Bab III Studi Kasus
III.1 Decline Rate
Studi kasus akan difokuskan pada data penurunan laju produksi (decline rate) di 31 lokasi sumur reservoir panas bumi Kamojang, Garut. Persoalan mendasar dalam penilaian kinerja reservoir adalah menghitung umur produktif reservoir dan mengestimasi kapasitas produksi dalam t-jangka waktu ke depan. Parameter yang paling sederhana dalam penghitungan ini adalah laju produksi. Cara yang rasional dalam menjawab persoalan di atas dengan menggunakan perhitungan adalah memplot variabel laju produksi terhadap waktu atau terhadap produksi kumulatif. Perluasan kurva produksi terhadap waktu dapat menunjukkan umur ekonomi reservoir. Plot laju produksi terhadap waktu pada umumnya akan menunjukkan laju produksi yang cukup tinggi pada awal produksi dan terus menurun seiring pertambahan waktu.
Decline curve analysis digunakan untuk estimasi perhitungan cadangan yang diamati di suatu lapangan, mencerminkan tingkat keekonomian lapangan tersebut dan memprediksi kinerja produksi suatu lapangan berdasarkan data historis. Perhitungan decline curve didasarkan pada penurunan laju produksi. Dengan menggunakan asumsi bahwa laju produksi secara kontinu mengikuti trend yang sudah ada, maka besarnya cadangan panas bumi dapat diperkirakan dari model trend laju penurunan produksi.
Data yang digunakan adalah data produksi dari 31 sumur panas bumi yang berlokasi di Kamojang Jawa Barat yang di ambil dari tesis Isnani (2005). Nilai decline rate setiap sumur diperoleh dari perhitungan logaritma normalisasi uji produksi yang diregresikan terhadap waktu. Lokasi sumur dinyatakan dengan koordinat easting dan Northing dengan satuan meter. Area pengamatan berkisar antara -22500 sampai -19500 easting, dan 700 sampai 3700 northing. Laju penurunan produksi sumur dianalisis dengan menggunakan laju penurunan eksponensial. KMJ – xx menyatakan sumur panas bumi Kamojang, KMJ–01 artinya sumur panas bumi kamojang nomor 1.
23
III.2 Penaksiran Model Semivariogram
Tabel III.1 memperlihatkan koordinat dan laju penurunan pada 31 sumur produksi. Gambar III.1 menunjukkan lokasi sumur produksi. Sari numerik data decline rate memperlihatkan nilai skewness cukup besar yang menunjukkan bahwa distribusi data tidak simetris. Untuk itu dilakukan transformasi sedemikian sehingga distribusi data hasil transformasi lebih simetris. Dalam hal ini bentuk transformasi yang dipilih adalah z *(s) = 3 z (s) , dengan z (s) adalah nilai decline berkoordinat s = ( x, y ) . Dengan bentuk distribusi yang
rate di lokasi yang
simetris, penaksiran semivariogram menggunakan penaksir robust dapat dilakukan. Tabel III.1 Lokasi dan nilai decline masing-masing sumur No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Sumur
KMJ 26 KMJ 22 KMJ 30 KMJ 62 KMJ 27 KMJ 35 KMJ 36 KMJ 40 KMJ 44 KMJ 51 KMJ 37 KMJ 52 KMJ 41 KMJ 42 KMJ 46 KMJ 28 KMJ 31 KMJ 34 KMJ 33 KMJ 43 KMJ 39 KMJ 24 KMJ 25 KMJ 11 KMJ 14 KMJ 12 KMJ 17 KMJ 18 KMJ 20 KMJ 45 KMJ 38
Koordinat X (m)
Y (m)
-21664 -21795 -21519 -21786.4 -21827 -21261 -21631 -21989 -21305 -21391 -22107 -22186 -22233 -22216 -22363 -21545 -21536 -21026 -20945 -20842 -20876 -20721 -20385 -20576 -20229 -19917 -20008 -20385 -19621 -20991 -21011
2344 2089 2652 2697.55 2651 2517 3051 3058 3230 3626 1779 1526 2015 2398 2714 1710 1351 1689 1628 3168 3388 3466 3392 2943 2966 3033 2704 2613 2749 1059 725
Decline rate perbulan (z)
Data transformasi ( z *)
0.004 0.0032 0.010656 0.000894 0.00449 0.020705 0.003641 0.00528 0.01502 0.003841 0.00173 0.003631 0.00177 0.015377 0.00702 0.00142 0.00303 0.00691 0.0219 0.003779 0.01506 0.00019 0.01135 0.00151 0.00243 0.005025 0.00082 0.00065 0.00374 0.004454 0.005836
0.1587401 0.1473613 0.2200551 0.0963339 0.164974 0.2745944 0.1538415 0.1741318 0.2467308 0.1566083 0.1200463 0.1537005 0.1209645 0.2486703 0.1914751 0.1123991 0.1447041 0.1904698 0.2797787 0.1557611 0.2469496 0.057489 0.2247322 0.1147252 0.1344421 0.1712821 0.093599 0.0866239 0.1552234 0.1645319 0.1800411
24
4000 KMJ 24 KMJ 39 KMJ 43
KMJ 51 KMJ 40
KMJ 36
KMJ 44
north-south
KMJ 46 KMJ 27 KMJ 30 KMJ 35 KMJ 42 KMJ 62 KMJ 26 KMJ 22 KMJ 41 KMJ 34 KMJ 37 KMJ 28 KMJ 33 KMJ 52 KMJ 31 KMJ 45 KMJ 38
-23000
-22500
-22000
-21500
-21000
3000 KMJ 11 KMJ 14 KMJ 12 KMJ 20 KMJ 17 KMJ 18 2500 2000 1500 1000 500
-20500
-20000
east-west
Gambar III.1. Lokasi sumur produksi
Tabel III.2 Sari numerik data decline rate
Average Median Minimum Maximum Range Variance Skewness Kurtosis
Univariate Statistics Decline 0.00610835 0.003841 0.000190 0.021900 0.021710 0.000034341 1.468 1.327
Tabel III.3 Sari numerik data hasil transformasi Univariate Statistics data transformasi 0.165838071 0.1566083 0.0574890 0.2797787 0.2222898 0.0556255788 0.0030942050 0.370 -0.281
Average Median Minimum Maximum Range Standard Deviation Variance Skewness Kurtosis
25
3500
KMJ 25
-19500
0 -19000
0.019729
0.021176
0.2575498
0.2723691
0.018282
0.016834
0.015387
0.013940
0.012492
0.011045
0.009598
0.008150
0.006703
0.005256
0.003808
0.002361
0.000914
10.0 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
Gambar III.2. Histogram data decline rate
8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0
0.2427304
0.2279111
0.2130918
0.1982725
0.1834532
0.1686339
0.1538145
0.1389952
0.1241759
0.1093566
0.0945373
0.0797179
0.0648986
2.0 1.0 0.0
Gambar III.3. Histogram data hasil transformasi
Dari gambar histogram terlihat bahwa data hasil transformasi menunjukkan distribusi yang lebih simetris dan lebih mendekati distribusi normal dibandingkan dengan data sebelum transformasi.
