Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan Irsyad Martias
[email protected] Staf Pengajar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya Abstract Southern Gunungkidul contains Karst Gunungsewu formation. All over the time, Gunungkidul has identified as rocky fallow area. Thus, the dry land farmers always have been judged as poor society by public. On the one hand, from anthropological studies “agricultural involution” is social fact to describe livelihood of Gunungkidul famers. In fact, since green revolution on 1980’s, both land-use and economical aspects of Gunungkidul farmer's society has changed. On the other word, inequality of land tenure accessibility shows a complexity of social-economy strata among Gunungkidul farmers. Consequently, those aspects strongly affect of social-economy differentiation. The concept of social-economic differentiation refers to the agrarian society stratification based on the ownership of the land and capital that caused the gap in the distribution of production, consumption, and income. For many decades, anthropological researches about agrarian society often ignore spatial aspects: geomorphologic features, landform varieties, and landuse history. Based on observation participation combined with Geographical Information System (GIS), the author tries to describe the influence of geospatial and political-economy element that affect the social-economic differentiation. The research area is situated in Klepu hamlet, Karangasem village, Ponjong sub district, Gunungkidul Regency. Based on reconstruction of landuse from 1960’s-2012, I found that accessibility to productive lands is enormously influenced social-economic differentiation process of Klepu society. Keywords: social-economic differentiation, land-use changes. Abstrak Di sisi selatan Gunungkidul terbentang formasi Karst Gunungsewu. Dari waktu ke waktu, Gunungkidul selalu diidentifikasikan sebagai wilayah berbatu yang tandus. Oleh sebab itu, masyarakat awam selalu menganggap petani Gunungkidul sebagai golongan masyarakat miskin. Begitupula dari sudut pandang antropolog, selama ini konsep “involusi agraria“ merupakan fakta sosial untuk menjelaskan kehidupan petani Gunungkidul. Padahal sejak revolusi agraria 1980an terjadi perubahan dalam aspek tataguna lahan dan ekonomi pada masyarakat tani Gunungkidul. Dalam hal ini, ketidakmerataan terhadap akses penguasaan lahan menunjukkan kompleksitas strata sosial-ekonomi petani Gunungkidul. Konsekuensinya, aspek-aspek tersebut sangat mempengaruhi diferensiasi sosial-ekonomi. Konsep diferensiasi sosial-ekonomi merujuk kepada stratifikasi masyarakat agraria berdasarkan kepemilikan lahan dan kapital, yang menyebabkan ketimpangan dalam distribusi produksi, konsumsi, dan pendapatan. Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai macam riset antropologi agraria kerap abai terhadap aspek keruangan: fitur-fitur geomorfologi, variasi bentuklahan, dan sejarah tataguna lahan. Berdasarkan observasi partisipasi dan kajian Sistem Informasi Geografis (SIG), penulis berusaha mendeskripsikan aspek-aspek keruangan dan politik ekonomi yang turut mempengaruhi diferensiasi sosial-ekonomi. Lokasi riset ini terletak di Dusun Klepu, Desa Karangasem, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul. Berangkat dari hasil rekonstruksi tataguna lahan yang terjadi pada 1960an2012, penulis menemukan bahwa aksesibilitas terhadap lahan produktif memainkan peranan terhadap pembentukan diferensiasi sosial-ekonomi masyarakat Klepu. Kata-kata kunci: diferensiasi sosial-ekonomi, perubahan tataguna lahan
BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 292
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
J
agad Selatan Kabupaten Gunungkidul
karena dari segi ekologis wilayah karst
terbentang formasi Karst Gunung-
Gununkidul diliputi oleh kondisi lahan
sewu. Kekhasan bentanglahan Karst
gersang akibat curah hujan rendah, se-
Gunungsewu mempengaruhi bentuk sub-
dangkan dari sisi sosial masyarakatnya
sistensi masyarakat yang bermukim di
dililit keterbatasan kapital.
wilayah ini. Sebagian besar masyarakat
Untuk menyikapi sederet permasa-
Karst Gunungsewu melakoni sistem per-
lahan sosial-ekologis, para petani karst
tanian tadah hujan. Dari waktu ke waktu,
Gunungkidul mempertahankan norma-
kawasan Karst Gunungsewu identik seba-
norma kultural: mewarisi sistem pengeta-
gai lahan gersang, kering, dan berbatu
huan lokal pranotomongso dalam meng-
serta masyarakatnya hidup dalam kung-
olah lahan dan mengutamakan pembudi-
kungan kemiskinan. Pameo Cedak watu
dayaan tanaman palawija untuk kebutuh-
adoh ratu dapat mengilustrasikan bahwa
an subsisten daripada keperluan pasar
masyarakat Karst Gunungsewu adalah
(Larastiti, 2011; Yuwono et. al., 2004).
golongan marjinal baik dari sisi lingkung-
Dengan kata lain, para penulis di atas
an maupun ekonomi.
mengafirmasi konsep “involusi pertanian
Cara pandang serupa diproyeksi-
Geertz” dan “utamakan selamat” Scott se-
kan oleh ilmuwan sosial dalam meninjau
cara bersamaan. Kedua konsep tersebut
situasi agraria masyarakat Gunungkidul.
menjadi paling dominan dalam pengkajian
Santiasih dan Pratiwi (1994: 98), men-
pedesaan Jawa pada tahun 1960/70-an
jelaskan kemiskinan petani Gunungkidul
(Husken, 1998: 30).
disebabkan rendahnya produksi tegalan
Involusi pertanian Geertz menje-
akibat lahan karst yang tidak subur. Kon-
laskan bahwa keadaan sosial-ekonomi pe-
disi yang tidak menguntungkan itu diper-
desaan “berjalan ditempat” karena selalu
parah oleh ketidakmampuan sistem bagi
mempertahankan homogenitas melalui
hasil maro maupun mertelu dalam men-
hubungan sosial atas penggunaan tanah,
distribusikan kebutuhan konsumsi rumah
teknologi, dan tenaga kerja, serta pendis-
tangga dan kerabat (Santiasih dan Pratiwi,
tribusian hasil bumi secara merata yang
1994: 98). Bertaut dengan penjelasan ter-
diatur oleh kompleksitas norma-norma
sebut, Zakaria (2005) dan Daramaning-
adat. Menurut Geertz hubungan yang tam-
tiyas (2002), sepakat bahwa kemiskinan
pak harmonis tersebut justru sebuah wu-
petani adalah suatu hal yang lumrah
jud tekanan, sebab semakin sedikitnya BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 293
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
produksi yang diterima tiap anggota aki-
duksi melalui mekanisme akumulasi mo-
bat pertambahan penduduk, mekanisme
dal,
ini dikenal dengan shared poverty (kemis-
penguasaan tanah (Husken, 1998: 180).
kinan bersama) (Geertz, 1983: 102). Pandangan
involusi
pengontrolan
tenaga
kerja,
dan
Sangat disayangkan, para peneliti
pertanian
sosial enggan menggunakan konsep dife-
Geertz meredup seiring semakin intensif-
rensiasi dan kerap mengabaikan karak-
nya penelitian mengenai dampak revolusi
teristik keruangan karst (geomorfologi
hijau terhadap kondisi sosial-ekonomi
dan sejarah tataguna lahan) dalam menin-
pedesaan berbasis sawah di Jawa pasca
jau dinamika sosial-ekonomi masyarakat
1970-an (Lihat Wahono, 1994; Collier et.
karst Gunungkidul. Berbicara tentang
al., 1979; Siahaan, 1983; Hayami dan
karst maka kita dihadapkan situasi eko-
Kikuchi, 1987). Berdasarkan penelitian-
logi yang khas. Keunikan yang paling
penelitian tersebut, dapat disimpulkan
mendasar dari aspek geomorfik adalah su-
bahwa agenda pembangunan negara turut
sunan batuan karst menyebabkan tata air
mendongkrak struktur pengelolaan eko-
dikuasai jaringan sungai bawah tanah
nomi masyarakat agraria dari tatanan
(Ford and Williams, 2007: 5). Tentunya,
tradisional menuju modern atau dari sub-
rekayasa teknologi seperti irigasi dan pe-
sisten menuju komersil sehingga memicu
ngayaan diversifikasi tanaman komersil
terjadinya diferensiasi sosial (Husken,
seperti di lingkungan vulkanis (yang kaya
1998:44). Bahkan menurut Husken dan
sungai) mustahil untuk diterapkan di ling-
White (1989: 18), fenomena tersebut te-
kungan karst. Oleh sebab itulah, sistem
lah terjadi sejak zaman Kolonial Belanda.
pertanian lahan kering selalu diasosiasi-
Mengutip judul bab pembuka buku karya
kan sebagai daerah yang tidak berkem-
Husken “Masyarakat Desa dalam Perubah-
bang dan masyarakatnya hidup dalam ju-
an Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di
rang kemiskinan.
