ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
PENGARUH PERUBAHAN TATAGUNA LAHAN TERHADAP KARAKTERISTIK HIDROGRAF BANJIR (Studi Kasus DAS Dengkeng dan DAS Jlantah Bagian Hulu Bengawan Solo Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah) Yulyana Aurdin Jurusan Survei dan Pemetaan, Fakultas Teknik, Universitas IGM Email :
[email protected] ABSTRAK Banjir yang terjadi di Bengawan Solo Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 26 Desember 2007 menimbulkan kerugian yang menyebabkan puluhan ribu orang menderita karena tergenangnya rumah-rumah penduduk setempat. Pada kejadian banjir tersebut, muncul isu yang mengindikasikan bahwa penyebab banjir tersebut dikarenakan akibat dari perubahan respon DAS terhadap hujan akibat perubahan tataguna lahan. Perubahan bentuk hidrograf dan perubahan besaran debit puncak dapat diinterpretasikan sebagai bentuk dari konsekuensi perubahan tata guna lahan, oleh karena itu diperlukan suatu analisis hidrologi untuk mengetahui perubahan debit puncak akibat dari perubahan tata guna lahan. Pada penelitian ini dilakukan analisis hidrologi terhadap DAS Dengkeng dan DAS Jlantah yang merupakan DAS kritis. Metode analisis hidrologi yang digunakan yaitu menghitung hidograf satuan terukur (observed) dengan metode Collins dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran, menghitung hujan efektif dengan metode Soil Conservation Service-Curve Number (SCS-CN) dan menghitung banjir rancangan dengan kala ulang 2, 5, 10, 25, dan 50 tahun dengan metode analisis frekuensi. Hitungan banjir rancangan dilakukan pada beberapa kondisi tataguna lahan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai CN sebagai variabel penentu fungsi lahan di DAS Dengkeng dan DAS Jlantah dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 tidak mengalami perubahan membaik yang signifikan. Untuk itu dilakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang kritis serta pengembangan fungsi Daerah Aliran Sungai ditingkatkan secara optimal untuk masa yang akan datang dengan cara melakukan upaya pengendalian tataguna lahan. Hasilnya upaya rehabilitasi hutan dan lahan sesuai rencana dari BPDAS Solo ini mampu mempengaruhi perubahan nilai CN dan juga mempengaruhi faktor losses dan hujan efektif dalam pengalihragaman hujan-aliran. Ini ditandai dengan terjadinya penurunan debit puncak banjir pada tahun 2025 sebesar 18% sampai dengan 66%. Kata kunci : banjir, tataguna lahan, curve number. ABSTRACT The flood event on December 26, 2007, in Bengawan Solo river, the Province of Jawa Tengah has caused loss and submerged housed of thousands of people. The growing issue in regard to the event indicated that the cause was the changing response of the catchment area to the rainfall due to the land use changing. The changing of the hydrograph shape and the amount of peak discharge can be interpreted as the form of land use changing consequences. Thus, it is required to have a hydrological analysis to identify the changing of peak discharge due to the impact of land use changing. In this study, hydrological analysis was carried out for Dengkeng and Jlantah watershed as the critical catchment areas. The method used for the analysis was calculating unit hydrograph by using the Collins method in the conversion process of rainfall-runoff translation, calculating the effective rainfall by using the Soil Conservation Service-Curve Number (SCS-CN) and calculating the design flood with return periods of 2, 5, 10, 25, and 50 years by using the frequency analysis method. The design flood calculation was carried out for various land use conditions. Results of this study showed that the CN value as the main variable of the land function in Dengkeng and Jlantah watershed from 2003 to 2009 has not indicated significant improvement changes. Therefore, in order to rehabilitate forest and critical land as well as to optimally improve the development of the catchment areas in the future land use control is necessary. Based on the plans by BPDAS Solo, the results indicated that such rehabilitation influenced the changing of CN value and the losses factor as well as to the effective rain in rainfall-runoff translation. This was indicated by the declining flood peak discharge in 2025 from 18% to 66%. Keywords : flood, land use, curve number.
1
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
mendatang sangat penting bagi peneliti maupun perencana dalam berbagai keperluan perencanaan maupun perancangan untuk menetapkan besaran rancangan. Sri Harto (2000) menyatakan cara yang digunakan dalam analisis untuk mendapatkan debit banjir rancangan adalah dengan melakukan analisis frekuensi atas data debit terukur yang cukup panjang. Apabila data debit terukur tidak tersedia, analisis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis frekuensi dilakukan atas data hujan, selanjutnya hujan rancangan (design rainfall) dan analisis frekuensi dilakukan atas data debit bangkitan (generated discharge) yang dapat diperoleh dengan model. Dalam analisis debit banjir rancangan berdasarkan hujan rancangan, komponen penting yang perlu dipertimbangkan adalah besarnya hujan efektif yang menjadi limpasan langsung. Salah satu metode yang telah dikembangkan dalam perhitungan hujan efektif adalah cara SCS CN (Soil Conservation Service Curve Number). Menurut Kovar (1990), cara ini dikembangkan sebagai solusi dasar (secara fisik) proses infiltrasi dengan mempertimbangkan kondisi kelembaban tanah awal (antecedent moisture condition). Untuk mengatasi permasalahan banjir di sungai Bengawan Solo perlu dilakukan identifikasi permasalahan dan pemecahannya. yaitu antara lain dengan memperbaiki pola tataguna lahan dan penghutanan kembali (reboisasi) lahan yang kritis atau beralih fungsi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh perubahan tata guna lahan terhadap perubahan karakteristik hidrograf banjir wilayah penelitian yaitu DAS Dengkeng dan DAS Jlantah.