Selanjutnya data hasil teransformasi dijadikan input untuk menghitung semivariogram eksperimental robust. Semivariogram eksperimental dihitung dalam empat arah utama yaitu Barat-Timur (BT), Utara-Selatan (US), Timur
26
Laut-Barat Daya (TLBD), dan Barat Laut-Tenggara (BLTG). Toleransi azimut yang digunakan adalah 10 derajat. Dalam setiap arah, lokasi dibagi ke dalam beberapa kelas jarak, dengan lebar setiap kelas jarak adalah 290 m (toleransi yang digunakan adalah ± 145 m).
Tabel berikut memperlihatkan nilai semivariogram eksperimental untuk keempat arah tersebut yang dihitung dengan menggunakan rumus pada persamaan 2.7.
Tabel III.4 Semivariogram eksperimental untuk empat arah Barat-Timur (BT) kelas h 290 580 870 1160 1450 1740
γˆ (h) 0.003319 0.005084 0.000632 0.011409 0.003861 0.005574
# pasangan lokasi 5 10 6 8 7 7
Utara-Selatan (US) kelas h 290 580 870 1160 1450 1740
γˆ (h) 0.00512 0.001011 0.007136 0.004706 0.001879 0.006636
#pasangan lokasi 4 8 8 4 5 6
Timur Laut- Barat Daya (TLBD) kelas h 580 870 1160 1450 1740
γˆ (h) 0.00474 0.005918 0.007352 0.00939 0.002543
#pasangan lokasi 6 6 7 14 12
Barat Laut-Tenggara (BLTG) kelas h
γˆ (h)
290 580 870 1160 1450 1740
0.001825 0.003126 0.002974 0.00438 0.004648 0.005782
27
#pasangan lokasi 3 7 9 6 6 6
semivariogram eksperimental
0.012 0.01 B-T
0.008
U-S
0.006
TL-BD
0.004
BL-TG
0.002 0 0
500
1000
1500
2000
jarak pisah (m)
Gambar III.4. Plot semivariogram eksperimental untuk keempat arah Nilai semivariogram eksperimental untuk keempat arah tidak terlalu jauh berbeda, sehingga
dapat
kita
anggap
semivariogram
tersebut
isotropik.
Maka,
semivariogram eksperimental dapat dihitung dengan hanya memperhatikan jarak pisah antar lokasi. Dengan demikian, diperoleh semivariogram eksperimental isotropik sebagai berikut
semivariogram eksperimental
Tabel III.5 Semivariogram eksperimental isotropik kelas h
γˆ (h)
290 580 870 1160 1450 1740
0.0018338 0.0028488 0.0029736 0.006212 0.0046484 0.0038184
0.007 0.006 0.005 0.004 0.003 0.002 0.001 0 0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
lag (m)
Gambar III.5. Plot semivariogram eksperimental isotropik
28
1800
Selanjutnya akan dicari model semivariogram yang dapat memodelkan semivariogram eksperimental dengan menggunakan regresi median melaui kopula. Pertama-tama akan ditaksir fungsi distribusi dari h yang merupakan jarak
pisah
antara
1 ⎛ Z *(s) − Z *(s + h) = ⎜ 2 ⎜⎝ 0.457
dua 2
sumur
dan
fungsi
distribusi
dari
T
⎞ ⎟ , dengan s, s + h ∈ D. Terlebih dahulu kita tinjau statistik ⎟ ⎠
deskriptif dari h sebagai berikut
Tabel III.6 Statistik deskriptif h Univariate Statistics
h Count Sum Average Median Minimum Maximum Range Standard Deviation Variance Skewness Kurtosis 25th Percentile 75th Percentile
160 179,345.81 1,120.9113 1,137.30 222.61 1,878.70 1,656.09 463.16454 214,521.38793 -0.076 -1.161 717.10 1,514.08
2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 |h|
0
Gambar III.6. Boxplot h
29
Distribusi dari h diasumsikan normal dengan mean 1120.9113 dan variansi 214521.39. Asumsi ini diuji dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Statistik uji bagi uji Kolmogorov-Smirnov adalah S = sup Fi ( h ) − Fi* ( h ) , dengan F adalah i
fungsi distribusi kumulatif empirik dari h dan F* adalah fungsi distribusi yang dihipotesiskan, dalam hal ini normal dengan mean dan variansi seperti tersebut di atas. Hasil perhitungan menghasilkan S = 0.076. Pada uji Kolmogorov-Smirnov, untuk tingkat keberartian 5% dan n > 40 , hipotesis bahwa h berdistribusi normal dengan mean 1120.91 dan variansi 214521.39 ditolak jika S >