Jawa 1830-1980” yakni Kebo Gedhe Me-
dari segi dinamika tataguna lahan dan pe-
nang Berike (Kerbau Besar Selalu Menang
ningkatan produksi pertanian, wilayah
Bertarung), bahwa di balik kehidupan si
Gunungkidul mengisyaratkan fenomena
miskin yang kiat terjepit, kehidupan
ekonomi dan ekologis yang amat dinamis.
Padahal, jika ditinjau
orang-orang kaya semakin mapan dan
Sepengetahuan saya, studi yang
unggul kerena mereka mampu untuk
mendekati konsep diferensiasi dan seja-
meraup keuntungan besar dari hasil pro-
rah tataguna lahan dalam konteks dampak BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 294
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
revolusi agraria di wilayah karst Gunung-
susunan batuan yang berbeda, sehingga
kidul pernah dilakukan Effendhie (1993/
menciptakan kekhasan tata kelola tanah
1994). Namun, kajian tersebut terlalu
dan air pada setiap wilayahnya (Pe-
makro dan penafsiran beliau mengenai
merintah Kabupaten Gunungkidul, 2007:
dinamika sosial-ekologis hampir seluruh-
4) (lihat gambar 1).
nya bersumber dari penafsiran data Biro Pusat Statistik. Dalam hal ini, studi historis tulen tersebut kurang menyentuh kaidah fakta sosial dari perspektif antropologi. Dengan demikian, studi antropologi ini mengungkapkan dinamika sosioekologis kawasan karst Gunungkidul yang
Gambar 1. Zonasi Gunungkidul (Martias 2012)
dimulai pada fase pra/pasca Revolusi pertanyaan
Oleh sebab itu, untuk melihat hu-
penelitian ini adalah: (1) Faktor sosio-
bungan diferensiasi sosial-ekonomi tidak
politik apa yang menyebabkan perubahan
cukup dengan meninjau aspek sosial se-
tataguna-lahan
(2)
mata-mata. Dalam hal ini, saya meng-
Bagaimana dampak perubahan tataguna
gunakan kerangka geo-spasial yang secara
lahan dan ekologis terhadap penciptaan
khusus menjelaskan pengaruh interelasi
diferensiasi sosial-ekonomi masyarakat
manusia dengan aspek-aspek fisik ling-
karst Gunung-kidul?
kungan sehingga menciptakan pola kul-
Hijau.
Secara
spesifik
dan
ekologis?
tural-ekonomi di dalam suatu bentangBentanglahan dalam Perspektif Pertanian
lahan (Bebbington and Carney, 1990: 42).
Dari aspek morfologi Kabupaten Gunung-
Menurut Haggeet ada dua paradigma da-
kidul dibagi atas tiga bentuk fisiografi,
lam menjelaskan interelasi manusia deng-
yaitu Zona Baturagung, Zona Cekungan
an lingkungan. Pertama, lingkungan me-
Wonosari, dan Zona Gununugsewu. Zona
rupakan arena yang memberikan penga-
Baturagung meliputi bagian utara dan
ruh kuat terhadap cara manusia dalam
barat. Zona Cekungan Wonosari terdapat
mengatur kehidupannya sendiri. Kedua,
di bagian tengah. Sementara itu, Zona
bagaimana organisasi ruang di dalam su-
Gunungsewu berkembang di sisi selatan.
atu relung sumberdaya digunakan untuk
Masing-masing zona tersebut mempunyai
membangun sebuah perspektif tentang BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 295
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
tataguna lahan di masa lampu, sekarang
atau mendongkrak carrying capacity ko-
maupun masa depan (Goudie, 1986: 455).
moditas daripada keluarga petani yang
Dengan kata lain, ruang adalah produk
memiliki akses tanah oro-oro yang ter-
dari relasi sosial dan objek alami serta
batas.
budaya (Tilley, 1994: 17). Kembali ke Zonasi Gunungkidul. Secara morfologi Zona Baturagung merupakan perbukitan terjal yang terdiri dari iring-iring
batuan vulkanik (intrusi dan ekstrusi), sedimen vulkanik klastik, dan karbonat, oro-oro
dengan kemiringan batuan relatif ke selatan. Sementara itu, Zona Cekungan Wo-
Foto 1. Topografi Karst Gunungkidul Dok. Martias (2012)
nosari diperkaya oleh batuan napal dan satuan batuan gamping berlapis tanah
Metode
renzina, mediteran, dan tanah gromosol.
Riset ini pengembangan dari tesis Ketika
Mintakat ini sangat subur, hal ini dise-
Air Tidak Mengalir ke Tempat si Miskin
babkan terdapatnya endapan alluvium
(2013) yang berlokasi di sebuah Padukuh-
dan
an Klepu, Desa Karangasem, Kecamatan
jaringan Sungai Oyo. Karakteristik mengindikasikan
Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propin-
bahwa pembentukan tanah wilayah ini
si Yogyakarta. Riset memakan waktu dari
lebih tinggi dan tingkat erosi sangat kecil
Juni 2011-Juni 2012. Bertolak dari hasil
(Yuwono et. al., 2004:17).
riset tersebut, saya menyimpulkan bahwa
lingkungan
tersebut
Dilihat dari segi topografi, maka
ketimpangan sosial-ekonomi antar pendu-
ada tiga kelas bidang tanah yang digarap
duk sangat kentara. Melalui wawancara,
petani yakni, petani penggarap tanah oro-
saya mengumpulkan data kuantitatif: seja-
oro, petani penggarap tanah iring-iring,
rah ekologis dan ekonomi masyarakat
dan petani penggarap tanah oro-oro dan
setempat serta persepsi mereka terhadap
iring-iring. Masing-masing kelas tersebut
perubahan tataguna lahan. Oleh karena
mempunyai produktifitas yang berbeda.
studi ini bersifat historis, maka informan
Ringkas kata, keluarga petani yang punya
kunci mayoritas orang tua berumur 50 ke
akses besar ke tanah oro-oro mempunyai
atas. Dari dimensi historis riset ini dimulai
peluang besar untuk mengintensifikasi
dari tahun 1960-an an hingga 2012. BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 296
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
Pendataan struktur penguasaan la-
luaran Badan Pertahan Nasional (1960).
han merupakan hal yang penting dalam
Berdasarkan hasil pemetaan partisipatif
riset antropologi-agraria. Oleh sebab itu,
masyarakat dan analisa desktop terdapat
saya menyurvai jumlah total 83 Kepala
tiga lembar peta tataguna lahan.
Keluarga (KK) Padukuhan Klepu. Informasi yang dikumpulkan dari tahapan tersebut meliputi: luas tegalan, tipe lahan,
Padukuhan Klepu: Sebuah Permukiman Petani Karst Gunungkidul
dan kepemilikan, serta cara perolehan.
Padukuhan Klepu merupakan bagian dari
Tujuan dari survai ini adalah penyusunan
Desa Karangasem. Desa ini merupakan
basis data tentang keterkaitan luas lahan
salah satu permukiman paling timur Pro-
dengan produktifitas tegalan. Tahapan se-
pinsi Yogyakarta yang bersinggungan de-
lanjutnya, berpedoman kepada rumus
ngan Provinsi Jawa Tengah. Di utara ber-
pendapatan perkapita ekuivalen beras
batasan dengan Desa Kenteng, di sebelah
Sayogyo (BPS: 1984), saya menyusun ke-
selatan berbatasan dengan Desa Bedoyo,
las sosial-ekonomi berdasarkan nilai ko-
sedangkan sebelah barat dan timur ber-
moditas yang diusahakan pemilik lahan.
singgungan dengan Desa Ponjong dan Ka-
Sementara itu, untuk mengetahui penge-
bupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah.
luaran tiap kelas, maka saya memilih
Berdasarkan Peta RBI 2001, tataguna la-
masing-masing satu informan yang me-
han Desa Karangasem terdiri dari tegal-
wakili rumah tangga kaya, sedang, miskin.
an (5154 ha), semak belukar (598 ha), dan
Dalam riset ini, saya menggunakan
permukiman (53 ha).