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Bengawan Solo melewati 2 (dua) provinsi dan tujuh kabupaten di Jawa Tengah (Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, Klaten, Sragen, Blora, dan kota Surakarta) dan 7 (tujuh) kabupaten di Jawa Timur (Pacitan, Madiun, Ponorogo, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik). Dengan panjang sungai ± 600 km dan panjang anak sungai ± 1230 km, menjadikan DAS Bengawan Solo sebagai DAS dengan sistem pengaliran sungai utama terpanjang di pulau Jawa. Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo dibagi menjadi tiga bagian yaitu DAS Bengawan Solo Hulu, DAS Kali Madiun di bagian tengah dan DAS Bengawan Solo Hilir. Di DAS Bengawan Solo pada akhir Desember 2007 terjadi banjir yang menimbulkan puluhan ribu orang menderita dan ribuan rumah tergenang. Banjir Desember 2007 dirasakan oleh masyarakat sebagai banjir yang luar biasa yang pernah terjadi di DAS Bengawan Solo selama ini, mungkin dianggap terbesar setelah banjir Maret 1966 (Perum Jasa Tirta I, 2008 dalam Gunawan, 2009). Salah satu penyebab banjir yang terjadi di Sukoharjo dan Surakarta dikarenakan curah hujan yang tinggi dan juga bobolnya tanggul di sungai Samin dan sungai Wingko sehingga menyebabkan jalan propinsi Solo-Wonogiri tergenang di lima lokasi, di kecamatan Nguter, kecamatan Sukoharjo dan desa Telukan (kecamatan Grogol) akibat meluapnya anak sungai Bengawan Solo (Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo, 2008 dalam Gunawan). Pengetahuan mendalam tentang probabilitas kejadian ekstrim banjir di masa 2
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
Penelitian yang dilakukan adalah di DAS Dengkeng dan DAS Jlantah, Daerah Aliran Sungai bagian hulu Bengawan Solo, kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah (lihat Gambar 1).
1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. melakukan identifikasi nilai curve number (CN) sebagai variabel penentu perubahan lahan di DAS Dengkeng dan DAS Jlantah yang mempengaruhi kondisi hidrologi dalam pengalihragaman hujan menjadi aliran, 2. melakukan proses simulasi pengalihragaman hujan menjadi aliran untuk mengetahui dampak pengaturan tataguna lahan terhadap debit banjir di DAS Dengkeng dan DAS Jlantah. 1.3. Manfaat Penelitian Dengan melakukan analisis pengaturan tataguna lahan yang ditandai menurunnya variabel CN di DAS Dengkeng dan DAS Jlantah dalam pengelolaan DAS maka dapat mengurangi debit banjir dan dapat diketahui bahwa penyebab banjir yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2007.
Gambar 1. Peta wilayah studi. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Studi Banjir Terdahulu Studi penelitian pada DAS Dengkeng dan DAS Jlantah yang secara khusus terkait dengan aspek hidrologi belum pernah dilakukan. Penelitian ini meneruskan kesimpulan dari penelitian yang pernah dilakukan oleh Gunawan (2009). Beberapa penelitian terdahulu yang sejenis menyangkut aspek hidrologi banjir adalah sebagai berikut ini. 1. Studi Banjir Bengawan Solo 2007 untuk Peningkatan Kinerja Mitigasi Bencana Banjir (studi kasus pada anak-anak sungai Bengawan Solo antara Bendung Colo di Sukoharjo dan Jurug di Surakarta), Gunawan (2009) melakukan penelitian di sepanjang alur sungai Bengawan Solo, penelitian ini dilaksanakan untuk melakukan rekonstruksi kejadian banjir sungai Bengawan Solo antara Bendung Colo, Sukoharjo dan Jurug, Surakarta pada tanggal 25, 26, dan 27 Desember 2007.