1.36 n
dengan n adalah banyaknya pasangan lokasi sumur yang diikutkan dalam penghitungan semivariogram. (dalam kasus ini n = 160). Didapatkan
1.36 = n
0.108. Maka hipotesis bahwa h berdistribusi normal dengan mean 1120.91 dan variansi 214521.39 tidak ditolak. Dengan demikian, distribusi tersebut dapat digunakan untuk memodelkan distribusi dari h . 1 ⎛ Z *(s) − Z *(s + h) Selanjutnya akan diselidiki fungsi distribusi dari T = ⎜ 2 ⎜⎝ 0.457
Statistik deskriptif dari T adalah sebagai berikut
Tabel III.7 Statistik deskriptif T
Count Sum Average Median Minimum Maximum Range Standard Deviation Variance Skewness Kurtosis 25th Percentile 75th Percentile
Univariate Statistics 160 1.255843915 0.00784902447 0.003595175 0.000000785 0.054060000 0.054059215 0.009933334596 0.000098671136 1.866 3.826 0.000755788 0.011086000
30
2
⎞ ⎟. ⎟ ⎠
0.052258026
0.048654079
0.045050131
0.041446183
0.037842236
0.034238288
0.030634340
0.027030393
0.023426445
0.019822497
0.016218550
0.012614602
0.009010654
0.005406707
0.001802759
90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
T
Gambar III.7. Histogram T τ
Fungsi distribusi dari T diasumsikan Weibull ,yaitu G (T ) = 1 − e − ( t / θ ) ,dengan parameter θ = 0.0063 dan τ = 0.586 . Parameter θ dan τ ditaksir dari data. Asumsi
ini
juga
diuji
dengan
uji
Kolmogorov-Smirnov.
Perhitungan
menghasilkan S = 0.047. Dengan tingkat keberartian 5% didapatkan titik kritis yang sama seperti sebelumnya yaitu 0.108. Maka hipotesis bahwa T berdistribusi Weibull dengan parameter
θ = 0.0063 dan τ = 0.586 tidak ditolak. Dengan
demikian, distribusi tersebut dapat digunakan untuk memodelkan distribusi dari T. Selanjutnya kopula yang menggambarkan distribusi bivariat antara U = F ( h ) dan V = G (T ) akan dimodelkan dengan salah satu dari kopula yang dikenal yaitu kopula Clayton. Parameter α dari kopula Clayton akan ditaksir dengan menggunakan metode maximum likelihood sebagai berikut: 1. hitung nilai CDF untuk masing-masing pasangan ui = F ( hi ) dan vi = G (Ti ) , dengan i = 1, 2,...,n, di mana n adalah banyaknya pasangan lokasi yang diikutkan dalam penghitungan semivariogram yaitu n = 160, 2. selanjutnya bentuk fungsi n
ln L = ∑ ln ( c(u i , vi ) | α ) i =1
31
(3.1)
dengan c(u, v) =
∂ 2 C(u, v) , turunan kedua dari kopula C(u,v) (dalam hal ∂u∂v
ini kopula Clayton), 3. cari αˆ yang memaksimumkan fungsi (3.1), αˆ yang didapat adalah penaksir bagi α . Dari perhitungan yang dilakukan, didapatkan αˆ = 0.0571. Dengan demikian, kopula yang akan digunakan adalah C(u,v) = ( u −0.0571 + v −0.0571 − 1)
−
1 0.0571
.
Selanjutnya, kecocokkan kopula ini akan diuji dengan menggunakan uji Khikuadrat. Pertama-tama, daerah domain kopula, yaitu persegi [0,1] × [0,1] ∈ R 2 , dipartisi menjadi 25 persegi yang luasnya sama. Untuk setiap persegi, frekuensi titik (ui, vi) dihitung. Persegi dengan frekuensi yang kecil (kurang dari 5) digabung dengan persegi yang lain. Lalu terapkan uji khi-kuadrat. Dari hasil pengujian, didapatkan nilai p-value sebesar 0.79. Dengan tingkat keberartian 0.05, hipotesis bahwa kopula dari u dan v adalah Clayton dengan parameter α = 0.0571 tidak ditolak. Maka, kopula ini dapat digunakan.
Sekarang yang akan dilakukan adalah menentukan model semivariogram melalui regresi median kopula. Untuk kopula Clayton, v yang merupakan solusi bagi persamaan
∂ C (u, v) = 0.5 ∂u
adalah
v = (1 + u (0.5 −α
−α /(α +1)
− 1) )
−
1
α
.