SIG Arc Info untuk merekonstruksi tata-
Merujuk Profil Desa Karangasem
guna lahan. Luaran dari pemrosesan ter-
(2007), jumlah penduduk Desa Karang-
sebut bertujuan untuk menganalisa fak-
asem 2716 jiwa, 1222 terserap ke dalam
tor-faktor keruangan yang mempengaruhi
sektor pertanian. Sementara itu, warga
produktifitas tegalan baik dari segi kuan-
Padukuhan Klepu terdiri dari 378 jiwa
titas (luas) maupun segi kualitas. Adapun
dengan jumlah KK 83. Telah disebutkan di
materi peta yang saya gunakan adalah
atas, bahwa pertanian yang diusahakan
Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Digital
masyarakat Pedukuhan Klepu adalah pola
Lembar
1408-311,1408-
tumpang sari. Pola tumpang sari suatu
312, 1407-633, 1407-634 (2001), Citra Sa-
usaha penanaman palawija dan padi se-
telit Google (2012), dan Peta persil ke-
cara berselang-seling berdasarkan keter-
Bakosurtanal
BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 297
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
sediaan kebutuhan air dan umur setiap
itu disebabkan produksi pertanian selalu
jenis tanaman (Guritno, 2011: 1). Ter-
kurang untuk mencukupi kebutuhan sub-
dapat empat jenis tanaman yang diusa-
sistensi. “Sering keluarga saya kekurangan
hakan para petani: padi, jagung, kacang
bahan makanan, hasil gaplek dan beras
tanah dan, serta ketela. Dari sejumlah
sungguh tidak cukup untuk satu musim,
komoditas tersebut hanya bibit jagung
terkadang kami sering makan daun mlan-
yang dibeli, sedangkan bibit tanaman yang
ding, mau beli beras tidak mampu karena
lain diperoleh dari hasil panen pada mu-
sering tidak punya duit”, ujar Pak Mojo.
sim panen. Padi dimanfaatkan sepenuh-
Pada dakade 1950/1960, situasi
nya untuk kebutuhan konsumsi, sebalik-
argraria pedesaan Gunungkidul dalam
nya tanaman palawija diperjual-belikan di
kondisi yang memrihatinkan. Berdasarkan
Pasar Bedoyo dan Ponjong.
sensus pertanian 1963 sebanyak 47.700
Tataguna Lahan Desa Karangasem Padukuhan Klepu 1950/1960: Zaman Susah Petani Klepu Desa Karangasem
petani hanya 22, 5% petani yang mengusahakan tanah pertanian dengan luas yang layak (0,5-0,9 ha), sedangkan 77,5% pe-
Pada tahun 1950/1960-an, menurut Pak
tani hidup di ambang batas garis subsis-
Loso lansekap Desa Karangasem sangat
tensi karena menguasai sedikit lahan
hijau dan asri. Pepohonan yang diselingi
(<0,5 ha) (Pratikno, 2003: 33). Sebenar-
semak belukar di perbukitan masih sangat
nya, pada tahun 1956, pemerintah sempat
rindang, terdapat jenis pohon yang saat ini
mengusahakan perbaikan pangan rakyat
jumlahnya semakin sedikit: randu, ploso,
melalui program kesejahteraan Kasimo
dan krojo. Berdasarkan perhitungan Peta
(Mears dan Molejono, 1990: 30). Program
Persil Karangasem tahun 1960, hanya
pertanian tersebut diimplementasikan di
terdapat 0,38 ha lahan kritis (lihat kode
Gunungkidul pada tahun 1960 dengan di-
A.B di peta 1). Dari untaian perbukitan itu,
bentuknya kelompok kerja pengajaran
warga memetik ranting dan rerumputan
dan demonstrasi penanaman bibit unggul
untuk bahan bakar dan pakan ternak. De-
padi di tiap Kecamatan (Pratikno, 2000:
mikianlah penggambaran situasi vegetasi
44). Sayangnya, di kawasan Gunungkidul-
di Karangasem menurut Pak Loso.
Karst Gunungsewu program tidak berjalan
Menurut Pak Mojo, pada dekade
mulus karena karakteristik perbukitan
1950/1960 kehidupan beliau sebagai
karst tidak memadai dalam pembudidaya-
petani lahan kering serba susah. Ikhwal BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 298
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
an tanaman yang membutuhkan sokongan
perlu diingat, pada masa itu petani Klepu
irigasi.
belum tersentuh modernisasi pertanian. Berpijak Peta Persil UUPA 1960 da-
Dalam hal ini, mereka masih melakoni
pat diketahui luas Desa Karangasem 900
cara bercocok tumpang sistem tabur dan
ha, sedangkan pengusahaan tegalan 460,
urung menggunakan pupuk kimia.
39 ha (51,15 %). Pada saat itu tanah iring-
Menurut Pak Warto, hasil panen
iring belum diolah menjadi tegalan, 50 %
padi dan palawija hanya separuh jika di-
dari luasan medan ini berstatus Pangonan
bandingkan dengan sekarang1. Ia meng-
atau Sultan’s Ground (SG). Terkait dengan
ingat hasil panen padi dan ketela pada te-
status kepemilikan tegalan, 24.79 ha (5,4
galan 0,25 ha cuma mencapai 400 berok2
%) merupakan kas desa, sedangkan 27.64
dan ketela sekitar lima bagor. Jika dikon-
ha (6 %) diserahkan kepada para Kepala
versikan kesatuan bobot universal, maka
Dukuh. Jadi, tanah yang diolah warga ber-
pada masa itu, berat bersih padi tidak le-
kisar 407.96 ha (88, 6 %) (lihat peta 1).
bih dari 200 kg, sedangkan ketela di ba-
Sangat disayangkan, saya tidak
wah 500 kg. Oleh sebab itu, apabila ber-
memperoleh jumlah penduduk tahun 1950-1960 sehingga rata-rata penguasaan tegalan perkeluarga tidak dapat ditemukan secara absolut. Namun, menurut keterangan mBah Tus, pada tahun 19501960 setiap pemilik rumah mempunyai tegalan. Melalui penelusuran Letter C tahun 1959-1963, tercatat 310 kepala yang membayar pajak tanah. Angka tersebut saya anggap sebagai perkiraan jumlah KK. Dengan demikian, dapat diperkirakan rerata luas tegalan yang dikuasai tiap KK adalah 0,71 ha. Jika menggunakan parameter Penny dan Ginting (1984: 33), luasPeta 1. Rekonstruksi Tata Guna Lahan Desa Karangasem 1950/1960 (Martias: 2012)
an tanah tersebut termasuk dalam kategori cukup dengan asumsi hasil 900 kg beras untuk kebutuhan 5-6 orang. Namun
Menurut Pak Warto, untuk saat ini tegalan seluas 0,25 ha dapat menghasilkan 5 kw padi, 1,5 kw jagung, 2 kw kacang tanah, dan 5 kw ubi kayu. 2 Bero adalah wadah ukur yang terbuat dari batok kelapa, 1 berok ± 0,5 kg. 1
BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 299
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
tanya bagaimana kondisi ekonomi Padu-
kukan melalui ngrasak3 tegalan tuan ta-
kuhan Klepu pada akhir dekade Orde La-
nah. Di Padukuhan Klepu, pada tahun
ma, cerita mengenai susah pangan dan
1950-1960 dapat dilacak ada tiga keluarga
sandang selalu mewarnai setiap obrolan
petani pemilik lahan yang sangat luas, me-
saya dengan narasumber.
reka adalah mBah Pur, mBah Cito, dan
Untuk menyambung hidup akibat
mBah Har yang menjabat Kepala Dukuh.
keterbatasan lahan produktif dan hasil
Masing-masing dari mereka mempunyai
panen yang sedikit, para petani harus
luas tegalan 10 ha, 5 ha, 5 ha .
rewang-rewang (membantu) tuan tanah.
Tentunya, hubungan antara majik-
Perempuan pada umumnya membantu
an dan petani miskin tidak berhenti dalam
panen padi, sedangkan laki-laki terlibat
hubungan kerja, banyak tanggung jawab
dalam panen ketela dan merontokkan
moral yang harus dituntaskan para petani
gabah. Dari hasil jerih payahnya, mereka
kecil beserta anggota keluarganya untuk
diberi 1:9 dari hasil produk tanaman yang
menunjukan balas budi terhadap para tu-
mereka kerjakan (upah bawon). Walau-
annya. Seperti yang dituturkan Pak Kir, ia
pun upah bawon tersebut sangat kecil, na-
dan istrinya selalu siaga dalam membantu
mun menurut Pak Pris jumlah tersebut sa-
pekerjaan rumah para tuannya: memikul
ngat membantu kebutuhan konsumsi ang-
air, mengumpulkan kayu dan rumput, ser-
gota keluarganya.