1.4. Batasan Penelitian Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Wilayah penelitian perubahan tata guna lahan hanya dilakukan pada DAS-DAS kritis berdasarkan penelitian Tesis sebelumnya yang dilakukan oleh Gunawan, 2009 yaitu di DAS Dengkeng dan DAS Jlantah, 2. Kasus banjir yang dipilih untuk kalibrasi parameter dalam penelitian ini adalah banjir pada tanggal 26 Desember 2007, 3. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari data AWLR, data hujan harian, data hujan otomatis serta peta digital daerah penelitian yang berisi informasi penggunaan lahan. 1.5. Wilayah Studi 3
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
Analisis penelusuran banjir secara hidrologis menggunakan software HECHMS. Hasil dari penelitian ini adalah mendapatkan analisis terhadap lokasi yang kritis terhadap banjir dan rekomendasi upaya mitigasi bencana banjir secara non struktural yaitu penyampaian informasi yang baik kepada para penghuni rumah di sekitar bantaran sungai dan pengaturan serta pengendalian tata ruang permukiman pada DAS Wingko, DAS Dengkeng. Sedangkan pada DAS Samin dan Jlantah perlu adanya pengendalian pola dalam pemanfaatan lahan. 2. Identifikasi Penyebab dan Upaya NonStruktural Pengendalian Banjir Kali Sampean Umar Mahfudi (2010), melakukan penelitian di DAS Sampean bagian hulu dengan menganalisis data hidrologi dengan alat bantu perangkat lunak HEC-HMS (Hydrologic CenterHydrologic Modelling System) versi 3.3. Penelitian ini mengkaji penyebab meningkatnya potensi banjir Kali Sampean dan bagaimana upaya non struktural pengendaliannya. Hasil dari penelitian ini adalah banjir di Kali Sampean disebabkan oleh faktor perubahan tataguna lahan yang melibatkan campur tangan manusia dan juga disebabkan curah hujan yang tinggi yang terjadi secara merata di seluruh DAS. Dari tahun 1998 sampai 2008 telah mengalami alih fungsi lahan terutama dari lahan hutan menjadi tegalan, sawah dan pemukiman. Akibatnya nilai CNkomposit meningkat sebesar 2,11. Maka dalam penelitian Umar Mahfudi (2010) ini dilakukan upaya pengendalian banjir dengan upaya non strukural dan struktural. Skenario yang pertama dengan melakukan
upaya non stuktural yaitu pengaturan penggunaan lahan berdasarkan BPDAS Sampean Madura. Untuk memenuhi kondisi DAS yang ideal hendaknya penutupan lahan vegetasi permanen berupa hutan berkisar 30% luas seluruh DAS. Hasilnya menunjukkan adanya penurunan debit puncak dari tahun 2008 sampai dengan 2023 yaitu 4,6% sampai 11,75%. Sedangkan skenario kedua mengacu pada RTRW Kabupaten Bondowoso dengan memperkirakan pada tahun 2023 penggunaan lahan hutan diharapkan dapat mencapai 40% luas DAS. Hasilnya adanya penurunan debit puncak yang cukup besar dari 2008 sampai tahun 2023 yaitu 7,02% sampai 17,17%. Upaya struktural dalam mengatasi banjir yaitu dengan pembangunan Waduk Taman di bagian hilir Sub DAS Taman dengan pelimpah tipe ambang lebar dan lebar pelimpah 10 m pada elevasi 281 m dengan luas permukaan genangan 8,74 km2 dan kapasitas tampungan waduk sebesar 7,08 juta m3. Hasilnya mampu mengurangi debit puncak untuk kala ulang 50 tahun sebesar 23,89% dan volume limpasan berkurang 29,41%. 2.2. Informasi Banjir Bengawan Solo 2007 Menurut Nippon Koei CO.,LTD (2008) banjir yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2007 di Bengawan Solo merupakan banjir terbesar yang menyebabkan tergenangnya rumah penduduk, pasar, lahan pertanian dan jalanan di kota. Curah hujan tinggi rata-rata di DAS Bengawan Solo hulu dan DAS Madiun yang tercatatat pada tanggal 25 Desember 2007 sebesar 134 mm. Untuk hujan titik pada tanggal 25 Desember 2007 di DAS Bengawan Solo hulu sebesar 124 mm dengan kala ulang 55 tahun. Sedangkan debit 4
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
yang tercatat di DAS Bengawan Solo hulu pada tanggal 26 Desember 2007 sebesar 1986 m3/s. Untuk meneliti daerah yang terkena banjir maka digunakan foto satelit yang berdasarkan hasil investigasi daerah banjir dan biaya kerusakan yang ditimbulkan. Data tergenangnya rumah di DAS Bengawan Solo hulu sebanyak 18.722 rumah dan 8.503 ha area yang tergenang.
terjadi dalam DAS yang dimaksudkan. Besaran hujan ini diperoleh dengan merataratakan hujan titik (point rainfall). Selama ini cara-cara yang digunakan dalam analisis untuk memperoleh hujan rata-rata DAS (catchment rainfall) adalah dengan cara ratarata aljabar (mean arithmetic method), poligon Thiessen (Thiessen polygon method), dan Isohyet (isohyetal method). Cara poligon Thiessen dilakukan dengan memperhitungkan luas daerah yang diwakili oleh stasiun yang bersangkutan sebagai faktor pembobot dalam menghitung hujan rata-rata. Meskipun belum dapat memberikan bobot yang tepat, cara ini dipandang lebih baik dari cara rata-rata aljabar dan cocok untuk menentukan hujan rata-rata DAS, dimana lokasi stasiun tidak banyak dan hujannya tidak merata (Rachmad Jayadi, 2000). Adapun cara mendapatkan nilai curah hujan rata-rata dengan metode ini adalah dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan. Dengan demikian, setiap stasiun pengukur hujan akan terletak pada suatu luasan poligon tertutup. Jumlah perkalian antara tiap-tiap luas poligon dengan besar curah hujan di stasiun dalam poligon tersebut dibagi dengan luas seluruh DAS akan menghasilkan nilai curah hujan rata-rata DAS. Cara hitungan ini dapat dilihat pada persamaan (3.1) dan Gambar 2.
