (law r ~ ~ ~ r c e n i e t t khususnya demikian, pencemaran
dan perusakan lingkungan haruslah diberikan sanksi
hukum yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Penegakan hukum lingkungan ditandai dengan perangkat
hukum dan
aparat penegak hukum yang tegas dan konsisten. Hal ini dibutuhkan sebagai
dasar hukum kebijaksanaan lingkungan dan penegakan hukum lingkungan. Asumsinya, jika penegakan hukum lingkungan berjalan dengan efektif d a n tertib atau secara keseluruhan disebut fungsional, maka pelaksanaan konsep pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan Keberadaan kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan sangat dibutuhkan untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir dan lautan. Selain itu, kelembagaan wewenang pengelolaan wilayah pesisir dan lautan tersebut hams bersifat terpadu (Itt/egrn~edCoaslal Mattagemuti) mengingat karateristik wilayah pesisir dan lautan membutuhkan pendekatan manajemen secara terpadu. Pergeseran model pembangunan dari model pembangunan konvensional yang bertumpu pada pertumbuhan kepada model pembangunan berkelanjutan dirasakan
sangat
mendesak
saat
ini
(Rachbini,
1996). Pembangunan
berkelanjutan merupakan koreksi terhadap pola-pola pembangunan konvensional (mobilisasi modal, pembangunan yang berimbang. memenuhi kebutuhan pokok, pemerataan. dan kualitas hidup). Semakin banyak orang merasa bahwa pola pembangunan konvensional telah melampaui batas kegunaannya dan beralih sekarang ke jurusan yang menguntungkan kesejahteraan manusia. Berikut ini adalah tabel
perbedaan
pola pembangunan berkelanjutan dengan
pembangunan konvensional yang diadopsi dari Salim (1994).
pola
Tabel 1. Perbedaan Pembangunan Berkelanjutan dengan Pembangunan Konvensional
-
memperhitungkan lingkungan
kualitas
Dari uraian yang telah dikemukakan menunjukkan, bahwa pembangunan dan pelestarian tidak perlu dipertentangkan lagi. tetapi mempakan bagian-bagian yang penting dalam sebuah proses kehidupan yang tak terpisahkan. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan suatu proses pembangunan yang selalu menjaga keseimbangan antara penyediaan d a n pemanfaatan sumberdaya dalam lingkungan hidnp, sehingga dalam proses pembangunan tersebut memenuhi beberapa prinsip. yaitu : 1). Menghormati dan memelihara komunitas kehidupan
2). Memperbaiki kualitas hidup manusia 3). Melestarikan daya hidup dan keragaman bumi 4) Menghindari pemborosan sumberdaya yang tak terbarukan
5) Berusaha tidak melampaui kapasitas daya dukung 6). Mengubah sikap dan gaya hidup orang per orang
7). Mendukung kreativitas masyarakat, untuk memelihara lingkungan sendiri (WWF, IUCN, UNEP, 1993)
Dalam
penerapan
pembangunan
berkelanjutan
diperlukan
suatu
mekanisme keseimbangan antara penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya dalam lingkungan hidup Untuk itu pemerintah bertanggung jawab sebagai mekanisme penyeimbang dengan cara langsung intewensi atau tidak langsung dengan mengembangkan mekanisme pasar melalui
instrumen ekonomi. Apabila
pemerintah tidak efisien, maka akan terjadi pemborosan dalam penggunaan sumberdaya alam dan faktor-faktor produksi lainnya Jika pemerintah terlalu berkuasa dengan banyak menjalankan fungsi ekonomi dalam perekonomian. maka peranan swasta akan semakin kecil. para individu dan juga badan-badan usaha swasta tidak dapat lagi melatih diri dalam berinisiatif secara tepat untuk mencapai
keputusan yang berguna atau
maksimalisasi
pencapaian kepuasan atau
keuntungan Sebaliknya, apabila pemerintah terlalu sedikit tanggung jawabnya dalam perekonomian, swasta akan mengganggu kehidupan masyarakat, yaitu terjadi kegiatan monopoli, distribusi pendapatan yang tidak merata, serta usaha yang tidak berguna untuk kepentingan umum Dari keempat dimensi pembangunan berkelanjutan yang telah diuraikan, dapat
disusun
suatu
ukuran
pembangunan
yang
berhasil
berdasarkan
pembangunan berkelanjutan. yaitu (1) kelestarirn lingkungan (ekosistem), (2) tingkat produktivitas ekonomi suatu Negara yang dinyatakan dalam efisiensi ekonomi, (3) keadilan sosial yang tenvujud dalam pemerataan kesejahteraan, (4) secara politik terjadi good governance dalam kultur birokrasi. dan (5)
penegakan hukum lingkungan yang efektif dan tertib
Kata berkelanjutan
dalam pembangunan berkelanjutan mencerminkan tidak terjadi kerusakan sosial yang disebabkan oleh kesenjangan sosial dan tidak terjadi k e ~ s a k a nlingkungan akibat daya dukung yang terlampaui, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan disebabkan efisiensi ekonomi pada setiap skala ekonomi, dan kehadiran hukum lingkungan yang terimplementasi pada penegakan hukum dan keterpaduan wewenang lembaga pengelolaan