ta rewang-rewang selametan. Sekilas, hu-
Di samping itu, bagi mereka yang
bungan batur dengan raden memperaga-
memiliki jumlah anggota keluarga cukup,
kan hubungan patronase. Para tuan tanah
terkadang diberikan kesempatan mengga-
(patron) melindungi dengan memberikan
rap tegalan tuan tanah dengan sistem bagi
jaminan ekonomi subsistensi kepada para
hasil maro atau morotelu dengan jangka
petani miskin (klien). Sebaliknya, para pe-
waktu yang ditentukan oleh para tuan ta-
tani miskin menunjukkan loyalitasnya de-
nah. Namun menurut Mbah Kus, tidak
ngan menyumbangkan tenaganya mana-
mudah untuk menggarap tegalan para
kala para tuan tanah membutuhkannya,
tuan tanah karena apabila terjadi puso,
baik dalam kegiatan produksi maupun da-
maka hasil panen yang jelek menjadi
lam penyelenggaraan gotong royong dan
bagian para petani penggarap. Selain itu,
ritus (Scott, 1981: 41).
peluang memperoleh bahan pangan dila-
3
Ngrasak adalah kegiatan mengutip sisa hasil panen di tegalan yang tidak terangkut. BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 300
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
Namun menurut Husken (1998:
236). Dalam jangka waktu satu tahun pe-
202), hubungan yang dipaparkan di atas
merintah berhasil merangkul satu juta pe-
merupakan mekanisme penarikan surplus
tani meliputi luas lahan 300.000 ha yang
terhadap petani melalui penguasaan tanah
tersebar di wilayah Pulau Jawa (Mears
secara perorangan, sewa dalam bentuk
dan Moelyono, 1990: 40).
tenaga, dan bagi hasil. Hal demikian dapat
Peningkatan rata-rata produksi pa-
kita cermati besarnya resiko yang diem-
di sebesar 5% merupakan indikator
ban para petani penggarap dalam mengu-
program BIMAS sangat efektif (Gsanger
sahakan tegalan para tuannya. Tidak lebih
dan Bottcher, 1988: 236). Namun, pro-
baik daripada itu, penerimaan bobot upah
gram ini dinilai timpang karena tidak me-
bawon sebesar 1 % yang dikerjakan para
nyertai pengembangan sektor bahan pa-
buruh tani jelas tidak sebanding dengan
ngan di luar padi: kacang, ketela, dan
jam kerja dan jumlah produk yang mereka
jagung, produksi kelompok palawija tidak
tuntaskan. Husken (1998: 205) menam-
mengalami peningkatan signifikan (Mears
bahkan, kerja suka rela para batur yang
dan Moelyono, 1990: 42). Dengan kata
telah dijelaskan di atas juga justru me-
lain, program BIMAS hanya berkontribusi
rugikan petani kecil karena aktivitas ini
di pedesaan Jawa yang telah dilengkapi
menutup kesempatan mencari pemasukan
dengan infrastruktur irigasi. Dalam kon-
sampingan di tempat lain.
teks wilayah Gunungkidul, program ini hanya berjalan mulus di Zona Baturagung
Revolusi Hijau di Gunungkidul
dan Ledok Wonosari (Effendie, 1993/
Awal rezim Orde Baru (1968/1969), me-
1994: 22). Sementara itu, di kawasan
lalui Rencana Pembangunan Lima Tahun
Karst Gunungsewu, percobaan penanam-
(REPELITA I) pemerintah mengintroduksi
an bibit unggul padi gagal total akibat ke-
program Bimbingan Massal (BIMAS) Go-
munculan hama wereng. “Semua tegalan
tong Royong dan Intensifikasi Massal
yang ditanami padi dibakar untuk memus-
(INMAS). Secara umum, program ini ber-
nahkan hama wereng, untungnya para pe-
tugas untuk menyukseskan penyuluhan
tani tidak diwajibkan mengganti kitiran
besar-besaran tentang penggunaan bibit
(kredit) pupuk dan bibit”. Imbuh Pak Kus.
unggul, pupuk, dan kredit sebagai pening-
Meskipun gagal, para petani Klepu ter-
katan panen beras (Booth dan McCawly,
hindar dari bencana kelaparan karena
1990: 12; Gsanger dan Bottcher, 1988: BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 301
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
hampir seluruh keluarga masih menyisa-
serangkaian
program
tersebut
hanya
kan sebagian tanaman ketela di tegalan.
penggunaan pestisida yang tidak berkesi-
Pemerintah menyadari bahwa pro-
nambungan, menurut Pak Pris penyem-
gram swasembada beras tidak memung-
protan tidak memberikan bukti nyata da-
kinkan diterapkan pada kawasan ekologis
lam pemberantasan hama. “Mau disprey
yang spesifik, seperti halnya tataguna
atau tidak, toh hasilnya sama saja, jamur
lahan sawah tadah hujan. Lantas, mema-
dan binatang tetap ada”, pungkas Pak Pris.
suki tahun 1978 dicanangkanlah program
Dapat dipastikan bahwa program
Swasembada Pangan. Pemutakhiran pro-
modernisasi pertanian di Gunungkidul
gram BIMAS-INMAS tersebut menitikbe-
yang dimulai dari tahun 1968 berdampak
ratkan kepada pola tanaman bahan ma-
terhadap perubahan tataguna lahan. Ber-
kanan yang sesuai dengan karakter eko-
pijak dari data statistik Dinas Pertanian
logis (Mears dan Moelyono, 1990). Masya-
Gunungkidul 1983, tegalan mengalami pe-
rakat
Gunungsewu
nurunan dari 6.285 ha (1968) menjadi 4.
maupun warga Klepu mengenal himbauan
749, 80 ha (1983) (Effendhie, 1993/1994:
pemerintah di atas dengan nama Operasi
16). Penyusutan luasan tegalan tesebut
Khusus (OPSUS). Menurut Pak Komari,
terkait dengan kesuksesan perluasan ja-
selain kredit yang disalurkan melalui kan-
ringan irigasi di wilayah Wonosari dan
tor desa, masyarakat diperkenalkan cara
Batureno yang secara signifikan memicu
penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan
alih fungsi lahan tegalan menjadi sawah
pola tanam lurus (nandur jajar) oleh Pe-
irigasi.
Gunungkidul-Karst
tani Pendamping Lapangan. Di Karang-
Menurunnya luasan tegalan dan sa-
asem luas area BIMAS-INMAS mencapai
wah tadah hujan tidak diikuti oleh anjlok-
250 ha (BPS, 1986:35).
nya produktifitas komoditas, bahkan hasil
Awalnya, mayoritas warga Klepu
panen padi gogo dan ubi kayu secara fan-
tidak menyambut program di OPSUS de-
tastis melonjak hampir dua kali lipat. Urai-
ngan tangan terbuka. Pengalaman puso
an berikut adalah perbandingan produksi
pada tahun 60an akhir merupakan alasan
komoditas tahun 1974 dengan 1984 da-
penolakan. Lambat-laun warga mulai me-
lam satuan ton: a). padi sawah 263.639
nyadari manfaat program tersebut setelah
(1974), 23.354 (1984), b). padi gogo
menyaksikan mutu panen padi dan pala-
55.807 (1974), 101.870 (1984), c). jagung
wija di lahan percontohan Kas Desa. Dari
42.448 (1974), 69.892 (1984), d). ubi BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 302
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
kayu 284.257 (1974), 428.562 (1984), e).
rangnya tanah yang mereka garap, ber-
kacang tanah 16.324 (1974), 16.412
lakunya upah murah, dan hilangnya ke-
(1984) (Effendhie, 1993/1994: 18).
sempatan kerja akibat beredar cara pro-
Akibat peningkatan produktifitas
duksi baru serta mekanisasi pertanian
hasil tegalan, para petani berpeluang un-
(Husken, 1998: 40). Persoalan penting
tuk menjual hasil tanaman palawija ke
yang melatarbelakangi ketidakmerataan
pasar, hanya 1/3 dari setiap jenis yang
struktur kepemillikan lahan juga disebab-
dikonsumsi. Momentum kenaikan produk-
kan besaran luas tanah waris. Dalam hal
si juga diikuti pembangunan infrastruktur
ini para petani pemilik lahan luas sangat
jalan dan rute baru angkutan pedesaaan
memungkinkan mewarisi tanah dengan
yang menghubungkan Desa Karangasem
ukuran yang lebih besar daripada petani
dengan pusat ekonomi di Ibu Kota Keca-
pemilik lahan sempit. Berdasarkan SPPT
matan Ponjong. Implikasinya, interaksi
tahun 1992 yang tercantum pada tabel 1
antara pedagang dan petani semakin in-
dapat diketahui struktur kepemilikan
tensif. Efek hebat lainnnya adalah terjadi
tanah di Dusun Klepu.