2.3. Perubahan Fungsi Lahan Perubahan karakter pada salah satu komponen siklus hodrologi dapat mengakibatkan seluruh keseimbangan berubah, dan berakibat pada perubahan karakter transformasi secara keseluruhan (Sri Harto, 2000). Faktor tataguna lahan pada DAS memberikan pengaruh cukup dominan. Macam penggunaan lahan akan sangat menentukan besarnya losses akibat infiltrasi dan besarnya koefisien limpasan permukaan. Perubahan tataguna lahan dapat menyebabkan perubahan nilai koefisien limpasan permukaan (koefisien aliran) dan kerapatan jaringan kuras (Rachmad Jayadi, 2005) Soil Conservation Service (SCS) menggambarkan pengaruh tataguna lahan terhadap limpasan dengan nilai CN. Namun sebenarnya nilai CN tidak hanya bergantung pada tataguna lahan, akan tetapi juga merupakan fungsi dari jenis tanah, vegetasi dan kondisi kelengasan tanah, sehingga dengan karakter tersebut limpasan permukaan dapat diketahui berdasarkan metode SCS CN.
n
P
3. LANDASAN TEORI 3.1. Hujan Rata-rata DAS Dalam analisis hidrologi, umumnya digunakan masukan hujan yang dianggap dapat mewakili jumlah seluruh hujan yang
𝑃 Pi 5
AP i 1
i
ATotal
i
(3.1)
dengan: : curah hujan rata-rata DAS (mm), : curah hujan pada stasiun ke-i (mm),
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Ai Atotal
Yulyana Aurdin
: luas yang dibatasi tiap poligon (km2), : luas total DAS (km2).
3.
Menggunakan initial dan constant loss rate yaitu mirip dengan cara (2) tetapi limpasan tidak terjadi sampai kapasitas kehilangan awal telah terpenuhi. 4. Menggunakan kurva infiltrasi, dimana kurva yang diperoleh dari rumus empiris atau didasarkan dari model seperti persamaan Green dan Ampt 5. Menggunakan standar hubungan antara hujan dan limpasan, seperti kurva dari US Soil Conservation Service (US SCS). Metode SCS CN merupakan sebuah pendekatan empiris yang cukup banyak digunakan untuk perhitungan limpasan langsung (direct runoff) dari kejadian hujan, mulai dari daerah tangkapan (watershed) berupa lahan pertanian kecil, hutan maupun perkotaan, serta mampu menggabungkan beberapa karakteristik daerah tangkapan. Penggunaan metode SCS dalam penetapan hujan efektif menyertakan variable curve number (CN) sebagai fungsi karakteristik DAS yang lain seperti tipe tanah, tanaman penutup, tataguna lahan, kelembaban dan cara pengerjaan tanah. Persamaan untuk menghitung hujan efektif metode SCS dituliskan sebagai berikut ini.
Gambar 2. Metode poligon Thiessen.
3.2. Hujan Efektif Hujan efektif adalah hujan yang tidak terinfiltrasi, tidak masuk ke tampungan dan tidak tertahan di atas permukaan tanah (ASCE, 1996). Menurut Bambang Triatmodjo (2008), hujan efektif adalah sama dengan hujan total yang jatuh di permukaan tanah dikurangi kehilangan air (losses). Kehilangan air yang dimaksudkan adalah air yang teresap akibat infiltrasi dan sebagian kecil terintersepsi serta mengisi cekungan permukaan (Chow et al., 1988). Metode sederhana dalam persamaan infiltrasi adalah dengan menggunakan indeks laju abstraksi konstan atau disebut dengan indeks Ф. Yudianti (2006) dalam Gunawan menyebutkan lima cara menentukan hujan efektif, yaitu: 1. Menggunakan constant proportion loss rate, faktor kehilangan untuk setiap periode hujan. 2. Menggunakan indeks Ф yaitu angka kehilangan konstan, dimana hujan efektif adalah hujan setelah angka kehilangan atau kapasitas infiltrasi terpenuhi.
Pe
( P 0,2S ) 2 P 0,8S
(3.2)
dengan: Pe : kedalaman hujan efektif (mm), P : kedalaman hujan (mm), S : retensi potensial maksimum (mm). Retensi potensial maksimum (S) air oleh tanah, sebagian besar terjadi karena infiltrasi (Bambang Triatmodjo, 2008). Untuk menghitung retensi potensial maksimum, digunakan Persamaan (3.3) berikut ini. S
6
25400 254 CN
(3.3)
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