Dengan
⎧⎪ G−1(v ), h >0 demikian, didapatkan model semivariogram isotropik yaitu γ ( h ) = ⎨ ⎪⎩ 0, h =0 atau, dengan u = F ( h ) , G (T ) = 1 − e − ( t / θ ) di mana θ = 0.0063 dan τ = 0.586 , τ
dan α = 0.0571 , model semivariogram tersebut dapat dituliskan sebagai
⎧ 0.0063⎛⎜ − ln ⎛⎜1−(1+ 0.038u −0.0571 )−17.51 ⎞⎟ ⎞⎟1.71 , h >0 ⎜ ⎪ ⎝ ⎠ ⎟⎠ ⎝ ⎨ γ ( h ) = 0, h =0 ⎪ ⎩ ⎛ 1 ⎛ x − 1120.91 ⎞ 2 ⎞ 1 exp ⎜ − ⎜ dx . dengan u = F ( h ) = ∫ ⎜ 2 ⎝ 463.16 ⎟⎠ ⎟⎟ −∞ 463.16 2π ⎝ ⎠ h
32
(3.2)
Plot semivariogram eksperimental isotropik (garis putus-putus) bersama dengan model semivariogram (garis solid) yang diperoleh adalah sebagai berikut
0.007 0.006 0.005 0.004 0.003 0.002 0.001 0 0
500
1000
1500
2000
jarak pisah (m)
Gambar III.8. Plot model semivariogram dan semivariogram eksperimental isotropik
III.3 Validasi Silang Model semivariogram yang diperoleh harus diuji validitasnya. Untuk itu dilakukan uji validasi silang (Kitanidis, 1997). Hipotesis yang diuji adalah bahwa z* merupakan realisasi dari proses spasial intrinsik dengan semivariogram γ ( h )
seperti pada persamaan 3.2. Pertama-tama lokasi sampel diberi nomor dari 1 sampai 31. Kemudian taksir nilai z* di s 2 dengan hanya menggunakan nilai z* di s1
melalui
ordinary
kriging.
Maka
didapatkan
zˆ *(s 2 ) = z *(s1 )
dan
σ 2K ( s 2 ) = 2γ ( s 2 − s1 ) . Hitung galat δ2 = z *(s 2 ) − zˆ *(s 2 ) dan galat standar ε2 =
δ2 . Prosedur yang sama dilakukan untuk menghitung galat yang σ (s 2 ) 2 K
lainnya. Untuk lokasi sampel ke-i, estimasi nilai zˆ *(si ) dengan menggunakan (i1) data pertama, lalu hitung nilai galat dan galat standar δi = z *(si ) − zˆ *(si ) dan εi =
δi , untuk i = 1, 2, ..., 31. Maka didapatkan nilai galat dan galat standar σ (si ) 2 K
seperti pada tabel berikut
33
Tabel III.8 Galat dan galat standar
no 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
z*
zˆ *
z*- zˆ *
σˆ K
0.147361 0.220055 0.096334 0.164974 0.274594 0.153842 0.174132 0.246731 0.156608 0.120046 0.153701 0.120964 0.24867 0.191475 0.112399 0.144704 0.19047 0.279779 0.155761 0.24695 0.057489 0.224732 0.114725 0.134442 0.171282 0.093599 0.086624 0.155223 0.164532 0.180041
0.15874 0.15376 0.18072 0.1483 0.16584 0.17765 0.16263 0.18027 0.1963 0.17097 0.15595 0.15223 0.14993 0.17633 0.16808 0.15377 0.1661 0.17547 0.1991 0.18182 0.19773 0.16049 0.18849 0.16981 0.16288 0.16574 0.15687 0.14836 0.17777 0.16824
-0.01138 0.066295 -0.08439 0.016674 0.108754 -0.02381 0.011502 0.066461 -0.03969 -0.05092 -0.00225 -0.03127 0.09874 0.015145 -0.05568 -0.00907 0.02437 0.104309 -0.04334 0.06513 -0.14024 0.064242 -0.07376 -0.03537 0.008402 -0.07214 -0.07025 0.006863 -0.01324 0.011801
0.073342 0.066989 0.061388 0.056983 0.060315 0.060526 0.059879 0.060933 0.062005 0.062622 0.060933 0.057755 0.05739 0.058342 0.059579 0.060135 0.060714 0.057675 0.060443 0.057874 0.057443 0.059352 0.058023 0.058781 0.059401 0.058237 0.057032 0.059077 0.060336 0.059937
Selanjutnya hitung statistik Q1 =
ε=
ˆ z*) (z*σˆ K
-0.15515 0.989641 -1.37463 0.292613 1.803108 -0.39336 0.192083 1.090719 -0.64014 -0.81319 -0.03692 -0.54135 1.720514 0.259592 -0.93457 -0.15076 0.401386 1.808561 -0.71702 1.125369 -2.44139 1.082393 -1.2713 -0.60169 0.141447 -1.23875 -1.2317 0.116177 -0.21941 0.196892
ε2 0.02407 0.97939 1.889621 0.085622 3.251198 0.154732 0.036896 1.189667 0.409776 0.661282 0.001363 0.293058 2.960167 0.067388 0.873426 0.022728 0.161111 3.270892 0.514119 1.266455 5.960408 1.171575 1.616209 0.362029 0.020007 1.534497 1.517075 0.013497 0.048139 0.038767
1 m 1 m 2 Q ε dan = ∑i ∑ εi , dalam hal ini 1 m − 1 i=2 m − 1 i=2
m = 31 . Uji validasi dapat didasarkan pada atatistik Q1 ataupun Q2. Dari tabel di atas, kita peroleh nilai Q1 = -0.05136 dan Q2 = 1.013. Model semivariogram akan ditolak jika |Q1| >
2 2 = = 0.365 . Dengan demikian, jika Q1 yang m −1 30
digunakan sebagai statistik uji, model semivariogram tidak ditolak. Jika yang digunakan sebagai statistik uji adalah Q2, model semivariogram ditolak jika Q2 > U atau Q2 < L, dengan nilai U dan L dapat dilihat pada tabel di lampiran H. Untuk
34
m = 30, didapatkan L = 0.56 dan U=1.57. Dengan demikian, jika Q2 yang digunakan sebagai statistik uji, model semivariogram juga tidak ditolak. Berdasarkan hasil uji validasi silang, model semivariogram dapat digunakan untuk memodelkan struktur dependensi data. Jadi hipotesis bahwa z* merupakan realisasi dari proses spasial intrinsik dengan semivariogram γ ( h ) seperti pada persamaan 3.2 tidak ditolak.
