BAB IV RELEVANSI PEMIKIRAN TAQIYUDDIN AL-NABHANI TENTANG METODE KESEIMBANGAN EKONOMI DALAM ISLAM DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
A. Analisis terhadap Pendapat Tagiyuddin al-Nabhani tentang Metode Keseimbangan Ekonomi dalam Islam dan Relevansinya dengan Pemberdayaan Ekonomi Umat Pada bab terdahulu telah diJelaskan pemikiran Taqiyuddin alNabhani mengenai metode keseimbangan ekonomi dalam Islam. Menurut alNabhani, Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat, dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya di segelintir orang (orang kaya saja) atau sistem konglomerasi. Apabila dalam suatu mengalanmi kesenjangan yang lebar dalam memenuhi kebutuhannya (seperti sekarang ini), maka negara harus mengambil tindakan untuk mencegahnya, dengan menciptakan pemerataan ekonomi di tengah masyarakat.1 Adalah sebuah fakta, saat ini fenomena bobroknya sistem ekonomi di berbagai negara diakibatkan karena sirkulasi kekayaan hanya berputar di segelintir orang yang punya akses ekonomi dan kekuasaan. Pada akhimya, gap atau kesenjanganlah yang dialami manusia dalam memenuhi hajat
1
Taqiyuddin al-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Altematif Perspektif Islam, terj. Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm 244.
57
58
hidupnya. Memang kenyataan ini tidak perlu dibantah walaupun sebagai sesuatu yang absurd. Begitu pula situasi ekonomi yang dialami oleh masyarakat Islam secara makro, khususnya di Indonesia, sangatlah memprihatinkan dengan terjadinya kesenjangan yang sangat tajam antara yang kaya ataupun yang memiliki akses kekuasaan dengan rakyat miskin yang nyaris tidak memiliki kesempatan dan akses untuk melakukan perubahan. Bahkan model konglomerasi di Indonesia kian mendominasi yang menurut Revrisond Baswir sebagai siklus ekonomi yang sangat mengkawatirkan.2 Seakan sudah menjadi hukum alam dan kemauan Tuhan, setiap saat dapat disaksikan ada sebagian orang Islam (borjuis santri) yang berbodong-bodong pergi ke Makkah untuk berhaji, bahkan ada yang berulang-ulang, sementara di sisi yang lain, lebih banyak pula orang Islam yang hanya sekadar untuk makan saja sudah kesulitan, apalagi untuk membiayai sekolah anaknya. Memang,
adanya
kesenjangan
antar
penduduk
dalam
suatu
masyarakat pada hakekatnya bersumber dari problema kemiskinan. Untuk itu, setiap upaya mengurangi tingkat kesenjangan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari upaya menanggulangi dan memerangi masalah kemiskinan yang diakibatkan oleh tidak adilnya sistem ekonomi.3 Berdasarkan fakta tersebut, perlu adanya solusi untuk keluar dari himpitan kesenjangan ekonomi ini meskipun memerlukan perjuangan besar
2
Revrisond Baswir, Agenda Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IDEA, 2003, hlm. 79. 3 Heru Nugroho, Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm.181.