Grafik hubungan antara hujan kumulatif dan hujan efektif kumulatif untuk berbagai nilai CN disajikan dalam Gambar 3.3 (Chow et al., 1988). Nilai CN bervariasi antara 0 sampai 100, untuk CN = 100 (permukaan lahan kedap air), berarti hujan efektif sama dengan hujan total yang selanjutnya berubah menjadi limpasan langsung. Nilai CN untuk berbagai jenis tataguna lahan diberikan dalam Tabel 1 (Nur Attin Isnani, 2004). Apabila lahan terdiri dari beberapa tataguna lahan dan tipe tanah, maka di hitung nilai CN komposit. Meskipun nilai CN diperoleh dari penelitian didaerah beriklim sedang, akan tetapi dapat digunakan apabila nilai CN di daerah yang diteliti belum tersedia. Untuk kondisi kering (AMCI) atau kondisi basah (AMCIII). Tabel 1. Nilai CN untuk beberapa tataguna lahan. No
Jenis Tataguna Lahan
1
Belukar
2
Gedung
3
Hutan
4
Kebun
5
Lahan Kosong Pemukiman
6 7
Rumput
8
Sawah Irigasi
Kondisi Hidrologi Poor Fair Good Poor Fair Good Poor Fair Good Poor Fair Good Poor Fair Good Poor Fair Good
Jenis Tanah A B C
D
63 55 49 98 45 36 30 57 43 32 77 76 74 89 68 49 39 65 64 63
88 86 84 98 83 79 77 86 82 79 94 93 90 95 89 84 80 88 87 87
77 72 68 98 66 60 55 73 65 58 86 85 83 92 79 69 61 76 75 75
85 81 79 98 77 73 70 82 76 72 91 90 88 94 86 79 74 84 83 83
9
Sawah Tadah Hujan
10
Tegalan
Poor Fair Good Poor Fair Good
65 64 63 66 62 58
76 75 75 77 74 72
84 83 83 85 83 81
88 87 87 89 87 85
3.3. Abstraksi Abstraksi (abstraction) atau kehilangan air meliputi air yang terinfiltrasi, terintersepsi, tertahan dalam cekungancekungan di permukaan tanah dan penguapan (Bambang Triatmodjo, 2008). Jumlah abstraksi akan mempengaruhi nilai hujan efektif yang akan menjadi limpasan permukaan. Terkait dengan banyaknya komponen yang mempengaruhi abstraksi, maka analisis perhitungan nilainya juga menjadi lebih kompleks. Cara yang mudah diterapkan untuk penetapan nilai abstraksi dilakukan dengan pendekatan indeks Ф, karena metode ini cukup sederhana. Hidrograf satuan sintetik Gama I (Sri Harto, 2000) menetapkan indeks Ф sebagai fungsi luas DAS (A) dan frekuensi sumber (SN). Soil Conservation Service (1972) mengembangkan suatu metode untuk menghitung abstraksi dari curah hujan (Chow et al., 1988). Untuk curah hujan menyeluruh, kedalaman hujan yang jatuh ke permukaan tanah (excess rainfall) atau hujan efektif (Pe) selalu lebih kecil atau sama dengan kedalaman hujan (P). Demikian juga setelah mulai terjadi limpasan, kedalaman tambahan dari air yang tertahan daerah tangkapan (Fa) lebih kecil atau sama dengan retensi potensial maksimum (maximum potential retention; S). Metode SCS telah menyertakan variabel Curve Number (CN) untuk menentukan besarnya retensi potensial maksimum, yang pada akhirnya memberikan 7
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
pengaruh pada besarnya nilai hujan efektif. Curve Number merupakan fungsi dari karaketristik DAS seperti tipe tanah, tanaman penutup, tataguna lahan, kelembaban dan cara pengerjaan tanah (Bambang Triatmodjo, 2008).
3.5. Hidrograf Satuan Hidrograf satuan merupakan hidrograf limpasan langsung yang dihasilkan oleh hujan efektif yang terjadi merata diseluruh DAS dengan intensitas tetap dalam satu satuan waktu yang ditetapkan. Hidrograf satuan ini dianggap sebagai hidrograf khas untuk suatu DAS. Sherman pada tahun 1932 (dalam Sri Harto, 1993) mengemukakan bahwa dalam suatu DAS terdapat suatu sifat khas yang menunjukkan sifat tanggapan DAS terhadap suatu masukkan tertentu. Tanggapan ini diandaikan tetap untuk masukkan dengan besaran dan penyebaran tertentu. Tanggapan yang demikian dalam konsep model hidrologi dikenal dengan hidrograf satuan. Hidrograf satuan suatu DAS adalah suatu limpasan langsung yang diakibatkan oleh suatu volume hujan yang efektif yang terbagi rata dalam waktu dan ruang (Soemarto, 1986). Untuk memperoleh hidrograf satuan dalam suatu kasus banjir, maka diperlukan data sebagai berikut: 1. rekaman AWLR, 2. pengukuran debit yang cukup, 3. data hujan biasa (manual), 4. data hujan otomatis. Selanjutnya perlu dipilih kasus yang menguntungkan dalam analisis, yaitu dipilih hidrograf yang terpisah dan mempunyai satu puncak dan hujan yang cukup serta distribusi hujan jam-jamannya. Syarat diatas sebenarnya bukan merupakan keharusan, kecuali untuk mempermudah hitungan yang dilakukan. Analisis numerik untuk memisahkan hidrograf satuan dari banjir pengamatan dapat dilakukan dengan metode Collins (Sri Harto, 1993).