III.4 Tinjauan Model Semivariogram Sekarang akan ditinjau sifat-sifat model semivariogram yang diperoleh pada persamaan 3.2. Perhatikan bahwa ⎛ 1 ⎛ x − 1120.9113 ⎞ 2 ⎞ 1 lim u = lim F ( h ) = lim ∫ exp ⎜ − ⎜ dx = 1 . ⎜ 2 ⎝ 463.16454 ⎟⎠ ⎟⎟ h →∞ h →∞ h →∞ −∞ 463.16454 2 π ⎝ ⎠ h
Maka,
( (
lim γ ( h ) = lim γ ( h ) = lim 0.006345 − ln 1 − (1 + 0.0382u −0.0571 )
h →∞
u →1
u →1
−17.51
))
1.71
= 0.0037251 Dengan demikian, model semivariogram tersebut terbatas di atas. Menurut Armstrong (1998), model semivariogram yang terbatas di atas adalah model semivariogram dari proses spasial yang stasioner. Maka proses spasial {Z*(s), s ∈ D} bisa dianggap merupakan proses yang stasioner.
Karena
lim γ ( h ) = 0.0037251 , model semivariogram tersebut dikatakan
h →∞
memiliki sill sebesar 0.0037251. Sill merupakan batas atas bagi semivariogram. Berdasarkan persamaan 2.4, pada proses stasioner, sill adalah kovariogram pada h = 0 atau C(0) . Dengan kata lain, sill adalah variansi dari Z*. Selain itu
berlaku juga lim+ γ ( h ) = 0.0023 , berarti terdapat nugget effect pada model h →0
semivariogram. Nugget effect mengindikasikan adanya ketidak kontinuan peubah acak regional, di mana Z *(s) dapat berbeda dengan Z *(s ') berapapun kecilnya jarak h = s − s ' . Nilai kovariogram turun dari 0.0037251 pada h = 0 menjadi 0.0014 ketika h bergeser sedikit lebih besar dari 0. Nilai korelogram turun dari
35
1 pada h = 0 menjadi 0.3784 ketika nilai h bergeser sedikit lebih besar dari 0. Ini berarti korelasi antara Z *(s) dan Z *(s ') sudah cukup kecil walaupun lokasi s dan s ’ berdekatan.
Pada h = 1164.336 m, nilai semivariogram adalah 0.0035 yang merupakan 95% dari nilai sill. Pada jarak ini, nilai korelogram adalah 0.0604. Nilai korelogram pada
yang lebih besar dari 1164.336 lebih kecil dari 0.0604 karena
h
korelogram adalah fungsi turun terhadap h . Maka dapat disimpulkan bahwa korelasi spasial antara dua lokasi sumur dengan jarak pisah ( h ) yang lebih besar atau sama dengan 1164.336 sudah sangat kecil. Jarak h = 1164.336 m ini disebut practical range.
III.5 Penaksiran dengan Ordinary Kriging Setelah diperoleh model semivariogram, dilanjutkan dengan estimasi kriging pada sumur yang dekat dengan lokasi pengeboran, yaitu sumur yang lokasinya di koordinat -22687.5 ≤ x ≤ -21567.5 dan 1175 ≤ y ≤ 2365. Berikut adalah lokasi yang diestimasi 4000 KMJ 51
KMJ 24 3500 KMJ 39 KMJ 25 KMJ 43 3000 KMJ 11 KMJ 14 KMJ 12 KMJ 17 KMJ 20 KMJ 18
Utara-Selatan
KMJ 44 KMJ 40 KMJ 36 KMJ 62 KMJ 46 KMJ 30 KMJ 27 KMJ 35 KMJ 42 KMJ 26 KMJ 22 KMJ 41 KMJ 34 KMJ 37 KMJ 28 KMJ 33 KMJ 52 KMJ 31
2500 2000 1500
KMJ 45
1000
KMJ 38
koordinat sumur
500
lokasi yang ditaksir -23000
-22500
-22000
-21500
-21000
-20500
-20000
-19500
Barat-Timur
Gambar III.9. Lokasi sumur beserta lokasi yang diestimasi
36
0 -19000
2332.5
Utara-Selatan
2132.5 1932.5 1732.5 1532.5 1332.5
15
30
45
60
75
90
105
120
135
150
165
180
195
210
225
14
29
44
59
74
89
104
119
134
149
164
179
194
209
224
13
28
43
58
73
88
103
118
133
148
163
178
193
208
223
12
27
42
57
72
87
102
117
132
147
162
177
192
207
222
11
26
41
56
71
86
101
116
131
146
161
176
191
206
221
10
25
40
55
70
85
100
115
130
145
160
175
190
205
220
9
24
39
54
69
84
99
114
129
144
159
174
189
204
219
8
23
38
53
68
83
98
113
128
143
158
173
188
203
218
7
22
37
52
67
82
97
112
127
142
157
172
187
202
217
6
21
36
51
66
81
96
111
126
141
156
171
186
201
216
5
20
35
50
65
80
95
110
125
140
155
170
185
200
215
4
19
34
49
64
79
94
109
124
139
154
169
184
199
214
3
18
33
48
63
78
93
108
123
138
153
168
183
198
213
2
17
32
47
62
77
92
107
122
137
152
167
182
197
212
1
16
31
46
61
76
91
106
121
136
151
166
181
196
211
1132.5 -22728
-22528
Lokasi yang Diestimasi
-22328
-22128
-21928
-21728
-21528
Barat-Timur
Gambar III.10. Penomoran kokasi yang diestimasi
Banyaknya titik yang akan diestimasi adalah 225 titik. Penaksiran dilakukan dengan menggunakan ordinary kriging pada lokasi yang diestimasi untuk menaksir nilai Z*. Dari taksiran nilai Z* dapat diperoleh nilai taksiran decline rate ( Z(s) ) dilokasi tersebut dengan menggunakan persamaan 2.18 dan simpangan baku krigingnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.19. Tabel nilai data hasil estimasi ordinary kriging dapat dilihat pada lampiran E. Pada halaman berikut akan ditampilkan peta hasil estimasi decline rate Z(s) dengan menggunakan ordinary kriging pada lokasi-lokasi yang diestimasi yang digambarkan dalam 225 grid.