perubahan mode konsumi, pada awal
Tabel 1. Struktur kepemelikan lahan 1992
1990-an nasi naik kelas menjadi menjadi
Luas <0, 25 0,25- 0,50 0,25- 0,50 >1 Total KK
makanan pokok utama, sedangkan tiwul dianggap
sebagai
makanan
kalangan
orang susah, hal ini seiring dengan kampanye program empat sehat lima sempurna melalui sekolah-sekolah dan acara PKK
Sumber: SPPT 1992
yang memromosikan nasi sebagai simbol makanan keluarga sejahtera. Dilema Sosial-Ekonomi dan Ekologi: Munculnya Petani Tegalan Iring-Iring
Menurut Hayami dan Kikuchi (1987: 77), dampak revolusi hijau yang tidak dapat dihindari ialah terjadinya akumulasi sarana produksi oleh petani kaya terhadap petani miskin. Di sisi lain, kehidupan petani miskin kian terjepit karena: berku-
KK 26 25 15 10 76
Sebelum
mengaitkan
struktur
kepemilikan tanah dengan kemiskinan, perlu ditentukan tolok ukurnya. Sayogyo menggunakan kalkulasi nilai konsumsi beras
dalam
(beranggotakan menentukan
satu lima
batas
keluarga
orang)
garis
untuk
kemiskinan
masyarakat pedesaan (Harga beras x 240 kg x rata-rata anggota keluarga) (BPS, 1984: 14). Seunit keluarga digolongkan BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 303
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
miskin
apabila
pendapatan
tahun 1980-1992 terhitung 10 bidang ta-
perkapita/ tahun setara 240 kg beras
nah oro-oro yang dijual akibat desakan
(Supadi dan Nurmanaf, 2006: 11). Jika
ekonomi. Pak Handoyo mengisahkan per-
disepakati pada tahun 1980/90an rata-
nah menyewakan satu pasang tanahnya
rata anggota keluarga di Padukuhan Klepu
karena butuh uang untuk membeli kebu-
5 jiwa dan harga beras Rp 203. Dengan
tuhan pokok. Untuk menyambung hidup,
demikian, seunit keluarga dikategorikan
beliau harus menjadi buruh tani harian di
keluarga
pendapatan
tegalan petani kaya. Merasa bahwa kon-
perkapita/tahun < Rp 243.000. Mengacu
disi ekonomi semakin terjepit, ia memu-
INPRES 1979 dan Biro Pusat Statistik
tuskan menjual tegalannya Rp. 300.000,-
1984 tentang penetapan harga beras dan
kepada orang yang sama. Modal itu
palawija dapat diketahui sebagai berikut;
dipakai untuk transmigrasi ke Palembang.
a. kacang tanah Rp. 390/kg, b. beras Rp.
Fenomena akumulasi penguasaan lahan
203/kg, c. jagung Rp 95/kg, dan d. ubi
petani kaya terhadap
kayu Rp. 55/kg. Tabel 2 di bawah
sebenarnya telah terjadi pada beberapa
merupakan kisaran produksi padi dan
dekade sebelumnya, yakni Pada Zaman
tanaman palawija dalam hektar.
Begaber4
yang
1963/64.
Berdasarkan Letter C,
miskin
nilai
apabila
petani
melanda
miskin
Gunungkidul lebih
Tabel 2. Perkiraan produksi tegalan tahun 1990an Luas
Beras/kg
Kacang/kg
Ubikayu/kg
Jagung/kg
<0,25
500
267
667
200
Rp 261.167
0,25-0,5
1000
533
133
400
Rp. 522.333
0,5-0, 75
1500
800
2000
600
Rp.783.500
>0,75
2000
1067
2667
800
Rp. 1.044.67
Sumber: Data Primer
Berpedoman kepada parameter di atas, maka terdapat 26 KK di ambang batas kemiskinan. Untuk mencukupi kebutuhan subsistensi para petani miskin turut mengonsumsi lebih 1/3 hasil olahan tanaman palawija yang sebenarnya sangat potensial dijual. Melepaskan tegalan untuk dijual dan disewa kepada petani kayapun tidak dapat dihindari. Dalam rentang
Pendapatan/ tahun
dari lebih dari 50 bidang tegalan yang diperjual-belikan. Namun yang paling mencolok, terdapat satu orang yang membeli 12 bidang tanah dengan total luas 2, 71 Ha. Pak Bhusnan berkeluh mengenai perangai seorang spekulan tersebut yang tidak lain adalah tetangganya sendiri. 4Zaman
begaber adalah bencana kemarau panjang dan diperparah dengan wabah tikus yang terjadi pada 1963/1964. BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 304
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
”Sungguh jual-beli yang tidak adil, Saya
galan iring-iring merupakan pekerjaan
terpaksa menjual empat pasang tegalan
yang sangat berat, pepohonan harus
dan seluruh ternak sapi dan kambing un-
dipangkas dan serakan batuan harus
tuk memperoleh beberapa pikul gaplek ”.
ditata menjadi terasering.
Kembali ke persoalan program re-
Proses produksi tanah iring-iring
volusi hijau, kesuksesan perluasan padi IR
pun tidak kalah berat. Hal tersebut dise-
63 di lahan BIMAS-INMAS harus dibayar
babkan akses jalan dan kualitas lahan
dengan tertutupnya kesempatan kerja
yang buruk. Akses jalan yang terbatas
petani wanita. Penggunaan ani-ani per-
menyebabkan alat angkut seperti mobil
empuan digantikan dengan tenaga arit
mustahil untuk menurunkan pupuk kan-
laki-laki dari luar desa. Pada umumnya
dang di lokasi tegalan. Berjalan kaki me-
para petani kaya membayar tenaga kerja
mikul keranjang merupakan jalan satu-
yang berasal dari suatu daerah di Wono-
satunya untuk mendistribusikan pupuk
giri yaitu Kampung Bercak. Menurut Pak
kandang. Menurut Pak Supadi, diperlukan
Ris, orang-orang Bercak lebih cekatan dan
waktu satu bulan lebih untuk menuntas-
berpengalaman mengarit padi bertangkai
kan pemukuan dengan cara tersebut. Aki-
pendek karena mereka dibesarkan di ling-
batnya, banyak petani yang kehilangan
kungan sawah basah. Mobil slepan yang
waktu musim tanam. Di samping itu, cu-
dimiliki petani kayapun menutup parti-
ramnya medan dan rapatnya bebatuan
sipasi para petani laki-laki dalam kegiatan
sungguh merepotkan penggemburan ta-
panen. Ironisnya, para petani miskinpun
nah. “Kalau di gunung yang dipacul bukan
terkadang menjadi pelanggan petani-pe-
hanya tanah, tapi juga longsoran batu-
tani kaya. Jadi, rasionalisasi produksi ada-
batu itu, kalau batunya ndak diangkat ya
lah pertimbangan utama para petani kaya.
tidak bisa nandur mas”, ujar Pak Supadi.
Akibat minimnya akses lahan dan
Dihadapkan dengan kondisi di atas,
peluang kerja, para petani miskin terpaksa
para petani miskin menginisiasi sistem
untuk membuka lahan-lahan baru yang
kerja kruyukan. Rangkaian kegiatan sis-
cenderung tidak produktif. Lahan iring-
tem kerja tersebut meliputi penebangan
iring yang berkontur tidak moderat dan
pohon, penataan kembali terasering, pe-
hamparan lapisan tanah yang tipis serta
mupukan, dan penggemburan tanah. Kru-
dipenuhi bebatuan dialihfungsikan menja-
yukan dimulai pagi buta sekitar jam 04: 30
di tegalan. Menurut Pak Yar, membuka te-
dan berakhir 12:00, meski sulit untuk meBioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 305
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
mastikan berapa jumlah pasti petani iring-
Apabila
iring, namun menurut Pak Yar, upaya ini
1960-an, maka telah terjadi peningkatan
sangat efisien bagi puluhan petani sehing-
luas tegal iring-iring sebesar 83 ha di Desa
ga mereka tidak ketinggalan waktu tanam.