3.4. Hidrograf Hidrograf adalah hubungan karakteristik antara salah satu unsur aliran dengan waktu yang merupakan tanggapan menyeluruh DAS terhadap masukan tertentu (Sri Harto, 2006). Berdasarkan pengertian tersebut, hidrograf dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain hidrograf muka air, hidrograf debit, hidrograf sedimen, hidrograf kecepatan dan hidrograf polutan. Sesuai dengan sifat dan perilaku DAS yang bersangkutan, hidrograf aliran selalu berubah sesuai dengan besaran dan waktu terjadinya masukan. Bentuk hidrograf pada umumnya sangat dipengaruhi oleh sifat hujan yang terjadi, akan tetapi juga dapat dipengaruhi oleh sifat DAS yang lain (Sri Harto, 1993). Masing-masing komponen penyusun sistem DAS menanggapi dan meneruskan setiap masukan serta ditranformasikan dalam bentuk keluaran lain (Sri Harto, 2000). Distribusi debit sebagai fungsi waktu di sungai disebut sebagai hidrograf. Bentuk hidrograf untuk berbagai sungai merupakan fungsi dari total suplai aliran permukaan yang tersedia, aliran bawah permukaan (subsurface flow), aliran air tanah, kemiringan dari segmen sungai, karakteristik kekasaran elemen aliran dan geometri sungai. Bagian-bagian pokok suatu hidrograf adalah sisi naik, puncak, dan sisi turun. Bentuk kemiringan sisi naik ditentukan oleh intensitas hujan dan durasi hujan serta kelengasan DAS. 8
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
Metode hidrograf satuan banyak digunakan untuk memperkirakan banjir rancanangan. Rachmad Jayadi (2000), mengungkapkan bahwa hidograf satuan DAS dapat diperoleh dengan suatu analisis hitungan berdasarkan data hujan jam-jaman dan hidrograf (debit rerata jam-jaman) akibat kejadian hujan tercatat. Selanjutnya perlu dipilih kasus yang menguntungkan dalam analisis, yaitu dipilh hidrograf yang terpisah dan mempunyai satu puncak dan serta distribusi hujan jam-jaman. Syarat diatas sebenarnya bukan merupakan keharusan, kecuali untuk mempermudah hitungan yang dilakukan. Hidrograf satuan dapat diturunkan dengan cara persamaan polinomial. Cara ini tidak selalu memuaskan, karena kadangkadang persamaan-persamaannya tidak dapat diselesaikan, karena memungkinkan terjadinya perambatan kesalahan. Cara lain mendapatkan hidrograf satuan adalah dengan cara Collins, yaitu dengan prosedur iterasi (pengulangan) yang diawali dengan sebuah hidrograf satuan hipotetik sebagai masukan awal hitungan iterasi. Cara ini dinilai baik karena akan selalu dapat ditemukan penyelesaian (Sri Harto, 2000). Hidrograf satuan hanya dapat disusun jika tersedia data hujan dan data debit yang cukup. Apabila data tersebut tidak tersedia maka suatu cara untuk memungkinkan penggunaan konsep hidrograf satuan sintetik. Rachmad Jayadi (2000), mengungkapkan bahwa hidrograf satuan suatu DAS dapat diperoleh dengan suatu analisis hitungan berdasarkan data hujan jam-jaman dan hidograf (debit rerata jam-jaman) akibat kejadian hujan tercatat. Analisis numerik untuk memperoleh hidrograf satuan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara penyelesaian persamaan polinomial dan cara Collins (Sri Harto, 1993). Cara pertama yang disebutkan mengandung banyak kelemahan yang dapat mempengaruhi hasil hitungan terhadap hidrograf satuan, karena tingkat ketelitian hasil pengukuran data AWLR dan debit sangat terbatas dan asumsi prinsip linieritas sistem DAS untuk hubungan hujan dan aliran tidak sepenuhnya dapat dipenuhi, sehingga analisis hidrograf terukur dengan cara polinomial tidak selalu dapat diselesaikan dan tidak dapat diterapkan untuk kasus nyata dilapangan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, Sri Harto (1993) mengusulkan penggunaan cara Collins yang dapat digunakan pada setiap keadaan, dan pada umumnya selalu dapat diselesaikan. Pendekatan dengan cara Collins, yaitu dengan prosedur iterasi yang diawali dengan sebuah hidrograf satuan hipotetik sebagai masukan awal hitungan iterasi. Proses iterasi ditetapkan dengan pendekatan konvergensi nilai volume hidrograf satuan. Meskipun demikian, prosedur hitungan tetap didasarkan pada prinsip superposisi dan linieritas hubungan hujan dan aliran dalam sistem DAS (Rachmad Jayadi, 2000).
4. HASIL PEMBAHASAN
ANALISIS
DAN
4.1. Perubahan Tataguna Lahan Perubahan tataguna lahan pada suatu DAS akan mempengaruhi besarnya limpasan permukaan dan debit banjir sungai. Hasil analisis tataguna lahan di DAS Dengkeng dan DAS Jlantah dapat dilihat pada Tabel 1. dan Tabel 2. 9
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
campur semak Hutan Sekunder Hutan tanaman
7,30
36, 30
4,79
30
131,28
77
7,11
30
Tubuh Air
1,54
100
-
-
Nilai CNkomposit
71,74
Tabel 2. Penggunaan Lahan DAS Dengkeng dan DAS Jlantah Penggunaan Lahan DAS Dengkeng 2006 Luas Persentase (Km2) (%)
Luas (Km2)
Persentase (%)
Pemukiman
202,59
25
17,60
17
Sawah
355,05
44
28,9
27
35,48
5
28,74
27
72,10
9
18,89
18
Hutan Sekunder
7,30
1
4,79
4
Hutan tanaman
131,28
16
7,11
7
Tanah Terbuka
1,15
0
-
-
Tubuh Air
1,54
0
-
-
Jumlah
806,48
100
106,03
100
Nama Unsur
Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering campur semak
Penggunaan Lahan DAS Jlantah 2006
Dari perhitungan diatas diperoleh bahwa nilai CNkomposit tahun 2003, 2006 dan 2009 di DAS Dengkeng sebesar 71,74 dan di DAS Jlantah sebesar 68,46. Dalam kurun waktu 7 tahun perubahan tata guna lahan tidak begitu signifikan. 4.2. Debit Banjir Rancangan Hasil perhitungan analisis frekuensi adalah metode Log Pearson Tipe III yang memenuhi syarat. Dalam analisis perhitungan debit banjir rancangan terlihat bahwa pola hidrograf yang terbentuk dari masing-masing kala ulang dan tentu dipengaruhi oleh hujan efektif. Untuk kala ulang 2 tahun debit puncaknya sebesar 476,63 m3/s, kala ulang 5 tahun 597,63 m3/s, kala ulang 10 tahun 659,28 m3/s, kala ulang 25 tahun 721,96 m3/s dan kala ulang 50 tahun 760,47 m3/s di DAS Dengkeng. Sedangkan di DAS Jlantah kala ulang 2 tahun sebesar 84,34 m3/s, kala ulang 5 tahun 148,75 m3/s, kala ulang 10 tahun 203,82 m3/s, kala ulang 25 tahun 289,13 m3/s dan kala ulang 50 tahun 364,68 m3/s, dapat dilihat pada Gambar 2. dan Gambar 3. berikut ini.