37
38
Berikut ini adalah peta kontur nilai decline rate hasil estimasi ordinary kriging beserta peta kontur simpangan baku krigingnya.
0.006
0.006
0. 006
2200
0.0055
6 0.00
5 0. 00
5
0. 005
2000
0. 00 55
0.0 05
0.005
0. 00 45
0. 00 55
1800
5
5 06 0.0
0. 0065
0.00 5
1600
1400 5 05 0.0
1200
0.0 05
0.005
-2.26 -2.25 -2.24 -2.23 -2.22 -2.21 -2.2
-2.19 -2.18 -2.17 -2.16 4
x 10
2000
6
9
7
4 0.00
4 0. 00
8
4 0. 00
1600
4 0. 00
1800
0.0045
0.0 04 5
0. 004 5
0. 004 6
0.0047
0. 004 8
0.004 9
2200
05 0.0
0.0 04 8
6 46 00 0.
4 0.00
1400
0. 0 04 5
Gambar III.12. Peta kontur nilai decline rate (perbulan) hasil estimasi ordinary kriging
0.004 7
0.0 04 9
0.0 04 7 0.004 8
1200
-2.26 -2.25 -2.24 -2.23 -2.22 -2.21 -2.2
-2.19 -2.18 -2.17 -2.16 4
x 10
Gambar III.13. Peta kontur simpangan baku kriging hasil estimasi ordinary kriging
39
Berdasarkan peta nilai decline rate hasil estimasi maupun peta kontur terlihat bahwa
nilai
decline
rate
yang
terendah
berada
pada
koordinat
−22.168 ≤ x ≤ −21.968 dan 1685 ≤ y ≤ 1770 (di sekitar pusat daerah yang
diestimasi). Nilai taksiran decline rate di daerah ini yaitu adalah sekitar 0.0045/bulan. Semakin jauh titik estimasi dari pusat daerah yang diestimasi, semakin besar nilai taksiran decline rate di titik tersebut. Hasil kriging mean menunjukkan taksiran mean dari decline rate adalah 0.0062937/bulan. Selain itu, peta kontur simpangan baku kriging menunjukkan bahwa semakin jauh lokasi yang diestimasi dari lokasi sumur (lokasi sampel), semakin besar nilai simpangan baku kriging di lokasi itu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin jauh lokasi yang diestimasi dari lokasi sampel, tingkat ketakpastian dalam penaksiran semakin tinggi.
III.6 Penaksiran dengan Sequential Kriging Sebelum melakukan sequential kriging, data sampel terlebih dahulu diurutkan berdasarkan jarak lokasi sumur (lokasi observasi) terhadap tehadap titik yang akan diestimasi, sehingga akan terdapat sampel dengan urutan yang berbeda-beda untuk setiap titik yang akan diestimasi. Alasan pengurutan ini adalah karena lokasi observasi yang berada dekat dengan lokasi yang akan diestimasi mempunyai korelasi yang lebih tinggi dengan lokasi estimasi dibandingkan dengan lokasi observasi yang jauh dari lokasi estimasi tersebut. Artinya titik lokasi observasi yang berada jauh dari lokasi estimasi memberi pengaruh yang relatif kecil terhadap nilai decline rate di titik yang akan diestimasi. Titik-titik lokasi observasi yang jauh dari titik estimasi dan pengaruhnya kecil dapat disisihkan sehingga tidak diikutsertakan dalam estimasi.