Karangasem (lihat peta 2). Tidak hanya di
Kelembagaan ini sangat marak pada per-
Karangasem Klepu, perambahan lahan
tengahan tahun 1990. Jika lapisan tegalan
iring-iring juga terjadi di Perbukitan
iring-iring menipis karena erosi, para
Selatan seperti yang dilaporkan Nibbering
petani harus membuka lahan di tempat
(1995: 169) “The terraces in the valley
yang baru. Dengan kata lain, pemanfaatan
bottoms developed in-to large permanent
tegalan tidak mengenal sistem rotasi.
constructions ressembling amphiteaters
Tidak dapat
dibandingkan
dengan
tahun
dipungkiri bahwa
toward the saddles... Farmers have a strong
sistem kerja kruyukan memicu perubahan
efforts incentive for bringing their terraces
tataguna
lahan
signifikan.
in order after a fallow period, they usually
Lansekap
perbukitan
semula
with start with hillrice, a crop with with
didominasi pepohonan berubah menjadi
higest value and greates demands on the
secara yang
soil. Tentu,
perambahan
lahan iring-iring tersebut harus dibayar
dengan
ekosistem
rusaknya
perbukitan
karst
karena semakin berkurangnya pepohonan
yang
berfungsi
menahan laju erosi. Di samping itu,
timbul
juga
masalah
kelangkaan air. Telaga yang menjadi topangan warga dalam rusak Peta 2. Sebaran tegalan iring-iring & oro-oro Desa Karangasem tahun pasca 1990
mencukupi akibat
kebutuhan
penggundulan
vegetasi. Dalam konteks luas,
tegalan. Berdasarkan interpretasi citra
hingga awal Pelita VII tercatat 12. 372 ha
dapat diperkirakan luas tegalan iring-iring
lahan kritis di Gunungkidul (Darma-
yang digarap warga Klepu adalah 3,5 ha.
ningtiyas, 2002: 106). Hefner (1999: 81), BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 306
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
memaparkan bahwa ekologi tegalan di wi-
Contohnya almarhum Pak Cahyo
layah perbukitan rentan akan degradasi
yang berpulang pada tahun 1992. Sebelum
lingkungan, berbeda dengan sawah yang
tutup usia, ia hanya memiliki satu bidang
mempunyai kesinambungan dan memiliki
tanah oro-oro sebesar 0, 3 ha. Sekarang,
kemampuan untuk dikelola secara intensif
tanah tersebut dipecah menjadi lima
tanpa adanya perubahan otogenus di da-
bidang
lam penataan fisiknya.
anaknya, setiap ahli waris memperoleh ±
Akses Lahan dan Produksi Pertanian Masa Kini
0. 060 ha tanah oro-oro. Keadaan yang
Dalam pembahasan ini saya mengungkap-
keempat
kan diferensiasi sosial-ekonomi terkini.
memiliki ± 1 ha tegalan yang berasal dari
Berdasarkan rekapitulasi struktur pengu-
warisan orang mereka yang dikenal
asaan lahan di Padukuhan Klepu dapat di-
sebagai wong sugih yaitu mBah Sur.
ketahui terjadi peningkatan jumlah petani
Karena Pak Taruno merupakan anak yang
pemilik lahan kecil (<0,5 ha), hal ini dise-
mengurusi
babkan para pewaris harus memecahkan
mendapatkan tanah terluas yaitu 1, 3 ha.
sesuai
dengan
jumlah
anak-
berbeda dialami oleh Pak Taruno dan adiknya,
rumah
masing-masing
kepribon,
ia
lahan menjadi beberapa bidang berdasar-
Nek cilik berbagi kemul, nek jembar
kan jumlah keturunannya yang berhak.
berbagi unggul,” begitulah ungkapan Pak
Pola perwarisan di Klepu menganut sis-
Cahyo dalam menjelaskan ketimpangan
tem bilateral, baik perempuan dan lelaki
distribusi tanah antara si kaya dengan si
mendapat hak yang sama asalkan domisli
miksin. Sampai saat ini, perolehan tanah
mereka di Desa Karangasem, namun ter-
melalui proses pewarisan merupakan
dapat kecenderungan, jatah tanah yang
faktor
terluas jatuh kepada anak yang mengurusi
struktur penguasaan lahan. Paling tidak,
rumah orang tua.
ada 107 bidang lahan yang diwariskan
penting
dalam
pembentukan
Tabel 3. Struktur kepemilikan Lahan di Padukuhan Klepu Luas
Beras/kg
Kacang/kg
Ubikayu/kg
Jagung/kg
<0,25
500
267
667
200
Rp 261.167
0,25-0,5
1000
533
133
400
Rp. 522.333
0,5-0, 75
1500
800
2000
600
Rp.783.500
>0,75
2000
1067
2667
800
Rp. 1.044.67
Sumber: Data Primer
Pendapatan/ tahun
sejak tahun 1960-an – 2012. Sementara
BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 307
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
itu, perolehan lahan melalui proses jual
Dukuh Klepu. Sementara itu, ditemukan
beli hanya 32 bidang. Selain dengan kedua
delapan orang petani yang mengusahakan
cara di atas, para petani juga dapat
tegalan di SG dengan total luas 0,904 ha,
menyewa
sebesar
sedangkan terdapat 12 petani yang meng-
800.000/ dua musim secara in natura.
garap tanah Kas Desa seluas 0,708 ha.
Setiap penyewa hanya diperkenankan
Terkait variasi lahan di Padukuhan Klepu
menggarap 1000 m2 tegalan.
terlacak 27 bidang tanah iring-iring deng-
Menurut
tanah
Pak
kas
Warto
desa
hal
tersebut
an luas 3,4 ha, sedangkan tanah oro-oro
merupakan bentuk pemerataan jatah ta-
110 bidang dengan perkiraan luas 33 ha.
nah bagi orang-orang yang tidak mampu.
Mencermati data di atas, dapat diketahui
Sebelum tahun 2000-an, hanya petani ka-
terdapat 61 keluarga petani yang mengua-
ya saja yang dapat mengakses tanah kas
sai oro-oro, 16 keluarga petani menggarap
desa tanpa batas minimal luasan. Adapula
iring-iring, dan enam keluarga petani me-
petani yang menggarap Sultan Ground se-
manfaatkan oro-oro dan iring-iring. Dapat
cara cuma-cuma. Sejak tahun 1960-an, se-
diperkirakan perbandingan produksi an-
cara de jure status kepemilikan lahan di
tara tanah oro-oro dengan tanah iring-
Desa Karangasem tidak banyak perubah-
iring 3:1 untuk setiap tanaman.
an. Alih status hanya terjadi di sekitar Telaga Jurug, dahulunya kawasan ini area tangkapan air sekarang berstatus tanah lungguh Klepu. Namun, secara de facto penguasaan terhadap Sultan’s Ground menunjukkan angka yang fantastis, dari 49 ha SG 10 ha digarap petani karangasem. Untuk mengetahui distribusi penguasaan maupun status lahan di Desa Karangasem secara umum dan Padukuhan Klepu secara khusus lihat peta 3. Dari peta 3, dapat dipetik informasi tegalan yang dikuasai petani Klepu sebesar 38 ha, jumlah ini termasuk tanah 5 ha bengkok yang dikelola Kepala
Peta 3. Distribusi tegalan di Klepu BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 308
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
Diferensiasi Produksi, Pendapatan, dan Pengeluaran Berpedoman kepada nilai komoditas tegalan, saya mengukur perkiraan pendapatan dan stratifikasi kelas rumah tangga petani Padukuhan Klepu dengan menggunakan parameter ekuivalen konsumsi beras perkapita Sayogyo yang telah dimutakhirkan Supadi dan Nurmanaf (2006: 11) (lihat tabel 4). Selanjutnya, hasil kalkulasi tersebut digunakan untuk mengelompokan kelas petani menjadi tiga kelas; miskin, cukupan, dan kaya berdasarkan
sedangkan rumah tangga cukupan dan kaya masing-masing menguasai 0,3-0,6 ha serta > 0,7 ha tegalan oro-oro (untuk perincian
jumlahnya
lihat
tabel
6).
Berdasarkan analisis geo-spasial, dapat dipetik informasi luas rata-rata tanah produktif yang dikuasai petani kaya 1,91 ha, sedangkan petani cukupan 0,64 ha. Sementara itu, para petani miskin hanya memperoleh 0,22 ha. Selain ketimpangan akses tanah dan produksi, faktor tenaga kerja merupakan faktor yang tidak kalah penting dalam menerangkan diferensiasi sosial-ekonomi.
kepemilikan lahan (lihat tabel 5).