59
dan gigih dari setiap komponen umat, mulai dari kebijakan penguasa (good will) yang memihak pada pemerataan ekonomi sampai upaya dari masyarakat sendiri. Setiap pribadi muslim ditantang untuk lebih keras dalam bekerja, berwirausaha (enterpreneurship), lebih win-win dalam bekerja sama, komunikatif dalam beriteraksi, lebih skillful dalam memfasilitasi jaringan kerja, dan lebih profesional dalam mengelola potensi-potensi dan kekuatankekuatan rill ekonomi umat. Karenanya, di samping penguasaan terhadap lifeskill atau keahlian hidup, ketrampilan berwirausaha, yang lebih riil dan mendesak adalah dibutuhkan pengembangan dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan pemberian kesempatan kepada rakyat menengah ke bawah (kecil). Namun sungguh sangat disayangkan, pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan pemberian kesempatan kurang dilirik. Pengembangan dan pemberdayaan ekonomi selama uii hanya dimkmati oleh kalangan menengah ke atas (konglomerat-borjuis). Akibatnya, gap si kaya dan si miskin semakin lebar. Padahal, kunci utama terhadap perbaikan-perbaikan sistem ekonomi adalah ada pada pemerintah dengan kebijakan-kebijakan ekonominya. Memang, persoalan pemerataan pendapatan dan keadilan ekonomi merupakan masalah yang sangat krusial dan sensitif, mengingat keduanya sering terlupakan selama ini. Karenanya, tuntutan untuk mewujudkan kedua hal tersebut secara simultan menjadi tuntutan semua pihak. Maka tema-tema kritis seperti distribusi aset, ekonomi rakyat, ekonomi umat, dan demokrasi
60
ekonomi semakin meluas. Di Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, potensi ekonomi umat menjadi sangat penting. Prinsip keadilan dan pemerataan pendapatan yang menjadi prinsip ekonomi Islam harus mengandung makna berlanjut secara ekonomi dan dapat diterima secara politis. Bisa saja karena prinsip keadilan, golongan masyarakat yang terkena dampak mendapat bantuan dalam bentuk subsidi. Subsidi langsung merupakan bagian penting dalam merespon masalah yang ditimbulkan oleh kesenjangan. Untuk jangka menengah, keberpihakan kepada ekonomi rakyat kecil akan dan bisa dilakukan dengan cara memperkuat mekanisme dan distribusi pasar, karena ia merupakan elemen kritis dalam pencapaian pemerataan. Sedangkan dalam segmen politik, arah pemerataan harus ditujukkan pada seluruh komponen rakyat. Pemerataan pendapatan harus ditujukkan pada seluruh komponen masyarakat tanpa disknminasi terhadap kelompok tertentu. Tidak adanya kebijakan pemerataan akan berdampak negatif pada stabilitas dan pertumbuhan eknomi itu sendiri. Karenanya, masalah pemerataan pendapatan dan pengentasan kemiskinan merupakan prioritas utama.4 Saat ini sangat dibutuhkan sebuah strategi dan metode pemberdayaan ekonomi yang merata yang dapat dinikmati oleh kalangan ekonomi bawah (rakyat miskin). Pada dataran ini, gagasan Taqiyuddm al-Nabhani yang mencoba memberikan gagasan mengenai strategi atau metode pemberdayaan ekonomi umat yang merata sangat layak untuk dipertimbangkan. Sebagai 4
Anggito Abimanyu, “Pemulihan Ekonomi Indonesia dan Pemulihan Ekonomi Umat”, dalam Amin Abdullah, dkk., Merentas Jalan Baru Ekonomi Muhamamdiyah, Yogyakarta: PT. TiaraWacana, 2000, hlm. 74-75.
61
seorang tokoh yang mempunyai obsesi dan idealisasi agar sistem Islam dapat dihidupkan kembali sebagai altematif, ia banyak menawarkan pemikiran ekonoininya yang umk guna menyerang kelemahan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Kedua sistem tersebut oleh sebagian ahli dianggap telah gagal dalam membangun paradigma ekonomi dunia, sehingga diperlukan sistem ekonomi altematif, yaitu sistem ekonomi Islam.5 Sebenamya,
para
pemikir
ekonomi
kapitalis
telah
berusaha
memecahkan problem sebagaimana di atas, namun tidak akan berhasil. Sebab, ketika membahas teori tentang distribusi pendapatan,;meEeka mengabaikan buruknya distribusi pendapatan personal, bahkan mereka hanya memaparkan
perhitungan-periutungan
tanpa
memberikan
solusi
dan
komentar sedikitpun. Lebih dari itu, karena yang menjadi prinsip dasar ekonomi kapitalis adalah liberalisasi (kebebasan) yang ciri khasnya adalah sebuah prinsip bahwa yang mengusahakan alat-alat keperluan manusia adalah individu. Individulah yang menentukan apa dan berapa dia akan menghasilkan, dengan siapa dia akan membuat dan dengan harga berapa dia akan menjual.6 Begitu pula para ekonom sosialis, mereka tidak menemukan cara untuk memecahkan masalah biimknya distribusi tersebut, selain hanya membatasi hak milik dengan cara memberangus hak milik tersebut. Sehingga orang-orang sosialis akhimya memberikan solusi dengan cara melarang hak 5
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995, hlm. 2, dst. 6 Syafruddin Parwiranegara, Ekonomi dcm Keuangan; Makna Ekonomi Islam, Jakarta: Haji Masagung, 1988, hlm. 270.