Lokasi estimasi masih sama dengan lokasi estimasi sebelumnya. Data sampel dibagi ke dalam 31 subset sehingga setiap subset merupakan datum tunggal. Berdasarkan persamaan 2.24 sequential kriging dilakukan untuk mengestimasi Z * ( s 0 ) dalam 31 langkah sebagai berikut:
40
(1) Zˆ * ( s 0 ) = ρ 01Z * ( s1 ) (2) (1) (1) Zˆ * ( s 0 ) = Zˆ * ( s 0 ) + θ 2 ( Z * ( s 2 ) − Zˆ * ( s 2 ) ) (3) (2) ( 2) Zˆ * ( s 0 ) = Zˆ * ( s 0 ) + θ3 ( Z * ( s3 ) − Zˆ * ( s3 ) )
(30) (29) (29) Zˆ * ( s 0 ) = Zˆ * ( s 0 ) + θ30 ( Z * ( s30 ) − Zˆ * ( s30 ) ) (31) (30) (30) Zˆ * ( s 0 ) = Zˆ * ( s 0 ) + θ31 ( Z * ( s31 ) − Zˆ * ( s31 ) )
(3.3) .dengan jarak
( k −1) s 0 − s1 ≤ s 0 − s 2 ≤ ... ≤ s 0 − s n , Zˆ * ( s 0 )
adalah estimasi
Z * ( s 0 ) dengan menggunakan (k-1) data, Z * ( si ) adalah data observasi dari ( k −1) lokasi sampel terdekat ke-i dari titik yang akan diestimasi, ( Z * ( si ) − Zˆ * ( si ) )
merupakan selisih antara nilai data terdekat ke-i dengan estimasi data ke-i menggunakan (k-1) data, dan θi adalah bobot sequential kriging dari data subset ke-i. Bobot sequential kriging adalah :
θ2 = θ3 = θ4 = θ5 =
θk =
1 1 − ρ12 2 1 1 − ρ132 1 1 − ρ14 2 1 1 − ρ15 2
( ρ02 − ρ 01 ρ12 ) ( ρ03 − ρ01 ρ13 − θ 2 ( ρ 23 − ρ12 ρ13 )) ( ρ04 − ρ 01 ρ14 − θ 2 ( ρ 24 − ρ12 ρ14 ) − θ 3 ( ρ34 − ρ13 ρ14 )) ( ρ05 − ρ 01 ρ15 − θ 2 ( ρ 25 − ρ12 ρ15 ) − θ 3 ( ρ35 − ρ13 ρ15 ) − θ 4 ( ρ 45 − ρ14 ρ15 ))
k −1 ⎛ ⎞ θ m ( ρ mk − ρ1m ρ1k ) ⎟ ρ ρ ρ − − ∑ 01 1k 2 ⎜ 0k 1 − ρ1k ⎝ m=2 ⎠
θ31 =
1
30 ⎛ ⎞ − − ρ ρ ρ θ m ( ρ m,31 − ρ1m ρ1,31 ) ⎟ ∑ 01 1,31 2 ⎜ 0,31 1 − ρ1,31 ⎝ m=2 ⎠
1
(3.4) Kompleksitas komputasi sequential kriging jauh lebih kecil daripada kompleksitas komputasi ordinary kriging. Pada ordinary kriging, untuk menyelesaikan
41
persamaan 2.17 dengan metode eliminasi Gauss-Jordan diperlukan operasi tambah sebanyak
1 1 5 3 2 ( n + 1) + ( n + 1) − ( n + 1) 3 2 6
dan operasi perkalian sebanyak
1 1 3 2 ( n + 1) + ( n + 1) − ( n + 1) , dengan n adalah ukuran sampel. Sehingga total 3 3 banyaknya
operasi
yang
dilakukan
dalam
ordinary
kriging
adalah
2 3 7 3 2 ( n + 1) + ( n + 1) − ( n + 1) operasi. Dalam kasus ini n sama dengan 31, 3 2 6 sehingga total banyaknya operasi pada jika menggunakan ordinary kriging adalah 23344 operasi. Sedangkan dalam sequential kriging, diperlukan sebanyak 1 2 1 1 1 n + n operasi perkalian dan sebanyak n 2 + n − 1 operasi tambah pada 2 2 2 2 persamaan 3.3, dan sebanyak n 2 + n − 2 operasi perkalian serta sebanyak n 2 − n operasi tambah pada persamaan 3.4. Sehingga total banyaknya operasi pada agoritma sequential kriging adalah 3n 2 + n − 3 operasi. Untuk n = 31, total banyaknya operasi jika menggunakan sequential kriging adalah 2911 operasi. Jadi, banyaknya operasi pada algoritma metode sequential kriging lebih sedikit dari banyaknya operasi pada algoritma ordinary kriging, sehingga kompleksitas komputasinya lebih kecil.
Setelah diperoleh taksiran nilai Z * dengan sequential kriging, nilai taksiran decline rate ( Z ) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.37 dan standar deviasi krigingnya dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.38. Nilai estimasi decline rate hasil estimasi sequential kriging dapat dilihat pada lampiran F. Pada halaman berikut akan ditampilkan peta hasil estimasi decline rate ( zˆ ) pada lokasi-lokasi yang diestimasi yang digambarkan dalam 225 grid.
42
43
Berikut ini adalah peta kontur hasil nilai decline rate hasil estimasi sequential kriging beserta peta kontur simpangan baku krigingnya. 65 0.00
0. 0065
0.006
0. 006
2200 6 0.00
0.0055
5 0.005 5 0.00
0. 00 55
0.005
0. 00 55
2000
0.0 04 5
1800 0.005
0. 00 45 0.0 05
1600
0. 00 5
1400 55 00 0.
1200
0. 0 05
0.005 -2.26 -2.25 -2.24 -2.23 -2.22 -2.21 -2.2 -2.19 -2.18 -2.17 -2.16 4
x 10
0.0 04 8 5
8 04 0.0
5 48 00 0.
0.0048
85
0.0 05 15
4 0. 00
0. 00 52
9 5 04 9 0.0
51 00 0.
1400
4 0. 00
05
5 0.00
5 0.00
5 15 0 00
1600
1200
48 00 0.
0.005 1
1800
48 00 0.
85
2000
4 0.00
0.00495
0.005
0.005 05
2200
0.0049
Gambar III.15. Peta kontur nilai decline rate (perbulan) hasil estimasi sequential kriging
85 04 0.0
0. 005 0.0 05 0 5
0. 005 1
0. 00 49
9 0.004 0.004 95
0.00 5
0.005 05
-2.26 -2.25 -2.24 -2.23 -2.22 -2.21 -2.2
0.0 04 95
-2.19 -2.18 -2.17 -2.16 4
x 10
Gambar III.16. Peta kontur simpangan baku kriging hasil estimasi sequential kriging
44
Berdasarkan gambar-gambar di atas, terlihat bahwa hasil estimasi dengan menggunakan sequential kriging tidak jauh berbeda dengan hasil estimasi dengan menggunakan ordinary kriging. Demikian juga kontur simpangan baku krigingnya menunjukkan pola yang sama yaitu semakin jauh lokasi yang diestimasi dari lokasi sumur (lokasi sampel), semakin besar nilai simpangan baku kriging di lokasi itu. Namun, penggunaan sequential kriging untuk mengestimasi nilai decline rate lebih menguntungkan karena kompleksitas komputasinya lebih kecil sehingga akan menghemat komputasi.