Tabel 4. Perbandingan pendapatan perkapita petani Klepu
Kelas petani Miskin Cukupan Kaya
Pendapatan kapita/tahun (Rp) < 7.560.000 7.560.000-15.210.000 >15.210.000
Sumber: Primer
Pendapatan kapita/bulan Ekuivalen (Rp) < 630. 000 240x rata-rata anggota keluarga (4,5) X harga beras (7.000) 630.000- 1. 267.500 240-480x rata-rata anggota keluarga (4,5) X harga beras (7.000) >1.267.000 480 x rata-rata anggota keluarga (4,5) X harga beras (7.000)
Tabel 5. Hubungan luas lahan dan pendapatan perkapita/tahun
KACANG KETELA Pendapatan Hasil Penjualan Hasi Penjualan ((Rp) Kg Panen (Rp) Kg Panen (Rp) 0,1 200 107 320.000 400 267 533.333 2.453.333 0,2 400 213 640.000 800 533 1.066.667 4.906.667 0,3 600 320 960.000 1200 800 1.600.000 7.360.000 0,4 800 427 1.280.000 1600 1067 2.133.333 9.813.333 0,5 1000 533 1.600.000 2000 1333 2.666.667 12.266.667 0,6 1200 640 1.920.000 2400 1600 3.200.000 14.720.000 0,7 1400 747 2.240.000 2800 1867 3.733.333 17.173.333 Keterangan: Sumber: Primer a. Lajur 0,3 merupakan ambang batas kemisikinan, Lajur luas 0,7 merupakan ambang batas kaya Berdasarkan parameter di atas, b.Harga Komoditas (Total penjualan setiap komoditas dikurangi penyusutan 1/3. Harga tahun 2012) / Kg Rp. 7.000, diketahui bahwa seunit rumah tangga a.b. Beras Jagung/ Kg Rp. 2.500, c. Kacang/Kg Rp. 4.000, tergolong miskin jika ia menguasai <0,3ha, d. Ketela/Kg 2.000. Luas ha
PADI Konsumsi beras (Rp) 1.400.000 2.800.000 4.200.000 5.600.000 7.000.000 8.400.000 9.800.000
JAGUNG Hasil Penjualan Panen (Rp) Kg 80 200.000 160 160 400.000 320 240 600.000 480 320 800.000 640 400 1.000.000 800 480 1.200.000 960 560 1.400.000 1120
BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 309
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
Terdapat kecenderungan hanya petani
bang membantu orang tuanya dalam bi-
kaya yang mampu mengakses buruh tani.
dang pertanian.
Pada umumnya, buruh tani dilibatkan dalam kegiatan ndangir dan panen. Ada perbedaan upah panen antara buruh tani perempuan dan laki-laki. Kaum perempuan hanya memperoleh Rp.20.000/hari, sedangkan pria mendapat Rp.25.000/hari. Selisih harga tersebut disebabkan ada tu-
Tabel 6. Struktur penguasaan lahan dan kelas petani Kepala Keluarga (KK)
Jumlah KK
Miskin (0-0,30)
60
Cukupan (0,40-0,60)
9
Kaya 0,71> Total KK
14 83
Sumber: Primer
gas ekstra bagi kaum lelaki yaitu kegiatan
Sebagai upaya menjembatani per-
pengangkutan gabah ke pinggir jalan. Se-
masalahan di atas, para petani miskin
mentara itu, upah yang sama sebesar Rp.
membentuk kelompok kerja setengah
20.000/hari untuk perempuan maupun
hari. Dalam konteks Padukuhan Klepu,
laki-laki dalam kegiatan ndangir.
terdapat empat kelompok kerja yang ber-
Menurut penuturan salah satu pe-
anggotakan 15 petani. Para anggota yang
tani kaya, Pak Rumanto, dapat mempeker-
terdaftar dalam kelompok kerja diwajib-
jakan 10-25 buruh tani dalam lima sampai
kan membayar iuran Rp. 2000 / 35 hari
enam kali kegiatan ndangir dan panen
(selapanan). Uang tersebut dibelanjakan
palawija maupun padi. Di sisi lain, mem-
untuk keperluan konsumsi setengah hari
pekerjakan buruh tani terbilang mustahil
kerja. Wadah kelompok kerja ini juga
bagi petani miskin. Menurut Pak Yanto,
memfasilitasi para petani miskin untuk
untuk ndangir dan panen setiap jenis ta-
memperoleh kredit pupuk. Melalui cara
naman di lahan 0,25-1 ha dibutuhkan em-
ini para petani miskin berkewajiban mem-
pat sampai lima orang tenaga kerja. Jadi,
bayar bunga sebesar 10 % dari harga po-
dalam satu musim tanam ia harus me-
kok pupuk sebesar Rp. 115.000 / paket
nyiapkan modal belanja buruh sebesar ±
untuk ponska dan Rp.67.000 / 50 kg urea.
Rp.300.000 – Rp.500.000. Pasokan tenaga
Para petani membutuhkan ± 2 ton
kerja semakin sukar akibat sanak-saudara
pupuk kandang untuk 0,25 ha. Bagi petani
bermigrasi, sedangkan para angkatan mu-
yang tidak memiliki ternak sapi, pupuk
da yang berdomisili di Padukuhan Klepu
kandang diperoleh dari tetangga atau
lebih memilih menjadi buruh lepas di
kerabat
pabrik penggilingan batu gamping ketim-
menanggung 50 % ongkos penyewaan
terdekat
dengan
kewajiban
BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 310
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
angkutan. Ongkos yang diperlukan untuk
bis terjual sejak dua hingga tiga minggu
menyewa truk sekali jalan sebesar Rp.
pasca panen. “Padahal sudah dijual sedikit
80.000,- Bagi petani bertanah luas, peng-
demi
angkutan pupuk kandang mencapai dua
samping itu, panen berasnya pun hanya
hingga tiga tahap. Pendek kata, perkiraan
mencapai
diferensiasi produksi dan pendapatan per-
konsumsi 0,5 kg/ kepala. Tentunya, jum-
musim yang berlaku masing-masing kelas
lah tersebut tidak mencukupi kebutuhan
dapat diketahui sebagai berikut.
konsumsi rumah tangga untuk enam
Tabel 7. Diferensiasi produksi dan pendapatan petani dalam satu musim tanam
Golongan Miskin 0,2 ha (Pak Kar) Cukupan 0,5 ha (Pak Supar) Kaya 1 ha (Pak Rum )
Belanja Pupuk (Rp)
320.000 (2 sak urea & 0,5 kg ponska) 479.000 (3 sak urea & 1 kg ponska) 776.000 (5 sak urea & 3 kg ponska)
sedikit”, imbuh 5-6
kw
Pak dengan
Kar.
Di
rata-rata
orang selama satu tahun. “Perlu
Transportasi (Rp)
24.000 (kelompok kerja)
80.000
386.000 (sewa buruh)
240.000
12.226.667
11.162.667
listrik di musim
.800.000 (sewa buruh)
.1.500.000
24.533.000
21.457.000
kemarau” ucap
Sumber: Primer
Implikasi dari pendapatan turut
Rerata pendapatan bruto (Rp) 4.906.667
Rerata pendapatan bersih (Rp)
nyamben untuk
Tenaga Kerja (Rp)
4.482.667
beli beras, beli air, dan bayar
Pak Kar yang pada kala itu bekerja di pabrik penggilingan batu.
mempengaruhi diferensiasi pengeluaran
Di pihak lain, golongan kaya dan
rutin belanja rumah tangga. Saya menca-
cukupan mampu mengantongi surplus,
tat terdapat lima jenis pengeluaran rutin/
masing-masing
bulan. Adapun anggaran tersebut meliputi
6.960.667/tahun. Surplus tersebut mere-
kebutuhan dapur, jajan anak sekolah, ta-
ka investasikan ke dalam bentuk mode
gihan listrik dan air, serta slametan. Me-
ekonomi non pertanian: membuka wa-
ngacu tabel 8, meski tidak menyentuh
rung kelontong dan peternakan.
Rp.12.572.000 dan Rp.
defisit keuangan, namun keluarga miskin
Dengan kemapanan ekonomi mere-
harus mencari penghasilan tambahan di
ka, golongan menengah ke atas kerap me-
luar sektor pertanian: bekerja di pabrik
ngonsumsi barang bermartabat: renovasi
penggilingan batu kapur dan buruh bang-
rumah, membeli kendaraan bermotor, dan
unan musiman. Hal tersebut dilakukan ka-
menyelenggarakan ritual siklus hidup se-
rena tanaman palawija ludes terjual dan
cara meriah. Tentunya, hal tersebut guna
beraspun sudah habis dikonsumsi. Pada
mengukuhkan identitas dan prestis sosial
umumnya, tanaman palawija sudah ha-
mereka. Contohnya Pak Rumanto, ia BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 311
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
sangat berbangga karena impian memiliki
penting dalam pembentukkan diferensiasi
mobil Suzuki Carry terkabul. Pada musim
sosial-ekonomi. Ringkas kata, konsep
yang lalu, ia juga membeli dandang
“berbagi kemiskinan” dalam konteks kehi-
tembaga untuk mengolah jenang seharga
dupan masyarakat Gunungkidul perlu di-
Rp. 5.000.000. Sementara itu, Pak Supar
pertimbangkan kembali. Mengingat pene-
cu-kup lega setelah membeli
telepon
litian etnografi ini menggunakan analisis
geng-gam senilai Rp. 1.500.000 untuk
sistem informasi geografis yang masih
anak-nya yang duduk di kelas 2 SMP.