62
milik tersebut, karena niemang ciri khas utama sistem ekonomi sosialis memberangus kepemilikan individu. Individu tidak boleh memiliki apa yang mereka hasilkan, karena yang dihasilkan dipandang sebagai milik pemerintah.7 Sementara sistem ekonomi Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin al-Nabhani, justru telah menjamin distribusi kekayaan tersebut dengan baik, yaitu dengan menentukan tata cara pemilikan, tata cara mengelolaan kepemilikan, serta menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya agar bisa hidup sebanding. Dengan demikian,
sistem
ekonomi
Islam
dapat
dijadikan
altematif
untuk
memecahkan masalah buruknya distribusi kekayaan ala kapitalis dan sosialis. Dalam konteks ini, Taqiyuddin al-Nabhani menyatakan; Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat, dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya di segelintir orang (orang kaya saja) atau sistem konglomerasi. Apabila dalam suatu masyarakat mengalami kesenjangan yang lebar dalam memenuhi kebutuhannya (seperti sekarang ini), maka negara mengambil tindakan untuk mencegahnya, dengan menciptakan pemerataan ekonomi di tengah masyarakat. Selanjutnya, Taqiyuddin al-Nabhani mencoba menawarkan metode-metode pemerataan ekonomi, seperti: Pertama, subsidi oleh pemerintah terhadap rakyat dengan cara memberikan harta negara (bait al-mal atau anggaran negara) kepada orang-
7
Ibid. hlm. 267-268.
63
orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya, misalnya untuk modal usaha. Dengan pemenuhan tersebut akan tercipa keseimbangan (equilibrium) masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Kedua, apabila negara tidak mempunyai anggaran, atau harta negara tidak cukup (devisit) imtuk mewujudkan keseimbangan (equilibrium) tersebut, maka negara tidak boleh memungut harta dari hak milik rakyat. Karenanya, negara tidak boleh menarik pajak dalam rangka mewujudkan keseimbangan tersebut. Ketiga, sebisa mungkin pemerintah harus menciptakan keseimbangan ekonomi (economic equilibrium) dengan menyuplai rakyat yang miskin, dan menghilangkan ketergantunan seseorang terhadap orang lain dalam pemenuhan ekonominya. Keempat, larangan penimbungan uang (menyimpan uang) oleh sekelompok masyarakat, sebab akan menyebabkan turunnya tingkat pendapatan, serta mengakibatkan pengangguran, yang efek selanjutnya menambah angka kemiskinan. Menurutnya, penimbunan uang berbeda dengan tabungan, jika tabungan diperuntukan untuk saving atau untuk memenuhi kebutuhan yang datang sewaktu-waktu, sedangkan penimbunan tidak. Tabungan tidak akan mempengaruhi aktivitas perekonomian.8 Jika dikomparasikan dengan upaya pemberdayaan ekonomi umat, maka keempat metode pemberdayaan ekonomi yang digagas Taqiyuddin alNabhani sangat relevan. Hanya saja, untuk larangan penimbunan uang 8
Taqiyuddin al-Nabhani, op.cit., hlm. 244-251
64
(menyimpan
emas)
penimbunan
dengan
masih
sulit
penyimpanan
diimplementasikan, (menabung)
karena
yang
batasan
dikemukakan
Taqiyuddin al-Nabhani belum jelas. Memberdayakan ekonomi umat sendiri berarti upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat Islam dari kondisi tidak mampu, serta melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan ekonorni, sebagai upaya membangun kemandirian umat di bidang ekonomi. Memberdayakan ekonomi umat juga mengandung arti melindungi rakyat dan mencegah terJadinya persaingan yang tidak seimbang serta mencegah eksploitasi golongan ekonomi yang kuat atas yang lemah.9 Dari uraian di atas nampak bahwa pemikiran Taqiyuddin al-Nabhani sangat dipengamhi oleh keyakinan dan pemahamaa keagamaannya sebagai seorang muslim yang cenderung ke pemikiran kembali kepada orlodoxi Islam (al-Qur'an dan hadits) apa adanya, dan sebagai aktivis gerakan politik Islam yang akan membebaskan dunia Islam dari dominasi kapitalisme Barat. Ditambah pengalamannya ketika menjabat sebagai Pengajar di Kementerian Pendidikan dan qadli di Palestina yang menyaksikan sendiri pengaruh imperialisme dan kapitalisme Barat yang kian dominan di semua sektor. Dengan semangat antipenjajah, ia mencoba membangun idealisasi sistem ekonomi Islam dengan penekanan pada apa yang pemah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan praktek al-Kulafa’ al-Rasyidun. Kecendemngan pemikiran demikian juga terdapat pada pemikir-pemikir 9
Mubyarto, Ekonomi Rakyat, Program IDT dan Demokrasi Ekonomi Indonesia, Yogyakarta: Adtya Media, 1997, hlm. 37-38.