Kompleksitas komputasi sequential kriging masih dapat dikurangi lagi. Sebagai ilustrasi, tinjau lokasi estimasi ke-136 di koordinat x = -21968, y = 1175. Nilai estimasi decline rate di titik tersebut dengan menggunakan ordinary kriging adalah 0.005093/bulan, sedangkan jika menggunakan sequential kriging diperoleh nilai taksiran sebesar 0.0050499/bulan yang tidak jauh berbeda dengan hasil ordinary kriging. Selanjutnya perhatikan gambar berikut
0.25
bobot sequential kriging
0.2
0.15
0.1
. 0.05
0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 -0.05
data subset
Gambar III.17. Bobot sequential kriging subset data untuk titik estimasi dengan koordinat x = -21968, y = 1175
Dari gambar di atas, terlihat bahwa pada titik estimasi dengan koordinat x = -21968 dan y = 1175, bobot sequential kriging subset data pada taksiran nilai
45
Z* di titik tersebut cenderung semakin mendekati nol seiring dengan semakin besarnya indeks subset. Hal ini berarti data observasi yang lokasinya jauh dari titik yang diestimasi nilai bobotnya mendekati nol sehingga dapat diabaikan. Hal ini pun berlaku pada seluruh 225 titik estimasi.
Sekarang tinjau gambar berikut
Nilai taksiran Z*(s0)
0.168 0.166 0.164 0.162 0.16 0.158 0.156 0.154 0.152 0.15 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10111213141516171819202122232425262728293031 Iterasi
Gambar III.18. Taksiran nilai Z* di titik estimasi dengan koordinat x = -21968, y = 1175 dengan menggunakan sequential kriging dalam 31 iterasi
Gambar di atas adalah gambar taksiran sequential kriging dari nilai Z* di titik dengan koordinat x = -21968 dan y = 1175 dalam 31 iterasi. Terlihat bahwa mulai iterasi ke-15, taksiran nilai Z* sudah mulai stabil di sekitar suatu nilai tertentu. Hal ini pun berlaku pada seluruh 225 titik estimasi di mana taksiran nilai Z* mulai stabil setelah iterasi tertentu. Mengingat pada sequential kriging ini data observasi diurutkan berdasarkan jaraknya dari titik estimasi, maka kestabilan nilai taksiran Z* setelah iterasi tertentu disebabkan oleh kecilnya bobot data observasi yang lokasinya jauh dari titik estimasi. Hal ini sesuai dengan ilustrasi pada gambar III.17. Oleh karena itu kita bisa melakukan pemotongan iterasi pada algoritma sequential kriging, di mana ketika taksiran nilai Z* sudah mulai stabil di sekitar nilai tertentu iterasi akan dihentikan. Dengan demikian, data observasi yang
46
bobotnya kecil tidak diikutsertakan. Hal ini akan lebih mengurangi banyaknya operasi dalam sequential kriging.
Sekarang akan dilakukan sequential kriging dengan pemotongan iterasi untuk menaksir nilai decline rate masih di lokasi estimasi yang sama seperti sebelumnya. Pada kasus ini, untuk setiap titik estimasi, iterasi dihentikan jika zˆ *(s 0 )(i) − zˆ *(s 0 )(i −1) < 1×10−6 , dengan zˆ *(s 0 )(i) adalah taksiran nilai Z* pada iterasi ke-i, dan yang diambil sebagai taksiran nilai Z* di titik tersebut adalah zˆ *(s0 )(i) . Berikut adalah peta kontur hasil estimasi sequential kriging dengan pemotongan iterasi 0.0065
0.006
0.0065
0.006
2200
0.0055
6 0.00
05 5 0. 0
0.005
05 0.0
2000
1800
0.005
0. 00 45
0.0 05
0.00 5
1600
5 04 0.0
0. 00 55
0.0 04 5
0. 00 55
1400 55 00 0.
1200
0.0 05
0. 005
-2.26 -2.25 -2.24 -2.23 -2.22 -2.21 -2.2
-2.19 -2.18 -2.17 -2.16 4
x 10
Gambar III.19. Peta kontur taksiran nilai decline rate menggunakan sequential kriging dengan pemotongan iterasi
47
0.004 95 0.005
5 48 00 0.
85
52 00 0.
0.0 05 05
0.004 85
8
8 04 0.0
4 0.00
4 0.00
85 04 0.0 0.004 9
9 04 0.0 95 4 00 0.
05 0.0
1 05 0. 0
5 05 1 0.0
1400
1200
8 04 0.0 0. 00 48
0.0049
0.004 95
05 0.005
1800
1600
0.005
0.005 1
2000
5 04 8 0.0
0.005 05
2200
0. 00 49 0.0 04 95
0.0 0.0 0.0 05 0.005 05 05 1 05 15 -2.26 -2.25 -2.24 -2.23 -2.22 -2.21 -2.2 -2.19 -2.18 -2.17 -2.16 4
x 10
Gambar III.20. Peta Kontur Taksiran Simpangan Baku Kriging Menggunakan Sequential Kriging dengan Pemotongan Iterasi Dari gambar III.19 terlihat bahwa peta kontur taksiran nilai decline rate menggunakan sequential kriging dengan pemotongan iterasi tidak berbeda secara signifikan dengan peta kontur nilai decline rate menggunakan sequential kriging yang biasa. Demikian juga dengan peta kontur simpangan baku krigingnya. Dengan demikian, kita dapat menggunakan sequential kriging dengan pemotongan iterasi karena hasilnya tidak jauh berbeda dan kompleksitas komputasinya lebih kecil.
48