terbilang
Tabel 8. Diferensiasi pengeluaran petani dalam satu musim tanam (Rp) Golongan/ Pendapatan
Slametan
Jajan anak sekolah
Miskin 4.482.667 (Pak Kar) Cukupan 11.162.667 (Pak Sumar) Kaya 21.457.000 (Pak Sar )
150.000
356.000
200.000 500.000
Kebutuhan dapur
asing
Belanja air
Anggaran Belanja
Selisih
1.000.000
240.000
200.000
1.946.000
2.536.667
912.000
2.400.000
240.000
450.000
4.202.000
6.960.667
1.825.000
5.000.000
960.000
600.000
8.885.000
12.572.000
Kesimpulan Khalayak umum menghakimi bahwa Gunungkidul merupakan wilayah marjinal karena secara ekologis identik dengan kondisi tanah tandus, berbatu dan sulit air. Oleh sebab itu, kemiskinan selalu menjadi entitas sosial tunggal masyarakat Gunungkidul. Penelitian ini menjawab fenomena sosial-ekonomi dari sisi yang berbeda. Melalui pendekatan SIG dan etnografi, saya menemukan fakta bahwa Gunungkidul khususnya Padukuhan Klepu Karangasem menampilkan sejarah ekologis dan sosial yang sangat dinamis. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa perubahan tataguna lahan dan kebijakan politik ekonomi merupakan agen
dalam
matra
antropologi. Tentu saja, saya menanti
Tagihan listrik
Sumber: Primer
di
kritikan dan saran dari
pembaca.
Dari kritikan dan saran
tersebut, saya
mengharapkan terlahir pula ruang diskusi mengenai pendekatan
geo-spasial
dalam
penelitian
antropologi. Daftar Pustaka Bebbington, Anthony dan Carney, Judith (1990) “Geography in the International Agricultural Research Centers: Theoretical and Practical Concerns”. Annals of the Association of American Geographers 80 (1) [Diakses: 01/08/2012]: Hal. 34-48. URL: http://www.jstor.org/stable/2563 327. Biro Pusat Statistik (1984) Indikator Pemerataan Pendapatan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia. Jakarta: Bagian Analisis Statistik Ekonomi. Biro Pusat Statistik (1986) Kecamatan Ponjong dalam Angka. BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 312
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
Gunungkidul: Biro Pusat Statistik Gunungkidul Booth, Anne dan McCawley, Peter (1990) “Kebijakan Fiskal”. Dalam Anne Booth dan Peter McCawley (ed) Ekonomi Orde Baru. Jakarta; LP3ES. Hal. 1-27. Collier, William L. Soentoro, Basuki. Soetomo, Irna (1979) “Pengamatan tentang Pemilikan Tanah serta Land Reform di Jawa”. Prisma 9: Hal. 17-30. Darmaningtiyas (2002) Pulung Gantung: Menyikap Tragedi Bunuh Diri di Gunung Kidul. Yogyakarta: Salwa Press. Departemen Dalam Negri (2007) Profil Desa dan Kelurahan Desa Karangasem 2007. Wonosari: Departemen Dalam Negeri Dirjen Pemberdayaan dan Desa tahun 2007. Effendhie, Machmoed (1993/1994) Peluang Kerja dan Keadaan Ekonomi Masyarakat Desa di Daerah Lahan Kering: Kasus Gunungkidul. Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Ford, Derek dan Williams, Paul (2007) Karst Hydrogeology and Geomorphology. West Sussex: John Wiley & Sons Ltd. Geetz, Clifford (1983) Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Goudie, A. S (1986) “The Integration of Human and Physical Geography”. Transactions of the Institute of British Geographers 11 (4)
[Diakses:01/08/2012]: Hal. 454458. URL: http://www.jstor.org/stable/6219 38. Gsanger, Hans dan Bottcher, Detlev (1988) “Jaminan Pangan dan Kemiskinan di Daerah Pedesaan: Komentar tentang Kebijakan Pembangunan Pertanian di Indonesia. Dalam Karl-Heinz W. Bechtold (ed) Politik dan Kebijakan Pembangunan Pertanian. Yayasan Obor Indonesia. Hal. 230-273. Guritno, Bambang (2011) Pola Tanam di Lahan Kering. Malang: UBPRESS. Haryono, Eko dan Adji, Tjahyono Nugroho (2004) Geomorfologi dan Hidrologi Karst. Yogyakarta: Kelompok Studi Karst Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Hayami, Yujiro dan Kikuchi, Masao (1987) Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hefner, Robert W (1999) Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik. Yogyakarta: LKIS. Hoeschele, Wolfgang (2000) “Geographic Information Engineering and Social Ground Truth in Attappadi, Kerala State, India”. Annals of the Association of American Geographers 90 (2) [Diakses:01/08/2012]: Hal. 293321. URL: http://www.jstor.org/stable/1515 236. Husken, Frans dan White, Benjamin (1989) “Ekonomi Politik Pembangunan Pedesaan dan BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 313
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
Struktur Agraria di Jawa” Prisma 4: Hal. 15-27. Husken, Frans (1998) Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 18301980. Jakarta: Grasindo. Larastiti, Ciptaningrat (2011) Ngelmu Titen: Mengkaji Pengetahuan Masyarakat Petani Dusun Mendak Desa Kanigoro Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta: Skripsi, Jurusan Antropologi Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Mears, Leon A dan Moelyono, Sidik. (1990)” Kebijakan Pangan”. Dalam Anne Booth dan Peter McCawley (ed) Ekonomi Orde Baru. Jakarta: LP3ES. Hal 29-6. Nibbering, Jan Willem 1997 “Upland Cultivation and Soil Conservation Limestone Regions on Java’s South Coast”. Dalam Peter Boomgard, Freel Colombijn, dan David Henley (ed) Paper Landscape: Exploration in the Enviromental History of Indonesia. Leiden: KITLV Press. Hal. 153-183. Pemerintah Kabupaten Gunungkidul (2007)Laporan Status Lingkungan Hidup di Daerah Kabupaten Gunungkidul Tahun 2007. Wonosari: Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Penny, D.H dan Ginting, Meneth (1984) Pekarangan, Petani dan Kemiskinan: Suatu Studi tentang Sifat dan Hakekat Masyarakat Tani di Sriharjo Pedesaan Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press dan Yayasan Agroekonomika.
Pratikno, Fajar (2000) Gerakan Rakyat Kelaparan: Gagalnya Politik Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Media Pressindo. PTKA (2002) Eksplorasi Potensi Budaya, Historis, dan Arkeologis Kecamatan Ponjong. Yogyakarta: Laporan Survey PTKA-Gunungkidul Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya UGM & The Ford Foundation. Santiasih dan Pratiwi, Endah (1994) “Desa Miskin yang Ditinggalkan”. Dalam Mubyarto (ed) Profil Desa Tertinggal Indonesia 1994. Yogyakarta: Aditya Media. Hal. 97106. Scott, James C (1981) Moral Ekonomi Petani, Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Siahaan, Hotman (1983) “Tekanan Struktural dan Mobilisasi di Pedesaan”. Prisma 11 (12) : Hal. 50- 61. Supadi dan Nurmanaf, Achmad Rozany (2006) “Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Pedesaan dan Kaitannya dengan Tingkat Kemiskinan”. Socio of Agriculture and Agribussines 1(3) [Diakses 01/08/2012]: Hal. 1-19 URL: http://www.ojs.unud.ac.id/index/s oca/article/view/4149. Tilley, Christoper (1994) Phenomenology of Landscape Places, Paths and Monuments. Oxford: Berg Publisher. Urich, Peter B (1989) “Tropical Karst Management and Agricultural Development: Example from Bohol, Philippines”. Geografiska Annale 71 (2) [Diakses: BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 314
Irsyad Martias, “Implikasi Perubahan Tataguna Lahan terhadap Dinamika Sosial-Ekonomi Masyarakat Gunungkidul: Suatu Kajian Antropologi Keruangan”, hal. 292-315
01/08/2012] : Hal. 95-108 URL: http://www.jstor.org/stable/4905 18. Wahono, Francis (1994) “Dinamika Ekonomi Sosial Desa Sesudah 25 Tahun Revolusi Hijau”. Prisma 3: Hal. 3-31 Yuwono, Susetyo Edy., Tanudirdjo, Daud Aris., Prasodjo, Tjahjono (2004) Pengungkapan Diversitas Aspek Pertanian Kawasan Perbukitan Selatan Yogyakarta: Kajian Arkeologi dan Etnografi di Kabupaten Gunungkidul. Yogyakarta: Laporan Penelitian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Zakaria (2005) Direngutnya Kedaulatan Petani Lahan Kering. Jakarta: Penerbit KIKIS.
BioKultur, Vol. III /No.1/Januari-Juni 2014, hal. 315