65
Islam kontemporer lainnya seperti Abu A’la al-Maududi, Hasan al-Bana dan Sayyid Quthub dengan Ikhwan al-Muslimin-nya, Said Hawa dan Ziaudin Sardar. Mereka juga sangat commited dengaa aspek reiligius budaya Islam dengan mengaggap bahwa Islam telah sempurna, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi sehingga tidak birti.ih metode maupim teori-teori Barat. Hanya saja, Taqiyuddin al-Nabhani telah mampu merespon persoalanpersoalan aktual mendasar yang dihadapi umat Islam saat ini yaitu kemiskinan dan kesenjangan ekonomi dengan melakukan analisa-analisa, kemudian memberikan solusi sebagai pilihan altematif dengan menyuguhkan sistem ekonomi Islam yang mandiri yang merujuk pada al-Qur’an, hadits Nabi dan praktek Khulafa’ al-Rasyidun seperti metode pemberdayaan ekonomi. Dengan demikian, dapat ditegaskan lagi bahwa gagasan Taqiyuddin al-Nabhani mengenai metode pemerataan ekonomi dalam Islam sangat sesuai dan relevan sekaligus signifikan dengan pemberdayaan ekonomi umat.
B. Analisis terhadap Dasar Hukum yang Digunakan Taqiyuddin alNabhani Jika mengamati dasar-dasar hukum yang digunakan Taqiyuddin alNabhani mengenai metode pemerataan ekonomi dalam Islam, maka akan dapat diketahui bahwa dalam menggali hukum (istinbath al-hukm), ia menggalinya langsung dari sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur’an, alHadits. Untuk lebih jelasnya dapat dirinci sebagai berikut:
66
Pertama, al-Qur’an. Sebagaimana pemikir-pemikir Islam lainnya Taqiyuddin al-Nabhani mendasarkan pemikirannya yang pertama bersumber pada al-Qur'an, yakni wahyu Allah yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad. Di dalam al-Qur’an berisi tata aturan hukum yang bersifat global, untuk itu sebagai penjelas dari ayat-ayat yang global tersebut, maka dipakailah hadits. Karenanya, dalam menetapkan metode pemerataan ekonomi, ia menggalinya langsung dari al-Qur’an misalnya ayat:
Artinya : “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. (Q.S. al-Hasyr [59]: 7).10 Kedua, hadits. Hadits berfungsi sebagai penjelas bagi keberadaan al-Qur’an Di samping itu hadis memuat dan menyempumakan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur'an. Hadits terkadang juga memberikan hukum baru yang belum tertera dalam al-Qur'an, ataupun membenarkan amalan yang sudah dilakukan oleh sahabat Nabi, sehingga dikenalah dalam Islam perbuatan yang disunnahkan. Untuk mendukung gagasannya, al-Nabhani merujuk hadits berikut:
10
Tim Penyelenggara Penterjemah al-Qur'an, al-Our'an dan Terjemahnya, Medinah: Mujamma' al-Malik Fahd li Thiba'at al-Mushafal-Syarif, 14r8 H. hlm. 916.