Luas tataguna lahan pada DAS Dengkeng sebagian besar merupakan sawah 355 km2, pemukiman sebesar 202 km2. Sedangkan DAS Jlantah luas tataguna lahan sebagian besar adalah sawah sebesar 29 km2 dan pertanian lahan kering 28 km2. Tabel 3. Perhitungan CNkomposit tahun 2003, 2006 dan 2009 DAS Dengkeng dan DAS Jlantah
Pemukiman Sawah Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering
Penggunaan Lahan DAS Jlantah 2006 Luas (Km2) CN 17,60
92, 89
28,90
76, 65
28,74
66
800 700
Debit (m3/s)
Nama Unsur
Luas Penggunaan Lahan DAS Dengkeng 2006 Luas (Km2) CN 89, 94, 202,59 92 65, 76, 355,05 84
68,46
Hidrograf Banjir 2 thn Hidrograf Banjir 5 thn Hidrograf Banjir 10thn Hidrograf Banjir 25 thn
600 500 400
35,48
85, 66
72,10
85, 89, 77
300 200
18,89
100
66, 77
0 0
10
5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
Jam-Ke
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
Gambar 3. Hidrograf Banjir DAS Dengkeng dari CN 2006.
puncak dan hujan efektif masing-masing DAS. Hasil analisis perhitungan tata guna lahan disajikan pada Tabel 4. dan Tabel 5. berikut. Tabel 4. Perhitungan tataguna lahan di DAS Dengkeng 2025
400 350 Hidrograf Banjir 2 thn Hidrograf Banjir 5 thn Hidrograf Banjir 10thn Hidrograf Banjir 25 thn
Debit (m3/s)
300 250 200 150 100 50 0
Luas Penggunaan Lahan DAS Dengkeng 2006 (Km2)
Rencana Luas
Luas kawasan yang
kawasan vegetatif (Km2)
belum di rehabilitasi (Km2)
Pemukiman
202,59
164,29
38,30
Sawah
355,05
23,42
331,63
Pertanian Lahan Kering
35,48
3,08
32,40
Pertanian Lahan Kering campur semak
72,10
68,73
3,37
Hutan Sekunder
7,30
6,47
0,83
Hutan tanaman
131,28
61,85
69,43
Tanah Terbuka
1,15
0,77
0,38
Tubuh Air
1,54
0
1,54
Jumlah
806,48
328,60
477,88
CNkomposit 2003,2006,2009
71,74
CN 2025
42,51
Nama Unsur
Jam-Ke 0
10
20
30
40
50
Gambar 4. Hidrograf Banjir DAS Jlantah dari CN 2006.
Debit puncak dalam perhitungan analisis hidrograf banjir yang terjadi pada saat kejadian tanggal 26 Desember 2007 di DAS Dengkeng sebesar 893,64 m3/s. Sedangkan di DAS Jlantah debit puncaknya adalah 375,34 m3/s. Berdasarkan hitungan hidrograf banjir rancangan diatas maka debit banjir yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2007 di DAS Dengkeng dan DAS Jlantah merupakan banjir rancangan dengan kala ulang diatas 50 tahun. Berdasarkan informasi banjir dari Nippon Koei CO.,LTD (2008) banjir saat itu merupakan banjir dengan kala ulang 55 tahun. 4.3. Simulasi Model dalam Aspek Tataguna Lahan Menurut BPDAS sungai Solo, salah satu upaya pokok dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah berupa pengaturan penggunaan lahan dan usahausaha rehabilitasi hutan dan konservasi tanah. Rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan bertujuan untuk memulihkan fungsi hidrologi DAS dalam jangka waktu 15 tahun yang akan datang. Dalam rencana teknik rehabilitasi hutan dan lahan ini mempengaruhi nilai CN pada tahun 2025 serta mempengaruhi debit
Dari hasil simulasi pengaturan tataguna lahan dari BPDAS Solo untuk 15 tahun yang akan datang di DAS Dengkeng, terlihat mengalami penurunan dari 71,74 menjadi 42,51. Penurunan nilai CN di DAS Dengkeng ini, bukan berarti terjadi pengurangan pada masing-masing luas kawasan di 15 tahun yang akan datang tetapi luas vegetatif yang semakin bertambah untuk masing-masing kawasan. Tabel 5. Perhitungan tataguna lahan di DAS Jlantah 2025 Nama Unsur
11
Luas Penggunaan Lahan DAS Jlantah 2006 (Km2)
Rencana Luas
Luas kawasan
kawasan vegetatif (Km2)
yang belum di
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
rehabilitasi (Km2)
400 300
4,79
0
4,79
Hutan Tanaman
7,11
1,90
5,21
Permukiman Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering campur dengan semak
17,60
0,65
16,95
28,74
0,27
28,48
18,89
11,58
7,31
Sawah
28,90
0,66
28,24
Jumlah CNkomposit 2003,2006,2009
106,03
15,05
90,98
68,46
CN 2025
58,75
350
Debit (m3/s)
Hutan Lahan kering sekunder
250 150 100 50 0
Jam-Ke 0
5
10 15 20 25 30 35 40 45
Gambar 6. Hidrograf Banjir rancangan DAS Jlantah kala ulang 50 tahun CN 2006 dan CN 2025.