67
Artinya: “Jika kalian mau, kalian bagikan saja rumah-rumah dan hartaharta kalian kepada orang-orang Muhajirin, lalu kalian bisa ikut mendapatkan bagian dalam ghanimah mi bersama mereka. Dan apabila kalian mau, rumah-rumah dan harta-harta kalian untuk kalian saja, dan kami tidak akan membagi sedikitpun ghanimah tersebut untuk kalian”. Lalu orang-orang Anshar berkata: “Justru kami (ingin) membagi rumah-rumah dan harta-harta kami untuk saudara-saudara kami, dan kami lebih mengutamakan mereka (Muhajirin) untuk mendapatkan ghanimah tersebut”.11
Selanjutnya, al-Nabhani merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari:
Artinya: “Sebaik-baik sedekah adalah sedekah; dari orang-orang kaya”. (H.R. Bukhari).12
Memang, bahwa suinber bangunan ekonomi Islam sebagaimana juga dikemukakan oleh pemikir Islam lainnya, adalah al-Qur’an dan sunnah. Kemudian dilakukan penafsiran kembali kepada kedua sumber tersebut yang mengatur berbagai pokok persoalan seperti nilai, pembagian kerja, sistem harga dan konsep “harga yang adil”, kekuatan penumtaan dan penawaran, konsumsi dan produksi, distirbusi, pengeluaran dan perpajakan pemerintah, peran negara, lintas perdagangan, monopoli, pengendalian harga dan lainnya. Beberapa penafsiran oleh cendikiawan dan ahli ekonomi Islam merupakan
11 12
Taqiyuddin al-Nabhani, op.cit.,. 245. Ibid, hlm. 246..
68
pengembangan yang telah diberi dasar operasional mengenai ide-ide ekonomi sejak mula-mulanya Islam.13 Secara tersurat, banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah ekonomi bisnis. Begitu pula hadits-hadits Nabi yang memberikan isyarat pentingnya melakukan kegiatan ekonomi. Ajaran tentang mfaq, shadaqah, wakaf, hibah, kewajiban memelihara anak yatim, membantu orang miskin, membebaskan perbudakan, mengisyaratan perintah untuk bekerja keras dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut.14 Dengan merujuk sumber hukum Islam yang pokok (al-Qur’an dan hadits), Taqiyuddin al-Nabhani mencoba menggali dan membangun sistem ekonomi Islam yang ideal. Sistem ekonomi Islam dianggapnya sebagai sebuah sistem ekonomi altematif setelah sistem ekonomi kapitalis dan sosialis gagal menciptakan peradaban dunia yang equel dan adil. Penggalian hukum Islam dengan langsung merujuk pada ortodoxsi Islam yang dilakukan oleh Taqiyuddin al-Nabhani memperlihatkan kecenderungan pemikiran yang percaya kepada doktrin Islam sebagai satusatunya alternatif bagi kebangkitan umat manusia. Karenanya, Taqiyuddin alNabhani sangat commited dengan aspek reiligius budaya Islam dengan mengaggap bahwa Islam telah sempuma, mencakup tatanan sosial, politik dan ekonomi sehingga tidak butuh metode maupun teori-teori Barat. Karenanya, garapan utama yang dilakukan Taqiyuddin adalah menghidupkan 13
M. Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj, Nastangin, Yogyakarta: PT. DanaBakti Wakaf, 1997, hlm. 23-24. 14 Sukriyanto, “Teologi Bisnis: Menangkap Pesan Wahyu Atas Persoalan Ekonomi Umat”, dalam Amin Abdullah, dkk., Meretas Jalan Baru Ekonomi Muhammadiyah, Yogyakarta: P.T. Tiara Wacana^ 2000, hlm. 52-53.
69
Islam sebagai agama, budaya sekaligus perdaban, dengan menyerukan kembali kepada sumber asli (al-Qur'an dan al-sunnah) dan mempraktikkan ajaran Islam sebagaimana yang dicontohkan Rasul dan Khulafa' al-Rasyidun. Sunnah-sunnah Rasul harus dihidupkan dalam kehidupan modern. Itulah yang diupayakan oleh Taqiyuddin al-Nabhani bersama Hizb al-Tarhir yang ia dirikan.