Untuk di DAS Jlantah terlihat bahwa juga terjadi penurunan nilai CN dari 68,46 menjadi 58,75. Penurunan nilai CN ini akan mempengaruhi hidrograf banjir rancangan di 15 tahun yang akan datang. Penurunan debit puncak banjir rancangan tahun 2025 kala ulang 50 tahun DAS Dengkeng disajikan dalam Gambar 4. berikut.
Sedangkan di DAS Jlantah debit banjir rancangan terlihat bahwa debit puncak untuk kala ulang 50 tahun dari tahun 2006 sebesar 364 m3/s mengalami penurunan pada tahun 2025 sebesar 298 m3/s. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan
800 700
Debit (m3/s)
Hidrograf Banjir 50 thn CN 2006
200
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam penelitian pengendalian banjir dengan kosep pengaturan tataguna lahan di DAS Dengkeng dan DAS Jlantah di hulu Bengawan Solo, dapat disimpulkan bahwa tataguna lahan di DAS Dengkeng dan DAS Jlantah tahun 2003, 2006 dan 2009 tidak mengalami perubahan fungsi lahan yang signifikan. Salah satu penyebab banjir pada tanggal 26 Desember 2007 di Bengawan Solo karena faktor alam yaitu curah hujan yang tinggi, ini ditandai dengan hasil hitungan hujan harian selama 20 tahun terakhir dari tahun 1990 sampai dengan 2009. Di DAS Dengkeng curah hujan bulan Desember 2007 sebesar 72,7 mm sedangkan di DAS Jlantah sebesar 105 mm. Sehingga untuk mengatasi banjir yang semakin besar di masa yang akan datang dilakukan upaya pengendalian banjir dengan
600 500 400
Hidrograf Banjir 50 thn CN 2006 Hidrograf Banjir 50 thn CN 2025
300 200 100 0 0
10
20
30
40
50
60
Jam-Ke
Gambar 5. Hidrograf Banjir rancangan DAS Dengkeng kala ulang 50 tahun CN 2006 dan CN 2025. Dari perhitungan debit banjir rancangan DAS Dengkeng diatas terlihat bahwa debit puncak untuk kala ulang 50 tahun dari tahun 2006 sebesar 760 m3/s mengalami penurunan pada tahun 2025 sebesar 256 m3/s.
12
ISSN 2338-6762 Jurnal Tekno Global, Vol. 3 No. 1, Des 2014 Fakultas Teknik UIGM
Yulyana Aurdin
cara melakukan rencana rehabilitasi hutan dan lahan untuk 15 tahun yang akan datang. Hasilnya selain nilai CN mengalami penurunan yang signifikan yaitu di DAS Dengkeng dari 71,74 menjadi 42,51 sedangkan di DAS Jlantah dari 68,47 menjadi 58,75 juga mampu mengurangi debit puncak banjir dari 66,32% sampai 70,81% di DAS Dengkeng, 18,05% sampai 34,93% di DAS Jlantah.
Bendung Colo di Sukoharjo dan Jurug di Surakarta), Tesis, Magister Pengelolaan Bencana Alam, Program Pascasarjana Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Rachmad Jayadi., 2000, Hidrologi I, Pengenalan Hidrologi, Diktat Kuliah, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Soemarto, C.D., 1987, Hidrologi Teknik,
2. Saran Dengan memperhatikan hasil penelitian tersebut maka beberapa saran terkait antara lain: 1. Perlu adanya data stasiun hidrometri dan data stasiun hujan otomatis yang bisa mewakili kondisi hidrologi di kawasan masing-masing DAS. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai pengaruh perubahan tataguna lahan terhadap hidrograf satuan agar hitungan hidrograf banjir menjadi lebih akurat.
Penerbit Erlangga, Jakarta. Sri Harto Br., 1993, Analisis Hidrologi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Umar Mahfudi., 2010, Identifikasi Penyebab dan Upaya Non-Struktural Pengendalian Banjir Kali Sampean (Tesis), Magister Pengelolaan Bencana Alam, Program Pascasarjana Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
3. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2008, Nippon Koei CO.,LTD., Flood Damage and Scale of December 25 Flood in The Bengawan Solo River Basin, Tokyo. Anonim., 2009, Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai Satuan Pengelolan Daerah Aliran Sungai Solo, BPDAS Solo, Solo. Bambang Triatmodjo., 2009, Hidrologi Terapan, Beta Offset, Yogyakarta. Gunawan., 2009, Studi Banjir Bengawan Solo 2007 Untuk Peningkatan Kinerja Mitigasi Bencana Banjir (Studi kasus pada anakanak Sungai Bengawan Solo antara 13